Pergerakan Nasional dan Organisasi Perge

Pergerakan Nasional dan Organisasi Pergerakan Nasional
A. Latar Belakang Timbulnya Pergerakan Nasional.
Sejak menginjakkan kakinya di bumi Indonesia pada tahun 1956, penjajah Belanda kurang
memperhatikan kesejahteraan golongan pribumi (orang-orang Indonesia). Mereka terus
mengeruk kekayaan alam dan menindas rakyat Indonesia, tanpa mau memperhatikan nasib
rakyat itu sendiri. Pada akhir abad ke-19, C.Th.van Deventer mengkritik keadaan itu melalui
salah satu karangannya yang berjudul Utang Budi. C.Th van Deventer antara lain menyetakan
bahwa kemakmuran Belanda diperoleh berkat kerja dan jasa orang Indonesia. Oleh sebab itu,
bangsa Belanda sebagai bangsa yang maju dan bermoral harus membayar utang budi kepada
bangsa Indonesia. Caranya adalah dengan menjalankan Politik Balas Budi atau dikenal dengan
sebutan Politik Etis. Politik Etis yang diuslkan olehC.Th van Deventer berisi tentang
perbaikanperbaikan dalam bidang irigasi (pengairan), transmigrasi (perpindahan), dan edukasi
(pendidikan). Akan tetapi pelaksanaannya tidak terlepas dari kepentingan pemerintah Hindia
Belanda. Politik Etis sebenarnya merupakan bentuk penjajahan kebudayaan yang halus sekali.
Program edukasi itu sendiri sebenarnya merupakan pelaksanaan dari Politik Asosiasi yang
berarti penggantian kebudayaan asli tanah jajahan dengan kebudayaan penjajah.
Walaupun menyimpang dari tujuan semula, beberapa pelaksanaan dari Politik Etis telah
membawa pengaruh yang baik. Misalnya, dengan didirikannya sekolah-sekolah untuk golongan
pribumi. Tujuannya adalah untuk memperoleh tenaga baru pegawai rendah yang bersedia digaji
lebih murah dari pada tenaga bangsa-bangsa Belanda. Banyaknya penduduk pribumi yang
bersekolah telah menghasilkan kaum cerdik pandai dikalangan penduduk pribumi. Kaum cerdik

pandai inilah yang mempelopori kesadaran kebangsaan, yaitu suatu kesadaran tentang perlunya
persatuan dan kesatuan bangsa. Peristiwa timbulnya kesadaran berbangsa disebut Kebangkitan
Nasional Indonesia. Kaum cerdik pandai ini pula yang mempelopori dan memimpin pergerakan
nasional pada awal abad ke-20.
B. Organisasi-Organisasi dan Tokoh-Tokoh Pergerakan Nasional.
1. Budi Utomo.
Pada tahun 1906 di Yogyakarta dr. Wahidin Sudirohusodo mempunyai gagasan untuk
mendirikan studiefonds atau dana pelajar. Tujuannya adalah mengumpulkan dana untuk
membiayaai pemuda-pemuda bumi putra yang pandai, tetapi miskin agar dapat memneruskan ke
sekolah yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan gagasan nya tersebut, beliau mengadakan
perjalanan keliling jawa. Ketika sampai di Jakarta, dr. Wahidin Sudirohusodo bertemu dengan
mahasiswa-mahasiswa STOVIA. STOVIA adalah sekolah untuk mendidik dokterdokter pribumi.
Mahasiswa-mahasiswa tersebut antara lain Sutomo, Cipto Mangunkusumo, Gunawan
Mangunkusumo, Suraji, dan Gumbrek. Dr. Wahidin Sudirohusodo memberikan dorongan
kepada mereka agar membentuk suatu organisasi. Dorongan tersebut mendapat sambutan baik
dari para mahasiswa STOVIA. Pada tanggal 20 Mei 1908 bertempat di Gedung STOVIA. Para

mahasiswa STOVIA mendirikan organisasi yang diberi nama Budi Utomo. Budi Utomo artinya
budi yang utama. Tanggal berdirinya Budi Utomo yaitu 20 Mei dijadikan sebagai Hari
Kebangkitan Nasional.

2. Serikat Dagang Islam.
Revolusi Nasional Cina yang dipelopori oleh dr. Sun Yat Sen pada tanggal 10 Oktober 1911
telah berpengaruh terhadap orang-orang Cina perantauan di Indonesia. Mereka segera
mendirikan ikatan-ikatan yang bercorak nasionalis Cina. Kedudukan mereka dibidang ekonomi
sangat kuat. Mereka menguasai penjualan bahan-bahan batik. Para pedagang batik pribumi
merasa terdesak atau dirugikan. Untuk menghadapi para pedagang Cina itu, pada tahun 1911
para pedagang batik Solo dibawah pimpinan H. Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam
(SDI). Tujuan berdirinya Sarikat Dagang Islam adalah :
a. Memajukan perdagangan.
b. Melawan monopoli pedagang tionghoa, dan
c. Memajukan agama Islam.
Serikat Dagang Islam mengalami perkembangan pesat karena bersifat nasionalis, religius, dan
ekonomis.
3. Indische Partij.
Indische Partij didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 . Pendirinya adalah dr.
E.F.E Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. IP bertujuan
mempersatukan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Tokoh-tokoh IP
menyebarluaskan tujuannya melalui surat kabar. Dalam waktu singkat IP mempunyai banyak
anggota. Cabang-cabangnya tersebar di seluruh Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda
menganggap organisasi ini membahayakan kedudukannya. Pada bulan Maret 1913 Pemerintah

Hindia Belanda melarang kegitan IP. Pada bulan Agustus tahun yang sama para pemimpin IP
dijatuhi hukuman pengasingan.
4. Partai Nasional Indonesia.
Pada tanggal 4 Juli 1927 para pengurus Algemeene Studie Club (Kelompok Belajar Umum) di
Bandung mendirikan perkumpulan baru yang dinamakan Perserikatan Nasional Indonesia.
Mereka adalah Ir. Soekarno, Mr. Sartono, dr. Samsi, Mr. Iskaq Cokrohadisuryo, Mr. Budiarto,
Mr. Ali Sastroamijoyo, Mr. Sunario, dan Ir. Anwari. Perkumpulan ini kemudian berganti nama
menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI), dll.
C. Usaha Mempersatukan Partai-Partai.
Di Indonesia terdapat berbagai pergerakan yang terpisah-pisah satu sama lain. Keadaan ini
kurang menguntungkan bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk menuju Indonesia merdeka.
Beberapa tokok pergerakan segera menyadari keadaan ini. Mereka berusaha mempersatukan
organisasi-organisasi pergerakan yang ada pada waktu itu.

1. Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
didirikan pada tanggal 17 Desember 1927. Anggopta PPPKI terdiri atas Partai Nasional
Indonesia, Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen
Bond, Kaum Betawi, dan Indonesische Studie Club. Tujuan PPPKI adalah :
a. Menyamakan arah aksi kebangsaan serta memperkuat dan memperbaiki organisasi dengan

melakukan kerjasama diantara anggota-anggotanya,
b. Menghindarkan perselisihan diantara para anggotanya yang dapat memperlemah aksi
kebangsaan.Pengurus PPPKI disebut Majelis Pertimbangan yang terdiri atas ketua, penulis,
bendahara, dan wakil-wakil dari partai-partai yang tergabung didalamnya.
2. Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
GAPI adalah organisasi kerja sama antara partai-partai politik di Indonesia. Organisasi ini
didirikan pada tanggal 21 Mei 1939. GAPI berdiri atas prakarsa Muhammad Husni Thamrin.
Anggota GAPI adalah Parindra, Pasundan,Gerindo, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan
Perhimpunan Politik Katolik Indonesia. GAPI membentuk pengurus yang disebut Secretariat
Tetap. Pengurus Sekretariat Tetap dijabat oleh Abikusno Cokrosuyoso dari PSII 9Penulis Umum
), Muhammad Husni Thamrin dari Parindra (bendahara), dan Mr. Amir Syarifuddin dari Gerindo
(pembantu penulis). GAPI beberapa kali mengadakan kongres. Pada Kongres Rakyat Indonesia
yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Desember 1939 dihasilkan beberapa keputusan sebagai
berikut :
a. Menuntut Indonesia berparlemen. Tuntutan ini dilakukan sebagai reaksi atas ditolaknya Petisi
Sutarjo dalam Volskraad sehingga Volskraad dianggap bukan parlemen.
b. Diakuinya Merah Putih sebagai bendera persatuan, Indonesia Raya sebagai lagu persatuan,
dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
D. Pergerakan Kaum Wanita.
Pada awalnya pergerakan wanita Indonesia dilakukan oleh perorangan. Pelopor pergerakan

wanita pada masa itu adalah R.A Kartini dan R. Dewi Sartika . Keduanya ingin mengangkat
derajat kaum wanita melalui pendidikan. Perhatian yang besar dari R.A Kartini dan R. Dewi
Sartika terhadap kaum wanita telah mengilhami pergerakan kaum wanita untuk membentuk
organisasi. Pada awalnya tujuan organisasi perempuan itu untuk memperbaiki kedudukan
sosialnya. Namun, dalam perkembangannya organisasi itu juga berwawasan kebangsaan.
1. Kongres I Perempuan Indonesia.
Pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 beberapa perkumpulan perkumpulan wanita Indonesia
mengadakan Kongres Perempuan Indonesia. Tujuan kongres adalah mempersatukan cita-cita dan
usaha untuk memajukan wanita Indonesia. Dalam kongres tersebut antara lain diputuskan
mendirikan gabungan perkumpulan wanita yang bernama Perserikatan Perempuan Indonesia
(PPI).
2. Istri Sedar (IS).

Pada tangga 22 Maret 1930 di Bandung didirikan perkumpulan Istri Sedar. Pendirinya adalah
Nona Suwarni Joyoseputro. Tujuannya menuju pada kesadaran wanita Indonesia dan derajat
hidup Indonesia untuk mempercepat dan menyempurnakan Indonesia merdeka. Meskipun bukan
merupakan organisasi politik, tetapi dalam kampanyenya Istri Sedar sering menyarakan sikap
antipenjajah. Oleh sebab itu, organisasi ini mendapat pengawasan dari Pemerintah Hindia
Belanda.
E. Sumpah Pemuda

1. Pergerakan Pemuda Berdasarkan Kedaerahan para pemuda tidak tinggal diam melihat
penderitaan yang dialami bangsanya. Mereka segera mendirikan perkumpulan-perkumpulan
kepemudaan. Mula-mula perkumpulan itu bersifat kedaerahan. Akhirnya, perkumpulan –
perkumpulan tersebut menjadi bersifat nasional. Perkumpulan- perkumpulan kepemudaan yang
bersifat kedaerahan antara lain :
a. Tri Koro Darmo
Tri Koro Darmo didirikan pada tanggal 7 maret 1915 di gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta.
Tri Koro Darmo artinya Tiga Tujuan Mulia. Tri Koro Darmo didirikan oleh dr. Satiman
Wiryosanjoyo (ketua), Wongsonegoro (wakil ketua), dan Sutomo (sekretaris). Sebagian beasar
anggotannya adalah murid-murid sekolah menengah asal Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada
kongres I yang diselenggarakan di Solo pada tanggal 12 Juni 1918, nama Tri Koro Darmo diubah
menjadi Jong Javanen Bond (Jong Java).
b. Jong Minahasa
Perkumpulan ini didirikanpada tanggal 6 Januari 1918. tujuannya adalah mempererat rasa
persatuan sesama pemuda yang berasal dari Minahasa dan memajukan kebudayaan daerah
Minahasa. Tokoh-tokohnya antara lain : T.A. Kandou, J.S. Warouw, L. Palar, dan R.C.L Senduk.
2. Pergerakan Pemuda dalam Bentuk Kelompok Belajar
a. Indonesiche Studie Club (ISC)
Didirikan di Surabaya pada tanggal 11 Juni 1924. pendirinya adalah dr. Sutomo. Tujuan ISC
adalah memberi semangat kaum terpelajar agar memiliki kesadaran terhadap masyarakat,

memperdalam pengetahuan politik, serta mendiskusikan masalah-masalah pelajaran dan
perkembangn sosial politik Indonesia. ISC kemudian menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia.
b. Algemeene Studie Club (ASC)
Didirikan di Bandung oleh Ir. Soekarno dan Ir. Anwari. Tujuannya sama dengan ISC. Asas
perjuangannya adalah nonkooperasi. ASC kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia.
3. Pergerakan Pemuda Berdasarkan Kebangsaan dan Keagamaan
a. Perhimpunan Indonesia (PI)
Didirikan di Belanda pada tahun 1908. Mula-mula bernama Indonesiche Vereeniging, pada
tahun 1925 diubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia. Pada tahun 1927 pemerintah
Belanda menahan para pengurus PI antara lain : Moh. Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, A. M.
Joyodiningrat, dan Ali Sastroamijoyo. Mereka kemudian diadili di pengadialan Den Haag,

Belanda.
b. Jong Islamienten Bond
Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 1 Januari 1926 oleh anggotanya yang keluar dari Jong
Java. Tokoh-tokohnya antara lain : R. Sam Haji Agus Salim, Moh. Rum, Wiwoho, Hasim,
Sadewo, M. Juari, dan Kasman Singodimejo.
Organisasi Pergerakan Nasional Budi Utomo Menghadapi Kekuasaan Kolonial Hindia
Belanda Tahun 1908 Budi Utomo adalah organisasi pergerakan modern yang pertama di
Indonesia dengan memiliki struktur organisasi pengurus tetap, anggota, tujuan dan juga rencana

kerja dengan aturan-aturan tertentu yang telah ditetapkan. Budi utomo pada saat ini lebih dikenal
oleh masyarakat sebagai salah satu STM yang memiliki siswa yang suka tawuran, bikin rusuh,
bandel, dan sebagainya. Biasanya anak sekolah tersebut menyebut dengan singkatan Budut /
Boedoet (Boedi Oetomo). Pada artikel kali ini yang kita sorot adalah Budi Utomo yang
organisasi jaman dulu, bukan yang STM.
Budi Utomo didirikan oleh mahasiswa STOVIA dengan pelopor pendiri Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang bertujuan untuk memajukan Bangsa
Indonesia, meningkatkan martabat bangsa dan membangkitkan Kesadaran Nasional. Tanggal 20
Mei 1908 biasa diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia.
Sebagai suatu organisasi yang baik, Budi Utomo memberikan usulan kepada pemerintah Hidia
Belanda sebagai mana berikut ini :
1. Meninggikan tingkat pengajaran di sekolah guru baik guru bumi putera maupun sekolah
priyayi.
2. Memberi beasiswa bagi orang-orang bumi putera.
3. Menyediakan lebih banyak tempat pada sekolah pertanian.
4. Izin pendirian sekolah desa untuk Budi Utomo.
5. Mengadakan sekolah VAK / kejuruan untuk para bumi putera dan para perempuan.
6. Memelihara tingkat pelajaran di sekolah-sekolah dokter jawa.
7. Mendirikan TK / Taman kanak-kanak untuk bumi putera.
8. Memberikan kesempatan bumi putra untuk mengenyam bangku pendidikan di sekolah rendah

eropa atau sekolah Tionghoa - Belanda.
Kongres pertama budi utomo diadakan di Yogyakarta pada oktober 1908 untuk
mengkonsolidasikan diri dengan membuat keputusan sebagai berikut :
1. Tidak mengadakan kegiatan politik.
2. Bidang utama adalah pendidikan dan kebudayaan.
3. Terbatas wilayah jawa dan madura.
4. Mengangkat R.T. Tirtokusumo yang menjabat sebagai Bupati Karanganyar sebagai ketua.
Pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan Budi Utomo sebaga badan hukum yang sah karena
dinilai tidak membahayakan, namun tujuan organisasi Budi Utomo tidak maksimal karena
banyak hal, yakni :
1. Mengalami kesulitan dinansial

2. Kelurga R.T. Tirtokusumo lebih memperhatikan kepentingan pemerintah kolonial daripada
rakyat.
3. Lebih memajukan pendidikan kaum priyayi dibanding rakyat jelata.
4. Keluarga anggota-anggota dari golongan mahasiswa dan pelajar.
5. Bupati-bupati lebih suka mendirikan organisasi masing-masing.
6. Bahasa belanda lebih menjadi prioritas dibandingkan dengan Bahasa Indonesia.
7. pengaruh golongan priyayi yang mementingkan jabatan lebih kuat dibandingkan yang
nasionalis.

Keterangan :
Bumi Putera adalah bukan bank atau lembaga keuangan bisnis lainnya, tetapi yang dimaksud
dengan bumi putera adalah warga pribumi yang pada zaman dahulu dianggap sebagai warga
tingkat rendah dibanding warga ras eropa, cina, arab, dan lain-lainnya.
Nasionalisme, Islam, dan Kebangkitan Indonesia
Gerakan kebangkitan nasional muncul sebagai gerakan modern pada pergantian abad ke-19 dan
ke-20. Munculnya Budi Utomo [1908], Syarikat Dagang Islam atau SDI [1911] yang kemudian
berubah menjadi Syarikat Islam atau SI [1912], Muhammadiyah [1912], kemudian Nahdlatul
Ulama [1926], dan Sumpah Pemuda [1928], semua itu diyakini sebagai gerakan dan artikulasi
politik yang menjadi fondasi kesadaran nasionalisme, yang kelak menjadi faktor pendorong
utama dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa pada 1945.
Sebelumnya gerakan rakyat melawan kolonialisme berlangsung secara sporadis dan tak
terorganisasi secara baik. Namun setelah lahirnya organisasi-organisasi tadi, gerakan rakyat kian
menemukan bentuk yang jelas dan arah yang pasti tentang masa depan bangsa yang diinginkan.
Ide persatuan bangsa berbasis Islam yang diusung H. Agus Salim menjadi antitesis terhadap
gerakangerakan sukuistik atau kesukuan yang marak ketika itu seperti Jong Java, Jong Sunda,
Jong Betawi, Jong Sumatera, dan lain-lain. Salim menginisiasi lahirnya Jong Islamitten Bond
[JIB] yang melampaui sentimen-sentimen kesukuan. Sebab, kendati Islam bersifat “sektarian”,
namun ideologi JIB adalah ideologi persatuan nasional atau kebangsaan, melebihi ideologi
keislaman. Salim melihat bahwa Islamlah ketika itu satu-satunya ideologi yang bisa

mempersatukan seluruh bangsa.
Dari sini pula kemudian lahir persatuan pemuda Indonesia yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda
pada 1928, yang mempersatukan segenap Jong, dan menjadi katalisator bagi proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Hampir 100 tahun setelah kebangkitan nasional pada awal abad ke-20, kita juga menyaksikan
lahirnya kebangkitan nasional yang lain, yaitu gerakan reformasi pada tahun 1998. Gerakan
reformasi Mei 1998 telah mengantarkan bangsa Indonesia pada “kemerdekaan” jilid kedua, yaitu
lahirnya demokrasi dan kebebasan politik. Hal ini menunjukkan bahwa gejala kebangkitan bukan
merupakan puncak, melainkan sebuah awal dari peristiwa besar. Gejala kebangkitan hanya
menandai proses menuju suatu masa depan yang diimpikan.
Belajar dari sejarah itu, memasuki seabad kebangkitan nasional ini, sebaiknya kita gelorakan
kembali spirit untuk merajut kembali rasa nasionalisme, semangat kebersamaan membangun rasa

keindonesiaan dengan mengubur kepentingan kelompok atau golongan yang merongrong kohesi
nasional. Kita harus bersatu padu membangun kebersamaan Indonesia yang sedang sakit.
Janganlah kita masih terkotak-kotak karena kepentingan-kepentingan kelompok atau golongan,
kesukuan dan partai. Sudah banyak pembelajaran yang patut kita renungkan dan mesti kita
sikapi. Lihat hasil pertikaian antar-kelompok yang pernah terjadi.
Teroris pun dengan leluasa keluar masuk di negeri tercinta ini, dan berhasil memporakporandakan rasa kenyamanan yang telah kita bangun bersama pemerintah. Semua ini sungguh
melukai nalar sehat dan nurani rakyat yang senantiasa damba pada perdamaian. Peristiwa ini
pasti akan menyisakan barisan sakit hati atau ketidak-puasan kelompok-kelompok tertentu.
Kadangkala muncul sekelompok orang yang merasa berhasil, merasa paling besar, merasa paling
penting, merasa paling berjasa, sehingga melunturkan rasa kepedulian dan kebersamaan serta
tujuan akhir perjuangan para pendahulu kita. Empati kita terkikis, rasa memiliki dan menjadi
bagian warga negara ini luntur karena ego dan kepentingan kelompok atau golongan serta
keserakahan kita yang ingin mendapatkan lebih dan tidak mau berbagi. Padahal tanpa adanya
dukungan dan kebersamaan dari orang lain maka sebenarnya kita tidak bisa berbuat dan
mendapatkan apa-apa serta tak punya arti apa-apa.
Maka hal terpenting yang kita harus lakukan saat ini adalah menyatukan kembali nasionalisme
keindonesiaan kita yang tercabik-cabik. Lalu karena dengan semangat kebersamaan akhirnya
berhasil ditransformasikan menjadi gerakan kebangkitan nasional yang modern, rasional dan
bersatu. Muaranya pun jelas, yaitu tujuan bersama meraih kemerdekaan bangsa.
Kalau kita tidak menggelorakan semangat keindonesiaan lalu diwujudkan dengan karya nyata
yang untuk memajukan rakyat, maka 20 atau 30 tahun yang akan datang kita tidak akan
menyaksikan perubahan besar apa pun, dan kita akan tetap menjadi bangsa yang kerdil dan
terkucil dalam pergaulan dunia. Dan mimpi para pejuang dan pendiri negeri ini yang ingin
menjadikan negeri ini menjadi negeri besar, adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi toto
tentrem kartoraharjo akan kandas dan hanya akan tetap menjadi mimpi. Saatnya kita bangun
bersama semangat nasionalisme untuk membangun dan mewujudkan mimpi besar itu dan
memberikan yang terbaik untuk anak cucu kita.
MASA BERTAHAN PERGERAKAN NASIONAL
MENJELANG RUNTUHNYA HINDIA BELANDA
(1930-1942)
PENDAHULUAN
Sejarah Indonesia sejak tahun 1908 memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal
itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911
berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo
oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya dirubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih
banyak. Selain organisasi yang disebut diatas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik
bersifat kooperatif maupun radikal, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tetapi
tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak terang-

terangan diungkapkan. Masa pergerakan nasional di Indonesia terbagi menjadi tiga masa. Dari
masa kooperatif, masa radikal, terakhir masa bertahan.
Banyak sekali organisasi-organisasi radikal yang melakukan aksinya. Antara lain yaitu ISDV.
ISDV adalah organisasi yang berhaluan komunis. Pergerakannya sangat radikal. Organisasi
pergerakan nasional lainnya yang palin berpengaruh bagi perkembangan bangsa yaitu PNI. PNI
dipelopori tokoh yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan yaitu Bung Karno. Tetapi
akhirnya karena Gubernur Jenderal pada saat itu sangat reaksioner terhadap pergerakan maka
organisasi ini dinyatakan terlrang dan tokoh-tokohnya diasingkan. PNI meruoakan organisasi
yang terakhir yang menandai berakhirnya masa pergerakan radikal.
A. BERAKHIRNYA MASA NONKOOPERASI
Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis.
Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisi ekonomi atau malaise yang
melanda dunia memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga
ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
beberapa pasal-pasal karet dan exorbitante rechten secara lebih efektif. Kedua, diterapkannya
pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang dilakukan pengawasan ekstra ketat oleh polisipolisi Hindia Belanda yang diberi hak menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pattai
politik. Selain itu juga dilakukan pelarangan bagi pegawai pemerintah untuk menjadi anggota
partai politik. Ketiga, tanpa melalui proses terlebih dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan
suatu organisasi pergerakan atau kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law and order
sesuai dengan Koninklijk Besluit tanggal 1 September 1919. Peraturan itu merupakan modifikasi
dari pasal 111 R.R. (Regrering Reglement). Keempat, banyak tokoh pergerakan kebangsaan di
Indonesia yang diasingkan, seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir.[1]
Hal diatas menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang
konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). . Periode awal 1932 sampai dengan
pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha
pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin
meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Tetapi dalam
hal ini, Gubernur Jenderal de Jonge secara konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau
“pemurnian” artinya menumpas segaa kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa
dan semua bentuk nonkooperasi . Maka dari itulah gerak-gerik Partindo dan PNI Baru senantiasa
diawasi secara ketat. Aksi massa dan politik agitasi Soekarno selama lebih kurang satu tahun dari
pertengahan 1932 sampai pertengahan 1933 merupakan titk puncak perkembangan Partindo.
Jumlah anggotanya naik dari 4.300 menjadi 20.000 orang. Soekarno dkk juga melakukan safari
ke 17 cabang di Jawa Tengah untuk berbicara di muka rapat yang penuh sesak. Dalam pidatonya
Soekarno banyak membicarakan tentang kemerdekaan Indonesia.
Dalam situasi yang semakin panas dapat diduga bahwa penguasa sudah siap untuk bertindak.
Tindakan pertama adalah ialah pemberangusan surat kabar Fikiran Rakyat pada tanggal 19 Juli
1933 yang membuat sebuah cartoon. Pada 1 Agustus semua rapat Partindo dan PNI Baru
dilarang dan hari tu juga Soekarno ditahan. Selanjutnya pada bulan Desember 1933 Moh. Hatta

dan Sjahrir ditangkap. Dengan tangan besinya Gubernur Jenderal de Jonge hendak
mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner
tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggunng jawab atas
keadaan di Hindia Belanda, dan baginya dibayangkan bahwa dalam masa 300 tahun berikutnya
pemerintah itu akan masih tegak berdiri . Politik represifnya berhasil menghentikangerakan
politik nonkooperasi sama sekali.
Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno~menurut
dokumen-dokumen arsip kolonial~telah menulis surat kepada pemerintah Hindia Belanda sampai
empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang kesemuanya memuat
pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi, bahkan selanjutnya tidak
lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu hal itu menggemparkan kaum
nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada yang penuh keheranan atau
kekecewaan, ada pula yang merasa jengkel atas perubahan sikap yang berbalik 180 derajat itu.[2]
B. REORIENTASI STRATEGI DAN REORGANISASI PERGERAKAN
Pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia memulihkan hak politik bagi pergerakan nasional di
Indonesia. Tetapi Hindia Belanda masih membiarkan organisasi pergerakan yang moderat untuk
hidup. Hal itu juga disebabkan beberapa hal seperti menjamin demokrasi yang makin tumbuh
pasca Perang Dunia I, keamanan yang diciptakan organisasi itu, dan sebab-sebab lainnya yang
dianggap tidak merugikan pihak Hindia Belanda. Pemerintah Belanda tidak hendak mematikan
pergerakan di Indonesia. Mereka tahu bahwa perasaan rakyat yang tidak tersalurkan karena
dibungkam oleh pemerintah akan mencari jalan lain yang dapat menimbulkan gerakan-gerakan
eksplosif yang tidak diinginkan. Pemerintah Hindia Belanda hanya hendak melemahkan aktivitas
prgerakan yang bersifat radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah
semacam nasionalisme yang lunak dan kompromis, yang dapat digunakan sebagai alat untuk
membendung perasaan rakyat yang membara dan menyalurkan ke arah pergerakan yang tidak
membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.[3]
Kita lihat bagaimana pemerintah Hindia Belanda tidak menghilangkan pergerakan nasional di
Indonesia tetapi dilemahkan dengan mengadakan vergaderverbod (larangan berkumpul). Tokohtokoh pergerakan Indonesia banyak yang diasingkan sehingga ruang gerak baginya dan
organisasinya semakin sempit. Akan tetapi hal itu tidak membuat pergerakan nasional berhenti.
Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang, tambahan pula Jepanag dengan
pemerintahan militernya menjalankan pula politik ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di
negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi
fasisme tidak adaalternatif lain daripada memihak demokrasi. Maka dari itu perjuangan melawan
kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dilakukan secara mutlak bersikap anti. Ada
kebersamaan yang mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa kolonial, yaitu
mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di
kalangan Perhimpunan Indonesia yang mulai melakukan haluan kooperasi. Pergerakan nasional
yang berada di Indonesia juga mulai bersikap kooperatif.

C. AKTIVITAS PERGERAKAN
Sejak tahun-tahun 1930-an peranan lembaga politik kolonial (Volksraad) makin meningkat.
Lembaga itulah yang satu-satunya alat yang dibenarkan pemerintah kolonial untuk menyuarakan
kepentingan-kepentingan pelbagai golongan. Sebab itu suara yang muncul dalam volksraad yang
berasal dari golongan cooperatie itu sangat penting untuk mengetahui pemikiran-pemikiran
bangsa Indonesia sejak sekitar tahun 1930 sampai 1942. Dalam masa dari tahun 1935 sampai
1942, partai-partai politik bangsa Indonesia menjalankan taktik-taktik parlementer yang moderat.
Hanya organisasi-organisasi nonpolitik dan partai-partai yang bersedia bekerjasama dan setuju
punya wakil dalam dewan-dewan ciptaan Belanda yang terjamin mendapat sedikit kekebalan
dari gangguan pengawasan polisi. Dan satu-satunya forum yang secara relatif bebas menyatakan
pendapat politik adalah dewan perwakilan ciptaan pemerintah kolonial Belanda itu. Dengan
demikian, satu-satunya cara bagi gerakan nasionalis untuk mengusahakan perubahan ialah
dengan jalan mempengaruhi pemerintah kolonial Belanda secara langsung melalui dewan
tersebut, tidak dengan mengatur dukungan massa.
Tokoh-tokoh pergerakan mulai memunculkan ide tentang pembentukan Fraksi Nasional di dalam
volksraad. Akhirnya fraksi ini dapat didirikan tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta beranggotakan
10 orang yang berasal dari daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
1. Petisi Soetardjo
Gagasan dari petisi ini dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai
Bestuur/ Pamongpraja Bumiputera dan wakil dari organisasi ini di dalam sidang Volksraad pada
bulan Juli 1936. Isi petisi itu secara garis besar adalah tentang permohonan supaya diadakan
suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Negeri Belanda di mana anggotaanggotanya mempunyai hak yang sama.[5] Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana
yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam
batas pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda.[6] Petisi itu ada yang menyetujui dan ada
yang tidak. Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak setuju, maka alasannya bukanlah soal isi
petisi itu tetapi seperti yang diajukan oleh Gesti Noer ialah caranya mengajukan seperti
menengadahkan tangan. Antara tokoh-tokoh Indonesia terjadi pro-kontra tentang petisi itu.
Tetapi akhirnya petisi Soetardjo ditolak oleh Ratu Belanda pada bulan November 1938.
2. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Meskipun akhirnya Petisi Soetardjo itu ditolak, petisi itu ternyata mempunyai pengaruh juga
yaitu membantu membangkitkan gerakan masionalis dari sikap mengalah yang apatis yang telah
menimpanya sejak gerakan nonkooperasi dilumpuhkan. Suatu gagasan untuk membina
kerjasama diantara partai-partai poltik dalam bentuk federasi timbul kembali pada tahun 1939.
Pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasilah
didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasiorganisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). [7] Tujuan GAPI adalah
memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Kemudian tujuan itu
dirumuskan dalam semboyan “Indonesia Berparlemen”. Sikap kurang menentukan kemerdekaan
itu disebabkan adanya keprihatinan atas kemungkinan meletusnya Perang Pasifik. GAPI
melakukan berbagai kampanye yang bertujuan menarik simpati rakyat untuk mendukung

perjuangannya di dalam ketatanegaraan. Pada tanggal 14 September 1940 dibentuklah komisi
untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan (Commissie tot
bestudeering van staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman, selanjutnya dikenal
dengan nama Komisi Visman. Pada awal pembentukannya, kalangan pergerakan
mempertanyakan keberadaan kegunaan komisi itu. Akhirnya Komisi Visman menghasilkan
laporan yang cukup tebal tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan rakyat Indonesia.
Laporan itu terbit pada tahun 1942 hanya beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang
ke Indonesia, sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya.
3. Mosi Thamrin
Pergerakan nasional terus berkembang dengan semakin meningkat dan mendalamnya kesadaran
akan identitasnya. Dalam keadaan yang demikian, istilah-istilah Hindia Belanda (Nederlandsch
Indie), pribumi (Inlander), atau kepribumian (Inlandsch) sangat sensitif di mata kaum pergerakan
yang kesadaran akan identitasnya sudah mendalam. Mosi Thamrin mengusulkan agar istilahistilah tersebut diganti dengan Indonesie (Indonesia), Indonesier (bangsa Indonesia) dan
keindonesiaan (Indonesisch), khususnya di dalam dokumen-dokumen pemerintah. Keberatan
pemerintah terhadap mosi ini adalah bahwa perubahan istilah itu membawa implikasi politik dan
ketatanegaraan, seperti apa yang termaktub dalam UUD Kerajaan Belanda. Di samping itu ada
argumentasi “ilmiah” ialah bahwa Indonesia bukan nama geografis, dan bangsa Indonesia juga
tidak menunjukan pengertian etnologis.