Makalah Dampak Stres dan Tingkat Kepuasa

Makalah Dampak Stres dan Tingkat Kepuasan Kerja
Terhadap Kinerja Karyawan
Posted on Januari 20, 2011by widiastutiazmi

Makalah
Dampak Stres dan Tingkat Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan
ABSTRAK
Banyak perusahaan berkeyakinan bahwa pendapatan, gaji atau salary merupakan faktor
utama yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Sehingga ketika perusahaan merasa sudah
memberikan gaji yang cukup, ia merasa bahwa karyawannya sudah puas. Sebenarnya
kepuasan kerja karyawan tidak mutlak dipengaruhi oleh gaji semata. Banyak faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya adalah kesesuaian pekerjaan, kebijakan
organisasi termasuk kesempatan untuk berkembang, lingkungan kerja dan perilaku atasan.
Stres tidak dengan sendirinya harus buruk. Walaupun stres lazimnya dibahas dalam konteks
negatif, stres juga mempunyai nilai positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu
menawarkan perolehan yang potensial
Adalah menjadi tugas manajemen agar karyawan mengelola stres kerja dan memiliki
semangat kerja dan moril yang tinggi serta ulet dalam bekerja. Biasanya karyawan yang puas
dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang
diharapkan dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Dengan tercapainya
kepuasan kerja karyawan dan terhindarnya stres kerja maka produktivitas pun akan

meningkat.
Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun
perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja
perusahaan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karyawan
memegang peran utama dalam menjalankan roda kehidupan perusahaan. Apabila karyawan
memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka laju roda pun akan berjalan
kencang, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi
perusahaan. Di sisi lain, bagaimana mungkin roda perusahaan berjalan baik, kalau
karyawannya bekerja tidak produktif, artinya karyawan tidak memiliki semangat kerja yang
tinggi, tidak ulet dalam bekerja dan memiliki moril yang rendah serta mengalami stres kerja.
Adalah menjadi tugas manajemen agar karyawan mengelola stres kerja dan memiliki
semangat kerja dan moril yang tinggi serta ulet dalam bekerja. Biasanya karyawan yang puas
dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang
diharapkan dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang
kepuasan kerjanya rendah, cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan
membosankan, sehingga ia bekerja dengan terpaksa dan asal-asalan. Untuk itu merupakan

keharusan bagi perusahaan untuk mengenali faktor-faktor apa saja penyebab stres kerja dan
yang membuat karyawan puas bekerja di perusahaan. Dengan tercapainya kepuasan kerja
karyawan dan terhindarnya stres kerja maka produktivitas pun akan meningkat.
Di dalam lingkungan kerja, ketegang¬an yang sering dialami oleh karyawan akan
mengganggu situasi kerja serta konsentrasi dalam menyelesaikan tugasnya. Keadaan itu bisa
mengakibatkan menurunnya prestasi kerja yang tentunya sangat merugikan diri karyawan dan
perusahaan.
Timbulnya ketegangan seperti digambarkan di atas pada hakikatnya disebabkan oleh tiga

faktor, yakni masalah organisasi di lingkungan kerja, faktor si karyawan, dan hal lain yang
berhubungan dengan masyarakat. Bisa terjadi seorang karyawan mengalami ketegangan
karena ketiga faktor atau salah satu faktor saja.
Faktor di lingkungan kerja yang dapat menyebabkan ketegangan pada diri seseorang antara
lain masalah administrasi, tekanan yang tidak wajar untuk menyesuai¬kan diri dengan
pekerjaan dan situasi kerja, struktur birokrasi yang tidak tepat, sistem manajemen yang tidak
sesuai, perebutan kedudukan, persaingan yang semakin ketat untuk memperoleh kemajuan,
anggaran yang terbatas, perencanaan kerja yang kurang baik, jaminan pekerjaan yang tidak
pasti, beban kerja yang semakin bertambah dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan
pekerjaan.
Kepuasan kerja dalam teori motivasi Maslow menempati peringkat yang tinggi. Sebab ia

berkaitan dengan tujuan manusia untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan potensi
dirinya dalam pekerjaan. Namun motivasi ini kadang terbendung oleh berbagai ragam
kerutinan, hambatan lingkungan kerja yang kurang seimbang, atau situasi dan perangkat kerja
yang secara ergonomis tidak mendukung peningkatan produktivitas kerja. Stres yang dialami
karyawan dan kepuasan kerja yang didambakan seolah merupakan dua kondisi yang bukan
saja berkaitan, tetapi sekaligus antagonistis.
Melihat pengaruh yang sangat penting antara stres kerja dan tingkat kepuasan kerja terhadap
kinerja karyawan maka dalam makalah ini penulis tertarik mengambil judul ” Dampak Stres
dan Tingkat Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat di diidentifikasi
permasalahan-permasalahan berikut :
1. Perlunya mengelola dampak stres kerja dalam peningkatan kinerja karyawan.
2. Masih banyak ditemukan kendala atau hambatan-hambatan dalam mencapai kepuasan
kerja.
3. Dampak stres dan tingkat kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai.
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut diatas dapt dirumuskan permasalahan sebagai
berikut : ”Dampak Stres Dan Tingkat Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai”.
C. Perumusan Masalah
Masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Pengertian Stres Kerja, Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan
2. Faktor-faktor Penyebab Stres, Dampak Stres kerja pada pegawai dan dampak stres pada
perusahaan dan mengelola stres.
3. Dampak kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai dan Faktor-faktor yang yang dapat
menimbulkan kepuasan kerja.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja.
BAB II
PENGERTIAN STRES KERJA, KEPUASAN KERJA DAN KINERJA PEGAWAI
A. Pengertian Stres Kerja
1. Pengertian Stres
Stres adalah suatu kondisi dinamik yang didalamnya seorang individu dikonfrontasikan
dengan suatu peluang, kendala (constraints), atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan
apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan
penting. (Schuler : 1980)
“Stres adalah suatu kondisi dimana keadaan tubuh terganggu karena tekanan psikologis.
Biasanya stres dikaitkan bukan karena penyakit fisik tetapi lebih mengenai kejiwaan. Akan
tetapi karena pengaruh stres tersebut maka penyakit fisik bisa muncul akibat lemahnya dan
rendahnya daya tahan tubuh pada saat tersebut.” (wikipedia.de/stress).

Stres tidak dengan sendirinya harus buruk. Walaupun stres lazimnya dibahas dalam konteks

negatif, stres juga mempunyai nilai positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu
menawarkan perolehan yang potensial. Perhatikan misalnya kinerja yang unggul yang
ditunjukkan oleh seorang atlit atau pemanggung dalam situasi-situasi yang “mencekam”.
Individu semacam itu sering menggunakan stres secara positif untuk meningkatkan kinerja
mendekati maksimum mereka.
Menurut Charles D, Spielberger (dalam Ilandoyo, 2001:63) menyebutkan
bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya
obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan
yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
Gejala Stres
Cary Cooper dan Alison Straw (1995:8-15) mengemukakan gejala stres
dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
1. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan
lembab, rnerasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang tidak
beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.
2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, saiah paham,
tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik,
kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat
kcputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan

hilangnya minat terhadap orang lain.
3. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang
berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan,
penjengkel menjadi meledak-ledak.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melcbihi kcrnampuan
penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai
macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
2. Pengertian Stres Kerja
Baron & Greenberg(dalam Margiati,1999:71), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi
emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat
halangan dan tidak bisa mengatasinya. Aamodt (dalam Margiati, 1999:71) memandangnya
sebagai respon adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan
tindakan ekstcrnai, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.
Berbeda dengan pakar di atas, Landy (dalam Margiati, 1999:71) memahaminya sebagai
ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan
konsekuensi pcnting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi stres sebagai suatu kondisi

dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil
yang diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapat dipastikan (Robbins dafam Dwiyanti,
2001:75).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah
dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan
dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua
kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat mempengaruhi daya
tahan stres seorang karyawan.

Luthans (dalam Yulianti, 2000:10) mendefinisikan stres sebagai suatu
tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan
proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau
peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan
lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda.
Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting
diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat
adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan
yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berifikir dan kondisi fisik
individu.

Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja,
yaitu faktor Lingkungan kerja dan Faktor personal (Dwiyanti, 2001:75).
a. Faktor Lingkungan Kerja
Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan
sosial di lingkungan pekerjaan.
b. Faktor Personal
Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun
kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri.
Betapapun faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun
karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditcmpatkan
sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum dikelompokkan sebagai
berikut (Dwiyanti, 2001:77-79):
1. Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cenderung muncul pada
para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka.
Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan
keluarga. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya
(baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres.
2. Tidak adanya kesempatan bcrpartisipasi dalam pembuatan keputusan di
kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam

menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka
tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewcnangannya. Stres
kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan
yang menyangkut dirinya.
3. Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau
dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa
dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak
kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman
yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasuspelecehan seksual yang sering menyebabkan
stres kerja adalah perlakuan kasar atau pengamayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi
jabatan namun tak kunjung terwujud hanya karena wanita..
4. Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa
suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan
semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan
seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu
dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus
udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres kerja,
sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky dalam
Margiati, 1999:73).


5. Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan
ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin
yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu
mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan keputusan di
tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan
peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa
menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres (Minner dalam
Margiati, 1999:73).
6. Tipe kepribadian. Seseorang dengan kcpribadian tipe A cenderung
mengalami sires dibanding kepribadian tipe B. Bebcrapa ciri kepribadian tipe ini adalah
sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada
lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa
yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau
peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami
dilema kctika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan
memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan
mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (Minner dalam Margiati,
1999:73).
7. Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman
pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal

sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah
(pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stress paling tinggi terjadi
pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan
oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman, juga termasuk kategori ini (Baron & Greenberg
dalam Margiati, 1999:73).
B. Pengertian Kepuasan Kerja
Pengertian Kepuasan Kerja
Luthans (1998:126) merumuskan kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosi seseorang yang
positif maupun menyenangkan yang dihasilkan dan penilaian suatu pekerjaan atau
pengalaman kerja. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya.
Hal ini tampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang
dihadapi di lingkungan kerjanya. Setiap karyawan memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda sesuai dengan nilai yang berlaku pada dirinya.
Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan aspek-aspek diri
individu, maka ada kecenderungan semakin tinggi tingkat kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja
dapat mengakibatkan pengaruh terhadap tingkat turnover dan tingkat absensi terhadap
kesehatan fisik dan mental karyawan serta tingkat kelambanan.
Kepuasan dapat dirumuskan sebagai respon umum pekerja berupa perilaku yang ditampilkan
oleh karyawan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Seorang pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi mempunyai seperangkat
keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu
harapan yang diharapkan dapat dipenuhi di tempatnya bekerja. Kepuasan kerja ini akan
didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dan kenyataan yang didapatkan
ditempat bekerja. Persepsi pekerja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya dan
kepuasan kerja melibatkan rasa aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa bergairah, status dan
kebanggaan. Dalam persepsi ini juga dilibatkan situasi kerja pekerja yang bersangkutan yang
meliputi interaksi kerja, kondisi kerja, pengakuan, hubungan dengan atasan, dan kesempatan
promosi. Selain itu di dalam persepsi ini juga tercakup kesesuaian antara kemampuan dan
keinginan pekerja dengan kondisi organisasi tempat bekerja yang meliputi jenis pekerjaan,

minat, bakat, penghasilan dan insentif.
Menurut Locke dalam Munandar (2001:350) tenaga kerja yang puas dengan pekerjaannya
merasa senang dengan pekerjaannya. Keyakinan bahwa karyawan yang terpuaskan akan lebih
produktif daripada karyawan yang tak terpuaskan merupakan suatu ajaran dasar diantara para
manajer selama bertahun-tahun (Robbins, 2001:26).
Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko (2001:196) kepuasan kerja juga penting untuk
aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai
kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini
akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi
tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan
pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja
biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran kerja yang lebih baik, kurang aktif
dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang berprestasi bekerja lebih baik daripada
karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja
mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena
menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja perusahaan.
Kepuasan kerja merupakan hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga
kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan mencerminkan
sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu karakteristik pekerjaan, gaji, penyeliaan, rekan-rekan sejawat yang menunjang dan
kondisi kerja yang menunjang. (Munandar, 2001:357).
C. Pengertian Kinerja Pegawai
Kinerja adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia dari kata dasar “kerja” yang
menterjemahkan kata dari bahasa asing prestasi. Bisa pula berarti hasil kerja.
Pengertian Kinerja Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak memperhatikan
kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah. Terlalu sering manajer tidak
mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot sehingga perusahaan / instansi
menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk organisasi yang mendalam berakibat dan
mengabaikan tanda – tanda peringatan adanya kinerja yang merosot.
Pengertian Kinerja :
1. Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya
(Mangkunegara, 2001: 67). Selain itu, kinerja juga dapat diartikan sebagai suatu hasil dan
usaha seseorang yang dicapai dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi
tertentu.
2. Kinerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) “Kinerja ( prestasi kerja) adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
3. Kemudian menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003 : 223) “Kinerja seseorang merupakan
kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya”.
4. Maluyu S.P. Hasibuan (2001:34) mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu
hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”.
5. Menurut John Whitmore (1997 : 104) “Kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang
dituntut dari seseorang,kinerja adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum
ketrampikan”.
6. Menurut Barry Cushway (2002 : 1998) “Kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah
bekerja dibandingkan dengan target yang telah ditentukan”.

7. Menurut Veizal Rivai ( 2004 : 309) mengemukakan kinerja adalah : “ merupakan perilaku
yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan”.
8. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson Terjamahaan Jimmy Sadeli dan Bayu
Prawira (2001 : 78), “menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan
atau tidak dilakukan karyawan”.
BAB III
PEMBAHASAN
DAMPAK STRES DAN TINGKAT KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA
PEGAWAI
Perkembangan ekonomi yang cepat, perampingan perusahaan, PHK, merger dan bangkrutnya
beberapa perusahaan sebagai akibat dari krisis yang
berkepanjangan telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi
ribuan bahkan jutaan tenaga kerja. Mereka harus rela dipindahkan ke
bagian yang sangat tidak mereka kuasai dan tidak tahu berapa lama lagi
mereka akan dapat bertahan atau dipekerjakan. Selain itu mereka harus
menghadapi bos baru, pengawasan yang ketat, tunjangan kesejahteraan
berkurang dari sebelumnya dan harus bekerja lebih lama dan lebih giat
demi mempertahankan status sosial ekonomi keluarga. Para pekerja di
setiap level mengalami tekanan dan ketidakpastian. Situasi inilah yang
seringkali memicu terjadinya stres kerja.
Dalam hubungan dengan pekerjaan atau profesi yang ditekuni setiap
orang memiliki kemampuan berbeda untuk menyangga beban pekerjaannya.
Interaksi manusia sebagai pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerja
menyebabkan efek positif ataupun efek negatif. Sikap positif terhadap
pekerjaan membuat karyawan menganggap stresor dari pekerjaan sebagai
suatu yang memberikan manfaat baginya sehingga dapat memperlemah
terjadinya stres namun, sebaliknya bila karyawan tidak mampu menghadapi
stresor dari pekerjaan maka hal tersebut akan membuat karyawan mengalami stres.
Charles dan Sharason (1988, hal 29) menjelaskan bahwa stres kerja
terjadi ketika kemampuan individu tidak seimbang atau tidak sesuai
dengan tuntutan dalam lingkungan pekerjaannya. Stres dalam pekerjaan
menimbulkan konsekuensi yang bermacam–macam jenisnya, baik berupa akibat
kognitif, fisiologis maupun keorganisasian. Akibat kognitif dari stres
antara lain adalah ketidakmampuan mengambil keputusan yang sehat, kurang
konsentrasi, sangat peka terhadap kecaman dan rintangan mental. Akibat
fisiologis dari stres antara lain adalah tekanan darah naik, mulut
kering, berkeringat dan sebagainya. Akibat keorganisasian dari stres
antara lain adalah kemangkiran, produktivitas rendah, ketidakpuasan
kerja, menurunnya ketertarikan dan loyalitas terhadap organisasi
(Gibson, Ivancevich dan Donnely, 1988).
Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan
organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini (Nimran, 1999:79-80).
Di antaranya adalah:
1. Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, dan posisinya
sangat penting dalam kaitannya dengan produkttfitas kerja karyawan.
2. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi,
stress juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam
organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya.
3. Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman

terhadap cara-cara mengatasinya, adalah penting sekali bagi karyawan dan
siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang
sehat dan efektif.
4. Banyak di antara kita yang hampir pasti merupakan bagian dari satu atau
beberapa organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah
mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah.
5. Dalam zaman kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini manusia
semakin sibuk. Di situ pihak peraiatan kerja semakin modern dan efisien,
dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin
bertambah. Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi pegawai yang lebih
besar dari yang sudah-sudah. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman
yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa.
Masalah-masalah tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan
pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi
antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Di dalam
membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu mengerti pengertian stres secara
umum.
A. Dampak Stres Kerja
Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau
yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam
pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu
manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan
merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya
atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan
yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke
dalam lima kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam
pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam
pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi. Hurrel (dalam Munandar, 2001:381 –
401):
1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan
Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas.
Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja
malam, beban kerja, dan penghayatan dari resiko dan bahaya.
2. Peran Individu dalam Organisasi.
Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya
setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai
dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun
demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan
masaiah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu meiiputi:
konflik peran dan ketaksaan peran (role ambiguity).
3. Pengembangan Karir
Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:
• Peluang untuk menggunakan ketrampilan jabatan sepenuhnya
• Peluang mengembangkan kctrampilan yang baru
• Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karir.
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup
ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.
4. Hubungan dalam Pekerjaan
Hubungan Kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya

kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah
dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaan
peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai
antara pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bcntuk kepuasan pekerjaan yang rendah,
penurunan dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekanrekan kerjanya
(Kahn dkk, dalam Munandar, 2001:395).
5. Struktur dan iklim Organisasi
Faktor stres yang dikenali dalam kategorf ini adalah terpusat pada sejauh
mana tenaga kerja dapat tcrlihat atau berperan serta pada support sosial.
Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan
suasana hati dan perilaku negalif.
Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan
peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik.
6. Tuntuan dari Luar Organisasi /Pekerjaan
Kategori Pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan
seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja
di dalam satu organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang keluarga,
krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang
bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat
merupakan tekanan pada individu dalam
pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif
pada kehidupan keluarga dan pribadi.
7. Ciri-Ciri Individu
Menurut pandangan interaktifdari stres, stres ditcntukan pula oleh
individunya scndiri, sejauh mana ia melihat situasinya scbagai penuh stres. Reaksireaksi
sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi
psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari
interaksi situasi dengan individunya, mcncakup ciri-ciri kepribadian yang khusus
dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai,
pengalaman masa lalu, kcadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain intcligensi,
pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri
individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang
merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang
menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap
pembangkit stres potensial.
I. Dampak Stres Kerja Pada Karyawan
Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi
perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan rnemacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan scbaikbaiknya. Reaksi terhadap stress dapat merupakan reaksi bersifat psikis maupun fisik.
Biasanya pekerja atau karyawan yang stress akan menunjukkan perubahan perilaku.
Perubahan perilaku tcrjadi pada din manusia sebagai usaha mengatasi stres. Usaha mengatasi
stres dapat berupa perilaku melawan stres (flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam
kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung
situasi dan bentuk stres. Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala
individu yang mengalami stres antara lain (Margiati, 1999:78-79) : (a) bekerja melewati batas
kemampuan, (b) kelerlambatan masuk kerja yang sering, (c) ketidakhadiran pekerjaan, (d)
kesulitan membuat kepulusan, (e) kesalahan yang sembrono, (f) kelaiaian menyelesaikan
pekerjaan, (g) lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri, (h) kesulitan

berhubungan dengan orang lain, (i) kerisauan tentang kesalahan yang dibuat, (j)
Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit,
radang pernafasan.
Strategi Manajemen Stres Kerja
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa
memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar
mengatasinya, yakni betajar menanggulanginya secara adaplif dan efektif. Hampir
sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang
harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan,
sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini
bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari
stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke cara-cara yang lebih
spesifik untuk mengatasi stressor tertentu, harus diperhitungkan beberapa pedoman umum
untuk memacu perubahan dan
penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang
mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait
dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannya
dengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari
ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena
kesalahpahaman atasan atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya
ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai
seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat (Margiati, 1999:76).
Suprihanto dkk (2003:63-64) mengatakan bahwa dari sudut pandang
organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres yang
ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat positif, karena
hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik.
Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan
membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan
keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan
merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk
menibcrikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk
memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan
sebagai tekanan oleh si pekerja. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam
mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan pendekatan
organisasi.
II. Dampak Stres Terhadap Perusahaan
Sebuah organisasi dapat dianalogikan sebagai tubuh manusia. Jika salah satu dari anggota
tubuh itu terganggu, maka akan menghambat keseluruhan gerak, menyebabkan seluruh tubuh
merasa sakit dan menyebabkan individunya tidak dapat berfungsi secara normal. Demikian
pula jika banyak di antara karyawan di dalam organisasi mengalami stress kerja, maka
produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan terganggu. Jika stress yang dialami oleh
organisasi atau perusahaan tidak kunjung selesai, maka sangat berpotensi mengundang
penyakit yang lebih serius. Bukan hanya individu yang bisa mengalami penyakit, organisasi
pun dapat memiliki apa yang dinamakan Penyakit Organisasi.
Randall Schuller (1980), mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang
berpengaruh terhadap organisasi. Menurut peneliti ini, stress yang dihadapi oleh karyawan
berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, serta tendensi
mengalami kecelakaan.
Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa:

1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja
2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja
3. Menurunkan tingkat produktivitas
4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian finansial yang dialami
perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan
untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak masuk
kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya entah karena
kelambanan atau pun karena banyaknya kesalahan yang berulang.
Sedangkan gejala stres di tempat kerja, yaitu meliputi:
• Kepuasan kerja rendah
• Kinerja yang menurun
• Semangat dan energi menjadi hilang
• Komunikasi tidak lancar
• Pengambilan keputusan jelek
• Kreatifitas dan inovasi kurang
• Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.
Pendekatan dalam mengelola stres :
1. Pendekatan Individu
Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya.
Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu,
latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial.
Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas
dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat
meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas
yang berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja pcrlu dilakukan
kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai stratcgi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan
roengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saransaran bagi dirinya
2. Pendekatan Organisasi
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang
scmuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh
karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres
karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan,
pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan.
Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya
hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi
fisik dan mental.
B. Dampak Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Pegawai
Faktor penting yang mempengaruhi prestasi kerja adalah motivasi kerja. Motivasi berasal dari
kata motive. Motive adalah keadaan dalam diri seseorang yang menimbulkan kekuatan,
menggerakkan, mendorong, mengarahkan, motivasi. Menurut Gerungan motivasi adalah
sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja (Gerungan, 1982: 23). Semakin
besar motivasi kerja karyawan semakin tinggi prestasi kerjanya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa motivasi kerja adalah faktor yang sangat penting dalam peningkatan prestasi
kerja.
Selain ditentukan oleh motivasi kerjanya, prestasi kerja karyawan juga ditentukan oleh

kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan dengan
mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (As’ad, 1994: 133).
Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dari
sikap karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu di lingkungan kerjanya. Menurut
Handoko (1998: 193):Menjadi kewajiban setiap pemimpin perusahaan untuk menciptakan
kepuasan kerja bagi para karyawannya, karena kepuasan kerja merupakan faktor yang
diyakini dapat mendorong dan mempengaruhi semangat kerja karyawan agar karyawan dapat
bekerja dengan baik dan secara langsung akan mempengaruhi prestasi karyawan. Seorang
manajer juga dituntut agar memberikan suasana kerja yang baik dan menyenangkan juga
jaminan keselamatan kerja sehingga karyawan akan merasa terpuaskan. Menurut As’ad
(2000: 102):Kepuasan kerja menjadi menarik untuk diamati karena memberikan manfaat,
baik dari segi individu maupun dari segi kepentingan industri. Bagi individu diteliti tentang
sebab dan sumber kepuasan kerja, serta usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kepuasan kerja individu, sedangkan bagi industri, penelitian dilakukan untuk kepentingan
ekonomis, yaitu pengurangan biaya produksi dan peningkatan produksi yang dihasilkan
dengan meningkatkan kepuasan kerja.
Salah satu cara yang ditempuh departemen personalia untuk meningkatkan prestasi kerja,
adalah melalui pemberian upah berdasarkan sistem insentif. Sistem insentif adalah sistem
pemberian upah berdasarkan prestasi kerja karyawan (Simamora, 1998: 629). Tujuan sistem
insentif pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan motivasi karyawan dalam berupaya
meningkatkan prestasi kerjanya dengan menawarkan perangsang finansial bagi karyawan
yang mampu mencapai prestasi kerja tinggi. Menurut Handoko “Bagi mayoritas karyawan,
uang masih tetap merupakan motivasi kuat – atau bahkan paling kuat” (Handoko, 1998: 176).
Atas dasar itulah diperkirakan pemberlakuan sistem insentif akan mampu membuat karyawan
termotivasi untuk meningkatkan prestasi kerjanya, yang pada akhirnya akan memberikan
dampak positif bagi perusahaan.
Peningkatan kepuasan kerja karyawan pada suatu organisasi tidak bisa dilepaskan dari
peranan pemimpin dalam organisasi tersebut, kepemimpinan merupakan kunci utama dalam
manajemen yang memainkan peran penting dan strategis dalam kelangsungan hidup suatu
perusahaan, pemimpin merupakan pencetus tujuan, merencanakan, mengorganisasikan,
menggerakkan dan mengendalikan seluruh sumber daya yang dimiliki sehingga tujuan
perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Kepemimpinan manajerial dapat
didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatankegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya (Handoko, 2001 : 291).
Oleh sebab itu pemimpin suatu organisasi perusahaan dituntut untuk selalu mampu
menciptakan kondisi yang mampu memuaskan karyawan dalam bekerja sehingga diperoleh
karyawan yang tidak hanya mampu bekerja akan tetapi juga bersedia bekerja kearah
pencapaian tujuan perusahaan. Mengingat perusahaan merupakan organisasi bisnis yang
terdiri dari orang-orang, maka pimpinan seharusnya dapat menyelaraskan antara kebutuhankebutuhan individu dengan kebutuhan organisasi yang dilandasi oleh hubungan manusiawi
(Robbins, 2001:18). Sejalan dengan itu diharapkan seorang pimpinan mampu memotivasi dan
menciptakan kondisi sosial yang menguntungkan setiap karyawan sehingga tercapai
kepuasan kerja karyawan yang berimplikasi pada meningkatnya produktivitas kerja
karyawan.
Karakteristik pekerjaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan
kerja karyawan, model karakteristik pekerjaan (job characteristics models) dari Hackman dan
Oldham (1980) adalah suatu pendekatan terhadap pemerkayaan jabatan (job enrichment)
yang dispesifikasikan kedalam 5 dimensi karakteristik inti yaitu keragaman ketrampilan (skill
variety), Jati diri dari tugas (task identity), signifikansi tugas (task significance), otonomi
(autonomy) dan umpan balik (feed back). Setiap dimensi inti dari pekerjaan mencakup aspek

besar materi pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, semakin
besarnya keragaman aktivitas pekerjaan yang dilakukan maka seseorang akan merasa
pekerjaannya semakin berarti. Apabila seseorang melakukan pekerjaan yang sama, sederhana,
dan berulang-ulang maka akan menyebabkan rasa kejenuhan atau kebosanan. Dengan
memberi kebebasan pada karyawan dalam menangani tugas-tugasnya akan membuat seorang
karyawan mampu menunjukkan inisiatif dan upaya mereka sendiri dalam menyelesaikan
pekerjaan, dengan demikian desain kerja yang berbasis ekonomi ini merupakan fungsi dan
faktor pribadi. Kelima karakteristik kerja ini akan mempengaruhi tiga keadaan psikologis
yang penting bagi karyawan, yaitu mengalami makna kerja, memikul tanggung jawab akan
hasil kerja, dan pengetahuan akan hasil kerja. Akhirnya, ketiga kondisi psikologis ini akan
mempengaruhi motivasi kerja secara internal, kualitas kinerja, kepuasan kerja dan
ketidakhadiran dan perputaran karyawan.
Karakteristik pekerjaan seorang karyawan jelas terlihat desain pekerjaan seorang karyawan.
Desain pekerjaan menentukan bagaimana pekerjaan dilakukan oleh karena itu sangat
mempengaruhi perasaan karyawan terhadap sebuah pekerjaan, seberapa pengambilan
keputusan yang dibuat oleh karyawan kepada pekerjaannya, dan seberapa banyak tugas yang
harus dirampungkan oleh karyawan.
Rendahnya kepuasan kerja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti mangkir
kerja, mogok kerja, kerja lamban, pindah kerja dan kerusakan yang disengaja. Karyawan
yang tingkat kepuasannya tinggi akan rendah tingkat kemangkirannya dan demikian
sebaliknya, organisasi-organisasi dengan karyawan yang lebih terpuaskan cenderung lebih
efektif dari pada organisai-organisasi dengan karyawan yang tak terpuaskan sehingga dapat
meningkatkan produktivitas organisasi dan salah satu penyebab timbulnya keinginan pindah
kerja adalah kepuasan pada tempat kerja sekarang. (Robbins 2001).
Fungsi kepuasan kerja adalah:
a. Untuk meningkatkan disiplin karyawan dalam menjalankan tugasnya. Karyawan akan
datang tepat waktu dan akan menyelesaikan tugasnya sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
b. Untuk meningkatkan semangat kerja karyawan dan loyalitas karyawan terhadap
perusahaan.
Kepuasan kerja staff merupakan faktor yang diyakini dapat mendorong dan mempengaruhi
semangat kerja staff. Keberhasilan seorang staff dalam bekerja, akan secara langsung
mempengaruhi prestasi kerjanya di kemudian hari.
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja staff, menurut Burt, meliputi:
1). Faktor Individual (umur, jenis kelamin dan sikap pribadi terhadap pekerjaan)
2). Faktor Hubungan Antar staff, yang di dalamnya termasuk: hubungan antara manajer dan
staff, hubungan sosial diantara sesama, sugesti dari teman sekerja, faktor fisik dan kondisi
tempat kerja, emosi dan situasi kerja.
3). Faktor Eksterna, meliputi: keadaan keluarga, rekreasi, pendidikan. Keberadaan faktorfaktor tersebut akan meningkatkan motivasi bagi staff untuk memperoleh tingkat kepuasan
kerja.
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu staff
memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan dan sistem nilai yang
dianutnya. Semakin banyak aspek dalam pekerjaannya yang sesuai dengan keinginan dan
sistem nilai yang dianut individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang didapat.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah:
Pertama, efektivitas dan efisiensi. Menurut Prawirosentono (1999: 27) bila suatu tujuan
tertentu akhirnya bias dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi
apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan mempunyai nilai yang penting dari hasil yang
dicapai sehingga mengakibatkan ketidakpuasan walaupun efektif dinamakan tidak efisien.

Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau remeh maka kegiatan tersebut
efisien.
Kedua, otoritas (wewenang). Arti otoritas menurut Barnard (dalam Prawirosentono, 1999: 27)
adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi formal yang dimiliki
(diterima) oleh seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan suatu
kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya (sumbangan tenaganya). Perintah tersebut
menyatakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam organisasi
tersebut.
Ketiga, disiplin. Menurut Prawirosentono (1999: 30) disiplin adalah taat kepada hukum dan
peraturan yang berlaku. Jadi, disiplin karyawan adalah kegiatan karyawan
yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja dengan organisasi di mana dia
bekerja.
Keempat, inisiatif yaitu berkaitan dengan daya pikir dan kreativitas dalam bentuk ide untuk
merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi. Jadi, inisiatif adalah daya
dorong kemajuan yang bertujuan untuk mempengaruhi kinerja organisasi.
BAB IV
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah
dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan
dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua
kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat mempengaruhi daya
tahan stres seorang karyawan.
Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan,
peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam
pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi.
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa
memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar
mengatasinya, yakni belajar menanggulanginya secara adaplif dan efektif.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi productivitas kerja pegawai. Pegawai bekerja secara
produktif atau tidak banyak tergantung pada banyak faktor. Faktor motivasi, kepuasan kerja,
tingkat stress, kondisi fisik pekerjaan, sistem kompensasi, desain pekerjaan dan aspek-aspek
ekonomis sangatlah ikut berperan.
Pegawai dengan tingkat motivasi kerja yang tinggi, sebagai sumber daya penggerak,
pengguna dan pemberi manfaat bagi sumber daya lainnya memberi kontribusi besar dalam
keberhasilan perusahaan. Perusahaan dengan modal besar, nama besar , dan sistem operasi
yang sudah teruji keberhasilannya sekalipun akan mengalami hambatan dalam
mempertahankan usaha jika mengabaikan aspek sumber daya manusia. Agar pegawai dapat
bekerja dengan baik, maksimal, dan mempunyai motivasi tinggi perusahaan harus
memperhatikan kepuasan kerja pegawai.
Salah satu penentu kepuasan kerja pegawai adalah faktor pekerjaan itu sendiri. Pegawai yang
menganggap pekerjaannya membosankan, kurang menantang dan tidak membantu dirinya
berkembang, tidak akan dapat berkonsentrasi penuh dalam bekerja sehingga apa yang mereka
hasilkan menjadi tidak maksimal. Sebaliknya pegawai yang merasa pekerjaannya menantang,
berguna bagi orang banyak, dan membantu mereka dalam berkembang akan secara maksimal
melakukan pekerjaannnya dan bermotivasi tinggi.
Dalam konteks meningkatkan kepuasan kerja, maka seorang manajer dituntut untuk
memberikan suasana kerja yang baik dan menyenangkan, adanya jaminan/keselamatan kerja
sehingga karyawan akan merasa terpuaskan.
Secara empirik, ada hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas. Kepuasan kerja

pegawai yang tinggi dapat membuat pegawai bekerja dengan lebih baik yang pada akhirnya
akan meningkatkan produktivitas.
Kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri. Pegawai dengan kepuasan kerja tinggi
akan mencapai kematangan psikologis. Pegawai yang mendapatkan kepuasan kerja yang baik
biasanya mempunyai catatan kehadiran, perputaran kerja dan prestasi kerja yang baik
dibandingkan dengan pegawai yang tidak mendapatkan kepuasan kerja. Oleh karena itu
kepuasan kerja memiliki arti yang sangat penting untuk memberikan situasi yang kondusif di
lingkungan perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Wibowo, SE.,M.Phil. , 2007. Manajemen Kinerja, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
James A.F. Stoner / Charles Wankel. 1988. Manajemen, Edisi Ketiga. CV. Intermedia Jak