Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (Pfh) Di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

HOLSTEIN (PFH) DI KECAMATAN PUDAK, KABUPATEN PONOROGO

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian

Jurusan/Program Studi Peternakan

Oleh : SAIFUL FANANI

H0508015

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

HOLSTEIN (PFH) DI KECAMATAN PUDAK, KABUPATEN PONOROGO

Skripsi yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Saiful Fanani

H 0508015

telah dipertahankan didepan Dewan Penguji pada tanggal : 17 Januari 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Ketua

Ir. YBP Subagyo, MS. NIP. 19480314 197903 1 001

Anggota I

Ir. Lutojo, MP. NIP. 19550912 198703 1 001

Anggota II

Ratih Dewanti, S.Pt., M.Sc. NIP. 19820331 200501 2 002

Surakarta, Januari 2013 Mengetahui Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Dekan

Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS. NIP. 19560225 198601 1 001

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SW T atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo”. Penulis menyadari bahwa selama pelaksanaan penelitian sampai terselesaikannya skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, pengarahan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS., selaku Dekan Fakultas Pertan ian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ir. Sudiyono, MS., selaku Ketua Jurusan/Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ir. YBP Subagyo, MS., selaku dosen pembimbing utama.

4. Ir. Lutojo, MP., selaku dosen pembimbing pendamping.

5. Ratih Dewanti, S.Pt., M.Sc., selaku dosen penguji.

6. Peternak sapi perah dan inseminator yang ada di Kecamatan Pudak yang telah bekerja sama dalam membantu kelancaran selama penelitian.

7. Teruntuk Ayah (Moh Ridwan) dan Ibu (Pujiatin), serta kakak (Hafid L.M.) tercinta penulis persembahkan karya ini. Terimakasih atas semua doa, dukungan, motivasi dan kasih yang tiada henti.

8. Teman-teman Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta, angkatan 2008 (cooper '08), serta semua pihak yang telah membantu sampai terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Januari 2013

Penulis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................

14

A. Keadaan Geografis .......................................................................... 14

B. Populasi Ternak Sapi Perah di Kecamatan Pudak ........................

15

C. Karakteristik Responden .................................................................

15

1. Umur dan Pengalaman Beternak ................................................

15

2. Pendidikan Terakhir Peternak ....................................................

16

3. Pekerjaan Peternak ......................................................................

17

D. Kinerja Reproduksi Ternak ............................................................

18

1. Conception Rate (CR) .................................................................

18

2. Service per Conception (S/C) .....................................................

20

3. Calving Interval............................................................................

21

V. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................

24

A. Kesimpulan .......................................................................................

24

B. Saran .................................................................................................

24

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25 LAMPIRAN .................................................................................................... 28

Tabel Judul Halaman

1. Jumlah populasi sapi perah di Kecamatan Pudak tahun 2011 ..............

11

2. Jumlah Sampel Sapi Perah Yang Diambil .............................................

12

3. Populasi sapi perah di Kecamatan Pudak ..............................................

15

4. Umur dan lama beternak responden sapi perah .....................................

15

5. Pendidikan terakhir responden peternak sapi perah ..............................

16

6. Pekerjaan pokok responden sapi perah ..................................................

17

7. Conception Rate sapi perah di Kecamatan Pudak .................................

18

8. Non Return Rate sapi perah di Kecamatan Pudak ................................

19

9. Service per Conception sapi perah di Kecamatan Pudak .....................

20

10. Calving Interval sapi perah di Kecamatan Pudak .................................

21

11. Post Partum Estrus sapi perah di Kecamatan Pudak ............................

22

12. Post Partum Mating sapi perah di Kecamatan Pudak ..........................

23

Gambar Judul Halaman

1. Peta wilayah Kabupaten Ponorogo ........................................................

41

2. Peta wilayah Kecamatan Pudak .............................................................

42

3. Induk sapi perah ......................................................................................

43

4. Responden mengisi kuisioner .................................................................

43

5. Responden dengan ternaknya .................................................................

43

6. Vagina mengeluarkan cairan ..................................................................

43

7. Pedet sapi perah .......................................................................................

43

8. Hijauan pakan ternak ..............................................................................

43

9. Inseminasi Buatan ...................................................................................

43

10. Palpasi rektal ...........................................................................................

43

Lampiran Judul Halaman

1. Kuisioner penelitian ..................................................................................... 29

2. Identitas responden peternak sapi perah ..................................................... 33

3. Pengetahuan peternak tentang birahi peternak .......................................... 34

4. Data sapi perah ............................................................................................. 35

5. Perhitungan variabel kinerja reproduksi sapi perah ................................... 38

6. Peta Kabupaten Ponorogo ........................................................................... 41

7. Peta Kecamatan Pudak ................................................................................ 42

8. Photo penelitian ........................................................................................... 43

HOLSTEIN (PFH) DI KECAMATAN PUDAK, KABUPATEN PONOROGO

Saiful Fanani H0508015 RINGKASAN

Faktor penghambat yang diduga sebagai penyebab penurunan produktivitas sapi perah di Indonesia adalah manajemen pemeliharaan yang belum optimal. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini adalah perlu dilakukan usaha peningkatan kemampuan reproduksi. Efisiensi reproduksi sapi perah pada suatu peternakan dapat diketahui dari kinerja reproduksinya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja reproduksi sapi perah PFH di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012 di wilayah Kecamatan Pudak Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Metode dasar yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik survai yang meliputi dua tahap yaitu tahap pra survai dan tahap survai. Tahap pra survai dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian dan menentukan jumlah sampel. Tahap survai bertujuan untuk mendapatkan data primer dan sekunder di lapangan. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kecamatan Pudak dengan pertimbangan bahwa daerah ini mempunyai populasi sapi perah tertinggi di Kabupaten Ponorogo. Pengambilan sampel ternak menggunakan metode purposive sampling yaitu ternak sapi perah PFH yang sudah pernah beranak. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini dipilih 100 ekor sap i perah PFH. Data yang dikumpulkan dari sampel ini meliputi conception rate, non return rate, service per conception, calving interval , post partum estrus dan post partum mating . Data ini kemudian dianalisis secara deskriptif melalui persentase, rata-rata dan standar deviasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai conception rate 33%, non

± 25,61 hari. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kinerja reproduksi sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak Kabupaten

Ponorogo sudah cukup baik.

Kata kunci: Peranakan Friesian Holstein, service per conception, conception rate, calving interval

CROSSBRED DAIRY AT PUDAK DISTRICT, PONOROGO REGENCY

Saiful Fanani H0508015 SUMMARY

The inhibiting factor which are expected as the cause of dairy productivity decline in Indonesia is the dairy management is not optimum yet. One of efforts to solve this problem is by increasing the reproduction performance. The efficiency of dairy reproduction on a farm can be known from their reproduction performance.

This research was done to know the reproduction performance of Friesian Holstein Crossbred dairy in Pudak district, Ponorogo regency. This research was conducted at July until September 2012 in Pudak district, Ponorogo regency, East Java. The basic method used in this research is descriptive method with survey technique. The survey technique consist of two stages, those are pre survey stage and survey stage. Pre survey stage was conducted to determine the location of the research and the amount of the sample. Then, the purpose of survey stage is to get the primary and secondary data in the area. Research location was determined purposively at Pudak district by considering that this location has the higest population of dairy in Ponorogo. The sampling of dairy used purposive sampling method, that is Friesian Holstein Crossbred dairy which is ever bred. The amount of sample in this research is 100 Friesian Holstein Crossbred dairy. The data which was collected from this sample are conception rate, non return rate, service per conception, calving interval, post partum estrus and post partum mating. Then this data was analyzed descriptively through percentage, average and standard deviation.

The result of the research indicate that the value of conception rate 33%, The result of the research indicate that the value of conception rate 33%,

good enough.

Keywords: Friesian Holstein crossbred, service per conception, conception rate, calving interval

A. Latar Belakang

Produktifitas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti mutu genetik ternak dan berbagai faktor lingkungan dari lokasi dan tempat ternak dipelihara. Faktor lingkungan lebih berpengaruh terhadap produktifitas ternak dibandingkan faktor genetik. Salah satu aspek produktifitas yang penting ialah faktor reproduksi. Diharapkan dengan manajemen reproduksi yang baik efisiensi reproduksi dapat dicapai sehingga produksi susu dapat diperoleh secara optimal (Prihatin, 2008).

Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif, meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis. Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir dengan selamat. Memahami keterkaitan berbagai faktor dalam mempengaruhi fertilitas ternak, oleh karenanya menjadi hal esensial dalam upaya mengoptimalkan kinerja reproduksi setiap sapi betina dan usaha peternakan (Anggraen i, 2008).

Upaya peningkatan efisiensi kinerja reproduksi akan berhasil jika menggunakan teknik Inseminasi Buatan (IB) dan kualitas bib it yang unggul (Sardjito et al., 2008). Inseminasi buatan merupakan teknologi yang digunakan untuk mempercepat perbaikan mutu genetik sapi lokal dan meningkatkan kelahiran pedet (Lubis, 2009). Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB adalah fertilitas sapi induk sehingga perlu diketahui kualitas induk dengan melihat kinerja reproduksinya. Sehubungan dengan hal itu pemerintah selalu berupaya meningkatkan populasi maupun Upaya peningkatan efisiensi kinerja reproduksi akan berhasil jika menggunakan teknik Inseminasi Buatan (IB) dan kualitas bib it yang unggul (Sardjito et al., 2008). Inseminasi buatan merupakan teknologi yang digunakan untuk mempercepat perbaikan mutu genetik sapi lokal dan meningkatkan kelahiran pedet (Lubis, 2009). Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB adalah fertilitas sapi induk sehingga perlu diketahui kualitas induk dengan melihat kinerja reproduksinya. Sehubungan dengan hal itu pemerintah selalu berupaya meningkatkan populasi maupun

Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu daerah yang mulai dikembangkan ternak sapi perahnya di Jawa Timur. Kabupaten Ponorogo

memiliki 21 kecamatan dimana Kecamatan Pudak merupakan salah satu kecamatan yang memiliki populasi ternak sapi perah tertinggi daripada kecamatan lainnya. Pada tahun 2010 populasi ternak sapi perah di Kecamatan

Pudak yaitu 892 ekor ( Badan Pusat Statistik a , 2011).

B. Rumusan Masalah

Peternakan sapi perah yang masih berskala kecil dan bersifat tradisional menyebabkan produktivitas ternak rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak dengan memperbaiki kinerja reproduksi. Proses reproduksi yang berjalan normal akan diikuti oleh produktivitas ternak sapi perah yang semakin baik. Semakin tinggi kemampuan reproduksi, semakin tinggi pula produktivitas ternak tersebut (Oktaviani, 2010).

Efisiensi reproduksi sapi perah pada suatu peternakan dapat diketahui dari kinerja reproduksinya. Kinerja reproduksi sapi perah dapat dilihat dari berbagai parameter, diantaranya adalah umur sapi dara saat birah i, kawin, bunting dan beranak pertama, jarak waktu saat beranak sampai dengan IB pertama (post partum mating), jarak waktu saat beranak sampai terjadi kebuntingan (days open), angka gangguan reproduksi, dan angka keberhasilan pelaksanaan IB (Effendi et al., 2002).

Faktor keberhasilan usaha ternak sapi perah sangat dipengaruhi oleh kinerja reproduksi ternak (Pramono et al., 2008), sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai kinerja reproduksi sapi perah Peranakan Friesian Holstein untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi di tingkat peternak di Kecamatan Pudak Kabupaten Ponorogo. Diharapkan kedepan kebijakan yang akan diterapkan sesuai dengan kebutuhan peternak dalam konteks memperbaiki kinerja reproduksi ternak sapi perah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja reproduksi sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak

Kabupaten Ponorogo.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian in i diharapkan dapat memberikan informasi tentang gambaran kinerja reproduksi sapi perah betina Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak Ponorogo. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi peternak dalam perbaikan manajemen pemeliharaan dan reproduksi sapi perah, serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan peternakan.

A. Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)

Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan ternak perah lainnya. Sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan ternak berupa konsentrat dan hijauan menjadi susu yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Di negara-negara maju, sapi perah dipelihara dalam populasi yang tertinggi, karena merupakan salah satu sumber kekuatan ekonomi bangsa. Sapi perah menghasilkan susu dengan keseimbangan nutrisi sempurna yang tidak dapat digantikan dengan bahan makanan lain (Syarief dan Sumoprastowo, 1990).

Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan antara sapi Friesian Holstein (FH) dengan sapi setempat atau sapi lokal yang ada di Indonesia (Mukhtar, 2006). Sapi PFH disebut non d escript yang artinya

tidak masuk b reed tertentu atau dapat juga disebut Holstein G rad e . Produksi susu sapi PFH sebelum tahun 1979 sekitar 1.800-2.000 liter/laktasi dengan panjang laktasi rata-rata kurang dari 10 bulan (Soetarno, 2003). Ciri-ciri sapi PFH yaitu memiliki kepala agak panjang, mulut lebar, lubang hidung terbuka luas, ukuran tubuh besar, pinggang sedang dan telinga sedang (Sosroamidjojo dan Soeradji, 1984).

Ditinjau dari segi sifat-sifat reproduksi, sapi FH tergolong bangsa sapi perah yang masak kelaminnya (sexual maturity) lambat. Sapi FH betina umumnya baru dapat dikawinkan pertama kali pada umur 18 bulan, sehingga beranak pertama kali adalah umur 28-30 bulan. Fungsi reproduksi sapi ini rata- rata baik, persentase kemandulan yang rendah dan gangguan siklus reproduksi serta kesukaran melahirkan (partus) jarang dijumpai (Mukhtar, 2006).

B. Inseminasi Buatan

Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mempercepat peningkatan mutu genetik dan populasi ternak. Inseminasi Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mempercepat peningkatan mutu genetik dan populasi ternak. Inseminasi

kelamin betina dengan menggunakan alat-alat bantu buatan manusia (Toelihere, 1993).

Peternak di Indonesia mengenal IB dengan istilah "kawin suntik". Dalam prakteknya prosedur Inseminasi tidak hanya meliputi deposisi semen ke dalam saluran kelamin betina, tetapi mencakup juga seleksi dan pemeliharaan pejantan. Menurut Toelihere (1993) proses utama meliputi : penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan dan pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi. Disamping itu, program IB mencakup pula pencatatan dan penentuan hasil inseminasi pada hewan betina, bimbingan dan penyuluhan pada peternak. Sekarang ini IB tidak hanya populer untuk ternak sapi, tetapi telah diap likasikan secara terbatas pada domba, kambing, kuda dan anjing (Indrawati, 2004).

Dewasa ini IB sudah bukan hal asing lagi dikalangkan peternak terutama peternak sapi perah. Para peternak telah menyadari berbagai keuntungan yang diperoleh dari penerapan program IB. Evans (1987) cit. Indrawati (2004) menyatakan bahwa keuntungan dari inseminasi buatan adalah menambah keragaman genetik, mempermudah transportasi material genetik, memperpanjang masa hidup sperma, menambah efisiensi dari perkawinan antar sapi, menurunkan atau mengurangi perlakuan kepada jantan atau betina yang ada di peternakan, disamping itu IB dapat pula menjaga dan mengontrol peluang terjadinya penyakit.

C. Conception Rate (CR)

Metode yang sering dilakukan untuk diagnosis kebuntingan adalah pemeriksaan betina yang menunjukkan berahi kembali setelah dikawinkan. Hewan betina dianggap bunting jika tidak menunjukkan gejala berahi kembali setelah perkawinan. Jika ternak bunting setelah inseminasi, C orpus luteum (CL) tidak regresi, konsentrasi progesteron tetap tinggi, dan ternak tidak Metode yang sering dilakukan untuk diagnosis kebuntingan adalah pemeriksaan betina yang menunjukkan berahi kembali setelah dikawinkan. Hewan betina dianggap bunting jika tidak menunjukkan gejala berahi kembali setelah perkawinan. Jika ternak bunting setelah inseminasi, C orpus luteum (CL) tidak regresi, konsentrasi progesteron tetap tinggi, dan ternak tidak

karena itu, ternak-ternak yang diobservasi estrus setelah inseminasi, disimpulkan tidak bunting (Syafruddin et al., 2012).

N on R eturn R ate (N R ) adalah persentase hewan yang tidak kembali minta kawin atau tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 sampai 35 hari atau 60 sampai 90 hari. Toelihere (1993) menyatakan penilaian dengan NR tidak terlalu benar karena betina yang tidak m inta kawin (IB) kemungkinan mati, dijual, hilang, birahi tenang, C orpus luteum P ersistensi (CLP) dan tidak bunting. Sebaliknya sapi yang minta kawin (IB) belum tentu tidak bunting, karena 3,5 % sapi bunting masih memperlihatkan tanda estrus.

Fakor-faktor yang mempengaruhi nilai NR antara lain adalah faktor- faktor yang langsung berhubungan dengan metode pengukuran, termasuk jumlah sapi yang diinseminasi per semen atau per pejantan. Waktu antara inseminasi sampai penghitungan sapi betina yang kembali minta diinseminasi dan pengaruh-pengaruh biologik yang cenderung untuk mempertinggi jumlah sapi anestrus yang tidak bunting. Berikutnya adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kesuburan termasuk umur pejantan dan betina, musim, umur semen, penyakit-penyakit, teknik perlakuan terhadap semen dan pengaruh-pengaruh lingkungan lainnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut persentase non return hanya dapat dinyatakan signifikan dan dapat dipertanggungjawabkan apabila dihitung dari suatu populasi ternak yang besar (Direktorat Jenderal Produksi Peternakan, 2000).

Evaluasi hasil inseminasi dengan menghitung persentase sapi yang bunting pada inseminasi pertama disebut angka konsepsi atau conception rate (CR). Angka konsepsi dapat ditentukan berdasarkan hasil diagnosa dengan palpasi rektal dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo, 1992). Angka konsepsi ditentukan oleh 3 faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi (Sholeh, 2000).

Pada perkawinan hampir tidak ada hewan jantan dan betina yang mencapai kapasitas kesuburan 100%, teknik inseminasi yang baik dapat mempertahankan

nilai in i. Penurunan nilai angka konsepsi merupakan salah satu tanda terjadi penurunan keberhasilan inseminasi buatan. Nilai CR untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajeman dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu, rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh kualitas maupun fertilitas semen beku, ketrampilan dan kemampuan inseminator dan kemungkinan adanya gangguan reproduksi pada sapi betina.

D. Service per conception (S/C)

S ervice per conception (S /C ) dihitung dari banyaknya pelayanan IB dibagi dengan jumlah sapi yang bunting (Partodihardjo, 1992). Menurut Salisbury dan Vandemark (1985), nilai S/C mendekati kebenaran apabila semen berasal dari pejantan yang fertilitasnya tinggi. Hal in i kurang berarti dalam perbandingan tingkat kesuburan sapi apabila d igunakan semen yang berasal dari sejumlah pejantan yang beraneka ragam fertilitasnya. Toilehere (1993) mengemukakah bahwa nilai S/C di Indonesia dianggap normal jika mencapai 1,6 sampai 2,0. Sementara itu, menurut Payne dan Williamson (1993), Nilai S/C normal berkisar 1,3 sampai 1,6.

Keberhasilan S/C tergantung tingkat kesuburan jantan maupun betina, waktu inseminasi, dan teknik inseminasi yang digunakan. Kegagalan inseminasi dapat juga akibat dari pembuahan dini dan kematian emb rio . Kegagalan pembuahan dini disebabkan oleh kelainan anatomi saluran reproduksi, kelainan ovulasi, sel telur yang abnormal, sel sperma yang abnormal, dan kesalahan dalam manajemen reproduksi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Hardjopranjoto (1995) menambahkan, faktor yang mempengaruhi kematian emb ri o dini disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit, lingkungan dalam saluran reproduksi yang tidak serasi, dan adanya gangguan hormonal.

Pengaturan perkawinan merupakan faktor yang sangat penting dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah, juga merupakan salah satu faktor apakah

sapi betina induk dapat beranak setiap tahun. Suatu usaha peternakan sapi perah dapat dikatakan baik apabila salah satu persyaratannya yaitu melahirkan satu anak dalam setiap tahun dari seekor induk dapat dipenuhi (Syarief dan Sumoprastowo, 1990).

Jarak beranak atau C alving interval adalah jarak antara dua kelahiran yang beruntun, dapat dihitung dengan menjumlahkan lama kebuntingan ditambah dengan waktu dari melahirkan sampai terjadi konsepsi kembali (Kurnadi, 2002). Jarak beranak yang normal berkisar sekitar 12 bulan atau 1 tahun (Hafez, 2000 cit. Indrawati, 2004). C alving interval menunjukan kinerja reproduksi dari sapi betina dan menjadi salah satu ukuran untuk mengukur efisiensi reproduksi ternak (Hunter, 1995).

Menurut Bahari (2007) selang beranak dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi reproduksi. Selang beranak yang ideal berkisar antara 12 sampai 15 bulan. Adanya selang beranak yang panjang dapat disebabkan oleh faktor manajemen, yaitu kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik. Selang beranak juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi susu.

Menurut Toelihere (1985), sesudah partus hewan betina harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyiapkan uterus, ovarium dan organ- organ kelamin lainnya dan sistem endokrin untuk memulai lagi suatu siklus normal dan untuk kebuntingan baru. Uterus harus kembali pada ukuran normal dan posisi semula (dikenal sebagai involusi) dan mempersiapkan diri untuk kebuntingan berikutnya. Waktu yang diperlukan untuk involusi pada sapi berkisar antara 30-50 hari. Involusi uterus terjadi pada saat menjelang estrus pertama setelah beranak.

ost partum estrus P adalah estrus pertama kali setelah melahirkan. O vulasi pertama setelah melahirkan biasanya terjadi tanpa disertai gejala estrus dan berlangsung 35-45 hari setelah melahirkan anak. Interval antar partus ke ost partum estrus P adalah estrus pertama kali setelah melahirkan. O vulasi pertama setelah melahirkan biasanya terjadi tanpa disertai gejala estrus dan berlangsung 35-45 hari setelah melahirkan anak. Interval antar partus ke

ost partum estrus P akan diperpanjang bila ternak tersebut menyusui (Hunter, 1995). Menurut Bearden dan Fuquay (1980) cit. Leksanawati (2010), sapi yang sedang menyusui akan mengalami anestrus 2 sampai 3 kali leb ih lama daripada yang tidak menyusui. Disamping itu ketika sedang menyusui pedet, aktivitas ovarium dan estrus mungkin tidak dapat diamati selama 2 sampai 3 bulan lebih, terutama bila konsumsi energinya rendah.

ost partum mating P adalah perkawinan pertama setelah beranak secara alam i atau buatan. Sapi setelah beranak baru bisa dikawinkan kembali sesudah 60-90 hari. Sebab pada saat itu jaringan alat reproduksi yang rusak akibat melahirkan telah pulih kembali. Jarak antara waktu induk beranak sampai induk dikawinkan kembali untuk pertama kali merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi interval kelahiran (Salisbury dan Vandemark, 1985).

Penundaan perkawinan setelah beranak ini umumnya karena terlambatnya post partum estrus, selain itu juga ada ketidaktelitian peternak dalam mendeteksi estrus, sehingga peternak sering tidak mengetahui kalau sapi perahnya sedang estrus. Tertundanya post partum mating ini tentunya akan memperpanjang d ays open sehingga calving interval menjadi tinggi. Kurangnya konsumsi nutrien, khususnya protein dan energi, mengakibatkan folikel-folikel sebagai penghasil hormon estrogen tidak dapat tumbuh berkembang dengan normal (Hardjopranjoto, 1995).

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September Tahun 2012 di wilayah Kecamatan Pudak Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Pengambilan lokasi sampel berdasarkan informasi dari data statistik Dinas Pertan ian Kabupaten Ponorogo. Penetapan lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu penetapan yang bersifat tidak acak, dimana lokasi dipilih berdasar pertimbangan kepadatan populasi.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode dasar deskriptif, yaitu memusatkan perhatian pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang dan bertolak dari data yang dikumpulkan, dianalisis dan disimpulkan dalam konteks teori-teori dari hasil penelitian terdahulu (Nawawi dan Martini, 1996). Pelaksanaan penelitian menggunakan metode survai langsung terhadap para peternak yang memiliki sapi perah di Kecamatan Pudak Kabupaten Ponorogo. Penelitian survai merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995).

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pra survai dan tahap survai. Tahap pra survai dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian dan menentukan jumlah sampel. Tahap survai bertujuan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara langsung dengan responden peternak sapi perah.

C. Teknik Penentuan Sampel

1. Metode Penentuan Populasi Populasi ternak dalam penelitian ini adalah semua ternak sapi perah yang berada di tiga Desa yang dipilih yaitu Pudak Wetan, Krisik, dan Tambang. Ketiga desa tersebut adalah desa yang memiliki populasi ternak

Pudak dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah populasi sapi perah di Kecamatan Pudak tahun 2012

No. Desa Jumlah Populasi Sapi Perah (ekor)

1 Pudak Wetan

4 Pudak Kulon

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo, 2012.

2. Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel ternak secara sengaja (purposive sampling ) yaitu ternak sapi perah PFH yang sudah pernah beranak. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini dipilih 100 ekor sapi perah PFH. Sampel diambil dari peternak (responden) yang telah memelihara sapi perah minimal 1,5 tahun.

Penentuan jumlah sampel yang diambil di Kecamatan Pudak mengikuti rumus yang dikembangkan oleh Slovin (Prasetyo, 2005).

n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi sapi perah

e = Margin error (persentase kesalahan karena ketidaktelitian = 10%) e = Margin error (persentase kesalahan karena ketidaktelitian = 10%)

Nk

Ni

Dimana: Ni

: Jumlah sampel ternak sapi perah pada desa ke-i.

Nk

: Jumlah ternak sapi perah dari masing-masing desa.

: Jumlah ternak sapi perah dari semua desa. Berdasarkan rumus di atas maka didapat jumlah sampel yang diambil pada masing-masing desa yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Sampel Sapi Perah Yang Diambil No Desa

Jumlah Populasi Ternak*)

Jumlah Sampel

1 Pudak Wetan

Sumber: *) Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo, 2012.

D. Jenis dan Sumber Data

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari wawancara dan pengamatan langsung dengan responden dan menggunakan kuisioner, dimana responden terdiri dari peternak (akseptor) dan inseminator.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kantor, instansi dalam hal ini adalah Sub Dinas Peternakan Kabupaten Ponorogo, Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo, dan Kecamatan Pudak.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Wawancara, yaitu metode yang dilakukan dengan wawancara dengan peternak/responden dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mengumpulkan data primer.

informasi yang dibutuhkan di kantor ataupun instansi yang bersangkutan.

F. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif melalui persentase, rata- rata dan standar deviasi. Variabel yang diamati adalah Conception Rate (CR), Non Return Rate (NR), Service per Conception (S/C), Calving Interval (CI), Post partum estrus dan Post partum mating.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Conception rate (CR) adalah persentase sapi bunting pada perkawinan yang pertama. Jumlah betina bunting yang didiagnosa secara rektal

CR = x 100%

Jumlah seluruh betina yang di inseminasi

2. Non Return Rate (NR) adalah menunjukkan angka persentase ternak yang tidak minta kawin kembali pada perkawinan yang pertama.

(Jumlah sapi yang di IB) – (jumlah sapi yang kembali di IB) NR =

x 100%

Jumlah sapi yang di IB

3. Service per conception (S/C) adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor ternak betina sampai terjadi kebuntingan.

Jumlah inseminasi yang dibutuhkan sapi

S/C =

Jumlah sapi yang bunting

4. Calving interval (CI) adalah selang waktu antara dua kelahiran yang berurutan (bulan).

5. Post partum estrus adalah birahi pertama setelah melahirkan (hari).

6. Post partum mating atau kawin pertama setelah beranak adalah selang waktu sapi betina dari saat melahirkan sampai di kawinkan lagi (hari).

A. Keadaan Geografis

Kabupaten Ponorogo mempunyai luas 1.371,78 km² yang terletak antara 111° 17’ - 111° 52’ Bujur Timur dan 7° 49’ - 8° 20’ Lintang Selatan dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter diatas permukaan laut. Suhu berkisar antara 18 sampai dengan 26 derajat celsius untuk dataran tinggi dan 27 sampai dengan 31 derajat celsius untuk dataran rendah. Kabupaten Ponorogo berbatasan dengan, sebelah utara Kabupaten Madiun, Magetan dan Nganjuk, sebelah Timur Kabupaten Tulungagung dan Trenggalek, sebelah Selatan Kabupaten Pacitan serta sebelah Barat Kabupaten Pacitan dan Wonogiri (Jawa Tengah). Ditinjau berdasarkan keadaan geografisnya, Kabupaten Ponorogo di bagi menjadi 2 sub area, yaitu area dataran tinggi yang meliputi kecamatan Ngrayun, Sooko, Pudak dan Pulung serta Kecamatan Ngebel, sisanya merupakan daerah dataran rendah.

(Badan Pusat Statistik a , 2011).

Wilayah kecamatan Pudak menpunyai luas wilayah sebesar 4.891,9 Ha dengan suhu udara berkisar antara 18 sampai dengan 26 derajat celsius. Batas fisik wilayah Kecamatan Pudak sebelah utara Kecamatan Pulung, sebelah timur Kabupaten Trenggalek, sebelah selatan Kecamatan Sooko serta sebelah barat Kecamatan Pulung. Wilayah Kecamatan Pudak terdiri dari 6 desa, yaitu : Banjarjo, Pudak Wetan, Bareng, Tambang, Krisik dan Pudak Kulon. Total penduduk Kecamatan Pudak 9.153 jiwa, yang terdiri dari 4.475 jiwa penduduk laki-laki dan 4.678 jiwa penduduk perempuan, dengan jumlah rumah tangganya adalah 2.360 rumah tangga. Hampir sebagian besar penduduk di Kecamatan Pudak bermata pencaharian sebagai petani dan

peternak (Badan Pusat Statistik b , 2011).

Populasi sapi perah di Kecamatan Pudak dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Populasi sapi perah di Kecamatan Pudak No. Desa

Jumlah (ekor)

Persentase (%)

1 Pudak Wetan

4 Pudak Kulon

Sumber : Data Primer Terolah, 2012. Berdasarkan pada Tabel 3. Populasi sapi perah tertinggi berada di Desa Pudak Wetan sebanyak 386 ekor (36,1%), populasi sedang di Desa Krisik sebanyak 168 ekor (15,7%) dan dengan populasi terendah yaitu di Desa Tambang sebanyak 17 ekor (1,6%).

C. Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang dipakai di dalam penelitian ini meliputi umur peternak, pengalaman beternak, pendidikan terakhir peternak dan

pekerjaan peternak.

1. Umur dan Pengalaman Beternak

Umur dan pengalaman beternak responden sapi perah dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Umur dan lama beternak responden sapi perah

Variabel

Jumlah (orang)

Persentase (%) Umur Peternak

a. 20-29 tahun

b. 30-39 tahun

c. 40- 49 tahun

d. 50-60 tahun

6 20 Pengalaman Beternak

a. <5 tahun

b. 6-10 tahun

c. 11-15 tahun

d. >15 tahun d. >15 tahun

keuntungan karena pada usia tersebut masih mempunyai kemampuan yang besar dalam mengembangkan dan mengelola usahanya dengan baik sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan produktivitas kerjanya. Semakin muda umur seorang peternak, biasanya semangat untuk ingin tahunya juga semakin tinggi, sehingga mereka relatif lebih cepat mengadopsi teknologi (San i et al., 2010).

Pengalaman akan mempengaruhi kemampuan seorang peternak dalam mengelola peternakannya. Semakin banyak pengalaman peternak, semakin besar pula kemampuannya dalam beternak (Kurnadi, 2002) dan peternak akan mengetahui masalah yang mungkin timbul dalam pengembangan usahanya dan dapat membandingkannya (Fatati, 2006). Pengalaman beternak responden masih sedikit yaitu baru dibawah 5 tahun atau sekitar 3 sampai dengan 4 tahun. Peternak berpengalaman dibawah 5 tahun sesuai dengan kedatangan sapi perah pertama di Kecamatan Pudak tahun 2008.

2. Pendidikan Terakhir Peternak

Pendidikan terakhir responden yang ada di Kecamatan Pudak dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pendidikan terakhir responden peternak sapi perah

Pendidikan

Jumlah (orang)

Persentase (%) SD

30 100 Sumber : Data Primer Terolah, 2012.

Pengetahuan tentang tata cara beternak sapi perah merupakan faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap produktivitas ternak yang dipelihara. Faktor yang berpengaruh dalam hal pengetahuan tata cara Pengetahuan tentang tata cara beternak sapi perah merupakan faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap produktivitas ternak yang dipelihara. Faktor yang berpengaruh dalam hal pengetahuan tata cara

Pudak sangat beragam. Fatati (2001) menyatakan tingkat pendidikan memiliki peran penting dalam memahami penggunaan teknologi untuk dapat meningkatkan produktivitas usaha pertanian karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan lebih mudah memahami dan menerapkan teknologi baru serta mempunyai wawasan berpikir yang lebih luas.

3. Pekerjaan Peternak

Pekerjaan peternak sapi perah di Kecamatan Pudak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pekerjaan pokok responden sapi perah

Pekerjaan

Jumlah (orang)

Persentase (%) Petani

30 100 Sumber : Data Primer Terolah, 2012.

Pekerjaan responden terbesar adalah sebagai petani yaitu sebanyak

21 orang (70%). Data tersebut menggambarkan bahwa beternak hanya sebagai pekerjaan sampingan. Tingginya persentase jumlah responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani memberikan gambaran bahwa sektor peternakan dan pertanian tidak dapat dipisahkan dimana keduanya akan bekerja saling terkait. Menurut Leksanawati (2010), untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya pada umumnya masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian di bidang usaha pertanian tanaman pangan, sebagai petani dengan usaha sampingan memelihara ternak. Latar belakang pekerjaan pokok sebagai petani menyebabkan usaha pertanian tanaman pangan dan peternakan dapat saling menguntungkan. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk, begitu sebaliknya limbah pertanian dapat digunakan sebagai sumber pakan untuk ternak.

Proses reproduksi sangat penting bagi usaha peternakan sapi perah, mengingat tanpa adanya reproduksi mustahil produksi susu dan pedet dapat

diharapkan mencapai hasil yang maksimal. Berbagai aspek yang menjadi hal penting diperhatikan dari segi reproduksi antara lain adalah concepton rate (CR), service per conception (S/C) dan calving interval (CI).

1. Conception Rate (CR)

Conception rate menunjukkan angka persentase ternak yang bunting pada perkawinan pertama yang didiagnosa per rectal. Untuk conception rate yang ada di Kecamatan Pudak dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Conception Rate sapi perah di Kecamatan Pudak

Service IB ke-

Ternak bunting (ekor)

Conception rate (%)

100 Sumber : Data Primer Terolah, 2012.

Evaluasi CR dilakukan 40-60 hari setelah inseminasi dilakukan. Berdasarkan hasil yang didapat diketahui bahwa nilai CR di Kecamatan Pudak adalah 33%. Nilai tersebut masih belum optimal berdasarkan beberapa literatur dan masih bisa untuk ditingkatkan. Menurut Toelihere (1993), CR yang baik mencapai 60-70%, sedangkan yang dapat dimaklumi untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajemen dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Penelitian terdahulu mengenai pencapaian CR adalah 11% Saptono (2011); 23,6 % (Noor, 2011).

Nilai CR ditentukan oleh kesuburan pejantan, kesuburan betina, dan teknik inseminasi (Susilawati, 2005). Kesuburan pejantan salah satunya merupakan tanggung jawab Balai Inseminasi Buatan (BIB) yang memproduksi semen beku disamping manajemen penyimpanan di tingkat inseminator. Kesuburan betina umumnya merupakan tanggung jawab Nilai CR ditentukan oleh kesuburan pejantan, kesuburan betina, dan teknik inseminasi (Susilawati, 2005). Kesuburan pejantan salah satunya merupakan tanggung jawab Balai Inseminasi Buatan (BIB) yang memproduksi semen beku disamping manajemen penyimpanan di tingkat inseminator. Kesuburan betina umumnya merupakan tanggung jawab

Service IB ke-

Ternak (ekor)

Non Return Rate (%) Dikawinkan Birah i kembali n = Total n = Tiap service

Sumber : Data Primer Terolah, 2012. Dari Tabel 8. Dapat diketahui bahwa nilai NR sapi perah di Kecamatan Pudak pada 60-90 hari adalah 33%. Penilaian NR berpegang pada asumsi bahwa sapi-sapi yang tidak m inta kawin kembali adalah bunting. Menurut Toelihere (1993), asumsi atau anggapan tersebut tidak selalu benar. Selain bunting, sapi-sapi betina yang tidak minta kawin lagi kemungkinan telah mati, dijual, hilang, mengalami birahi tenang atau karena gangguan-gangguan lain. Kebanyakan nilai NR pada 60-90 hari mencapai rata-rata 65-72%. Nilai NR tersebut menunjukkan bahwa NR yang ada di lapangan masih kurang baik dan masih perlu ditingkatkan. Nilai ini perlu mendapat perhatian, karena apabila terjadi kawin berulang maka akan mengakibatkan kerugian secara ekonomi terkait dengan penundaan kebuntingan. Penelitian terdahulu mengenai pencapaian NR adalah 11% Saptono (2011); 23,6 % (Noor, 2011). Dibandingkan dengan nilai tersebut, NR di Kecamatan Pudak masih lebih baik. Menurut Toelihere (1993), fakor-faktor yang mempengaruhi nilai NR antara lain adalah faktor yang berhubungan dengan tingkat kesuburan termasuk umur pejantan dan betina, musim, umur semen, penyakit-penyakit, teknik perlakuan terhadap semen dan pengaruh-pengaruh lingkungan lainnya.

baik oleh inseminator, kurang tepat handling dan thawing semen, serta kurangnya sanitasi kesehatan dan pelayanan perkawinan.

2. Service Per Conception (S/C)

Service per Conception adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi yang dibutuhkan oleh ternak betina untuk menghasilkan kebuntingan. Untuk service per conception yang ada di Kecamatan Pudak dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Service per conception sapi perah di Kecamatan Pudak

Service IB ke-

Rerata S/C (kali) 2,1 ± 1,38 Sumber : Data Primer Terolah, 2012.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rataan S/C sapi perah di Kecamatan Pudak adalah 2,1 ± 1,38 masuk dalam service per conception sebanyak 2 kali (44%). Nilai S/C ini menunjukkan tingkat kesuburan dari hewan betina. Semakin rendah nilai tersebut maka semakin tinggi kesuburan dari sapi-sapi betina yang di IB dan sebaliknya, semakin tinggi nilai S/C maka semakin rendah tingkat kesuburan sapi betina dalam kelompok tersebut. Beberapa penelitian lain mengenai pencapaian rata-rata angka S/C untuk sapi perah sebesar 2,75 kali (Saptono, 2011); 2,55 kali (Octaviani, 2010); 2,27 kali (Leksanawati, 2010). Bila dibandingkan dengan hasil S/C peneliti sebelumnya hasil S/C sapi perah di Kecamatan Pudak sudah cukup baik walaupun masih sedikit dibawah normal, nilai S/C yang normal menurut Toelihere (1993) berkisar antara 1,6 sampai 2,0 kali.

Tingkat kesuburan sapi betina in i dipengaruhi oleh faktor internal dari hewannya, termasuk kesehatan reproduksi hewan dan manajemen Tingkat kesuburan sapi betina in i dipengaruhi oleh faktor internal dari hewannya, termasuk kesehatan reproduksi hewan dan manajemen

inseminasi (Oktaviani, 2010). Soeharsono et al. (2010) menambahkan, faktor lain yang tidak kalah penting dan berpengaruh terhadap nilai S/C adalah pengetahuan dan keterampilan peternak dalam deteksi birahi. Deteksi birahi yang tepat dan pengetahuan peternak tentang waktu optimum untuk inseminasi disertai pelaporan pada waktu yang tepat akan sangat membantu dalam keberhasilan kegiatan IB. Menurut Pramono et al. (2008), service per conception dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ketepatan mendeteksi birahi, kondisi ternak sendiri serta keterampilan dan ketepatan inseminator dalam menginseminasi sapi perah.

3. Calving Interval

Calving interval adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor sapi perah beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran yang berurutan. Untuk calving interval yang ada di Kecamatan Pudak dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Calving Interval sapi perah di Kecamatan Pudak

Calving interval Ternak (ekor)

Persentase (%)

11-12 bulan

13-14 bulan

15-16 bulan

100 Rerata (bulan)

Sumber : Data Primer Terolah, 2012. Calving interval merupakan salah satu penilaian terhadap baik

buruknya kinerja reproduksi. Rerata calving interval di Kecamatan Pudak yaitu sebesar 12,36 ± 1,22 bulan terletak pada interval 11-12 bulan (75%). Faktor yang mempengaruhi lama jarak beranak adalah post partum estrus, post partum mating , dan S/C (Winarti dan Supriyadi, 2010). Semakin lama post partum estrus dan post partum mating maka jarak beranak akan semakin lama, serta semakin tinggi nilai S/C maka jarak beranak akan buruknya kinerja reproduksi. Rerata calving interval di Kecamatan Pudak yaitu sebesar 12,36 ± 1,22 bulan terletak pada interval 11-12 bulan (75%). Faktor yang mempengaruhi lama jarak beranak adalah post partum estrus, post partum mating , dan S/C (Winarti dan Supriyadi, 2010). Semakin lama post partum estrus dan post partum mating maka jarak beranak akan semakin lama, serta semakin tinggi nilai S/C maka jarak beranak akan

pada sapi dianggap baik apabila jarak antar kelahiran tidak melebihi 12 bulan atau 365 hari. Nilai yang didapatkan menunjukkan bahwa calving interval yang ada di tingkat peternak Kecamatan Pudak sudah cukup baik, serta dapat menunjukkan bahwa peternak mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam melakukan deteksi estrus.

Post partum estrus adalah estrus pertama yang dialam i induk sapi setelah melahirkan. Untuk post partum estrus yang ada di Kecamatan Pudak dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Post Partum Estrus sapi perah di Kecamatan Pudak

Post partum estrus Ternak (ekor)

Persentase (%)

20-40 hari

41-60 hari

61-80 hari

100 Rerata (hari)

Sumber : Data Primer Terolah, 2012. Setelah melahirkan saluran reproduksi sapi betina akan kembali ke ukuran semula dan ovarium berfungsi kembali. Waktu yang diperlukan untuk involusi uterus pada sapi berkisar antara 30 sampai 50 hari. Involusi uterus biasanya tercapai menjelang periode estrus pertama sesudah partus. Interval antara partus ke estrus pertama pada sapi berkisar antara 50 sampai 60 hari (Toelihere, 1985). Sapi perah di Kecamatan Pudak pada