Perkembangan dan Pers dan Nasional

Perkembangan Pers Nasional
Ø Pers pada masa Penjajahan Belanda dan Jepang
ü Zaman Belanda
Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant
yang isinya memuat berita- berita resmi pemerintahan, berita
lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan
di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835
yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en
Advertentiebland.
Di
semarang
terbit
Semarangsche
Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat
kabar
yang
terbit
adalah
Soematra
courant,
Padang

Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung
Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch Handelsbland.
Surat- surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti
secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan.
Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit.
Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh
diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.
Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda
terdapat 16 surat kabar
berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu
diantaranya adalahBintang
Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret
Melayudan Tjahaja
Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar
berbahasa jawa Bromartani
yang terbit di Solo
ü Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar
yang ada di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat
kabar disatukan dengan alasan menghemat alat- alat tenaga.

Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat
memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita
Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima

dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni
Domei.
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja
sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta
kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari
Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan
memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
Ø Pers pada masa Revolusi
Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan.
Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk
kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks
proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan
dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasukpers. Hal
yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan.
Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI
semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara

Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,
Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The
Voice of Free Indonesia.
Ø Pers pada masa Demokrasi Liberal
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau
masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak
didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem
pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat
propaganda dari Par- Pol. Beberapa partai politik memiliki
media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers
dikenal sebagai pers partisipan.
Ø Pers pada masa Demokrasi Terpimpin
Pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi
liberal, menyebabkan Presiden Soekarno mengubah sistem politik
yang berlaku di Indonesia. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno
mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi

demokrasi terpimpin. Selanjutnya, pada Februari 1957, Soekarno
kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang
diinginkannya. Hampir berselang dengan terjadinya berbagai

pemberontakan di banyak daerah di Indonesia yang melihat
sentralitas atas hanya daerah dan penduduk Jawa.
Munculnya berbagai pemberontakan di daerah dan di pusat
sendiri, membuat Soekarno mengeluarkan Undang-Undang
Darurat Perang pada 14 Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia
terkungkung dalam perseturuan antara parlemen melawan rezim
Soekarno yang berkolaborasi dengan militer. Namun, tak
berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke UndangUndang Dasar 45, disusul dengan pelarangan Partai Sosialis
Indonesia dan Masyumi, karena keterlibatan kedua partai
tersebut dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958 di Sumatera.
Prinsip-prinsip demokrasi yang hendak ditegakkan oleh
pemerintah, yaitu sebagai berikut :
1)
Demokrasi terpimpin adalah demokrasi atau kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan

dalam
permusyawaratan/perwakilan.
2)
Demokrasi terpimpin bukanlah diktatur, tetapi demokrasi
yang berbeda dengan demokrasi liberal.
3)
Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal
kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi bidang-bidang
politik, ekonomi, dan sosial.
4)
Demokrasi terpimpin adalah alai, bukan tujuan.
Demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan
berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas
keselamatan negara, kepribadian bangsa, kepentingan
rakyat banyak, dan batas pertanggungjawaban kepada
Tuhan.
Ø Masa Orde Baru
Setelah berakhirnya peristiwa G 30 S/PKI, berakhir pula masa
pemerintahan Orde Lama. Kemudian bangsa Indonesia
memasuki alam Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru ini

fungsi -dan sistem pers masih belum berjalan dengan baik.

Ketika itu surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan
terompet masyarakat untuk menentang kebijaksanaan Orde Lama
clan menyokong aksi-aksi mahasiswa/pemuda sehingga surat
kabar-surat kabar yang terbit merupakan parlemen masyarakat.
Gejala-gejala pers liberal kembali melekat. Apalagi ketika
menjelang Pemilu 1971, sinisme dan kritik yang sifatnya tidak
membangun kembali memenuhi lembaran-lembaran surat kabar
kita. Timbulnya gejala-gejala yang tidak menguntungkan tersebut,
antara lain disebabkan tidak adanya pembinaan yang tegas, baik
dari instansi-instansi resmi maupun badan-badan atau organisasiorganisasi yang berkepentingan tentang adanya pers nasional
yang sehat, pers nasional yang dapat melaksanakan fungsifungsinya, baik yang bersifat universal maupun sebagai alat
perjuangan bangsa.
Namun, ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan
pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun
mengalami
perubahan
dengan
sendirinya

karena
pers
mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di
mana pers itu bergerak. Oleh karenanya, pada masa ini pers
merupakan salah satu unsur penggerak pembangunan. Kita tentu
menyadari bahwa pembangunan pada hakikatnya merupakan
suatu proses perubahan yang bertujuan meningkatkan taraf
hidup rakyat. Namun demikian, kita juga menyadari bahwa
perubahan sebagai akibat dari pembangunan tidak akan terjadi
jika rakyat tidak mengetahui dan dapat menerima motivasi,
metode, dan hasil-hasil yang akan dibawa oleh pembangunan
itu. Untuk inilah diperlukan penerangan yang lu gs kepada rakyat
tentang maksud Berta tujuan pembangunan. Pers sebagai
sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang
vital dalam proses pembangunan.
Seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat pada
masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers
mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan
aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masamasa
ini

menjadi
penghalang
bagi
rakyat
untuk
menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara.
Kondisi yang demikian dilatarbelakangi adanya keinginan
sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan

segala daya dan upaya, para elit berusaha membendung
berbagai pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikan
diri atau kroni-kroninya. Kehidupan pemerintahan diliputi
dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati
amanat rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde Baru pun
akhirnya tumbang oleh kekuatan rakyat yang dimotori oleh para
mahasiswa. Salah satu tuntutan mahasiswa-rakyat Wall adanya
kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat

dengan lisan dan tulisan, yang berarti adanya jaminan kebebasan
pers.
Ø Masa Reformasi
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia ialah terjadinya reformasi sejak 1998 dengan turunnya
Soeharto sebagai presiden RI. Runtuhnya Orde Baru membuka
era demokrasi dan kebebasan pers yang sebelumnya tidak
pernah mampu dinikmati bangsa Indonesia. Kemudian yang
menjadi pertanyaan sekarang, apakah reformasi, proses
demokratisasi, dan kebebasan pers An sudah berjalan dengan balk,
khususnya dalam membawa kemajuan rakyat banyak?
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru
yang hares disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan
Presiders Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan
kebebasan pers, sekalipun barangkah kebebasan pers ikut
merugikan posisinya sebagai presiden.
Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai
dengan lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan
adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan
media massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah

seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut
kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil
maupun militer. Dengan UU Pers diharapkan media massa di
Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar
demokrasi.
Beratnya ongkos produksi dan banyaknya pesaing tidak
mengurangi perkembangan media massa di Indonesia

sekarang. Akan tetapi, kondisi yang sama juga telah
melahirkan jenis-jenis pers yang aneh. Banyak pengamat
mengeluh bahwa pers kini sudah memberitakan apa saja, kecuali
yang benar. Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang tidak
bebas dan bertanggung jawab; pers Orde Habibie adalah pers
yang bebas dan tidak bertanggung jawab.
Diwarnai oleh suasana politik yang tidak menentu, hampir
Semua surat kabar memusatkan perhatiannya pada berita politik.
Karena situasi politik sebenarnya cenderung tidak banyak
berubah, pers menjadi sangat aktif untuk membuat berita politik
dengan mengakses sumber-sumber berita yang tidak lazim,
sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan segala efek sampingnya, pers kita sekarang sedang
menikmati bulan madu kebebasannya. Bila kita kecewa dengan
kinerjanya, kita tidak punya hak untuk mencabut kebebasan itu.
Semua orang sepakat walaupun sebagian hanya dalam kata-kata
bahwa reformasi harus dilanjutkan. Salah satu institusi yang
sangat berperan dalam proses reformasi ini adalah pers.
Sekaranglah saatnya pers Indonesia menemukan jati dirinya,
dengan merumuskan perannya secara jelas. Siapakah yang
paling bertanggung jawab di sini? Jelas sekali, bukan
pemerintah, bukan Dewan Pers, apalagi TNI; tetapi insan pers
sendiri, khususnya para pemimpin dan penentu kebijakan surat
kabar.
Dalam hubungannya dengan pemerintah, para pakar
komunikasi bercerita tentang tiga modus peran pers. Pers
dapat menjadi watch-dog, yang segera menggonggong ketika
terjadi penyimpangan pada perilaku rezim. Semua kebijakan
pemerintah menjadi target serangan pers. Peran watch-dog ini
sudah lama kita tepiskan sebagai peran yang tidak sesuai
dengan pers Pancasila.
Secara ideal, kita sudah memilih peran pers sebagai mitra
(partner) pemerintah. Di sini pers berdampingan dengan
pemerintah mengemban misi mulia memberikan penerangan
dan pendidikan (membangun masyarakat). Lalu, lahirlah pers
pembangunan. Secara praktis, pers kita selama Orde Baru
mengambil posisi sebagai budak pemerintah (slave). Kemitraan
hanya tumbuh di antara yang setingkat, yang sama (equal).

Dalam hubungan yang supra dan subordinasi, pers hanya
menjadi kuda tunggangan pemerintah.
Pers Indonesia sekarang harus menggeser paradigms lama
dan harus menjadi lembaga independen, yang memihak pads
kebenaran. Pers Indonesia boleh jadi sekali waktu bekerja untuk
menyukseskan program pemerintah atau menyorot kebijakan
pemerintah
dengan
kritis
atau
sekadar
mendampingi
pemerintah. Akan tetapi, dalam posisi yang bermacam macarn itu is tetap menjadi lembaga yang menuntut
perubahan demi kepentingan rakyat banyak.
Ini berarti pers harus membantu proses demokratisasi.
Demokrasi merupakan sebuah sistem yang berusaha memenuhi
keinginan seluruh rakyat. Karena tidak ada satu pun yang dapat
memenuhi keinginan seluruh rakyat, maka paling tidak kits
harus memperhatikan keinginan rakyat yang terbanyak.
Namun, setelah berjalan kurang lebih lima tahun, yang
terjadi bukan pers yang sehat, tetapi anarki di bidang media
massa. Pers Indonesia belum mampu menjadi pilar demokrasi
dan mendukung reformasi, tetapi malah menjadi salah satu
penyebab berbagai macam keresahan sosial. Mengapa
demikian? Masalahnya sangat sederhana. Dengan kebebasan
pers yang hampir tanpa batas, tetapi tidak diiringi
profesionalitas yang tinggi di kalangan pekerja pers, maka yang
terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan kalangan pers dalam
menjalankan tugasnya. Opini yang berkembang adalah pers
gosip, pornograf, clan berita-berita yang tidak bertanggung
jawab.
Karena itu, dalam pandangan sebagian anggota DPR, ada
wacana tentang perlunya merombak UU No. 40 tahun 1999
dengan perlunya memasukkan kembali prinsip perijinan dan
mekanisme pengawasan dalam penerbitan pers. Dalam era
reformasi ini, bukan pemerintah lagi yang berperan sebagai
regulator, tetapi lembaga yang dibentuk kalangan pers sendiri.
Pers harus bebas, tetapi kebebasannya harus bermanfaat untuk
masyarakat. Wacana perlunya regulator bagi penerbitan
media massa mungkin bukan suatu solusi terbaik bagi
kalangan media di Indonesia. Namun demikian, jika ingin
menyelamatkan demokrasi dan reformasi, maka pers harus

menata dirinya sendiri dan mengatur diri tanpa adanya campur
Langan (intervensi) dari penguasa.