The Will to Govern Perencanaan Pembangun

“The Will to Govern”:
Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan Wilayah di
Pesisir Selatan Pulau Jawa*
Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar**
Di awal bulan Juli 2012, masyarakat pesisir selatan Kulon Progo melakukan
demonstrasi di depan DPRD Provinsi DIY. Mereka menuntut DPRD membatalkan
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) Provinsi DIY. Mereka menilai Perda RTRW tersebut merugikan
kepentingan masyarakat pesisir selatan, terkait rencana pertambangan pasir besi di
wilayah tersebut. Wilayah Garongan dan sekitarnya memang lama menghadapi
konflik terkait kehadiran perusahaan tambang pasir besi di wilayah tersebut.
Kasus di atas mencerminkan paradoks, baik dalam konteks sustainable
development atau perencanaan partisipatif dalam konteks pembangunan wilayah.
Baru-baru ini, FIB UGM meluncurkan kajian menarik dari Profesor Tania Murray Li
tentang etnografi pembangunan di Indonesia, yang berkesimpulan bahwa proses
pembangunan di Indonesia tak lepas dari practice of politics dan practice of
governmentality (Li, 2012). Tulisan ini berniat untuk mengulas sedikit tentang
perencanaan desa di pesisir Selatan pulau Jawa dengan menggunakan kerangka
kajian Tania Murray Li tentang proses pembangunan di Indonesia.
Perdebatan tentang Pembangunan
Secara konseptual, setidaknya ada tiga perspektif besar yang digunakan untuk

memahami perencanaan pembangunan daerah pasca-Reformasi. Pertama,
perspektif neo-liberal atau neo-institusionalis. Cara pandang ini banyak dibawa oleh
beberapa lembaga donor dan international development dalam memahami
desentralisasi. Argumen dasarnya adalah “upaya mempertahankan pertumbuhan,
penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan penghasilan kaum miskin melalui
intervensi kebijakan eksplisit terhadap kebijakan pertumbuhan –suatu kebijakan
pertumbuhan yang pro-poor” (Antlov, 2008).
Logika yang sangat khas bercorak neo-institusionalis tercermin dari semangat untuk
memindahkan kewenangan negara kepada masyarakat dengan tujuan untuk
memperkuat konsolidasi reformasi ekonomi berbasis pasar (Goldfrank, 2007).
Sistem perencanaan model ini bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat
dengan penekanan pada kesiapan menghadapi ekonomi pasar. Perspektif ini tidak
memberikan kacamata analisis untuk melihat perjuangan kelompok-kelompok
sosial yang termarjinalisasi oleh praktik pembangunan, terutama ketika berhadapan
dengan struktur besar pasar seperti petani lahan pantai diKulon Progo.
Kritik terhadap pendekatan ini datang dari cara pandang kedua, yaitu pendekatan
Marxis. Argumen dasarnya, skema desentralisasi dan perencanaan pembangunan
yang terjadi di Indonesia pasca-Soeharto adalah bagian tak terpisahkan dari
*


Disampaikan pada LKMM BEM Fakultas Geografi, 29 September 2012..
* Penulis adalah Menteri Koordinator Kebijakan Eksternal di BEM KM UGM, Mahasiswa
Jurusan Ilmy Hubungan Internasional, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Bisa dihubungi
lewat email [email protected]
*

konsolidasi rejim free market yang bertujuan menjaga kepemilikan pribadi –atau
modal (Hadiz, 2004; Hadiz, 2010). Secara garis besar, konsolidasi rejim freemarket tersebut dioperasionalisasikan melalui proses transformasi kepentingan
predatoris warisan Orde Baru yang menempatkan kelompok pemilik modal sebagai
bagian tak terpisahkan dari struktur politik nasional.
Artinya, pergeseran paradigma pembangunan tersebut, dalam perspektif ini, adalah
re-konsolidasi oligarki yang tumbuh pada rejim Orde Baru, dan bukan bersifat
partisipatif an sich (Hadiz dan Robison, 2004). Proses perencanaan pembangunan
yang pro-poor perlu meletakkan analisis mengenai relasi dan arus modal yang
beroperasi di sekitar proses perencanaan.
Sementara cara pandang ketiga diwarisi dari pendekatan post-strukturalis khas
Foucauldian. Cara pandang ini melihat bahwa proses perencanaan pembangunan di
Indonesia adalah injeksi dan manifestasi dari proses kekuasaan tertentu. Foucault
memperkenalkan istilah "Government" untuk melihat manifestasi dari proses
pelembagaan pembangunan tertentu di masyarakat. Hakikat dari “government”

adalah mengubah persepsi dan perilaku masyarakat melalui tindakan-tindakan yang
telah dikalkulasikan sebelumnya secara programatik, dengan mendidik semangat,
hasrat, serta mendorong aspirasi untuk melakukan sesuatu (Li, 2005).
Tentu saja, upaya programatik tersebut didorong untuk sampai pada satu muara
tertentu. Inilah yang disebut oleh Foucault sebagai “proses kekuasaan tertentu”
(Sheridan, 1980). Tujuan dari “government” adalah meningkatkan kesejahteraan
rakyat, meningkatkan kapasitas masyarakat, dan sejenisnya. Perspektif ini tidak
melihat sebatas relasi-relasi modal di sekitar proses perencanaan pembangunan
daerah di Indonesia, tetapi juga relasi-relasi kekuasaan.
Pasca-1998: Bergesernya Paradigma Pembangunan
Setelah mendudukkan pembangunan wilayah dalam perspektif teoretis, kita perlu
melihat setting sosial-politik atas proses pembangunan tersebut. Pasca-1998,
Indonesia mengalami perubahan paradigma yang sangat mendasar dalam logika
pembangunan. Dulu, pemerintah pusat menentukan semua. Proses pembangunan
dibangun dalam logika top-down. Pemerintah Orde Baru mengkorporatisasi
pemerintah desa dengan logika birokratik-politis mereka -meminjam Karl D.
Jacson. Akibatnya, dalam struktur pemerintah desa era Orde Baru, Posisi
Pemerintah Desa adalah posisi birokrasi -alat negara.
Dengan konteks ini, pemerintah meredam semua bentuk gerakan kritis rakyat
dengan berbagai bentuk kebijakan. Pertama kali yang dilakukan oleh pemerintah

Orde Baru adalah membersihkan PKI. Partai berhaluan komunis ini, hingga tahun
1965, menjadi partai yang paling berkuasa di tingkat desa. Sel-sel mereka mampu
menggerakkan petani untuk menuntut hak mereka atas tanah. Alat tani mereka di
desa-desa adalah BTI. Gerakan ini jelas akan sangat merintangi kerja pemerintah,
dan segera diberangus sebagai momentum konsolidasi pertama rezim Orde Baru.
Petani kemudian "dimodifikasi" dalam bentuk-bentuk yang baru. Inilah yang
disebut oleh Michael Foucault -dikutip juga oleh Prof. Li dalam salah satu
artilkelnya tentang World Bank- sebagai "Government". Modelnya tidak jauh
berbeda dengan "discipline" dan "punishment", yaitu mengubah persepsi dan
perilaku. Hanya saja, government ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat, meningkatkan kapasitas masyarakat, dan lain sebagainya (Li, 2005).

Dengan demikian, proses pembangunan menjadi lebih mudah diinternalisasi
kepada masyarakat. Negara dengan semua aparatusnya berkepentingan untuk
menanamkan ideologi mereka kepada masyarakat agar semua bentuk dan potensi
perlawanan dari masyarakat dapat dibungkam. Sehingga, proses perencanaan dan
pembangunan di era Orde Baru pada dasarnya embedded dengan proses
pembentukan dan konsolidasi rejim politik otoriter.
Pasca-Orde Baru runtuh, model "government" tersebut berubah haluan. Dulu,
"governmentality" otomatis dikuasai oleh negara. Sekarang, muncul banyak aktor

yang bermain dengan pendekatan-pendekatan yang dianut. Salah satu aktor yang
masuk adalah lembaga-lembaga donor asing, macam World Bank atau
International Development dari masing-masing negara. Perubahan paradigma yang
terjadi adalah pemindahan otoritas dari "negara" ke kekuatan "pasar" melalui
berbagai injeksi programatik.
Tania Murray Li (2005) memotret bagaimana transfer otoritas tersebut terjadi
melalui program yang dulu "sangat kiri" alias digunakan oleh kelompok anti-Orba
sebagai alat perlawanan. Lembaga donor masuk, di tahun 2002, misalnya, melalui
Program Pengembangan Kecamatan yang kini menjadi PNPM Mandiri. Model yang
digunakan, seperti dipotret Prof. Li, adalah Participatory Rural Appraisal (PRA)
yang memosisikan masyarakat sebagai "subjek kajian". Model kajian yang
dikembangkan Robert Chambers ini pada mulanya digunakan, terutama oleh
fasilitator pembangunan dunia ketiga sebagai alat penyadaran kritis dalam
pendidikan model Marxis, Akan tetapi, kini fungsinya justru berubah arah oleh
masuknya kelompok lembaga donor pada proses pembangunan.
Tak hanya itu, proses perencanaan pembangunan pun segera dikonstruksi dengan
model-model neoliberal (Li, 2005). Model dasarnya adalah pemindahan logika
menjadi bottom-up. Sekilas, hal ini tak jauh berbeda dengan logika demokrasi yang
mengarusutamakan suara rakyat secara partisipatoris. Akan tetapi, tujuan dasarnya
berbeda 180 derajat: bukan memperjuangkan kesetaraan, tetapi menginjeksi

masyarakat dengan logika ekonomi pasar dan memindahkan tugas negara.
Asumsi dasarnya begini: Otoritas "untuk mengatur" (to govern) diberikan kepada
masyarakat, tetapi tetap dengan asistensi agar penerimaan terhadap logika ekonomi
pasar masuk. Apa instrumennya? Advokasi masyarakat sipil. Itulah sebabnya World
Bank dan kawan-kawannya begitu getol memberikan uang untuk mendanai proyek
masyarakat sipil untuk program pembangunan mereka. Tujuan utamanya bukan
sekadar memberi kapasitas berlebih kepada masyarakat, melainkan juga memberi
kapasitas masyarakat untuk beradaptasi dengan logika ekonomi pasar.
Masuknya International Development
Pihak yang getol mengkampanyekan ini adalah World Bank -salah satu institusi
yang dimasukkan oleh John Williamson (1990) sebagai bagian The Washington
Consensus. Ada lagi beberapa institusi yang memberikan pendanaan pembangunan
dari negara-negara maju, macam USAID, European Committee, AusAid, NZAid,
dan lain sebagainya.
Perlu dicatat, International Development ini memiliki posisi kementerian di
masing-masing negara. UK dan Australia memiliki ini. Artinya, jika bicara soal
World Bank, USAID, AusAid, dan lain-lain, kepentingan masing-masing negara

terlihat. Walaupun, mereka hanya menggelontorkan dana tanpa mengharap
kembali. Sebagai contoh, World Bank membiayai beberapa project pemberdayaan

masyarakat yang terkait dengan perencanaan. Hasil dari project ini adalah panduan
perencanaan berbasis perdamaian untuk wilayah konflik, seperti Aceh.
Kesimpulannya, ada semacam agenda untuk melakukan peace mainstreaming. WB
memang tidak berkepentingan dengan dana yang digelontorkan. Akan tetapi, apa
yang menjadi tujuannya? Dalam perspektif awam saja, jelas WB berkepentingan
menanamkan peace mainstreaming kepada perangkat desa. Peace mainstreaming,
jika diletakkan dalam konteks global, adalah upaya sistematis untuk memasukkan
logika perdamaian kepada masyarakat dunia ketiga.
Jika dikaitkan dengan politik luar negeri AS beberapa dasawarsa terakhir, peace
mainstreaming erat kaitannya dengan politik kontraterorisme yang dijalankan
melalui jalur preventif. Hal-hal tersebut sifatnya bisa praksis, bisa saja konstruktif
terhadap mindset. Kalau yang kedua ini dipakai, WB dan kawan-kawan sukses
mengubah paradigma pembangunan sesuai dengan agenda advokasi mereka.
Kita bisa membongkar logika yang digunakan. Ada dua paradigma yang cukup
mendasar dan sifatnya vis-a-vis satu sama lain. Pertama, paradigma struktural.
Dengan menggunakan pendekatan struktural ini, penguatan kapasitas masyarakat
ditujukan untuk melawan setiap bentuk represi. Orientasinya, penyadaran kritis.
Kedua, paradigma pasar. Artinya, penguatan kapasitas masyarakat ditujukan untuk
membuatnya berdaya saing dan bisa berkompetisi dalam persaingan pasar yang
kian bebas. Jelas, kesadarannya sifatnya pragmatis.

International Development jelas memiliki agenda setting yang kedua. Mengapa?
Jawaban sederhana yang muncul, karena agenda negara-negara maju tersebut
adalah melebarkan sayap ekonomi seluas-luasnya. Dan artinya, setiap negara harus
peka terhadap kebutuhan pasar. Globalisasi ekonomi menjadi instrumen. Dengan
demikian, logika pembangunan memang mengarusutamakan partisipasi warga atau
hak-hak sosial ekonomi, tetapi tujuannya bukan penyadaran kritis.
Ini yang membedakan sistem perencanaan ala WB dan kawan-kawan dengan
pendekatan Freirean. Dalam pendekatan Freirean, perencanaan ditujukan untuk
kepentingan masyarakat, dan orientasinya adalah penyadaran kritis akan peran dan
fungsinya di masyarakat. Pada titik ini, kita perlu bersikap kritis. Apakah partisipasi
masyarakat yang kerap dikampanyekan lembaga-lembaga donor itu sekadar
"kebaikan hati" atau ada kepentingan di baliknya?
‘Perencanaan’ dan Governmentality
Masyarakat kemudian diperkenalkan dengan sistem perencanaan partisipatif. Ada,
misalnya, Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 tentang RPJMDesa, yang
"menyuruh" masyarakat untuk merencanakan pembangunannya secara partisipatif
dalam jangka lima-tahunan. Sebelumnya, masyarakat diinjeksi dengan logika
"demokrasi liberal" melalui Pemilihan Kepala Desa.
Di permukaan, perencanaan partisipatif ini sekilas menakjubkan. masyarakat bisa
berkembang secara mandiri dengan kajian-kajian partisipatifnya. Keterlibatan

masyarakat dalam perencanaan didorong. Hak-hak masyarakat diadvokasi. Tentu
saja, bagi yang kirinya agak ke-"kanan-kanan"-an, logikanya akan nyambung.

Akan tetapi, dengan kecurigaan Foucauldian -atau seperti itulah yang sejenis- kita
bisa mempertanyakan: apa maksud dari semua ini? Sebagaimana isyarat Foucault,
seluruh aktivitas manusia adalah practice of politics. Foucault (1987), memberikan
proposisi yang cukup terkenal: dimana ada kekuasaan, di sana ada perlawanan, dan
perlawanan tersebut tidak pernah berada eksternal dari relasi kekuasaan yang ada.
Ada relasi kekuasaan yang eksternal dari perencanaan partisipatif itu. Dari yang
awal mulanya mendorong partisipasi masyarakat, apa yang diinginkan oleh donor?
Tania Murray Li dengan cermat membaca kelemahan model tersebut: Paradigma
yang sangat khas neoliberal, dan ini bersifat fundamental, membatasi ‘area kerja’
dari model perencanaan. Paradigma neoliberal tidak mengarahkan pandangannya
pada problem-problem struktural yang ada di masyarakat. Pembangunan hanya
diarahkan pada bagaimana membangun kemandirian masyarakat melalui stimulus
modal, bukan pada kerangka struktur sosial-politik-ekonominya.
Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Vedi Hadiz (2004), semua bentuk aktivitas
partisipasi, perencanaan, pembangunan, akuntabilitas, atau hak-hak ekosob
sebenarnya terikat pada sebuah proses pergulatan kepentingan antar-kelas dan
kelompok sosial secara historis. Ini berarti, ada sebuah missing link dari

pembangunan dan perencanaan berbasis masyarakat dengan lingkungan
eksternalnya. Ini nanti yang akan kita elaborasi di pesisir selatan.
Asumsi dasar neoliberal adalah menggeser kekuasaan negara kepada publik, melalui
desentralisasi. Vedi Hadiz sudah membaca hal ini (2004) dengan melihat proses
desentralisasi Indonesia sebagai injeksi formasi kekuasaan pasar dalam struktur
ekonomi-politik Indonesia. Melalui desentralisasi dan partisipasi, negara tidak
terlalu powerful, kekuasaan pasar dapat terkonsolidasi dengan bantuan masyarakat
yang sudah terinjeksi dengan penguatan kapasitas khas negara neoliberal.
Pada titik ini, perencanaan menjadi vital. Dengan adanya perencanaan, potensipotensi pembangunan yang pro-pasar dapat didaftar terlebih dulu. Perumusan
RPJMDesa, misalnya, terlebih dulu dilakukan dengan mendaftar semua potensi dan
permasalahan yang ada. Masyarakat tentu saja akan lebih senang mendaftar semua
permasalahan dan potensi mereka secara mandiri, yang berarti pemenuhan
kebutuhan dasar, dan lain-lain. Infrastruktur lebih gampang dijangkau. Bukankah
itu lebih memudahkan bagi warga desa?
Meminjam analisa James Scott (1982), masyarakat pertanian pada dasarnya tak
menyukai perjuangan revolusioner. Mereka adalah 'orang yang bersifat pasrah'
terhadap pembangunan yang ada, tetapi pada dasarnya ingin terlibat. Mereka
berkepentingan terhadap pembangunan, tetapi tidak berniat mengkritisi terlalu
jauh di luar kepentingan mereka. Akibatnya, proses injeksi model pembangunan
jenis apapun tidak akan begitu susah. Dengan logika partisipatif, proses injeksi

logika neoliberal ke masyarakat desa menjadi lebih mudah. Target yang lebih
mudah, yang dicapai oleh logika ini, adalah mengurangi tanggung jawab negara dan
menyerahkannya kepada masyarakat.
Hal ini akan beriringan dengan logika ekonomi pasar yang diusung pada level
makro. Sehingga, skemanya menjadi jelas. Di atas, pembangunan ekonomi diusung
dengan logika teknokratis. Sementara di bawah, pendekatan yang dicapai semakin
partisipatif. Partisipasi tentu akan dikerangkai oleh logika politik birokrasi dan

logika ekonomi teknokrasi. Sehingga, pembangunan masyarakat akan sejalan
dengan logika ekonomi pasar yang berjalan di negeri ini.
Pada seting inilah relasi kekuasaan dari proses perencanaan di tingkat desa itu
terjalin. Artinya, kepentingan lembaga donor mengadvokasi partisipasi publik, pada
hakikatnya -dengan kecurigaan post-strukturalis saya- adalah upaya meneguhkan
kekuasaan pasar.
Kasus Pesisir Selatan: Kritik terhadap ‘Perencanaan’
Pembacaan teoretis di atas dimaksudkan untuk menelaah kasus yang saya amati di
lokasi KKN saya di pesisir selatan Kulon Progo. Saya mendapati, bahwa proses
perencanaan desa pasca-Orde Baru melahirkan banyak implikasi. Dalam kasus
Kulon Progo, ada beberapa hal yang perlundicermati: pengelolaan pertambangan,
kepemilikan dan distribusi lahan, serta posisi kaum miskin pedesaan yang tak
kunjung terangkat dalam relasi modal secara eksternal.
Persoalan Pertambangan Pasir Besi menjadi problem serius dalam tata ruang dan
wilayah Kulon Progo. Bahkan, dalam RPJMD yang baru disahkan menjadi Perda
Nomor 2 Tahun 2011, masalah ini masuk. Namun, sepertinya pemerintah daerah
enggan melepas potensi investasi yang besar, alih-alih memperjuangkan
kepentingan masyarakat yang tergusur lahannya.
Tempo hari, saya pergi ke Panjatan, pesisir Selatan Kulon Progo. Di sepanjang jalan
menuju Panjatan, terutama wilayah Bugel sampai Garongan, penolakan warga kian
menghebat. Spanduk penolakan semakin banyak dan isinya semakin radikal. Tukijo,
seorang petani di Bugel, dipenjara 6 tahun karena membela kepentingan warga.
Hal-hal semacam ini jelas tidak masuk dalam logika perencanaan partisipatif.
Sebabnya sederhana: proses partisipatif di level desa akan membentur kepentingan
birokratis dan teknokratis di level daerah. Jika menggunakan logika partisipatif
secara konsisten, pasir besi pasti sudah akan dilarang di Kulon Progo. Namun,
mengapa tidak kunjung "diusir"?
Ini yang patut menjadi kritik pertama dari proses perencanaan partisipatif yang
sebenarnya tak lepas dari relasi kekuasaan di luar dirinya. Partisipasi masyarakat
tidak sepenuhnya dibaca sebagai "emansipasi" masyarakat dari kepentingan apapun
yang menindas. Justru sebaliknya, negara malah menjadi agen kekuatan modal
asing yang tak lepas perannya dari lembaga-lembaga donor dan International
Development itu. Artinya, logika partisipatif yang dirancang oleh perencanaan
pembangunan hasil advokasi lembaga-lembaga donor itu, memang tidak memadai
jika dibenturkan dengan problem struktural. Jawabnya, dalam hipotesis saya,
adalah karena memang kepentingan mereka justru terletak pada penegasan struktur
tersebut.
Selain, Kooptasi elit-elit lokal, baik di tingkat kabupaten maupun desa itu sendiri,
kentara sekali terlihat. Pemerintah yang membakukan perencanaan partisipatif
dalam serangkaian Permendagri jelas tidak mempersiapkan postur birokrasi yang
mendukung partisipasi. Justru sebaliknya, jika ada yang pernah membaca
Permendagri Nomor 66 Tahun 2007, partisipasi justru dibaca dalam format yang
sangat birokratis dan terkadang tidak dipahami masyarakat desa.
Jika menggunakan kerangka analisis Tania Murray Li, kita bisa melihat kritik
kedua: problem birokrasi, baik di tingkat desa maupun kabupaten/kecamatan. Di

desa Demen sendiri, terlihat bahwa inkapabilitas pamong masih menjadi masalah
utama. Ada dua analisa yang dapat saya baca dari hal ini. Pertama, karena memang
prosedur yang sangat birokratis, susah dibaca perangkat desa. Kedua, karena
memang perangkat desa dipenuhi oleh kepentingan politik!
Ini jelas konsekuensi dari demokrasi liberal yang diinjeksikan ke dalam
pemerintahan desa. Dalam bahasa Tania Murray Li, hal-hal seperti ini jelas sangat
rawan melemahkan postur kelembagaan informal desa, yang punya mekanisme
sendiri dalam menyelesaikan masalah. Musyawarah menjadi terlampau formalistik,
kehilangan esensinya, justru melahirkan elit politik desa yang incapable yang lahir
dari formasi oligarki. Akhirnya, hal ini justru menumbuhsuburkan kelompok yang
ingin melakukan pendampingan atau advokasi. Sebab, Pemerintah Daerah memiliki
kepentingan agar perencanaan desa berjalan sesuai prosedur. Dari sinilah banyak
mengalir "proyek" pendampingan pengerjaan perencanaan desa.
Hal-hal seperti ini, alih-alih memandirikan masyarakat dan mendorong kesadaran
kritis mereka, justru membuat pola ketergantungan baru, terutama pada kekuatan
modal. Ketika masyarakat kritis, misalnya terkait dengan lahan dan mengorganisir
diri, benturan pasti akan terjadi. Dan dalam kasus Pesisir Selatan Kulon Progo,
konflik ini jelas tidak bersesuaian dengan format birokratis perencanaan daerah.
Atas nama perencanaan, pemerintah menindas gerakan rakyat semacam ini.
Simpulan Kritis
Kritik terhadap proses perencanaan pembangunan desa selama ini dapat diletakkan
dalam dua kerangka pikir utama. Pertama, relasi modal, di mana suara rakyat akan
terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan modal atas nama investasi. Kedua, relasi
kekuasaan. Biarpun tidak ada kepentingan yang bertalian dengan persoalan
ekonomi politik, proses perencanaan yang di-setting oleh lembaga-lembaga donor
melalui alat negara pada dasarnya adalah proses injeksi kepentingan-kepentingan
yang berada di luar dari kepentingan masyarakat desa, dan hal tersebut masuk
melalui proses pembangunan, atas nama partisipasi.
Dari pesisir selatan, kita melihat bahwa proses partisipasi tidak lagi diperhatikan
ketika berbenturan dengan modal. Justru, birokrasi atas nama perencanaan tata
ruang dan wilayah memiliki alasan untuk menindas gerakan-gerakan rakyat yang
kritis dengan nasib masyarakat. Lahirlah penangkapan Tukijo, konflik dengan
warga, hingga proyek-proyek Amdal yang ironisnya justru dikerjakan oleh kampus.
Dari sini, kampus kehilangan dimensi etik-emansipatorisnya, birokrasi kehilangan
jiwa pengayomannya, dan perencanaan yang ada justru hanya menjadi alat modal
untuk meneguhkan kekuasaannya. Dan artinya, menggunakan argumen Tania
Murray Li (2012), proses pembangunan di Indonesia hanya merupakan practice of
politics: agenda-agenda politik yang berkelindan dengan pembangunan masyarakat
di akar-rumput. Atau, mungkin dalam bahasa yang lebih lugas: kekuatan-kekuatan
oligarki global sedang membajak pembangunan kita melalui pendanaan mereka.
Semoga, dalam memandang persoalan ini, kesadaran mahasiswa mampu
dikonstruksi menjadi lebih baik: kesadaran rakyat, kesadaran kelas tertindas.
Kulon Progo, 27 Juli 2012.

Referensi

Alan Sheridan. Michael Foucault: The Will to Truth. London: Routledge, 1980

Benjamin Goldfrank. “Lessons from Latin America’s Experience with Participatory
Budgeting” dalam Anwar Shah (ed). Participatory Budgetting: Public Sector
Governance and Accountability Series. Washington, DC: The World Bank, 2007.
Hans Antlov, “Kata Pengantar” dalam Abdul Waidl, Arie Sudjito dan Sugeng
Bahagijo (eds). Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber bagi Anggaran ProRakyat. YogyakartaL LKiS, 2008.
Karl D. Jackson, “Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of
Power and Communication in Indonesia", dalam Karl D. Jackson and Lucian W.
Pye, eds., Political Power and Communication in Indonesia, 1987.
Kementerian Dalam Negeri. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun
2007.
Robert Chambers. “Participatory Rural Appraisal (PRA): Challenges, Potentials
and Paradigm”. World Development, 22(10):1437-1454, 1994.
Michael Foucault. The History of Sexuality Vol.1. London: Verso, 1987.
Tania Murray Li. "Neo-Liberal Strategies of Government through Community: The
Social Development Program of the World Bank in Indonesia". IILJ Working Paper
2006/2 (Global Administrative Law Series).
_____________. “Governmentality”. Anthropologica, Vol. 49, 2 (2007): 275-294.
_____________. The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan
Pembangunan di Indonesia (penerjemah Hery Santoso dan Pujo Semedi). Jakarta:
MarjinKiri, 2012.
Vedi R. Hadiz. "Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of NeoInstitutional Perspectives".Development and Change ,35(4):697-718, 2004.
__________. Localising Power in Indonesia: A Southeast Asian Perspective.
Stanford: Stanford University Press, 2010.
_________ dan Richard Robison. Reorganising Power in Indonesia: The Politics
of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge, 2004.
Wahjudin Sumpeno. Rancangan Pembangunan Jangka Menengah: Panduan
Perencanaan Berbasis Perdamaian. Banda Aceh: The World Bank, 2011.

Dokumen yang terkait

ALOKASI WAKTU KYAI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI YAYASAN KYAI SYARIFUDDIN LUMAJANG (Working Hours of Moeslem Foundation Head In Improving The Quality Of Human Resources In Kyai Syarifuddin Foundation Lumajang)

1 46 7

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN TENAGA KERJA PENGRAJIN ALUMUNIUM DI DESA SUCI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER The factors that influence the alumunium artisans labor income in the suci village of panti subdistrict district jember

0 24 6

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Tinjauan Atas Perencanaan Dan Pengendalian Anggaran Kas Pada Lembaga Kemahasiswaan Institut Teknologi Bandung

6 69 56

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

PENGARUH KOSENTRASI SARI KUNYIT PUTIH (Curcuma zediaria) TERHADAP KUALITAS TELUR ASIN DITINJAU DARI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, TOTAL FENOL, KADAR PROTEIN DAN KADAR GARAM The Addition of White Turmeric (Curcuma zedoaria) Concentrated Base on Quality Antioxidan

1 1 8