kajian Islam menurut Al quran dan as s

MENGAPA ULAMA MUTAAKHIRUN BERSIKAP KERAS DALAM
MASALAH LAGU?
Sebagai catatan mengapa para ulama, fiqih mutaakhirin itu lebih bersikap keras
untuk melarang lagu-lagu terutama dengan alat-alat musik, daripada ulama fiqih
masa lalu, ini karena beberapa sebab atau alasan sebagai berikut:
Mengambil Sikap Hati-hati, Bukan Mengambil yang Lebih Mudah
Sesungguhnya ulama dahulu itu lebih banyak mengambil yang paling mudah,
sedangkan ulama akhir cenderung bersikap hati-hati atau bersikap keras. Ini bisa
dilihat dari perkembangan penjelasan fiqih dan fatwa sejak masa sahabat dan
masa-masa setelahnya. Contoh-contohnya sangat banyak dan tidak terhitung.
Tertarik dengan hadits-hadits Dha'if dan Palsu
Sesungguhnya kebanyakan fuqaha' mutuakhirin terancam dengan adanya haditshadits dha'if atau palsu yang memenuhi kitab-kitab, selain bahwa kebanyakan
mereka bukan ahli seleksi riwayat dan pen-tahkiq-an sanad. Sehingga hadits-hadits
seperti itu menjadi sangat laku, terutama dengan tersebarnya isu tentang banyaknya
sanad hadits-hadits dha'if itu dapat saling memperkuat.
Kondisi Lagu-lagu yang Sedang Mendominasi
Kondisi lagu-lagu sekarang ini kebanyakan menyimpang dan keluar batas. Inilah
yang membuat para ulama mengambil sikap melarang dan mengharamkan Ada
setidaknya dua realitas berkenaan dengan lagu-lagu ini, yang keduanya
mempengaruhi para ulama fiqih.
Pertama, Lagu-lagu Porno dan Cabul


Lagu-lagu porno telah menjadi bagian yang tidak bisa terpisah dari kehidupan
kalangan elit yang tenggelam dalam kelezatan duniawi, mengabaikan shalat, serta
mengikuti syahwat, dan mencampur-adukkan lagu dengan kemaksiatan. Ditambah
lagi dengan minum khamr, berkata bohong. dan mempermainkan gadis-gadis
cantik (para artis) sebagaimana itu semua pernah terjadi pada suatu masa tertentu
dari zaman Abbasiyah, sehingga mendengarkan lagu dalam keadaan seperti ini
dapat menimbulkan perbuatan porno, cabul dan kefasikan terhadap perintah Allah.
Sangat disayangkan bahwa dunia seni (termasuk dunia perfilman) saat ini sudah
tercemari oleh banyak penyakit. Inilah yang memaksa setiap orang dari para artis
dan penyanyi itu untuk bertaubat kepada Allah - semoga Allah memberikan
petunjuk kepada mereka- dengan menyesal dan meninggalkan sama sekali
dunianya dan lari dengan membawa agamanya.

Kedua, Lagu-lagu Shufi

Yang kedua adalah "Lagu-Lagu shufi" yang sering dinamakan dengan "Lagu
Agama." Ini mereka jadikan sebagai sarana untuk membangkitkan kerinduan dan
menggerakkan hati untuk menuju Allah. Seperti halnya yang dilakukan oleh orang
terhadap untanya. Unta itu menjadi semangat berjalan ketika mendengar suara

yang indah, sehingga merasa ringan dengan beban yang berat dan merasa pendek
untuk menempuh jalan yang jauh. Orang-orang sufi menganggap lagu-lagu atau
pujian itu sebagai ibadah kepada Allah atau minimal dapat membantu mereka
untuk beribadah dan bertaqarrub kepada Allah.
Inilah yang diingkari oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Imam
Ibnul Qayyim yang kedua-duanya sangat keras terhadap lagu-lagu seperti itu.
Terutama Ibnu Qayyim di dalam kitabnya "Ighatsul Lahafaan" yang memaparkan
segala alasannya untuk mengharamkan lagu-lagu. Ini jelas tidak seperti biasanya,
tidak dengan dalil yang shahih, tidak pula dengan dalil yang sharih. Karena ia dan
gurunya telah memandang hal itu sebagai suatu bentuk ibadah yang tidak
disyari'atkan dan mengadakan sesuatu yang belum pernah ada dimasa Rasulullah
SAW tidak pula di masa sahabat. Sehingga hal itu dianggap bid'ah terutama
apabila diadakan di masjid, Ibnu Qayyim membacakan suatu nasyid untuk
menentang mereka:
Ia membaca Al Kitab (Al Qur'an), lalu mereka lagukan,
bukan karena rasa takut, tetapi lagunya yang lalai dan pelupa.
Ia melagukan seperti keledai yang berteriak,
demi Allah mereka tidak bernyanyi karena Allah!
Rabana, seruling dan irama yang merdu,
maka sejak kapan kamu melihat ibadah dengan permainan ?

Di dalam sebagian fatwanya, Ibnu Taimiyah memperbolehkan nyanyian, apabila
untuk menghilangkan beban berat dan menghibur diri.
Fiqh Imam Ghazali dalam Masalah ini
Saya yakin bahwa sesungguhnya pendapat imam Ghazali tentang masalah lagulagu dan bantahannya yang mendalam terhadap beberapa alasan orang-orang yang
mengatakan haramnya mendengar lagu, jawabannya yang tuntas dan dukungannya
terhadap dalil-dalil orang-orang yang memperbolehkannya serta standar yang
beliau sebutkan tentang beberapa faktor yang dapat mengalihkan dari mendengar
yang diperbolehkan menjadi yang diharamkan. Itu semua termasuk sikap yang
paling adil yang menggambarkan keadilan, keseimbangan dan toleransi syari'at
sehingga relevan untuk setiap tempat dan masa.
Sesungguhnya fiqih Imam Ghazali di dalam kitabnya "Ihya'" secara umum
merupakan fiqih yang bebas dari ikatan madzhab-madzhab. Bahkan menjadi

mujtahid mutlak, yang belum melihat syari'at dari cakrawala yang luas. Ini juga
terlihat dalam masalah-masalah yang lainnya. Untuk memahaminya memerlukan
studi khusus yang kiranya pantas untuk diajukan dalam kurikulum pengajaran di
perguruan tinggi.
Beberapa Faktor yang Mengalihkan dan Mubah Menjadi Haram
Imam Al Ghazali menjelaskan beberapa faktor yang mengalihkan dari
diperbolehkannya mendengar lagu menjadi tidak. Yakni meliputi lima penyebab

sebagai berikut:
Pertama. Faktor yang ada pada penyanyi, yaitu seorang wanita yang tidak halal
untuk dipandang dan dikhawatirkan terjadi fitnah apabila memperdengarkannya.
Sehingga haramnya di sini dikarenakan takut fitnah, bukan lagunya itu sendiri.
Di sini Imam Ghazali lebih menitikberatkan pengharaman atas dasar takut terhadap
fitnah. Ini dikuatkan dengan hadits mengenai dua gadis budak yang ada di rumah
'Aisyah. Diketahui bahwa saat itu Nabi SAW turut mendengar suaranya dan tidak
dikhawatirkan adanya fitnah, karena itu beliau tidak berlindung. Ini bisa berbedabeda tergantung pada keadaan subyek dan audiensnya (apakah wanita, laki-laki,
apakah pemuda atau orang yang sudah tua). Karena itu kita katakan, boleh bagi
orang yang sudah tua mencium isterinya ketika puasa, dan tidak boleh hal itu bagi
pemuda.
Kedua. Faktor yang ada pada alat musik, yaitu apabila menunjukkan lambang para
pencium atau para banci. Alat-alat itu ialah seruling, autaar dan genderang kecil.
Inilah tiga jenis alat musik yanng dilarang, adapun selain itu, tetap pada asalnya
yaitu diperbolehkan. Seperti duf (rebana), meskipun ada jalaajil (kempyang),
seperti juga beduk, syahin, memukul dengan qadhib dan alat-alat lainnya.
Ketiga. Faktor yang ada pada isi lagu, yaitu sya'ir-sya'irnya. Apabila di dalamnya
terkandung kata-kata mencaci dan kata-kata kotor, atau perkataan dusta terhadap
Allah dan Rasul-Nya atau terhadap sahabat seperti yang dilakukan oleh orangorang syi'ah yang mencaci maki para sahabat. Maka mendengarkannya menjadi
haram, baik dengan irama atau tidak, karena pendengar itu ikut serta seperti yang

dilagukan. Demikian juga lagu-lagu yang menyebutkan ciri-ciri wanita di hadapan
pria, adapun menyebutkan ciri-ciri secara umum maka yang shahih tidak
diharamkan melagukannya, baik dengan irama atau tidak. Dan bagi pendengar
tidak boleh mempertunjukkan kepada wanita tertentu, apabila hendak
dipertunjukkan maka hendaklah dipertunjukkan kepada wanita yang halal baginya.
Jika ditunjukkan kepada wanita lain, maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan
jika memang demikian ia harus menjauhi dari mendengarkan lagu.
Keempat. Faktor yang ada pada pendengar yang dikeluarkan oleh syahwatnya.
Biasanya ini dirasakan oleh kaum muda, maka mendengarkan haram baginya.

Baik pemuda yanng dirundung cinta kasih terhadap orang tertentu atau tidak.
Sesungguhnya dia tidak boleh mendengar syair lagu tentang sifat-sifat pelipis atau
pipi, berpisah dan bertemu. Karena kalau ia mendengar, akan bangkit syahwatnya
dan tertuju kepada wanita tertentu. Syetan akan meniupkan dalam dirinya sehingga
hiduplah api syahwat dan berkembanglah motivasi untuk berbuat maksiat.
Kelima. Apabila pendengar itu termasuk orang awam dan tidak mengalahkan
cintanya kepada Allah SWT, maka mendengarkan tidak mengapa. Ataudia tidak
dikuasai oleh syahwatnya sehingga mendengarkannya menjadi tidak terlarang.
Tetapi mendengarkan itu diperbolehkan bagi dia seperti jenis kelezatan-kelezatan
lainnya yang diperbolehkan. Hanya saja apabila dia mengisi selurnh waktunya

untuk itu, maka ia termasuk orang yang bodoh yang tidak diterima kesaksiannya.
Karena terus-menerus berbuat demikian itu suatu kesalahan, sebagaimana jika dosa
kecil itu terus menerus dilakukan secara rutin, maka akan menjadi dosa besar.
Demikian juga hal-hal yang diperbolehkan, jika berlebihan dan secara terusmenerus dilakukan akhirnya akan menjadi dosa kecil. Termasuk dalam hal ini
adalah bermain catur. Sesungguhnya ia mubah, akan tetapi apabila berlebihan dan
secara rerus-menerus dilakukan maka akan berubah menjadi makruh yang sangat.
Banyak sekali hal yang diperbolehkan termasuk roti, tetapi bila berlebihan menjadi
haram, seperti hal-hal yang mubah lainnya.
Kalau dilihat dari keterangan Imam Ghazali ini, berarti seruling dan autaar
termasuk faktor yang menjadikan haramnya lagu-lagu, karena syara' sendiri
melarang yang demikian itu.
Imam Ghazali telah berijtihad di dalam mencari alasan tidak diperbolehkannya,
maka beliau benar-benar bagus dalam mencari alasan dan menafsirkannya. Yaitu
ketika mengatakan bahwa syari'at tidak melarang lagu-lagu itu karena
kelezatannya. Karena jika disebabkan kelezatan niscaya akan menjadi standar
bahwa setiap yang lezat bagi manusia itu dilarang. Akan tetapi minuman keras itu
diharamkan dan kebutuhan manusia sendiri memutuskan untuk benar-benar
dipisahkan dari minuman keras. Sebagaimana diharamkan berkhalwat dengan
wanita lain (bukan muhrim), karena itu merupakan muqaddimah zina (bersetubuh).
Diharamkan memandang paha, karena itu bisa sampai kemaluan, dan diharamkan

khamr yang sedikit, karena hal itu sebagai pengantar menuju mabuk. Tidak ada
satupun yang diharamkan kecuali ada pengantar yang juga diharamkan, agar
meniadi pelindung (preventif) bagi bahaya yang lebih besar.
Karena itu autaar dan seruling diharamkan, ikut dengan pengharaman khamr,
karena tiga alasan:
1. Sesungguhnya alat itu bisa mendorong seseorang untuk minum khamr,
karena kelezatan yang diperoleh dengan musik jenis ini bisa sempurna kalau
dengan minum khamr.

2. Sesungguhnya alat itu bagi orang yang masih baru dalam minum khamr,
akan mengingatkan kepada majelis-majelis hiburan dengan minum ...
sedangkan ingat itu menjadi penyebab bangkitnya kerinduan.
3. Berkumpul dengan musik itu sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang
menjadi ahli maksiat (fasik), maka dilarang untuk menyerupai mereka.
Karena barang siapa yang menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk kaum
itu.
Setelah pembahasan yang baik tersebut, Imam Ghazali mengatakan, "Dengan
demikian jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya alasan pengharaman musik itu
bukan sekedar kenikmatan yang baik. Tetapi standar asalnya adalah penghalalan
seluruh yang baik, kecuali jika penghalalan itu membawa kerusakan." Allah SWT

berfirman:
"Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" (Al A'raf: 32)
Semoga Allah memberi rahmat kepada Imam Al Ghazali, karena sebenarnya tidak
ada nash yang shahibuts-tsubuut (benar dan tetap pijakannya) sarihud-dalalah
(sanadnya shahih dan maknanya jelas) yang melarang autaar dan seruling
sebagaimana yang beliau kira. Tetapi beliau mengambil hadits-hadits yang
diriwayatkan mengenai masalah ini sebagai masalah yang seakan tidak
diperselisihkan, kemudian berupaya untuk menafsirkannya sebagaimana yang kita
sebutkan. Kalau seandainya beliau mengetahui kelemahan sanad riwayat hadits
dalam masalah ini, maka beliau tidak akan payah-payah untuk menafsirkan hadits
ini, yang jelas alasan-alasan yang dikemukakan ini bermanfaat bagi orang yang
tidak menganggap hadits tersebut lemah.