TRUSTPOLITIK POLICY KOREA SELATAN DALAM MEWUJUDKAN UNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA PADA MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN PARK GEUN- HYE TAHUN 2013 – 2016

  Tekstil Eropa Tahun 2015-2017

TRUSTPOLITIK POLICY KOREA SELATAN DALAM MEWUJUDKAN UNIFIKASI DI

  

SEMENANJUNG KOREA PADA MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN PARK GEUN-

HYE TAHUN 2013

  • – 2016

   1 Charneva Umi Rahmawati

  2 Septyanto Galan Prakoso, S.IP., M.Sc

Abstract

  

Trustpolitik Policy of South Korea in realizing the unification on the Korean Peninsula during

the reign of President Park Geun-hye years 2013-2016 that involving bilateral relations between

South Korea and North Korea became the major topic in this study. This research uses a

qualitative approach with literature study and interview as the technique of the data

collection. Data analysis draws on qualitative analysis consisted of multiple steps such as data

reduction, data displays, and conclusion drawing. The conceptual framework used in this

research is the concept of national interest, the theory of diplomacy, and the theory of conflict

resolution.

  This research resulted that South Korea has not been able to realize the peace and

unification with North Korea by implementing the trustpolitik policy during the rule of

President Park Geun-hye. The tension between North Korea and South Korea since the end of

the Korean War causes a weak of trustpolitik policy in the effort of unification with North

Korea. Using the pillars of Trust-Building Process on the Korean Peninsula that departs from an

initiative of President Park Geun- hye, namely Dresden Initiative is South Korea’s efforts in

realizing the harmonious unification with North Korea. Through soft diplomacy of President

  Park Geun- hye, South Korea government want to realize unification based on the “Unification Bonanza” for the creation of peace with North Korea and the Korean Peninsula.

  Keywords: Trustpolitik Policy, National Interest, Diplomacy Theory, Conflict Resolution

Theory, Trust-Building on the Korean Peninsula, Dresden Initiative, Unification, President Park

Geun-hye. 1 2 , Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional FISIP UNS, sebagai penulis pertama Dosen Program Studi Hubungan Internasional FISIP UNS, sebagai penulis kedua

A. Pendahuluan

  Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950-1953 telah memberikan dampak bagi kehidupan di Semenanjung Korea. Perang yang dimulai pada 25 Juni 1950 berawal dari tentara Korea Utara memasuki wilayah garis lintang 38 yang merupakan wilayah perbatasan antara negara yang menjadi sekutu dari Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok yaitu Korea Utara dan negara yang menjadi sekutu dari aliansi barat yaitu Korea Selatan yang menjadi salah satu aksi militer pertama di Perang Dingin. Invasi militer balasan kemudian dilakukan oleh pihak lawan yaitu tentara Korea Selatan yang mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat yang mengakibatkan pertempuran yang tidak terbantahkan dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Perang Korea berakhir pada tahun 1953 yang menyebabkan kurang lebih 5 juta tentara dan warga sipil menjadi korban dari perang tersebut.

1 Perang Korea pada dasarnya merupakan simbol dari perjuangan ideologi

  timur dan barat yang dari perang ini mengandung misi untuk mengusir adanya paham komunisme saat itu yang mulai disebarkan oleh Korea Utara ke Korea Selatan begitu pula sebaliknya yang mengakibatkan kedua negara mempersiapkan persiapan militer untuk menangkal adanya perang yang berkelanjutan, walaupun pada akhirnya perang ini menjadi jalan buntu bagi kedua negara untuk berdamai yang memberikan hasil akhir adanya gencatan senjata dari kedua negara.

  Isu ketegangan antara Korea Selatan dan Korea Utara saat ini masih menjadi topik yang hangat untuk diperdebatkan oleh negara-negara di dunia maupun oleh PBB. Dikarenakan, ancaman Korea Utara terhadap Korea Selatan yang tak kunjung berhenti, namun justru semakin menjadi dengan banyaknya uji coba nuklir yang terus dilakukan oleh Korea Utara yang menjadi kecaman oleh negara-negara di sekitarnya yang menjadi lintasan uji coba nuklir ataupun menjadi target sasaran dalam uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara. Dengan adanya hal tersebut, negara-negara sekitarnya seperti Korea Selatan dan Jepang berlomba-lomba untuk meningkatkan kewaspadaan serta keamanan dalam menanggapi serangan-serangan uji coba nuklir dari Korea Utara. Dengan adanya fenomena ini, salah satu Presiden Korea Selatan Park Geun-hye pada tahun 2013 mengeluarkan kebijakan luar negeri

  “Trustpolitik” dalam menanggapi fenomena

  2 tersebut.

  Salah satu kebijakan dari kabinet Park Geun-hye adalah kebijakan luar negerinya yaitu “Trustpolitik”. Trustpolitik Policy merupakan kebijakan luar negeri yang diusung oleh Park Geun-hye dalam rangka usaha ingin membangun kerjasama internasional dengan negara-negara yang ada di dunia dengan menggunakan konsep “trust” sebagai pedoman untuk menciptakan kerjasama yang harmonis. Selain itu, dengan menggunakan konsep tersebut Park Geun Hye juga ingin mewujudkan era kebahagiaan bagi warga di Korea serta dapat menciptakan perdamaian secara global. Sehingga dengan menggunakan makna

  

“trust” yaitu sebuah kepercayaan dalam setiap tahapan-tahapan di kebijakan ini

  3

  yang nantinya dapat membuat perdamaian secara nyata. Kemudian dengan menggunakan konsep tersebut, Korea Selatan ingin membangun hubungan yang erat dan harmonis yang berdasarkan oleh azas kepercayaan dengan Amerika

  Serikat, Jepang, Rusia, Tiongkok, dan negara-negara Asia lainnya dan negara- negara Oceania. Kebijakan luar negeri yang diusung oleh Park Geun-hye memang sedikit berbeda dengan kebijakan luar negeri dari Presiden Korea Selatan yang terdahulu, sebab dalam kebijakan trustpolitik ini Park Geun Hye lebih menekankan banyaknya dialog dan diplomasi untuk menanggapi ancaman-ancaman yang

  4 dikeluarkan oleh Korea Utara terhadap Korea Selatan.

  Dalam kebijakan trustpolitik era Park Geun-hye, terdapat 3 pilar yang menjadi fondasi utama dalam kebijakan luar negeri ini, yaitu:

  1. Trust-Building Process on the Korean Peninsula.

  2. Northeast Asia Peace and Cooperation Initiative.

  5 3.

   Eurasia Initiative.

  Namun, dalam hal ini penulis akan membahas mengenai pilar pertama dari ketiga pilar kebijakan trustpolitik tersebut. Dalam pilar pertama, Trust-Building

  

Process on the Korean Peninsula yaitu salah satu program kebijakan luar negeri

  yang diusung oleh Park Geun-hye dalam rangka membangun kepercayaan di dalam masyarakat Korea Selatan dan Korea Utara yang telah mengalami perseteruan yang sangat panjang yang tak kunjung usai di kedua negara untuk nantinya dapat memperbaiki hubungan kedua negara yang berlandaskan atas dasar keamanan dan perdamaian yang kuat di Semenanjung Korea dan wilayah terdekat lainnya.

  Dengan adanya kebijakan trustpolitik yang diusung oleh Park Geun-hye melalui pilar pertamanya, diharapkan dapat membangun kembali hubungan yang harmonis dan perdamaian diantara Korea Selatan dan Korea Utara, sehingga Korea Selatan dapat membantu membuka investasi di Korea Utara dan

  6 meningkatkan kesejahteraan di kedua negara.

  Isu ketegangan yang terjadi diantara Korea Selatan dan Korea Utara yang tak kunjung mereda pada era Park Geun-hye hingga saat ini menjadi salah satu ketertarikan Penulis untuk memaparkan kebijakan trustpolitik di dalam menanggapi hal tersebut.

B. Kebijakan Luar Negeri Trustpolitik Terhadap Unifikasi di Semenanjung Korea

  Pemerintah Korea Selatan sebelumnya telah banyak mengadopsi banyak kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk pendekatan dengan Korea Utara dalam menangani krisis kemanusiaan, ekonomi, dan keamanan disana, namun selalu berujung tidak efektif. Kebijakan Luar Negeri Korea Selatan sebelumnya adalah “Sunshine Policy” pada masa pemerintahan Presiden Kim Dae-jung dan Roh Moo-hyun yang membawa dampak besar kepada Korea Utara, dikarenakan kedua Presiden ini adalah seseorang yang melihat Korea Utara sebagai negara yang baik dan layak untuk dibantu. Dengan kepercayaan tersebut, dalam Sunshine Policy inilah hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara terjalin baik dengan banyaknya bantuan kemanusiaan berskala besar, bantuan ekonomi, dan banyak

  7 dialog tanpa syarat yang dilakukan oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara.

  Terpilihnya Park Geun-hye menjadi Presiden Korea Selatan wanita pertama pada tahun 2013 merupakan sebuah gebrakan baru dimana banyak orang yang memperkirakan akan terjadinya era baru yang akan terjadi di Korea Selatan. Salah satu kebijakan dari Presiden Park Geun-hye adalah kebijakan luar negerinya yang disebut dengan

  “trustpolitik” dimana apabila ditelaah, kebijakan tersebut berasal dari kata “trust” yang berarti kepercayaan. Sebelum terpilih menjadi Presiden Korea Selatan, dalam pidatonya saat berada di Seoul Foreign Correspondent Club pada tahun 2012, Park Geun-hye dalam pidatonya menyatakan bahwa:

  

“Building sustainable peace on the Korean peninsula is

inseparable from fostering prosperity and security in Asia. Yet regrettably, an emerging and a cooperative Asia is clashing with an

  8 Asia replete with conflicting tensions

.”

  Pidato tersebut menjadi pondasi utama dalam pembuatan kebijakan luar negeri Korea Selatan di masa pemerintahan Park Geun-hye. Dalam konsep

  

Trustpolitik ini menitikberatkan pada konsep kepercayaan yang melibatkan

  elemen pemerintahan dan masyarakat. Kebijakan ini juga menitikberatkan kepada keinginan untuk terciptanya era baru dimana masyarakat Korea Selatan dapat hidup dengan bahagia dan sejahtera melalui beberapa aspek, yaitu melalui ekonomi kreatif yang dapat menekan angka pengangguran, kemudian terciptanya pekerjaan yang sesuai dan sejahtera, adanya sistem pendidikan dan budaya yang cerdik, lalu terciptanya keamanan dan integrasi sosial dan adanya terbentuknya

  9 era unifikasi (penyatuan) yang berasaskan atas kebahagiaan.

  Pada dasarnya, Presiden Park mendefinisikan konsep trust berasal dari rasa ketidakpercayaan yang terbenam diantara Korea Utara dan Korea Selatan dalam upaya rekonsiliasi untuk menuju perdamaian kedua negara. Seperti sebuah pepatah Korea yang berarti “one-handed applause is impossible” menjadikan dasar Korea Selatan dalam upaya perdamaian dengan Korea Utara dengan

  10

  menggunakan seribu upaya. Namun, rendahnya tingkat kepercayaan Korea Utara terhadap Korea Selatan membuat Korea Selatan memiliki sebuah kesempatan untuk membangun kembali tingkat kepercayaan dengan mengubah

  Semenanjung Korea menjadi dari zona konflik menjadi zona kepercayaan dengan mengadopsi kebijakan “trustpolitik” yang nantinya akan menjadi harapan

  11 perdamaian di Semenanjung Korea berdasarkan norma global.

  Pada awal masa pemerintahan Presiden Park Geun-hye yaitu pada tahun 2013 pengimplementasian trustpolitik dimulai dengan banyaknya dialog yang dilakukan antar-Korea yaitu sebanyak 24 kali dalam satu tahun. Dalam setiap pertemuan antar-Korea yang diadakan di Panmunjeom dihadiri oleh delegasi dari masing-masing negara. Dalam pertemuan ini membahas mengenai dialog kerjasama ekonomi melalui Kompleks Industri Kaesong, dialog kerjasama politik antar-Korea, dan dialog kerjasama kemanusiaan antar-Korea. Pada tanggal 27 Maret 2013, Korea Utara secara sepihak memutus komunikasi militer di Zona Laut Barat dan menyalahkan pelatihan militer bersama dan latihan ‘Foal Eagle’ antara Korea Selatan

  • – Amerika Serikat yang disusul dengan di bulan berikutnya, Korea Utara mengumumkan penarikan semua pekerja di Kompleks Industri Kaesong dan penghentian sementara sistem operasi Kompleks Industri Kaesong yang menyebabkan ditutupnya kompleks ini untuk pertama kalinya sejak 10 tahun

  12

  didirikan. Pihak Korea Selatan mengusulkan untuk mengadakan pertemuan tingkat kerja antar-Korea yang diwakilkan oleh pihak-pihak yang berwenang untuk membahas mengenai normalisasi Kompleks Industri Kaesong dan membahas mengenai bahan-bahan mentah dan produk dari Kompleks Industri Kaesong, namun Korea Utara menolak ajakan tersebut. Hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara mengalami pasang surut ketika menangani di bidang Kompleks Industri Kaesong. Korea Selatan berusaha dengan bersusah payah agar dapat mengaktifkan kembali kompleks industri tersebut dengan cara mengadakan berbagai dialog, namun Korea Utara terkadang masih menyangkal dan menuduh bahwa Korea Selatan tidak mempunyai ketulusan dalam menangani kasus di Kaesong. Pada akhirnya pada pertemuan ke-7 Korea Utara dan Korea Selatan setuju untuk melakukan normalisasi Kompleks Industri Kaesong dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti keamanan dan keselamatan kerja, rencana untuk internasionalisasi Kompleks Industri Kaesong, dan tentang

  13 peraturan pajak.

  Sedangkan untuk kerjasama kemanusiaan, Presiden Park Geun-hye pada pidato kemerdekaan tanggal 15 Agustus 2013 menyatakan bahwa akan menggelar reuni untuk keluarga yang terpisah akibat perang Korea di sekitar hari libur Chuseok. Sebagai tindak lanjut dari pidatonya, pemerintah Korea Selatan mengajukan proposal kepada Korea Utara dan diterima. Sehingga pada 23 Agustus 2013 diadakan pertemuan tingkat Palang Merah Korea membahas mengenai reuni keluarga di hari libur Chuseok. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan pertama kalinya untuk kedua negara setelah pertemuan terakhir pada

  14

  tahun 2010. Setelah diadakan pertemuan mengenai pembahasan reuni keluarga, kedua Korea setuju untuk menggelar reuni keluarga untuk tiap 100 keluarga di Gunung Geumgang pada 25-30 September, dan menaikkan jumlah permintaan untuk konfirmasi jumlah warga yang masih hidup dan yang sudah meninggal dari 200 menjadi 250 individu serta menggelar reuni keluarga kembali setelah hari libur

15 Chuseok di bulan November.

  Dalam kurun waktu tahun 2014 hingga 2015, Korea Utara menunjukkan ketidakkonsistennya dalam rangka untuk mewujudkan perdamaian dan unifikasi di Semenanjung Korea dengan cara membolak-balikkan antara provokasi dan dialog, sehingga perundingan selalu menghasilakan perjanjian yang tidak signifikan. Seolah-olah Korea Utara dengan sengaja menjadi negara yang play

  

victim akibat provokasi yang mereka tuai sendiri dan selalu mengajukan

  pertemuan darurat untuk menyelesaikan situasi yang sedang terjadi. Namun apabila doalog telah dimulai, Korea Utara akan membuat Korea Selatan tersulut emosi dan akan mengkritik Korea Utara. Sehingga ketegangan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak berkurang yang berujung dengan penghentian dialog. Selalu bersikap provokatif, Korea Utara selalu mengungkit- ungkit mengenai hak asasi manusia ketika akan diutarakan program mengenai denuklirisasi yang diajukan oleh Korea Selatan. Menanggapi tuntutan Korea Utara yang tidak masuk akal, Korea Selatan tetap bersikeras akan melanjutkan latihan militer gabungan dengan Amerika Serikat dikarenakan acara tersebut merupakan

  16 program tahunan kedua negara.

  Pada tahun 2016, Korea Utara masih belum berhenti dalam melakukan provokasi terhadap Korea Selatan dimana pada 5 Februari 2016, Korea Utara meluncurkan misil jarak jauh yang ditembakkan dari Tongchang-ri dan menyatakan bahwa misil mereka telah memasuki orbit target. Dengan waktu yang bersamaan, pemerintah Korea Selatan menmyatakan bahwa peluncuran misil jarak jauh milik Korea Utara telah membuat geram pihak Korea Selatan, sehingga Korea Selatan akan mengadopsi sanksi bagi Korea Utara sesuai dengan sanksi yang diterbitkan oleh Dewan Keamanan PBB serta tekanan kepada Korea Utara yang tidak apat dirubah lagi. Sementara menahan provokasi yang selalu dilancarkan oleh Korea Utara mengenai peluncuran misil, Korea Selatan menekankan bahwa unifikasi secara damai adalah tugas atau tujuan yang harus tercapai. Dengan menanggapi provokasi tersebut, Presiden Korea Selatan bertekad untuk menyerukan program denuklirisasi Korea Utara agar tidak

  17 mengancam keadaan di Semenanjung Korea.

  Dalam wawancara bersama Prof. Yang Seung-yoon, beliau menyatakan bahwa pada dasarnnya kebijakan trustpolitik di Semenanjung Korea merupakan kebijakan perdamaian antara kedua Korea yang dapat ditempuh melalui dialog dan kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua Korea. Namun dalam berjalannya waktu, pemerintahan Presiden Park Geun-hye tidak menepati janji dengan Korea Utara, yaitu dengan secara tiba-tiba meniadakan perjanjian untuk mengkontrol Kompleks Industri Kaesong yang ditandatangani pada 10 Februari 2016. Dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa kerjasama Kompleks Industri Kaesong akan berubah ketika pergantian telah terganti. Kemudian, pihak Korea Utara meminta Korea Selatan untuk memenuhi perjanjian yang telah ditandatangani antara Presiden Kim Dae-jung dan Kim Jong-il tertanggal 15 Juni 2000 dan perjanjian antara Presiden Roh Moo-hyun dan Kim Jong-il tertanggal 4 Oktober 2007 yang menyatakan bahwa kerjasama Kompleks Industri Kaesong

  18 tidak akan berhenti walaupun pemerintahannya telah berganti.

  Kemudian Korea Utara menganggap bahwa reunifikasi yang akan dilakukan oleh Korea Selatan merupakan reunifikasi secara sepihak yaitu dengan menggunakan satu ideologi di Semenanjung Korea. Namun, Korea Utara menyarankan agar kedua Korea memiliki ideologi masing-masing seperti sebelumnya dan kedua Korea memiliki hak untuk memimpin militer dan diplomasi ke negara lain dengan cara masing-masing. Tetapi, pemerintahan Presiden Park Geun-hye tidak menanggapi saran yang diberikan oleh Korea Utara, dengan kata lain pemerintahan Presiden Park Geun-hye berpegang teguh dalam trust-building

  

in Korean Peninsula dikarenakan apabila tetap memiliki ideologi masing-masing,

  19 kedua Korea akan menjadi negara federasi yang lemah.

  Upaya trustpolitik pada masa pemerintahan Presiden Park Geun-hye berjalan mulus dalam bidang bantuan kemanusiaan saja. Namun, untuk masalah politik dan militer kebijakan ini banyak menemui jalan buntu dikarenakan tidak ada landasan kepercayaan antara kedua Korea untuk melakukan kerjasama di bidang ini. Seperti yang telah dijelaskan bahwa kedua Korea saling memperkuat pertahanan dan keamanannya sendiri, seperti di Korea Selatan tetap melakukan latihan militer gabungan bersama Amerika Serikat yang bertujuan untuk memperkuat pertahanan dan keamanan serta Korea Selatan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan sudah perjanjian bersama Amerika Serikat. Kemudian di pihak Korea Utara juga dalam rangka memperkuat pertahanan dan keamanan wilayah mereka, Korea Utara tak gencar dalam menggali dan menciptakan senjata nuklir yang dianggapnya sebagai alat pertahanan negara serta banyaknya provokasi yang telah dilancarkan oleh Korea Utara untuk Korea Selatan. Hal tersebut membawa persepsi Korea Selatan bahwa Korea Utara tidak memiliki ketulusan dalam hal timbal balik dari upaya Korea Selatan untuk berdamai dengan Korea Utara.

  Kebijakan trustpolitik ini merupakan sebuah ambisi dari Presiden Park Geun-hye untuk mereunifikasi Semenanjung Korea dengan cara soft diplomacy melalui dialog yang dilakukan di Panmunjeom antara kedua Korea dalam kurun waktu 2013

  • – 2016 untuk memupuk rasa percaya yang diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mereunifikasi Semenanjung Korea dan mengurangi
ketegangan yang terjadi diantara kedua Korea sejak berakhirnya perang Korea. Sehingga dengan menggunakan kebijakan trustpolitik inilah penulis akan menganalisis pelaksanaan kebijakan tersebut sebagai salah satu upaya diplomasi Korea Selatan terhadap Korea Utara dalam mewujudkan upaya unifikasi di Semenanjung Korea.

  C.

  

Trust-Building Process on the Korean Peninsula dalam Implementasi Kebijakan

“Trustpolitik” dalam Mewujudkan Unifikasi di Semenanjung Korea

  Salah satu pilar dari kebijakan trustpolitik yang digadang-gadang oleh Presiden Park Geun-hye adalah Trust-Building Process on the Korean Peninsula. Pilar ini merupakan pilar yang menjadi elemen utama dalam pengimplementasian konsep trust di dalam kebijakan trustpolitik terhadap upaya unifikasi di Semenanjung Korea. Pilar ini merupakan pilar yang terpenting dari Korea Selatan dalam melakukan upaya pendekatan kepada Korea Utara untuk melakukan unifikasi dengan Korea Utara yang telah lama terpisah akibat adanya Perang Korea. Dalam pilar ini konsep trust sangat dijunjung tinggi oleh Korea Selatan dan diharapkan Korea Utara dapat mengimbanginya. Trust-Building Process on the

  Korean Peninsula mengharapkan agar kedua Korea dapat membangun hubungan

  yang harmonis dan damai melalui dialog secara bertahap dan berkelanjutan, saling berjanji untuk berkomitmen antara kedua Korea, dan adanya pertukaran dan

  20

  kerjasama diantara kedua Korea. Pilar ini juga menegaskan bahwa apabila Korea Utara melanggar perjanjian yang menyebabkan rusaknya perdamaian antara kedua Korea, maka Korea Selatan akan menjelaskan harga yang harus dibayar untuk menanggung tindakan yang dilakukan oleh Korea Utara, sehingga dengan cara ini dapat mendorong Korea Utara untuk lebih lunak dalam menjalin kerjasama dengan Korea Selatan. Melalui trust-building process on the Korean

  

Peninsula, pihak Korea Selatan mengharapkan Pyongyang dapat mengerti bahwa

  melalui kepercayaan yang sedang dibangun antara Korea Selatan dan Korea Utara melalui dialog dan kerjasama yang tulus akan membawa keuntungan bersama.

  Adapun elemen-elemen yang harus dipenuhi oleh kedua Korea dalam trust-

  building process on the Korean Peninsula, yaitu: 1.

  Kepercayaan antara Korea Selatan dan Korea Utara; 2.

  Kepercayaan diri di dalam pemerintahan Republik Korea (Korea Selatan); dan

  21 3.

  Kepercayaan dari Masyarakat Internasional. Sehingga, apabila kedua Korea nantinya dapat untuk memenuhi ketiga syarat tersebut, proses unifikasi antara kedua Korea tidak akan menemui kendala dan masing-masing negara dapat memenuhi kepentingannya dari proses unifikasi yang telah terjadi serta dengan mengimplementasikan kebijakan trustpolitik melalui pilar ini diharapkan dapat mengurangi ketegangan dan provokasi antara kedua Korea yang telah berlangsung semenjak berakhirnya Perang Korea yang lalu.

  Pemerintahan Korea Selatan juga meyakini bahwa dengan menggunakan konteks keamanan nasionalnya dalam melakukan implementasi kebijakan

  

trustpolitik melalui trust-building process on the Korean Peninsula selain berguna

  untuk mencegah adanya provokasi yang diluncurkan dari Korea Utara, menggunakan kebijakan ini juga dapat memperkuat untuk kedua Korea untuk menggunakan status quo di Semenanjung Korea dengan menempuh jalur perdamaian menggunakan konsep trust ini. Sehingga, selain memastikan keamanan nasional di Semenanjung Korea menjadi kuat saat bersatu, dengan cara ini dapat membuka era perekonomian yang baru dan segar bagi kedua Korea

  22 secara de facto selain melalui Kompleks Industri Kaesong.

  Korea Selatan memiliki pendirian yang teguh terhadap Korea Utara yaitu dengan sikap yang konsisten dan tegas dalam menghadapi uji coba nuklir Korea Utara dikarenakan pengembangan senjata tersebut sangat membahayakan bagi keamanan Semenanjung Korea, Kawasan Asia Timur Laut hingga mengancam perdamaian dunia dan keamanan global. Menanggapi hal tersebut, pemerintah Korea Selatan akan mengadopsi pendekatan atau inisiatif yang sifatnya fleksibel yang bisa menjadi sebuah alternative bagi Korea Selatan dalam upaya dialog dan penggunaan tekanan terhadap Korea Utara dengan bekerjasama dengan masyarakat Internasional untuk menjelaskan kepada Korea Utara bahwa senjata nuklir bukan merupakan suatu alat bagi Korea Utara untuk mengamankan

  23

  legitimasi rezimnya. Unifikasi merupakan suatu hal yang diharapkan oleh kedua Korea yang telah lama dikhawatirkan dan telah menjadi masalah yang tidak terpecah selama kurang lebih 70 tahun. Adanya keinginan untuk unifikasi di Semenanjung Korea, membuat pemerintah Korea Selatan ingin mengurangi ketegangan abadi dan bekerja untuk memulai perdamaian yang abadi, dan membentuk komunitas ekonomi di tingkat pertama yang nanti otomatis akan

  

24

dilanjutkan oleh upaya penyatuan politik.

  Trust-Building Process on the Korean Peninsula memperlihatkan bukan

  hanya stance Korea Selatan dalam menghadapi Korea Utara, melainkan juga merupakan kepentingan Korea Selatan untuk upaya bersatu dengan Korea Utara dengan mengimplementasikan salah satu pilar yang ada di dalam kebijakan

  

trustpolitik tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwasanya konsep dari

  kepentingan nasional atau national interest di dalam konteks Hubungan Internasional merupakan elemen fundamental yang harus disematkan dalam menentukan pola politik internasional yang akan dilakukan oleh suatu negara.

  Dalam buku Politik Antarbangsa karangan Hans J. Morgenthau, para realis berpendapat bahwa kepentingan nasional merupakan norma yang dilakukan secara terus-menerus untuk untuk menciptakan pola politik Internasional suatu negara dan suatu negara tidak mungkin melakukan politik luar negeri tanpa ada

  25

  kepentingan yang menjadi tujuan kepada negara yang dituju. Guna mencapai kepentingan Korea Selatan untuk berdamai dan unifikasi dengan Korea Utara,

  26 maka dikeluarkanlah kebijakan trustpolitik tersebut.

  Pada dasarnya, trust-building on the Korean Peninsula yang bertujuan untuk adanya unifikasi di Semenanjung Korea terinspirasi dari unfikasi antara Jerman Timur dan Jerman Barat. Bersatunya kembali Jerman Timur dan Jerman Barat merupakan sebuah hasil yang diinginkan oleh Presiden Park Geun-hye di Semenanjung Korea. Hal itu membuat Presiden Park Geun-hye mengeluarkan sebuah inisiatif untuk memperkuat proyeksi kebijakan trustpolitik melalui trust-

  

building on the Korean Peninsula dalam rangka terciptanya unifikasi di

  Semenanjung Korea secara damai dan kuat yaitu dengan adanya “Dresden

  

Initiative” pada 28 Maret 2014 di Dresden, sebuah kota di Jerman yang menjadi

  27 simbol unifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur.

  Dresden Initiative merupakan proyeksi halus dari pilar trust-building process

on the Korean Peninsula yang sama tujuannya dengan pilar tersebut yaitu selalu

  berkaitan dengan keamanan nasional di Semenanjung Korea dengan merancang skema penanaman kepercayaan antara Korea Utara dan Korea Selatan. Dengan menggunakan inisiatif ini Presiden Park Geun-hye mengharapkan adanya upaya efektif melaksanakan pembentukan kepercayaan antara kedua Korea pada kebijakan trustpolitik melalui trust-building process on the Korean Peninsula dan menjabarkan hal tersebut menjadi salah satu fondasi/dasar untuk unifikasi di Semenanjung Korea yang pada intinya inisiatif ini merupakan penguatan dari pilar

  28

  pertama di kebijakan trustpolitik dengan nuansa , Presiden

  “Unification Bonanza”

  Park Geun-hye dengan adanya pemeliharaan perdamaian secara rutin dan berkelanjutan dan potensi terbukanya jalur ekonomi yang baru dan segar di Semenanjung Korea dan Kawasan Asia Timur Laut. Melalui Dresden Initiative pemerintahan Korea Selatan juga menginginkan terbuka pintu yang lebar untuk Korea Utara dan Korea Selatan bertemu dalam satu meja, membahas mengenai adanya pertukaran dan penjagaan sumber sejarah, budaya dan kesenian, olahraga, dll melalui adanya perjanjian dalam setiap pertemuan antara Korea. Hal tersebut diinginkan oleh Korea Selatan mengingat Korea merupakan satu bangsa di masa Joseon. Prospek terbentuknya integrasi di Semenanjung Korea diinginkan Korea Selatan untuk lebih melebarkan sayap di bidang perekonomiannya dengan membentuk sistem yang berkepanjangan yang dapat membantu warga Korea

  29 Utara untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

  Seperti yang telah dibahas di bab sebelumnya, dalam kebijakan trustpolitik pemerintahan Park Geun-hye dengan menggunakan dasar kepercayaan yang dibangun di Semenanjung Korea, Korea Selatan menawarkan beberapa agenda dialog di dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, serta kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan merupakan arena dialog antara kedua Korea terjalin dengan baik, yaitu melalui adanya reuni keluarga yang dilaksanakan pada saat hari besar Chuseok dan Seollal. Diaktifkannya kembali Kompleks Industri Kaesong setelah 10 tahun sejak masa diberdirikan, merupakan sebuah agenda di bidang ekonomi di masa pemerintahan Park Geun-hye. Walaupun berjalan dengan lancar di dalam dua bidang tersebut, untuk bidang sosial dan politik belum terjadi dengan signifikan langkah unifikasi terhadap kedua Korea.

  D.

  

Tantangan Kebijakan “Trustpolitik” dalam Mewujudkan Unifikasi di

Semenanjung Korea

  Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Korea Selatan dalam pengimplementasian kebijakan trustpolitik terhadap Korea Utara menguji kekuatan diplomasi dari kebijakan tersebut. Soft Diplomacy telah menjadi pola dalam kebijakan trustpolitik dikarenakan Korea Selatan menggunakan konsep

  trust sebagai landasan utama dalam kebijakan ini. Seperti yang dikatakan oleh

  Kautilya di dalam buku karangan S.L Roy yang berjudul

  “Diplomasi” yaitu tujuan

  utama diplomasi suatu negara yang paling efektif adalah untuk pengamanan kepentingan negara sendiri dan menjamin keuntungan maksimum negara sendiri.

  Selain berfokus kepada keamanan nasional, terdapat beberapa tujuan vital dari

  30

  diplomasi yaitu dari sisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Kebijakan

  trustpolitik Korea Selatan yang diimplementasikan terhadap Korea Utara telah

  mencakup berbagai aspek yang meliputi aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya dengan tidak melepaskan tujuan utama Korea Selatan yaitu terciptanya unifikasi antara Korea Utara dan Korea Selatan melalui jalur yang damai dan harmonis.

  Setahun kepemempimpinan Presiden Park Geun-hye upaya unifikasi antara Korea Utara dan Korea Selatan belum terlihat ataupun ada perubahan yang signifikan. Seperti yang telah disebutkan bahwa hanya agenda reuni keluarga dan kembali dibukanya Kompleks Industri Kaesong merupakan sedikit perubahan yang muncul dari setahun kepempinan Presiden Park Geun-hye dalam rangka kerjasama antar-Korea. Faktanya, kebijakan trustpolitik yang merupakan ambisi terbesar Presiden Park Geun-hye banyak agenda yang belum terlaksana, seperti membangun taman perdamaian di wilayah perbatasan/Demiliterized Zone (DMZ), mendirikan kantor kerjasama antar-Korea, dan menyelenggarakan pertemuan

  31

  tingkat tinggi. Adapun beberapa tantangan yang dihadapi dalam pemerintahan Park Geun-hye dalam pengimplementasian kebijakan trustpolitik dalam mencapai unifikasi di Semenanjung Korea, salah satunya adalah rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kebijakan trustpolitik di kalangan masyarakat Korea Selatan sendiri dan usaha trust-building process dalam upaya unifikasi dengan Korea Utara.

  Rendahnya pengetahuan masyarakat Korea Selatan terhadap kebijakan luar negeri pada masa pemerintahan Presiden Park Geun-hye merupakan salah satu dari beberapa tantangan implementasi kebijakan trustpolitik dalam mewujudkan upaya unifikasi dengan Korea Utara di Semenanjung Korea. Pada dasarnya upaya diplomasi yang dilakukan tidak menghasilkan hasil yang nyata, terutama di bidang ekonomi dikala itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat Korea Selatan terhadap setiap kebijakan luar negeri tiap Presiden hanyalah strategi diplomasi yang akan ditonjolkan, sedangkan proyeksi terpenting dari kebijakan luar negeri justru tidak mendapatkan perhatian dari publik. Sama halnya dengan masa pemerintahan Presiden Park Geun-hye, masyarakat Korea Selatan belum dapat membedakan kebijakan luar negeri trustpolitik dengan kebijakan luar negeri pada masa Presiden Lee Myung-bak dikarenakan banyak yang mendukung kebijakan tersebut tanpa mengetahui isi/proyeksi dari kebijakan tersebut dan cara sales diplomacy yang menjadi mindset masyarakat Korea terhadap kebijakan luar negeri dari setiap Presiden Korea Selatan.

  Tantangan lain yang dihadapi oleh Korea Selatan dalam menerapkan kebijakan luar negeri trustpolitik adalah masih rendahnya tingkat rasa kepercayaan antara Korea Utara dan Korea Selatan. Adanya pengalaman kelam yang dialami oleh Korea Utara dan Korea Selatan pasca perang Korea 70 tahun yang menyebabkan kedua Korea sulit untuk menumbuhkan rasa saling percaya diantara kedua belah pihak. Sepak terjang kebijakan luar negeri dari setiap masa pemerintahan Presiden Korea Selatan juga menjadi salah satu pertimbangan yang selalu dipikirkan dalam menerapkan kebijakan luar negeri Korea Selatan yang baru. Seperti yang telah diketahui bahwa kebijakan luar negeri trustpolitik Presiden Park Geun-hye merupakan proyeksi atau lanjutan dari pengalaman kebijakan-kebijakan Presiden Korea Selatan yang terdahulu dengan memodifikasi dengan mengedepankan konsep trust diantara kedua Korea untuk menciptakan unifikasi di Semenanjung Korea. Hal ini dibuat oleh Presiden Park Geun-hye setelah pengalaman dari Presiden Korea Selatan sebelumnya, yaitu Presiden Lee Myung- bak yang menerapkan sebuah kebijakan luar negeri terhadap Korea Utara dengan menerapkan sanksi-sanksi untuk Korea Utara dan tidak menonelir semua tindakan provokatif dari Korea Utara. Hal ini disebabkan oleh tindakan Korea Utara yang menyerang secara bombardir Pulau Yeonpyeong serta peluncuran uji coba misil yang dilakukan Korea Utara sehingga membuat sanksi tersebut muncul. Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Park Geun-hye, Korea Selatan berusaha untuk lebih fleksibel menghadapi segala tindakan yang dilakukan oleh Korea Utara dengan menerbitkan kebijakan

  

trustpolitik yang diharapkan dapat menjadi jembatan untuk perdamaian antara

Korea Utara dan Korea Selatan.

  Kurangnya rasa kepercayaan diantara kedua Korea merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kebijakan trustpolitik pada masa pemerintahan Park Geun-hye ketika inginnya Korea Selatan untuk reunifikasi dengan Korea Utara. Berbagai tindakan provokatif telah dilakukan oleh Korea Utara terhadap Korea Selatan sebagai salah satu bukti bahwa Korea Utara memiliki pandangan yang berbeda dengan Korea Selatan serta membuktikan kepada komunitas Internasional bahwa Korea Utara juga merupakan negara yang mempunyai

  

bargaining position yang pantas dengan negara-negara lain. Uji coba nuklir yang

  dilakukan oleh Korea Utara merupakan salah satu tindakan Korea Utara untuk menunjukkan pertahanan nasional mereka ke ranah internasional dengan mengembangkan dan meluncur senjata nuklir. Ketidakpercayaan dari sisi Korea Utara memang tidak terbantahkan untuk menjadi tantangan bagi implementasi

  

trustpolitik Korea Selatan dalam rangka mewujudkan upaya unifikasi di

  Semenanjung Korea. Hal yang mendasari ketidakpercayaan dari sisi Korea Utara adalah keraguan pihak Korea Selatan terhadap Korea Utara untuk mampu terlibat dalam setiap dialog dan menerapkan langkah-langkah menuju keterbukaannya dan pertukaran di berbagai bidang dengan Korea Selatan atau kekhawatiran dari

  32

  rezim Korea Utara itu sendiri. Keputusan untuk dapat meneruskan kebijakan yang diajukan oleh Korea Selatan adalah berada di Korea Utara dimana pihak Pyongyang telah berusaha untuk menahan diri untuk tidak melakukan tindakan provokatif dengan diberikannya tanggung jawab sementara pada Korea Utara dalam membangun kepercayaan dari Korea Selatan.

  Pasang surut hubungan antar-Korea merupakan hal fundamental dalam tantangan pengimplementasian kebijakan trustpolitik Korea Selatan dalam rangka upaya unifikasi di Semenanjung Korea. Ketidaksinambungan visi antara Korea Utara dan Korea Selatan masih terpampang jelas pada masa kepempimpinan Presiden Park Geun-hye, dimana Korea Selatan menginginkan untuk berdamai dengan cara dialog ataupun kerjasama yang harmonis dengan tujuan agar Korea Utara dapat menyetujui untuk denuklirisasi. Sedangkan, Korea Utara masih mengurungkan niat untuk melakukan denuklirisasi dikarenakan keinginan Korea Utara untuk menjadikan senjata nuklir sebagai salah satu dari pertahanan

  33 nasionalnya.

  Sehingga pengimplementasian trustpolitik Korea Selatan terhadap Korea Utara tidak dapat dikonseptualisasikan tanpa mempertimbangkan konteks Internasional yang lebih luas. Masalah nuklir Korea Utara telah menjadi batu sandungan terbesar dalam pengimplementasian kebijakan trustpolitik Korea Selatan terhadap Korea Utara, hal tersebut terjadi dikarenakan nuklir yang berada di Korea Utara bukan hanya hubungan bilateral antara kedua Korea, namun juga melibatkan kekuatan dari negara lain. Hal tersebut menandakan bahwa untuk memulihkan hubungan antara suatu negara dengan negara lain tidak dapat dipisahkan dari kemajuan serentak pada tingkat multilateral dengan kata lain upaya pendekatan terhadap Korea Utara harus lebih interaktif. Pada saat yang sama pula, pendekatan yang interkatif pula harus diimbangi dengan fleksibilitas dan kemauan politik untuk berkontribusi dengan kritik ataupun masukan yang membangun serta berani untuk mengambil resiko ataupun konsekuensi dari hasil

  34 pendekatan yang telah dilakukan sebagai sebuah kompromi.

  E.

  

Dampak Kebijakan “Trustpolitik” dalam Hubungan Antara Korea Selatan dan

Korea Utara di Semenanjung Korea

  Selama kurang lebih 3 tahun kebijakan trustpolitik telah diimplementasikan untuk upaya dialog Korea Selatan terhadap Korea Utara. Telah banyak dialog dan pertemuan yang dilakukan antara kedua Korea untuk membangun kepercayaan dan memupuk kerjasama yang harmonis guna mencapai sebuah perdamaian yang harmonis di Semenanjung Korea. Denuklirisasi adalah salah satu tujuan utama dari Korea Selatan dalam pengimplementasian kebijakan ini. Hal ini dikarenakan tes uji coba nuklir yang tidak berhenti sejak awal kemunculannya di tahun 2006

  35

  telah membawa kondisi di sekitar Semenanjung Korea semakin tegang. Namun, hingga akhir masa pemerintahan Presiden Park Geun-hye, Korea Utara masih bersikukuh untuk tidak ingin mengabulkan keinginan Korea Selatan untuk denuklirisasi, dikarenakan pihak Korea Utara beranggapan bahwa kebijakan Korea Selatan terkesan memaksa Korea Utara untuk melakukan hal tersebut. Sehingga

  Korea Utara mengurungkan niatnya untuk melakukan denuklirisasi pada masa

  36 pemerintahan Presiden Park Geun-hye.

  Awal pemerintahan Presiden Park Geun-hye, kebijakan ini memperlihatkan dampak yang positif dengan terlaksananya pertemuan sebanyak 24 kali dalam kurun waktu satu tahun dimana pertemuan tersebut terbagi di 3 bidang, yaitu 1 kali pertemuan di bidang politik, 22 kali di bidang ekonomi, dan 1 kali di bidang bantuan kemanusiaan. Di tahun 2013, adanya pertemuan antar-Korea telah berhasil mengadopsi 8 perjanjian antar-Korea yang didalamnya juga termasuk

  37

  adanya perjanjian normalisasi Kompleks Industri Kaesong. Dampak kebijakan

  

trustpolitik Presiden Park Geun-hye tidak begitu terasa di awal-awal

  kepempimpinannya dimana ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan memang sudah ada sejak dahulu sebelum kebijakan ini muncul dengan konsep

  

trustnya. Pada tahun 2016, dampak trustpolitik Presiden Park Geun-hye mulai

  terasa, namun dampak yang timbul dapat dikatakan sebagai dampak yang tidak menguntungkan bagi keadaan Semenanjung Korea, yaitu pihak Korea Selatan memutuskan untuk menutup Kompleks Industri Kaesong setelah perundingan panjang yang tidak menemukan titik temu. Hal itu terjadi karena uji coba bom hidrogen yang dilakukan oleh Korea Utara pada 6 Januari 2016 dan rencana peluncuran misil jarak jauh. Penutupan Kompleks Industri Kaesong ini menimbulkan masalah lain yang menimpa Korea Selatan yaitu dengan diusirnya seluruh warga Korea Selatan yang berada di Kaesong dan menganggap bahwa penutupan Kompleks Industri Kaesong adalah sebuah tindakan perang dari Korea Selatan untuk Korea Utara. Reaksi Korea Utara dengan adanya penutupan Kompleks Industri Kaesong adalah memutus semua jalur menuju KIC yang notabene ada di wilayah Korea Utara dan menyatakan bahwa Kaesong berada di

  38

  bawah kendali militer Korea Utara. Ditutupnya Kompleks Industri Kaesong juga berdampak dengan ditutupnya taman wisata Gunung Geumgang yang menjadi tempat reuni kelaurga antar-Korea yang diandalkan oleh Korea Utara untuk bidang ekonomi dikarenakan banyak wisatawan Korea Selatan yang mengunjungi

  39 tempat tersebut.

  Pada 9 Desember 2016, Presiden Park Geun-hye dimakzulkan oleh Majelis Nasional Korea Selatan dikarenakan Presiden Park Geun-hye terlibat skandal yang mengakibatkan dimakzulkan dari posisinya. Tanggal 10 Maret 2017, Mahkamah Konstitusi Korea dengan suara bulat ingin memakzulkan dan menjebloskan

  40 Presiden Park Geun-hye ke penjara pada 31 Maret 2017. Pemakzulan Presiden

  Park Geun-hye bukan hanya berdampak kepada kondisi politik domestik semata, melainkan peristiwa tersebut memberikan dampak untuk hubungan Korea

  41 Selatan dengan Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Korea Utara.

  Salah satu isu yang mempengaruhi pemilihan Presiden Korea Selatan yang akan terjadi pada 9 Mei 2017 adalah instalasi Terminal High Altitude Air Defence

  

(THAAD) di Korea Selatan. Pada dasarnya, pemasangan THAAD ini sudah digagas

pada awal tahun 2016 setelah adanya uji coba nuklir Korea Utara yang ketiga.

  Dalam 3 tahun masa jabatannya, Presiden Park Geun-hye sudah tertarik untuk membuat kerjasama antara Korea Selatan

  • – Tiongkok dan mengadakan pertemuan tingkat tinggi tahunan dengan Presiden Xi Jinping pada tahun 2013, 2014, dan 2015. Namun dengan adanya diskusi Amerika Serikat dengan Korea Selatan yang membahas mengenai THAAD, Tiongkok merasa tidak senang dengan keputusan Korea Selatan yang menyebabkan renggangnya hubungan antara
Korea Selatan – Tiongkok baik dibidang politik, ekonomi, dan keamanan bilateral

  42