Antara Kita Kami dan Kalian Memahami Aka

1

Antara Kita, Kami, dan Kalian1:
Akar Perbedaan dan Menumbuhkan Kebersamaan
sebuah surat pengikat silaturahmi

Oleh

Ary Budiyanto
Mahsiswa S3 - Indonesian Consortium for Religious Studies
Universitas Gadjah Mada
Pandega Wreksa 12-B (Jl. Kaliurang KM 5,6)
Sinduadi, Mlati, Sleman
Yogyakarta-Indonesia 55281
Mobile: +62 818 494 099
Email: yrelief@yahoo.com

Artikel diikutsertakan untuk
Lomba Karya Tulis Ilmiah Mhasiswa
“Mencari Solusi Permasalahan Hubungan Indonesia Malaysia”


Yogyakarta 2008

1

Kita = Indonesia-Malaysia, kami = Indonesia, kalian = Malaysia

2

Antara Kita, Kami, dan Kalian:
Akar Perbedaan dan Menumbuhkan Kebersamaan
sebuah surat pengikat silaturahmi
Abstrak
Indonesia-Malaysia selalu dilihat sebagai entitas “saudara” yang memiliki sejarah
yang panjang dalam hubungan sosial budaya. Kedekatan jarak geografis dan
kesamaan bahasa, budaya, dan agama (mayoritas) dianggap sebagai “ikatan” yang
bisa membuat kedua bangsa serumpun ini lebih mesra. Meski pada kenyataannya,
isu TKI, perbatasan, kabut asap, pembalakan hutan, dan isu hak intelektual seni
dan budaya semakin meruncingkan hubungan ketetanggaan kedua negara.
Makalah ini akan melihat secara historis pasang surut hubungan Indonesia Melayu
lewat analogi “persaudaraan” serumpun yang lama hidup bertetangga namun

jarang bertegur sapa. Melihat jalinan sejarah yang penuh politik kepentingan dan
ekonomi yang kompleks ini, jalan pertama dan utama yang harus ditempuh adalah
merajut kembali tali silaturahmi yang lama putus lewat praktik mediasi yang
komunikatif seperti pemuatan berita yang lebih berimbang dan humanis di tiap
surat kabar utama kedua negara, pendirian media alternatif bersama, serta yang
lebih penting lagi kegiatan anjangsana kepemudaan sebagai generasi penerus
kedua bangsa untuk memberikan pengalaman kehidupan keseharian masyarakat
dan kebijakan negara.
Kata kunci: analogi sejarah, tali silaturahmi, solusi hubungan Indonesia-Malaysia

Kisah Lampau Dua Saudara yang Kini Bertetangga
Alkisah, kita, Indonesia dan Malaysia, dahulu sebenarnya adalah saudara
sekandung. Namun, takdir sejarah memisahkan kita semenjak “perceraian” orang
tua kita yang memperebutkan kekayaan warisan kakek-buyut kita (Nusantara –
Sriwijaya 7-11 M). Pernah memang pada zaman saudara tua kita SinghasariMajapahit berkuasa (abad 12-15 M) kita hampir kembali rujuk (Hall, 1958).
Namun, itu hanya semu dan sementara karena rumah tangga saudara tua kita
keburu hancur barangkali karena salah urus kekuasaan, berebut kekayaan, atau
kehendak Tuhan yang lebih berkuasa (Budiyanto, 2008). Yang pasti, akhirnya
pada abad 13-18 M kita mulai memilih Islam sebagai iman dan aturan hidup
bersama serta sepakat memakai bahasa Melayu sebagai bahasa persaudaraan

(Azra, 1994). Saat itu, banyak saudara-saudara kita yang hidup makmur meski
saling iri dan intrik memperkaya diri masih saja terjadi dari dulu hingga kini
(Guillot, 2002).

3

Jauh sebelum itu, pada masa masih beragama Budha-Syiwa, kita pernah
menjadi partner dengan Paman India dan Cina. Kita saat itu bersaudara sebagai
keluarga wangsa Syailendra (Groslier, 2002; Rahadjo, 2002; Budiyanto, 2008).
Pada abad 11, Paman India mulai menganut Islam. Kita pun mulai ikut keyakinan
imannya, bahkan sebagian Paman Cina yang sering tinggal bersama kita juga
memeluk iman yang sama dengan kita (Al-Qurtubi, 2003). Lalu kita pun semakin
kenal dengan guru paman-paman kita yang ada di negeri Arab-Persia. Saat itu,
ekonomi kita semakin membaik karena pasar terbuka hingga ke negeri 1001
malam itu (Reid, 1999).
Akan tetapi, memasuki abad 16, Paman-Paman Kulit Putih mulai masuk
ke halaman rumah kita. Mulanya mereka berdalih sekadar menumpang berdagang
dan karenanya kita pun semakin kaya dan makmur hingga terlena tenggelam
dalam hedonisme material. Tak terasa kita pun mulai tergantung secara politis dan
ekonomis pada Paman-Paman Kulit Putih itu. Akhirnya, kita tersadar dan

berusaha menyatukan kekuatan namun terlambat. Paman guru kita di Timur
Tengah dan India, bahkan Cina sudah takluk pada mereka. Mereka lalu sibuk
menyelamatkan diri masing-masing atas nama nasionalisme sempit (Laffan,
2003).
Tahun 1824 Paman-Paman Kulit Putih –Belanda dan Inggris– dengan
seenaknya memisahkan kita. Sejak itu, kita tinggal di rumah yang berbeda.
Mulanya kita semua memberontak, namun takdir sejarah menjadikan mereka
menjadi pengasuh baru kita suka atau tidak suka, langsung atau tidak langsung.
Kita pun semakin sibuk bertahan hidup dengan bernegoisasi atau bahkan mencoba
memberontak dengan paman angkat kita yang baru ini. Tetapi, kemudian kita
mulai menjalani kehidupan yang berbeda searah sejarah membelah arah
perjalanan kita. Kami mengalami kemunduran, sementara kalian (Singapura dan
Malaka) semakin makmur. Bila Paman Kulit Putih kalian relatif lebih perhatian
pada kalian, kami di sini lebih banyak diperas dan disiksa apalagi akibat politik
pecah belah Paman Belanda sehingga kami semakin terpuruk (Fee, 2003; Nagata
1984). Hingga pada awal abad 20, meski sama-sama menderita, kita hidup dalam
kondisi berbeda dan kita pun sudah jarang bercengkerama seperti dahulu lagi.
Semua urusan ada di tangan Paman Kulit Putih. Suka atau tidak, kita pun sama-

4


sama diberi pengetahuan modern untuk mulai diikutkan mengurus urusan mereka.
Sebuah pengetahuan yang nantinya kita gunakan untuk bangkit kembali.
Namun, takdir memang misteri, Paman Kulit Putih kalian di Semenanjung
Malaka relatif semakin mengerti keinginan kalian, sedangkan kami di Hindia
Belanda semakin merana dan terpuruk. Paman Belanda hanya mau enaknya dan
tidak mau dan tidak mampu bersaing dengan Paman Inggris kalian dan lebih suka
menggunakan fasilitas Paman Inggris di Malaka dan Tumasik (Singapura). Paman
Belanda pelit untuk membangun sendiri di rumah kami. Sejak itu, rumah kalian
terlihat lebih mewah daripada rumah kami, namun kita ingat bahwa sebenarnya
kita pun pernah sama-sama mencoba memberontak mereka. Pada masa-masa itu,
1900-1941, modernism dan Islam kita bertemu, meski sempat membentuk adanya
perseteruan antara kaum tua dan kaum muda kita di dunia Melayu, romantisme
ideologis Pan Islamisme, Pan Malayanisme, dan Anti-Kolonialisme sempat kita
kobarkan (Roff, 1989).
Akan tetapi, semua itu hanya impian sekejap, kalian lebih suka
bernegoisasi damai, sementara kami tidak tahan dengan negoisasi setengah hati
Belanda. Datangnya Jepang di rumah kami pun kemudian menjadi batu loncatan
untuk merebut kembali harga diri kami dari Paman Belanda yang mau berkuasa
kembali di rumah kami. Kami pun memerdekaan diri kami dari Belanda, 17

Agustus 1945. Kami sempat kesal karena kalian akhirnya memilih bernegoisasi
aman-aman saja dengan Inggris. Kalian memintanya dan akhirnya diberi
kemerdekaan. Kami sempat kecewa, kami bahkan sempat menganggap kalian
pembela imperialisme dan kapitalisme Barat yang pernah menjajah kita. Tahun
1963-1964 kami pun mengecam dan mengancam sikap kalian dengan Komando
Dwikora. Karena kesal, kami pun sempat keluar dari PBB tahun 1965. Meski
akhirnya kami mencoba kembali berbaik sangka dan berbaikan kembali dengan
kalian tahun 1966, demi mengingat persaudaraan kita.

Rumput Tetangga Memang Lebih hijau
Masa pun berganti, tak sangka kita sudah menjadi tetangga yang sibuk
dengan diri sendiri. Kita benar-benar sibuk dengan urusan politik dan ekonomi di
rumah tangga masing-masing. Dengan landasan ekonomi yang relatif mapan dan

5

tentor yang baik dari Paman Inggris, lambat laun kalian lebih stabil dalam
menapak ekonomi dan politik. Sementara kehidupan ekonomi kami seperti kilat
yang menyambar, sangat terang namun hanya sekejap. Ini boleh jadi akibat masamasa semangat dignitas Orla kami hilang diganti semangat oportunis Orba.
Selanjutnya, di zama Orba dengan menumpuk utang kami berpura-pura kaya

sembari menggadaikan satu per satu harga diri dan kekayaan kami. Semua itu
karena kami ingin instan atas semuanya. Entah apa yang terjadi dengan kalian,
yang pasti kami melihat halaman rumah kalian semakin menjadi taman yang asri
dipenuhi dengan rumput yang menghijau dipenuhi bunga.
Demikian mempesona halaman rumah kalian membuat sebagian anakanak kami lebih suka merantau dan bermain ke sana. Apalagi, sepertinya mereka
bisa ikut mulia. Kecemburuan dan harga diri campur aduk dalam diri kami yang
merasa sebagai saudara tua kalian saat melihat kesuksesan demi kesuksesan
ekonomi kalian. Namun, tak jarang kami dengar anak-anak kami yang kalian siksa
dan kembali dengan luka di tubuh dan harga diri yang terkoyak. Di sisi lain, kami
dengar pula betapa anak-anak kalian mendambakan kebebasan rumah kami dan
kreativitas anak-anak kami dalam seni dan budaya.
Kami pun akhirnya hidup dalam paradoks dan anomali kepribadian saat
menghadapi kalian. Di satu sisi kami membiarkan anak-anak kami merantau,
entahlah, barangkali karena kami sepertinya tidak mau repot menghidupi mereka.
Toh, kami bisa bangga anak-anak seniman dan artis kami sangat laris menjadi
idola anak-anak kalian. Kami pun biasa bangga dengan sejarah masa lalu yang
dengan naïfnya mendaku bahwa kami pernah mendidik guru-guru anak kalian di
rumah kami tahun 1970-an. Meski ironis, kami berbangga bahwa gedung-gedung
kalian kami bangun saat anak-anak kami bermain di rumah kalian.
Tak terasa permasalahan demi permasalahan antara kita tak pernah kita

pedulikan satu sama lain. Masih ingat pembagian harta karun kapal Flor de La
Mar 1989 yang belum selesai tuntas? Masih ingat hukuman gantung pelaut kami
pada 1990? Masih ingat kapan batas laut Selat Malaka rumah kita yang sejak1996
belum kita selesaikan? Kami yakin, kalian tahu bahwa bencana tahunan kabut
asap sejak 1997 hingga kini juga diakibatkan ulah pengusaha kalian di rumah
kami? Lalu pencurian ikan kalian pada 2001, sedangkan kami jelas tidak mampu

6

mencuri ikan kalian karena kapal kami terlalu kecil. Kalian pun diam atas
penyelundupan kayu anak-anak kalian yang sebenanya sudah diketahui sejak
2001. Memang kami akui banyak anak-anak kami menjadi TKI ilegal di rumah
kalian, namun paling tidak mereka sudah membantu perekonomian kalian. Jadi,
jangan semena-mena mendeportasi mereka seperti yang kalian lakukan pada
2002. Pada saat itu pula, kami merasakan betapa menyakitkannya kekalahan kami
dalam sengketa Sipadan dan Ligitan. Karenanyalah kami tidak ingin kalah lagi
dalam sengketa Blok Ambalat 2004. Emosi kami kembali tergugah saat kami
tidak mengerti kenapa kalian memukul wasit karate kami pada 2007. Kebanggaan
kami pun tercabik saat kalian dengan angkuh mengklaim warisan budaya kami
2007 demi bisnis wisata kalian (Kompas, 04/04/07:47a).

Sebenarnya kita sudah banyak membuat kesepakatan dalam ASEAN agar
kita bisa hidup saling membantu dalam senang dan susah. Namun, semata demi
persaingan hidup hedonis yang kita puja ini, kita telah menuhankan kekayaan.
Kemusliman monoteisme sama-sama kita gadaikan untuk iman pada moneyteisme
global (Kompas, 04/04/07:47b). Persaingan, ketidakpedulian, iri hati, permainan
kotor menjadi keseharian hati nurani kita. Akhirnya, karena banyak kalah,
kecemburuan dan kejengkelan kami pada kalian semakin kuat. Hal ini memang
beralasan meski kami sadar bahwa semua ini akibat kekurangan kami dalam
membina rumah tangga. Kami memang harus memperbaiki rumah tangga kami
agar anak-anak nyaman dan aman hingga betah tinggal di rumah sendiri lagi.
Rumput halaman kalian memang lebih hijau, namun tidak sedikit anak-anak
kalian ingin seperti anak-anak kami yang lebih bebas berekspresi. Akan tetapi,
percayalah kami tengah berusaha dan kami yakin kami akan bisa menghijaukan
halaman rumah kami (Kompas, 04/04/07:45&46).

Saatnya Kita Bertetangga dengan Baik
Memang setelah berumah tangga dan dewasa kita pasti akan sibuk
menghidupi keluarga kita masing-masing. Itu merupakan hal yang semestinya dan
wajar. Akan tetapi, egoisme menghidupi keluarga masing-masing jangan sampai
membuat kehidupan bertetangga kita semakin runyam. Di zaman global ini, kita

tidak bisa hidup sendiri-sendiri lagi. Lihatlah kasus pembalakan liar dan

7

pembukaan kelapa sawit yang seringkali memicu kebakaran hutan, kabut asap,
dan pemanasan global. Semua itu ternyata merugikan kita semua. Sudah saatnya
kalian juga memahami apa itu kemanusiaan pada anak-anak kami yang menjadi
TKI di rumah kalian. Sudah saatnya pula kami memikirkan kebutuhan hidup
anak-anak kami agar betah tinggal di rumah sendiri. Tidak ada lagi kisah
bertetangga yang saling egois dan jarang bertegur sapa.
Jangan adalagi berita yang menyedihkan menebarkan kecemburuan, iri
hati, dan perendahan martabat antarsesama kita. Sudah saatnya media massa
untuk anak-anak kita disuguhi cerita-cerita yang membangun kebersamaan. Untuk
tujuan itu, kami janji tidak ada lagi berita berkolom-kolom penistaan kalian pada
anak-anak kami bersamaan dengan berita kejayaan kalian. Kami harap kalian juga
tidak hanya memuat berita perendahan diri anak-anak kami seakan menjadi biang
ketidakberesan halaman rumah kalian. Kalau perlu sepertinya kita harus punya
media alternatif bersama untuk masa depan bersama anak-anak kita. Nanti kita
akan sering adakan arisan dan anjangsana bersama agar kita dan anak-anak kita
saling mengenal dan akhirnya bisa bersama-sama menghadapi kehidupan di bumi

yang semakin berat. Insyaallah, dengan membangun media bersama yang positif2,
arisan bersama3, dan anjangsana4 pemuda, jalinan silaturahmi yang terputus ini
bisa tersambung kembali.
Bibliography
Al-Qurtuby, Sumanto, 2003, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas
Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad
XV & XVI, Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.
Azra, Azumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan.
Budiyanto, Ary, 2008, Menyoal Arah Politik Kebudayaan Melayu Pertelingkahan
Sejarah Politik Islam dan Melayu di Nusantara, Makalah Juara Kedua

2

Media alternatif itu harus beribang dan objektif dan bersifat membangun kebersamaan. Bisa
lewat Koran, Televisi atau lainnya yang tersebar di tingkat nasional masing-masing
3
Tata ekonomi dan niaga bersama yang amanah, respek, dan transparansi.
4
Misalnya youth Camp atau Living exchange antar pemuda calaon pemimpin kedua negara di
kehidupan menengah masyarakat kita.

8

Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional “Pandangan Politik Orang
Melayu”.
Fee, Lian Kwen, “The Construction of Malay Identity across Nations: Malaysia,
Singapore, and Indonesia,l” dalam BKI 2003, hlm. 861-879.
Groslier, B.P., 2002, Indocina Persilangan Kebudayaan, Jakarta: Gramedia.
Guillot, O.C. (Ed.), 2002, “Lobu Tua Sejarah Awal Barus”, Jakarta: YOI.
Hall, D.G.E., 1958. A History of Southeast Asia. London: Macmillan & Co. Ltd.
Kompas, 04/04/07, “Indonesia-Malaysia di Persimpangan Jalan”, hlm. 45.
Kompas, 04/04/07, “Hubungan Antarnegara: Benang Merah Itu Telah Terputus”,
hlm. 46.
Kompas, 04/04/07, “Pasang surut Hubungan Negeri Serumpun”, hlm. 47a.
Kompas, 04/04/07, “Semangat Asean: Kompetensi Global dan Peradaban
Serumpun ”, hlm. 47b.
Laffan, Michael F., 2003, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, LondonNew York: RoutledgeCurzon.
Nagata, J., 1984, “Particularism and Universalism in Religious and Ethnic
Identities; Malay Islam and Other Cases”, dalam S. Plattner dkk. (Ed.),
The Prospects for Plural Societies, Washington DC: American
Ethnological Society, hlm. 121-135.
Rahadjo, Supratikno, 2002, Peradaban Jawa Dinamika, Pranata Politik, Agama,
dan Ekonomi Jawa Kuno, Jakarta: Komunitas Bambu.
Reid, Anthony, 1999, Dari Ekspansi Hingga Krisis, Jaringan Perdagangan
Global Asia Tenggara 1450-1680, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
(YOI).
Roff, William, 1989, “Kaum Muda-Kaum Tua: Innovation and Reaction amongst
the Malays, 1900-1941”, dalam Reading on Islam in Southeast Asia,
Ahmad Ibrahim dkk., Singapura: ISEAS, hlm 123-129.