BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Bantuan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Indonesia dalam Sistem Hukum di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, yang mana hal ini terdapat dalam UUD 1945

  1

  hukum dan hak asasi manusia memiliki keterkaitan dan hubungan yang sangat erat serta tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1.

  Perlindungan Hak Asasi Manusia 2. Pembagian Kekuasaan 3. Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang

  2 4.

  Peradilan Tata Usaha Negara Dalam negara hukum (rechtsstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga semua orang yang memiliki hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum (equality before the law). Persamaan dihadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak statis, artinya kalau ada persamaan dihadapan hukum maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment). Kalau seorang yang mampu (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya, sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu (the have not) juga dapat meminta pembelaan datri seorang atau lebih pembela hukum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat dalam

  1 2 Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat 3.

  Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, (Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan menghadapi masalah hukum, sedangkjan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan karena

  3 tidak sangggup membayar uang jasa seorang advokat.

  Karakteristik negara hukum terlihat jelas karena adanya ketegasan pemisahan kekuasaan sehingga terlihat bahwa pemerintahan dijalankan dengan hukum dan bukan oleh

  4

  perorangan penguasa. Negara berkewajiban untuk dapat mewujudkan terselenggaranya peradilan yang adil dengan menjamin terciptanya suatu keadaan dimana setiap orang

  5 memiliki hak untuk mendapatkan keadilan (justice for all).

  Bantuan hukum merupakan suatu media yang dapat digunakan oleh semua orang dalam rangka menuntut haknya atas adanya perlakuan yang tidak sesuai dengan kaedah hukum yang berlaku. Hal ini didasari oleh arti pentingnya perlindungan hukum bagi setiap insan manusia sebagai subyek hukum guna menjamin adanya penegakan hukum. Bantuan hukum itu bersifat membela masyarakat terlepas dari latar belakang, etnisitas, asal usul, keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, kaya miskin, agama, dan kelompok orang yang dibelanya. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tidak mampu untuk membayar jasa penasihat hukum dalam mendampingi perkaranya. Meskipun ia mempunyai fakta dan bukti yang dapat dipergunakan untuk meringankan atau menunjukkan kebenarannya dalam perkara itu, sehingga perkara mereka pun tidak sampai ke pengadilan.

  Padahal bantuan hukum merupakan hak orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (probono publico).

  Adanya ketidak mampuan masyarakat secara finansial untuk menuntut haknya sesuai dengan prosedur hukum, menuntut untuk diadakannya suatu kebijaksanaan sehingga dapat 3 mengajukan suatu perkara perdata dengan tidak terbentur oleh biaya, khususnya dalam 4 Arief sidharta, Butiran-butiran pemikiran dalam hukum memperingati 70 tahun. hal 238 Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Jakarta: 5 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), hal. 21.

  

FransHendraWinarta, Pro Bono Publico: HakKonstitusional Fakir Miskinuntuk Memperoleh Bantuan Hukum, berperkara perdata, oleh karena itu diperlukan suatu prosedur untuk mengajukan perkara secara cuma-cuma / tidak perlu membayar panjer perkara (prodeo). Sehingga bagi pihak yang kurang mampu, dapat mengajukan gugatan secara cuma-cuma yang disebut dengan berperkara secara prodeo. Hal tersebut sesuai dengan asas trilogi peradilan yaitu peradilan

  6 cepat, sederhana dan murah.

  Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia di bidang bantuan hukum, namun sulit untuk menyajikan suatu sistem penyelenggaraan negara khususnya sistem perundang-undangan bidang bantuan hukum secara tepat guna. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum, selain itu tidak semua kondisi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga sering terdapat kebutuhan untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Kendati pengaturan hal teknis dalam suatu peraturan menjadi kebutuhan terkadang tidak mampu diakomodasi dari pendelegasian wewenang tentang bantuan hukum sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum beserta peraturan pelaksanaannya. Bantuan hukum merupakan tugas dan hak konstitusional bagi setiap warga negara. Jaminan dan perlindungan tersebut pencerminan

  

asas equality before the law yang telah dijamin dalam Pasal 5, 6, dan 7 Universal Declaration

  7

  of Human Right. International Convernant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Pasal 16 dan Pasal 26 dapat dirujuk sebagai dasar normatif perlindungan atas hak memperoleh perlindungan hukum dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi, kemudian dipertajam dengan Pasal 13 ayat (3) ICCPR mengenai syarat pemberian bantuan hukum, yaitu harus

  8 6 berorientasi kepada keadilan dan ketidak mampuan membayar Advokat, Basic Principles on Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Edisi kelima, Liberty Yogyakarta, 7 hal 16 8 Universal Declaration of Human Right (1948)

  Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya, dan Anton F. Susanto,

  9

the Role of Lawyers, dan juga terdapat pada UUD 1945. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): Segala

  warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dasar pertimbangan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen terakhir, menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya didepan hukum, fakir miskin memiliki hak konstitusi untuk diwakili dan dibela oleh Advokat atau pembela umum secara litigasi dan non-litigasi (bantuan hukum) sama seperti orang yang mampu mendapatkan jasa hukum

10 Advokat (legal service). Setiap orang memiliki hak-hak untuk mendapat perlakuan dan

  perlindungan yang adil dengan persamaan dihadapan hukum, maka oleh karenanya untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta pembelakangan yang diderita olehnya, ia berhak pula mendapatkan hukum, Kebenaran dan Keadilan, sesuai dengan asas

11 Negara Hukum.

  Jaminan setiap orang untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum

  12

  13

  sebagai pencerminan asas equality protection the law, dan asas equal justice under the law yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28d ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

  Negara menjamin pula hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk 9 diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang 10 Frans Hendra Winarta, Op.Cit.,hal. 4 11 Syafruddin Kalo, Kuliah Hukum Pidana Pascasarjana USU, Rabu, 23 Oktober 2013.

  Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan (Jakarta: PTElex 12 Media Komputindo, 2000), hal. 29. 13 Equality protection the law adalah perlindungan yang sama oleh hukum. berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28i ayat (1).

  Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya prinsip ini berarti negara mengakui adanya hak-hak dalam ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik bagi para fakir miskin, maka secara konstitusional orang miskin berhak untuk diwakili dan dibela baik didalam maupun diluar pengadilan (acces to legal counsel) sama seperti orang yang mampu membayar atau yang mendapat jasa hukum. Bantuan hukum bagi si miskin termuat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Jadi bantuan hukum adalah hak dari orang yang tidak mampu yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran

  14 persamaan hak di hadapan hukum.

  Pendelegasian wewenang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi juga harus jelas karena pendelegasian wewenang mengenai bantuan hukum tersebut tidak dapat hanya berupa delegasi blanko yang memungkinkan eksekutif membuat berbagai peraturan

  15 dengan dalih sebagai peraturan pelaksana.

  Jaminan terhadap hak dan kewajiban ditegaskan dan dijadikan landasan bagi pembentukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang kemudian disebut dengan UU Bantuan Hukum. UU BanKum ini menjadi salah satu bentuk pelaksanaan hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan

  16

  bantuan hukum bagi orang miskin. Selain itu, jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum telah diatur pula dalam UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 14 17,18,19,dan 34. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak 15 Syafruddin Kalo, Op. Cit.

  

Victor Imanuel W. Nalle, 2013, Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, hal.

16 5.

  Uli Parulian Sihombing, dkk, Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education) dalam Implementasi UU Sipil dan Politik (Kovenan Hak-hak Sipol - International Covenant on Civil and Political Right).

  Pasal 16 dan Pasal 26 Konvensi itu menjamin akan persamaan kedudukan di depan hukum (equity before the law) dimana semua orang berhak untuk perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik berbeda, nasional atau asal muasal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status yang lain-lainnya.

  Negara dalam pemberian perlindungan hukum kepada warganya dapat dilihat dalam penjelasannya yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Adapun aturan pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia diantaranya adalah:

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2013 tentang syarat tata cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum.

  4. Permenkumham Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013.

  5. Permen No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi Dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum Atau Organisasi Kemasyarakatan. Lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum menambah daftar peraturan perundang- undangan yang memuat tentang bantuan hukum, meskipun memang peraturan perundang- 17 undangan yang bersifat lex speciali baru ada setelah hadirnya Undang-Undang ini. Kendala

  

YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan atas implementasi perundang-undangan yang terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum adalah tidak adanya jaminan di dalam UUD 1945 dan di dalam KUHAP bagi orang mampu maupun bagi orang yang tidak mampu untuk membayar atau memperoleh pembelaan. Meskipun Undang-Undang Advokat mengakui konsep bantuan hukum, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum secara mendalam.

  Terdapat berbagai penafsiran dalam beberapa Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang menyebutkan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

  Secara lebih spesifik aturan ini termuat juga dalam Kode Etik Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pasal 7 point h menyatakan bahwa Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu. PERADI sendiri membentuk satu unit layanan bernama PBH PERADI, yang menerapkan kewajiban 50 jam per-tahun untuk setiap Advokat memberikan bantuan hukum

  

pro bono . Terkait dengan bantuan hukum pro bono, negara menjadikan Pos Bantuan Hukum

sebagai wadah untuk bantuan hukum bagi orang tidak mampu.

  Pelaksanaan bantuan hukum juga terdapat perbedaan pendapat tentang Sistem Pro

  

bono maupun Sistem bantuan hukum, sekalipun sama-sama merupakan strategi untuk

  memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi masyarakat miskin dan rentan. Sistem probono bukanlah penganti dari sistem bantuan hukum, tetapi ikut mendukungnya dengan keterlibatan para Advokat sebagai salah satu pemberi layanan. Sistem bantuan hukum tidak meniadakan kewajiban pro bono Advokat. Hal ini telah menjadi isu hukum di sebagian 18 kalangan Advokat karena eksistensi Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi

  Kemasyarakatan yang memenuhi standar Pelaksana Bantuan Hukum dapat merekrut paralegal, dosen, mahasiswa Fakultas Hukum dalam memberikan nasihat atau Bantuan Hukum kepada masyarakat secara litigasi maupun non-litigasi yang diakui dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dimana ketentuan Pasal 4 ayat (3) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. Advokat sebagian besar memandang bahwa seharusnya Undang-Undang Advokat tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi, yang boleh tampil di depan pengadilan hanya Advokat karena hal demikian telah diatur dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Namun hukum acara yang berlaku mencantumkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan istilah penasihat hukum. Ketentuan hanya Advokat sebagai penasihat litigasi telah mengalami perubahan.

  Secara konsepsional, bantuan hukum dalam sistem peradilan terbatas pada charity (undangan kegiatan amal/gratis sebagai wujud kepedulian) dalam kerangka pemerataan keadilan. Konsep yang demikian menjadikan besarnya alokasi anggaran menjadi indikator utama apakah bantuan hukum telah berhasil atau tidak. Anggaran tersebut dikelola oleh pemerintah dan merupakan kebijaksanaan sosial. Kebijaksanaan yang diharapkan agar pemerintah mampu melindungi dan sekaligus bahwa hak asasi manusia telah dilaksanakan yakni melalui bantuan pembiayaan keuangan kepada orang miskin untuk membayar jasa Pemberi Bantuan Hukum. Penetapan besaran anggaran bantuan hukum yang dialokasikan dikhawatirkan menimbulkan kepentingan tertentu dimana anggaran untuk proses nonlitigasi lebih kecil dari pada proses litigasi, hal ini bisa memancing Pemberi Bantuan Hukum yang nakal untuk menyerap secara maksimal anggaran dengan mengesampingkan proses nonlitigasi.

  Sebagai turunan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum adalah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bantuan hukum ini tidak mengatur secara jelas apakah bantuan tersebut dapat diterima oleh kasus yang ancaman atau dendanya kecil yaitu kurang dari satu juta rupiah, sedangkan jika merujuk pada KUHAP seharusnya diberikan pada orang tidak mampu dengan ancaman 5 tahun atau lebih. Perlindungan hukum terhadap orang miskin juga dikhawatirkan tertanamnya sikap perlindungan negatif, yaitu dalam arti Penerima Bantuan Hukum akan melakukan tindakan semaunya karena merasa dilindungi jika nanti terlibat kasus hukum.

  Bantuan hukum sering diartikan masyarakat sebagai suatu tindakan belas kasihan di bidang hukum kepada fakir miskin sebagaimana diungkap dalam Konferensi yang ke-3 dari Law Asia di Jakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Juli 1973 bahwa ada kecenderungan umum yang melihat bantuan hukum kepada orang miskin hanya merupakan belas kasihan tetapi bukan sebagai hak asasi manusia, dimana orang miskin dapat membela dirinya secara hukum dan menyampaikan semua keluhannya untuk kemudian mendapatkan ganti rugi

  19 bantuan hukum janganlah dilihat dari sudut yang sempit.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka penulis dapat merumuskan permasalahan yaitu :

1. Bagaimana Sistim Bantuan Hukum Di Indonesia ? 2.

  Bagaimana Sistim Bantuan Hukum Kedepannya Dan Bantuan Hukum Mana Yang Harus Diperbaiki ? C.

   Tujuan Penelitian 19

  Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang penulis telah kemukakan diatas, maka tujuan yang akan dicapai bagi perkembangan ilmu hukum ialah :

1. Untuk mengetahui sistim bantuan hukum di Indonesia.

  2. Untuk mengetahui sistim bantuan hukum kedepannya, yang dimaksud adalah tantangan dan hambatan apa saja yang terjadi pada poses pemberian bantuan hukum di indonesia dan untuk mengetahui kebijakan hukum mana saja yang harus diperbaiki.

D. Manfaat penelitian

  Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat akedemis

  Hasil penelitian hukum in semoga dapat memberikan manfaat bagi dunia akedemis yang berkaitan tentang pemberian perlindungan bantuan hukum bagi masyarakat miskin di indonesia.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat

  Indonesia pada umumnya, serta memberikan kontribusi pemikiran bagi praktis hokum dan pembuat kebijakan terkait, khususnya sebagai tambahan referensi bagi masyarakat yang ingin memperoleh perlindungan bantuan hukum di Indonesia dalam menghadapi suatu perkara hukum.

E. Metode peneelitian

  Metode penelitian yang akan digunakan dalam upaya pengumpulan data atau bahan dalam rencana penelitian ini adalah metode penelitian normative yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka.

1. Pendekatan Penelitian

  Berdasrarkan penelitian yang bersifat normatif diatas, penelitian yang digunakan dalam tulisan ini yaitu Pendekatan dalam aspek hukum di indonesia dalam menangani

  • – bantuan hukum bagi masyarakat miskin di indonesia yang tercantum dalam Undang undang Tentang Bantuan Hukum.

  Menggunakan pendekatan Komparatif yang dimana pendekatan ini dilakukan dengan melihat peraturan hukum ataupun putusan pengadilan di suatu Negara dengan peraturan hukum di Negara lain, namun haruslah mengenai hal yang sama, dilakukan agar memeperoleh kesesuaian di antara peraturan hukum atau putusan pengadilan tersebut.

2. Jenis dan sumber data

  Di dalam penelitian ini, Jenis data yang diperlukan adalah : Data sekunder yaitu data yang telah diolah dan merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan masalah penelitian, antara lain mencakup dokumen-dokumen, buku-buku, dan sebagainya. Data sekunder tersebut berbentuk bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang akan dijelaskan sebagai berikut.

  a.

  Bahan hukum primer Bahan hukum primer, yaitu badan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yang mengatur pelaksanaan bantuan hukum yang beracara secara Cuma-

  Cuma (prodeo) oleh lembaga-lembaga bantuan hukum.

  b.

  Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan pada dasarnya memberikan penjelasan secara teoritis terhadap rumusan

  • – rumusan peraturan yang dijadikan dasar hukumnya dan atau
menjelaskan secara teoritis bahan hukum primer, seperti pendapat para ahli yang terdapat dalam literatur yang digunakan serta dokumen yang diperlukan.

  c.

  Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier ini pada dasarnya memberikan penjelasan atas berbagai istilah yang digunakan, baik yang terdapat dalam peraturan-peraturan sebagaimana dikemukakan, maupun istilah asing yang digunakan oleh para ahli. Bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus umum, baik kamus bahasa indonesia, bahasa inggris, bahasa belanda maupun bahasa hukum.

  Adapun sumber data yang dalam penelitian ini : 1)

  Penelitian kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan (Library Research) merupakan penelitian yang dilakukan terhadap buku-buku karya ilmiah, undang-undang, dan peraturan- peraturan terkait lainnya. Bahan penelitian kepustakaan ini diperoleh penulis dari : Perpustakaan Fakultas ukum Universitas Kristen Satya Wacana.

  • Perpustakaan Pusat Universitas Kristen Satya Wacana.
  • Buku – buku serta bahan kuliah yang penulis miliki.
  • A.

   Sistematika Penulisan

  Penulisan dalam skripsi ini terbagi ke dalam 3 bab, antara lain :

BAB I : Bab ini akan diuraikan mengenai A. Latarbelakang masalah B.

  C.

  Tujuan penelitian D.

  Manfaat penelitian E. Metode penelitian F. sistematika penulisan dan daftar bacaan.

  BAB II : Bab ini akan dijabarkan mengenai pelaksanaan dan penerapan bantuan hukum bagi masyarakat miskin di indonesia dengan undang

  • – undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia mengenai bantuan hukum

  BAB III : Bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu kesimpulan penulis berdasarkan rumusan permasalahan dan analisis data serta saran.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ratio Legis Perlindungan Merek Terkenal

0 0 10

BAB II GOODWILL SEBAGAI DASAR PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ratio Legis Perlindungan Merek Terkenal

0 0 15

BAB III PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL MERUPAKAN UPAYA UNTUK MELINDUNGI KONSUMEN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ratio Legis Perlindungan Merek Terkenal

0 0 11

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI LANGKAH MEWUJUDKAN PERSAINGAN USAHA SEHAT - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ratio Legis Perlindungan Merek Terkenal

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Memutus Bagian Waris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan di Pengadilan Agama

0 1 11

BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Memutus Bagian Waris Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan di Pengadilan Agama

0 2 46

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh Pengusaha dalam Putusan PHI Tingkat I Nomor 05/PDT.SUS-PHI/2016/PN.PBR dan Putusa

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Tinjauan Pustaka 1.1.1. Perselisihan Hubungan Industrial - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh P

0 0 56

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Hak Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Hak Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Ternate

0 0 62