konflik antar dan umat beragama.doc

 Konflik di Acehl

Kerusuhan pecah setelah massa yang terdiri dari sekitar 600 orang membakar
sebuah gereja Protestan dan bergerak ke gereja kedua. Demikian keterangan Kepala
Kepolisian Aceh Husein Hamidi kepada wartawan Di sana mereka dihadang sekelompok
warga Kristen yang sudah siap siaga bersama polisi dan militer.
Dalam bentrokan seorang tewas akibat terkena tembakan, sementara empat lainnya
cedera akibat lemparan batu. Polisi dan tentara dikerahkan untuk mengatasi bentrokan,
dan salah seorang yang cedera adalah anggota militer.
Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, setiap gereja di kawasan Aceh selatan
sudah dijaga militer dan polisi. Namun karena jumlah gereja banyak dan aparat terbatas,
hanya 20 aparat keamanan ditempatkan di tiap gereja, sementara kelompok yang
menyerang jumlahnya ratusan orang
Bentrokan terjadi menyusul demonstrasi yang terjadi pekan lalu, di mana
sekelompok remaja Muslim menuntut pemerintah lokal membongkar sejumlah gereja yang
menurut mereka didirikan dan beroperasi secara ilegal karena tidak memiliki surat izin
bangunan. Pemerintah lokal sudah menyatakan akan menangani masalah dengan
membongkar 21 gereja.

 Konflik di Papuaa


Pembakaran Masjid di Tolikara Picu
Konflik Agama di Papua

Insiden pembakaran Masjid di Kabupaten Tolikara, Papua tanggal 17 Juli lalu telah menyebabkan konflik agama di
Papua memanas. Konflik ini menyebabkan setidaknya seorang tewas dan puluhan terluka.
“Situasi di Tolikara memang sudah membaik, tetapi investigasi masih terus berlanjut. Aparat terus memantau
keadaan untuk mengantisipasi agar bentrokan, terutama antara umat Islam dan Kristen tidak berlanjut,” kata Kepala
Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Patridge Renwarin kepada BeritaBenar hari Senin, 20 Juli 2015.
“Kejadian ini tentunya sangat disesalkan karena telah mencoreng kerukunan hidup beragama di Papua,” tambahnya.
Menurut keterangan dari kepolisian setempat, pembakaran Masjid Baitul Muttaqin terjadi pada hari Jumat, saat umat
Islam sedang melakukan sholatIdul Fitri sekitar jam 07.00 waktu setempat.
Pertikaian terjadi saat sekelompok masa berdatangan dan melemparkan batu.
“Beberapa dari mereka bahkan melakukan aksi pembakaran kios yang akhirnya merambat ke rumah penduduk dan
membakar Masjid Baitul Muttaqin,” kata Patridge sambil menambahkan setidaknya 38 rumah dan 63 kios terbakar
seketika itu.
“Seorang warga tewas dalam kejadian ini adalah Endi Wanimbo (15), jemaat Gereja Sinode, dan 153 lainnya
terluka,” lanjut Patridge.
Patridge mengatakan bahwa pertikaian terjadi ketika umat Islam dan Kristen menggelar dua acara besar pada waktu
yang sama dan di tempat yang berdekatan.
“Sholat Id dilaksanakan hari Jumat pagi. Pada waktu yang sama Sinode Gereja Injili juga mengadakan pertemuan

nasional yang menghadirkan sekitar 2000 orang perwakilan dari daerah,” katanya.

 Konflik di Poso

Banyak teori yang beredar mengenai akar masalah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Poso. Teori
yang banyak dikenal masyarakat adalah masalah pembagian kekuasaan dan sebab agama.
Keduanya mempunyai dasar-dasar bukti untuk memperkuat teori masing-masing.
Teori pertama didukung oleh sebagian dari tokoh masyarakat Poso dan Palu yang ditemui
Laskarjihad.or.id. Mereka memandang tragedi Poso ini berasal dari power sharing di Poso sendiri.
Proses Politik yang menyebabkan pejabat teras di Poso dihuni oleh orang-orang yang seluruhnya
beragama Islam dituding sebagai alasan pecahnya tragedi Poso.
Pendapat ini dibantah dengan dua kenyataan yang ada. Kenyataan pertama adalah sejarah yang
terjadi di Poso. Sebelum tahun 1995 Poso tidak pernah rusuh walaupun yang menjadi pejabat teras
semuanya adalah orang-orang Kristen. Damainya Poso waktu itu, menunjukkan kaum Muslimin
tidak pernah mempermasalahkan tentang pembagian kekuasaan, tandas Najmuddin Ramly, Ketua
PP Pemuda Muhammadiyah. Kedua adalah kesimpulan dari alasan pertama, yaitu Kristen menolak
jika pejabat Poso dikuasai oleh Islam seluruhnya.
Teori yang kedua menyatakan bahwa tragedi Poso terjadi karena sebab agama. Pendapat ini
diperkuat oleh alasan pembagian kekuasaan diatas. Selain itu ada beberapa kenyataan lain yang
mendukung teori ini. Menurut Tajwin Ibrahim, SH, Ketua Serikat Paralegal Muslim (SPM), ada

beberapa poin yang menjadi indikasi adanya pengaruh agama dalam pecahnya tragedi
kemanusiaan di Poso.
Tajwin melihat bahwa program Kristenisasi yang mereka terapkan telah merubah strateginya.
Selama puluhan tahun mereka menempuh jalur ‘halus’ ternyata gagal dengan semakin kecilnya
prosentase umat Kristen di Kabupaten Poso. Karena gagal dengan cara ‘halus’ , kemudian
menempuh cara kekerasan dengan berusaha mengusir kaum Muslimin yang ada di kabupaten
Poso.
Indikasi pertama pengaruh agama adalah adanya Laskar Kristus yang berusaha memasuki kota
Poso pada tragedi jilid I, 28 Desember 1998. Laskar yang dipimpin oleh Herman Parimo itu
memakai alasan akan mengadakan pawai natal. Pengumpulan massa dan pengadaan persenjataan
tidak mungkin ada, tanpa persiapan terlebih dahulu dan hal itu pun tidak akan mungkin berjalan
tanpa restu dari tokoh agama Kristen.

Indikasi kedua adalah tuntutan tidak realistis dari 171 pendeta kepala pemerintah untuk mendirikan
Kabupaten Pamona. Tuntutan ini berusaha membagi wilayah Poso berdasarkan agama. Secara de
facto hal ini sebenarnya sudah terwujud di Tentena, Kecamatan Pamona Utara. Dimana kaum
Mulim tidak bisa masuk kesana.
Dan mereka menghendaki, kota kabupaten Poso dibagi menjadi dua, sebagian daerah menjadi milik
Kristen. Jika hal ini sampai dipenuhi, besoknya mngkin mereka akan menuntut daerahnya menjadi
negara sendiri.

Indikasi ketiga adanya pemaksaan untuk masuk Kristen terhadap umat Islam yang mereka tawan.
Dalam kasus ini, Tajwin Ibrahim menyontohkan seorang Imam Masjid yang dipaksa masuk Kristen.
Saat ini Imam tersebut berada di Palu. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi mereka sebenarnya
adalah Kristenisasi, hanya saja dikemas dalam baju kerusuhan SARA.
Indikasi keempat adanya anggapan Gereja dunia atas gagalnya Tentena menjadi Pusat Kristenisasi
di daerah Sulawesi sebelum terjadi tragedi kemanusiaan di Poso. Opini ini berkembang berdasarkan
data dari PBB yang menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen di Kabupaten Poso menurun dari 75%
menjadi hanya sekitar 30%. Ini suatu kegagalan bagi mereka yang akhirnya menempuh cara
kekerasan, tandas Tajwin.
Dari beberapa sumber, Laskarjihad.or.id mendapat informasi bahwa pada saat perayaan natal di
Tentena yang menghadirkan tokoh-tokoh gereja dari seluruh dunia, mereka dikejutkan dengan
adanya suara adzan di Tentena. Hal ini menimbulkan kemarahan tokoh-tokoh Gereja tersebut dan
menganggap Tentena telah gagal dalam program Kristenisasinya.
Indikasi kelima adalah keterlibatan pihak Gereja. Diantaranya sewaktu ada pengiriman delegasi
Tana poso untuk rekonsiliasi yang dikomandoi GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah). Damanik
menolak saat mobilnya akan diperiksa. “Ini tentu saja ada apa-apanya. Terbukti setelah itu pecah
peristiwa Buyung Katedo”, Tutur Tajwin.
“Ini Hanya sebagian dari bukti kuat, kentalnya faktor agama di dalam tragedi Poso. Masih banyak
lagi kasus lain yang menunjukkan hal itu,”


Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Sejumlah pihak mengungkapkan bahwa toleransi beragama di
Kabupaten Gunungkidul berada dalam situasi yang baik, selama tidak ada provokator yang
menjadikan perbedaan agama sebagai suatu persoalan.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Gunungkidul, Iskanto menuturkan
bahwa sejauh ini, pihaknya sudah berupaya memberikan pemahaman kepada seluruh pihak.
“Sejak dahulu, masing-masing dari kita memang memiliki agama dan keyakinan yang berbedabeda. Meski demikian jangan menekankan pada perbedaan, melainkan melihat meski berbeda, ada
sejumlah persamaan yang perlu diterima bersama,” katanya, Minggu (17/1/2016).
Di samping itu ia juga meminta masyarakat mewaspadai beragam ajaran dan paham baru yang
masuk. Para pemimpin agama, juga diminta memberikan pemahaman kepada umat. Pasalnya, saat
ini akses masuknya informasi dari luar Gunungkidul begitu mudah dan bisa menggunakan media
apa saja.
“‘Sesuatu [konflik dan persoalan dalam kehidupan beragama] itu terjadi karena ada pihak yang
kurang paham atau informasi yang mereka miliki itu kurang jelas. Di sisi lain ada pihak luar yang
sudah mencoba untuk membuat masalah di Gunungkidul, jadi kami minta agar pemuka agama dan
masyarakat dapat memfilter informasi yang masuk dari luar ini,” ujarnya.

Iskanto juga menambahkan, berkaca dari sejumlah persoalan dan konflik di dalam Gunungkidul
yang melibatkan agama dan keyakinan tertentu, ia menyebut FKUB selalu memberikan kesempatan
diskusi, dan kesempatan untuk terbuka dan membicarakan persoalan dengan baik-baik.
“Sering bertemu, dan mengungkapkan kalau ada ‘ganjalan’. Dialog, diskusi dan deklarasi-deklarasi

yang sudah ada, menguatkan kehidupan beragama di Gunungkidul,” ucapnya.

Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo
harapan agar kehidupan toleransi antar umat beragama yang sudah baik, tidak terjebak dengan
upaya "sinkretisme" (mencampuradukan beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau
kepercayaan).
"Ini yang tadi digarisbawahi oleh MUI," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin seusai
mendampingi Presiden bertemu Pengurus MUI di Istana Merdeka Jakarta, Selasa.
Lukman Hakim mengungkapkan bahwa pemerintah bersama dengan masyarakat melalui
ormas-ormas keagamaan terus berupaya untuk membangun toleransi karena realita
masyarakat Indonesia yang majemuk.
"Pesan MUI tadi, jangan sampai kita terjebak pada sinkretisme yaitua
mencampuaraduakan antara ajaran-ajaran ataua bentuak-bentuak peribadatan satua
agama dengan agama yang lain," katanya.
Lukman menyatakan bahwa toleransi harus betul-betul dijunjung tinggi dan senantiasa terjaga.
"Jangan sampai terjebak pada pencampuradukan ajaran atau ritual peribadatan antara satu
agama dengan agama yang lain," katanya.
"Saya pikir ini pesan yang sangat baik dan tentu semua kita berkewajiban untuk mencermati
ini," kata Lukman Hakim.
Dia mengatakan, MUI menyampaikan hal tersebut setelah ada masukan dari masyarakat terkait

perayaan Natal, adanya kumandang adzan diiringi lagu-lagu yang biasa dinyanyikan di gerejagereja.

Trinidad & Tobago, sebuaahl negara kepualauaan penghlasil minyak di kawasan
Karibia, bisa disebuat sebagai negeri yang ramahl bagi kauam Muaslimin. Meski
mayoritas penduaduak negara itua beragama Nasrani, namuan tingkat toleransi
mereka terhladap uamat Islam terbilang tinggi.
Berdasarkan catatan Pew Researchl Center, juamlahl Muaslim yang mendiami
Trinidad & Tobago pada 2000 mencapai 78 ribua jiwa ataua sekira 6,6 persen
dari total penduaduak negara itua. Mayoritas dari mereka bermuakim di Pualaua
Trinidad.
Kini, setelahl 15 tahluan berlalua, popualasi uamat Islam di Trinidad & Tobago
diperkirakan meningkat menjadi 100 ribua jiwa, ataua sekitar delapan persen
dari total penduaduaknya. Catatan tersebuat sekaliguas menempatkan Islam
sebagai agama terbesar ketiga di negeri Karibia itua, setelahl Kristen dan
Hindua.
Model toleransi yang diterapkan Pemerintahl Trinidad & Tobago dalam
kehliduapan beragama, layak menjadi contohl bagi negara-negara mayoritas
non-Muaslim lainnya.
Di sana, uamat Islam tidak sekadar memperolehl kebebasan dalam
menjalankan ibadahl. Lebihl dari itua, Hari Raya Idual Fitri—yang meruapakan hlari

besar Islam—bahlkan ditetapkan sebagai salahl satua hlari libuar nasional di
negara kepualauaan itua.
Umat Islam di Trinidad & Tobago juaga dilibatkan secara aktif olehl pemerintahl
setempat ketika mengambil berbagai kepuatuasan politik. Seperti pada

pertengahlan tahluan lalua misalnya, Perdana Menteri Kamla Persad-Bissessar
sengaja menggelar pertemuaan dengan sejuamlahl komuanitas Muaslim di negeri
itua.
Tuajuaan pertemuaan tersebuat adalahl uantuak membahlas jadwal penyelenggaraan
Pemilihlan Umuam (Pemilua) 2015 yang tepat, suapaya tidak berhlimpitan dengan
pelaksanaan puaasa Ramadhlan 1436 H. Dengan begitua, kauam Muaslimin
dihlarapkan dapat melaksanakan ibadahlnya secara maksimal selama bualan
suaci itua.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Din Syamsuddin mengatakan Islam adalah
agama yang menghormati hak-hak kaum minoritas sebagaimana tercantum dalam Piagam Madinah.

"Islam sangat menghormati hak-hak kelompok minoritas agama lain yang tinggal di negeri mayoritas Islam," kata
Din lewat keterangan pers yang diterima di Jakarta, Kamis (28/1).
Din mempresentasikan nilai Islam soal penghormatan terhadap hak minoritas itu dalam forum internasional

"Conference on Rights of Religious Minorities in Predominantly Muslim Countries" di Maroko.
Konferensi itu diikuti 300-an peserta yang terdiri dari ulama dan cendekiawan Muslim dan sejumlah tokoh nonMuslim dari berbagai negara dunia. Din Syamsuddin menjadi perwakilan Indonesia bersama Amany Lubis dari
Majelis Alimat Islam Sedunia.
"Konferensi ini bertolak dari Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad SAW dengan berbagai kelompok agama
dan suku yang ada di Yatsrib waktu itu," kata Din. Yatsrib merupakan sebutan kota Madinah di Arab Saudi saat Islam
berkembang pada masa-masa awal di kawasan itu.
Piagam Madinah, kata Din, mengangkat dua subtansi utama, yakni hak terkait harkat manusia sebagai manusia serta
hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dari keduanya terdapat hak-hak turunan yang bersifat umum, termasuk untuk mendapatkan perlakuan yang baik
bagi minoritas, terlebih jika kalangan minoritas agama merupakan warga negara di negara-negara Islam.
Dalam konferensi itu, Din juga menjelaskan Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama
Islam. Sejak awal Indonesia menerapkan prinsip Piagam Madinah seperti termaktub pada pasal 29 UUD 1945.
Oleh karena itu, lanjut Din, prinsip kemanusiaan Piagam Madinah perlu diintegrasikan ke dalam konstitusi atau
produk-produk hukum negara-negara Islam, bahkan diperjuangkan untuk menjadi dokumen internasional walau
sudah ada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Din sebagai Co-President of World Conference of Religions for Peace juga menekankan perlunya hak-hak minoritas
Muslim di negara-negara mayoritas agama lain. Dengan kata lain, Muslim juga harus mendapat penghormatan dan
pelayanan yang sama dengan warga negara pada umumnya.
"Terakhir ini berkembang gejala menyedihkan terhadap Muslim di beberapa negara Eropa dan Amerika, seperti

pelarangan mendirikan masjid dengan menara, pelarangan memakai hijab dan bentuk-bentuk Islamofobia lain,
termasuk sikap berwawasan sempit dari kandidat Presiden Amerika Donald Trump yang melarang orang Islam
menjadi warga AS," katanya.

OLEH :
1. ICE NURMALA
2. M. RANDHY ADRIAN
3. M. VIERI DWISAPUTRA
4. NADYA NURJANNAH

TAHUN AJARAN 2015 - 2016