Adat Istiadat dan Upacara Perkawinan Pad

Naluri manusia

untuk melanjutkan generasi
penerusnya telah membawa konsekuensi dalam berbagai
aspek. Konsekuensi tersebut terkait erat dengan budaya
dari masyarakat yang bersangkutan. Artinya, niat
reproduksi manusia tidak sekedar seperti yang dilakukan
oleh binatang. Aspek reproduksi manusia dimulai dengan
pertemuan antarmanusia berlainan jenis berlanjut sampai
dengan perpisahan manusia yang telah kawin itu (karena
suatu lain hal pasangan itu melakukan perceraian). Bab 3
membahas adat-istiadat dan upacara perkawinan yang ada
pada masyarakat Kabupaten Aceh Besar.

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

3
Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan Pada
Masyarakat Kabupaten Aceh Besar

A. Adat Pergaulan Muda-Mudi

Pada zaman dahulu pergaulan pemuda-pemudi di Aceh
Besar dibatasi. Artinya, antara laki-laki dan perempuan
tidak dapat bergaul secara rapat dan intens. Para pemudi
biasanya bergaul dalam kelompok pemudi, baik dalam
kegiatan-kegiatan ketrampilan maupun pendidikan,
demikian pula kaum pemudanya. Keterbatasan pergaulan
antara muda-mudi bukan saja disebabkan wadah kelompok
kegiatan itu, tetapi juga adat telah terlebih dahulu melarang

28

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

pergaulan pemuda-pemudi secara bebas. Apabila
seseorang datang bertamu ke sebuah rumah, ia tidak boleh
masuk ke rumah tersebut apabila suaminya tidak ada di
rumah. Bahkan tamu tadi dilarang masuk ke dalam
pekarangan rumah.
Apalagi untuk menjumpai seorang gadis, biasanya
seorang laki-laki yang hendak bertamu terlebih dahulu ia

melihat apakah suami yang punya berada di rumah.
Apabila ternyata ada, yamu sejak masuk pekarangan
rumah ia memberitahukan lebih dahulu dengan membuatbuat batuk agar wanita di depan rumah dapat masuk ke
dalam. Karena biasanya seorang wanita dilarang duduk
dengan tamu.
Perkembangan tata kehidupan dalam masyarakat di
Aceh Besar telah merubah adat pergaulan muda-mudi.
Pada saat ini pergaulan antara Pemuda dengan pemudi
mulai agak “bebas” dibandingkan pada zaman dahulu.
Mereka dapat berpergian berdua dan bergaul secara akrab.
Cara pergaulan di sekolah yang tidak memisahkan antara
pemuda dan pemudi menjadi salah satu pengaruh kepada
proses perubahan tersebut. Namun perubahan ini belum
tampak seperti di kota-kota. Hal ini disebabkan pengaruh
perubahan di kota lebih banyak, seperti dengan pengaruh
film dan cara pergaulan kota. Dewasa ini di kalangan orang
tua menjadi gelisah melihat lajunya proses perubahan
pergaulan muda-mudi ini, sehingga dalam mencari jodoh
pun, orang tua tidak lagi dapat memaksakan kehendaknya
seperti dulu. Pemuda dan pemudi sudah boleh mencari

jodohnya sendiri sesuai dengan keinginannya dalam

29

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

perkawinan. Orang tua tinggal merestui apa yang diingini
anaknya.
B. Adat dan Upacara Perkawinan
Saat peralihan dari masa remaja ke masa
berkeluarga merupakan suatu yang berkesan bagi
seseorang atau masyarakat. Oleh karena itu, setiap
masyarakat di dunia hampir dipastikan mempunyai adat
dan upacara yang berkaitan dengan perkawinan. Masa ini
disebut masa perkawinan yang ditandai dan diawali
dengan adanya upacara perkawinan. Bentuk-bentuk
upacara perkawinan antara daerah satu dengan daerah lain
tidaklah sama. Pada umumnya orang-orang menggunakan
adat dan tata cara perkawinan yang sesuai dengan daerah
asalnya masing-masing, kendatipun orang

tersebut
mungkin tinggal di daerah lain atau kota lain. Hal tersebut
bisa terjadi karena masing-masing suku bangsa di dunia,
telah menciptakan suatu aturan yang mengatur
perkawinan ini secara turun-temurun.
1. Adat Sebelum Perkawinan.
Adat sebelum perkawinan merupakan ketentuan
yang berhubungan dengan perkawinan, tetapi tidak
termasuk ke dalam upacara perkawinan. Dalam hal ini
yang termasuk adat sebelum perkawinan adalah tujuan
perkawinan, perkawinan ideal dan pembatasan jodoh,
syarat-syarat kawin dan cara pemilihan jodoh.

30

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

a. Tujuan perkawinan menurut adat.
Perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang
bersifat naluriah bagi setiap makluk hidup. Pada dasarnya

perkawinan berfungsi untuk mengatur kelakuan manusia
dan kebutuhan biologisnya, untuk menyambung
keturunan. Agar semuanya dapat berjalan dengan baik dan
selaras dengan keinginan manusia, maka dibuatlah
bermacam-macam aturan yang kemudian menjadi adat
tradisi yang diwariskan secara turun temurun.
Koentjaraningrat (1990: 103) mengatakan sebagai berikut,
"Dipandang dari sudut kebudayaan manusia,
maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan
manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan
sexnya, terutama persetubuhan. Perkawinan
menyebabkan bahwa seorang laki-laki dalam
pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh
dengan wanita lain, tetapi hanya
satu
atau
beberapa wanita tertentu dalam masyarakatnya.
Kecuali sebagai pengatur kelakukan sexnya saja,
perkawinan juga mempunyai berbagai fungsi lain
dalam kehidupan kebudayaan dan masyarakat

manusia. Pertama-tama perkawinan juga memberi
ketentuan
hak
dan
kewajiban
serta
perlindungan kepada hasil persetubuhan, ialah
anak-anak; kemudian perkawinan juga memenuhi
kebutuhan manusia akan harta, akan gengsi
dan
naik
kelas
masyarakat;
sedangkan
pemeliharaan hubungan baik antara kelompokkelompok
kerabat
yang tertentu sering juga

31


Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

merupakan alasan dari perkawinan. Sungguhpun
demikian, lepas dari apapun juga, maksud dan
alasan dari perkawinan, perbuatan sex selalu
termaktub di dalamnya".
Masyarakat Aceh Besar dalam menyelenggarakan
perkawinan mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi kebutuhan biologis.
2. Untuk melaksanakan perintah agama.
3. Untuk memenuhi adat.
4. Tujuan yang bersifat ekonomi.

5. Tujuan untuk mempererat tali silaturrohmim dan
memperluas jaringsan keluarga serta kekerabatan
antara dua keluarga yang melakukan hubungan
perkawinan.
6. Tujuan untuk mencari ketenangan hidup.

b. Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh.

Masyarakat
Aceh
Besar
mengenal adanya
perkawinan yang ideal dan pembatasan jodoh. Perkawinan
yang ideal adalah perkawinan yang lebih disukai,
walaupun bukan merupakan suatu keharusan. Pembatasan
jodoh yang terdapat pada masyarakat Aceh Besar
menyebabkan masyarakat harus kawin di luar batas
lingkungan tertentu (eksogami). Masyarakat Aceh Besar
mempunyai pantangan untuk tidak melakukan perkawinan
dengan satu keluarga.

32

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

Masyarakat Aceh Besar, yang pada umumnya
beragama Islam, sangat mematuhi ajaran Islam tentang
perkawinan. Karenanya, perkawinan antara seorang lakilaki dengan anak saudara laki-laki ayahnya yang

perempuan tidak boleh terjadi karena menurut Islam orang
tersebut bersaudara. Di samping itu, perkawinan dengan
saudara kandung sendiri sangat dilarang dan tidak dapat
dibenarkan menurut agama, sedangkan perkawinan yang
ideal adalah perkawinan yang seagama. Kawin dengan
orang sekampung (satu rukun tetangga) walaupun
dibolehkan, tetapi dianggap kurang baik karena
sekampung biasanya tinggal berdekatan sekali. Hal ini
seolah-olah sudah tidak ada pergaulan yang luas dengan
kampung-kampung lain atau seolah-olah kurang laku
sehingga terpaksa mengawini orang yang tinggal di
sebelahnya sebagai tetangga dekatnya.
Pembatasan jodoh lainnya sangat berhubungan
dengan kepercayaan. Seperti telah disebutkan di atas,
bahwa masyarakat Aceh Besar menganut agama Islam
yang fanatik. Perkawinan dengan orang di luar agama
Islam (tidak seiman) sangat dilarang dan dianggap
membuat aib atau malu keluarga dan seluruh kampung,
kecuali jika yang dikawini itu seorang muallaf (telah
mengucapkan kalimat syahadat). Biasanya, sanksi yang

diberikan, orang yang bersangkutan tidak diakui lagi oleh
orang tua dan keluarganya serta dikucilkan dari kehidupan
masyarakat.
Selain pembatasan jodoh yang bersifat pantangan
kawin seperti tersebut di atas, pada masyarakat Aceh Besar

33

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

dijumpai pula perkawinan-perkawinan yang menjadi
preferensi umum (marriage preferences). Maksudnya,
perkawinan yang diharapkan oleh sebagian besar warga
masyarakat. Perkawinan semacam ini dianggap sebagai
perkawinan yang ideal.
Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Aceh Besar
adalah perkawinan yang dilakukan dengan orang yang
kedudukannya setara atau seimbang. Perkawinan yang
setara kedudukannya itu di lingkungan masyarakat Aceh
Besar bukan berarti keduanya harus berasal dari keturunan

bangsawan, tetapi dapat saja mereka yang akan
melangsungkan perkawinan berasal dari orang yang
mempunyai kedudukan yang sama dalam hal kemampuan
sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, kebanyakan mereka
mencari jodohnya di lingkungan orang-orang yang samasama senasib, sepertinya perkawinan antara orang yang
berpendidikan tinggi dengan orang yang berpendidikan
tinggi pula, orang dari klas menengah dengan orang yang
berasal dari klas yang sama. Perkawinan ini juga sangat
ditentukan oleh akhlak dari masing-masing calon
pengantin. H.T. Ubit (Laka Kec. Ingin Jaya, 1992: 2)
menyatakan bahwa
“Dalam konteks mencari judo (calon istri) orang tua
sangat berpengaruh untuk mengupayakan agar
calon istri/suami anaknya benar-benar yang cocok,
baik dipandang dari segi adat maupun segi syara’.
Untuk maksud tersebut orang tua selalu berusaha
agar perkawinan yang serasi dan sekufu. Dengan
pertimbangan agar hidup berumah tangga anaknya

34

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

nanti diharapkan mendapat rumah tangga yang
sakinah. Dalam rangka memenuhi apa yang
dimaksud di atas, dalam memilih judo tersebut
sangat diperhatikan hal-hal seperti yang sederajat,
seagama, yang cantik rupa, yang taat beribadah,
yang berharta, dan yang berbudi pekerti baik”.
Perkawinan dengan saudara sepupu, walaupun
boleh dilakukan menurut agama Islam, tetapi jarang
dilakukan oleh orang-orang Aceh Besar, karena dianggap
terlalu dekat atau dianggap sebagai saudara sendiri
(kerabat sendiri).
c. Bentuk Perkawinan.
Pada dasarnya hanya ada satu bentuk perkawinan
yang terpuji menurut adat yaitu perkawinan dengan
peminangan, terutama bagi para gadis dan jejaka. Pihak
keluarga pria mengirim utusan sebagai wakil orang tuanya
untuk meminang anak gadis dari keluarga lain. Pinangan
dilakukan secara adat. Jika sudah ada kata sepakat, maka
ditentukan oleh kedua belah pihak hari pelaksanaan
perkawinan bertempat di rumah orang tua gadis, yang
dipimpin oleh keuchik atau pemangku adat. Setelah
perkawinan selesai, untuk sementara pengantin bertempat
tinggal di rumah orang tua dara baro.
Bentuk perkawinan yang lain jarang terjadi. Bentuk
perkawinan yang lain di antaranya, kawin lari. Perkawinan
ini terjadi karena apabila orang tua kedua belah pihak tidak
setuju atas percintaan anak-anak mereka. Misalnya, karena

35

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

tidak seagama, bertabiat buruk atau tidak sopan, baik pria
maupun gadis, sedangkan keduanya sudah saling
mencintai dan sudah memutuskan untuk kawin. Secara
diam-diam keduanya melarikan diri ke tempat lain untuk
menghadap kadli/pegawai Kantor Urusan Agama agar mau
menikahkan mereka. Sesuai dengan perintah agama,
keduanya harus dinikahkan, agar tidak berbuat zina.
Masyarakat tidak mempermasalahkan orang yang kawin
lari karena tidak melanggar ketentuan agama. Hanya saja,
untuk sementara waktu keduanya belum direstui oleh
orang tua kedua belah pihak. Apabila mereka sudah
mempunyai anak, hidup bahagia, dan datang kepada orang
tua masing-masing untuk meminta maaf, mereka akan
direstui sebagai suami-istri. Perkawinan ini jarang terjadi
dan tidak dilazimkan oleh adat.
Kawin gantung, seperti pada beberapa suku bangsa
lainnya, tidak begitu dikenal pada masyarakat masyarakat
Aceh Besar karena dianggap suatu hal yang kurang layak.
Menurut H. T. Ubit (Laka Kec. Ingin Jaya, 1992: 1)
menyatakan bahwa
“Bagi orang Aceh yang kawin dibawah umur,
dianggap suatu hal yang kurang layak di mata adat,
maka perkawinan yang demikian disebut kawin
gantung”.
Sedangkan perkawinan ganti tikar, walaupun ada
juga jarang terjadi pada masyarakat Aceh Besar.
Perkawinan ganti tikar ini terjadi jika istri meninggal dunia,
maka suami kawin dengan adik atau kakak istrinya. Hal ini
dilakukan karena untuk memelihara keutuhan keluarga

36

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

dan hubungan kekerabatan. Anak-anak mereka dapat
dididik/dirawat seperti anak sendiri dan keguyuban dapat
pula terjaga seperti sedia kala.
d. Syarat-Syarat Kawin
Sebelum melakukan perkawinan, seseorang terlebih
dahulu harus memenuhi syara-syarat yang telah
ditentukan. Syarat-syarat kawin dalam agama Islam, di
antaranya harus ada wali, ada yang menerima nikah, ada
saksi dan mahar. Dengan kata lain, perkawinan Islam yaitu
suatu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali
pengantin perempuan, disaksikan oleh sedikit-dikitnya dua
orang di mana ijab-kabul (aanbodaanname) disebutkan dan
mas kawin ditentukan (Soekanto, 1981: 116). Di samping
itu terdapat pula syarat-syarat perkawinan dalam bentuk
adat, seperti yang dikatakan Koentjaraningrat (1990: 103)
sebagai berikut,
".........perkawinan itu merupakan suatu peristiwa
sosial yang luas, maka orang yang mengambil
inisiatif (biasanya dari pihak laki-laki) untuk kawin
harus memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat untuk
kawin itu, yang dapat dilihat dalam adat-istiadat
berbagai suku bangsa di dunia, bisa berupa tiga
macam, yaitu: (a) mas kawin atau bride price, (b)
pencurahan tenaga untuk kawin atau bride-service,
(c) pertukaran gadis atau bride exchange".
Pada masyarakat Aceh Besar syarat-syarat
perkawinan dapat digolongkan ke dalam bentuk mas

37

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

kawin atau mahar. Syarat-syarat lain yang menentukan
seseorang boleh melakukan perkawinan yaitu orang
tersebut harus sudah dewasa. Di Aceh Besar, pemuda
dianggap dewasa, jika sudah berumur 18-22 tahun atau
sudah akil baliq (sweat dream). Biasanya, dalam umur ini,
pemuda-pemuda Aceh melakukan perkawinan untuk
pertama kalinya, sedangkan gadis dianggap sudah dewasa
jika sudah berumur 16-20 tahun atau sudah mendapatkan
haid pertama. Inisiatif untuk melakukan perkawinan
datangnya dari pihak pemuda, sedangkan wanita hanya
menerima saja. Dalam hal ini timbul istilah kon mon mita
tima yang artinya bukanlah sumur mencari timba, tetapi
sebaliknya. Menurut masyarakat Aceh Besar pada
umumnya, sebelum melakukan perkawinan, orang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Sudah dapat membaca Al-Qur'an dengan lancar. Orang
akan malu, jika pada malam bulan Ramadlan (Puasa)
tidak dapat turut serta dalam pengajian Al-Qur'an yang
disebut meudaruih atau tadarus.
2. Dapat mengerjakan sembahyang lima waktu,
sembahyang Jum'at, sembahyang Hari Raya Idul Fitri
dan Idul Adha (Hari Raya Haji). Begitu juga perintahperintah agama Islam lainnya. Ia juga harus mengetahui
kewajiban-kewajiban
agama
yang
menyangkut
perkawinan.
3. Mengetahui adat sopan-santun dalam pergaulan seharihari dengan masyarakat.
4. Sehat jasmani dan rohani. Unsur kesehatan jasmani dan
rohani merupakan pertimbangan bagi para orang tua

38

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

atau keluarga sebagai syarat untuk melangsungkan
perkawinan anaknya baik pria atau wanita.
Persyaratan terakhir untuk sahnya perkawinan, di
samping harus ada wali juga harus ada taklik. Taklik
artinya ikrar yang harus diucapkan oleh pria waktu
dinikahkan oleh wali. Sedangkan wali ini ada dua macam,
yaitu wali nazab dan wali hakim. Wali nazab adalah orang
tua (ayah kandung) dari dara baro dan wali hakim adalah
orang lain yang dikuasakan untuk menikahkan (keuchik
atau pegawai KUA).
Sebelum perkawinan dimulai, antara orang-orang
tua dari kedua belah pihak mengadakan pembicaraan nonformal. Setelah ada kata sepakat, orang tua pihak laki-laki
secara resmi mengutus seseorang yang dituakan untuk
mewakili sebagai seulangke. Jabatan seulangke ini dahulu
dianggap terpandang, karena orangnya di samping harus
tahu adat-istiadat, harus tahu pula hukum-hukum Islam,
khususnya mengenai hukum perkawinan.
Sebelum seulangke tersebut diutus ke pihak wanita,
keluarga dari pihak pria berusaha untuk melakukan
pengamatan yang dalam bahasa Aceh disebut phaj. Phaj ini
dilakukan agar perkawinannya kelak berbahagia. Jika
menurut pengamatan phaj tersebut dinyatakan tidak akan
dapat berbahagia, maka perlu diadakan perubahan nama
dari pihak pria atau dari pihak wanita. Jika hal ini tidak
mendapat persetujuan dari pihak keluarga wanita, maka
perkawinan dibatalkan.
Bagi masyarakat Aceh Besar jiname (mas kawin atau
mahar) merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan

39

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan aturan
dalam agama Islam di mana pihak pengantin laki-laki
diharuskan membayar sejumlah uang kepada calon
istrinya. Jiname (mas kawin atau uang mahar) tersebut
kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan
keluarganya. Pada masa pertunangan biasanya pihak orang
tua si jejaka membawa emas 1 atau dua mayam sebagai
tanda pertunangan dan tidak jarang pula juga dibawa 1 stel
pakaian dan panganan. Masa pertunangan inilah nantinya
yang apabila si perjaka menarik diri, maka mas yang
dibawa tersebut hilang (hangus) dan apabila pihak si gadis
menarik diri, maka mas tanda pertunangan tersebut
dikembalikan dengan ganda dua (2 x) (Imeum Aceh Besar
Bekerja sama dengan LPPM. Propinsi Daerah Istimewa
Aceh, 2001). Ketentuan ini hampir dilaksanakan di setiap
kecamatan di Kabupaaten Aceh Besar.
Jumlah jiname tersebut biasanya ditentukan menurut
jumlah jiname dari kakak-kakaknya yang terdahulu.
Apabila anak yang akan dinikahkan itu anak pertama,
maka ukuran jiname menurut kebiasaan yang berlaku
dalam kerabat yang disesuaikan dengan tingkat sosial
ekonominya. Biasanya jiname1 berkisar dari 5 sampai
1

Pada zaman Kerajaan Aceh dahulu besarnya jiname untuk
seorang gadis, ditentukan menurut tingkat dan kedudukannya dalam
masyarakat. Sebagai contoh, misalnya:
1. Untuk putri Sultan sebesar 1.000 ringgit.(Alfian, 1977: 123).
2. Anak perempuan dari seorang tuanku sebesar 500 ringgit Aceh
(sekati emas).
3. Anak perempuan dari ureueng ulee (orang terkemuka) dalam
kelompok famili raja seperti cut dan meurah, uleebalang dan

40

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

dengan dua puluh lima mayam2 mas 24 karat. Emas 24
karat adalah emas 90 % sampai 97 %.
Saat ini penentuan jiname tidak lagi dengan jumlah
ringgit, tetapi telah diganti dengan sejumlah emas atau
dengan uang yang diukur dengan harga emas. Bahkan ada
pula golongan orang-orang kaya tertentu yang jinamenya
hanya berwujud kitab suci Al-Qur'an dan seperangkat
kelengkapan shalat. Besarnya jiname antardaerah tidak
sama. Misalnya, di daerah Kecamatan Leupung, besarnya
jiname untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah
8 – 12 mayam emas dan 15-20 mayam emas untuk orang
mampu.
e. Cara Memilih Jodoh.
Memilih jodoh tidak dilakukan oleh pemuda dan
pemudi yang bersangkutan, tetapi oleh orang tuanya. Di
lain-lain yang sederajat, sebesar 100 ringgit Aceh (4 bungkal
emas).
4. Anak perempuan dari orang pertengahan, seperti imeum,
Keuchik, Teungku Meunasah dan sebagainya ditentukansebesar
50 ringgit Aceh (2 bungkal emas).
5. Mas kawin dari anak perempuan yang sangat miskin orang
tuanya adalah satu atau dua tahil (the). Sedangkan besarnya
jiname (mahar) untuk wanita janda, ditentukan menurut
kesepakatan kedua belah pihak (di bawah tangan).(Hoesin, 1978:
45).
2

Mayam adalah ukuran mas untuk orang Aceh. Satu mayam
kira-kira sama dengan 3, 30 gram.

41

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

lingkungan masyarakat masyarakat Aceh Besar, pada
prinsipnya tidak ada media pergaulan formal yang
mempertemukan antara pria dan wanita, apalagi yang
mengarahkan mereka ke perkawinan. Jika pemuda dan
pemudi telah pantas untuk kawin, maka orang tualah yang
berperan dalam mencarikan jodoh anak-anaknya. Konsepsi
dasar pola berpikir masyarakat Aceh Besar tentang
perkawinan lebih banyak tertuju pada pihak laki-laki. Jika
seorang laki-laki telah cukup umur, tingkah lakunya sudah
dewasa, sudah dapat berusaha sendiri, dan memiliki
pengetahuan dalam pergaulan dengan lingkungannya,
maka orang tuanya berkewajiban mencarikan jodoh
anaknya.
Seseorang yang akan mencarikan jodoh anaknya,
terlebih dahulu ia akan mengundang kawom untuk
duekpakat (musyawarah). Apabila duekpakat telah ada
kesesuaian untuk meminang seorang gadis, maka
ditugaskan
seorang
seulangke
(utusan)
untuk
menyampaikan maksud kepada pihak laki-laki. Untuk ini,
seulangke sering menggunakan pantun-pantun tradisi
dengan kata-kata yang halus, sopan dan hormat. Apabila
maksud lamaran itu ditolak, biasanya orang tua si gadis
memberikan alasan yang halus pula supaya pihak laki-laki
tidak tersinggung. Apabila lamaran itu diterima, biasanya
orang tua si gadis meminta tempo sekitar tiga hari untuk
duekpakat dengan kerabatnya. Setelah itu, pihak keluarga si
gadis mengirimkan kembali khabar kepada pihak laki-laki
untuk datang kembali meminang. Kemudian serombongan
utusan dari pihak laki-laki yang terdiri dari keuchik (Kepala
Kampung), seulangke dan beberapa orang penting datang ke

42

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

rumah si gadis untuk meminang. Begitu pula pihak
keluarga si gadis telah menanti atas kedatangan
peminangan tersebut. Rombongan yang menanti itu terdiri
dari keuchik, dan beberapa orang yang dirasa perlu
diundang. Setelah disampaikan maksud kedatangan
rombongan oleh keuchik atau seulangke yang disertai dengan
bate sirih pertunangan, dulang berisi pakaian dan alat-alat
rias wanita, serta sebentuk perhiasan emas diserahkan
kepada keluarga si gadis. Benda-benda ini disebut dengan
tanda kong haba. Setelah menerima benda-benda ini pihak
keluarga si gadis tidak dibenarkan menerima lamaran
orang lain. Apabila ketentuan ini dilanggar pihak keluarga
gadis akan didenda secara adat sebanyak dua kali lipat dari
tanda kong haba yang harus dikembalikan kepada pihak
keluarga laki-laki.
Pada hari peminangan tersebut di atas, diadakan
pula perikatan janji mengenai:

1. Jumlah jiname (mahar atau mas kawin).
2. Tahap-tahap proses yang harus dilalui seperti (a)
tunangan; (b) nikah gantung; (c) nikah pulang terus
(Alfian, 1978: 134)
Mengenai tahap-tahap proses yang dilalui dalam
suatu perkawinan, biasanya sudah ada perjanjian pada saat
meminang dilakukan. Apakah perkawinan itu dilakukan
tunangan dahulu, nikah gantung atau nikah pulang terus.
Kalau perkawinan tersebut dengan tunangan dahulu, maka
ditentukan saat akad nikah (ijab kabul), saat peresmian
perkawinan dilakukan. Sedangkan pemberian jiname,

43

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

adakalanya diberikan setengah dahulu, dan adakalanya
pula diberikan sekaligus pada saat akad nikah.
Sedangkan nikah gantung hampir sama dengan
pertunangan. Bedanya calon suami-istri tidak diikat oleh
pertunangan, tetapi diikat oleh akad nikah. Calon suamiistri belum boleh bergaul dahulu sebelum masa peresmian
dilakukan seperti juga dalam masa pertunangan di atas.
Nikah gantung ini dilakukan biasanya karena calon istri
belum dewasa atau masih sangat muda. Kawin gantung ini
di masyarakat Aceh Besar sudah jarang dilakukan.
Nikah pulang terus adalah suatu sistem perkawinan
yang paling lazim dilakukan dewasa ini di Aceh Besar.
Akad nikah dilakukan pada saat peresmian perkawinan.
Dengan demikian suami-istri dapat terus tinggal bersama
untuk membina rumah tangga. Sistem perkawinan ini tidak
banyak melalui tahap-tahap, karena tidak melalui
pertunangan, dan perkawinan dahulu, kemudian baru
pulang. Dengan demikian biaya pernikahan relatif dapat
ditekan.
2. Upacara dan Pesta Perkawinan.
a. Upacara Sebelum Perkawinan
Dalam hal ini upacara sebelum perkawinan
maksudnya adalah upacara-upacara yang dilakukan waktu
sebelum adanya ijab dan kabul atau akad nikah dan
sebelum pesta perkawinan dilangsungkan. Ke dalamnya
termasuk cara-cara perkenalan antara calon suami dan istri,

44

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

upacara-upacara peminangan
berhubungan dengan itu.

dan

hal-hal

lain

yang

b. Acara perkenalan sebelum perkawinan (Cah rot)
Pada zaman dahulu umumnya tidak terdapat
perkenalan antara pemuda dan gadis sebelum mereka
kawin. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa pria atau
wanita yang akan kawin tidak diberi tahu lebih dahulu.
Fischer (1954: 80) mengatakan bahwa pilihan kawin
berlangsung di luar pemuda-pemudi itu sendiri. Hal ini
terlihat pada masa sebelum kemerdekaan, bahwa pemuda
Aceh terpisah dengan pemudi dalam adat pergaulannya.
Pemuda biasanya bergaul bersama pemuda dalam wadah
kelompok-kelompok tertentu, seperti kesenian, olah raga
dan berburu. Pemudi mempunyai pula kelompok
tersendiri, biasanya kelompok ini sibuk untuk mempelajari
bermacam-macam ketrampilan. Kesibukan ini biasa
dilakukan pada rumah-rumah janda tua, seperti belajar
menganyam tikar dan lain-lain kepandaian putri. Di bidang
kesenian merupakan kelompok tersendiri seperti kelompok
tari pho, laweut ratep meuseukat dan lain-lain.
Keterbatasan pergaulan antara muda-mudi, bukan
saja disebabkan dibatasi wadah-wadah kelompok tersebut
di atas, tetapi adat telah terlebih dulu melarang pergaulan
bebas antara pemuda dan pemudi. Apabila seseorang
datang bertamu ke suatu rumah, ia tidak boleh masuk ke
rumah tersebut, apabila suaminya tidak ada di rumah.
Bahkan tamu tadi dilarang masuk ke dalam pekarangan
rumah. Apalagi untuk menjumpai seorang gadis. Dengan

45

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

demikian, acara perkenalan sebelum perkawinan
dilangsungkan hampir tidak ada. Pemuda dan pemudi
menerima apa adanya yang disodorkan oleh orang tuanya
dalam menjodohkan anak-anaknya.
Cah rot ini dimulai dengan mencari info oleh ibu si
pemuda atau melalui orang yang dipercayakan. Cara
penjajakan (mencari tahu ini), ibu si pemuda atau utusan
ibunya mendatangi salah seorang famili dekat. Biasanya
juga seorang perempuan untuk menyampaikan atau
bertanya-tanya apakah si anak dara tersebut sudah ada
yang empunya. Maksudnya apakah sudah dijodohkan
dengan seorang pemuda atau belum. Jika belum, dia akan
mengemukakan maksudnya, yaitu kalau mungkin
dijodohkan dengan si pemuda yang dimaksud. Kalau abaaba yang dibawa oleh si penghubung tadi disambut baik
akan disampaikan kepada orang tua si anak perempuan,
maka acara cah rot ini selesai. Selanjutnya adalah acara
meulakee (LAKA Kec. Leupung, 2002: 6)
Dewasa ini di kalangan orang tua tidak lagi dapat
memaksakan kehendaknya seperti dulu. Pemuda dan
pemudi sudah boleh mencari jodohnya sendiri sesuai
dengan keinginannya dalam perkawinan. Orang tua tinggal
merestui apa yang diingini anaknya.
c. Masa Peminangan (meulakee)
Sebelum melakukan pekerjaan yang telah menjadi
urusannya, seulangke juga memperhatikan hari baik. Ini
didasarkan pada sehari pada bulan Islam jatuh pada hari

46

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

langkah, hari ke dua jatuh pada rezeki, hari ketiga jatuh
pada pertemuan (peuteumuen), hari keempat jatuh pada hari
maut dan seterusnya berulang kembali seperti tersebut.
Hari yang baik menurut perkiraannya itu adalah rezeki
atau hari peuteumuen. Orang Aceh mengetahui dengan baik
bahwa langkah, rezeki, pertemuan dan maut berada dalam
tangan Allah. Namun mereka selalu berusaha supaya
mereka mendapat kebajikan di dunia dan akhirat.
Ketika melamar, seulangke mempergunakan katakata yang telah lazim menurut tradisi yang maksudnya
kira-kira: "Hamba datang mengunjungi tuan, disebabkan
Teuku A telah meminatnya. Beliau mohon supaya tuan
dapat menerima anaknya yang laki-laki sebagai pelayan
tuan. Jawaban dari ayah wanita : "Itu tidak patut, karena
kami orang miskin". Seulangke mendesaknya dan pada
penghabisan ayah wanita itu memberikan jawaban. "Segala
pembicaraan tuan ingin kami memenuhinya. Kami yang
sebenarnya mempunyai rendah kebangsaan dan dalam
penyelesaian urusan banyak dijumpai kekurangan. Karena
itu hamba tidak tahu, bagaimana seharusnya diberikan
jawabannya."
Setelah lamaran itu diterima oleh ayah si gadis
dengan persetujuan ibunya, seulangke itu kembali pada
ayah si pria yang hendak kawin dan melaporkan bahwa
lamaran telah berhasil baik. Selanjutnya, ia mengundang
ayah pemuda itu bersama-sama dia mengunjungi keuchik
dan teungku meunasah dari kampung, di mana gadis itu
tinggal untuk menetapkan hari penyerahan tanda telah

47

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

bertunangan
pertunangan.

(peukong

haba/narit)

sebagai

hadiah

Sebelum mereka memulai urusan itu, orang tua dari
pemuda meminta izin pada keuchik dan teungku meunasah
untuk dapat melakukan perkawinan. Orang tua dari anak
dara pun melakukan hal yang sama, yaitu setelah
diterimanya kunjungan pertama dari tuan seulangke.
Perkawinan menurut adat Aceh Besar, dahulu kala
bukan hanya urusan famili yang berkepentingan, tetapi
juga urusan kampungnya. Keuchik mempunyai hak untuk
melarang berlangsungnya perkawinan seorang pemuda ke
kampung lain, jika jumlah gadis-gadis yang belum menikah
jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pemudanya.
Susunan pembicaraan antara orang tua gadis
dengan keuchiknya: Barusan A seulangke sudah datang
untuk menyampaikan kata-kata dari teuku B (ayah dari pria
yang akan kawin) yaitu meminta anak kami untuk beliau.
Hal inilah kami ceritakan kepada teuku keuchik ? Jawaban
keuchik: "Apa yang dapat saya campuri dalam hal itu.
Terserahlah kepada tuan sendiri untuk memikirkan yang
baik tentang anak itu."
d. Bawaan Hadiah Pertunangan.
Untuk menentukan pertunangan, orang Aceh juga
menentukan hari dan biasanya pada bulan purnama,
tanggal 14 atau 15 bulan Islam. Jika hal ini berhalangan

48

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

dapat digeser pada tanggal 22. 3 Biasanya yang membawa
tanda tunangan bukan orang yang menjadi famili dari
pemuda yang bersangkutan, tetapi keuchik, teungku
meunasah dan beberapa orang tua dari kampung pemuda
itu serta seulangke. Tanda konghaba ini diterima oleh keuchik,
teungku imum/meunasah dari kampung si gadis.
Selain dari tanda kong haba (pertunangan), dibawa
serta sirih yang sudah disusun (ranub dong) yang terdiri
dari sirih, pinang dan telur ayam/itik yang sudah dimasak
(geureuboih) dan dicelup dengan warna merah, hijau dan
lain-lain serta dipermainkan kertas tipis-tipis beraneka
ragam. Tanda kong haba itu di antaranya yaitu satu mayam
emas, kain sarung, kain baju, kain selendang, masingmasing satu helai. Saat ini, barang-barang itu ditambah
jenisnya, di antaranya slof, sabun mandai, minyak wangi
dan lain-lain. Selain itu, dibawa pula satu talam/baki telur
ayam/bebek rebus yang telah diberi warna dan disertakan
pula karangan bunga kenanga, seumanga.
Bawaan itu kemudian dibalas oleh pihak calon dara
baro dua atau tiga talam/hidang penganan (halwa Meusekat)
yang yang diikuti oleh satu talam kecil sirih tersusun
(renubgapu). Kemudian naik ke rumah (ek u rumoh)
dipersilahkan oleh pihak dara baro. Ranub dong yang dibawa
pihak linto, untuk sementara disisihkan. Orang-orang yang
mengantar linto laki-laki dan wanita-wanita sebagai besan,
ketika hampir tiba di rumah dara baro, dijemput dan

3

Di Kecamatan Kuta Cotglie biasanya acara pertunangan ini
dilaksanakan pada 6,12, 22 hari bulan Islam (Laka Kec. Kutaglie, 2002: 1)

49

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

ditunggui oleh pihak dara baro, laki-laki dijemput oleh lakilaki dan besan dijemput oleh wanita.
Para tamu kemudian diberi sirih oleh pihak dara baro
yang sudah tersedia di dalam cerana. Seorang yang
dituakan dari pihak pengantin laki-laki berbicara dalam
bahasa Aceh yang maksudnya bahwa mereka datang
menghadap teuku keuchik, teungku meunasah dan orangorang tua kampung setempat untuk menyerahkan
pengantin laki-laki (linto), dengan menanyakan, apakah
mereka itu bersedia menerimanya. Secara berkelakar,
pertanyaan itu dijawab oleh orang yang dituakan dari
pihak dara baro. Setelah mengobrol, akhirnya diterima.
Keuchik meunasah dan beberapa orang tua yang
mewakili calon linto mengantarkan tanda kong haba ke
rumah dara baro yang telah ditunggu pula oleh keuchik
meunasah dan beberapa orang tua dari kampungnya.
Kemudian salah seorang dari pihak calon linto yang
mengantar tanda kong haba, mengambil tanda pertunangan,
misalnya sebentuk cincin mas atau tusuk sanggul,
perhiasan rambut (bungong preuek) dan menyerahkannya
kepada calon dara baro, sambil mengatakan bahwa barangbarang tersebut adalah tanda pertunangan.
Biasanya pertemuan mengenai penyerahan tanda
kong haba itu, diakhiri dengan mengadakan kenduri yang
dihadiri oleh pihak linto dan pihak dara baro. Berakhirnya
acara ini, berarti pertunangan secara resmi telah dilakukan,
dan masing-masing pihak harus menjaga statusnya sebagai
orang yang telah bertunangan (Hoesin, 1978: 18-20). Masa
pertunangan yang lazim dilaksanakan di Aceh Besar adalah

50

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

rata-rata 6 bulan atau 1 tahun (sesuai kesepakatan kedua
belah pihak).
Jika pertunangan itu diputuskan oleh pihak dara
baro, oleh uleebalang ia dikenakan hukuman denda yang
harus diberikan kepada kepala adat. Ada juga yang
diselesaikan secara di bawah tangan dan disaksikan oleh
keuchik. Pihak dara baro harus mengembalikan tanda
pertunangan senilai dua kali lebih banyak.
e. Upacara Peresmian Perkawinan.
Beberapa hari sebelum diadakan peresmian
perkawinan4, kerabat kedua belah pihak tampak sibuk
mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan upacara. Oleh
karena itu masa peresmian sering pula disebut dengan
meukeureuja. Tempat-tempat menerima tamu dibuat
dimuka rumah yang disebut dengan seung (tenda). Dapur
untuk memasak dibuat dibelakang atau di samping rumah,
agar jangan kelihatan oleh tamu-tamu undangan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum
pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari
tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca
(berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan
4

Waktu yang baik untuk melaksanakan upacara peresmian
perkawinan, misalnya di Kecamatan Lembah Seulawah adalah 2, 6, 12, 16,
atau 22 hari bulan Islam karena tanggal tersebut dipercaya mengandung
sempena baik dan jarang sekali pernikahan dilakukan pada bulan Safar
karena dianggap tidak bersempena sehingga dapat memberi pengaruh pada
kehidupan rumah tangga kelak (Usman, 2002:1).

51

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan
dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara
meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam
pertunjukan kesenian5 seperti tari rabana, hikayat, pho, silat,
dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Setelah tiba saat hari pesta, kerbau atau lembu telah
disembelih pada menjelang subuh, untuk menerima
(persiapan) tamu-tamu undangan dan sanak keluarga yang
datang. Sanak keluarga biasanya sudah berkumpul di
rumah, beberapa hari sebelum pesta dilangsungkan. Tamutamu undangan lainnya pagi sampai petang. Tamu-tamu
yang termasuk kawom membawa beberapa macam hadiah
yang akan dipersembahkan kepada kerabatnya yang akan
naik ranjang pengantin. Hadiah-hadiah tersebut ada yang
berupa sebentuk cincin, atau kalung dari emas, ada pula
yang membawa kambing dan lain-lain kebutuhan untuk
pesta. Barang-barang bawaan ini disebut dengan bungong
jaroi. Tamu-tamu undangan biasanya membawa uang yang
diisi dalam sampul, kemudian diberikan kepada pengantin
melalui panitia pesta.
Setelah selesai menerima tamu-tamu undangan di
rumah masing-masing, maka pada malamnya akan
dilanjutkan dengan upacara intat linto (antar pengantin
laki-laki ke rumah dara baro (pengantin perempuan).
Pakaian kebesaran adat Aceh menghiasi linto baro. Baju dan
celana panjang berpola hitam di atasnya dililit dengan kain
sarung, sebilah rencong di pinggang dan kupiah meukeutop,
5

Pada saat ini bentuk kesenian yang disajikan masyarakat dalam
upacara peresmian perkawinan berupa permainan keybord.

52

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

merupakan pakaian kebesaran adat perkawinan Aceh.
Setelah selesai linto baro berpakaian, ia diiringi oleh
rombongan dengan dipayungi oleh teman-teman
sejawatnya, menuju ke rumah dara baro. Rombongan
dipimpin oleh keuchik (Kepala Kampung) dan teulangkee.
Turut pula rombongan untuk menyelesaikan masalahmasalah yang penting seterti untuk membawa barangbarang yang akan dipersembahkan kepada dara baro.
Barang-barang bawaan ini disebut dengan peuneuwoi.
Barang-barang ini biasanya dimasukkan ke dalam sebuah
dulang. Dalam dulang ini berisi beberapa salin pakaian
seperti baju, selendang, kain panjang dan sarung, selop
jenis pakaian dalam dan alat-alat rias wanita. Di samping
dulang pakaian ini terdapat pula sebuah dulang lagi yang
berisi jenis makanan-makanan seperti roti kaleng, pisang,
gula dan lain-lain lagi. Kadang-kadang ada yang disertai
lagi dengan sebuah bibit kelapa atau sebatang tebu yang
masih berdaun, sebagai simbolik bahwa perkawinan itu
sebagai seorang petani yang menanam tumbuh-tumbuhan
yang mengharap akan hasilnya.
Beberapa meter menjelang rombongan tiba di rumah
dara baro seseorang di antaranya mengucapkan allahumma
shalli ala sayiddina Muhammad, lalu pengikut rombongan
menyambut serempak dengan shallu alaih, tiga kali
berturut-turut. Salah seorang pihak keluarga pengantin
perempuan dengan didampingi oleh beberapa orang
kawan datang menjemput linto baro sambil seupeuk breuh
padee (menabur beras padi). Kadang-kadang pada saat

53

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

menyambut rombongan linto baro sering dipertunjukkan
silat 6 antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Pada saat seupeuk breuh padee tadi, bersama dengan
kata-kata sapa linto (selamat datang) dengan kata-kata
berirama petatah-petitih yang mengandung nasihat dan
puji kepada linto baro. Kemudian linto baro dibimbing oleh
salah seorang wanita tua untuk dibawa ke ruang muka,
sebelum linto baro duduk di pelaminan. Tempat duduk
sementara di ruang muka ini, sudah disediakan sebuah
tilam (kasur) bersulam benang emas, bantal dan kipas
terletak di sampingnya.
Rombongan linto yang perempuan langsung masuk
ke kamar pengantin, dan yang laki-laki diterima dalam
sebuah seung (tenda) di muka rumah. Tidak berapa lama
kepada rombongan dipersilahkan makan. Kepada kerabat
linto baro yang terdekat, dan teman-temannya yang
memayungi tadi diberikan hidangan khusus yang
ditempatkan di dalam dulang. Hidangan ini disebut dengan
nama idang bu bisan. Kata bisan adalah untuk panggilan
antara mertua dengan mertua. Idang bu bisan yang
diberikan oleh pihak dara baro, adalah hidangan khusus
kepada ibu linto baro (Alfian, 1977: 102).
Setelah rombongan selesai makan, maka diadakan
acara pernikahan (meugatieb/meunikah). Acara ini dilakukan
oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah
dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di
samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi.
Kemudian jiname (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan
6

Acara silat ini sudah jarang dilaksanakan.

54

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

selanjutnya kadli membaca do'a (khutbah) nikah serta lafadz
akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan
fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli
mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi
belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz
nikah tersebut dengan sempurna.
Acara pernikahan seperti di atas dilakukan dalam
bentuk perkawinan nikah pulang terus. Namun dalam
bentuk perkawinan nikah gantung, bukan dilakukan pada
saat peresmian. Nikah pulang terus seperti yang sering
dilakukan oleh masyarakat Aceh, biasanya dilakukan di
rumah dara baro. Setelah selesai acara nikah, linto baro
dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro
telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara
baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya.
Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto.
Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro
memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut
dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai
dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang
menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian
kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan
meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng
(disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang
kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak
linto baro menyuntingi dara baro dan keluarga pihak dara
baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang

55

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan
pulut kuning di telinga pengantin, juga memberikan
sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini
lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian
disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka
rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya.
Dan linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula
linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro,
tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat,
bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai
siang.
f. Upacara Intat Dara Baro.
Proses upacara intat dara baro (antar pengantin
perempuan) ke rumah linto baro, mempunyai pola yang
sama pada seluruh masyarakat Aceh Besar. Hanya ada
perbedaan di segi istilah-istilah, dan bawaan yang akan
dipersembahkan kepada pihak pengantin laki-laki atau
pengantin perempuan, tampaknya saling lengkapmelengkapi.
Proses upacara intat dara baro masyarakat Aceh Besar
pada umumnya dilakukan setelah tiga hari, bahkan ada
yang setelah tujuh hari selesai malam pengantin. Keluarga
pihak linto baro kembali mengutuskan teulangke ke pihak
dara baro untuk menyampaikan keputusan penjemputan
dara baro. Setelah ada kata mufakat kedua belah pihak,

56

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

maka teulangke kembali untuk menyampaikan saat waktu
menerima dara baro. Sejak saat itu kedua belah pihak sudah
sibuk sekali dengan persiapan-persiapan untuk keperluan
upacara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah
rombongan dengan mengiringi dara baro dan linto baro
menuju ke rumah pihak pengantin laki-laki. Rombongan ini
terdiri dari sanak keluarga, jiran setempat dan kawankawannya. Biasanya rombongan ini semuanya perempuan,
kecuali seorang teulangkee dan beberapa orang kawannya
untuk keperluan tertentu seperti untuk mengangkat barang
bawaan dara baro kepada mertuanya.
Kedua mempelai linto baro dan dara baro berpakaian
adat lengkap seperti pakaian pada hari upacara
pengresmian dahulu. sepanjang jalan ia dipayungi oleh
teman-teman sebayanya secara bergantian. Kedatangan
rombongan ini sudah ditunggu di pekarangan rumah oleh
beberapa wanita. Mereka disuguhi dengan batil sirih
sebagai tanda penerimaan tamu. Kemudian tamu tersebut
dipersilakan naik ke rumah pada ruang pengantin. Linto
baro dan dara baro langsung dipersilakan duduk di atas
pelaminan persandingan, seperti pada upacara peresmian
(Alfian, 1977: 140).
Setelah selesai acara makan rombongan, salah
seorang di antara mereka menyerahkan secara adat semua
bawaan tadi dalam sebuah dulang kepada pihak mertua.
Dulang tersebut diterima oleh salah seorang wanita
terkemuka. Kemudian barang-barang bawaan ini
diperlihatkan kepada Keuchik kampung setempat, kepada

57

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

kerabat dan jiran setempat. Barang-barang bawaan ini
biasanya dibagi-bagi kepada kerabatnya dan jiran. Terlebih
dahulu oleh orang-orang tua menaksirkan jumlah harga
barang-barang tersebut. Karena rombongan dara baro
pulang nanti, mertuanya akan mengembalikan dulang tadi
dengan mengisi uang sejumlah dari harga bawaan tadi atau
paling sedikit setengah dari harga bawaan tersebut. Uang
pembalasan dulang ini sudah menjadi adat, kalau tidak
demikian akan timbul malu di pihak keluarga pengantin
laki-laki.
Kedua
mempelai
kemudian
di
peusunteng
(dipersunting) dengan menepung tawari, ketan kuning dan
memberikan sejumlah uang yang disebut dengan teumetuk.
Acara ini dimulai oleh ibu mertua dan kemudian
dilanjutkan berturut-turut oleh kerabatnya serta jiran-jiran
setempat yang datang. Ketika dara baro melakukan seumah
jaro tuan (sembah mertua), ia akan diberikan uang atau
sebentuk emas oleh mertuanya. ada kalanya pula turut
diberikan barang-barang pecah belah. Barang-barang pecah
pelah yang diberikan tersebut di antaranya yaitu dua buah
piring, satu buah mangkuk (tempat nasi), dua buah sendok,
satu buah tempat cuci tangan, dan satu buah cawan
(tempat sayur). Barang-barang ini disebut dengan
peunulang.
Setelah selesai upacara, semua rombongan dara baro
kembali pulang, dan dara baro tetap tinggal di rumah
suaminya beberapa hari lamanya. Kemudian ia bersamasama suaminya akan pulang lagi ke rumah orang tuanya.

58

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

g. Peusijuek Dara baro.
Sebelum melakukan pengandaman, dara baro yang
berkepentingan ditepung tawari peusijuek. Cara peusijuek,
diretik atas orang atau barang yang bersangkutan dengan
tepung tawar yang dicampuri air dingin, kemudian
ditaburi beras-padi. Peretikan dengan tepung tawar
diselenggarakan dengan pohon-pohon kecil tertentu yaitu
si dingin (sisijuek) dan manek manoe yang ditambahi dengan
sejenis rumput yang disebut naleuengsambo.
Alat pengandaman dara baro dan bahan-bahan untuk
peusijue diletakkan dalam dua talam. Dalam talam pertama
berisi beras dan talam kedua berisi padi. Kemudian kedua
talam itu ditaruh cawan (mangkok) dengan tepung tawar
dan satu berkas pokok si dingin, maneukmanoe dan
naleungsambo. Pada talam yang lain ditaruh kelapa muda
yang terbelah, pisau cukur, gunting, minyak wangi, dua
butir telur, kayu cendana dan sedikit celak (seureuma) untuk
menghitamkan bulunya.
Sebelum peusijuek dimulai, terlebih dahulu harus
mengucapkan bismillahirohmanirrohim. Setelah pekerjaan
mengandam selesai, para tamu yang duduk bersama-sama
di serambi belakang, secara bergantian mengambil ketan
kuning dan meletakkan pada telinga dara baro yang
kemudian disambut dara baro dengan sembah sambil
menerima hadiah dari para tamu. Acara ini disebut
peusunteng (Hoesin, 1978: 26). Menurut H.T. Ubit (Laka Kec.
Ingin Jaya, 2002: 9) adapun makna dari penyelenggaraan
peusijuek adalah

59

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

1. Talam mengandung makna bahwa orang yang
dipeusijuek tetap bersatu dalam lingkungan keluarga
yang ditinggalkan.
2. Clok (calok) mengandung makna bahwa orang yang
dipeusijuek itu tetap berada dalam lingkungan
keluarga yang di lingkungan keluarga (persatuan)
dan berhemat.
3. Tudung saji (sangee) mengandung makna
diharapkan untuk mendapatkan perlindungan dari
Allah swt dari segala tipu daya yang menyesatkan.
4. Beras padi mengandung makna bahwa orang
dipeusijuek semakin tua semakin berilmu, juga
merupakan makan pokok atau benih untuk
menghasilkan.
5. Tepung tawar mengandung makna bahwa tepung
berwarna putih merupakan perlambang kebersihan
dan kesejukan jiwa bagi orang yang dipeusijuek.
6. On manek-mano mengandung makna bahwa sesuai
dengan deretan bunga diharapkan digalang
persatuan dan kesatuan serta keteraturan.
7. On sijuek mengandung makna obat penawar/
kesejukan meresap kalbu.
8. Naleung Samboe mengandung makna dengan
sifatnya yang kokoh sulit untuk dicabut, pelambang
sebagai kekokohan pendirian dan etika, baik dalam
kehidupan bermasyarakat maupun agama.

60

Bab 3 Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

9. Bu leukat mengandung makna zat perekat,
pelambang sebagai daya tarik untuk tetap meresap
dalam hati orang yang dipeusijuek semua ajaran dan
nasihat ke jalan yang diridhai oleh Allah swt.
3. Poligami
Perkawinan yang mengalami kebahagiaan ialah
perkawinan yang mana istri sanggup memberikan semua
kebutuhan suami dan sanggup mengatur rumah tangga.
Kekurangan-kekurangan yang ada pada istri seperti
pemboros, tidak pandai memasak, mencuci, bergaul,
mengurus anak, tidak sanggup melayani suami dalam segi
seksual, tidak tahu kebersihan, biasanya salah satu
kekurangan yang dimiliki istri, sudah menjadi penyebab
bagi suami untuk kawin lagi (berpoligami). Istri kedua juga
masih memiliki salah satu atau beberapa kekurangan
tersebut di atas, suami kawin lagi untuk ketiga kalinya
demikian seterusnya. Dengan perkataan lain yang disebut
nasib baik dalam rumah tangga belum tercapai, selama itu
pula suami belum berhenti kawin untuk kedua, ketiga.
Bahkan ada juga yang memiliki istri sampai empat orang.
Mereka
mengikuti
atau
mencontoh
Nabi
Muhammad yang kawin lebih dari satu orang. Mereka
beranggapan bahwa dengan berpoligami akan banyak anak
dan berarti juga banyak rezeki. Banyak anak berarti juga
banyak amal salehnya. Sejak zaman kerajaan para sultan,
para bangsawan, para ulama, dan para uleebalang banyak
yang melakukan poligami.

61

Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan...

Pada umumnya orang yang melakukan poligami
adalah golongan Tuanku, Cut, Meurah, uleebalang, ulama
besar dan orang-orang yang mempunyai gelaran (ureueng
meunama). Orang-orang kaya ada juga yang kawin lebih
dari seorang. Orang Aceh Besar dulu mengawinkan anak
perempuannya kepada orang-orang besar tersebut untuk
menjadi istri kedua, ketiga atau keempat karena mereka
adalah orang terpandang dan ini berarti menaikkan status
sosialnya di masyarakat.
Istri kedua, ketiga atau keempat yang dikawini oleh
orang-orang besar tersebut letak kampungnya berjauhan
dengan kampung madunya. Dengan demikian, kebanyakan
istri-istri ini tidak mengikuti suaminya. Uleebalang atau
keujreun yang kawin di luar daerahnya tidak dapat tinggalbersama-sama dengan istri mudanya. Ia harus selalu berada
di lingkungan di mana ia bekerja dan biasanya ditemani
istri pertama, sedangkan istri kedua dan seterusnya hanya
digilir saja pada hari-hari tertentu. Kebanyakan familifamili sultan, uleebalang atau keujreun dan pembesarpembesar lain memilih istri kedua dan ketiga dari golongan
terpandang pula seperti misalnya anak gadis panglima
perang, panglima kaum dan orang kaya.
Sekarang poligami ini sudah mulai jarang dilakukan
orang. Bahkan mereka beranggapan, bahwa dengan
berpoligami hanya akan menimbulkan banyak masalah dan
tidak bahagia. Apalagi tujuan perkawinan para orang tua
tidak
menghendaki
adanya
poligami.
Mereka
mengharapkan agar anak-anaknya hanya satu kali
melakuka