Keberlangsungan Lahan Basah Gambut Bagi
Keberlangsungan Lahan Basah Gambut Bagi Kehidupan
Masyarakat Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan
Peatland Sustainability for Ogan Komering Ilir Societies
Nadya Rahmania
NIM : 20012681620002
Program Studi Ilmu Lingkungan
Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang
([email protected])
Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang permasalahan yang terjadi berkenaan dengan lahan
gambut yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Permasalahan mengenai
lahan gambut tak lepas kaitannya dari kebakaran hutan dan lahan yang mengancam
kehidupan biodiversity penghuni lahan gambut. Kebakaran yang kerap kali terjadi
seperti menjadi candu bagi penikmat kepentingan ekonomis guna memanfaatkan
lahan gambut alami menjadi lahan gambut yang menghasilkan keuntungan.
Terlepas dari sifat alaminya yang mudah terbakar, lahan gambut sering di
eksploitasi kelompok-kelompok tertentu untuk menjadikan lahan gambut alami
sebagai lahan perkebunan dengan membakar habis lahan untuk menghemat biaya.
Dalam paper ini akan dibahas mengenai lahan gambut dan permasalahan yang
terjadi di dalamnya, mengacu pada peristiwa kebakaran lahan gambut terparah di
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Kata Kunci : Lahan Gambut, Kebakaran Hutan & Lahan, OKI, Sumsel.
1. Pendahuluan
Secara sederhana, pengertian lahan basah (dalam bahasa Inggris disebut
wetland) adalah setiap wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, tergenang air
yang dangkal, baik sebagian atau keseluruhannya. Genangan airnya bersifat
permanen (terus-menerus) atau musiman baik berupa air diam ataupun mengalir
baik berupa air tawar, air payau, maupun air asin dan terbentuk secara alami
ataupun buatan manusia. Lahan basah berbeda dengan perairan. Lahan basah
umumnya bercirikan tinggi muka air yang dangkal, dekat dengan permukaan tanah,
dan memiliki jenis tumbuhan yang khas. Yang termasuk ke dalam jenis lahan basah,
salah satunya adalah gambut.
Indonesia yang merupakan negara tropis memiliki lahan gambut terluas
yakni sekitar 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia yang
1
tersebar terutama di Kalimantan, Sumatera dan Papua. Dari luasan tersebut sekitar
7,2 juta hektar atau 35%-nya berada di Sumatera. Lahan gambut adalah bagian dari
sumber daya alam yang memiliki banyak fungsi antara lain sebagai sarana
pelestarian sumber daya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, habitat
keanekaragaman hayati dan pengendali iklim (melalui kemampuan lahan gambut
menyimpan karbon).
Penyebaran gambut di pulau Sumatera umumnya terdapat di sepanjang
pantai timur, yaitu di wilayah Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, dan
Lampung. Di Sumatera Selatan, lahan gambut terluas terdapat di Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI) dan Banyuasin, yakni seluas ± 769 ribu hektar. Luas lahan
rawa termasuk gambut dan danau di Kabupaten OKI mencapai sekitar 75 persen
dari total luas wilayahnya.
2. Wilayah Administratif Ogan Komering Ilir (OKI)
Kabupaten Ogan Komering Ilir atau sering disingkat OKI yang
beribukotakan Kayu Agung, adalah salah satu Kabupaten di Sumatera Selatan yang
memiliki luas 19.023,47 Km² dan berpenduduk sekitar 700.000 jiwa. Pada Tahun
2005 Kabupaten ini memiliki 18 Kecamatan, yang terdiri atas 299 Desa/Kelurahan.
Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir terletak di bagian Timur Provinsi
Sumatera Selatan yaitu tepatnya antara 104°20’ dan 106°00’ Bujur Timur dan 2°30’
sampai 4°15’ Lintang Selatan, luasnya mencapai 19.023,47 Km². Secara
administrasi berbatasan dengan :
Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir dan Kota Palembang di sebelah
Utara
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan Provinsi Lampung di sebelah
Selatan
Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten OKU Timur di sebelah Barat, dan
Selat Bangka dan Laut Jawa di sebelah Timur
Sekitar 75% dari luas wilayah Kabupaten OKI merupakan bentangan rawa dan 25%
merupakan daratan. Daerah ini dialiri oleh banyak sungai dan memiliki wilayah
pantai dan laut.
2
Wilayah OKI sebagian besar memperlihatkan tipologi ekologi rawa,
meskipun secara lokal dapat ditemukan dataran kering. Dengan demikian wilayah
OKI dapat dibedakan menjadi dataran lahan basah dengan topografi rendah
(lowland) dan dataran lahan kering yang memperlihatkan topografi lebih tinggi
(upland). Daerah lahan basah hampir meliputi 75 % wilayah OKI dan dapat
dijumpai di kawasan sebelah timur seperti Kecamatan Air Sugihan, Tulung
Selapan, Cengal, dan Kecamatan Sungai Menang. Sedangkan lahan kering dapat
terdapat di wilayah dengan topografi bergelombang, yaitu di Kecamatan Mesuji
Makmur, Lempuing dan Kecamatan Lempuing Jaya.
3. Permasalahan terkait Lahan Gambut di Wilayah OKI
Selain isu perubahan iklim, isu yang saat ini menjadi fokus internasional
adalah permasalahan kebakaran gambut. Masalah kebakaran hutan dan lahan
gambut di Indonesia saat ini semakin meningkat dan tentunya menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup dan sosial ekonomi. Dampak kebakaran hutan
dan lahan menyebabkan asap yang memberikan kerugian ekonomi yang dapat
mencapai milyaran rupiah. Selain itu jumlah emisi karbon yang keluar pada saat
kebakaran terjadi dapat mencapai 13-40% dari total produksi emisi karbon dunia
sehingga menjadikan Indonesia sebagai penghasil polusi terbesar di dunia.
Faktor utama terjadinya kebakaran dapat digolongkan menjadi dua yaitu
adanya pemicu kebakaran dan kondisi pendukung. Pemicu kebakaran merupakan
faktor yang secara langsung mempengaruhi terjadinya penyulutan api. Pemicu
kebakaran ini dapat disebabkan oleh aktivitas manusia yang disengaja maupun yang
tidak disengaja atau kelalaian. Selain itu pemicu kebakaran juga dapat disebabkan
oleh faktor alam seperti petir dan gesekan-gesekan antara ranting-ranting daun yang
kering. Kemarau panjang juga salah satu faktor alam yang dapat memicu terjadinya
kebakaran hutan dan lahan.
Sumatera Selatan menjadi daerah yang berpotensi atau rawan terjadinya
kebakaran dalam skala luas yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Aktivitasaktivitas tersebut seperti:
Penyiapan lahan
3
Penyiapan lahan ini kerap dilakukan oleh masyarakat ataupun
perusahaan. Penyiapan lahan dengan cara pembakaran masih seringkali
dilakukan karena cenderung lebih praktis, mudah dilakukan dengan
peralatan yang sederhana, dan tidak mengeluarkan biaya yang mahal serta
tenaga kerja yang digunakanpun tidak banyak. Masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan rawa gambut sudah terbiasa dan secara turun-temurun
menggunakan api untuk menyiapkan lahan gambut sebagai lahan
perkebunan juga pertanian. Penyiapan lahan dengan cara tersebut dikenal
dengan sistem sonor. Pengendalian api yang tidak maksimal akan
menyebabkan pembakaran tidak terkontrol dan semakin meluas karena
lahan gambut menjadi sangat kering pada musim kemarau.
Adanya konflik lahan
Konflik lahan juga menjadi motif pembakaran yang dilakukan oleh
manusia. Api seringkali digunakan oleh masyarakat lokal sebagai alat untuk
menjarah lahan tak bertuan. Konflik lahan juga seringkali terjadi antara
masyarakat lokal setempat dengan perusahaan sejenis HTI yang lahannya
saling berdekatan. Contoh kasusnya seperti di Dusun Talang Petai dan
dusun lainnya di Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, OKI. Sejak
tahun 2009 masyarakat setempat tidak lagi dapat bersawah sonor (sistem
penanaman padi tradisional di areal rawa saat kemarau panjang), karena
lahan mereka yang sebelumnya digunakan, kini menjadi konsesi PT. Bumi
Mekar Hijau (BMH) yang tahun 2015 silam terbakar.
Permasalahan lainnya ialah status lahan gambut yang masih masuk
dalam kawasan hutan produksi (HP) seluas ± 300 hektare yang dinyatakan
pemerintah sebagai kawasan HP. Menurut masyarakat, lahan tersebut sudah
mereka kelola turun-temurun sejak awal tahun 1960-an jauh sebelum
pemerintah menetapkan lahan tersebut menjadi kawasan HP.
Kelalaian manusia
Kelalaian manusia yang menggunakan api secara tidak bijaksana
kerap kali menjadi sumber terjadinya kebakaran besar. Membuang puntung
rokok sembarangan di lahan gambut atau pemadaman api yang tidak
4
menyeluruh menyebabkan kebakaran semakin meluas akibatnya kebakaran
hutan dan lahan tak dapat lagi dikendalikan.
Selain kondisi pendukung, penyebab kebakaran hutan dan lahan
juga disebabkan oleh beberapa faktor pendukung antara lain kondisi iklim,
kondisi fisik lahan, dan sosial ekonomi budaya masyarakat sekitar. Kondisi
iklim yang kering dan panas menjadi pemicu kebakaran. Kebakaran rawan
terjadi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan
intensitas panas matahari tinggi. Kebakaran akan semakin tinggi jika
ditemukan adanya gejala El Nino. Kebakaran akan berkurang jika telah
masuk musim penghujan dimana intensitas panas akan menurun. Kondisi
fisik lahan dan hutan yang telah terdegradasi merupakan salah satu faktor
pemicu terjadinya kebakaran.
Hutan dan lahan yang terdegradasi terutama yang disebabkan oleh
eksploitasi kayu baik secara legal maupun illegal dan konversi untuk
perkebunan/HTI, persawahan dan transmigrasi. Di hutan yang terdegradasi
menjadi lebih rawan terhadap kebakaran, karena mudahnya penyulutan dan
penyebaran api. Selain itu, masyarakat cenderung menggunakan api sebagai
sarana dan cara murah dan cepat dalam berbagai aktivitas untuk menunjang
kebutuhan hidupnya seperti membuka ladang, berkebun, sawah sonor,
berburu dan mencari ikan. Di Sumatra Selatan, budaya penggunaan api
sudah lama diterapkan oleh masyarakat tradisional yang hidup di sekitar
hutan atau peladang berpindah.
4. Masa depan lahan gambut di OKI
Kebutuhan akan minyak kelapa sawit maupun kertas telah memicu
perluasan sektor perkebunan yang cepat di Indonesia. Saat ini Indonesia
merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Lahan-lahan
gambut di OKI paling banyak dimanfaatkan oleh HTI yang memproduksi
kertas. Saat ini kawasan lahan gambut Kabupaten OKI telah diusahakan
oleh tiga pemegang izin usaha hutan tanaman, yaitu PT. SBA Wood
Industries, PT. Bumi Andalas Permaii dan PT. Bumi Mekar Hijau yang
menanami Acacia crassicarpa.
5
Makin berkurangnya lahan gambut di OKI akibat kebakaran tak
hanya memberikan kerugian bagi kehidupan manusia saja, tetapi berimbas
pula pada kehidupan makhluk hidup lainnya. Jika kebakaran terus saja
terjadi kedepannya, tentunya lahan gambut akan semakin banyak hilang,
ekosistem makin tak seimbang lalu bumi akan semakin tercemar.
Keberlangsungan lahan gambut semakin dipertanyakan.
Masyarakat OKI banyak yang menjadikan lahan gambut sebagai
mata perncaharian mereka. Ketergantungan akan lahan gambut terbukti
dengan banyaknya persawahan, perkebunan dan sumber ekonomi lainnya
milik warga. Keberadaan lahan gambut tentunya menjadi anugerah sendiri
bagi mereka dan jika lahan gambut semakin berkurang, tentunya akan
menjadi masalah bagi mereka juga jika ditinjau dari aspek sosial-ekonomi
dan budaya. Pengeringan lahan gambut dengan cara membuat kanal juga
masih dilakukan oleh masyarakat. Pengeringan gambut ini dikarenakan
jalan yang masyarakat buat selalu tergenang selama musim penghujan,
seperti yang terjadi di Dusun Talang Petai, Desa Ulak Kedondong,
Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI ini.
Usaha-usaha untuk menjaga lahan gambut saat ini telah banyak
dilakukan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mempertahankan
gambut dari degradasi yang makin parah, yakni dengan mencetuskan
moratorium gambut. Moratorium ini berisi kebijakan tentang penudaan
pemberian izin baru hutan alam dan lahan gambut yang berada di hutan
konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan
produksi tetap, hutan produk yang dapat dikonversi) dan areal penggunaan
lain untuk digunakan dalam sektor perkebunan. Akan tetapi moratorium ini
tidak berlaku untuk perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau
penggunaan kawasan hutan yang telah ada selama izin di bidang usaha
tersebut masih berlaku.
Moratorium ini dinilai menjadi salah satu usaha yang positif sebagai
langkah pelestarian gambut Indonesia yang memiliki peranan besar
terhadap ekosistem lahan basah dunia. Akan tetapi, menurut beberapa ahli
lingkungan, moratorium gambut dinilai dapat mengganggu sektor usaha.
6
Dengan adanya moratorium, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam
bidang budidaya gambut akan terganggu, dan menyebabkan serapan tenaga
kerja serta perolehan devisa negara juga akan berkurang. Moratorium masih
menjadi sebuah perdebatan bagi pihak yang pro dan kontra.
Terlepas dari perdebatan terkait moratorium, upaya-upaya untuk
memperluas pencegahan kebakaran semata-mata bukan hanya dibebankan
pada pihak-pihak yang terlibat dalam penggunaan sumber daya gambut saja,
melainkan kontribusi semua elemen masyarakat juga dibutuhkan, karena
gambut merupakan sumber daya alam yang patut kita jaga kelestariannya.
Memberikan solusi alternatif selain pertanian berbasis api di lahan gambut
bagi para petani sangatlah dibutuhkan agar kedepannya para petani lebih
sadar akan kelebihan dan kekurangan lahan gambut. Edukasi juga perlu
dilakukan kepada para investor dan perusahaan-perusahaan yang
melakukan budidaya di lahan gambut, perlunya kesadaran akan
pemeliharaan gambut serta penyiapan lahan dengan cara sehat akan dapat
menjaga keberlangsungan lahan gambut yang kini mulai berkurang.
Usaha lain yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberlangsungan
gambut ialah menghentikan penghancuran dengan cara melindungi hutan
dan lahan gambut di Indonesia (termasuk melakukan langkah-langkah cepat
untuk mencegah kebakaran). Menurut Greenpeace, melakukan perjanjian
antara para trader (perusahaan pembeli) dengan cara berkolaborasi dan
melakukan aksi bersama untuk memastikan jika ada perusahaan yang masih
menciptakan kondisi akan terjadinya kebakaran dan asap dengan cara
mengeringkan lahan gambut dan menghancurkan hutan agar dikeluarkan
dari pasar.
Usaha memperbaiki kerusakan hutan seperti hilangnya hutan karena
kebakaran dengan cara rehabilitasi masuk kedalam usaha untuk menjaga
dan mengembalikan kondisi hutan agar dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Upaya rehabilitasi harus memprioritaskan kawasan hutan gambut
yang rentan yang telah mengalami kebakaran hutan. Terakhir dengan cara
memberikan solusi kepada masyarakat untuk mengembangkan sumbersumber penghidupan yang mendukung konservasi dan restorasi hutan
7
termasuk memperbaiki hasil panen di kawasan perkebunan yang ada dan
mendukung pengembangan koperasi juga dapat dijadikan langkah efektif
menjaga perekonomian dan lingkungan.
5. Kesimpulan & Saran.
Paper ini telah memberikan gambaran tentang kondisi dan
permasalahan yang terjadi di lahan gambut terutama yang terjadi di daerah
OKI Sumatera Selatan. Permasalahan utama yang mengancam lahan
gambut adalah kebakaran yang tiap tahun melanda dan memberikan
kerugian besar bagi daerah maupun negara. Dibutuhkan langkah tegas
dalam menertibkan pihak-pihak yang mengeksploitasi gambut tanpa
memikirkan resikonya. Solusi moratorium dan restorasi gambut yang
diusulkan Pemerintah Pusat menjadi titik terang terjaminnya lahan gambut
untuk beberapa tahun mendatang terlepas dari pro dan kontranya.
Pemberian edukasi dengan pendekatan yang humanis kepada masyarakat
yang tinggal di areal gambut dan perusahaan-perusahaan yang melakukan
budidaya di lahan gambut hendaknya lebih digencarkan demi menjaga
keberlangsungan gambut untuk generasi kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2016. http://www.mongabay.co.id/2016/06/29/mungkinkah-tahun-inigambut-di-oki-tidak-terbakar/. Diakses tanggal 20 November 2016.
Anonimb. 2016. http://www.gatra.com/nusantara/sumatera/219670-15-perusahaansawit-lakukan-pembakaran-lahan-gambut-di-oki. Diakses tanggal 20
November 2016.
Anonimc. 2016. http://economy.okezone.com/read/2016/06/28/320/1427264/
moratorium-gambut-dinilai-ganggu-kepastian-usaha. Diakses tanggal 20
November 2016.
Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Daerah Prov. Sumatera Selatan
(BALITBANGNOVDA). Pengumpulan Data Kedalaman Gambut
Kegiatan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (Survei Lahan Gambut
Kawasan Cetak Sawah Kec. Tanjung Lubuk OKI) http://balitbangnovda
sumsel.com/berita/359. Diakses tanggal 21 November 2016.
8
Center of International Forestry Research (CIFOR). http://blog.cifor.org/
36963/mencegah-kebakaran-dan-kabut-asap-solusi-lestari-bagi-lahangambut-indonesia?fnl=id. Diakses tanggal 21 November 2016.
Chokkalingam, U., Suyanto, Permana, P. R., Kurniawan, I., Mannes, J., Darmawan,
A., Khususyiah, N., dan Susanto, R. H. 2002. Pengelolaan Api, Perubahan
Sumberdaya Alam dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat di
Areal Rawa/Gambut – Sumatera Bagian Selatan. Prosiding Semiloka, ISBN
979-3361-49-2: 35-72.
Greenpeace
.
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/LaranganPembukaan-Gambut-Adalah-Langkah-Terbaik-Mengatasi-PerubahanIklim/. Diakses tanggal 21 November 2016.
Greenpeace. 2015. Indonesia Terbakar : Dalam Kepungan (Krisis kebakaran
Indonesia adalah ujian bagi komitmen korporasi terhadap perlindungan
hutan). Greenpeace International Ottho Heldringstraat 5 : 1066 AZ
Amsterdam, The Netherlands.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of
CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report
Q3943 (2006).
Leliana, N. H., Zulfikhar., Haasler, B. 2015. Laporan dan Modul Teknis
Pemutakhiran Peta Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi
Sumatera Selatan Tahun 2015. GIZ-Bioclime, ISBN: 978-602-741-644-4.
Martin, E., dan Winarno, B. 2010. Peran Parapihak dalam Pemanfaatan Lahan
Gambut; Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2) : 81-95 hlm.
Rianawati, F., Asyari, M., Fatriyani dan Asysyifa. 2016. Pemetaan Daerah Rawan
Kebakaran Pada Lahan Basah Di Kecamatan Gambut Provinsi Kalimantan
Selatan. Seminar Nasional dan Gelar Produk: 1-10.
Taufik, M., Setiawan, B.I., Prasetyo, L.B., Pandjaitan, N.H., dan Suwarso. 2010.
Peluang Untuk Mengurangi Bahaya Kebakaran di HTI Lahan Basah: Model
Pendekatan Pengelolaan Air. J. Hidrosfer Indonesia, 5(2): 55-62 hlm.
Wahyunto. 2015. Lahan gambut di Indonesia: istilah/definisi, klasifikasi, luasan,
penyebaran dan pemutakhiran data spasial lahan gambut [Presentasi
Powerpoint]. IPN Toolbox Tema A Subtema A1. www.cifor.org/ipntoolbox.
9
Masyarakat Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan
Peatland Sustainability for Ogan Komering Ilir Societies
Nadya Rahmania
NIM : 20012681620002
Program Studi Ilmu Lingkungan
Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang
([email protected])
Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang permasalahan yang terjadi berkenaan dengan lahan
gambut yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Permasalahan mengenai
lahan gambut tak lepas kaitannya dari kebakaran hutan dan lahan yang mengancam
kehidupan biodiversity penghuni lahan gambut. Kebakaran yang kerap kali terjadi
seperti menjadi candu bagi penikmat kepentingan ekonomis guna memanfaatkan
lahan gambut alami menjadi lahan gambut yang menghasilkan keuntungan.
Terlepas dari sifat alaminya yang mudah terbakar, lahan gambut sering di
eksploitasi kelompok-kelompok tertentu untuk menjadikan lahan gambut alami
sebagai lahan perkebunan dengan membakar habis lahan untuk menghemat biaya.
Dalam paper ini akan dibahas mengenai lahan gambut dan permasalahan yang
terjadi di dalamnya, mengacu pada peristiwa kebakaran lahan gambut terparah di
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Kata Kunci : Lahan Gambut, Kebakaran Hutan & Lahan, OKI, Sumsel.
1. Pendahuluan
Secara sederhana, pengertian lahan basah (dalam bahasa Inggris disebut
wetland) adalah setiap wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, tergenang air
yang dangkal, baik sebagian atau keseluruhannya. Genangan airnya bersifat
permanen (terus-menerus) atau musiman baik berupa air diam ataupun mengalir
baik berupa air tawar, air payau, maupun air asin dan terbentuk secara alami
ataupun buatan manusia. Lahan basah berbeda dengan perairan. Lahan basah
umumnya bercirikan tinggi muka air yang dangkal, dekat dengan permukaan tanah,
dan memiliki jenis tumbuhan yang khas. Yang termasuk ke dalam jenis lahan basah,
salah satunya adalah gambut.
Indonesia yang merupakan negara tropis memiliki lahan gambut terluas
yakni sekitar 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia yang
1
tersebar terutama di Kalimantan, Sumatera dan Papua. Dari luasan tersebut sekitar
7,2 juta hektar atau 35%-nya berada di Sumatera. Lahan gambut adalah bagian dari
sumber daya alam yang memiliki banyak fungsi antara lain sebagai sarana
pelestarian sumber daya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, habitat
keanekaragaman hayati dan pengendali iklim (melalui kemampuan lahan gambut
menyimpan karbon).
Penyebaran gambut di pulau Sumatera umumnya terdapat di sepanjang
pantai timur, yaitu di wilayah Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, dan
Lampung. Di Sumatera Selatan, lahan gambut terluas terdapat di Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI) dan Banyuasin, yakni seluas ± 769 ribu hektar. Luas lahan
rawa termasuk gambut dan danau di Kabupaten OKI mencapai sekitar 75 persen
dari total luas wilayahnya.
2. Wilayah Administratif Ogan Komering Ilir (OKI)
Kabupaten Ogan Komering Ilir atau sering disingkat OKI yang
beribukotakan Kayu Agung, adalah salah satu Kabupaten di Sumatera Selatan yang
memiliki luas 19.023,47 Km² dan berpenduduk sekitar 700.000 jiwa. Pada Tahun
2005 Kabupaten ini memiliki 18 Kecamatan, yang terdiri atas 299 Desa/Kelurahan.
Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir terletak di bagian Timur Provinsi
Sumatera Selatan yaitu tepatnya antara 104°20’ dan 106°00’ Bujur Timur dan 2°30’
sampai 4°15’ Lintang Selatan, luasnya mencapai 19.023,47 Km². Secara
administrasi berbatasan dengan :
Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir dan Kota Palembang di sebelah
Utara
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan Provinsi Lampung di sebelah
Selatan
Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten OKU Timur di sebelah Barat, dan
Selat Bangka dan Laut Jawa di sebelah Timur
Sekitar 75% dari luas wilayah Kabupaten OKI merupakan bentangan rawa dan 25%
merupakan daratan. Daerah ini dialiri oleh banyak sungai dan memiliki wilayah
pantai dan laut.
2
Wilayah OKI sebagian besar memperlihatkan tipologi ekologi rawa,
meskipun secara lokal dapat ditemukan dataran kering. Dengan demikian wilayah
OKI dapat dibedakan menjadi dataran lahan basah dengan topografi rendah
(lowland) dan dataran lahan kering yang memperlihatkan topografi lebih tinggi
(upland). Daerah lahan basah hampir meliputi 75 % wilayah OKI dan dapat
dijumpai di kawasan sebelah timur seperti Kecamatan Air Sugihan, Tulung
Selapan, Cengal, dan Kecamatan Sungai Menang. Sedangkan lahan kering dapat
terdapat di wilayah dengan topografi bergelombang, yaitu di Kecamatan Mesuji
Makmur, Lempuing dan Kecamatan Lempuing Jaya.
3. Permasalahan terkait Lahan Gambut di Wilayah OKI
Selain isu perubahan iklim, isu yang saat ini menjadi fokus internasional
adalah permasalahan kebakaran gambut. Masalah kebakaran hutan dan lahan
gambut di Indonesia saat ini semakin meningkat dan tentunya menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup dan sosial ekonomi. Dampak kebakaran hutan
dan lahan menyebabkan asap yang memberikan kerugian ekonomi yang dapat
mencapai milyaran rupiah. Selain itu jumlah emisi karbon yang keluar pada saat
kebakaran terjadi dapat mencapai 13-40% dari total produksi emisi karbon dunia
sehingga menjadikan Indonesia sebagai penghasil polusi terbesar di dunia.
Faktor utama terjadinya kebakaran dapat digolongkan menjadi dua yaitu
adanya pemicu kebakaran dan kondisi pendukung. Pemicu kebakaran merupakan
faktor yang secara langsung mempengaruhi terjadinya penyulutan api. Pemicu
kebakaran ini dapat disebabkan oleh aktivitas manusia yang disengaja maupun yang
tidak disengaja atau kelalaian. Selain itu pemicu kebakaran juga dapat disebabkan
oleh faktor alam seperti petir dan gesekan-gesekan antara ranting-ranting daun yang
kering. Kemarau panjang juga salah satu faktor alam yang dapat memicu terjadinya
kebakaran hutan dan lahan.
Sumatera Selatan menjadi daerah yang berpotensi atau rawan terjadinya
kebakaran dalam skala luas yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Aktivitasaktivitas tersebut seperti:
Penyiapan lahan
3
Penyiapan lahan ini kerap dilakukan oleh masyarakat ataupun
perusahaan. Penyiapan lahan dengan cara pembakaran masih seringkali
dilakukan karena cenderung lebih praktis, mudah dilakukan dengan
peralatan yang sederhana, dan tidak mengeluarkan biaya yang mahal serta
tenaga kerja yang digunakanpun tidak banyak. Masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan rawa gambut sudah terbiasa dan secara turun-temurun
menggunakan api untuk menyiapkan lahan gambut sebagai lahan
perkebunan juga pertanian. Penyiapan lahan dengan cara tersebut dikenal
dengan sistem sonor. Pengendalian api yang tidak maksimal akan
menyebabkan pembakaran tidak terkontrol dan semakin meluas karena
lahan gambut menjadi sangat kering pada musim kemarau.
Adanya konflik lahan
Konflik lahan juga menjadi motif pembakaran yang dilakukan oleh
manusia. Api seringkali digunakan oleh masyarakat lokal sebagai alat untuk
menjarah lahan tak bertuan. Konflik lahan juga seringkali terjadi antara
masyarakat lokal setempat dengan perusahaan sejenis HTI yang lahannya
saling berdekatan. Contoh kasusnya seperti di Dusun Talang Petai dan
dusun lainnya di Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, OKI. Sejak
tahun 2009 masyarakat setempat tidak lagi dapat bersawah sonor (sistem
penanaman padi tradisional di areal rawa saat kemarau panjang), karena
lahan mereka yang sebelumnya digunakan, kini menjadi konsesi PT. Bumi
Mekar Hijau (BMH) yang tahun 2015 silam terbakar.
Permasalahan lainnya ialah status lahan gambut yang masih masuk
dalam kawasan hutan produksi (HP) seluas ± 300 hektare yang dinyatakan
pemerintah sebagai kawasan HP. Menurut masyarakat, lahan tersebut sudah
mereka kelola turun-temurun sejak awal tahun 1960-an jauh sebelum
pemerintah menetapkan lahan tersebut menjadi kawasan HP.
Kelalaian manusia
Kelalaian manusia yang menggunakan api secara tidak bijaksana
kerap kali menjadi sumber terjadinya kebakaran besar. Membuang puntung
rokok sembarangan di lahan gambut atau pemadaman api yang tidak
4
menyeluruh menyebabkan kebakaran semakin meluas akibatnya kebakaran
hutan dan lahan tak dapat lagi dikendalikan.
Selain kondisi pendukung, penyebab kebakaran hutan dan lahan
juga disebabkan oleh beberapa faktor pendukung antara lain kondisi iklim,
kondisi fisik lahan, dan sosial ekonomi budaya masyarakat sekitar. Kondisi
iklim yang kering dan panas menjadi pemicu kebakaran. Kebakaran rawan
terjadi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan
intensitas panas matahari tinggi. Kebakaran akan semakin tinggi jika
ditemukan adanya gejala El Nino. Kebakaran akan berkurang jika telah
masuk musim penghujan dimana intensitas panas akan menurun. Kondisi
fisik lahan dan hutan yang telah terdegradasi merupakan salah satu faktor
pemicu terjadinya kebakaran.
Hutan dan lahan yang terdegradasi terutama yang disebabkan oleh
eksploitasi kayu baik secara legal maupun illegal dan konversi untuk
perkebunan/HTI, persawahan dan transmigrasi. Di hutan yang terdegradasi
menjadi lebih rawan terhadap kebakaran, karena mudahnya penyulutan dan
penyebaran api. Selain itu, masyarakat cenderung menggunakan api sebagai
sarana dan cara murah dan cepat dalam berbagai aktivitas untuk menunjang
kebutuhan hidupnya seperti membuka ladang, berkebun, sawah sonor,
berburu dan mencari ikan. Di Sumatra Selatan, budaya penggunaan api
sudah lama diterapkan oleh masyarakat tradisional yang hidup di sekitar
hutan atau peladang berpindah.
4. Masa depan lahan gambut di OKI
Kebutuhan akan minyak kelapa sawit maupun kertas telah memicu
perluasan sektor perkebunan yang cepat di Indonesia. Saat ini Indonesia
merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Lahan-lahan
gambut di OKI paling banyak dimanfaatkan oleh HTI yang memproduksi
kertas. Saat ini kawasan lahan gambut Kabupaten OKI telah diusahakan
oleh tiga pemegang izin usaha hutan tanaman, yaitu PT. SBA Wood
Industries, PT. Bumi Andalas Permaii dan PT. Bumi Mekar Hijau yang
menanami Acacia crassicarpa.
5
Makin berkurangnya lahan gambut di OKI akibat kebakaran tak
hanya memberikan kerugian bagi kehidupan manusia saja, tetapi berimbas
pula pada kehidupan makhluk hidup lainnya. Jika kebakaran terus saja
terjadi kedepannya, tentunya lahan gambut akan semakin banyak hilang,
ekosistem makin tak seimbang lalu bumi akan semakin tercemar.
Keberlangsungan lahan gambut semakin dipertanyakan.
Masyarakat OKI banyak yang menjadikan lahan gambut sebagai
mata perncaharian mereka. Ketergantungan akan lahan gambut terbukti
dengan banyaknya persawahan, perkebunan dan sumber ekonomi lainnya
milik warga. Keberadaan lahan gambut tentunya menjadi anugerah sendiri
bagi mereka dan jika lahan gambut semakin berkurang, tentunya akan
menjadi masalah bagi mereka juga jika ditinjau dari aspek sosial-ekonomi
dan budaya. Pengeringan lahan gambut dengan cara membuat kanal juga
masih dilakukan oleh masyarakat. Pengeringan gambut ini dikarenakan
jalan yang masyarakat buat selalu tergenang selama musim penghujan,
seperti yang terjadi di Dusun Talang Petai, Desa Ulak Kedondong,
Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI ini.
Usaha-usaha untuk menjaga lahan gambut saat ini telah banyak
dilakukan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mempertahankan
gambut dari degradasi yang makin parah, yakni dengan mencetuskan
moratorium gambut. Moratorium ini berisi kebijakan tentang penudaan
pemberian izin baru hutan alam dan lahan gambut yang berada di hutan
konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan
produksi tetap, hutan produk yang dapat dikonversi) dan areal penggunaan
lain untuk digunakan dalam sektor perkebunan. Akan tetapi moratorium ini
tidak berlaku untuk perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau
penggunaan kawasan hutan yang telah ada selama izin di bidang usaha
tersebut masih berlaku.
Moratorium ini dinilai menjadi salah satu usaha yang positif sebagai
langkah pelestarian gambut Indonesia yang memiliki peranan besar
terhadap ekosistem lahan basah dunia. Akan tetapi, menurut beberapa ahli
lingkungan, moratorium gambut dinilai dapat mengganggu sektor usaha.
6
Dengan adanya moratorium, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam
bidang budidaya gambut akan terganggu, dan menyebabkan serapan tenaga
kerja serta perolehan devisa negara juga akan berkurang. Moratorium masih
menjadi sebuah perdebatan bagi pihak yang pro dan kontra.
Terlepas dari perdebatan terkait moratorium, upaya-upaya untuk
memperluas pencegahan kebakaran semata-mata bukan hanya dibebankan
pada pihak-pihak yang terlibat dalam penggunaan sumber daya gambut saja,
melainkan kontribusi semua elemen masyarakat juga dibutuhkan, karena
gambut merupakan sumber daya alam yang patut kita jaga kelestariannya.
Memberikan solusi alternatif selain pertanian berbasis api di lahan gambut
bagi para petani sangatlah dibutuhkan agar kedepannya para petani lebih
sadar akan kelebihan dan kekurangan lahan gambut. Edukasi juga perlu
dilakukan kepada para investor dan perusahaan-perusahaan yang
melakukan budidaya di lahan gambut, perlunya kesadaran akan
pemeliharaan gambut serta penyiapan lahan dengan cara sehat akan dapat
menjaga keberlangsungan lahan gambut yang kini mulai berkurang.
Usaha lain yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberlangsungan
gambut ialah menghentikan penghancuran dengan cara melindungi hutan
dan lahan gambut di Indonesia (termasuk melakukan langkah-langkah cepat
untuk mencegah kebakaran). Menurut Greenpeace, melakukan perjanjian
antara para trader (perusahaan pembeli) dengan cara berkolaborasi dan
melakukan aksi bersama untuk memastikan jika ada perusahaan yang masih
menciptakan kondisi akan terjadinya kebakaran dan asap dengan cara
mengeringkan lahan gambut dan menghancurkan hutan agar dikeluarkan
dari pasar.
Usaha memperbaiki kerusakan hutan seperti hilangnya hutan karena
kebakaran dengan cara rehabilitasi masuk kedalam usaha untuk menjaga
dan mengembalikan kondisi hutan agar dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Upaya rehabilitasi harus memprioritaskan kawasan hutan gambut
yang rentan yang telah mengalami kebakaran hutan. Terakhir dengan cara
memberikan solusi kepada masyarakat untuk mengembangkan sumbersumber penghidupan yang mendukung konservasi dan restorasi hutan
7
termasuk memperbaiki hasil panen di kawasan perkebunan yang ada dan
mendukung pengembangan koperasi juga dapat dijadikan langkah efektif
menjaga perekonomian dan lingkungan.
5. Kesimpulan & Saran.
Paper ini telah memberikan gambaran tentang kondisi dan
permasalahan yang terjadi di lahan gambut terutama yang terjadi di daerah
OKI Sumatera Selatan. Permasalahan utama yang mengancam lahan
gambut adalah kebakaran yang tiap tahun melanda dan memberikan
kerugian besar bagi daerah maupun negara. Dibutuhkan langkah tegas
dalam menertibkan pihak-pihak yang mengeksploitasi gambut tanpa
memikirkan resikonya. Solusi moratorium dan restorasi gambut yang
diusulkan Pemerintah Pusat menjadi titik terang terjaminnya lahan gambut
untuk beberapa tahun mendatang terlepas dari pro dan kontranya.
Pemberian edukasi dengan pendekatan yang humanis kepada masyarakat
yang tinggal di areal gambut dan perusahaan-perusahaan yang melakukan
budidaya di lahan gambut hendaknya lebih digencarkan demi menjaga
keberlangsungan gambut untuk generasi kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2016. http://www.mongabay.co.id/2016/06/29/mungkinkah-tahun-inigambut-di-oki-tidak-terbakar/. Diakses tanggal 20 November 2016.
Anonimb. 2016. http://www.gatra.com/nusantara/sumatera/219670-15-perusahaansawit-lakukan-pembakaran-lahan-gambut-di-oki. Diakses tanggal 20
November 2016.
Anonimc. 2016. http://economy.okezone.com/read/2016/06/28/320/1427264/
moratorium-gambut-dinilai-ganggu-kepastian-usaha. Diakses tanggal 20
November 2016.
Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Daerah Prov. Sumatera Selatan
(BALITBANGNOVDA). Pengumpulan Data Kedalaman Gambut
Kegiatan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (Survei Lahan Gambut
Kawasan Cetak Sawah Kec. Tanjung Lubuk OKI) http://balitbangnovda
sumsel.com/berita/359. Diakses tanggal 21 November 2016.
8
Center of International Forestry Research (CIFOR). http://blog.cifor.org/
36963/mencegah-kebakaran-dan-kabut-asap-solusi-lestari-bagi-lahangambut-indonesia?fnl=id. Diakses tanggal 21 November 2016.
Chokkalingam, U., Suyanto, Permana, P. R., Kurniawan, I., Mannes, J., Darmawan,
A., Khususyiah, N., dan Susanto, R. H. 2002. Pengelolaan Api, Perubahan
Sumberdaya Alam dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat di
Areal Rawa/Gambut – Sumatera Bagian Selatan. Prosiding Semiloka, ISBN
979-3361-49-2: 35-72.
Greenpeace
.
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/LaranganPembukaan-Gambut-Adalah-Langkah-Terbaik-Mengatasi-PerubahanIklim/. Diakses tanggal 21 November 2016.
Greenpeace. 2015. Indonesia Terbakar : Dalam Kepungan (Krisis kebakaran
Indonesia adalah ujian bagi komitmen korporasi terhadap perlindungan
hutan). Greenpeace International Ottho Heldringstraat 5 : 1066 AZ
Amsterdam, The Netherlands.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of
CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report
Q3943 (2006).
Leliana, N. H., Zulfikhar., Haasler, B. 2015. Laporan dan Modul Teknis
Pemutakhiran Peta Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi
Sumatera Selatan Tahun 2015. GIZ-Bioclime, ISBN: 978-602-741-644-4.
Martin, E., dan Winarno, B. 2010. Peran Parapihak dalam Pemanfaatan Lahan
Gambut; Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(2) : 81-95 hlm.
Rianawati, F., Asyari, M., Fatriyani dan Asysyifa. 2016. Pemetaan Daerah Rawan
Kebakaran Pada Lahan Basah Di Kecamatan Gambut Provinsi Kalimantan
Selatan. Seminar Nasional dan Gelar Produk: 1-10.
Taufik, M., Setiawan, B.I., Prasetyo, L.B., Pandjaitan, N.H., dan Suwarso. 2010.
Peluang Untuk Mengurangi Bahaya Kebakaran di HTI Lahan Basah: Model
Pendekatan Pengelolaan Air. J. Hidrosfer Indonesia, 5(2): 55-62 hlm.
Wahyunto. 2015. Lahan gambut di Indonesia: istilah/definisi, klasifikasi, luasan,
penyebaran dan pemutakhiran data spasial lahan gambut [Presentasi
Powerpoint]. IPN Toolbox Tema A Subtema A1. www.cifor.org/ipntoolbox.
9