Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet
6/1/2018
Berita - Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet - Harian Analisa
Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet
Selasa, 22 Mei 2018 | Dibaca 175 kali
Oleh: Rony K. Pratama
Belum lama viral video pendek se orang guru menampar siswa di kelas. Pe rekam kejadian itu tampak sengaja meng
abadikan momen memilu kan dalam jagat pendidikan Indone sia. Be r ulang kali kasus serupa terjadi. Tiap dae rah
senapas, setidaknya pernah me la ku kan hal sama, dan memam pang kan ke kerasan: baik guru maupun siswa sama
sama menjadi pelaku sekaligus korban.
Yang heboh dari kasus kekerasan itu jus tru warganet. Video berdurasi tak lebih dari sepuluh menit lekas menyebar ke
media sosial. Kecaman demi kecaman mun cul di dinding privat me reka. Sa yang nya kutukan itu sebatas verbal se
hingga minim tindakan empiris guna me re duksi kekerasanminimal di sekitar me reka.
Di sini berlaku media sebagai alat kon trol sosial. Pertama, kecanggihan tek nologi mutakhir, baik dimani fes ta si kan
dalam bentuk alat komunikasi mau pun sistem jaringan internet, me mung kinkan jarak terlipat rapat: kejadian baru
langsung tersebar luas selama ia diberita kan cepat. Ada prinsip aksireak si yang dilakukan warganet. Ini kunci utama
ke napa media daring mendapatkan tem pat sebagai kontrol sosial.
Kedua, media daring menguak pelba gai bentuk kebusukan di masyarakat, ter utama di ranah pendidikan, yang berpaut
erat dengan tindakan kekerasan fisik mau pun verbal. Banyak kasus serupa di ba nyak daerah, tetapi karena minim
pem beritaan, kejadian itu tinggal kena ngan di benak pelaku dan korban semata. Media daring, dengan demikian,
menyi bak tirai kekerasan yang selama ini di bung kam.
Apakah media sebatas menyam pai kan kejadian sebagaima na adanya? Apa kah media perlu melakukan pledoi (pem
bela an) kepada korban? Dua pertanyaan ini menuju ke arah peran jurnalisme se ba gai bentuk advokasi. Yang
tertindas, tentu, akan mendapatkan respons khusus dari pihak yang berwajib agar mendapat kan keadilan, sedangkan
pelaku niscaya di hukum setimpal. Memberikan advo kasi, karenanya, adalah tugas luhur jurnalisme.
Pada dapur pewartaan jurnalis bisa meng isahkan betapa kekerasaan itu dila kukan secara sistematis. Ia dapat meng
guna kan metode investigasi guna mem buka tabir kekerasan yang dilakukan pe la ku kepada korban. Memberi kesem
pat an korban untuk berbicara di muka pu blik akan mengurangi beban psiko lo gis nya sekaligus menyampaikan kisah
pelik bagi sidang pembaca (umum) supaya lebih waspada.
Terdapat keyakinan di benak warga net bahwa kekerasan guru terhadap sis wademikian pula sebaliknyabanyak ter jadi
dan akan mungkin berulang sela ma absen kontrol sosial. Perekam video dalam konteks ini mendapatkan tempat di
dunia jurnalisme warga karena telah mengungkap kejahatan di ling kup sekolah. Tanpa keberanian untuk mem be ri ta
kan dan mem viralkan di dunia maya, praktik kekerasan akan terus ber lang sung karena pelaku seolaholah aman
dengan perbuatannya.
Tugas jurnalis adalah mewartakan realitas tanpa tedeng alingaling. Ia juga me lakukan pencegahan perbuatan krimi nal
melalui contoh konkret bagaimana dan kenapa kekerasan bisa terjadi. Mem pro yeksikan fenomenologi kekerasaan di
lapa ngan itu sejatinya tugas mulia se orang jurnalis terhadap masyarakat umum.
Pembinaan Intensif
Selain dihukum sesuai porsi konsti tusi, pelaku kekerasan seha rusnya juga di bina. Entah siapa pun pelaku itu, dinas
pen didikan hingga guru sekolah mesti me lakukan tindakan preventif. Jejaring ke kerasan harus digunting melalui ke bi
jakan konkret yang bersifat psikologis mau pun teknis. Meminjam term arkeo logi kekerasan yang disampaikan Michel
Foucault, kekerasan terjadi karena ke cenderungan psikologis dan pe man fa at an kesempatan (Olssen, 2009). Ke dua
hal ini harus di jadikan variabel determinan.
Berbagi peran adalah tugas penting yang mesti dilakukan agar kekerasan di se kolah setidaknya terkurangi. Jurnalis
me war takan kebenaran, guru berikut sis tem kependidikan me nyiap kan strategi ter struktur, polisi (pihak berwajib)
membawa pelaku ke meja hijau, dan orang tua di rumah mempertebal pendidi kan informal. Tatkala semua lini bekerja
se maksimal mungkin, kekerasan tak lagi mendapatkan tempat, meskipun sebatas percikan niat di ceruk pikiran.
http://harian.analisadaily.com/opini/news/kekerasan-pendidikan-dan-peran-warganet/559080/2018/05/22
1/2
6/1/2018
Berita - Kekerasan Pendidikan
dan Peran Warganet
Analisa
Masyarakat sebagai kontrol sosial tak boleh lengah. Keke
rasan di ranah pendi
di -kHarian
an yang kerap meresahkan orang tua
harus segera ditangani melalui komuni kasi dua belah pihak me lalui komite se kolah. Ia berperan signifikan untuk men
jem batani dua kutub, yakni sekolah dan orang tua (masyarakat). Memper te bal relasi antarkeduanya berarti menutup
ke sem pat an bagi para pelaku untuk meng gen carkan aksi kekerasan.
Orang Jawa pada masa lalu sudah meyakini betapa peran masyarakat se demikian pentingsebagai manifestasi nilai
be brayan agung. Esensi imateriel yang mengonstruksinya bisa difungsikan guna alat kontrol sosial dalam kerangka
mere duksi kekerasan di ranah pen di dikan.
Konteks Hardiknas
Pada momen Hari Pendidikan Nasio nal (Hardiknas), keke rasan yang muncul di ranah sekolah menjadi alarm penting
bagi semua pihak. Betapapun Hardiknas mesti dimaknai bukan sekadar helatan seremonial, melainkan juga momen
refleksi sejauh mana pendidikan nasional mereduksi pelbagai bentuk kekerasan di wilayah sekolah.
Para pendiri bangsa, terutama Ki Hadjar Dewantara, telah menegaskan sinyal seabad lampau: pendidikan tak semata
mata urusan kepintaran, tapi juga menyentil dimensi perangai siswa. Halus budinya, menurut pemilik nama Suwardi
Suryaningrat itu, adalah orien tasi aksiologis pendidikan nasional. Keduanya mesti berjalan harmonis.
Memanifestasikan Hardiknas secara nilai ke dalam laku seharihari me mung kinkan adanya dorongan internal untuk
menjaga harmoni praksis pen di dikan. Proses demikian dilakukan da lam rangka membumikan kembali ama nat para
pendiri bangsa agar tak terjebak pada friksi horizontal maupun vertikal yang dewasa ini semakin menyeruak. Ranah
pendi dikan, karenanya, berperan penting sebagai garda depan dalam menjaga keselarasan di tengah kontes tasi
sosialkemasyara katan.
Upaya aksiologis mereduksi keke rasan di jagat pendidikan bisa ditempuh sebagai berikut. Pertama, pendidikan
semes tinya membentuk karakter peserta didik melalui spektrum pembelajaran berbasis etika. Nilai etis yang dimak
sudkan di sini secara sadar ditanamkan lewat habituasi di sekolah. Guru mem punyai peran krusial dalam membina
perilaku luhur anak didiknya.
Salah satu contoh konkretnya, antara lain, pendidikan melalui guru sebagai mo del strategisbentuk nyata bagai ma na
etika (budi) difigurkan. Guru, selain mengajar, juga merupakan model em piris dari ejawantah esensi etika itu sen diri.
Lebih spesifik, tatkala ia hendak me ngajarkan ketertiban, guru wajib memberi model bagaimana seharusnya
mewujudkan nilai tertib itu. Andai nilai demikian dikontinuasikan, peserta didik dengan sendirinya akan berperilaku ter
tib tanpa mencercap teori ketertiban.
Kedua, mewujudkan substansi de mokrasi dalam pembela jar an di kelas. Guru memberi kebebasan berpendapat siswa
tanpa memandang siswa pintar atau bodoh secara akademiknumerik. Memberi kesempatan berpendapatten tu
dengan rasa jujur, tanggung jawab, dan rasionalguru telah menerapkan ba gaimana perilaku berdemokrasi itu
dijunjung tinggi dari din ding kelas.
Kekerasan yang diakibatkan siswa biasanya lahir dari keter tutupan atau pe ngekangan pendapat siswa. Dengan de
mokrasi, karenanya, peserta didik mera sa dipercaya dan dihargai selaku subyek aktif di sekolah. Kedua nilai itu
niscaya membentuk habituasi perilaku etis di sekolah. Pelbagai bentuk kekerasan lam batlaun tereduksi.***
* Penulis Peneliti Pendidikan Literasi Yogyakarta
http://harian.analisadaily.com/opini/news/kekerasan-pendidikan-dan-peran-warganet/559080/2018/05/22
2/2
Berita - Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet - Harian Analisa
Kekerasan Pendidikan dan Peran Warganet
Selasa, 22 Mei 2018 | Dibaca 175 kali
Oleh: Rony K. Pratama
Belum lama viral video pendek se orang guru menampar siswa di kelas. Pe rekam kejadian itu tampak sengaja meng
abadikan momen memilu kan dalam jagat pendidikan Indone sia. Be r ulang kali kasus serupa terjadi. Tiap dae rah
senapas, setidaknya pernah me la ku kan hal sama, dan memam pang kan ke kerasan: baik guru maupun siswa sama
sama menjadi pelaku sekaligus korban.
Yang heboh dari kasus kekerasan itu jus tru warganet. Video berdurasi tak lebih dari sepuluh menit lekas menyebar ke
media sosial. Kecaman demi kecaman mun cul di dinding privat me reka. Sa yang nya kutukan itu sebatas verbal se
hingga minim tindakan empiris guna me re duksi kekerasanminimal di sekitar me reka.
Di sini berlaku media sebagai alat kon trol sosial. Pertama, kecanggihan tek nologi mutakhir, baik dimani fes ta si kan
dalam bentuk alat komunikasi mau pun sistem jaringan internet, me mung kinkan jarak terlipat rapat: kejadian baru
langsung tersebar luas selama ia diberita kan cepat. Ada prinsip aksireak si yang dilakukan warganet. Ini kunci utama
ke napa media daring mendapatkan tem pat sebagai kontrol sosial.
Kedua, media daring menguak pelba gai bentuk kebusukan di masyarakat, ter utama di ranah pendidikan, yang berpaut
erat dengan tindakan kekerasan fisik mau pun verbal. Banyak kasus serupa di ba nyak daerah, tetapi karena minim
pem beritaan, kejadian itu tinggal kena ngan di benak pelaku dan korban semata. Media daring, dengan demikian,
menyi bak tirai kekerasan yang selama ini di bung kam.
Apakah media sebatas menyam pai kan kejadian sebagaima na adanya? Apa kah media perlu melakukan pledoi (pem
bela an) kepada korban? Dua pertanyaan ini menuju ke arah peran jurnalisme se ba gai bentuk advokasi. Yang
tertindas, tentu, akan mendapatkan respons khusus dari pihak yang berwajib agar mendapat kan keadilan, sedangkan
pelaku niscaya di hukum setimpal. Memberikan advo kasi, karenanya, adalah tugas luhur jurnalisme.
Pada dapur pewartaan jurnalis bisa meng isahkan betapa kekerasaan itu dila kukan secara sistematis. Ia dapat meng
guna kan metode investigasi guna mem buka tabir kekerasan yang dilakukan pe la ku kepada korban. Memberi kesem
pat an korban untuk berbicara di muka pu blik akan mengurangi beban psiko lo gis nya sekaligus menyampaikan kisah
pelik bagi sidang pembaca (umum) supaya lebih waspada.
Terdapat keyakinan di benak warga net bahwa kekerasan guru terhadap sis wademikian pula sebaliknyabanyak ter jadi
dan akan mungkin berulang sela ma absen kontrol sosial. Perekam video dalam konteks ini mendapatkan tempat di
dunia jurnalisme warga karena telah mengungkap kejahatan di ling kup sekolah. Tanpa keberanian untuk mem be ri ta
kan dan mem viralkan di dunia maya, praktik kekerasan akan terus ber lang sung karena pelaku seolaholah aman
dengan perbuatannya.
Tugas jurnalis adalah mewartakan realitas tanpa tedeng alingaling. Ia juga me lakukan pencegahan perbuatan krimi nal
melalui contoh konkret bagaimana dan kenapa kekerasan bisa terjadi. Mem pro yeksikan fenomenologi kekerasaan di
lapa ngan itu sejatinya tugas mulia se orang jurnalis terhadap masyarakat umum.
Pembinaan Intensif
Selain dihukum sesuai porsi konsti tusi, pelaku kekerasan seha rusnya juga di bina. Entah siapa pun pelaku itu, dinas
pen didikan hingga guru sekolah mesti me lakukan tindakan preventif. Jejaring ke kerasan harus digunting melalui ke bi
jakan konkret yang bersifat psikologis mau pun teknis. Meminjam term arkeo logi kekerasan yang disampaikan Michel
Foucault, kekerasan terjadi karena ke cenderungan psikologis dan pe man fa at an kesempatan (Olssen, 2009). Ke dua
hal ini harus di jadikan variabel determinan.
Berbagi peran adalah tugas penting yang mesti dilakukan agar kekerasan di se kolah setidaknya terkurangi. Jurnalis
me war takan kebenaran, guru berikut sis tem kependidikan me nyiap kan strategi ter struktur, polisi (pihak berwajib)
membawa pelaku ke meja hijau, dan orang tua di rumah mempertebal pendidi kan informal. Tatkala semua lini bekerja
se maksimal mungkin, kekerasan tak lagi mendapatkan tempat, meskipun sebatas percikan niat di ceruk pikiran.
http://harian.analisadaily.com/opini/news/kekerasan-pendidikan-dan-peran-warganet/559080/2018/05/22
1/2
6/1/2018
Berita - Kekerasan Pendidikan
dan Peran Warganet
Analisa
Masyarakat sebagai kontrol sosial tak boleh lengah. Keke
rasan di ranah pendi
di -kHarian
an yang kerap meresahkan orang tua
harus segera ditangani melalui komuni kasi dua belah pihak me lalui komite se kolah. Ia berperan signifikan untuk men
jem batani dua kutub, yakni sekolah dan orang tua (masyarakat). Memper te bal relasi antarkeduanya berarti menutup
ke sem pat an bagi para pelaku untuk meng gen carkan aksi kekerasan.
Orang Jawa pada masa lalu sudah meyakini betapa peran masyarakat se demikian pentingsebagai manifestasi nilai
be brayan agung. Esensi imateriel yang mengonstruksinya bisa difungsikan guna alat kontrol sosial dalam kerangka
mere duksi kekerasan di ranah pen di dikan.
Konteks Hardiknas
Pada momen Hari Pendidikan Nasio nal (Hardiknas), keke rasan yang muncul di ranah sekolah menjadi alarm penting
bagi semua pihak. Betapapun Hardiknas mesti dimaknai bukan sekadar helatan seremonial, melainkan juga momen
refleksi sejauh mana pendidikan nasional mereduksi pelbagai bentuk kekerasan di wilayah sekolah.
Para pendiri bangsa, terutama Ki Hadjar Dewantara, telah menegaskan sinyal seabad lampau: pendidikan tak semata
mata urusan kepintaran, tapi juga menyentil dimensi perangai siswa. Halus budinya, menurut pemilik nama Suwardi
Suryaningrat itu, adalah orien tasi aksiologis pendidikan nasional. Keduanya mesti berjalan harmonis.
Memanifestasikan Hardiknas secara nilai ke dalam laku seharihari me mung kinkan adanya dorongan internal untuk
menjaga harmoni praksis pen di dikan. Proses demikian dilakukan da lam rangka membumikan kembali ama nat para
pendiri bangsa agar tak terjebak pada friksi horizontal maupun vertikal yang dewasa ini semakin menyeruak. Ranah
pendi dikan, karenanya, berperan penting sebagai garda depan dalam menjaga keselarasan di tengah kontes tasi
sosialkemasyara katan.
Upaya aksiologis mereduksi keke rasan di jagat pendidikan bisa ditempuh sebagai berikut. Pertama, pendidikan
semes tinya membentuk karakter peserta didik melalui spektrum pembelajaran berbasis etika. Nilai etis yang dimak
sudkan di sini secara sadar ditanamkan lewat habituasi di sekolah. Guru mem punyai peran krusial dalam membina
perilaku luhur anak didiknya.
Salah satu contoh konkretnya, antara lain, pendidikan melalui guru sebagai mo del strategisbentuk nyata bagai ma na
etika (budi) difigurkan. Guru, selain mengajar, juga merupakan model em piris dari ejawantah esensi etika itu sen diri.
Lebih spesifik, tatkala ia hendak me ngajarkan ketertiban, guru wajib memberi model bagaimana seharusnya
mewujudkan nilai tertib itu. Andai nilai demikian dikontinuasikan, peserta didik dengan sendirinya akan berperilaku ter
tib tanpa mencercap teori ketertiban.
Kedua, mewujudkan substansi de mokrasi dalam pembela jar an di kelas. Guru memberi kebebasan berpendapat siswa
tanpa memandang siswa pintar atau bodoh secara akademiknumerik. Memberi kesempatan berpendapatten tu
dengan rasa jujur, tanggung jawab, dan rasionalguru telah menerapkan ba gaimana perilaku berdemokrasi itu
dijunjung tinggi dari din ding kelas.
Kekerasan yang diakibatkan siswa biasanya lahir dari keter tutupan atau pe ngekangan pendapat siswa. Dengan de
mokrasi, karenanya, peserta didik mera sa dipercaya dan dihargai selaku subyek aktif di sekolah. Kedua nilai itu
niscaya membentuk habituasi perilaku etis di sekolah. Pelbagai bentuk kekerasan lam batlaun tereduksi.***
* Penulis Peneliti Pendidikan Literasi Yogyakarta
http://harian.analisadaily.com/opini/news/kekerasan-pendidikan-dan-peran-warganet/559080/2018/05/22
2/2