Islam dan Aksi Kekerasan Atas Nama Agama (1)

135

B. Islam dan Aksi Kekerasan atas Nama Agama
1. Aksi Kekerasan atas Nama Agama
Dalam kajian tentang kekerasan atas nama agama, tidak dapat dipisahkan
dengan kajian tentang agama itu sendiri dan bagaimana manusia memberikan makna
terhadapnya. Menurut perspektif Sosiologi, kajian tentang agama merupakan objek
yang menarik dan tidak kunjung usai untuk diperbincangkan. Oleh karena itu dari
kajian-kajian menyangkut objek tersebut telah memancing munculnya berbagai
perspektif dari beragam disiplin ilmu. Walaupun demikian, ternyata wacana tentang
agama itu masih merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas untuk dibahas.
Secara mendasar dan umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat
aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya
dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia
dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, sebenarnya agama dilihat sebagai teks
atau doktrin.
Muhammad Iqbal memberi pernyataan tentang agama yang dikutip Damami,
bahwa “religion is an expression of the whole man”, yaitu agama merupakan
pernyataan utuh dari manusia dan sesuatu yang sangat bernilai atau berharga. Oleh
karena itu, wajar saja jika ada pemeluk agama yang terlihat begitu fanatik terhadap
keyakinan agamanya, bahkan sampai pada pengakuan kebenaran tunggal (truth claim)

bahwa hanya dalam keyakinan agamanya sajalah satu-satunya terdapat kebenaran.158

158

Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta: LESFI, 2002),
2-3; Lihat Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (London:
Oxford University-Humprey Milford, 1934), 2.

136

Latar belakang manusia bersedia memeluk dan menghayati agama adalah
disebabkan oleh enam faktor pendorong, yaitu: Pertama, untuk memperoleh rasa aman.
Kedua, untuk mencari perlindungan. Ketiga, untuk mencari penjelasan esensial tentang
dunia dan kehidupan di dalamnya. Keempat, untuk memperoleh pembenaran yang
memuaskan tentang praktik kehidupan yang semestinya. Kelima, untuk meneguhkan
tata nilai yang telah mengakar dalam masyarakat. Keenam, untuk memuaskan
kerinduan pada kehidupan.159
Ada empat motivasi yang mendorong orang berperilaku agama, yaitu: Pertama,
agama dapat dipakai untuk mengatasi frustasi karena alam, sosial, moral, dan kematian.
Kedua, agama dapat dipakai untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.

Ketiga, agama dapat dipakai untuk memuaskan intelek karena dorongan keingintahuan
manusia. Keempat, agama dapat dipakai untuk mengatasi rasa takut.160
Sedangkan Crapps menjelaskan adanya bukti bahwa manusia dalam memeluk
agama disebabkan beberapa faktor, yaitu: pemikiran, emosi religius, afeksi religius,
kehendak, dan pengambilan keputusan moral. 161 Sedangkan menurut Fowler bahwa
beragama itu merupakan gejala universal yang dialami oleh setiap manusia yang hidup
di dunia.162 Dengan demikian agama itu merupakan sesuatu yang bermakna dan
maknanyapun sangat bervariasi antara satu pemeluk dengan yang lain.

159

AM. Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), 14-22.
160
Nico Syukur Dister OFM., Pengalaman dan Motivasi Beragama (Yogyakarta: Kanisius,
1988), 74-122.
161
Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamamaan (Yogyakarta: Kanisius,
1994).
162

Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), 46-47.

137

Adapun dalam kaitannya dengan aksi kekerasan atas nama agama, bahwa pada
awalnya istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang
terbuka (overt) atau tertutup (covert), yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan
(deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.163 Dalam hal ini,
kekerasan digunakan sebagai sarana untuk memaksa atau menekan orang lain, dengan
cara pergerakan fisik dan sosial.
Menurut Galtung, kekerasan didefinisikan sebagai akibat perbedaan antara yang
potensial dengan yang aktual. Di satu pihak, manusia mempunyai potensi yang masih
berada di “dalam”. Sedangkan di lain pihak, potensi menuntut diaktualisasikan yaitu
dengan merealisasikan dan mengembangkan diri dan dunianya dengan nilai-nilai yang
dipegangnya. Pengertian “actus” mencakup kegiatan, aktivitas yang tampak (seperti
berpikir, merenung dan kegiatan mental atau psikologis) dan aktivitas yang tidak
tampak. Hal ini menjadi titik tolak (starting point) untuk memahami kekerasan sebagai
akibat perbedaan antara yang potensial dan aktual. Pengandaian dasarnya ialah apa
yang mungkin atau dapat diaktualisasikan, harus direalisasikan. Walaupun, pada

realitanya tidak semua potensia kemudian berkembang menjadi actus.164 Jadi kekerasan
itu terjadi, jika manusia dipengaruhi sehingga realisasi mental dan jasmaninya berada
di bawah realisasi potensialnya.165

163

Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler, “Kekerasan” dalam Teori-teori Kekerasan, ed.
Thomas Santoso (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), 11.
164
Johan Galtung, The True Worlds: A Transnational Perspective (New York: Free Press, 1980).
Lihat I. Marshana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung (Yogyakarta:
Kanisius, 1992) 66; Thomas Santoso, “Kekerasan Politik Agama: Suatu Studi Konstruksi
Sosial Tentang Perusakan Gereja di Situbondo,” (Disertasi Doktor, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2002), 24 – 26.
165
Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan, 64.

138

Galtung juga membedakan Kekerasan Personal, Struktural dan Kultural. Sifat

kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang
hebat sehingga dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural
sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak. Dalam masyarakat
statis, kekerasan personal akan diperhatikan, sementara kekerasan struktural dianggap
wajar. Namun dalam masyarakat yang dinamis, kekerasan personal dapat dilihat
sebagai hal yang salah dan berbahaya, sementara kekerasan struktural semakin nyata
menampilkan dirinya.166
Kekerasan personal menitikberatkan pada “realisasi jasmani aktual”. Ada tiga
pendekatan untuk melihat hal tersebut yaitu: Pertama, cara-cara yang digunakan
(menggunakan badan manusia atau senjata). Kedua, bentuk organisasi (individu, massa
atau pasukan). Ketiga, sasaran (manusia). Kekerasan personal dapat dibedakan dari
susunan anatomis (secara struktural) dan fisiologis (secara fungsional). Anatomis
sebagai usaha menghancurkan mesin manusia sendiri (badan), sedangkan Fisiologis
sebagai usaha untuk mencegah agar mesin itu tidak berfungsi.167
Perbedaan kekerasan personal dan kekerasan struktural tidak tajam. Keduanya
dapat memiliki hubungan kausal dan juga hubungan dialektik. Pembedaan antar
keduanya berarti dapat melalaikan unsur struktural dalam kekerasan personal dan unsur
personal dalam kekerasan struktural. Walaupun kekerasan sudah menjadi satu dengan
struktur, namun ada saja orang yang tampaknya menjadi beringas dalam hampir semua
kejadian.168

166

Ibid., 73.
Ibid., 74.
168
Ibid., 76.
167

139

Adapun kekerasan kultural bertalian dengan aspek-aspek budaya yang dapat
digunakan untuk menjastifikasi kekerasan personal atau kekerasan struktural, yaitu
berupa agama, ideologi, bahasa dan seni. Kekerasan kultural menjadikan kekerasan
personal dan kekerasan struktural tampak jelas terlihat, dirasakan, dan dibenarkan atau
tidak salah. Studi kekerasan berbicara tentang dua hal, yaitu penggunaan kekerasan dan
jastifikasi penggunaan kekerasan tersebut. Secara khusus, kekerasan kultural menyoroti
bagaimana cara suatu perbuatan kekerasan personal dan fakta kekerasan struktural
dilegitimasi dan dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Satu cara bagaimana
kekerasan kultural dapat berlangsung, yaitu dengan mengubah warna moral perbuatan
dari merah (salah) menjadi hijau (benar) atau kuning (dapat diterima). Atau dengan

cara lain yaitu dengan membuat realitas menjadi tidak jelas atau samar sehingga kita
tidak mampu melihat fakta yang sesungguhnya adalah kekerasan. 169 Menurut Pierre
Bourdieu, kekerasan kultural yaitu bentuk kekerasan yang halus dan tidak tampak atau
tersembunyi di balik pemaksaan dominasi kekuasaan simbolik atau dikenal dalam
bentuk kekerasan simbolik dan kekerasan semiotik. Sedangkan kekerasan semiotik
merupakan bentuk kekerasan yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan.170
Dari deskripsi tentang kekerasan, maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok besar. Pertama, kekerasan sebagai tindakan aktor (actor action) atau
kelompok aktor (actor group). Kedua, kekerasan sebagai produk dari suatu struktur
(violence as a product of the structure). Ketiga, kekerasan sebagai jejaring antara aktor
dengan struktur (violence as a interrelationship between actor and structure).
169

Manfred B. Steger & Nancy S. Lind, Violence and Its Alternatives: An Interdiciplinary
Reader (New York: St. Martin’s Press, 1999), 39-40.
170
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Oxford: Polity Press, 1991).

140


Kelompok pertama dipelopori ahli biologi, fisiologi dan psikologi. Mereka
berpendapat bahwa manusia melakukan kekerasan karena kecenderungan bawaan
(innate) atau sebagai konsekuensi dari kelainan genetik atau fisiologis. Mereka
memang meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis manusia, namun
mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor biologis sebagai faktor penyebab
kekerasan.171 Dan juga belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia
dari pembawaannya memang menyukai kekerasan.
Menurut Gustave Le Bon, kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan
kelompok aktor (crowd) yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan.172 Ted Robert
Gurr mendefinisikan kekerasan politik sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor
yang menentang rezim yang berkuasa.173 Dan Charles Tilly menyatakan bahwa
kekerasan akan berhasil, jika aktor mampu memobilisasi massa lewat suatu kalkulasi
politik.174
Kelompok kedua, pengertian kekerasan sebagai tindakan yang berkaitan dengan
struktur. Johan Galtung menyatakan bahwa kekerasan sebagai segala sesuatu yang
menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar.
Kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan yang tidak langsung, tidak tampak, statis

171


Jennifer Turpin & Lester R. Kurtz, The Web of Violence: From Interpersonal to Global
(Urbana and Chicago, University of Illinois Press, 1997), 3; James Gilligan, Violence:
Reflections on a National Epidemic (New York: Vintage Books, 1996).
172
Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, The Sociology of Deviance: An Introduction
(Boston: Little Brown and Company, 1982), 235.
173
Santoso, Kekerasan Politik Agama, 28. Lihat Ted Robert Gurr, Why Men Rebel (Pinceton:
Princeton University Press, 1970), 22.
174
Louise A. Tilly & Charles Tilly ed., Class Conflict and Collective Action (London: Sage
Publications, 1981) 17-22.

141

dan memperlihatkan stabilitas tertentu.175 Dengan demikian, kekerasan tidak hanya
dilakukan aktor atau kelompok aktor namun juga oleh struktur, seperti aparatur negara.
Kelompok

ketiga,


kekerasan

dikemukakan Anthony Gidden,

176

sebagai

jejaring

aktor

dengan

struktur

Jennifer Turpin & Lester R. Kurtz177 sebagai

berikut: Pertama, konflik bersifat endemik bagi kehidupan bermasyarakat. Konflik

tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat positif atau negatif, namun sebagai sesuatu
yang ditentukan. Kedua, ada sejumlah alat alternatif untuk menyampaikan konflik
sosial. Ketiga, untuk menyampaikan masalah kekerasan sengan efektif diperlukan
perubahan dalam organisasi sosial dan perubahan sikap individu. Keempat, masalah
kekerasan merupakan salah satu masalah pokok dalam kehidupan modern. Kelima,
terdapat hubungan kekerasan level mikro – makro dan antara aktor – struktur.
Pemecahan masalah (problem solving) kekerasan struktural mengharuskan orang
terlibat dalam kekerasan aktor, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, spesialisasi
akademik justru mengaburkan masalah karena mengabaikan pendekatan yang holistik,
termasuk dimensi ruang dan waktu.
Dari penjelasan ketiga kelompok di atas, menunjukkan bahwa kelompok
pertama dan kedua cenderung memilah-milah kajian kekerasan. Kekerasan sebagai
tindakan aktor menekankan aspek mikro namun mengabaikan aspek makro, dan
berfokus pada bentuk kekerasan personal yang sering terbatas ruang dan waktu.
Sebaliknya, kekerasan sebagai produk dari struktur lebih menekankan aspek makro
namun mengabaikan aspek mikro, serta menitikberatkan pada bentuk kekerasan
175

Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan, 64; Santoso, Kekerasan Politik Agama, 28.
Anthony Gidden, The Nation – State and Violence (Berkeley and Los Angeles: University of
California Press, 1985), 294-341.
177
Turpin & Kurtz, The Web of Violence, 12 – 13.
176

142

struktural yang sering meniadakan kompleksitas kekerasan personal. Oleh karena itu,
kekerasan sebagai jejaring antara aktor dan struktur yang memekankan pendekatan
interdisipliner merupakan cara yang paling tepat untuk memahami kekerasan secara
holistik.
Hal-hal yang juga penting untuk dikaji ialah bagaimana mobilisasi kekerasan
agama dapat terjadi, seperti dinyatakan Gurr 178 bahwa kekerasan dimulai dari diri aktor.
Individu yang sebelumnya memberontak harus memiliki latar belakang situasi seperti
terjadinya ketidakadilan, munculnya kemarahan moral, dan kemudian memberi respon
berupa kemarahan terhadap sumber penyebab. Selain itu, massa harus merasakan
situasi konkrit dan langsung yang menjadi pendorong ungkapan kemarahan mereka,
sehingga mereka bersedia menerima resiko yang berbahaya.
Sejarah menunjukkan bahwa tidak semua kekerasan di dunia ini memiliki
landasan agama, namun lebih banyak kekerasan terjadi atas nama agama. 179 Secara
apologetik adalah terlalu sederhana untuk mengklaim bahwa

ajaran agama pada

dasarnya tidak memiliki unsur kekerasan dan hanya manusialah yang membelokkan
dari makna sesungguhnya. Dalam realitanya, akar kekerasan dapat ditemukan langsung
dalam agama dan oleh karena itu agama dapat dengan mudah dijadikan kendaraan bagi
tendensi kekerasan. 180
Kenyataan menunjukkan bahwa sejarah kehidupan manusia, seperti yang
tercantum dalam narasi Kitab Suci, adalah sejarah tentang kekerasan. Agama
secara moralitas memang tidak mengajarkan atau melakukan kekerasan. Namun
178

Gurr, Why Men Rebel, 22.
Wim Beuken & Karl-Josef Kushel ed., Religion as a Source of Violence (London: SCM
Press, 1997), vii.
180
Santoso, Kekerasan Politik Agama, 43 – 44.
179

143

agama, terutama agama propetis, akan melakukan tindakan kekerasan ketika
identitas mereka merasa terancam. Penganut agama ini merasa tindakan
kekerasan yang mereka lakukan dibenarkan oleh “Tuhan” mereka.
Bila disentuh sistem-sistem agama besar lainnya maka akan ditemukan jejak
yang sama. Naskah-naskah landasan agama tersebut mencerminkan ritualisasi
kekerasan pengorbanan, penggunaan kekerasan untuk mencapai kebaikan tertinggi dan
kebutuhan akan kekerasan dalam mempertahankan iman, bersamaan dengan
regulasi etis kekerasan tidak sah, semuanya bertujuan mencapai perdamaian
tertinggi. 181
Dalam pada itu, analisis sosiologis menyatakan bahwa agama dapat berfungsi
mempersatukan masyarakat (integrasi) atau memecah belah masyarakat (disintegrasi).
Ajaran agama yang menekankan cinta kasih, perdamaian, keadilan, kejujuran dan
pelbagai perbuatan baik lainnya tentulah diharapkan dapat berfungsi integratif.
Namun di sisi lain, kecenderungan setiap agama yang menganggap agamanya
paling benar, sifat ekspansi agama dari daerah kelahirannya ke daerah-daerah lain,
serta penetrasi agama ke dalam budaya lokal, acapkali menimbulkan tindak
kekerasan yang mengarah pada fungsi agama yang integratif. Konflik juga semakin
bertambah ketika agama menjadi sumber langsung kekerasan.
Dalam beberapa kasus, agama menghasilkan perbedaan pemahaman. Beberapa
perbedaan tersebut muncul secara mudah sebagai dasar moralitas yang digunakan
sebagai alasan bagi aksi-aksi kekerasan, dan intensitas ritual yang digunakan sebagai alat
untuk melakukan aksi itu. Perbedaan-perbedaan lainnya merupakan perbedaan yang
181

Ibid., 44.

144

lebih mendalam dan menjadi bagian dan inti agama itu. Citra agama tentang perjuangan
yang gampang dikenali, dan konsep-konsep tentang perang yang dahsyat telah dilakukan
dalam perjuangan-perjuangan sosialnya. Ketika peperangan itu diimpi-impikan
sebagaimana yang muncul dalam rencana manusia, akhirnya hal itu mereka tuangkan
menjadi kenyataan melalui aksi-aksi kekerasan.182
Permasalahan itu semakin kompleks dengan adanya pemahaman baru yang
menyatakan bahwa agama berperan dalam bagian dunia yang lain sebagaimana
ideologi masyarakat, khususnya dalam gerakan nasionalisme agama, dimana agama
dan ideologi politik digabungkan. Ketika kasus-kasus ini diungkap, agama menjadi
tidak bersalah, dengan catatan tidak membawa ke arah kekerasan. Namun kenyataannya,
dengan adanya gabungan dari tatanan kehidupan politik, sosial, dan ideologi, maka
agama lebur dengan ekspresi kekerasan sebagai perwujudan dari aspirasi sosial, harga
diri, dan gerakan demi perubahan politik. 183
Jika agama telah melegitimasi aksi kekerasan tertentu, mereka juga berusaha
untuk membatasi frekuensi dan ruang aksi tersebut. Sikap yang membingungkan
ini mencerminkan penggunaan kekerasan sebagai suatu alat untuk mempertahankan
diri diri dan mematuhi norma-norma agama pada salah satu sisi, namun juga
mengetahui potensinya atas sifat merusak yang tidak dapat terkontrol terhadap
pihak lain. Pada hampir sebagian besar agama seseorang menjumpai penekanan
yang mendalam antara penggunaan dan sublimasi kekerasan dan suatu

182

Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence
(Berkeley – Los Angeles – London: University of California Press, 2000), 8.
183
Ibid., 9.

145

keberanian untuk menjadi “martir yang suci” yang mengorbankan hidup mereka
untuk kehidupan orang lain. 184
Untuk meletuskan kekerasan, identitas agama harus memusnahkan
identitas perorangan pada sejumlah besar orang, membangkitkan kembali
perasaan cinta yang dikaitkan dengan identifikasi awal bersama anggotaanggota kelompok yang dimiliki seseorang, dan kebencian terhadap kelompok
lain yang anggotanya dihomogenisasikan, dan dilecehkan martabatnya. Untuk
terjadinya kekerasan, ancaman terhadap identitas agama harus melawan
penghalang tertentu, dimana potensi tindakan menghakimi menjadi tindakan
kemarahan yang diaktifkan sepenuhnya yang secara jelas melalui dan antara
anggota suatu kelompok- agama. Dipicu oleh kabar angin, dinyalakan oleh
demagog agama, keinginan untuk menghakimi memberikan sinyal pemusnahan
identitas kelompok dan harus dilawan oleh pengukuhannya yang kuat. 185
Keterlibatan agama dibandingkan identitas sosial lainnya tidak akan
padam

secara

perlahan,

melainkan

sebaliknya,

meningkatkan

konflik

kekerasan. Agama membawa konflik antara kelompok intensitas emosi yang
lebih besar dan motivasi pemaksaan yang lebih mendalam dibandingkan
bahasa, daerah atau olokan terhadap identitas etnis lainnya. 186
Skenario kekerasan dan sasaran yang menjadi tujuannya secara
bersamaan menunjukkan bahwa kekerasan atas nama agama bukanlah sesuatu
184

R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence and Reconciliation
(Lanham – Bouldet – New York – Oxford: Rowman & Littlefield Publisher, 1999), 11.
185
Sudhir Kakar, The Colors of Violence, Cultural Identities, Religion and Conflict (Chicago &
London: The University of Chicago Press, 1996), 192.
186
Ibid., 192.

146

yang bersifat alami maupun sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sebaliknya,
dalam pelbagai kasus diinformasikan bahwa agama telah menjadi sumber
kekerasan di berbagai belahan dunia. Dan lebih dari itu ditunjukkan pula
skenario kekerasan sedang ditangani atas nama agama yang dipahami dan
dipraktikkan dengan cara yang berbeda. la memainkan peran penting - baik
yang positif maupun negatif - di semua agama-agama besar. Ritual-ritual yang
menimbulkan kekerasan sangat inheren dalam agama. Kekerasan tidak dapat
begitu saja diabaikan dan dengan naif dihindari. la menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun pada saat yang sama, unsur-unsur destruktif yang
imanen dalam kekerasan dapat ditransformasikan dan kemudian diatasi. Dalam
hal ini, agama pun dapat menjadi dasar yang kuat untuk mengatasi
kekerasan. 187
Di sisi lain, unsur pengorbanan merupakan hal penting dalam
kebanyakan agama. Sifat fundamental kekerasan dan peran pengorbanan
dianggap sebagai cara untuk melarikan diri dari kekerasan. Di sini,
pengorbanan menjadi sesuatu yang semakin ritual, yang menghasilkan
kekerasan simbolik. Sakralisasi kekerasan membuat kekerasan tersebut dapat
dibedakan dari kekerasan pada umumnya dan akhirnya diterima sebagai sesuatu
yang wajar oleh suatu masyarakat. Agama telah dijadikan pembenar kekerasan.
Dalam pada itu, kekerasan politik-agama menempatkan politik dan
agama sebagai faktor-faktor

yang menjadi sumber kekerasan. Namun tidak

tertutup kemungkinan pula digunakannya agama sekaligus sebagai alasan
187

Beuken & Kushel ed., Religion as a Source of Violence, viii.

147

pembenar bagi para pelaku kekerasan. Misalnya, pertentangan antara yang baik
dan yang jahat dalam Kitab Suci agama-agama (nabi) merupakan sumber
kekerasan yang terkait dengan agama. Pemihakan agama pada kebaikan telah
membenarkan banyak kekerasan dalam sejarah semua agama.
Kekerasan politik-agama yang banyak terjadi di negara yang baru
merdeka, yang berjuang untuk menentukan identitas nasionalnya dan adanya
kelompok minoritas yang menegaskan hak-haknya, mengakibatkan agama
memainkan peran yang lebih besar. 188 Lituania, Armenia dan Azeris adalah
beberapa contoh di antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan
otoritas mutlak sebagai hak prerogatif yang tidak dapat dipisahkan dari
kekuasaan. Agama telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya
untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika merasa eksistensinya
terancam. Kekerasan telah dibingkai “agama” sebagai ekspresi keinginan untuk
menetralisir dosa. Massa yang terbius oleh politik-agama diyakinkan lewat
janji-janji kembalinya dunia yang telah mereka hancurkan. Jika penentraman
seperti itu telah mendapat dukungan, muncullah ekspresi kreativitas agama asli
di antara orang yang disubordinasikan. 189
Berdasarkan uraian di muka, penulis mendefinisikan agama sebagai
sistem kepercayaan (belief system), yang muncul dan terwujud dalam
kehidupan masyarakat melalui interaksi-interaksi peribadatan ( ritual system),
dan tanggap terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh para penganutnya
188

Peter Janke ed., Ethnic and Religious Conflicts (Europe & Asia: Aldershot, Dartmouth,
1994), viii.
189
Santoso, Kekerasan Politik Agama, 48.

148

(community system). Dalam pengertian tersebut, agama semestinya tidak
menimbulkan kekerasan karena ia diturunkan justru sebagai pedoman untuk
hidup secara damai dan saling menghargai. Namun, kenyataannya agama dapat
menimbulkan kekerasan apabila bersinggungan dengan faktor lain, misalnya,
kepentingan

kelompok/nasional

atau

penindasan

politik.

Agama

dapat

disalahgunakan dan disalaharahkan baik dari sisi eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, agama propetis, seperti Islam dan Kristen, cenderung
melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Dari sisi
internal, agama propetis cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin
tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Secara operasional, kekerasan agama
terkait dengan ritual system, dan community system. Oleh karena itu,
pemahaman agama atau bagaimana agama diinterpretasikan merupakan salah
satu alasan yang mendasari kekerasan agama.
2. Perilaku Kekerasan dalam Perspektif Psikologi
Psikologi sebagai ilmu telah memiliki sejarah yang panjang dalam usahanya

149

untuk memahami penyebab terjadinya kekerasan.190 Pada awalnya, penelitian psikologi
lebih menekankan pada karakter pelaku tindak kekerasan yang unik dan abnormal,
misalnya Pizzey yang menemukan bahwa suami yang melakukan kekerasan fisik
terhadap istrinya memiliki kepribadian yang sadis.191 Namun Strauss menyatakan
bahwa hanya 10% saja kasus kekerasan yang disebabkan oleh kekacauan pribadi
(personal disorder). Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Crenshaw yang
tidak menemukan tanda-tanda bahwa anggota IRA (Irish Republican Army) terganggu
secara emosional.192 Menurut Crenshaw, perilaku teror lebih dipengaruhi oleh
komitmen ideologi dan solidaritas kelompok.193
Dalam penelitian tentang kelompok, misalnya tawuran pelajar, ditemukan
adanya kontribusi kelompok terhadap kekerasan. Clayton, Barlow, dan Ballif-Spanvill
190

Tutut Chusniyah, “Ideologi, Mortality Salience dan Kekerasan ‘Suci’: Analisis Model
Struktural,” (Tesis MA, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005). Studi Psikologi ini telah menguji
model kekerasan suci, apakah model teoretik yang diajukan menggambarkan pengaruh ideologi
jihad, ideologi politik konservatif, belief in a just world, mortality salience terhadap kekerasan
suci. Sebanyak 371 responden berusia 15-40 tahun dari kelompok Islam fundamentalis mengisi
kuesioner untuk mengukur variabel-variabel penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
model teoretik yang dajukan sesuai untuk menjelaskan kekerasan suci. Kekerasan suci
dipengaruhi oleh ideologi jihad, ideologi politik konservatif, belief in a just world dengan
mortality salience sebagai mediator. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jihad merupakan
ideologi keagamaan yang paling besar pengaruhnya terhadap kekerasan suci. Saran bagi
penelitian selanjutnya adalah mengembangkan penelitian mengenai jihad dan pengaruhnya
terhadap kekerasan suci dengan memperluas sampel dan menguji variabel lain yang mungkin
juga dapat mempengaruhi kekerasan suci, seperti persepsi terhadap ancaman, identitas dan
soldaritas kelompok, RWA, deprivasi, atau juga meneliti jihad sebagai legitimize ideology
dalam perspektif teori SDO. Penelitian ini juga telah dipresentasikan pada konferensi AASP
(Asian Association of Psychology) pada tanggal 4 April 2005 di Universitas Victoria
Wellington, New Zealand.
191
D. J. Christie, et. al., Peace, Conflict and Violence: Peace of Psychology for 21 Century
(New Jersey: Prentice-Hall. Inc, 2001).
192
J. M. Post, “Terrorist Psychologic: Terrorist Behavior as a Product of Psychological Forces”
dalam Origin of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, State of Mind. ed. W. Reich
(Washington. D. C.: The Woodrow Wilson Center Press, 2003).
193
M. Cottam, et. al., Introduction to Political Psychology (Mahwa, New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., 2004).

150

menyatakan bahwa pada individu yang bergabung dalam kelompok, keanggotaannya
dalam kelompok akan menyebabkan anonimitas individu. Menurut Diener, perasaan
anomi dalam diri individu ini akan mengurangi kesadaran diri dan mengganggu
persepsi. Keadaan itulah yang menyebabkan individu berperilaku ekstrim, yang pada
keadaan normal bukan merupakan karakter individu. Sedangkan Festinger menjelaskan
keadaan anonimitas individu ke dalam proses deindividuasi. Seorang individu yang
telah menjadi bagian dari kelompok tidak lagi menjadi individu, karena identitas
individualnya hilang. Selanjutnya Mullen mengatakan bahwa deindividuasi ini
menghancurkan proses pengaturan diri (self-regulation) yang normal dan menyebabkan
perilaku agresif. 194
Dalam sejarah kekerasan agama yang dilakukan oleh kelompok Islam
fundamentalis di Indonesia, tercatat beberapa peristiwa sejak tahun 1970 hingga tahun
2004. Di antara peristiwa-peristiwa itu misalnya serangan bom terhadap sejumlah
gereja, klab-malam, dan bioskop oleh Komando Jihad antara tahun 1970-1980-an.
Contoh lain adalah teror Warman yang terjadi di Lampung pada pertengahan tahun
1980-an. Pada

tahun 1990-an sampai dengan sekarang, Front Pembela Islam

(selanjutnya disebut FPI), mengadakan razia dan perusakan bar, klab-malam, dan
hotel.195
Kekerasan yang lebih mutakhir terjadi pada sekitar tahun 2000, yaitu serangan
bom pada malam Natal di berbagai kota di Indonesia, yang menewaskan belasan orang
dan mencederai puluhan lainnya.196 Kekerasan yang paling banyak memunculkan
194

C. J. Clayton, et. al., “Principle of Group Violence with Focus on Terrorism” dalam
Collective Violence. ed. H. V. Hall & L. C. Whitaker (Washington D. C.: CRC Press, 1999).
195
A. Purnomo, FPI Disalahfahami (Jakarta: Mediatama Indonesia, 2004).
196
Kompas, 1 April 2002.”Serangan Bom di Indonesia dan Filipina”.

151

reaksi dunia internasional dan paling banyak menimbulkan korban tewas (yaitu 180
jiwa) adalah bom yang meledak di Paddy’s Café dan Sari Club Denpasar Bali pada
tanggal 12 Oktober 2002, peledakan bom di hotel Mariot Jakarta, dan serangan bom
bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004.
Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis diidentifikasi
sebagai kekerasan ‘suci’ (sacred violence). Kekerasan ‘suci’ merupakan kekerasan
yang memanipulasi simbol-simbol dan idiom-idiom agama untuk menyebarkan
kebencian, mengintimidasi, mengganggu, melukai dan membunuh orang lain atas nama
Tuhan.197 Kekerasan ‘suci’ ditemukan hampir pada semua agama, bahkan menurut
Hamblim dan Peterson kekerasan ‘suci’ merupakan bagian integral dari sejarah agama
Nasrani. Sejak perang suci Heraclius pada tahun 620 M, perang agama pada abad 16
dengan munculnya Protestan hingga perang salib. Sampai saat ini, Christian identity
movement (gerakan identitas Kristen) membenarkan penggunaan kekerasan yang
dilakukan untuk menghukum orang yang menyimpang dari hukum Tuhan.
Dalam agama Hindu, dua epiknya yaitu Mahabarata dan Ramayana,
menceritakan bahwa Tuhan sendiri berinkarnasi untuk berperang ‘suci’ melawan setan
di bumi. Sedang sejarah perang ‘suci’ pada agama Budha di Jepang dicontohkan
dengan adanya ksatria monyet (buddist sohei) atau kodifikasi perang yang bersandar
pada Budhisme yang disebut Bushido. Sedang dalam Islam, dalil-dalil al-Qur’an dan
al-Hadits seringkali digunakan sebagai pembenaran terhadap kekerasan ‘suci’,
http://www.kompas,com/ kompas-cetak/0204/01/nasional/radio6.htm. (januari,2004).
197
W. J. Hamblim & D. C. Peterson,”Religion and Violence: an Unholy Combination. ”
http://www.meridianmagazine.com/ideas.html. (januari, 2004) ; D. C. Perlmutter, ”Sacred
Violence From Skanalon 2001: the Religious Practices of Modern Satanist and Terrorist. ”
http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html . (januari,2004).

152

misalnya pamflet The Neglected Duty (Al-Faridah Al-Ghai’bah) yang ditulis oleh Abd
Al-Salam Faraj dari kelompok Al-Jihad, yang kemudian menjadi pendorong untuk
melakukan pembunuhan terhadap Presiden Anwar Sadat pada tahun 1981.198 Begitu
juga halnya dengan alasan moral yang digunakan para ulama dalam memberikan
pembenaran moral terhadap pelaku bom bunuh diri.199
a. Kajian Teoretik
Penelitian psikologi ini menguji model kekerasan ‘suci’ yang dilakukan oleh
kelompok Islam fundamentalis di Indonesia yang difokuskan pada teori ideologi dan
teori managemen teror. Penelitian melibatkan empat konstruk teoretik yaitu: ideologi
jihad, ideologi politik konservatif, believe in a just world (selanjutnya disebut BJW)
dan mortality salience sebagai mediator.
Pertama,

menurut Perlmutter kekerasan ‘suci’ mendapat pembenaran oleh

kelompok Islam fundamentalis dengan menginterpretasi ideologi jihad. Ideologi jihad
merupakan sebuah aliran (genre) yang sangat populer dalam dunia Islam, namun
sampai 11 September 2001 hanya mendapat sedikit perhatian dalam dunia Barat. 200
Jihad dalam dunia Islam bukan saja sangat populer, bahkan menurut Hamada

198

D. Rappoport, “Sacred Terror: A Contemporary Example from Islam” dalam Origin of
Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, State of Mind, ed. W. Reich (Washington. D.
C.: The Woodrow Wilson Center Press, 2003).
199
M. Kramer, “The Moral Logic of Hizballah” dalam Origin of Terrorism: Psychologies,
Ideologies, Theologies, State of Mind, ed. W. Reich (Washington D.C.: The Woodrow Wilson
Center Press, 2003).
200
D. Perlmutter, ”Sacred Violence From Skanalon 2001: The Religious Practices Of Modern
Satanist And Terrorist”
http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html(januari ,2004)

153

popularitas agama Islam sepanjang sejarahnya dikarenakan Islam memiliki prinsip
jihad ini.201
Pengertian jihad sendiri masih diperdebatkan, sehingga belum ditemukan
pengertian tunggal. Istilah jihad berasal dari kata Arab jahada (kata benda abstrak,
juhd) yang bermakna berusaha dengan sekuat tenaga, berusaha dengan segenap
hatinya.202 Definisi klasik dari jihad adalah: “…exerting, one’s umost power, effort,
endeavors or ability in contending with an object of disapprobation”.

203

Sedangkan

menurut pemahaman asketik dan mistik, dibedakan antara jihad besar yang
merepresentasikan perjuangan melawan dirinya sendiri dan jihad kecil yaitu berjuang
di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Dengan demikian, penelitian ini melihat jihad dalam
dua dimensi yaitu: jihad besar dan jihad kecil.
Kedua, kelompok Islam fundamentalis ini biasanya cenderung menutup diri dari
pengalaman dan titik pandang yang dianggap mempengaruhi pandangan dunia mereka
(worldview). Ketertutupan kelompok fundamentalis
merupakan

terhadap pandangan lain

mekanisme pemeliharaan ideologi.204 Mekanisme

itu membuat para

penganut fundamental percaya bahwa tidak ada pandangan dunia yang dianggap
sebagai kebenaran selain pandangan dunia yang mereka miliki. 205 Kelompok Islam
201

N. Abi-Hashem, “Peace and War In The Middle East: A Psychological And Sociocultural
Perspective“ dalam Understanding Terrorism: Psychological Roots, Consequences and its
Interventions, ed. F. Moghaddam, & A. Marsella, (Washington D. C.: American Psycho logical
Assosiation, 2004).
202
Madjid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam. Ter. Kiswanto (Yogyakarta:
Tarawang Press. 2002).
203
R. Firestone, Jihad: The Origin of Holy War in Islam (New York: Oxford University Press,
1999).
204
R. K. Unger. “Them and Us: Hidden Ideologies-Difference in Degree or Kind?” dalam
Analyses of Social Issue and Public Policy, 2, 1, (2002), 43-52.
205
E. Staub. The Roots of Evil: The Origins of Genocide and Other Group Violence (New York:
Cambridge University Press, 1989).

154

fundamentalis ini, cenderung kaku dan dikotomis (baik-buruk) dalam mengartikan
dunia sosial.206 Mereka cenderung tidak toleran, ekstrim, fanatik, kaku, dan literalis. 207
Gambaran itu disebut sebagai ciri ideologi politik konservatif.208 Menurut Garcia dan
Griffitt, orang yang konservatif memiliki sikap yang lebih keras dibandingkan dengan
orang yang liberal. Jika dipandang dari perspektif konservatif, kelompok Islam
fundamentalis memiliki pandangan ideologi politik konservatif terhadap isu-isu sosial
politik. Individu yang memiliki ideologi politik konservatif cenderung tidak toleran
pada perbedaan pendapat dan anti perubahan.209
Ketiga, fenomena kekerasan ‘suci’ ini juga dapat dilihat dari perspektif
managemen teror.

Menurut penelitian J. Greenberg, S. Solomon, N. Veeder, T.

Pyszczynsk, S. Kirkland dan D. Lyon tentang managemen teror menunjukkan bahwa
dengan mengingatkan subjek terhadap kematiannya sendiri akan menyebabkan reaksi
negatif terhadap orang-orang yang kepercayaan dan nilai-nilainya berbeda dengan
dirinya.210 Dan juga penelitian E. Harmon-Jones, L. Simon, T. Pyszczynsk, S. Solomon
dan H. McGregor, menemukan bahwa mortality salience (MS) menyebabkan subjek
memberi rekomendasi yang lebih keras terhadap para pelanggar moral. 211 Adapun
206

T. Adorno, et. al., The Authoritarian Personality (New York: Harper, 1950); P. E. Tetlock,
“Cognitive Style and Political Ideology” dalam Journal of Personality and Social Psychology,
41, (1983), 207-212.
207
Achmad Jainuri, et. al., Terorisme dan Fundamentalisme Agama (Malang: Bayu Media
Publishing, 2003).
208
Tetlock, “Cognitive Style and Political Ideology”, 207-212.
209
J. Vala, et. al., “Perception of Violence as a Function of Observer’s Ideology and Actor’s
Group Membership” dalam British Journal of Social Psychology, 27, (1988), 231-237.
210
J. Greenberg, et. al., ”Evidence for Terror Management Theory II: The Effect of Mortality
Salience Relations to the Who Threaten or Bolster the Cultural Worldview” dalam Journal of
Personality and Social Psychology, 58, 2, (1990), 308-318.
211
E. Harmon-Jones et. al., ”Terror Management Theory and Self-Esteem: Evidence that
Increased Self-Esteem Reduce Mortality Salience” dalam Journal of Personality and Social
Psychology, 72, 1, (1997), 24-26.

155

penelitian J. Greenberg, L. Simon, T. Pyszczynsk, S. Solomon, N. Veeder, dan D.
Chatel menemukan bahwa individu dengan ideologi politik konservatif, yang sangat
tidak toleran, bila memikirkan kematiannya sendiri cenderung untuk bersikap tidak
toleran terhadap orang lain yang berbeda.212 Dengan demikian, diharapkan pada orang
dengan ideologi politik konservatif dengan melalui MS akan berhubungan secara
positif dengan kekerasan ‘suci’.
Keempat, orang percaya bahwa mereka hidup di dunia yang setiap orang akan
memperoleh apa yang sepatutnya ia peroleh. Pada orang yang memiliki kepercayaan
bahwa dunia itu adil adanya (belief in an just world atau BJW), menurut C. Dalbert, I.
M. Lipkus, H. Sallay and I.Goch, mereka akan berperilaku sesuai dengan aturan-aturan
yang adil dan hal itu mempengaruhi perilaku sosialnya dalam kehidupan sehari-hari. 213
Sebaliknya, orang-orang yang percaya bahwa dunia itu sebetulnya bukan tempat yang
adil

(belief in an unjust world atau BUW)

menunjukkan kecenderungan untuk

berperilaku tidak sesuai dengan aturan-aturan yang adil.214 Hal ini terjadi karena konsep
BJW menunjukkan kontrak personal antara individu dengan dunia sosialnya. Sehingga
semakin kuat individu memegang BJW, maka semakin kuat pula kewajibannya untuk
berperilaku sesuai dengan aturan keadilan. Sebaliknya individu dengan BUW akan
mempertinggi kemungkinan untuk tidak adil. Bila hipotesis ini benar, maka diharapkan

212

J. Greenberg, et. al., ”Terror Management and Tolerance: Does Mortality Salience always
Intensify Negative Reactions to other Who Threaten One’s Worldview?” dalam Journal of
Personality and Social Psychology, 63, 2, (1992), 212-220.
213
C. Dalbert et. al., ” A Just and Unjust World: Structure and Validity of Different World
Beliefs ” dalam Personality and Individual Differences, 30, (2001), 561-577.
214
M. J. Lerner, The Belief in a Just World: A Fundamental Delution (New York: Plenium Press,
1980).

156

BJW dan BUW dapat memprediksikan kekerasan ‘suci’ dengan BUW lebih condong
terhadap kekerasan dibandingkan dengan BJW.
Pada penelitian ini, pertama diukur kekerasan ‘suci’ dari dukungan mereka
terhadap berbagai kemungkinan respon untuk menyerang dan merusak papan iklan bir,
papan iklan bergambar porno, tempat perjudian dan prostitusi, kafé, bar, klub-malam,
dan hotel-hotel. Model kekerasan ‘suci ini diringkas dalam figur 1:
γ22

Jihad
γ21

IPK

γ12
γ13

MS

β21

Kekerasan
‘Suci’

γ23

BJW

Figur 1. Model Kekerasan ‘suci
Keterangan:
Gama (γ) = matrik koefisien yang menghubungkan variabel laten (LVs) eksogenus dengan (LVs)
endogenus.
Beta (ß) = matrik koefisien yang menghubungkan satu (LVs) endogenus dengan satu (LVs) endogenus
lainnya.

Perlmutter menjelaskan bahwa sepanjang sejarah dan lintas budaya, kekerasan
‘suci’ dimaafkan dan dianggap penting berdasarkan prinsip-prinsip agama pelaku.
Penganut agama secara serius dihadapkan pada paradoks dari penganut yang
menganggap kekerasan ‘suci’ sebagai kewajiban ‘suci’. Penggunaan kekerasan ‘suci’
selalu dapat dibenarkan bila dilakukan dalam rangka menghukum pelanggar hukum

157

Tuhan. Kejahatan yang bertujuan untuk penyucian selalu dapat dibenarkan. 215 Dalam
agama Islam pembenaran dilakukan melalui interpretasi ideologi jihad, yang dilakukan
oleh kelompok Islam fundamentalis. Individu yang memiliki jihad tinggi, akan
mendukung kekerasan ‘suci’ sehingga kita harapkan jihad akan berpengaruh langsung
terhadap kekerasan suci. Kecenderungan tersebut semakin kuat bila individu diingatkan
akan kematiannya sendiri atau MS individu diaktifkan. Dalam persepektif teori
manajemen teror, ketika individu diingatkan akan kematiannya sendiri individu merasa
cemas dan mengatasi kecemasan dengan kembali pada nilai dan kepercayaan yang
dimiliki serta berusaha untuk hidup sesuai dengan standar nilai dan kepercayaannya.
Dalam pandangan kelompok Islam fundamentalis, keberadaan bar, klab-malam,
café, hotel, papan iklan porno, sejumlah tempat prostitusi, dan perjudian, menyimpan
ancaman terhadap validitas kepercayaan, nilai, dan konsep realitas budaya individu.
Menurut Rosenblatt, Greenberg, Solomon, Pyszczynski, dan Lyon bahwa kelompok
Islam fundamentalis menganggap transgresor adalah ‘setan’ dan konsekuensinya orang
yang melanggar moral harus dihukum. Oleh karena itu, mengaktifkan MS akan
memperkuat pengaruh jihad kekerasan ‘suci’.216
Islam fundamentalis yang melakukan kekerasan ‘suci’, memiliki pandangan
sangat konservatif terhadap berbagai isu sosial dan politik. Menurut A. Farina, B.
Chapnick, J. Chapnick dan R. Misiti terdapat sikap otoritarian yang tinggi pada

215

D. Perlmutter, ”Sacred Violence From Skanalon 2001: The Religious Practices Of Modern
Satanist And Terrorist” http://www.anthropoetics.ucla.edu/ap07202/skanalon.html (january,
2004).
216
J. Greenberg, et. al., ”Evidence for Terror Management Theory II” dalam Journal of
Personality and Social Psychology, 58, 2, (1990), 308-318.

158

individu yang konservatif.217 Efek MS dan reaksi negatif terhadap orang lain yang tidak
sama semakin kuat pada orang yang tinggi otoritariannya. Pada individu yang
konservatif dan tidak toleran maka MS akan mengintensifkan reaksi negatif terhadap
orang yang mengancam pandangan dunia yang dianutnya sehingga mempengaruhi
dukungan individu terhadap kekerasan ‘suci’. Diprediksikan bahwa ideologi
konservatif melalui MS akan berhubungan secara positif dengan kekerasan ‘suci’.
Dalam konsep BJW, diharapkan berkorelasi negatif dengan kekerasan ‘suci’
sedang yang sebaliknya terjadi pada individu dengan BUW. BJW dan BUW dapat
berpengaruh langsung terhadap kekerasan ‘suci’. Menurut Rosenblatt dkk, budaya
memberikan rasa aman dengan cara menjanjikan kekekalan nyata dan simbolik
terhadap orang yang hidup sesuai standar nilai dan melalui konsep bahwa dunia
merupakan tempat yang adil, sesuatu yang buruk tidak akan terjadi pada orang yang
baik. Jika MS diaktifkan pada individu dengan BJW, akan memberikan rasa aman dari
ancaman kematian dan ancaman terhadap validitas konsep realitasnya. Dengan
demikian, adanya MS diprediksikan dapat memperkuat pengaruh BJW terhadap
kekerasan ‘suci’.218
b. Proses Penelitian
Kuesioner yang disebarkan dalam penelitian ini sebanyak 450, sedangkan yang
kembali 373 kuesioner dan yang dapat diolah 371 dengan dua kuesioner tidak lengkap
sehingga tidak dapat diolah. Populasi penelitian ini adalah kelompok Islam
217

A. Farina et. al., ”Political Views And Interprepersonal Behavior” dalam Journal of
Personality and Social Psychology, 22, 3, (1972), 273-278 .
218
A. Rosenblatt et. al., ”Evidence For Terror Management Theory I: The Effect of Mortality
Salience on Reactions to those Who Violate or Uphold the Cultural Value” dalam Journal of
Personality and Social Psychology, 57, 4, (1989), 681-690.

159

fundamentalis dengan sampel penelitian berasal dari kelompok Front Pembela Islam
(FPI) 79 % atau 295 responden, Hizbuttahrir Indonesia (HTI) HTI 16% atau 61
responden dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 5 % atau 15 responden. Sebagian besar
subjek berjenis kelamin laki-laki 83 % atau 309 responden dan perempuan hanya 17 %
atau 62 responden.
Untuk mengukur kekerasan ‘suci’, disusun lima item skala kemungkinan
individu untuk ikut tindakan merusak dengan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju,
sedang 6= sangat setuju terhadap pernyataan). Contoh item skala, ini antara lain,
“Seberapa besar kemungkinan anda ikut bergabung dengan gerakan yang merusak
papan iklan bir” Validitas item dari skala ini antara 0,77 sampai 0,85, dengan α=0,92.
Sedangkan skala ideologi jihad tersusun 12 item yang didasarkan definisi
operasional ideologi jihad dan sebelumnya juga dilakukan elisitasi. Skala ini memiliki
validitas antara 0,42 sampai 0,65, dengan α=0,74. Item pada skala ini juga
menggunakan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju, sedang 6= sangat setuju terhadap
pernyataan). Contoh item skala ini, antara lain, “ Jihad merupakan perang melawan
musuh Islam”
Skala ideologi politik yang terdiri dari 9 item merupakan adaptasi skala
konservatif

umum dari Ray,

item

disesuaikan dengan kondisi sosial politik

di Indonesia. Ray menggunakan skala konservatif umum ini untuk meneliti
psikopatologi, otoritarianisme dan orientasi politik pada mahasiswa Universitas
Macquarie Australia, skala ini memiliki α=0,87 dengan validitas antara 0,24 sampai
0,52. Item pada skala ini juga menggunakan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju,

160

sedang 6= sangat setuju terhadap pernyataan).219 Contoh item dari skala ini adalah,
“Indonesia harus membuka hubungan diplomatik dengan Israel”.
Skala BJW ini merupakan skala yang divalidasi oleh Dalbert pada para tahanan
dan petugas penjara, dengan mengkorelasikan BJW-BUW dengan dengan orientasi
keagamaan, well-being, dan ideologi politik. Skala terdiri dari dua bagian yaitu 6 item
skala BJW dan empat item skala BUW. Dalbert dkk melihat kedua belief ini sebagai
suatu konstruk yang deskrit, sehingga skala BJW dan BUW mengukur dua hal yang
berbeda. Oleh karena itu, seorang individu pada skala Dalbert dkk ini dapat memiliki
kedua belief ini secara bersama-sama. Dengan kata lain, individu tersebut tinggi pada
skor BJW dan juga skor BUW-nya. Skala BJW dengan α=74 dan validitas antara 0,360,64, sedang skala BUW dengan α =0,66 dan validitas antara 0,43-0,47. Item pada
skala ini juga menggunakan skala 6 (angka 1= sangat tidak setuju, sedang 6= sangat
setuju terhadap pernyataan). Contoh item dari skala ini adalah, “Saya percaya bahwa
keadilan selalu menang terhadap ketidakadilan”
Skala MS terdiri dari dua bagian, yaitu MS kognitif dan MS afektif. Skala MS
kognitif terdiri dari 6 item yang disusun berdasarkan hasil elisitasi, berkaitan dengan
apa yang dipikirkan individu akan terjadi sesudah individu itu mati. Pertanyaan yang
digunakan peneliti pada waktu elisitasi berasal dari pertanyaan terbuka yang digunakan
oleh Greenberg dkk. Sedangkan skala MS afektif berupa 11 item keadaan emosi yang
diambil dari Positive and Negative Affective Scale (PANAS) dari Watson, Clark dan
Tellegen, terdiri dari 6 keadaan emosi negatif dan lima keadaan emosi positif. MS
afektif merupakan perasaan atau emosi yang timbul ketika individu memikirkan
219

J. Ray, ”Militarism, Authoritarianism, Neuroticism and Anti Social Behavior” dalam Journal
of Conflict Resolution, 16(3), (1972), 319-340.

161

kematiannya sendiri.220 PANAS ini juga digunakan dalam penelitian Greenberg. Contoh
item skala MS kognitif adalah “Mati berarti berpisahnya ruh dari badan”. Skala ini
memiliki α=82 dengan validitas antara 0,20 sampai 0,67.
3. Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan keterlibatan tiga variabel eksogen,
yaitu ideologi jihad, ideologi politik, dan BJW-BUW terhadap dua variabel endogen,
yaitu kekerasan ‘suci’ dan MS. Prosedur yang dilakukan dalam pengolahan data adalah
model struktural atau tehnik SEM dengan LISREL 8.5 sebagai softwarenya. Pada
model struktural ini, diuji pengaruh langsung dari ideologi jihad dan BJW terhadap
kekerasan ‘suci’, serta pengaruh tidak langsung ideologi jihad, BJW dan ideologi
politik terhadap kekerasan ‘suci’. Untuk mendapatkan model hipotesis yang fit dan
dapat menggambarkan data sampel, sebuah penelitian harus memenuhi kualifikasi
berupa: P-value>0,05, Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA)0,90 and T-value>1,96. Model kekerasan ‘suci’ yang
diajukan sebagai hipotesis fit (antara model dengan data sesuai), dengan good of fit
yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Good of fit Model Kekerasan ‘Suci’
χ

df

RMSEA

p-value

GFI

CFI

1,19

2

0,00

0,77

0,99

0,99

220

D. Watson et. al., ”Development and Validation of Brief Measures of Positive and Negative
Affect: The PANAS Scales” dalam Journal of Personality and Social Psychology, 54, (1988),
1063-1070.

162

Hubungan struktur antara variabel eksogen dengan variabel endogen tersebut di
atas dapat dilihat dengan lebih jelas pada figur 2.

Jihad

0,45
-0,33

IPK

0,14

0,07

0,14

MS

Kekerasan
Suci

0,12

BJW

Figur 2. Model Struktural Kekerasan Suci
Keterangan: IPK=ideologi politik konservatif, BJW=belief in a just world, MS=mortality salience, garis
putus-putus menunjukkan jalur yang tidak signifikan dengan Taraf signifikansi 0,5%

Dilihat dari koefisien standardized solution (SS), maka variabel yang paling
kuat pengaruhnya adalah pengaruh ideologi jihad terhadap kekerasan ‘suci’ yaitu 0,45.
Dengan demikian, individu dengan jihad tinggi cenderung untuk mau ikut kekerasan
‘suci’. Sedang pengaruh jihad terhadap MS bersifat negatif yaitu -0,33, individu dengan
jihad tinggi maka MSnya rendah. Pengaruh ideologi politik konservatif terhadap MS
yaitu 0,14, sedang pengaruh MS terhadap kekerasan ‘suci’ juga 0,14. Maka, individu
dengan ideologi politik konservatif dengan mengaktifkan MS cenderung mau ikut
kekerasan ‘suci’. Sementara pengaruh yang

tidak signifikan terjadi antara BJW

terhadap MS, sedang pengaruh BJW terhadap kekerasan ‘suci’ signifikan pada 0,12
yaitu individu dengan BJW cenderung mau ikut kekerasan ‘suci’. Ringkasan pengaruh

163

variabel eksogen terhadap variabel endogen dapat dilihat secara lebih jelas pada tabel
2.
Tabel 2. LISREL ESTIMATE (MAXIMUM LIKELIHOOD)
Pengaruh Variabel Eksogen Terhadap Variabel Endogen
Pengaruh antar Variabel
Jihad terhadap kekerasan ‘suci’ (γ)

SS
0,45*

T-value
8,6