Relasi Sosial Moralis Guru dan Murid Stu
RELASI SOSIAL MORALIS GURU DAN MURID SEBAGAI
PIJAKAN SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
(Studi Pemikiran Pendidikan Az-Zarnuji)
Oleh: Fatoni Ihsan1
Abstrak
Pendidikan adalah proses transformasi pengetahuan dan keterampilan, yang
terjadi dalam relasi sosial para aktor pendidikan yakni guru dan murid. Relasi
sosial guru dan murid dalam pandangan kitab ta’limul muta’allim terutama
yang telah dipelajari kalangan pesantren yang ditulis oleh Az-Zarnuji, berisi
sikap ideal bagi para penuntut ilmu (murid) mengenai tata aturan sebagai
seorang murid yang baik. Menurutnya, pendidikan tentang etika dan cara
berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran, adalah
kunci pembelajaran yang ideal. Yaitu murid dapat mengaplikasikan ilmu dan
mengembangkannya menjadi bermanfaat. Guru yang menyadari statusnya
sebagai orang yang dijadikan teladan, dan murid menghormati guru karena
kharismanya serta kepentingan untuk mendapatkan sebuah ilmu dari guru
tersebut. Dengan itu, pendidikan moralis akan menjadi air segar bagi
kegersangan sistem pendidikan Indonesia yang hampa makna. Sebagaimana
pendidikan etika menandai periode keemasan di Cina pada permulaan tahun
1.500 S. M.
Pendahuluan
Perkembangan suatu masyarakat berjalan lurus dengan perkembangan
tingkat pendidikan. Sebabnya ialah kebudayaan dalam suatu peradaban masyarakat
tercipta atas proses pendidikan. Melihat secara khusus lembaga pendidikan di
Indonesia saat ini amatlah bervariasi. Wujudnya yaitu tersebarnya sekolah negeri,
swasta, pondok pesantren, sekolah minggu, PKBM, maupun sekolah yang didirikan
oleh community development. Namun pada tahun 2014, media sering
mempublikasikan beberapa kasus amoral yang mencoreng wajah pendidikan di
Indonesia terutama dilakukan oleh aktor pendidikan. Mulai dari kasus pencubitan
anak oleh teman dari semua kelas atas perintah guru di Jawa Timur (20/11/2014),
1
Mahamurid Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
No Registrasi 4815120325.
1
skandal pesta sabu dosen UNHAS dan mahasiswi (16/11/2014), dan pelanggaran
HAM di JIS (18/04/2014).
Indonesia di abad 21 berada di ambang modernisasi dan globalisasi. Arus
informasi, cara hidup masa kini, maupun kebudayaan yang notabene nya adalah
impor dari negara lain, mempunyai dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat
Indonesia. Menjadi hal yang positif bila masyarakat Indonesia berhasil mengadopsi
kebaikan dari arus yang ditimbulkan modernisasi dan globalisasi seperti kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun akan menjadi malapetaka bila ketiga arus
tersebut tidak bisa dikendalikan dan bebas memasuki sendi kehidupan yang
kemudian merusak konformitas. Beberapa masalah tersebut akan muncul sebagai
refleksi atas: Pertama , kegagalan dunia pendidikan mentransformasikan
kebudayaan. Kedua , terciptanya identitas aktor pendidikan yang tidak bijak dalam
bersikap dan beradab. Kedua masalah tersebut bila dibiarkan berkembang, akan
menjadi ancaman yang menandai keruntuhan sistem pendidikan Indonesia.
Kasus-kasus serupa pada umumnya terjadi di sekolah-sekolah umum yang
kontrol sosialnya berdasarkan aturan tertulis dari pemerintah. Jika sekolah-sekolah
umum dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren,
terdapat beberapa paradigma pembelajaran yang berbeda. Sementara itu, ketika
santri baru memasuki dunia pesantren, maka buku yang diperkenalkan sebagai
bimbingan belajar adalah kitab ta ’limul muta’allim (bimbingan bagi penuntut ilmu
pengetahuan). Buku tersebut menjadi pegangan wajib santri sebagai pedoman
belajar, baik ketika masih menjadi santri maupun telah lulus dan menempuh
pendidikan lanjut. Buku ini hanya terkenal di kalangan pesantren, sedangkan di
sekolah negeri tidak pernah diperkenalkan. Kondisi demikian menghasilkan
hipothesa dengan kenyataan adanya perbedaan sikap moral dan keilmuan yang
dimiliki oleh para alumni pesantren dengan alumni non pesantren.2 Sumber
perbedaannya ialah karakteristik kitab ta ’limul muta’allim yang ajarannya sarat
dengan nilai moral spiritual, yang kemudian mengkonstruksi sikap keilmuan para
Az Zarnuji, 2007. Ta’li ul Muta’alli , terje aha Aliy As ad. Kudus: Me ara Kudus, sampul
belakang.
2
2
alumni pesantren. Sebuah kitab yang syarat akan nilai moral tersebut disusun oleh
Burhanuddin Az-Zarnuji, yang hidup sekitar abad ke-12 dan awal abad ke-13 M
pada masa Bani Abbasiyah. Seorang tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap
proses belajar. Dalam kitab ta ’limul muta’allim nya itu, dia mengedepankan
pendidikan tentang etika dan cara berhubungan dengan aktor pendidikan ketika
proses
pembelajaran.
Zarnuji
mengisyaratkan
proses
pendidikan
yang
penekanannya pada kesadaran peran antara guru dan murid sebagai asas sentral
terutama dalam gaya pendidikan Islam. Dari perbedaan itulah dapat ditarik
kesimpulan bahwa, apapun lembaga pendidikannya – baik formal maupun
nonformal, namun terdapat kesamaan pijakan dasar dalam mengukur keberhasilan
sebuah sistem pendidikan, yakni relasi sosial antara guru dan murid yang
merupakan lingkup terkecil berjalannya sistem pendidikan.
Untuk mendeskripsikan relasi sosial moralis antara guru dan murid dalam studi
pemikiran Zarnuji tersebut, sistematika tulisan ini meliputi pembahasan tentang (1)
Relasi Sosial Normatif Guru dan Murid. (2) Relasi Sosial Moralis dalam Kitab
Ta’limul Muta’allim. (3) Relasi Sosial Moralis sebagai Pijakan Keberhasilan
Sistem Pendidikan. Dan (4), Simpulan.
Relasi Sosial Normatif Guru dan Murid
Pendidikan dalam perspektif global, merupakan proses transformasi
pengetahuan dan keterampilan. Kedua proses tersebut terjadi dalam relasi sosial
para aktor pendidikan yakni guru dan murid. Menarik konteks ke-Indonesia-an,
dalam sistem pendidikan Indonesia antara guru dan murid telah dijelaskan hak dan
kewajibannya dalam Undang-Undang Pendidikan. Selanjutnya akan dipaparkan
terlebih dulu pengertian guru dan murid menurut Undang-Undang Pendidikan
Indonesia.
3
Pasal 1, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan
bahwa:3 “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan
menengah.” Sedangkan murid (peserta didik), menurut UU RI No. 3 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa:4 “Peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenis, dan jenjang pendidikan tertentu.”
Kajian terhadap pendidikan, dimulai dari ranah dasar terjadinya proses
pendidikan yaitu kegiatan transformasi pengetahuan antara guru dengan murid.
Guru mempunyai status dan peran yang dipandang penting memiliki pengaruh
besar terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Karena guru berada diposisi
terdepan yang berinteraksi langsung dengan murid sebagai subyek pendidikan.
Sementara itu, murid sebagai subyek didik memiliki pribadi yang otonom, memiliki
potensi untuk ditumbuhkembangkan, serta memiliki permasalahan yang dijumpai
dalam hidupnya. Maka dibutuhkan sebuah aktor pendidikan yang bertugas untuk
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan murid untuk menemukan solusi
atas permasalahan hidupnya. Relasi sosial guru dan murid juga mempunyai tujuan
dalam pendidikan nasional, yaitu: berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.5
Relasi Sosial Moralis dalam Kitab Ta’limul Muta’allim
Sejarah dan konteks sosial
3
Eman Surachman dan Devi Septiandini, 2013. Bahan Ajar Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta,
hal. 96.
4
Ibid, hal. 86.
5
Sepenggal UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, yang dikutip dalam Eman Surachman, 2014.
Manajemen Pendidikan. Jakarta, hal. 5.
4
Kitab ta ’limul muta’allim yang telah dipelajari kalangan pesantren, pokokpokok bahasannya berisi sikap ideal bagi para penuntut ilmu (murid) mengenai tata
aturan sebagai seorang murid yang baik. Selain itu dalam kitab tersebut diatur
bagaimana seharusnya sikap guru baik saat proses pembelajaran, maupun diluar
konteks pembelajaran. Ada suatu pasal yang mengatur secara khusus pola interaksi
dan umumnya relasi sosial yang ideal antara guru dan murid. Relasi sosial yang
dilandasi atas penghormatan seorang murid kepada guru karena kharismanya yang
mempunyai status sosial ahli ilmu. Sebagaimana yang terukir dalam syair dalam
kitabnya ta ’limul muta’allim yang berbunyi:
“esu gguh ya guru da dokter, kedua-duanya tidak bakalan
mendiagnosa jika tidak dihormati. Jika kau abaikan dokter,
sabarkanlah penyakitmu. Jika kau abaikan guru, terimalah
ke odoha u. 6
Sebuah kitab yang syarat akan nilai moral tersebut disusun oleh
Burhanuddin Az-Zarnuji, yang hidup sekitar abad ke-12 dan awal abad ke-13 M
pada masa Bani Abbasiyah. Seorang tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap
proses belajar. Sekilas mengenai tokoh tersebut, Az-Zarnuji adalah nama marga
yang diambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj.7 Dalam kitab
ta ’limul muta’allim nya itu, dia mengedepankan pendidikan tentang etika dan cara
berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran. Zarnuji
mengisyaratkan proses pendidikan yang penekanannya pada kesadaran peran antara
guru dan murid sebagai asas sentral terutama dalam gaya pendidikan Islam.
Konteks sosial Az-Zarnuji yang melatarbelakangi penyusunan kitab
ta ’limul muta’allim nya yaitu diawali karena banyaknya para pencari ilmu (murid)
yang dia nilai tidak mendapat ilmu. Atau yang mendapat ilmu, tapi tidak mendapat
kemanfaatan
dari
ilmu
yang
dipelajari
murid
tersebut.
Penyebab
ketidakbermanfaatan ilmu tersebut menurutnya atas faktor kurangnya etika mencari
ilmu, dan etika berkomunikasi dengan guru. Jika dikaitkan dengan konteks kekinian
6
Az-Zarnuji, op, cit., hal. 42.
Muztaba, 2014. Skrispsi: Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi Pemikiran Syekh Az-Zarnuji
dalam Kita Ta’li ul Muta’alli . Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, hal. 28.
7
5
permasalahan pendidikan di Indonesia yang kasusnya meliputi skandal pesta sabu
dosen UNHAS dan mahasiswi, pelanggaran HAM di JIS, dan lain sebagainya,
maka Zarnuji menawarkan pemecahan masalah bahwa fenomena demikian akibat
dekadensi moral para murid dan pendidik yang kita rasakan saat ini.
Kandungan Kitab pada Relasi Sosial Moralis
Kitab talimul muta’allim merupakan satu-satunya sumber primer yang
ditulis oleh Zarnuji. Secara keseluruhan, kitab ini berisi etika-etika dan moral – bagi
guru dan murid – agar tercipta hasil pembelajaran yang ideal menurutnya. Yaitu
dapat mengaplikasikan ilmu dan mengembangkannya menjadi bermanfaat. Dalam
menjabarkan pemikiran pendidikannya yang moralis, kitab ini disusun dengan
berisi 13 pasal: 1. Pengertian ilmu, fiqih, dan keutamaannya. 2. Niat dalam belajar.
3. Memilih ilmu, guru, teman, dan tentang ketabahan. 4. Penghormatan terhadap
ilmu dan ulama. 5. Ketekunan, kontinuitas, dan minat. 6. Permulaan belajar,
kuantitas, dan tata tertib belajar. 7. Tawakkal. 8. Keberhasilan. 9. Kasih sayang, dan
nasihat. 10. Istifadah. 11. Waro’ ketika belajar. 12. Penyebab hafal dan penyebab
lupa. 13. Sumber dan penghambat rizki, penambah dan pemotong usia. Tulisan ini
akan memfokuskan pada relasi sosial yang moralis antara guru dan murid, dengan
menganalisis pasal-pasal tersebut dari sudut pandang sosiologi.
Mendeskripsikan mengenai isi kandungan kitab tersebut yang fokus pada
relasi sosial moralis guru dan murid, secara khusus tertera dalam pasal 3 – memilih
ilmu, guru, teman, dan tentang ketabahan. Dalam pasal tersebut, awalnya akan
dibahas pada subpasal ‘Memilih Guru’. Pada sistem pendidikan Indonesia, profesi
guru dipegang oleh seseorang yang memenuhi indikator-indikator tertentu yang
telah distandardisasi. Indikator-indikator tersebut menyangkut kompetensi
kepribadian, sosial, pedagogik, dan professionalitas yang semuanya sudah tersusun
dalam stadar pendidik dan tenaga kependidikan. Namun berbeda dengan model
pendidikan (lebih khususnya pendidikan Islam) yang ditawarkan dalam kitab
ta’limul muta’allim karangan Az-Zarnuji. Seseorang yang menjadi guru8, atau
8
Dalam term kitab ta’li ul
uta’alli , guru disebut de ga istilah ula a.
6
memilih seorang guru mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Seperti pernyataan AzZarnuji berikut:
Dala hal e ilih guru, he daklah e ilih siapa ya g le ih ali ,
le ih waro’, da le ih erusia, seperti hal ya I a A u Ha ifah
menjatuhkan pilihannya pada Hammad bin Sulaiman setelah terlebih
dahulu erfikir da
e perti a gka .9
Juga dilanjutkan dalam pernyataan berikutnya:
Kata eliau; saya e e uka eliau seora g guru ya g luhur,
santun, dan penyabar disegala urusan .10
Berdasarkan pernyataan di atas, kriteria guru dan memilih seorang guru
dapat dirumuskan yaitu: ‘Alim (ahli ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi
luhur, pribadi santun, dan penyabar. Apabila kriteria-kriteria demikian dimiliki oleh
seorang guru, maka akan menjadikan guru tersebut berwibawa di mata muridnya.
Melihat dari perspektif mikrososiologi, dalam konsep tindakan sosial yang
dikemukakan oleh Max Weber dapat dideskripsikan. Bahwa pandangan demikian
terhadap seorang guru, akan berpengaruh pada relasi sosial terutama dengan
muridnya, yakni saat menjalankan perannya di dalam proses pembelajaran.
Tindakan sosial yang dilakukannya memiliki makna subyektif dan tergolong tipe
tindakan rasional nilai yang secara konseptual didasari oleh kesadaran atas
keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan
nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya.
Contohnya adalah kontekstual kitab ini yang diterapkan di pondok pesantren, maka
seorang guru menunjuk pada sebutan kyai, ustadz, atau ‘ulama yang mengajar di
pondok pesantren. Guru yang mengajar di pondok pesantren tersebut dapat
dikatakan telah memiliki beberapa kriteria guru dalam kitab ta’limul muta’allim,
dan kegiatan pembelajaran mereka selalu dipertimbangkan atas keyakinankeyakinan agama. Karena buktinya posisi mereka sebagai guru masih
dipertahankan.
9
Az-Zarnuji, op. cit., hal 26.
Ibid, hal. 27.
10
7
Selain guru, kitab ta’limul muta’allim ini juga membahas bagaimana relasi
sosial murid terhadap guru yang telah diatur sedemikian rupa dalam pasal 4,
subpasal ‘Menghormati Guru’. Sebagaimana pesan Az-Zarnuji dalam kitab
tersebut:
“alah satu ara e uliaka il u adalah e uliaka sa g Guru
sebagaimana Sy. Ali, kw, berkata: Saya menjadi hamba, bagi orang
yang mengajariku satu huruf ilmu; terserah ia mau menjualku,
memerdekakan atau tetap menjadikan aku se agai ha a .11
Az-Zarnuji mengisyaratkan kepada murid yang ingin belajar, agar
mendapat ilmunya maka salah satu tindakan sosial terhadap gurunya yaitu dengan
memposisikan dirinya sebagai hamba bagi gurunya. Jelas bahwa murid atau santri
yang mengaplikasikan pesan Zarnuji tersebut, tindakan sosialnya bertipe
rasionalitas nilai. Karena tindakan yang didasari oleh kesadaran atas keyakinan
mengenai nilai-nilai moral yang baik sebagai seorang murid yang menuntut ilmu
kepada guru. Sehingga kesadaran terhadap nilai itulah yang mempengaruhi tingkah
lakunya saat berelasi dengan guru. Mengenai sikap ini, Zarnuji menambahkan
pernyataannya:
“aya erpe dapat ahwa hak sa g Guru adalah hak ya g pali g
hakiki, yang wajib terjaga oleh setiap muslim. Demi memuliakan,
perlu dihadiahkan kepadanya seribu dirham untuk satu huruf
pelajara ya .12
Guru yang dipandang telah memenuhi kriteria yang telah disebutkan dalam
kitab ta’limul muta’allim, yakni seorang guru ideal bersyarat ‘Alim (ahli ilmu),
wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur, pribadi santun, dan penyabar, telah
melegalisasinya secara langsung maupun tidak langsung kepada sebuah otoritas
dalam relasi sosialnya terutama dengan murid. Otoritas yang dimiliki guru ini
bertipe kharismatik, yaitu wewenang seseorang yang diberikan oleh para murid dan
pengikut dalam kepercayaan bahwa kekuasaan guru itu mengalir dari berkah yang
luar biasa, sebuah istilah teologis analisis Weber. Kharisma guru yang telah
11
12
Ibid, hal. 36.
Ibid, hal. 37.
8
terkonstruksi itu, direspon dengan sikap murid yang bersedia seolah memposisikan
dirinya sebagai hamba yang mempunyai kebutuhan atas guru tersebut, yaitu
kebutuhan mendapatkan ilmu dari proses belajar. Zarnuji mendefinisikan
kebutuhan
murid
yaitu
mengatasi
urusannya
kepada
seorang
guru,
“Musyawarahkanlah urusanmu dengan mereka yang takut kepada Allah”.13
Sedangkan mengacu pada Syarah ta’limul muta’allim bahwa yang dimaksud orang
yang takut kepada Allah, adalah ‘Ulama, ahli ilmu, atau guru. Saat proses
pembelajaran dan berinteraksi dengan guru, murid melakukan tindakan rasional
nilai, yang mendefinisikan guru sebagai seseorang yang berkarisma karena
memiliki pribadi luhur, sopan, santun, dan penyabar. Sehingga sosok guru
cenderung berkarisma dengan ciri-ciri yang menonjol tersebut. Terlebih atas pesan
moral untuk murid, yang telah diutarakan Zarnuji dalam bersikap menghargai guru.
Relasi Sosial Moralis sebagai Pijakan Keberhasilan Sistem Pendidikan
Menurut perspektif mikrososiologi, masyarakat dipahami sebagai kesatuan
unit yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang dilakukan oleh para aktor baik
dalam bentuk antar individu, antar kelompok, maupun individu dengan kelompok,
di dalamnya terkandung maksud mempengaruhi tindakan sosial dan cara berpikir.
Pola berpikir dan pola bertindak masyarakat yang mereka peroleh dengan belajar,
menghasilkan suatu bentuk kebudayaan. Itulah hal ihwal mengapa setiap manusia
bersifat unik, karena setiap manusia mempunyai tipe kebudayaan idealnya.
Kebudayaan masyarakat diperoleh dengan cara belajar, dengan demikian
pendidikan merupakan keniscayaan dalam suatu masyarakat, karena perkembangan
kebudayaan berjalan lurus dengan perkembangan pendidikan suatu masyarakat.
Lihatlah perbedaan pendidikan masyarakat maju dengan masyarakat berkembang.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, “hanya di
dalam
13
realitas
masyarakat
yang
memiliki
kesadaran
akan
pentingnya
Ibid, hal 29.
9
perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, maka peradaban dan nilai-nilai
budaya konstruktif dapat ditegakan.”14
Dalam konteks ke-Indonesia-an, pendidikan telah dimanajemen sebagai
sebuah sistem. Secara normatif, berikut struktur pendidikan sebagai sebuah sistem
(di Indonesia):15
1.Peserta didik
Sisdiknas, kurikulum, bhn.ajar, sumber,
media, strategi/metode, manajemen,
sarana pra sarana
Minat
Bakat
Motivasi
Kondisi fisik
Kondisi psikis
PROSES PENDIDIKAN &
PEMBELAJARAN
2.Bahan ajar
Ilmu pngthn
Nilai & norma
Teknologi
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengendalian
Penilaian
Lingkungan Fisik
Lingkungan Sosial budaya
1. Geografis
1. Keluarga/masyarakat
2. Klimatologis
2. Perkembangan IPTEK
PENDIDIK/
GURU
OUT PUT
Kualitas
Kuantitas
3. Politik, keamanan & ekonomi
Kontribusi seorang guru sebagai tenaga fungsional yang memiliki peran
fundamental dalam proses pembelajaran, menopang amanah negara demi
menjadikan manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Kesadaran akan peran guru bukan hanya sebagai pengajar, melainkan pendidik
untuk memanusiakan manusia. Tanpa kesadaran itu maka pendidikan menjadi
hampa, kosong, dan tak bermakna. Subyek pembelajaran yaitu peserta didik,
motivasi mereka ketika datang ke sekolah tentu berbeda. Ada yang sekadar
14
Irwandar, dalam jurnal komunitas UNJ Ahmad Tarmiji. Meretas Jalan Sosiologi Pendidikan Ibnu
Khaldun: Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan Nasionalisme. Jakarta, hal. 51.
15
Eman Surachman, 2014. Bahan Ajar Manajemen Pendidikan. Jakarta, hal. 2.
10
menggugurkan kewajiban, namun ada juga yang memiliki motivasi meraih ilmu.
Motivasi pendidik dan peserta didik sangat menentukan arah dan hasil
pembelajaran, apakah hidup sebagai manusia yang sekadar menggugurkan
kewajiban, ataukah menjadi manusia seutuhnya yang berakal.
Berjalannya sistem pendidikan Indonesia, ditentukan oleh pola relasi
pembelajaran antara aktor-aktor pendidikan, yaitu relasi sosial guru dan murid.
Secara keseluruhan, Zarnuji melihat etika-etika dan moral – bagi guru dan murid –
di sekolah maupun di luar sekolah – adalah kunci hasil pembelajaran yang ideal.
Yaitu murid dapat mengaplikasikan ilmu dan mengembangkannya menjadi
bermanfaat. Untuk menciptakan pola relasi sosial yang dimaksudnya Zarnuji, ada
beberapa syarat dan sikap yang harus dipenuhi bagi seorang guru, yaitu: ‘Alim (ahli
ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur, pribadi santun, dan penyabar.
Sedangkan sikap murid adalah bersedia seolah memposisikan dirinya sebagai
hamba yang mempunyai kebutuhan atas guru tersebut, yaitu kebutuhan
mendapatkan ilmu dari proses belajar dengan cara bermusyawarah dengan guru.
Seorang guru yang telah memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan
Zarnuji, maka menjadikan guru itu sosok yang menonjol, berwibawa, dan
melegalisasinya secara langsung maupun tidak langsung pada sebuah otoritas
kharismatik. Kepercayaan bahwa guru patut dihormati karena kekuasaannya yang
mengandung berkah. Pandangan demikian berdampak pada relasi sosial saat proses
pembelajaran. Terciptanya relasi sosial yang efektif, rasa saling menghormati
kedudukan masing-masing aktor pendidikan. Guru yang menyadari statusnya
sebagai orang yang dijadikan teladan, dan murid menghormati guru karena
kharismanya serta kepentingan untuk mendapatkan sebuah ilmu dari guru tersebut.
Pada titik ini pendidikan moralis sebenarnya telah ada di Indonesia, terutama
dikalangan pondok pesantren. Mengkaji dan menghidupkan kembali literatur klasik
yang teraplikasi dalam salah satu sudut pendidikan Indonesia, akan menjadi air
segar bagi kegersangan sistem pendidikan yang hampa makna. Yakni proses
pembelajaran yang ditopang dengan nilai-nilai moral.
11
Tradisi pendidikan yang moralis telah terbukti memberikan basis ideologi
yang mengakar, dan mampu menopang sistem pendidikan suatu negara dengan
jangka waktu berabad-abad. Saksi sejarahnya adalah negara Cina. Sejarah Cina
sekitar 5.000 tahun yang lalu memposisikannya sebagai salah satu negara yang
memiliki peradaban maju tertua di dunia. Penemuan-penemuan arkeologi telah
mengungkapkan kecermelangan dan kemajuan kebudayaan Cina pada permulaan
tahun 1.500 S. M.16 Sebagai salah satu periode paling kreatif di Cina dalam bidang
seni, kesusastraan, dan filsafat. Tokoh-tokoh ahli pikir Cina sepanjang masa yang
menandai periode keemasan ini adalah – Lao Tze, Konfusius (nama Latin untuk
K’ung-fu-tze), Mo Tze, dan Mensius (nama Latin untuk Meng-Tze) – beserta ajaran
mereka.17
Cina mewariskan dua kontribusi yang penting dan kekal bagi
kebudayaan Asia Timur. Pertama adalah sistem etika yang mencakup
segala hal; prinsip-prinsip dalam sistem etika itu bahkan
mempengaruhi unsur-unsur kehidupan sehari-hari. Kedua adalah
bahasa tulisan yang menjadi sarana untuk mempelajari sistem etika
tersebut.18
Simpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa. Pendidikan dalam
perspektif global, merupakan proses transformasi pengetahuan dan keterampilan
yang terjadi dalam relasi sosial para aktor pendidikan yakni guru dan murid. Guru
dipandang mempunyai status dan peran yang pandang penting memiliki pengaruh
besar terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Sedangkan murid sebagai
subyek didik memiliki pribadi yang otonom, memiliki potensi untuk
ditumbuhkembangkan, serta memiliki permasalahan yang dijumpai dalam
hidupnya. Secara khusus relasi sosial guru dan murid tersebut dalam pandangan
kitab ta ’limul muta’allim yang telah dipelajari kalangan pesantren, berisi sikap ideal
16
I. N. Thut dan Don Adams, 2005. Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 375.
17
Ibid, hal. 376.
18
Ibid.
12
bagi para penuntut ilmu (murid) mengenai tata aturan sebagai seorang murid yang
baik. Relasi sosial yang dilandasi atas penghormatan seorang murid kepada guru
karena kharismanya yang mempunyai status sosial ahli ilmu. Dalam kitab ta ’limul
muta’allim yang ditulis Az-Zarnuji, dia mengedepankan pendidikan tentang etika
dan cara berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran. Zarnuji
mengisyaratkan proses pendidikan yang penekanannya pada kesadaran peran antara
guru dan murid sebagai asas sentral terutama dalam gaya pendidikan Islam, adalah
kunci hasil pembelajaran yang ideal. Yaitu murid dapat mengaplikasikan ilmu dan
mengembangkannya menjadi bermanfaat. Untuk menciptakan pola relasi sosial
yang dimaksudnya Zarnuji, ada beberapa syarat dan sikap yang harus dipenuhi bagi
seorang guru, yaitu: ‘Alim (ahli ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur,
pribadi santun, dan penyabar. Sedangkan sikap murid adalah bersedia seolah
memposisikan dirinya sebagai hamba yang mempunyai kebutuhan atas guru
tersebut, yaitu kebutuhan mendapatkan ilmu dari proses belajar dengan cara
bermusyawarah dengan guru. Terciptanya relasi sosial yang efektif, rasa saling
menghormati kedudukan masing-masing aktor pendidikan. Guru yang menyadari
statusnya sebagai orang yang dijadikan teladan, dan murid menghormati guru
karena kharismanya serta kepentingan untuk mendapatkan sebuah ilmu dari guru
tersebut. Pendidikan moralis, yakni proses pembelajaran yang ditopang dengan
nilai-nilai moral. akan menjadi air segar bagi kegersangan sistem pendidikan
Indonesia yang hampa makna. Sebagai contoh periode keemasan di Cina pada
permulaan tahun 1.500 S. M dalam bidang seni, kesusastraan, dan filsafat yang
ditopang oleh pendidikan etika.
13
Daftar Pustaka
Abercrombie, N., Hill, S., & Turner, B. S. (2010). Kamus Sosiologi. (D. NoviyanI, E.
Adinugraha, & R. Widada, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Az-Zarnuji. (2007). Terjemah Ta'limul Muta'allim. (A. As'ad, Penerj.) Kudus: Menara
Kudus.
Ibrahim bin Ismail. (t.thn.). Syarah Ta'limul Muta'allim. Darul 'Ilm.
Muztaba. (2014). Skripsi: Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi Pemikiran Syekh AzZarnuji dalam Kitab Ta'limul Muta'allim). Jakarta.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2012). TEORI SOSIOLOGI Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. (Nurhadi, Penerj.) Bantul:
Kreasi Wacana.
Surachman, E. (2014). Bahan Ajar Manajemen Pendidikan. Jakarta.
Surachman, E., & Septiandini, D. (2012). Bahan Ajar Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta.
Tarmiji, A. (t.thn.). Meretas Jalan Sosiologi Pendidikan Ibnu Khaldun: Antara Pendidikan
Karakter dan Pendidikan Nasionalisme. Komunitas, 45-49.
Thut, I. N., & Adams, D. (2005). Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer. (
SPA Teamwork, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
14
PIJAKAN SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
(Studi Pemikiran Pendidikan Az-Zarnuji)
Oleh: Fatoni Ihsan1
Abstrak
Pendidikan adalah proses transformasi pengetahuan dan keterampilan, yang
terjadi dalam relasi sosial para aktor pendidikan yakni guru dan murid. Relasi
sosial guru dan murid dalam pandangan kitab ta’limul muta’allim terutama
yang telah dipelajari kalangan pesantren yang ditulis oleh Az-Zarnuji, berisi
sikap ideal bagi para penuntut ilmu (murid) mengenai tata aturan sebagai
seorang murid yang baik. Menurutnya, pendidikan tentang etika dan cara
berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran, adalah
kunci pembelajaran yang ideal. Yaitu murid dapat mengaplikasikan ilmu dan
mengembangkannya menjadi bermanfaat. Guru yang menyadari statusnya
sebagai orang yang dijadikan teladan, dan murid menghormati guru karena
kharismanya serta kepentingan untuk mendapatkan sebuah ilmu dari guru
tersebut. Dengan itu, pendidikan moralis akan menjadi air segar bagi
kegersangan sistem pendidikan Indonesia yang hampa makna. Sebagaimana
pendidikan etika menandai periode keemasan di Cina pada permulaan tahun
1.500 S. M.
Pendahuluan
Perkembangan suatu masyarakat berjalan lurus dengan perkembangan
tingkat pendidikan. Sebabnya ialah kebudayaan dalam suatu peradaban masyarakat
tercipta atas proses pendidikan. Melihat secara khusus lembaga pendidikan di
Indonesia saat ini amatlah bervariasi. Wujudnya yaitu tersebarnya sekolah negeri,
swasta, pondok pesantren, sekolah minggu, PKBM, maupun sekolah yang didirikan
oleh community development. Namun pada tahun 2014, media sering
mempublikasikan beberapa kasus amoral yang mencoreng wajah pendidikan di
Indonesia terutama dilakukan oleh aktor pendidikan. Mulai dari kasus pencubitan
anak oleh teman dari semua kelas atas perintah guru di Jawa Timur (20/11/2014),
1
Mahamurid Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
No Registrasi 4815120325.
1
skandal pesta sabu dosen UNHAS dan mahasiswi (16/11/2014), dan pelanggaran
HAM di JIS (18/04/2014).
Indonesia di abad 21 berada di ambang modernisasi dan globalisasi. Arus
informasi, cara hidup masa kini, maupun kebudayaan yang notabene nya adalah
impor dari negara lain, mempunyai dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat
Indonesia. Menjadi hal yang positif bila masyarakat Indonesia berhasil mengadopsi
kebaikan dari arus yang ditimbulkan modernisasi dan globalisasi seperti kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun akan menjadi malapetaka bila ketiga arus
tersebut tidak bisa dikendalikan dan bebas memasuki sendi kehidupan yang
kemudian merusak konformitas. Beberapa masalah tersebut akan muncul sebagai
refleksi atas: Pertama , kegagalan dunia pendidikan mentransformasikan
kebudayaan. Kedua , terciptanya identitas aktor pendidikan yang tidak bijak dalam
bersikap dan beradab. Kedua masalah tersebut bila dibiarkan berkembang, akan
menjadi ancaman yang menandai keruntuhan sistem pendidikan Indonesia.
Kasus-kasus serupa pada umumnya terjadi di sekolah-sekolah umum yang
kontrol sosialnya berdasarkan aturan tertulis dari pemerintah. Jika sekolah-sekolah
umum dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren,
terdapat beberapa paradigma pembelajaran yang berbeda. Sementara itu, ketika
santri baru memasuki dunia pesantren, maka buku yang diperkenalkan sebagai
bimbingan belajar adalah kitab ta ’limul muta’allim (bimbingan bagi penuntut ilmu
pengetahuan). Buku tersebut menjadi pegangan wajib santri sebagai pedoman
belajar, baik ketika masih menjadi santri maupun telah lulus dan menempuh
pendidikan lanjut. Buku ini hanya terkenal di kalangan pesantren, sedangkan di
sekolah negeri tidak pernah diperkenalkan. Kondisi demikian menghasilkan
hipothesa dengan kenyataan adanya perbedaan sikap moral dan keilmuan yang
dimiliki oleh para alumni pesantren dengan alumni non pesantren.2 Sumber
perbedaannya ialah karakteristik kitab ta ’limul muta’allim yang ajarannya sarat
dengan nilai moral spiritual, yang kemudian mengkonstruksi sikap keilmuan para
Az Zarnuji, 2007. Ta’li ul Muta’alli , terje aha Aliy As ad. Kudus: Me ara Kudus, sampul
belakang.
2
2
alumni pesantren. Sebuah kitab yang syarat akan nilai moral tersebut disusun oleh
Burhanuddin Az-Zarnuji, yang hidup sekitar abad ke-12 dan awal abad ke-13 M
pada masa Bani Abbasiyah. Seorang tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap
proses belajar. Dalam kitab ta ’limul muta’allim nya itu, dia mengedepankan
pendidikan tentang etika dan cara berhubungan dengan aktor pendidikan ketika
proses
pembelajaran.
Zarnuji
mengisyaratkan
proses
pendidikan
yang
penekanannya pada kesadaran peran antara guru dan murid sebagai asas sentral
terutama dalam gaya pendidikan Islam. Dari perbedaan itulah dapat ditarik
kesimpulan bahwa, apapun lembaga pendidikannya – baik formal maupun
nonformal, namun terdapat kesamaan pijakan dasar dalam mengukur keberhasilan
sebuah sistem pendidikan, yakni relasi sosial antara guru dan murid yang
merupakan lingkup terkecil berjalannya sistem pendidikan.
Untuk mendeskripsikan relasi sosial moralis antara guru dan murid dalam studi
pemikiran Zarnuji tersebut, sistematika tulisan ini meliputi pembahasan tentang (1)
Relasi Sosial Normatif Guru dan Murid. (2) Relasi Sosial Moralis dalam Kitab
Ta’limul Muta’allim. (3) Relasi Sosial Moralis sebagai Pijakan Keberhasilan
Sistem Pendidikan. Dan (4), Simpulan.
Relasi Sosial Normatif Guru dan Murid
Pendidikan dalam perspektif global, merupakan proses transformasi
pengetahuan dan keterampilan. Kedua proses tersebut terjadi dalam relasi sosial
para aktor pendidikan yakni guru dan murid. Menarik konteks ke-Indonesia-an,
dalam sistem pendidikan Indonesia antara guru dan murid telah dijelaskan hak dan
kewajibannya dalam Undang-Undang Pendidikan. Selanjutnya akan dipaparkan
terlebih dulu pengertian guru dan murid menurut Undang-Undang Pendidikan
Indonesia.
3
Pasal 1, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan
bahwa:3 “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan
menengah.” Sedangkan murid (peserta didik), menurut UU RI No. 3 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa:4 “Peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenis, dan jenjang pendidikan tertentu.”
Kajian terhadap pendidikan, dimulai dari ranah dasar terjadinya proses
pendidikan yaitu kegiatan transformasi pengetahuan antara guru dengan murid.
Guru mempunyai status dan peran yang dipandang penting memiliki pengaruh
besar terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Karena guru berada diposisi
terdepan yang berinteraksi langsung dengan murid sebagai subyek pendidikan.
Sementara itu, murid sebagai subyek didik memiliki pribadi yang otonom, memiliki
potensi untuk ditumbuhkembangkan, serta memiliki permasalahan yang dijumpai
dalam hidupnya. Maka dibutuhkan sebuah aktor pendidikan yang bertugas untuk
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan murid untuk menemukan solusi
atas permasalahan hidupnya. Relasi sosial guru dan murid juga mempunyai tujuan
dalam pendidikan nasional, yaitu: berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.5
Relasi Sosial Moralis dalam Kitab Ta’limul Muta’allim
Sejarah dan konteks sosial
3
Eman Surachman dan Devi Septiandini, 2013. Bahan Ajar Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta,
hal. 96.
4
Ibid, hal. 86.
5
Sepenggal UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, yang dikutip dalam Eman Surachman, 2014.
Manajemen Pendidikan. Jakarta, hal. 5.
4
Kitab ta ’limul muta’allim yang telah dipelajari kalangan pesantren, pokokpokok bahasannya berisi sikap ideal bagi para penuntut ilmu (murid) mengenai tata
aturan sebagai seorang murid yang baik. Selain itu dalam kitab tersebut diatur
bagaimana seharusnya sikap guru baik saat proses pembelajaran, maupun diluar
konteks pembelajaran. Ada suatu pasal yang mengatur secara khusus pola interaksi
dan umumnya relasi sosial yang ideal antara guru dan murid. Relasi sosial yang
dilandasi atas penghormatan seorang murid kepada guru karena kharismanya yang
mempunyai status sosial ahli ilmu. Sebagaimana yang terukir dalam syair dalam
kitabnya ta ’limul muta’allim yang berbunyi:
“esu gguh ya guru da dokter, kedua-duanya tidak bakalan
mendiagnosa jika tidak dihormati. Jika kau abaikan dokter,
sabarkanlah penyakitmu. Jika kau abaikan guru, terimalah
ke odoha u. 6
Sebuah kitab yang syarat akan nilai moral tersebut disusun oleh
Burhanuddin Az-Zarnuji, yang hidup sekitar abad ke-12 dan awal abad ke-13 M
pada masa Bani Abbasiyah. Seorang tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap
proses belajar. Sekilas mengenai tokoh tersebut, Az-Zarnuji adalah nama marga
yang diambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj.7 Dalam kitab
ta ’limul muta’allim nya itu, dia mengedepankan pendidikan tentang etika dan cara
berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran. Zarnuji
mengisyaratkan proses pendidikan yang penekanannya pada kesadaran peran antara
guru dan murid sebagai asas sentral terutama dalam gaya pendidikan Islam.
Konteks sosial Az-Zarnuji yang melatarbelakangi penyusunan kitab
ta ’limul muta’allim nya yaitu diawali karena banyaknya para pencari ilmu (murid)
yang dia nilai tidak mendapat ilmu. Atau yang mendapat ilmu, tapi tidak mendapat
kemanfaatan
dari
ilmu
yang
dipelajari
murid
tersebut.
Penyebab
ketidakbermanfaatan ilmu tersebut menurutnya atas faktor kurangnya etika mencari
ilmu, dan etika berkomunikasi dengan guru. Jika dikaitkan dengan konteks kekinian
6
Az-Zarnuji, op, cit., hal. 42.
Muztaba, 2014. Skrispsi: Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi Pemikiran Syekh Az-Zarnuji
dalam Kita Ta’li ul Muta’alli . Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, hal. 28.
7
5
permasalahan pendidikan di Indonesia yang kasusnya meliputi skandal pesta sabu
dosen UNHAS dan mahasiswi, pelanggaran HAM di JIS, dan lain sebagainya,
maka Zarnuji menawarkan pemecahan masalah bahwa fenomena demikian akibat
dekadensi moral para murid dan pendidik yang kita rasakan saat ini.
Kandungan Kitab pada Relasi Sosial Moralis
Kitab talimul muta’allim merupakan satu-satunya sumber primer yang
ditulis oleh Zarnuji. Secara keseluruhan, kitab ini berisi etika-etika dan moral – bagi
guru dan murid – agar tercipta hasil pembelajaran yang ideal menurutnya. Yaitu
dapat mengaplikasikan ilmu dan mengembangkannya menjadi bermanfaat. Dalam
menjabarkan pemikiran pendidikannya yang moralis, kitab ini disusun dengan
berisi 13 pasal: 1. Pengertian ilmu, fiqih, dan keutamaannya. 2. Niat dalam belajar.
3. Memilih ilmu, guru, teman, dan tentang ketabahan. 4. Penghormatan terhadap
ilmu dan ulama. 5. Ketekunan, kontinuitas, dan minat. 6. Permulaan belajar,
kuantitas, dan tata tertib belajar. 7. Tawakkal. 8. Keberhasilan. 9. Kasih sayang, dan
nasihat. 10. Istifadah. 11. Waro’ ketika belajar. 12. Penyebab hafal dan penyebab
lupa. 13. Sumber dan penghambat rizki, penambah dan pemotong usia. Tulisan ini
akan memfokuskan pada relasi sosial yang moralis antara guru dan murid, dengan
menganalisis pasal-pasal tersebut dari sudut pandang sosiologi.
Mendeskripsikan mengenai isi kandungan kitab tersebut yang fokus pada
relasi sosial moralis guru dan murid, secara khusus tertera dalam pasal 3 – memilih
ilmu, guru, teman, dan tentang ketabahan. Dalam pasal tersebut, awalnya akan
dibahas pada subpasal ‘Memilih Guru’. Pada sistem pendidikan Indonesia, profesi
guru dipegang oleh seseorang yang memenuhi indikator-indikator tertentu yang
telah distandardisasi. Indikator-indikator tersebut menyangkut kompetensi
kepribadian, sosial, pedagogik, dan professionalitas yang semuanya sudah tersusun
dalam stadar pendidik dan tenaga kependidikan. Namun berbeda dengan model
pendidikan (lebih khususnya pendidikan Islam) yang ditawarkan dalam kitab
ta’limul muta’allim karangan Az-Zarnuji. Seseorang yang menjadi guru8, atau
8
Dalam term kitab ta’li ul
uta’alli , guru disebut de ga istilah ula a.
6
memilih seorang guru mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Seperti pernyataan AzZarnuji berikut:
Dala hal e ilih guru, he daklah e ilih siapa ya g le ih ali ,
le ih waro’, da le ih erusia, seperti hal ya I a A u Ha ifah
menjatuhkan pilihannya pada Hammad bin Sulaiman setelah terlebih
dahulu erfikir da
e perti a gka .9
Juga dilanjutkan dalam pernyataan berikutnya:
Kata eliau; saya e e uka eliau seora g guru ya g luhur,
santun, dan penyabar disegala urusan .10
Berdasarkan pernyataan di atas, kriteria guru dan memilih seorang guru
dapat dirumuskan yaitu: ‘Alim (ahli ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi
luhur, pribadi santun, dan penyabar. Apabila kriteria-kriteria demikian dimiliki oleh
seorang guru, maka akan menjadikan guru tersebut berwibawa di mata muridnya.
Melihat dari perspektif mikrososiologi, dalam konsep tindakan sosial yang
dikemukakan oleh Max Weber dapat dideskripsikan. Bahwa pandangan demikian
terhadap seorang guru, akan berpengaruh pada relasi sosial terutama dengan
muridnya, yakni saat menjalankan perannya di dalam proses pembelajaran.
Tindakan sosial yang dilakukannya memiliki makna subyektif dan tergolong tipe
tindakan rasional nilai yang secara konseptual didasari oleh kesadaran atas
keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan
nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya.
Contohnya adalah kontekstual kitab ini yang diterapkan di pondok pesantren, maka
seorang guru menunjuk pada sebutan kyai, ustadz, atau ‘ulama yang mengajar di
pondok pesantren. Guru yang mengajar di pondok pesantren tersebut dapat
dikatakan telah memiliki beberapa kriteria guru dalam kitab ta’limul muta’allim,
dan kegiatan pembelajaran mereka selalu dipertimbangkan atas keyakinankeyakinan agama. Karena buktinya posisi mereka sebagai guru masih
dipertahankan.
9
Az-Zarnuji, op. cit., hal 26.
Ibid, hal. 27.
10
7
Selain guru, kitab ta’limul muta’allim ini juga membahas bagaimana relasi
sosial murid terhadap guru yang telah diatur sedemikian rupa dalam pasal 4,
subpasal ‘Menghormati Guru’. Sebagaimana pesan Az-Zarnuji dalam kitab
tersebut:
“alah satu ara e uliaka il u adalah e uliaka sa g Guru
sebagaimana Sy. Ali, kw, berkata: Saya menjadi hamba, bagi orang
yang mengajariku satu huruf ilmu; terserah ia mau menjualku,
memerdekakan atau tetap menjadikan aku se agai ha a .11
Az-Zarnuji mengisyaratkan kepada murid yang ingin belajar, agar
mendapat ilmunya maka salah satu tindakan sosial terhadap gurunya yaitu dengan
memposisikan dirinya sebagai hamba bagi gurunya. Jelas bahwa murid atau santri
yang mengaplikasikan pesan Zarnuji tersebut, tindakan sosialnya bertipe
rasionalitas nilai. Karena tindakan yang didasari oleh kesadaran atas keyakinan
mengenai nilai-nilai moral yang baik sebagai seorang murid yang menuntut ilmu
kepada guru. Sehingga kesadaran terhadap nilai itulah yang mempengaruhi tingkah
lakunya saat berelasi dengan guru. Mengenai sikap ini, Zarnuji menambahkan
pernyataannya:
“aya erpe dapat ahwa hak sa g Guru adalah hak ya g pali g
hakiki, yang wajib terjaga oleh setiap muslim. Demi memuliakan,
perlu dihadiahkan kepadanya seribu dirham untuk satu huruf
pelajara ya .12
Guru yang dipandang telah memenuhi kriteria yang telah disebutkan dalam
kitab ta’limul muta’allim, yakni seorang guru ideal bersyarat ‘Alim (ahli ilmu),
wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur, pribadi santun, dan penyabar, telah
melegalisasinya secara langsung maupun tidak langsung kepada sebuah otoritas
dalam relasi sosialnya terutama dengan murid. Otoritas yang dimiliki guru ini
bertipe kharismatik, yaitu wewenang seseorang yang diberikan oleh para murid dan
pengikut dalam kepercayaan bahwa kekuasaan guru itu mengalir dari berkah yang
luar biasa, sebuah istilah teologis analisis Weber. Kharisma guru yang telah
11
12
Ibid, hal. 36.
Ibid, hal. 37.
8
terkonstruksi itu, direspon dengan sikap murid yang bersedia seolah memposisikan
dirinya sebagai hamba yang mempunyai kebutuhan atas guru tersebut, yaitu
kebutuhan mendapatkan ilmu dari proses belajar. Zarnuji mendefinisikan
kebutuhan
murid
yaitu
mengatasi
urusannya
kepada
seorang
guru,
“Musyawarahkanlah urusanmu dengan mereka yang takut kepada Allah”.13
Sedangkan mengacu pada Syarah ta’limul muta’allim bahwa yang dimaksud orang
yang takut kepada Allah, adalah ‘Ulama, ahli ilmu, atau guru. Saat proses
pembelajaran dan berinteraksi dengan guru, murid melakukan tindakan rasional
nilai, yang mendefinisikan guru sebagai seseorang yang berkarisma karena
memiliki pribadi luhur, sopan, santun, dan penyabar. Sehingga sosok guru
cenderung berkarisma dengan ciri-ciri yang menonjol tersebut. Terlebih atas pesan
moral untuk murid, yang telah diutarakan Zarnuji dalam bersikap menghargai guru.
Relasi Sosial Moralis sebagai Pijakan Keberhasilan Sistem Pendidikan
Menurut perspektif mikrososiologi, masyarakat dipahami sebagai kesatuan
unit yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang dilakukan oleh para aktor baik
dalam bentuk antar individu, antar kelompok, maupun individu dengan kelompok,
di dalamnya terkandung maksud mempengaruhi tindakan sosial dan cara berpikir.
Pola berpikir dan pola bertindak masyarakat yang mereka peroleh dengan belajar,
menghasilkan suatu bentuk kebudayaan. Itulah hal ihwal mengapa setiap manusia
bersifat unik, karena setiap manusia mempunyai tipe kebudayaan idealnya.
Kebudayaan masyarakat diperoleh dengan cara belajar, dengan demikian
pendidikan merupakan keniscayaan dalam suatu masyarakat, karena perkembangan
kebudayaan berjalan lurus dengan perkembangan pendidikan suatu masyarakat.
Lihatlah perbedaan pendidikan masyarakat maju dengan masyarakat berkembang.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, “hanya di
dalam
13
realitas
masyarakat
yang
memiliki
kesadaran
akan
pentingnya
Ibid, hal 29.
9
perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, maka peradaban dan nilai-nilai
budaya konstruktif dapat ditegakan.”14
Dalam konteks ke-Indonesia-an, pendidikan telah dimanajemen sebagai
sebuah sistem. Secara normatif, berikut struktur pendidikan sebagai sebuah sistem
(di Indonesia):15
1.Peserta didik
Sisdiknas, kurikulum, bhn.ajar, sumber,
media, strategi/metode, manajemen,
sarana pra sarana
Minat
Bakat
Motivasi
Kondisi fisik
Kondisi psikis
PROSES PENDIDIKAN &
PEMBELAJARAN
2.Bahan ajar
Ilmu pngthn
Nilai & norma
Teknologi
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengendalian
Penilaian
Lingkungan Fisik
Lingkungan Sosial budaya
1. Geografis
1. Keluarga/masyarakat
2. Klimatologis
2. Perkembangan IPTEK
PENDIDIK/
GURU
OUT PUT
Kualitas
Kuantitas
3. Politik, keamanan & ekonomi
Kontribusi seorang guru sebagai tenaga fungsional yang memiliki peran
fundamental dalam proses pembelajaran, menopang amanah negara demi
menjadikan manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Kesadaran akan peran guru bukan hanya sebagai pengajar, melainkan pendidik
untuk memanusiakan manusia. Tanpa kesadaran itu maka pendidikan menjadi
hampa, kosong, dan tak bermakna. Subyek pembelajaran yaitu peserta didik,
motivasi mereka ketika datang ke sekolah tentu berbeda. Ada yang sekadar
14
Irwandar, dalam jurnal komunitas UNJ Ahmad Tarmiji. Meretas Jalan Sosiologi Pendidikan Ibnu
Khaldun: Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan Nasionalisme. Jakarta, hal. 51.
15
Eman Surachman, 2014. Bahan Ajar Manajemen Pendidikan. Jakarta, hal. 2.
10
menggugurkan kewajiban, namun ada juga yang memiliki motivasi meraih ilmu.
Motivasi pendidik dan peserta didik sangat menentukan arah dan hasil
pembelajaran, apakah hidup sebagai manusia yang sekadar menggugurkan
kewajiban, ataukah menjadi manusia seutuhnya yang berakal.
Berjalannya sistem pendidikan Indonesia, ditentukan oleh pola relasi
pembelajaran antara aktor-aktor pendidikan, yaitu relasi sosial guru dan murid.
Secara keseluruhan, Zarnuji melihat etika-etika dan moral – bagi guru dan murid –
di sekolah maupun di luar sekolah – adalah kunci hasil pembelajaran yang ideal.
Yaitu murid dapat mengaplikasikan ilmu dan mengembangkannya menjadi
bermanfaat. Untuk menciptakan pola relasi sosial yang dimaksudnya Zarnuji, ada
beberapa syarat dan sikap yang harus dipenuhi bagi seorang guru, yaitu: ‘Alim (ahli
ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur, pribadi santun, dan penyabar.
Sedangkan sikap murid adalah bersedia seolah memposisikan dirinya sebagai
hamba yang mempunyai kebutuhan atas guru tersebut, yaitu kebutuhan
mendapatkan ilmu dari proses belajar dengan cara bermusyawarah dengan guru.
Seorang guru yang telah memenuhi kriteria-kriteria yang disebutkan
Zarnuji, maka menjadikan guru itu sosok yang menonjol, berwibawa, dan
melegalisasinya secara langsung maupun tidak langsung pada sebuah otoritas
kharismatik. Kepercayaan bahwa guru patut dihormati karena kekuasaannya yang
mengandung berkah. Pandangan demikian berdampak pada relasi sosial saat proses
pembelajaran. Terciptanya relasi sosial yang efektif, rasa saling menghormati
kedudukan masing-masing aktor pendidikan. Guru yang menyadari statusnya
sebagai orang yang dijadikan teladan, dan murid menghormati guru karena
kharismanya serta kepentingan untuk mendapatkan sebuah ilmu dari guru tersebut.
Pada titik ini pendidikan moralis sebenarnya telah ada di Indonesia, terutama
dikalangan pondok pesantren. Mengkaji dan menghidupkan kembali literatur klasik
yang teraplikasi dalam salah satu sudut pendidikan Indonesia, akan menjadi air
segar bagi kegersangan sistem pendidikan yang hampa makna. Yakni proses
pembelajaran yang ditopang dengan nilai-nilai moral.
11
Tradisi pendidikan yang moralis telah terbukti memberikan basis ideologi
yang mengakar, dan mampu menopang sistem pendidikan suatu negara dengan
jangka waktu berabad-abad. Saksi sejarahnya adalah negara Cina. Sejarah Cina
sekitar 5.000 tahun yang lalu memposisikannya sebagai salah satu negara yang
memiliki peradaban maju tertua di dunia. Penemuan-penemuan arkeologi telah
mengungkapkan kecermelangan dan kemajuan kebudayaan Cina pada permulaan
tahun 1.500 S. M.16 Sebagai salah satu periode paling kreatif di Cina dalam bidang
seni, kesusastraan, dan filsafat. Tokoh-tokoh ahli pikir Cina sepanjang masa yang
menandai periode keemasan ini adalah – Lao Tze, Konfusius (nama Latin untuk
K’ung-fu-tze), Mo Tze, dan Mensius (nama Latin untuk Meng-Tze) – beserta ajaran
mereka.17
Cina mewariskan dua kontribusi yang penting dan kekal bagi
kebudayaan Asia Timur. Pertama adalah sistem etika yang mencakup
segala hal; prinsip-prinsip dalam sistem etika itu bahkan
mempengaruhi unsur-unsur kehidupan sehari-hari. Kedua adalah
bahasa tulisan yang menjadi sarana untuk mempelajari sistem etika
tersebut.18
Simpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa. Pendidikan dalam
perspektif global, merupakan proses transformasi pengetahuan dan keterampilan
yang terjadi dalam relasi sosial para aktor pendidikan yakni guru dan murid. Guru
dipandang mempunyai status dan peran yang pandang penting memiliki pengaruh
besar terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Sedangkan murid sebagai
subyek didik memiliki pribadi yang otonom, memiliki potensi untuk
ditumbuhkembangkan, serta memiliki permasalahan yang dijumpai dalam
hidupnya. Secara khusus relasi sosial guru dan murid tersebut dalam pandangan
kitab ta ’limul muta’allim yang telah dipelajari kalangan pesantren, berisi sikap ideal
16
I. N. Thut dan Don Adams, 2005. Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 375.
17
Ibid, hal. 376.
18
Ibid.
12
bagi para penuntut ilmu (murid) mengenai tata aturan sebagai seorang murid yang
baik. Relasi sosial yang dilandasi atas penghormatan seorang murid kepada guru
karena kharismanya yang mempunyai status sosial ahli ilmu. Dalam kitab ta ’limul
muta’allim yang ditulis Az-Zarnuji, dia mengedepankan pendidikan tentang etika
dan cara berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran. Zarnuji
mengisyaratkan proses pendidikan yang penekanannya pada kesadaran peran antara
guru dan murid sebagai asas sentral terutama dalam gaya pendidikan Islam, adalah
kunci hasil pembelajaran yang ideal. Yaitu murid dapat mengaplikasikan ilmu dan
mengembangkannya menjadi bermanfaat. Untuk menciptakan pola relasi sosial
yang dimaksudnya Zarnuji, ada beberapa syarat dan sikap yang harus dipenuhi bagi
seorang guru, yaitu: ‘Alim (ahli ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur,
pribadi santun, dan penyabar. Sedangkan sikap murid adalah bersedia seolah
memposisikan dirinya sebagai hamba yang mempunyai kebutuhan atas guru
tersebut, yaitu kebutuhan mendapatkan ilmu dari proses belajar dengan cara
bermusyawarah dengan guru. Terciptanya relasi sosial yang efektif, rasa saling
menghormati kedudukan masing-masing aktor pendidikan. Guru yang menyadari
statusnya sebagai orang yang dijadikan teladan, dan murid menghormati guru
karena kharismanya serta kepentingan untuk mendapatkan sebuah ilmu dari guru
tersebut. Pendidikan moralis, yakni proses pembelajaran yang ditopang dengan
nilai-nilai moral. akan menjadi air segar bagi kegersangan sistem pendidikan
Indonesia yang hampa makna. Sebagai contoh periode keemasan di Cina pada
permulaan tahun 1.500 S. M dalam bidang seni, kesusastraan, dan filsafat yang
ditopang oleh pendidikan etika.
13
Daftar Pustaka
Abercrombie, N., Hill, S., & Turner, B. S. (2010). Kamus Sosiologi. (D. NoviyanI, E.
Adinugraha, & R. Widada, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Az-Zarnuji. (2007). Terjemah Ta'limul Muta'allim. (A. As'ad, Penerj.) Kudus: Menara
Kudus.
Ibrahim bin Ismail. (t.thn.). Syarah Ta'limul Muta'allim. Darul 'Ilm.
Muztaba. (2014). Skripsi: Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi Pemikiran Syekh AzZarnuji dalam Kitab Ta'limul Muta'allim). Jakarta.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2012). TEORI SOSIOLOGI Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. (Nurhadi, Penerj.) Bantul:
Kreasi Wacana.
Surachman, E. (2014). Bahan Ajar Manajemen Pendidikan. Jakarta.
Surachman, E., & Septiandini, D. (2012). Bahan Ajar Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta.
Tarmiji, A. (t.thn.). Meretas Jalan Sosiologi Pendidikan Ibnu Khaldun: Antara Pendidikan
Karakter dan Pendidikan Nasionalisme. Komunitas, 45-49.
Thut, I. N., & Adams, D. (2005). Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer. (
SPA Teamwork, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
14