Jurnalisme Publik Cita cita dan Kritik

Jurnalisme Publik: Cita-cita dan Kritik1
Gilang Desti Parahita

SAAT artikel ini disusun, publik Amerika Serikat (AS) dan dunia dikejutkan dengan kemenangan
Donald Trump kandidat presiden dari Partai Republik atas kursi kepresidenan AS2. Tak hanya
warga AS, banyak pimpinan dari berbagai negara terkejut dengan kekalahan Hillary Clinton pada
pemilihan presiden ke-45 tersebut. Karena kemenangan Trump yang ‘tak disangka-sangka’
tersebut, sejumlah pengamat tak hanya mengkritisi lembaga polling melainkan juga media massa
maupun online AS.
Pemberitaan media AS memberikan pesan berbeda selama pra-pemilihan, bahwa Clintonlah yang akan memenangkan pertarungan, sehingga banyak elemen publik yang terlalu
meyakininya dan tidak mewaspadai kemungkinan yang sebaliknya. Jauh lebih banyak media yang
mendukung Clinton dibandingkan Trump3. Media AS mengutip hasil poling pra-pemilihan yang
menunjukkan Clinton akan menang, juga menyuguhkan jauh lebih banyak ketidaksesuaian klaimklaim Trump dengan fakta-fakta (factchecking) dibandingkan kebohongan-kebohongan Clinton
(Kurtzleben, 2016). Akan tetapi, media AS rupanya tidak membaca gejala kemenangan Trump.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Apa yang terjadi seputar media dan politik pemilihan presiden AS 2016 tersebut bukanlah
hal baru dalam dunia jurnalisme. Patterson (2016) menyebut “public disservice” media telah terjdi
sejak era kepresidenan Richard Nixon4. Media massa AS telah lama dikritik oleh jurnalisnya sendiri
maupun pengamatnya karena jurnalis berjarak dari warga sehingga tidak mampu memotret
keberagaman perspektif publik. Keberjarakan itu tak memberi corong pada suara-suara publik
yang genuine. Bisa jadi fenomena serupa berlangsung pada pemberitaan media di masa


Ma uskrip artikel buku Jur alis e Publik u tuk Media O li e: Catata Pe elitia Digi-Jour alis .or.id
yang akan diterbitkan oleh Center for Digital Society FISIPOL UGM. 2016.
2
Tentang kemenangan Trump yang menghentak dunia dan pidato kemenangan Trump dapat dilihat di
http://www.usatoday.com/story/news/politics/elections/2016/2016/11/08/trump-clinton-target-socialmedia-swing-states-final-hours/93494872/.
3
Jauh sebelum hasil pilpres AS diumumkan, banyak pihak telah memperingatkan luasnya bias media arus
utama di AS dalam bentuk keberpihakan terhadap Hillary Clinton, sebagaimana yang disampaikan oleh
Antimedia.org
(http://theantimedia.org/media-endorse-hillary-two-problems/),
USNews.com
(http://www.usnews.com/news/national-news/articles/2016-10-18/hillary-clinton-gets-more-donationsfrom-the-media-than-donald-trump-study-says),
dan
Julian
Assange
penggerak
Wikileaks
(http://www.politico.com/blogs/on-media/2016/08/julian-assange-american-press-supports-demon-hillaryclinton-227597).
4

Mengungkap skandal politik (dan seksual yang dilakukan politisi) bukanlah hal utama dari tujuan
jurnalisme menurut Patterson pada http://www.huffingtonpost.com/richard-north-patterson/publicdisservice-the-med_b_11887648.html.
1

15

kampanye Trump dan Clinton. Media AS tidak menyajikan dengan utuh dan beragam pandanganpandangan terhadap Trump dan Clinton. Menyajikan fakta rupanya tidak cukup.
Keprihatinan terhadap relasi media, publik, dan politik di AS itulah yang mendorong
lahirnya jurnalisme publik sebagai sebuah gerakan. Melalui konsep “jurnalisme publik”, para
penggagasnya bermaksud menguatkan jurnalisme yang memberi makna substansial bagi
kepentingan publik, menyoroti masalah-masalah yang dianggap penting oleh publik, melibatkan
publik seluas-luasnya dalam proses jurnalisme, menunjukkan keberagaman suara publik termasuk
kelompok minoritas, mendorong transparansi redaksi, serta menguatkan akuntabilitas jurnalis
pada pemberitaan. Meski jurnalisme publik sebagai sebuah gerakan baru lahir pada 1988, praktek
dan perbincangan tentang jurnalisme publik sesungguhnya telah dimulai sejak 1700-an (Rosen,
2000). Pada Bab ini, penulis menilik kembali sejarah sosial dan perbincangan mengenai konsep
jurnalisme publik di AS.

Eksperimen Wichita Eagle di Kansas
Jay Rosen (2000), salah satu penggerak terkemuka jurnalisme publik menegaskan bahwa

jurnalisme publik sejatinya bukan hal yang baru. Konsep tersebut hanyalah penguatan atas citacita lama jurnalisme yang sudah muncul sejak tengah abad ke-1700. Ketika itu, pers membawa
masalah politik ke kepemilikan yang lebih luas, mengetengahkan opini-opini yang selama itu
berkembang di kelompok-kelompo eksklusif ke hadapan masyarakat luas (Rosen, 2000: 679).
Menengok sejarah tersebut, jurnalisme publik mencoba melekatkan kembali secara linguistik ke
kesadaran para jurnalis mengenai “asal mula jurnalisme” (Rosen, ibid.). Perdebatan antara John
Dewey dan Walter Lippman pada 1920-an, laporan Hutchin Commission mengenai fungsi pers
pada 1940-an, pemikiran-pemikiran C. Wright Mills, Jurgen Habermas, James Carey dan
sebagainya mengetengahkan gagasan bahwa upaya untuk menghadirkan publik yang genuine
telah menjadi pekerjaan besar demokrasi lebih-lebih di era media massa di mana media massa
diharapkan menjadi bagian dari proyek besar itu sekaligus mengkritisi proses tersebut. Meski
beragam pendahuluan telah terjadi, jurnalisme publik baru tercetus ketika sejumlah jurnalis
merespon krisis politik pada 1980-an.
Kala itu, demokrasi di Amerika Serikat mengalami krisis. Komunikasi politik media dan
politisi kala itu menyurutkan niat warga terlibat dalam politik. Pengetahuan warga tentang urusan
dan masalah publik tak bertambah. Kepercayaan warga terhadap pemerintah dan institusi politik
berkurang. Akibatnya, partisipasi warga dalam aktivisme politik semakin kendor. Atau, warga
mungkin sebenarnya peduli apabila mendapat informasi yang cukup. Eksperimen Wichita Eagle
dapat menjadi contoh (Hoyt, 1992).
Pada awal 1990-an, Kansas sedang menyelenggarakan pemilihan gubernur. Kota itu
bersandar pada sektor agrikultur, industri pesawat terbang, minyak, dan 300.000 penduduk yang

pekerja keras. Kansas tampak membingungkan bagi orang luar. Pada satu sisi, kota itu hanya
baru saja melegalisasikan minuman beralkohol. Sisi lainnya, hak-hak melakukan aborsi dilindungi.

16

Masalah legalisasi pro-aborsi (pro-choice) itu menumpuk protes dari pihak pro-kehidupan (prolife) di Kansas.
Sekitar 1991, 30.000-an orang melakukan reli protes di depan kantor Women’s Health
Care Services. Mereka mengkuatirkan tindakan aborsi dr. George Tiller. Banyak dokter pelaku
aborsi, namun mereka menganggap dr. Tiller paling berbahaya: membunuh janin usia tua. Bagi
para penganut pro-kehidupan, itu sama saja dengan membunuh bayi. Aksi protes itu berlangsung
selama 45 hari. Hampir 2.000 orang demonstran sempat dipenjara.
Peristiwa Summer of Mercy itu menghentak Davis Merritt, jurnalis Wichita Eagle. Merritt
semakin tersadar bahwa mungkin jurnalis tidak mengerti apa yang penting untuk diliput,
bagaimana meliput kontroversi, dan tidak memberi solusi. Pers seakan berjarak dari geliat
kehidupan masyarakat. Jurnalis bertindak sok tau, namun ternyata tak lebih tahu daripada warga.
Akibatnya warga mencari jalan sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Kadang-kadang hal itu
berakhir buruk. Dr. Tiller didor oleh pemrotes pada 1993.
Selama puluhan tahun di Kansas harian Eagle dan Beacon beredar. Keduanya samasama bacaan mengenaskan. Wichita Eagle anjing kesayangan rezim, sementara Wichita Beacon
lebih mirip tabloid skandal. Pada 1960, Eagle membeli Beacon setelah keduaya bersaing sengit
selama puluhan tahun. Organisasi Ridder membeli Eagle-Beacon pada 1973. Tak lama setelah

itu, Davis Merritt, asal Carolina Utara, bergabung dengan media itu. Langkah pertamanya adalah
membunuh Beacon. Tak ada perlawanan dari para staf. Yang tersisa sejak 1980-an adalah Wichita
Eagle.
Setahun sebelum peristiwa Summer of Mercy, Wichita Eagle meluncurkan laman Voter’s
Project. Tak berbeda dari kota-kota lain di AS, gelombang ‘apatisme’ terhadap politik dan
rendahnya keterbacaan suratkabar melanda Kansas. Keprihatinan atas hal itu menggugah Merrit
dan sejumlah editor Wichita Eagle membuat laman khusus liputan politik untuk kampanye lokal
pada 1990. Berlanjut pada 1991 dan 1992, Eagle melaporkan pemilihan lokal dan presidensial.
Tentu semua itu dengan satu catatan: formula baru dalam pelaporan, yang kelak secara getol
diadvokasi oleh Jay Rosen dengan istilah public journalism atau civic journalism.
Formula ‘baru’ itu ialah penguatan partisipasi audiens pada proses junalistik. Partisipasi
itu mampu menjaring aspirasi orisinal mengenai masalah-masalah yang dianggap penting warga.
Eagle mengerahkan departemen riset dan meminta bantuan Sekolah Komunikasi Elliot di
Universitas Wichita. Mereka melakukan banyak wawancara terhadap 192 warga. Ratusan warga
lainnya disurvei. Berdasarkan data itu, Eagle merangkum sejumlah topik

penting, seperti

pendidikan, pajak, pembangunan ekonomi, dan seterusnya. Liputan-liputan dibangun berdasar
topik-topik itu.

Eagle mengirim para jurnalisnya untuk menghadiri semua pertemuan-pertemuan publik
terkait kampanye, sebut saja: pidato, konferensi pers, dialog, penggalangan dana. Mereka
merekam, menranskrip, merangkum, dan menemukan ada tidaknya posisi politik masing-masing
kandidat. Materi itu diterbitkan Eagle di kolom Where You Stand setiap Minggu pagi. Kolom itu
berisi latar belakang isu dan mengekspos posisi politik kandidat terhadap isu tersebut, atau malah
tidak ada sikap.

17

Para kandidat politik semula gerah dan tertekan dengan gebrakan Eagle. Namun mereka
semakin tampak buruk apabila tidak merespon. Terlebih Eagle harian terpandang di kota itu. Tak
ada pilihan lain, para kandidat secara sukarela memberikan informasi pada topik-topik Eagle.
Dampak dari eksperimen Wichita Eagle itu nyata. Pada survei pasca pemilihan, warga yang
bertempat tinggal di wilayah sirkulasi Eagle menunjukkan pemahaman atas isu-isu politik dalam
pemilihan lebih baik daripada mereka yang di luar wilayah sirkulasi.
Formula itu tak berhenti di situ. Eagle secara terbuka, baik melalui liputan berita maupun
iklan dan selebaran hingga di luar wilayah edar, meminta para pembaca untuk menggunakan hak
pilih. Kampanyenya disebut Your Vote Counts. Sayangnya, pemilihan 1990 dan 1991
menunjukkan angka pencoblos merosot di Kansas. Tetapi Eagle mengklaim fenomena itu
disebabkan oleh faktor lain. Di wilayah sirkulasi Eagle, partisipasi politik mencapai 41% melampaui

angka nasional yang hanya 33 %.
Pengalaman itu membuat Merrit mengambil kesimpulan. Menurutnya, menunjukkan sikap
pada kolom-kolom berita bukanlah hal yang tabu. Warga ingin membaca pers yang menggemakan
nilai-nilai yang akrab bagi warga. Jika pers tidak menunjukkan sikap, bagaimana warga bisa
menunjukkannya pula? Prinsip obyektivitas dieksploitasi sedemikian rupa hingga menjadi
bumerang bagi jurnalis dan warga. Jurnalis berjarak dari warga yang ia liput.
“Kami ingin kota kami menjadi tempat yang baik untuk hidup, begitu juga dengan para
pembaca. Apa yang bisa kita lakukan untuk kota kita? Pertanyaan itu menjangkau semua profesi.
Jurnalis tak harus turun ke jalan, namun kita harus melakukan sesuatu untuk mendorong
perbaikan,” tutur Merritt. Steven A. Smith, editor pelaksana Eagle menulis dalam National Civic
Review: pers dituduh menyusun agenda. Pers diminta melaporkan agenda orang lain. Namun
sesungguhnya, tiada orang yang punya agenda, kecuali publik itu sendiri. Karenanya, publik perlu
terlibat dalam proses editorial.

“Jurnalisme Publik” Versi Amerika Serikat
Kajian jurnalisme selalu berkutat pada tema-tema klasik yaitu obyektivitas versus
subyektivitas, berjarak atau advokasi, mengobservasi atau menjadi anjing penjaga, jurnalisme
netral versus partisipan (Johnstone, Slawski & Bowman, 1972:540). Meski jurnalisme publik
menekankan pentingnya penguatan partisipasi dan dialog pada kehidupan kewargaan (civic life),
McQuail (2010: 182) menganggap jurnalisme publik masih dalam satu tradisi dengan jurnalisme

objektif, berbeda dari Shafer (1998) & Gunaratne (1998) yang menganggap jurnalisme publik
laiknya jurnalisme pembangunan berada di kamp jurnalisme invertensionis. Perbedaan utama
konsep jurnalisme publik dari jurnalisme objektif-konvensional adalah jurnalisme publik
meningkatkan kualitas kehidupan sipil dengan memfasilitasi terjadinya “percakapan” dan
keterlibatan publik, tidak semata-mata menyebarluaskan informasi.
Sebagai sebuah gerakan, jurnalisme publik merupakan respon atas kecenderungan
turunnya segala bentuk jurnalisme yang serius, termasuk meningkatnya kekecewaan jurnalis
terhadap profesinya (Heikilla & Kunnelius, 1996). Heikkila & Kunnelius (1996:92) menunjukkan

18

jurnalisme berkaitan dengan konsepsi publik yang Dewey-an. Dalam perspektif Dewey-an, publik
diikat oleh satu kepentingan berupa masalah. Adanya masalah akan menghadirkan publik atau
rasa kebersamaan. Bagaimanakah menyatakan masalah dalam dunia multiperspektif?
Pertanyaan serupa berlaku untuk jurnalisme publik. Heikkila & Kunnelius (1996) menganggap
filosofi publik Arendt cocok untuk menjawab peranyaan tersebut. Menurut Arendt, kehadiran publik
selalu diikuti dengan aksi atau tindakan, hal itu juga berlaku pada jurnalisme. Jika hadir tidaknya
publik ditadai dengan adanya aksi, dan publik diikat oleh masalah bersama, maka jurnalisme publik
adalah laporan jurnalistik yang membahas tindakan yang bersandar pada masalah tertentu.
Kesenjangan ekonomi dan terganggunya kebahagiaan bersama adalah masalah bersama

(Heikkila & Kunnelius, 1996).
Eksperimen Eagle –dan Charlotte Observer serta Virginia Pilot yang melakukan inovasi
jurnalisme serupa— menjadi semacam otokritik terhadap jurnalisme di Amerika Serikat. Berbeda
dari sejumlah gerakan sebelumnya seperti “jurnalisme baru”, “jurnalisme investigasi”, dan
“jurnalisme presisi”, jurnalisme publik menyoroti tak hanya teknik jurnalisme, melainkan perilaku
profesional jurnalisme (Heikkila & Kunelius, 1996:81-82). Alih-alih meliput berita dengan suapan
ide asal dari penguasa atau para ahli, jurnalisme publik atau jurnalisme sipil menggali peristiwa
dari warga dan melaporkannya ke khalayak (Hume, 1996:148).
Pengertian jurnalisme publik atau jurnalisme sipil semakin meluas ketika pada 1993
Poynter Institute for Media Studies mempublikasikan buklet yang disusun Rosen: Community
Connectedness: Passwords for Public Journalism (Stamenkovic, 2014:138). Jay Rosen
menuturkan tembakan utama jurnalisme publik adalah pada upaya untuk mengurangi jurang
ganda: diskoneksi audiens dengan politik dan diskoneksi jurnalisme dengan audiens (Nip,
2006:213). Jurang ganda itu menjadi titik tolak upaya Wichita Eagle sebagaimana yang ditulis pada
paragraf pertama artikel ini, yaitu warga apatis dengan politik, dan jurnalis buta persoalan nyata
yang dihadapi warga. Senada dengan Rosen, sejumlah sarjana memetakan adanya empat
diskoneksi terkait dengan “kepublikan” (publicness) jurnalisme (Heikkila & Kunelius, 1996; Dzur,
2002; Arant & Meyer, 1998; Nip, 2006).
Diskonektivitas pertama adalah politik kehilangan relevansi dari kehidupan sehari-hari
warga. Pemerintahan nampak tak bertujuan dan pemilihan-pemilihan berlangsung tanpa isu.

Kedua, publik terbelah ke beragam afiliasi sosial dan kultural, seperti ras, agama, pendapatan,
tempat tinggal, pendidikan, rasa berkomunitas, akses terhadap media dan sebagainya.
Konsekuensi dari hal itu publik memiliki suara beragam atas suatu isu. Bagaimana jurnalisme
semestinya menjembatani banyak suara itu? Ketiga, peneliti jurnalisme dan para jurnalis tidak
saling mengerti satu sama lain. Titik temu pemahaman bersama jarang tercipta. Untuk masalah
itu, Rosen meyakinkan bahwa jurnalisme publik juga dapat menjadi ruang bagi publik untuk
mencari pengetahuan bersama (public scholarship) (Heikkila & Kunnelius, 1996:82). Harapan
Rosen itu bukan tidak mungkin sebab Denzin bahkan terinspirasi dari kiprah jurnalisme publik
ketika ia menyusun konsep sosiologi sipil (1996:748).
Terakhir, dan yang mungkin paling penting terkait jurnalisme: jurnalisme berjarak dari
audiensnya sendiri. Aura bergengsi profesi jurnalisme nampak laksana “istana” yang berbeda dari

19

istana para elit politik. Jurnalisme menyampaikan kritisisme semata-mata berdasarkan standar
internal dan tidak menangkap kekuatiran-kekuatiran nyata publik. Jurnalisme tradisional berkutat
pada nilai keadilan, keberimbangan, dan obyektivitas yang sesungguhnya adalah keterputusan/
keberjarakan (detachment) (John III, 2007). Elemen-elemen itu memang membangun kredibilitas
pers, terutama di mata pengiklan yang ingin produknya terpampang di media kredibel. Secara
paradoks, kejaran untuk obyektivitas menghambat jurnalis untuk menyertakan bagaimana warga

dapat membantu atau mencari solusi atas masalah yang diliput.
Keprihatinan terhadap diskonektivitas jurnalisme, warga, dan politik itu melatari lahirnya
konsep jurnalisme publik. Jurnalisme publik, menurut Voakes, “dimulai dengan pertimbangan apa
yang akan memperbaiki kehidupan publik, daripada apa yang akan menjadi berita bagus, dan hal
itu mencerminkan komitmen terhadap problem komunitas...” (Ryan, 2001:13). Davis Merritt editor
Eagle menggambarkan jurnalisme publik sebagai “sebuah filosofi eksperimental pada pencarian
ekspresi tercetak” (Arant & Meyer, 1998:207). Jurnalisme publik berupaya mengembalikan dan
menguatkan apa yang menjadi misi jurnalisme. Rosen (1995:35) menyatakan bahwa jurnalisme
publik adalah mengenai tugas yang benar dari pers yang menyebar pada jurnalisme Amerika dan
melibatkan orang maupun institusi dalam satu gerakan.
Sarjana lain mendefinisikan jurnalisme publik sebagai berikut:

....as journalism that listens to the stories and ideas of citizens and that provides alternative
frames on important community issues; frames that stimulate citizen deliberation and build
public understanding of issues. It also advances public knowledge of solutions and values
served by alternative courses of action.
...sebagai jurnalisme yang menyimak kisah-kisah dan ide-ide dari warga dan menyediakan
bingkai-bingkai alernatif untuk isu-isu penting warga; bingkai-bingkai yang merangsang
deliberasi warga dan membangun pemahaman publik atas banyak isu. Ini (jurnalisme
publik, pen-) juga menunjukkan pengetahuan publik tentang sejumlah solusi dan nilai yang
diusung banyak kelompok aksi.
(Lambeth dalam Page, 1997:26).

Page (1997:26) sendiri

memandang jurnalisme publik bertujuan untuk membuat

pandangan alternatif terdengar, membangun pemahaman dan merangsang deliberasi, dan
membantu memimpin komunitas melalui masa krisis. Albert Dzur (2002:315) menekankan bahwa
jurnalisme publik mengambil arah yang berbeda dari pelaporan tradisional. Sebab, jurnalisme
publik menyimak suara publik dalam proses pencarian berita, memproduksi berita yang bertujuan,
dan mendorong munculnya dialog publik. Jurnalisme publik secara tautologis menekankan nilainilai mendasar yang –seharusnya telah- terkandung pada jurnalisme Amerika (Arent & Meyer,
1998). Amandemen Pertama di AS menitahkan pers berkewajiban bertanggungjawab pada publik,
membela kepentingan publik seperti di wilayah pendidikan, makanan, kesehatan, hukum, terutama
ketika kepentingan publik terancam (Tebbel, 1966: 82-85).
Sebagai jurnalisme yang memiliki tujuan kepublikan, tidak berlebihan apabila jurnalisme
publik secara inheren mengemban misi politik. Karakter jurnalisme publik di mana ia merekoneksi
jurnalis dengan warga menunjukkan adanya upaya jurnalis tidak segan menunjukkan

20

kepentingannya (Gunaratne, 1998:80). Jurnalisme publik memiliki agenda untuk meningkatkan
partisipasi warga dalam proses politik. Jurnalisme publik turut memilih sejumlah isu yang dianggap
lebih penting daripada isu yang lainnya. Glasser menegaskan hal tersebut:

Without a fully articulated newsroom agenda, journalists and the public alike are cheated
out of what they need most from the press: a candid account of why some issues receive
more attention than others—and why, alas, some issues receive no attention at all. Without
this, without an intelligible and defensible political agenda, journalism lacks meaning and
order.
(Glasser, 2000:685).

Berdasarkan beragam definisi, makna dan historisitas jurnalisme Amerika Serikat,
jurnalisme publik setidaknya memilki sejumlah ciri. Karakter

jurnalisme publik itu apabila

dibandingkan dengan karakter jurnalisme tradisional antara lain:

Ciri 1. Memandang Audiens sebagai Warga. Inilah cara pandang mendasar jurnalisme
publik terhadap audiens. Audiens tidak dianggap semata-mata sebagai konsumen,
melainkan warga yang memiliki hak maupun kewajiban politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Hak dan kewajiban warga itu adalah kepentingan warga. Implikasi dari cara
pandang tersebut adalah jurnalis publik bekerja untuk audiens sebagai warga yang
berkepentingan tersebut, bukan audiens sebagai konsumen. Konsumen adalah audiens
pasif yang terpapar konten industri hiburan. Ia baru mengapresiasi berita manakala berita
itu menghiburnya. Warga adalah audiens aktif yang menghargai informasi dan
memanfaatkannya untuk kehidupan personal maupun sosial (Meijer, 2001).

Ciri 2. Masalah Publik Dasar Maupun Kompleks. Jurnalisme publik menyajikan
informasi-informasi substansial yang mendasar maupun kompleks, masalah dan solusi
terkait kebijakan publik, bukan penonjolan sensasionalitas dan irasionalitas.
Setidaknya terdapat dua tipe isu yang menjadi perhatian jurnalisme publik.
Pertama, isu kebijakan berdampak jangka panjang. Dzur (2002:317) menegaskan bahwa
jurnalisme publik mengkover isu-isu kebijakan yang bersifat jangka panjang misalnya
proteksi lingkungan. Jurnalisme publik tidak bisa sekali dua kali meliput isu kebijakan
jangka panjang sebab isu-isu tersebut mencakup kebijakan yang memberi konsekuensi
penting bagi komunitas dan kompleks atau tak bisa cukup ruang untuk diterbitkan dalam
siklus berita normal.
Kedua, isu informasi sipil dasar. Untuk dapat membuat keputusan apalagi terlibat
dalam dialog publik, warga harus memahami informasi dasar mengenai struktur
pemerintah dan peran-peran badan-badan dan jabatan publik, kapan agenda-agenda
rapat komunitas diselenggarakan, jadwal peristiwa publik, alur waktu keputusan politik,
dan pemilihan yang berpengaruh pada publik (Dzur, ibid.).
Jurnalisme publik tidak terjebak pada berita-berita politik prosedural apalagi
penonjolan pada sensasionalitas dan irasionalitas laiknya yang terjadi pada jurnalisme

21

tradisional. Pemberitaan media arus utama pada pilpres AS lalu jelas menonjolkan
pernyataan-pernyataan provokatif daripada memberikan konteks, juga tidak memeriksa
tindakan-tindakan nyata para kandidat (Pachico, 2016; Edkins, 2016). Jurnalisme publik
berupaya menunjukkan penyebab masalah sekaligus memberikan sejumlah alternatif
jalan keluar atas masalah tersebut (Ryan, 2001). Pada akhirnya, isu apa yang
disampaikan dan siapa saja yang menjadi sumber laporan, serta solusi yang muncul lebih
menentukan tingkat relevansi jurnalisme publik pada kebutuhan nyata warga ketimbang
melaporkan sesuatu secara akurat dan objekif belaka.
Menyajikan informasi yang substansial juga tidak semata-mata berarti jurnalisme
mengumupulkan, memilih, dan mengutip data yang berdampak publik, melainkan juga
turut terlibat langsung dalam pencarian pengetahuan tersebut (inquiry). Mengutip
pernyataan-pernyataan sensasional atau substansial adalah sama saja: menyerahkan
kepada pihak lain untuk menyelidiki sesuatu. Jurnalisme publik mendorong jurnalis untuk
menggayung ‘air’ dari ‘lautan’, bukan dari bak penampungan hujan. Apa yang terjadi pada
media di AS selama proses pilpres menunjukkan media gemar mengutip data dari pihak
lain, tidak mencaritahunya sendiri. Media terbiasa mengumpulkan data dari para polster
politik yang ‘memprediksi’ pemenang pilpres. Kebiasaan itu menjebak media untuk
‘dipengaruhi’ oleh sumber-sumber yang memiliki otoritas tertentu –dalam hal ini polster—
sehingga berita yang dihasilkan hanyalah membenturkan klaim-klaim sumber berita.

Ciri 3. Kolaborasi. Pelibatan publik dalam penentuan dan penyusunan berita sebab
media mendengarkan publik dan memahami adanya pluralisme publik. Pelaporan fakta
secara akurat tidak cukup.
Jurnalisme publik memiliki ciri jurnalis dan warga berkolaborasi dalam proses
penyusunan berita. Contoh kolaborasi adalah pembaca menyarankan topik untuk
diberitakan atau sumber-sumber alternatif yang perlu dikutip. Audiens dapa bekerja
dengan jurnalis dengan melakukan riset komplementer dan menulis bersama kisah-kisah
itu (Annany & Kreiss, 2011:325).
Alih-alih dipicu oleh agenda para pemegang kuasa dan jabatan, pimpinan parpol,
dan sumber-sumber elit, berita semestinya merefleksikan kepentingan-kepentingan
warga. Menyimak publik mencakup mencaritahu apa yang menjadi perhatian di komunitas
baru melaporkan bagaimana perhatian tersebut terpenui atau tidak terpenuhi (Dzur,
2002:316). Selama ini, jurnalisme tradisional menganggap sudah mengerti apa yang
dibutuhkan para pembacanya. Padahal, jurnalis tidak mencaritahu dan para pembaca
tidak memberi feedback sebab mereka terlanjur menjadi warga yang pasif. Dalam
peristiwa terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS ke-45, kecenderungan jurnalis
untuk tidak mencaritahu langsung kepada warga nampak nyata. Pachico (2016)
menengarai media-media (cetak) lokal pun kehabisan energi untuk menggali komunitaskomunitasnya sendiri karena masalah finansial yang membelit. Media AS tidak
menangkap nalar publik yang tengah berlangsung pada proses pilpres tersebut, misalnya

22

warga mengesampingkan guyonan kebohongan Trump –yang oleh media ditonjolkan—
dan menginterpretasi pesan-pesan yang mereka terima melalui media atau secara sosial
lainnya terkait semua kandidat.
Pelibatan publik ini bertumpu pada sejumlah asumsi. Pertama, “media dan
jurnalisme memiliki kuasa (power) dan kuasa itu berupa pengaruh terhadap publik.” Pada
sisi lain, jurnalis berkomitmen pada kepentingan publik. Kombinasi dari keduanya adalah
jurnalis dan media dapat menggunakan kuasa itu untuk mengimbangi kuasa dari rezim
pemerintah maupun kelompok mayoritas. Jurnalis harus benar-benar mendatangi warga
dari beragam kalangan dan mendengarkan keterangan mereka. Mendengarkan publik
tidaklah sama dengan menerjemahkan opini mayoritas ke dalam berita, melainkan
menemukan konsern-konsern semua faksi bertentangan maupun moderat di warga,
terutama faksi yang kerap terabaikan oleh sistem dan media. Kedua, media memahami
struktur komunitas. Media tidak dapat diterima tanpa adanya nilai-nilai yang dibagi
bersama dengan komunitas di mana ia hidup. Karenanya, penting bagi media untuk
memahami institusi-institusi, fasilitas, sumber daya ruang-ruang publik dan membuatnya
lebih dapat diakses oleh warga (Lowrey, Brozana, McKay, 2008:291).
Secara prinsip, jurnalisme publik mengizinkan bahkan mensyaratkan para jurnalis
berpartisipasi dalam porses-proses sosial dengan begitu jurnalis terhubung kembali
dengan kehidupan publik (Ryan, 2001:13). Merrit mengatakan para jurnalis harus
mengesampigkan sejumlah karakteristik jurnalisme konvensional, terutama asumsi bahwa
obyektivitas mengarah pada peningkatan kredibilitas media (Ryan, ibid.). Jurnalisme
tradisional berpuas diri pada pelaporan fakta yang akurat. Dalam pandangan pengusung
jurnalisme publik, hal itu tidaklah cukup. Banyak peristiwa, kasus, fenomena dapat
dilaporkan secara akurat. Praktik atas prinsip obyektivitas seakan kelewat batas sampai
jurnalis tampak seperti mesin tak berempati pada publik.

Ciri 4. Transparansi & Akuntabilitas. Berbeda dari jurnalisme tradisional yang mana
otoritas media begitu besar sebagai sesuatu yang given maupun diatur oleh Undangundang, otoritas jurnalisme publik terbentuk manakala media bersangkutan transparan
dan akuntabel.
Komitmen pertama dari jurnalisme publik adalah pada transparansi dan
akuntabilitas. Transparansi berarti proses jurnalistik, idealisme, dan prinsip-prinsip terbuka
untuk diketahui publik sebelum, selama, dan setelah konten berita tercipta (Annany &
Kreiss, 2011:323). Terkait dengan transparansi adalah konsep akuntabilitas yaitu
komunikasi publik yang berlangsung dapat diketahui muasal (komunikator) dan tujuan
(resipien) maupun segala pihak yang terdampak dalam komunikasi tersebut (Annany &
Kreiss, 2011:324). Akuntabilitas dapat dilindungi oleh hukum, regulasi, pasar publik,
maupun profesional. Transparansi proses dan prinsip yang membimbing praktek
jurnalisme tidaklah cukup, warga memerlukan akses untuk memastikan organisasi berita
dan jurnalis menunjukkan bagaimana cara mereka bekerja melayani publik, misalnya

23

organisasi berita melaporkan dari mana saja pendanaan yang mereka dapat untuk
mengongkosi penyusunan berita, dan membuka diri bagi siapa pun untuk mengakses
data-data yang menjadi acuan mereka untuk menyusun berita.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas itu mencegah organisasi berita dan jurnalis
menyusun berita dari sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan
mendorong jurnalis untuk mengumpulkan informasinya sendiri. Organisasi berita
seringkali tidak percaya diri untuk melaporkan pernyataan-pernyataan warga tanpa
disertai data polling pada suatu proses politik. Bersandar pada hasil polling nyatanya tidak
selalu menunjukkan realitas. Polling pra-pilpres AS selalu menunjukkan Hillary Clinton
mengungguli Donald Trump. Jurnalis lantas menyingkirkan catatannya yang berisikan
suara-suara warga yang berpihak terhadap Trump (The Economist, 2016).

Ciri 5. Deliberasi atau penguatan musyawarah publik dan pluralisme. Media tidak
terpaku pada keterangan-keterangan para elit belaka.
Jurnalis tidak cukup hanya melaporkan. Lebih jauh dari itu, jurnalis publik perlu
meluaskan peran mereka mencakup membantu publik memberikan perhatian dan
bertukar pikiran mengenai urusan-urusan publik. Media juga perlu memperhatikan adanya
keberagaman suara dan pandangan serta ketidaksetaraan kuasa di masyarakat atau
komunitas. Jurnalis publik harus mendukung dan memungkinkan terjadinya keberagaman
aspirasi (Lowrey, Brozana, McKay, 2008:291). Keberagaman sudut pandang itu juga
diatur oleh jurnalisme publik menjadi representasi kohesif yang dapat dipahami anggota
masyarakat ( ibid.). Mengakomodasi keberagaman perspektif publik dapat mengimbangi
kecenderungan audiens yang memilih media yang merefleksikan aspirainya yang sudah
ada sebelumnya. Perilaku media arus utama AS yang terlalu berpihak pada Hillary Clinton
justru menjadi bumerang bagi para pemilih non-demokrat. Mereka akhirnya mencari
informasi dari sumber-sumber jurnalisme maupun non-jurnalisme lainnya.
Praktek nyata dari pelibatan publik ini dijabarkan oleh para editor dan reporter dari
Virginian Pilot pada Program Annenberg Washington, 1995 (Hume, 1996:50). Hal-hal yang
dilakukan jurnalis publik adalah:
-

Mencari warga yang memiliki pandangan moderat atau middle, selain dua

kelompok ekstrim;
-

Membingkai peristiwa-peristiwa yang dialami warga sehari-hari, bukan hanya

menjadikan kesaksian warga sebagai asesoris berita politik;
-

Menggunakan emosi-emosi warga untuk menunjukkan bagaimana proses warga

bersepakat pada keputusan-keputusan, bukan menjadikan emosi warga sebagai warna
untuk mengomentari suatu isu;
-

Menggambarkan nilai-nilai yang mendasari warga berpendapat atas suatu isu,

termasuk area-area abu-abu berikut kompleksitasnya, daripada sekedar mengambarkan
konfliknya saja;

24

-

Menghargai pengetahuan warga selain menyampaikan siapa, apa, mengapa,

kapan, dan di mana, juga menjelaskan mengapa warga perlu memerhatikan isu tersebut;
-

Mencoba mengeksplorasi bagaimana orang mengatasi isu, menyarankan solusi-

solusi yang memungkinkan di mana pembaca mungkin ingin berperan (Hume, 1996:50).
Dalam perspektif jurnalisme publik, jurnalisme tradisional melemahkan ruang
dialog sebab sumber-sumber elit lebih kerap dikutip untuk memberi justifikasi atas
sebuah solusi ketimbang sumber-sumber warga minoritas dan ahli yang netral. Karena
sumber-sumber terbatas pada kelompok tertentu, dialog dan musyawarah tidak tercipta.
Contoh dari ciri terakhir ini adalah adanya diskusi publik dengan para jurnalis mengenai
kisah-kisah mereka melalui beragam forum dan organisasi berita mendokumentasi
bagaimana laporan dimanfaatkan atau membantu diskusi di antara warga, kelompok
sipil, pemerintah, korporasi, dan para pemangku kepentingan lain (Annany & Kreiss,
2011:324).
Ciri-ciri jurnalisme publik di atas sebetulnya banyak yang beririsan dengan jurnalisme berkualitas
terutama dalam hal spirit yang melatari lahirnya kedua istilah itu yaitu pentingnya warga
mengetahui apa yang terjadi di masyarakat dan jurnalisme bertanggungjawab menyediakan
pengetahuan tersebut (Vehko, 2010; Raivio, 2011). Diskusi mengenai keterkaitan jurnalisme publik
dan jurnalisme berkualitas dipaparkan oleh Lisa Lindawati pada Bab “Menakar ‘Kepentingan
Publik’ dalam Jurnalisme Berkualitas.”

Sejumlah Kritik dan Pembelaan
Meski gerakan jurnalisme publik mendapatkan sejumlah simpati dan dukungan dari
kalangan jurnalis dan akademisi, konsep-konsep yang diusungnya tak sepenuhnya bebas dari
kritik. Sejumlah kritik yang terentang dari aspek kapital, nilai, relasional, ontologi, opini publik,
struktural, dan praktek. Sebagai sebuah gerakan reformasi, jurnalisme publik dianggap belum
mampu mengangkat derajat otonomi profesional dan memberikan manfaat okupasional jurnalis
(McDevitt, 2002). Jurnalisme publik menekankan pada pelibatan publik padahal keprihatinan awal
penggeraknya terletak pada storytelling atau news narrative jurnalisme konvensional yang
menunjukkan “cool neutrality” dan “detachment” (Parisi, 1997). Berikut ini adalah rangkuman
sejumlah kritik dan respon atas kritik tersebut.

Definisi dan praktek jurnalisme publik tidak jelas
Kritikus menganggap terlalu banyak versi yang disebut jurnalisme publik. Bahkan
pendukung teori jurnalisme publik itu sendiri mengakui sejumlah eksperimennya mungkin
tidak tepat dan belum mampu menjelaskan apa yang menjadi standar untuk menyebut
suatu jurnalisme sebagai jurnalisme publik yang absah (Dzur, 2002: 323). Terakhir,
praktek jurnalisme publik itu sendiri berlangsung buruk dan dirancang dengan buruk, atau
bahkan malah ditujukan hanya untuk meningkatkan oplah belaka atau memuaskan
pemasang iklan daripada menguatkan musyawarah publik (Romano, 2010:3).

25

Kritik tersebut menunjukkan kegagapan jurnalis atas pendekatan baru dalam
proses jurnalistik. Selama ini, jurnalis konvensional terbiasa mencampuradukkan
objektivitas dengan kuasa atau otonomi mereka sebagai jurnalis. Memilih isu mana yang
diangkat, siapa yang diwawancara, informasi apa yang ditampilkan selama ini selalu
menjadi domain otonomi jurnalis konvensional. Jurnalisme publik menantang para jurnalis
menyadari kekuatannya dalam mempengaruhi agenda publik, dan karenanya perlu
berbagi kuasa atau otonomi tersebut dengan warga. Caranya adalah dengan menjalankan
tiga prinsip yaitu public listening dalam proses newsgathering, memproduksi berita yang
purposeful, dan menstimulasi munculnya dialog publik (Dzur, 2002).
Perbedaan praktek jurnalisme publik dan konvensional juga sangat nyata. Alihalih bertumpu pada sumber-sumber arus utama selama ini seperti pemerintah, politisi, ahli,
orang-orang berkuasa dan elit lainnya, jurnalis publik mendatangi warga dan mencari tahu
apa yang ingin mereka tahu, menyertakan pandangan-pandangan tersebut dalam
pemberitaan (Haas & Steiner, 2006).

Charlotte Observer melakukan polling dan

mewawancarai para penduduk di kota berangka kriminal tertinggi untuk memahami
masalah kriminal dari pandangan para penghuni, mencari sulusi, dan menghubungkan
dengan pihak-pihak yang mampu mengambil kebijakan. Virginian Pilot menyelenggarakan
ngobrol-ngobrol komunitas antara para reporter dan perwakilan semua elemen warga
untuk mendiskusikan masalah publik. Hal itu menghasilkan pemberitaan yang berbeda
dari dokumen-dokumen resmi pemerintah dan konferensi-konferensi pers. Colorado
Springs Gazette menyajikan empat versi dari peristiwa yang sama, ditulis oleh perwakilan
dari empat elemen publik dari komunitas yang berbeda.

Kritik terhadap aspek kapital
Jurnalisme publik mengabaikan konteks ekonomi dan orientasi profit media
padahal jurnalisme publik membutuhkan sumber daya waktu dan finansial yang lebih
besar ketimbang praktek tradisional jurnalisme yang rutin dan terukur (Dzur, 2002: 319).
Para pengkritik mengkuatirkan lamanya waktu dan dana yang tak sedikit untuk
mempromosikan deliberasi publik melalui riset seperti polling berulang untuk satu isu dan
diskusi publik dengan peneliti dan moderator (Meyer, 1995). Kritik itu dibantah oleh sarjana
lain. Alih-alih tidak menyadari konteks ekonomi dan orientasi profit, jurnalisme publik justru
menarik perhatian pembaca, karenanya menarik bagi pemasang iklan dan pengelola
media (Haas & Steiner, 2006:244). Sejumlah riset menunjukkan bahwa eksekutif media
yang

memberikan

perhatian

pada

tanggung

jawab

sosial

justru

cenderung

mempraktekkan jurnalisme publik dan media tersebut tak segan menginvestasikan kapital
untuk mendukung deliberasi publik (Haas & Steiner, ibid.). Sebagai sebuah gerakan,
jurnalisme publik dapat dipandang sebagai sebuah ekspresi kekuatiran para jurnalis
mengenai

bagaimana

tekanan-tekanan

di

ekstra-jurnalisme

terutama

ekonomi

mengganggu otonomi profesional jurnalis dan mengabaikan kualitas liputan berita (Haas
& Steiner, 2002).

26

Otoritas jurnalis sebagai pengusung objektivitas melemah
Laporan jurnalisme publik beresiko tidak cukup meyakinkan pembaca mengenai
komitmen jurnalisme pada kebenaran (Dzur, 2002: 319). Otoritas jurnalis dalam
menunjukkan obyektivitas melemah sebab fokus jurnalisme publik bukanlah mengatakan
“kebenaran” melainkan menguatkan suatu posisi (Dzur, ibid.). Bahkan jurnalisme publik di
mata sejumlah kritikus nampak tidak berbeda dari propaganda (John III, 2007).
Substansi kritik tersebut diragukan Haas & Steiner (2006). Alih-alih otoritas jurnalis
publik lebih lemah daripada jurnalis konvensional, otoritas jurnalis publik meningkat karena
jurnalisme publik mementingkan kepentingan yang melampaui dirinya dan tidak
memandang pembaca sebagai konsumen melainkan warga (Haas & Steiner, 2006: 247248). Otoritas jurnalis publik diredifinisi dari detachment menuju attachment dalam bentuk
kolaborasi jurnalis publik dengan warga dalam menyusun isu. Jurnalis publik menjadikan
kebutuhan warga sebagai prioritas, bukan kebutuhan jurnalisme menjadi profesional
belaka. Selain itu, jurnalis publik tetap berkuasa untuk menentukan elemen warga yang
dibutuhkan dalam mendiskusikan sebuah isu.

Jurnalisme publik tidak mencapai konsensus
Jurnalisme publik dianggap tidak mungkin diwujudkan pada masyarakat yang
plural sebab hanya sedikit saja bagian dari masyarakat plural yang dapat saling berbagi
nilai-nilai bersama (Page, 2007). Rendahnya nilai-nilai bersama itu berresiko dialog
berlangsung tiada akhir dan justru malah tidak menemukan solusi. Jurnalisme publik juga
mengandung resiko dampak pembentukan opini (Dzur, 2002). Resiko bandwagonism
terjadi apabila jurnalis publik tersebut terpaku pada suara-suara terkeras pada ruangruang diskusi publik, dan sengaja atau tidak mengabaikan suara-suara minoritas, entah
karena minoritas enggan berbicara, tidak hadir di forum publik, atau lemah suaranya
sehingga diabaikan (Dzur, 2002). Sebaliknya, resiko conventionalism mengancam
jurnalisme publik sebab publik plural mungkin tidak ingin menyampaikan hal-hal yang
membuat mereka tidak terlalu nyaman sehingga jurnalis tidak dapat menggali hal-hal yang
memang penting untuk didiskusikan publik (Dzur, 2002).
Menemukan konsensus di antara ragam kelompok dan distribusi kuasa memang
bukan hal mudah. Penting disadari oleh jurnalis publik bahwa ranah publik merupakan
domain diskursif yang mengkompromikan beragam wacana dari banyak kelompok di
mana mereka dapat mendiskusikan masalah di antara mereka (Haas & Steiner,
2006:247). Jurnalisme publik karenanya perlu mendukung munculnya kesadaran bahwa
tidak hanya masing-masing kelompok memiliki keberagaman kepeningan, melainkan
sejumlah kepentingan berhak mendapakan dukungan lebih banyak daripada kepentingan
yang lain, juga kelompok subordinat dapat menikmati kesempatan sebagaimana yang

27

dinikmati kelompok dominan dalam mengartikulasikan konsern. Jurnalisme publik
menunjukkan ketidaksetaran sosial yang selama ini laten.

Jurnalisme publik berperan berlebihan dan tidak tepat dengan menjadi problem
solver
Interdependensi antara jurnalis dan publik terletak pada kolaborasi kedua belah
pihak untuk menyelesaikan masalah publik. Ide tersebut dikritisi sebab partisipasi jurnalis
dalam problem solving mengesankan jurnalisme lebih besar dari demokrasi itu sendiri.
Terhadap demokrasi, jurnalisme publik bermaksud untuk menginformasi, mengawasi dan
mengkritik urusan-urusan publik. Hal itu menjadikan jurnalisme berupaya memperbaiki
pemerintah dan melakukan segalanya hingga menjadikan diri sendiri seperti ‘pemerintah’
(Dzur, 2002). Meski cara berpartisipasi dipertanyakan, hal itu lantas tidak menghapus
peran jurnalisme publik dalam masyarakat. Yang paling penting menurut Haas & Steiner
(2006:249) adalah jurnalis dapat mengidentifikasi masalah dapat diatasi secara sukarela
oleh warga atau memerlukan pendekatan yang lebih dalam, sistemik, atau masalah dapat
diatasi oleh intervensi lokal, atau memerlukan intervensi regional, negara, atau bahkan
internasional.
Pemetaan sumber masalah dan solusi tersebut juga terkait dengan kritik bahwa
jurnalisme publik mengandaikan masalah selalu dapat diatasi oleh publik lokal itu sendiri.
Hal itu dibantah oleh Haas & Steiner (ibid.). Menurutnya, jurnalis publik menyadari bahwa
intervensi atas masalah bergantung pada cakupan masalah serta jurnalisme publik
membantu mengatasi masalah sesuai dengan cakupan tersebut. Misalnya, jurnalis dapat
memfasiliasi upya warga lokal dalam merancang dan solusi apabila cakupan masalah
memang pada level lokal. Apabila masalah memerlukan intervensi lebih luas, jurnalis
dapat merangsang warga untuk bergabung dengan organisasi sipil yang lebih besar dan
mendorong warga untuk menguatkan intervensi sistemik yang lebih besar. Pada kedua
kasus tersebut, jika warga enggan bertindak, liputan atas isu harus memberikan tekanan
pada aktor-aktor dan institusi-institusi yang relevan. Solusi atas masalah disadari
jurnalisme publik tidak hanya pada level kebijakan, melainkan juga keterlibatan aktif publik.
Penting bagi jurnalisme publik untuk melakukan forum-forum deliberatif yang konsisten
daripada diskusi-diskusi ad-hoc (Haas & Steiner, 2006).

Keberhasilan jurnalisme publik tetap bergantung pada persepsi publik
Kritik lainnya adalah segetih apa pun para jurnalis publik mempraktekkan
jurnalisme publik dan sebesar apa pun dukungan yang mereka dapatkan dari manajeman,
persepsi para pembaca, pendengar, dan pemirsa atas berita-berita yang dihasilkan turut
menentukan kredibilitas jurnalisme publik itu (Bro, 2010:43). Persepsi publik atas berita
turut menentukan keberhasilan jurnalis dalam mendorong partisipasi publik. Substansi
kritik tersebut – meski benar— tidak menghapus faktor interdependensi publik dan jurnalis.
Kritik itu justru menegaskan hal penting dalam konsep jurnalisme publik yaitu elemen

28

kepentingan publik dan opini publik menjadi konsideran integral dalam proses jurnalisme
publik.
Jurnalisme publik kesulitan membangun konsep “common reasoning” yang
koheren
Para kritikus memandang konsep jurnalisme publik tidak dibangun di fondasi
filosofis yang koheren, apakah di pandangan komunitarian, atau libertarian (Haas &
Steiner 2006: 245). Dalam kerangka demokrasi komunitarian, publik berbagi visi yang
sama mengenai kebaikan umum (common good). Sayangnya, kerangka demokrasi
komunitarian menyepelekan manfaat dari keberagaman pandangan maupun konflik
kepentingan. Sementara itu, kerangka demokrasi libertarian menilai jurnalisme publik
menempatkan warga sebagai individu-individu yang hanya sedikit berbagi kesamaan
pandangan. Yang lebih penting adalah kebebasan memilih dan bersuara, bukan pada
kesamaan. Liberalisme memiliki kekurangan pada ketidakmampuan untuk menciptakan
perasaan kuat di antara warga untuk bergabung dalam suatu deliberasi dan aksi.
Haas & Steiner (ibid.) tidak merisaukan di kerangka manakah jurnalisme publik
akan ditempatkan. Menurut keduanya, hal yang paling penting adalah “publik
berpendapat” itu sendiri dan semua anggota masyarakat berkomitmen untuk terlibat dalam
pemikiran bersama (common reasoning). Jurnalisme publik membuat semua pihak
berbicara atas isu, mendiskusikan isu bukan

peristiwa. Jurnalisme publik dapat

membangun common reasoning melalui diskusi kelompok, pertemuan di balaikota dan
sebagainya untuk merangsang warga berbicara memikirkan masalah dan solusi bersama.
Secara substansi, common reasoning tersebut muncul manakala jurnalisme publik
memiliki fokus pada masalah dan solusi, bukan pada peristiwa-peristiwa belaka (Haas &
Steiner, ibid.).

Jurnalisme publik tidak berbeda dari jurnalisme baik (good/ quality journalism)
Sejumlah sarjana juga meragukan bahwa jurnalisme publik dan konvensional
sepenuhnya dua hal yang berbeda. Jurnalisme konvensional yang berkualitas (good,
quality) akan menghasilkan berita yang layak disebut jurnalisme publik. Pendapat itu
barangkali tidak salah sebab jurnalisme publik sendiri tidak mengabaikan faktor “kualitas”
–yang berkembang pada perbincangan jurnalisme berkualitas— sebagai faktor yang hadir
dalam jurnalisme publik, dan jurnalisme berkualitas mungkin juga menimbang elemen
kepentingan publik5. Akan tetapi, banyak pihak menginterpretasikan jurnalisme berkualitas
secara beragam sehingga untuk sulit mencari kepastian perbedaan dan kesamaan
dengan jurnalisme publik6. Persamaan utama jurnalisme berkualitas dan jurnalisme publik
terletak pada pengarusutamaan isu-isu publik yang signifikan di bidang politik, hubungan
5

Terutama dalam penelitian yang dilakukan tim riset Digi-Journalism, kriteria kualitas maupun publik
dikombinasikan untuk memindai kualitas jurnalisme online Indonesia. Hal itu dipaparkan Lisa Lindawati di
buku ini.
6
Tulisan Kuskrido Ambardi pada buku ini memaparkan sejumlah kriteria untuk jurnalisme berkualitas.

29

internasional, ekonomi, kesejahteraan sosial, upaya-upaya kebudayaan, pendidikan, dan
ilmu pengetahuan (Vehko, 2010; Dzur 2002).
Raivio (2011) mewawancarai sejumlah editor dan jurnalis media pers papan atas
di Inggris dan Finlandia. Ia ingin tahu bagaimana para editor dan jurnalis tersebut
mendefinisikan jurnalisme berkualitas. Raivio (2011) menemukan bahwa hanya 12 %
editor dan jurnalis yang ia wawancarai menghubungkan jurnalisme berkualitas dengan
ftujuan-tujuan mulia jurnalisme (higher aims) misalnya membela kepentingan publik,
menjadi anjing penjaga dan memiliki dampak sosietal. Dalam pemikiran sebagian besar
informan, jurnalisme berkualitas lebih berhubungan dengan newsgathering untuk
mencapai akurasi dilakukan dan storytelling tersaji secara memikat, dan humoris.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa meski jurnalisme berkualitas mengidealkan
integrasi pemahaman ideal atas tujuan jurnalisme dalam praktek jurnalistik (Raivio, 2011,
Vehko, 2010), secara riil hal itu tidak menjadi elemen yang paling diasosiasikan oleh para
informan terkait jurnalisme berkualitas 7. Hal itu menggambarkan bahwa “jurnalisme
berkualitas” tidak cukup mengingatkan para jurnalis pada titik pentingnya kolaborasi
jurnalis dengan warga maupun menjadikan jurnalis lebih attached terhadap komunitasnya.
Pada titik tersebutlah jurnalisme berkualitas dan jurnalisme publik berbeda. Perbedaan
lainnya adalah jurnalisme berkualitas tidak mendiskusikan dari manakah sumber ide untuk
isu-isu yang dikover jurnalis sementara jurnalisme publik menekankan pentingnya warga
memberikan usulan tentang isu yang selama ini terlewatkan untuk diliput (Dzur, 2002).

Terlepas dari kritik dan pembelaan atas jurnalisme publik tersebut, Bob Steele (2010)
mengingatkan bahwa perdebatan perlu dikembalikan ke esensi jurnalisme itu sendiri.
Permasalahan jurnalisme bukanlah pada reporter perlu menjadi investigator kegagalan sistem
atau fasilitator solusi, pengamat berjarak atau partisipan aktif, maupun anjing penjaga independen
atau penyelenggara forum publik. Polarisasi tersebut justru mengaburkan isu yang lebih penting
menurut Steele (2002) yaitu menerapkan prinsip independensi sebagai panduan dalam melayani
kepentingan warga dan masyarakat. Menurutnya, di segala jenis jurnalisme, independensi jurnalis
diperlukan untuk menjaga tanggung jawab jurnalis dalam menenangkan konflik dan mengusik
kemapanan (comfort the afflicted and afflict the comfortable.) Steele (2002) menyatakan tugas
jurnalis itu tidak dapat dibandingkan dengan profesi-profesi lain sebab jurnalis bertanggungjawab
untuk megumpulkan informasi dan menampilkannya kepada publik mencari kebenaran dan
melaporkannya seutuh mungkin. Dengan memelihara integritas diri, merelakan kepentingan diri
dan mengutamakan kepentingan komunitas dan masyarakat jurnalis telah bekerja independen
sekaligus memihak kepentingan publik sebagaimana yang didambakan jurnalisme publik.
7

Vehko (2010) memaparkan definisi jurnalisme berkualitas menurut J.C. Merril, B. Kovach dan T.
Rosenstiel, serta M. Schudson. Masing-masing pihak memaparkan elemen jurnalisme berkualitas tanpa
meninggalkan nilai dan fungsi ideal jurnalisme seperti “setia terhadap warga”, “menyediakan forum publik
dan kompromi”, “memberikan kerangka interpretasi untuk memahami dunia”, “menunjukkan empati sosial”,
“memobilisasi warga untuk perubahan”, dan “mempengaruhi opinion leaders.” Vehko (2010) juga mengutip
pemikiran L. Bogart, P. Meyer, dan R.G. Picard yang menunjukkan sejumlah praktek jurnalistik maupun
pengelolaan newsroom yang tergolong jurnalisme berkualitas.

30

Penutup
Jurnalisme publik di AS kini tak banyak mendapatkan perhatian dari akademisi maupun
praktisi jurnalisme meski pada era awal kemunculannya jurnalisme publik berhasil memikat media
pers dan para jurnalis di AS yang kemudian menerapkannya. ‘Penurunan’ pengaruh jurnalisme
publik adalah suatu hal yang perlu dibahas khusus. Dengan menguatnya kompetisi antar
orga