Pendidikan Islam dan Karakter Bangsa

Mengabdi NU, Membangun Indonesia
(Pendidikan Islam dan Karakter Bangsa)
Sekarang ini NU sebagai ormas menghadapi arus perubahan yang sangat besar baik
politik, ekonomi, budaya, teknologi dan lainnya. Sebagai entitas sosial Nahdlatul Ulama sejak
kelahirannya selalu menghadapi adanya perubahan-perubahan. NU terbentuk sebagai
bagian dari reaksi terhadap perubahan di lingkungan umat Islam, yaitu adanya pengaruh
Wahabi ke masyarakat Indonesia, lalu memberi ancaman tradisi-tradisi Nahdliyin yang ada di
Pesantren.
Dewasa ini masih sering muncul wacana yang mempertentangkan Islam dan
demokrasi, Islam dan Pancasila dengan tujuan melemahkan konsolidasi demokrasi dan
Ideologi Pancasila. Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu contoh kelompok yang sering
mempertentangkan secara terbuka antara syariah dan demokrasi , antara kedualatan Tuhan
dan kedaulatan rakyat yang ujungnya mau menggantikan Negara Pancasila dengan Negara
Islam (khilafat) yang cenderung teokratis. Dewasa ini juga tampak fenomena menurunnya
karakter bangsa yang ditandai dengan budaya instant dan prilaku korup yang terjadi di
mana-mana. Organisasi Fund for Peace merilis indeks terbaru mereka mengenai Failed State
Index 2012 di mana Indonesia berada di posisi 63. Sementara negara nomor 1 yang dianggap
gagal adalah Somalia. Dalam membuat indeks tersebut, Fund for Peace menggunakan
indikator dan subindikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Dalam penjelasan mereka,
dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan indeks korupsi tersebut.
Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup berdasarkan indeks lembaga ini,

Somalia. Negara yang dianggap paling baik adalah New Zealand.
Kondisi demikian menjadikan lembaga pendidikan juga tidak lepas dari sasaran kritik.
Sebab budaya instan dan prilaku korup juga sedikit banyaknya masuk kedalam di lingkungan
pendidikan melalui prilaku permissive terhadap kecurangan dan ketidakjujuran. Jelaslah,
kecurangan adalah bentuk lain dari ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran adalah awal dari
kejahatan. Manajemen negeri yang tidak efektif adalah sebagai konsekwensi dari hilangnya
kejujuran. Jika kejujuran tidak lagi dipertahankan dalam praktek pendidikan maka
pendidikan akan memberikan kontribusi besar bagi institusionalisasi kejahatan. Oleh karena
itu problem pada ujian nasional mesti diletakkan dalam kerangka pendidikan karakter untuk
pembangunan bangsa.
Singkatnya, dewasa ini terdapat fenomena maraknya orang beragama tapi tidak
memiliki karakter yang baik dan fenomena orang yang taat beragama tapi gagal menjadi
warganegara yang baik. Inilah masalah serius yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang
dihadapi lembaga pendidikan yang memang bertugas mempersiapkan generasi penerus
bangsa ini. Sebab jika fenomena ini tidak segera diatasi bersama maka kesenjangan antara
cita-cita kemerdekaan Indonesia dengan kenyataan yang dialami oleh rakyat Indonesia akan
terus melebar.
Keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara, keinginan untuk
mendapatkan jaminan eksplisit dari konstitusi untuk menjalankan syari’at Islam atau
keinginan untuk mensyaratkan seorang kepala Negara secara formal beragama Islam, mesti

dipahami dalam suasana psikologis seperti itu. Setiap keinginan yang muncul dari suasana
psikologis yang cenderung emosional, meskipun bisa dimengerti tapi terkadang dirasa tidak
tepat apabila kemudian ditimbang-timbang lagi dalam suasana yang lebih tenang dengan
menggunakan pikiran yang lebih jernih.

Memang, dengan menjadikan Islam sebagai dasar Negara atau dengan memberikan
jabatan kepala Negara khusus kepada orang Islam, akan menjadikan status umat Islam naik
menjadi warga Negara kelas satu. Akan tetapi andaikata kita kembalikan kepada cita-cita
awal founding fathers yang menginginkan berdirinya Negara Indonesia yang didasari atas
semangat unity, equality dan liberty, maka hal itu amat berpotensi melahirkan prilaku
diskriminatif dan menjadikan kedudukan setiap warga Negara tidak lagi equal, sesuatu yang
bertentangan dengan cita-cita awal. Pergantian klausul dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya) dengan klausul dalam
Pancasila sekarang ini (Ketuhanan Yang Mahaesa), sepertinya juga tidak lepas dari semangat
ini.
Konsep khilafat/imamat atau Negara Islam yang sering dirujuk oleh para tokoh Islam
yang memperjuangkannya, minimal adanya dua jenis kewarganegaraan yakni muslim dan
dzimmi (non-Muslim). Dan harus diakui bahwa dzimmi dalam konsep khilafat klasik
merupakan warga Negara kelas dua. Sebenarnya bukan istilah khilafat atau Darul Islam yang
menjadikan non-Muslim atau bahkan sebagian Muslim merasa tidak nyaman, tetapi konsep

dibalik istilah itu. Pada waktu itu, dan mungkin sampai sekarang, para pendukung Negara
Islam tidak berhasil meyakinkan non-Muslim bahwa Negara Islam/ khilafat atau Negara yang
berdasarkan Islam bisa dibangun atas dasar equality (kesetaraan ) dan liberty (kebebasan).
Itulah sebabnya, setiap upaya untuk menawarkan gagasan yang dikhawatirkan akan
mengurangi kebebasan, kesetaraan atau menimbulkan perpecahan bangsa selalu akan
mendapat kritik atau koreksi. Demikian pula setiap upaya untuk lebih menitikberatkan
kesatuan dengan mengorbankan pluralisme juga akan mendapat tantangan dari masyarakat.
Upaya mensinergikan antara pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan
pembangunan karakter bangsa bisa dilakukan degan menjadikan agama sebagai sumber
nilai untuk membangun karakter bangsa sehingga melahirkan pendidikan agama yang
berwawasan kebangsaan. Dengan demikian, umat beragama (peserta didik) akan menjadi
umat yang saleh sekaligus menjadi warga Negara yang baik (piety & good citizen).
Untuk menjadikan umat beragama (peserta didik) menjadi umat yang saleh sekaligus
menjadi warga Negara yang baik memerlukan sejumlah langkah sebagai berikut. Langkah
pertama ialah menentukan nilai apa saja yang akan dijadikan acuan bagi pembentukan
karakter bangsa. Langkah kedua adalah menjadikan agama tidak hanya diajarkan sebagai
system ketuhanan/system ritus maupun system nilai/norma social tapi juga diajarkan
sebagai bagian dari upaya menguatkan karakter bangsa. Langkah ketiga, pembuatan atau
penyempurnaan kurikulum pendidikan agama yang bertujuan membentuk karakter bangsa
serta pembuatan atau penyempurnaan kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang

berbasis nilai agama. Langkah keempat, pembuatan bahan ajar atau modul-modul tentang
pendidikan karakter berbasis nilai agama yang akan dijadikan supelemen bagi pendidikan
agama maupun pendidikan kewarganegaraan. Langkah kelima melakukan pelatihan atau
lokakarya penerapan kurikulum pendidikan agama berwawasan kebangsaan dan pendidikan
kewarganegaraan berbasis nilai agama yang diikuti oleh guru pendidikan agama dan guru
pendidikan kewarganegaraan. Langkah keenam adalah : uji coba dan evaluasi secara berkala
dan berkelanjutan sehingga ditemukan formula yang lebih tepat dalam mensinergikan
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan karakter bangsa. Akan
tetapi mengingat kunci pengembangan karakter dalam hidup adalah adanya kerendahan hati
untuk berubah, maka upaya mensinergikan pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan
pembangunan karakter bangsa akan berhasil bila didukung oleh kemuan semua pihak untuk
berubah dan memperbaiki diri.