Dimensi Politik dan Sistem Pendidikan
Politisasi Pendidikan
(Makalah Disusun Guna Memenuhi Salah satu Tugas Pendidikan Komparatif)
Dosen : Dr. Ch. Ismaniarti, M.Pd
Oleh :
Mirza Bashiruddin Ahmad
KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN / TEKNOLOGI
PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan Rahmat dan kasih-Nya, atas kemudahan dan kesehatan yang kami
terima, serta petunjuk-Nya sehingga kami diberi kemampuan dan kemudahan
dalam menyelesaikan makalah ini.
Dengan disusunya makalah ini kami berharap dapat memenuhi tugas yang
telah diberikan kepada kami.
Di dalam makalah ini kami selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang
kami sajikan dengan judul “Politisasi Pendidikan”.
Kami menyadari dengan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan,
menjadikan keterbatasan kami pula untuk menjabarkan yang lebih tentang
masalah tersebut, oleh karena itu kami berharap dan siap menerima masukan
berupa teguran, kritik, dan saran yang bersifat membangun.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
mendukung dan memberikan pengarahan sehingga terselesaikannya makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Permasalahan....................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................3
BAB III : PENUTUP............................................................................................12
A. Kesimpulan...........................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
O’neil, William.2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Suseno, Franz.2010. Pemikiran Karl Marx. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Siswoyo, Dwi. 2011. Ilmu Pendidikan.Yogyakarta:UNYPress.
Sartono, Kus. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:UNYPress .
Katsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta:Tiara Wacana
Suprijanto. 2009. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta:Bumi Aksara
Foucault,M. 1980. The Archeology of Knowledge and the Discourse of Language.
New York:Pantheon
Freire,Paulo.1986. Pedagogy of The Oppressed. New York:Praeger
Rifa’i, Muhammad.2011.Sejarah Pendidikan Nasional.Yogyakarta:Ar-Ruzz
Media.
Gahral Adian, Donny. 2005.Percik Pemikiran Kontemporer .Yogyakarta:
Jalasutra.
Hardiman, Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas.
www.books.google.co.id.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya
manusia
itu
adalah
hewan
yang
berkepntingan,zoon
politicon, begitu kata filsuf kenamaan asal Yunani, Aristoteles.Manusia dalam
mempertahankan keberadaan dirinya, eksistensi diri selalu membuat kebijakan
yang bisa melanggengkannya. Begitu juga dengan pendidikan, dalam dimensi
politik, pendidikan berfungsi sebagai alat penyokong kepentingan penguasa atau
kaum
dominan
dengan
cara
mendidik
masyarakat
untuk
melanggengkan
kepentingannya.
Bagi para praktisi pendidikan di lembaga formal, non formal ataupun
pendidikan rakyat (Popular Education), banyak yang tidak sadar bahwa
ia tengah terlibat dalam suatu pergumulan pertikaian politik dan ideologi
melalui arena pendidikan. Umumnya orang mengira pendidikan sebagai
kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa
berwatak netral, ternyata pendidikan tidak bebas nilai.
Dunia
pendidikan
sangat
terkejut
ketika
para
pelaku
pendidikan
mendapatkan kritikan fundamental dari Paulo Freire dan Ivan Illich di dekade
70an. Freire dan Illich menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang
selama ini dianggap sakral dan penuh kebajikan memiliki unsur penindasan,
dimana pelaku pendidikan tidak disadarkan dulu dengan dunianya, anti
realitas,
sehingga
output
pendidikan
bukanlah
seorang
yang
mampu
menjawab masalah masyarakat yang pada kenyataannya juga merupakan
masalah bagi dirinya. Sekolah tidak pernah menyajikan realita kehidupan
sebenarnya
dan
cara
memecahkan
masalah
tersebut,
bahkan
sekolah
mengajarkan membuat masalah baru dalam kehidupan masyarakat, dengan
demikian kepentingan tertentu memang menginginkan pemisahan diri antara
masyarakat dan dunia pendidikan, sekali lagi pendidikan tidak lepas dari
pergumulan dan pertikaian politik.
Kritik demi kritik yang dilancarkan para pemerhati dunia pendidikan
tentu berkontribusi besar, bagi dunia pendidikan kritik memang seharusnya
menjadi
refleksi
atas
aksi
yang
dilakukan
sehingga
mendewasakan
pendidikan. Dunia pendidikan semakin memperkaya diri dengan berbagai
upaya pencarian model pendidikan sehingga mampu menyongsong aksi
kultural maupun transformasi sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah dimensi politik dan fungsinya dalam negara?
2. Apakah dimensi pendidikan dan fungsinya dalam negara?
3. Apa keterkaitan antara politik dan pendidikan?
4. Bagaimana pendidikan legitimasi yang melanggengkan status quo?
5. Bagaimana pendidikan rekonstruksi yang merubah struktur tatanan sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dimensi Politik dan Fungsinya dalam Negara
Dalam
Pendidikan
Kewarganegaraan
(2006:17)
menjelaskan
bahwa
pengertian negara secara etimologis berasal dari kata nagari/nagara yang berasal
dari bahasa sansekerta yang memiliki arti kota, desa, daerah atau wilayah. Roger
H. Soltau (dalam Pendidikan Kewarganaegaraan, 2006:17-19) menyatakan bahwa
negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan
bersama atas nama masyarakat. Negara mempunyai tujuan untuk memungkinkan
rakyatnya mengembangkan daya ciptanya secara bebas. Sehubungan dengan hal
itu, cara negara yang satu dan negara yang lain cara mewujudkannya tidak sama,
tergantung dari ideologi yang dianutnya.
Zoon Politicon, begitu kata Aristoteles tentang persepsinya terhadap
manusia. Politik digunakan oleh suatu negara untuk mewujudkan tujuan bersama
dengan cara mengatur, mewenangi,suatu masalah atas nama rakyat. Negara
merupakan suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan
sekelompok/beberapa kelompok manusia yang hidup di dalamnya. Artinya,
negara memiliki sebuah kepentingan untuk merawat dan memelihara apa yang ada
didalam
wilayahnya.
mempolitiki
masyarakat
Dalam
dengan
mewujudkan
kepentingan
mengeluarkan
tersebut
negara
kebijakan-kebijakan
tertentu
sehingga terbentuk suatu masyarakat yang sesuai dengan tujuan negara. Inilah
negara,
dialektika
kepentingan
didalamnya
selalu
mewacanakan
antithesis-
antithesis untuk mewujudkan sebuah sinthesis yaitu sebuah negara yang match
dengan keinginan masyarakat dengan jalan politik.
Fungsi sebuah dimensi politik terhadap negara adalah melaksanakan setiap
kepentingan negara dengan cara mengorganisasi kebijakan-kebijakan negara
terhadap masyarakat sehingga tercapai tujuan negara yang berarti tercapai juga
tujuan masyarakat, dengan catatan kebijakan yang diambil merupakan aspirasi
masyarakat.
B. Dimensi Pendidikan dan Fungsinya dalam Negara
Pendidikan merupakan gejala semesta dan berlangsung sepanjang hayat
manusia,dimanapun manusia berada. Dimana ada kehidupan manusia, disitu pasti
ada pendidikan, begitulah pendapat yang diungkapkan Drikarya (dalam Siswoyo,
2011:1). Pendidikan sebagai usaha sadar bagi pengembangan manusia dan
masyarakat, mendasarkan pada landasan pemikiran tertentu. Dengan kata lain,
upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan, didasarkan atas pandangan
hidup atau filsafat hidup, latar belakang sosio-kultural dan pemikiran psikologis
tertentu. Dasar dari pendidikan adalah filsafat, pandangan hidup dalam suatu
masyarakat tertentu sehingga filsafat sebagai dasar yang memberikan pandangan
luas tentang realita menentukan model pendidikan manusianya.
Filsafat memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan, filsafat memberi
pandangan yang luas tentang realita, termasuk pandangan dunia dan pandangan
hidup. Jika semuanya digunakan dalam praktek pendidikan maka akan memberi
landasan tentang tujuan dan metodologi pendidikan. Sebaliknya, jika pengalaman
pendidik dalam menuntut pertumbuhan dan perkembangan anak berkaitan tentang
realita, maka filsafat akan mengembangkan dirinya dengan realita tersebut.
Pendidikan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara, di
dalam pendidikan tercermin juga tujuan negara dan spesifikasi manusia hasil
pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan alat yang bergerak sebagai
variabel bebas yang bisa dimanipulasi oleh subjeknya-dalam hal ini adalah tujuan
negara-sehingga terbentuklah sebuah masyarakat yang terdidik dari pendidikan
tersebut. Seringkali sebuah negara maju diukur dari kualitas dan kuantitas
pendidikan negara tersebut, menurut hemat penulis hal ini adalah upaya yang
konyol mengingat tujuan negara, ideologi yang mencerminkan gaya berpolitik,
output hasil pendidikan yang telah dimanipulasi oleh tujuan negara pada setiap
negara
adalah
pendidikan,
berbeda.
Upaya
perankingan,
penilaian
terhadap
kualitas
standarisasi pendidikan, manajemen pendidikan pada hakikatnya
adalah upaya penyeragaman pendidikan di dunia dengan kepentingan yang
diatasnamakan globalisasi. Sebuah upaya pencapaian standar sejatinya adalah
nonsens, karena hanya negara-negara-yang mengatasnamakan kepentingan globalyang membuat standar saja yang mampu mencapai standar. Jika negara lainnya
mampu mencapai standar tersebut, maka bisa dipastikan seluruh komponen
negara pencapai standar telah dijajah-dengan cara salin tempel pemikiran-oleh
negara pembuat standar.
Bisa diambil kesimpulan bahwa pendidikan merupakan kepanjangan
tangan negara dalam melahirkan masyarakat yang sesuai dengan tujuan negara,
sehingga pendidikan tidaklah bebas dari kepentingan-kepentingan tertentu dalam
hal yang baik maupun buruk.
C. Politik dan Pendidikan
Pendidikan
merupakan
sebuah
mengembangkan potensi peserta didik,
usaha
sadar
dan
terencana
untuk
setidaknya itulah garis merah dari
beberapa definisi pendidikan yang sering diperdebatkan. Dalam pengertian
tersebut mengandung makna fundamental yang dalam pemaparan latar belakang
makalah ini dikritik oleh Paulo Freire dan Ivan Illich. “Sebuah upaya sadar”,
merupakan upaya pertama yang harus dilakukan institusi pendidikan. Upaya
penyadaran yang dilakukan oleh institusi pendidikan bukanlah menyadarkan
bahwa diri peserta didik bodoh dan perlu dicerdaskan, melainkan upaya
penyadaran tentang eksistensi dirinya di dalam dirinya dan di dalam masyarakat
dimana ia melakukan kegiatan sosial. Upaya menyadarkan eksistensi diri sendiri
oleh pendidikan haruslah bersifat dasar pada diri individu tersebut, sedangkan
upaya penyadaran eksistensi dirinya di dalam masyarakat adalah upaya yang
dilakukan institusi pendidikan agar peserta didik mampu merefleksikan apa yang
terjadi pada dirinya dengan masyarakat, permasalahan dirinya dengan masyarakat,
permasalahan masyarakat dengan dirinya dan lebih luas lagi eksistensi dirinya
sebagai seorang warga sebuah negara. Dengan demikian hanya frase ‘’upaya
sadar’’ tidak bisa lepas dari sebuah kegiatan politis, yaitu kegiatan yang memiliki
kepentingan menyadarkan diri tentang eksistensi dirinya dan masyarakatnya.
Terlalu menjadi geguyonan rasanya jika pendidikan bebas nilai.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan hanyalah sebuah
alat untuk mencapai tujuan. Disinilah politik berperan dalam pendidikan, sebagai
variabel bebas
yang
bisa
dimanipulasi,
pendidikan bisa digunakan untuk
kepentingan apapun dalam ukuran baik atau buruk. Pendidikan dimata politik
hanyalah alat untuk melanggengkan sistem dan alat rekonstruksi sistem. Sebagai
contoh ketika elit politik mengkehendaki karakter orang Indonesia harus kembali
pada jalurnya sebagai karakter yang ramah, santun dan jujur. Maka pendidikan
sebagai
alat
pencapai tujuan
menggarap
kurikulum pendidikan
karakter.
Pendidikan sebagai upaya sadar seharusnya mengetahui bahwa pendidikan
karakter bukan hanya semata menginginkan karakter orang Indonesia kembali
pada jalurnya, melainkan adanya pendangkalan makna yang terjadi dalam
pelaksanaan proses. Orang berkarakter Indonesia disimbolkan dengan orang yang
menggunakan pakaian rapi,
merupakan
ekses
yang
licin,
berkemeja dan bersepatu kinclong. Ini
terjadi ketika
dalam pengerjaan
kurikulum yang
terintegrasi dengan pendidikan karakter digarap asal-asalan. Sehingga pelaku
pendidikan seperti pendidik-peserta didik mengalami pendangkalan makna. Dari
segi politik,
bisa saja memang inilah yang dikehendaki oleh elit politik,
menghegemoni budaya kaum elit. Kaum elit seringkali dianggap lebih tinggi
derajatnya dan dianggap lebih santun ketimbang tukang becak dan kaum
proletariat.
Maka sudah jelas kiranya pendidikan tidak boleh bebas nilai, karena akan
sangat menguntungkan kaum yang sedang berkuasa pada saat itu, sebagai contoh
kita seringkali mendapati perubahan kurikulum di setiap perubahan rezim yang
berkuasa.
masyarakat,
Pendidikan
haruslah
pendidikan
haruslah
bermuatan
nilai
yang
dapat
mengayomi
menjadi solusi bagi masyarakat sehingga
menghapus kesenjangan yang dibuat ideologi liberal yang memisahkan antara
pendidikan dan masyarakat, dan Indonesia bukanlah berideologi liberal namun
berideologi Pancasila, yang didalamnya telah mencanangkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
D. Pendidikan Legitimasi
Pendidikan tak ubahnya sebuah alat pencapai tujuan di mata politik,
sehingga apapun yang dilakukan oleh pendidikan berasal dari kepentingan
tertentu. Foucault (dalam Hardiman, 2003) mengatakan bahwa pengetahuan
menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang lain
menjadi subjek dan
kemudian memerintah subjek dengan pengetahuan. Berasumsi pada pernyataan
ini,
maka kita tentu mampu menggambarkan bagaimana kepentingan dan
pendidikan mengalami pergulatan. Kepentingan untuk menguasai subjek didik
dengan cara mendidik melalui pengetahuan-pengetahuan yang diinginkan oleh
pemangku
kepentingan, jelas sudah pendidikan yang diselenggarakan hanya
untuk melanggengkan pemangku kepentingan.
Pendidikan legitimasi merupakan sebuah alat politik yang menginginkan
pelanggengan terhadap sistem yang sudah ada, dengan kata lain pendidikan
konsep ini adalah sebuah upaya pembungkaman publik terhadap sebuah sistem.
Paradigma yang digunakan dalam model pendidikan ini adalah konservatif dan
liberal. Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu
hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah
merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan.
Dalam bentuknya yang
klasik, paradigma ini dibangun berdasarkan keyakinan bahwa pada awalnya
masyarakat
tidak
bisa
melakukan
perubahan
sosial,
hanya
Tuhan
yang
merencanakan dan yang Maha Mengetahui atas apa yang ada dibalik sesuatu.
Paradigma
pendidikan
konservatif melahirkan suatu masyarakat yang naif,
dimana mereka lebih menyalahkan kepada subjeknya. Orang yang menderita,
bodoh, buta huruf, narapidana adalah karena kesalahan mereka sendiri. Toh,
banyak orang bodoh yang pergi ke sekolah dan kini telah cerdas mampu
mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga tidak dipenjara. Kaum miskin,
proletar haruslah sabar dan belajar menunggu hingga tiba giliran mereka datang,
karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebahagiaan dan
kebebasan. Kaum konservatif tidak tahu atau bahkan tidak mau
tahu korelasi
antara realitas yang terjadi dengan sebuah sistem yang berlaku.
Paradigma liberal memiliki keyakinan bahwa memang ada masalah pada
masyarakat, namun itu tidak ada kaitannya dengan pendidikan, dan pendidikan
tidak ada kaitannya dengan permasalahan politik maupun ekonomi masyarakat.
Pendidikan yang diselenggarakan berusaha untuk bebas nilai,obyektif dan netral
sehingga
mereka
mempelajari
ilmu
pengetahuan
untuk
mengembangkan
pengetahuan tersebut. Walaupun kaum liberal memiliki keyakinan demikian,
mereka berusaha agar pendidikan menyesuaikan diri dengan keadaan politik dan
ekonomi dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan
dengan
usaha
pembangunan
reformasi
gedung,
kosmetik.
kelas,
Umumnya
fasilitas baru,
yang
dilakukan
adalah
modernisasi peralatan sekolah,
komputer dan laboratorium serta berbagai cara untuk menyehatkan rasio guru dan
murid. Selain itu berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pembelajaran
dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif. Usaha peningkatan tersebut
terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi
budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
Paradigma
liberal
dan
konservatif
sama-sama
berpendirian
bahwa
pendidikan adalah a-politik dan excellence haruslah menjadi target utama
pendidikan. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan
dominasi politik dan budaya pada masyarakat luas. Salah satu aliran liberal yaitu
struktural fungsionalis justru diperuntukkan sebagai sarana penstabilan norma dan
nilai
masyarakat.
Pendidikan
dimaksudkan
sebagai
media
untuk
mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tat susila keyakinan dan nilai-nilai
dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik. Pengaruh paradigma liberal
terlihat
dalam
pendidikan
yang
mengutamakan
prestasi melalui kompetisi
antarmurid. Penilaian dan perankingan untuk menentukan murid terbaik adalah
salah satu implikasinya.
Kuatnya
pengaruh
filsafat
positivisme
dalam
pendidikan
pada
kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode
yang
dikembangkan
empiris,
tidak
pendidikan
memihak,
berjarak,
mewarisi
positivisme
seperti
obyektivitas,
rasional dan bebas nilai mempengaruhi
pendidikan dan pelatihan. Positivisme memandang pendidikan dan pelatihan
bersifat fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang
harus sesuai dengan pasar kerja. Pendidikan juga tidak toleran terhadap segala
cara mengetahui yang dianggap tidak sah oleh positivisme terhadap sebuah
pengetahuan, artinya setiap jalan sah-oleh positivisme-dalam memandang sebuah
pengetahuan maka itulah yang harus disakralkan, sehingga terbentuk masyarakat
yang
ideologis.
Pendidikan
menjadi a-historis,
yakni mengelaborasi model
masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel dalam model tersebut. Murid
dididik untuk tunduk pada struktur yang ada mencari cara-cara dimana peran,
norma dan nilai-nilai serta lembagayang dapat diintegrasikan dalam rangka
melegitimasi sistem tersebut, asumsinya adalah bahwa tidak ada masalah dalam
sistem, masalah hanya terletak pada mentalitas anak didik, kreativitas, motivasi,
ketrampilan teknis serta kecerdasan anak didik.
E. Pendidikan Rekonstruksi
Pendidikan
adalah
arena
perjuangan
politik,
paham pendidikan ini
meyakini bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam transformasi sosial
sehingga harus diperjuangkan lewat suprastruktur yaitu politik. Paradigma kritis
digunakan dalam membangun pendidikan model ini, jika paradigma konservatif
bertujuan untuk melanggengkan status quo dan paradigma liberal bertujuan untuk
perubahan moderat, maka kaum kritis menghendaki perubahan struktur secara
fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Bagi
mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula di dalam
pendidikan.
Paradigma
kritis
menghendaki urusan
pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas
utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan
struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju tatanan
sosial yang lebih adil. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem
dominan
sebagai
pemihakan
terhadap
rakyat
kecil
dan
tertindas
untuk
menciptakan sebuah sistem baru yang lebih mapan dan adil, dengan kata lain visi
ini mencerminkan tugas utama pendidikan sebagai alat memanusiakan kembali
manusia yang telah terasing-dehumanisasi-karena sistem dan struktur yang tidak
adil dengan menggunakan kesadaran kritis sehingga menghindari ‘blame the
victims’ .
Implikasi dari paradigma
ini adalah
pada
pendekatan
dan
metodologi pendidikan, yaitu munculnya perbedaan pandangan proses belajar
mengajar yang berpaham pedagogi dan andragogi. Perbedaan antara kedua
pendekatan ini bukan hanya perbedaan pada objeknya namun juga cara mendidik,
kedudukan pendidik, model komunikasi dan sebagainya.
Pendidikan kritis menciptakan ruang bagi sitem pendidikan untuk secara
kritis mempertanyakan tentang struktur ekonomi, politik, ideologi, lingkungan,
hak asasi dan kaitannya dengan posisi pendidikan. Pendidikan digunakan untuk
menyadarkan relasi pengetahuan sebagai kekuasaan menjadi akar dari masalah
demokratisasi. Tanpa mempertanyakan hal itu, pendidikan gagal untuk menjawab
akar
permasalahan
masyarakat,
malah
justru
melanggengkannya
karena
merupakan pendukung dari kelas, penindasan dan dominasi, dengan kata lain
pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘ ’Pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang
lain
menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek dengan
pengetahuan”
–FoucaultSetiap usaha pendidikan dan pelatihan perlu melakukan transformasi
hubungan
antara
fasilitator
dan
peserta
pendidikan.
Untuk
melakukan
transformasi terhadap setiap usaha pendidikan dan pelatihan perlu dilakukan
analisis
stuktural
dan
menempatkan
posisi
dimana
sesungguhnya
lokasi
pemihakan pendidikan dalam struktur tersebut. Tanpa pemihakan, visi, analisis
dan mandat yang jelas maka proses pendidikan adalah bagian dari status quo dan
melanggengkan ketidakadilan.
(Makalah Disusun Guna Memenuhi Salah satu Tugas Pendidikan Komparatif)
Dosen : Dr. Ch. Ismaniarti, M.Pd
Oleh :
Mirza Bashiruddin Ahmad
KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN / TEKNOLOGI
PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan Rahmat dan kasih-Nya, atas kemudahan dan kesehatan yang kami
terima, serta petunjuk-Nya sehingga kami diberi kemampuan dan kemudahan
dalam menyelesaikan makalah ini.
Dengan disusunya makalah ini kami berharap dapat memenuhi tugas yang
telah diberikan kepada kami.
Di dalam makalah ini kami selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang
kami sajikan dengan judul “Politisasi Pendidikan”.
Kami menyadari dengan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan,
menjadikan keterbatasan kami pula untuk menjabarkan yang lebih tentang
masalah tersebut, oleh karena itu kami berharap dan siap menerima masukan
berupa teguran, kritik, dan saran yang bersifat membangun.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
mendukung dan memberikan pengarahan sehingga terselesaikannya makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Permasalahan....................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................3
BAB III : PENUTUP............................................................................................12
A. Kesimpulan...........................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
O’neil, William.2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Suseno, Franz.2010. Pemikiran Karl Marx. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Siswoyo, Dwi. 2011. Ilmu Pendidikan.Yogyakarta:UNYPress.
Sartono, Kus. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:UNYPress .
Katsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta:Tiara Wacana
Suprijanto. 2009. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta:Bumi Aksara
Foucault,M. 1980. The Archeology of Knowledge and the Discourse of Language.
New York:Pantheon
Freire,Paulo.1986. Pedagogy of The Oppressed. New York:Praeger
Rifa’i, Muhammad.2011.Sejarah Pendidikan Nasional.Yogyakarta:Ar-Ruzz
Media.
Gahral Adian, Donny. 2005.Percik Pemikiran Kontemporer .Yogyakarta:
Jalasutra.
Hardiman, Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas.
www.books.google.co.id.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya
manusia
itu
adalah
hewan
yang
berkepntingan,zoon
politicon, begitu kata filsuf kenamaan asal Yunani, Aristoteles.Manusia dalam
mempertahankan keberadaan dirinya, eksistensi diri selalu membuat kebijakan
yang bisa melanggengkannya. Begitu juga dengan pendidikan, dalam dimensi
politik, pendidikan berfungsi sebagai alat penyokong kepentingan penguasa atau
kaum
dominan
dengan
cara
mendidik
masyarakat
untuk
melanggengkan
kepentingannya.
Bagi para praktisi pendidikan di lembaga formal, non formal ataupun
pendidikan rakyat (Popular Education), banyak yang tidak sadar bahwa
ia tengah terlibat dalam suatu pergumulan pertikaian politik dan ideologi
melalui arena pendidikan. Umumnya orang mengira pendidikan sebagai
kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa
berwatak netral, ternyata pendidikan tidak bebas nilai.
Dunia
pendidikan
sangat
terkejut
ketika
para
pelaku
pendidikan
mendapatkan kritikan fundamental dari Paulo Freire dan Ivan Illich di dekade
70an. Freire dan Illich menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang
selama ini dianggap sakral dan penuh kebajikan memiliki unsur penindasan,
dimana pelaku pendidikan tidak disadarkan dulu dengan dunianya, anti
realitas,
sehingga
output
pendidikan
bukanlah
seorang
yang
mampu
menjawab masalah masyarakat yang pada kenyataannya juga merupakan
masalah bagi dirinya. Sekolah tidak pernah menyajikan realita kehidupan
sebenarnya
dan
cara
memecahkan
masalah
tersebut,
bahkan
sekolah
mengajarkan membuat masalah baru dalam kehidupan masyarakat, dengan
demikian kepentingan tertentu memang menginginkan pemisahan diri antara
masyarakat dan dunia pendidikan, sekali lagi pendidikan tidak lepas dari
pergumulan dan pertikaian politik.
Kritik demi kritik yang dilancarkan para pemerhati dunia pendidikan
tentu berkontribusi besar, bagi dunia pendidikan kritik memang seharusnya
menjadi
refleksi
atas
aksi
yang
dilakukan
sehingga
mendewasakan
pendidikan. Dunia pendidikan semakin memperkaya diri dengan berbagai
upaya pencarian model pendidikan sehingga mampu menyongsong aksi
kultural maupun transformasi sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah dimensi politik dan fungsinya dalam negara?
2. Apakah dimensi pendidikan dan fungsinya dalam negara?
3. Apa keterkaitan antara politik dan pendidikan?
4. Bagaimana pendidikan legitimasi yang melanggengkan status quo?
5. Bagaimana pendidikan rekonstruksi yang merubah struktur tatanan sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dimensi Politik dan Fungsinya dalam Negara
Dalam
Pendidikan
Kewarganegaraan
(2006:17)
menjelaskan
bahwa
pengertian negara secara etimologis berasal dari kata nagari/nagara yang berasal
dari bahasa sansekerta yang memiliki arti kota, desa, daerah atau wilayah. Roger
H. Soltau (dalam Pendidikan Kewarganaegaraan, 2006:17-19) menyatakan bahwa
negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan
bersama atas nama masyarakat. Negara mempunyai tujuan untuk memungkinkan
rakyatnya mengembangkan daya ciptanya secara bebas. Sehubungan dengan hal
itu, cara negara yang satu dan negara yang lain cara mewujudkannya tidak sama,
tergantung dari ideologi yang dianutnya.
Zoon Politicon, begitu kata Aristoteles tentang persepsinya terhadap
manusia. Politik digunakan oleh suatu negara untuk mewujudkan tujuan bersama
dengan cara mengatur, mewenangi,suatu masalah atas nama rakyat. Negara
merupakan suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan
sekelompok/beberapa kelompok manusia yang hidup di dalamnya. Artinya,
negara memiliki sebuah kepentingan untuk merawat dan memelihara apa yang ada
didalam
wilayahnya.
mempolitiki
masyarakat
Dalam
dengan
mewujudkan
kepentingan
mengeluarkan
tersebut
negara
kebijakan-kebijakan
tertentu
sehingga terbentuk suatu masyarakat yang sesuai dengan tujuan negara. Inilah
negara,
dialektika
kepentingan
didalamnya
selalu
mewacanakan
antithesis-
antithesis untuk mewujudkan sebuah sinthesis yaitu sebuah negara yang match
dengan keinginan masyarakat dengan jalan politik.
Fungsi sebuah dimensi politik terhadap negara adalah melaksanakan setiap
kepentingan negara dengan cara mengorganisasi kebijakan-kebijakan negara
terhadap masyarakat sehingga tercapai tujuan negara yang berarti tercapai juga
tujuan masyarakat, dengan catatan kebijakan yang diambil merupakan aspirasi
masyarakat.
B. Dimensi Pendidikan dan Fungsinya dalam Negara
Pendidikan merupakan gejala semesta dan berlangsung sepanjang hayat
manusia,dimanapun manusia berada. Dimana ada kehidupan manusia, disitu pasti
ada pendidikan, begitulah pendapat yang diungkapkan Drikarya (dalam Siswoyo,
2011:1). Pendidikan sebagai usaha sadar bagi pengembangan manusia dan
masyarakat, mendasarkan pada landasan pemikiran tertentu. Dengan kata lain,
upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan, didasarkan atas pandangan
hidup atau filsafat hidup, latar belakang sosio-kultural dan pemikiran psikologis
tertentu. Dasar dari pendidikan adalah filsafat, pandangan hidup dalam suatu
masyarakat tertentu sehingga filsafat sebagai dasar yang memberikan pandangan
luas tentang realita menentukan model pendidikan manusianya.
Filsafat memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan, filsafat memberi
pandangan yang luas tentang realita, termasuk pandangan dunia dan pandangan
hidup. Jika semuanya digunakan dalam praktek pendidikan maka akan memberi
landasan tentang tujuan dan metodologi pendidikan. Sebaliknya, jika pengalaman
pendidik dalam menuntut pertumbuhan dan perkembangan anak berkaitan tentang
realita, maka filsafat akan mengembangkan dirinya dengan realita tersebut.
Pendidikan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara, di
dalam pendidikan tercermin juga tujuan negara dan spesifikasi manusia hasil
pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan alat yang bergerak sebagai
variabel bebas yang bisa dimanipulasi oleh subjeknya-dalam hal ini adalah tujuan
negara-sehingga terbentuklah sebuah masyarakat yang terdidik dari pendidikan
tersebut. Seringkali sebuah negara maju diukur dari kualitas dan kuantitas
pendidikan negara tersebut, menurut hemat penulis hal ini adalah upaya yang
konyol mengingat tujuan negara, ideologi yang mencerminkan gaya berpolitik,
output hasil pendidikan yang telah dimanipulasi oleh tujuan negara pada setiap
negara
adalah
pendidikan,
berbeda.
Upaya
perankingan,
penilaian
terhadap
kualitas
standarisasi pendidikan, manajemen pendidikan pada hakikatnya
adalah upaya penyeragaman pendidikan di dunia dengan kepentingan yang
diatasnamakan globalisasi. Sebuah upaya pencapaian standar sejatinya adalah
nonsens, karena hanya negara-negara-yang mengatasnamakan kepentingan globalyang membuat standar saja yang mampu mencapai standar. Jika negara lainnya
mampu mencapai standar tersebut, maka bisa dipastikan seluruh komponen
negara pencapai standar telah dijajah-dengan cara salin tempel pemikiran-oleh
negara pembuat standar.
Bisa diambil kesimpulan bahwa pendidikan merupakan kepanjangan
tangan negara dalam melahirkan masyarakat yang sesuai dengan tujuan negara,
sehingga pendidikan tidaklah bebas dari kepentingan-kepentingan tertentu dalam
hal yang baik maupun buruk.
C. Politik dan Pendidikan
Pendidikan
merupakan
sebuah
mengembangkan potensi peserta didik,
usaha
sadar
dan
terencana
untuk
setidaknya itulah garis merah dari
beberapa definisi pendidikan yang sering diperdebatkan. Dalam pengertian
tersebut mengandung makna fundamental yang dalam pemaparan latar belakang
makalah ini dikritik oleh Paulo Freire dan Ivan Illich. “Sebuah upaya sadar”,
merupakan upaya pertama yang harus dilakukan institusi pendidikan. Upaya
penyadaran yang dilakukan oleh institusi pendidikan bukanlah menyadarkan
bahwa diri peserta didik bodoh dan perlu dicerdaskan, melainkan upaya
penyadaran tentang eksistensi dirinya di dalam dirinya dan di dalam masyarakat
dimana ia melakukan kegiatan sosial. Upaya menyadarkan eksistensi diri sendiri
oleh pendidikan haruslah bersifat dasar pada diri individu tersebut, sedangkan
upaya penyadaran eksistensi dirinya di dalam masyarakat adalah upaya yang
dilakukan institusi pendidikan agar peserta didik mampu merefleksikan apa yang
terjadi pada dirinya dengan masyarakat, permasalahan dirinya dengan masyarakat,
permasalahan masyarakat dengan dirinya dan lebih luas lagi eksistensi dirinya
sebagai seorang warga sebuah negara. Dengan demikian hanya frase ‘’upaya
sadar’’ tidak bisa lepas dari sebuah kegiatan politis, yaitu kegiatan yang memiliki
kepentingan menyadarkan diri tentang eksistensi dirinya dan masyarakatnya.
Terlalu menjadi geguyonan rasanya jika pendidikan bebas nilai.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan hanyalah sebuah
alat untuk mencapai tujuan. Disinilah politik berperan dalam pendidikan, sebagai
variabel bebas
yang
bisa
dimanipulasi,
pendidikan bisa digunakan untuk
kepentingan apapun dalam ukuran baik atau buruk. Pendidikan dimata politik
hanyalah alat untuk melanggengkan sistem dan alat rekonstruksi sistem. Sebagai
contoh ketika elit politik mengkehendaki karakter orang Indonesia harus kembali
pada jalurnya sebagai karakter yang ramah, santun dan jujur. Maka pendidikan
sebagai
alat
pencapai tujuan
menggarap
kurikulum pendidikan
karakter.
Pendidikan sebagai upaya sadar seharusnya mengetahui bahwa pendidikan
karakter bukan hanya semata menginginkan karakter orang Indonesia kembali
pada jalurnya, melainkan adanya pendangkalan makna yang terjadi dalam
pelaksanaan proses. Orang berkarakter Indonesia disimbolkan dengan orang yang
menggunakan pakaian rapi,
merupakan
ekses
yang
licin,
berkemeja dan bersepatu kinclong. Ini
terjadi ketika
dalam pengerjaan
kurikulum yang
terintegrasi dengan pendidikan karakter digarap asal-asalan. Sehingga pelaku
pendidikan seperti pendidik-peserta didik mengalami pendangkalan makna. Dari
segi politik,
bisa saja memang inilah yang dikehendaki oleh elit politik,
menghegemoni budaya kaum elit. Kaum elit seringkali dianggap lebih tinggi
derajatnya dan dianggap lebih santun ketimbang tukang becak dan kaum
proletariat.
Maka sudah jelas kiranya pendidikan tidak boleh bebas nilai, karena akan
sangat menguntungkan kaum yang sedang berkuasa pada saat itu, sebagai contoh
kita seringkali mendapati perubahan kurikulum di setiap perubahan rezim yang
berkuasa.
masyarakat,
Pendidikan
haruslah
pendidikan
haruslah
bermuatan
nilai
yang
dapat
mengayomi
menjadi solusi bagi masyarakat sehingga
menghapus kesenjangan yang dibuat ideologi liberal yang memisahkan antara
pendidikan dan masyarakat, dan Indonesia bukanlah berideologi liberal namun
berideologi Pancasila, yang didalamnya telah mencanangkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
D. Pendidikan Legitimasi
Pendidikan tak ubahnya sebuah alat pencapai tujuan di mata politik,
sehingga apapun yang dilakukan oleh pendidikan berasal dari kepentingan
tertentu. Foucault (dalam Hardiman, 2003) mengatakan bahwa pengetahuan
menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang lain
menjadi subjek dan
kemudian memerintah subjek dengan pengetahuan. Berasumsi pada pernyataan
ini,
maka kita tentu mampu menggambarkan bagaimana kepentingan dan
pendidikan mengalami pergulatan. Kepentingan untuk menguasai subjek didik
dengan cara mendidik melalui pengetahuan-pengetahuan yang diinginkan oleh
pemangku
kepentingan, jelas sudah pendidikan yang diselenggarakan hanya
untuk melanggengkan pemangku kepentingan.
Pendidikan legitimasi merupakan sebuah alat politik yang menginginkan
pelanggengan terhadap sistem yang sudah ada, dengan kata lain pendidikan
konsep ini adalah sebuah upaya pembungkaman publik terhadap sebuah sistem.
Paradigma yang digunakan dalam model pendidikan ini adalah konservatif dan
liberal. Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu
hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah
merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan.
Dalam bentuknya yang
klasik, paradigma ini dibangun berdasarkan keyakinan bahwa pada awalnya
masyarakat
tidak
bisa
melakukan
perubahan
sosial,
hanya
Tuhan
yang
merencanakan dan yang Maha Mengetahui atas apa yang ada dibalik sesuatu.
Paradigma
pendidikan
konservatif melahirkan suatu masyarakat yang naif,
dimana mereka lebih menyalahkan kepada subjeknya. Orang yang menderita,
bodoh, buta huruf, narapidana adalah karena kesalahan mereka sendiri. Toh,
banyak orang bodoh yang pergi ke sekolah dan kini telah cerdas mampu
mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga tidak dipenjara. Kaum miskin,
proletar haruslah sabar dan belajar menunggu hingga tiba giliran mereka datang,
karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebahagiaan dan
kebebasan. Kaum konservatif tidak tahu atau bahkan tidak mau
tahu korelasi
antara realitas yang terjadi dengan sebuah sistem yang berlaku.
Paradigma liberal memiliki keyakinan bahwa memang ada masalah pada
masyarakat, namun itu tidak ada kaitannya dengan pendidikan, dan pendidikan
tidak ada kaitannya dengan permasalahan politik maupun ekonomi masyarakat.
Pendidikan yang diselenggarakan berusaha untuk bebas nilai,obyektif dan netral
sehingga
mereka
mempelajari
ilmu
pengetahuan
untuk
mengembangkan
pengetahuan tersebut. Walaupun kaum liberal memiliki keyakinan demikian,
mereka berusaha agar pendidikan menyesuaikan diri dengan keadaan politik dan
ekonomi dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan
dengan
usaha
pembangunan
reformasi
gedung,
kosmetik.
kelas,
Umumnya
fasilitas baru,
yang
dilakukan
adalah
modernisasi peralatan sekolah,
komputer dan laboratorium serta berbagai cara untuk menyehatkan rasio guru dan
murid. Selain itu berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pembelajaran
dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif. Usaha peningkatan tersebut
terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi
budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
Paradigma
liberal
dan
konservatif
sama-sama
berpendirian
bahwa
pendidikan adalah a-politik dan excellence haruslah menjadi target utama
pendidikan. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan
dominasi politik dan budaya pada masyarakat luas. Salah satu aliran liberal yaitu
struktural fungsionalis justru diperuntukkan sebagai sarana penstabilan norma dan
nilai
masyarakat.
Pendidikan
dimaksudkan
sebagai
media
untuk
mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tat susila keyakinan dan nilai-nilai
dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik. Pengaruh paradigma liberal
terlihat
dalam
pendidikan
yang
mengutamakan
prestasi melalui kompetisi
antarmurid. Penilaian dan perankingan untuk menentukan murid terbaik adalah
salah satu implikasinya.
Kuatnya
pengaruh
filsafat
positivisme
dalam
pendidikan
pada
kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode
yang
dikembangkan
empiris,
tidak
pendidikan
memihak,
berjarak,
mewarisi
positivisme
seperti
obyektivitas,
rasional dan bebas nilai mempengaruhi
pendidikan dan pelatihan. Positivisme memandang pendidikan dan pelatihan
bersifat fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang
harus sesuai dengan pasar kerja. Pendidikan juga tidak toleran terhadap segala
cara mengetahui yang dianggap tidak sah oleh positivisme terhadap sebuah
pengetahuan, artinya setiap jalan sah-oleh positivisme-dalam memandang sebuah
pengetahuan maka itulah yang harus disakralkan, sehingga terbentuk masyarakat
yang
ideologis.
Pendidikan
menjadi a-historis,
yakni mengelaborasi model
masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel dalam model tersebut. Murid
dididik untuk tunduk pada struktur yang ada mencari cara-cara dimana peran,
norma dan nilai-nilai serta lembagayang dapat diintegrasikan dalam rangka
melegitimasi sistem tersebut, asumsinya adalah bahwa tidak ada masalah dalam
sistem, masalah hanya terletak pada mentalitas anak didik, kreativitas, motivasi,
ketrampilan teknis serta kecerdasan anak didik.
E. Pendidikan Rekonstruksi
Pendidikan
adalah
arena
perjuangan
politik,
paham pendidikan ini
meyakini bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam transformasi sosial
sehingga harus diperjuangkan lewat suprastruktur yaitu politik. Paradigma kritis
digunakan dalam membangun pendidikan model ini, jika paradigma konservatif
bertujuan untuk melanggengkan status quo dan paradigma liberal bertujuan untuk
perubahan moderat, maka kaum kritis menghendaki perubahan struktur secara
fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Bagi
mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula di dalam
pendidikan.
Paradigma
kritis
menghendaki urusan
pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas
utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan
struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju tatanan
sosial yang lebih adil. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem
dominan
sebagai
pemihakan
terhadap
rakyat
kecil
dan
tertindas
untuk
menciptakan sebuah sistem baru yang lebih mapan dan adil, dengan kata lain visi
ini mencerminkan tugas utama pendidikan sebagai alat memanusiakan kembali
manusia yang telah terasing-dehumanisasi-karena sistem dan struktur yang tidak
adil dengan menggunakan kesadaran kritis sehingga menghindari ‘blame the
victims’ .
Implikasi dari paradigma
ini adalah
pada
pendekatan
dan
metodologi pendidikan, yaitu munculnya perbedaan pandangan proses belajar
mengajar yang berpaham pedagogi dan andragogi. Perbedaan antara kedua
pendekatan ini bukan hanya perbedaan pada objeknya namun juga cara mendidik,
kedudukan pendidik, model komunikasi dan sebagainya.
Pendidikan kritis menciptakan ruang bagi sitem pendidikan untuk secara
kritis mempertanyakan tentang struktur ekonomi, politik, ideologi, lingkungan,
hak asasi dan kaitannya dengan posisi pendidikan. Pendidikan digunakan untuk
menyadarkan relasi pengetahuan sebagai kekuasaan menjadi akar dari masalah
demokratisasi. Tanpa mempertanyakan hal itu, pendidikan gagal untuk menjawab
akar
permasalahan
masyarakat,
malah
justru
melanggengkannya
karena
merupakan pendukung dari kelas, penindasan dan dominasi, dengan kata lain
pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘ ’Pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang
lain
menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek dengan
pengetahuan”
–FoucaultSetiap usaha pendidikan dan pelatihan perlu melakukan transformasi
hubungan
antara
fasilitator
dan
peserta
pendidikan.
Untuk
melakukan
transformasi terhadap setiap usaha pendidikan dan pelatihan perlu dilakukan
analisis
stuktural
dan
menempatkan
posisi
dimana
sesungguhnya
lokasi
pemihakan pendidikan dalam struktur tersebut. Tanpa pemihakan, visi, analisis
dan mandat yang jelas maka proses pendidikan adalah bagian dari status quo dan
melanggengkan ketidakadilan.