TAFSIR SURAH AL FATIHAH AYAT KE 6 Tafsir

Seri Kajian Tafsir Alquran |1

TAFSIR SURAH AL FATIHAH AYAT KE-6
(Tafsir Makna Hidayah dan Ṣiraṭ)
Oleh: AHMAD ABRAR RANGKUTI, S.Pd.I.,M.A.1
Disampaikan dalam Kajian Tafsir Alquran
Balai Penelitian Sei Putih, 19 Oktober 2017
A. Pendahuluan
Dalam hadis qudsi2 riwayat Imam Muslim r.a dijelaskan bahwa ketika
seorang muslim mengucapkan ihdinā aṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm saat melaksanakan
salat, Allah swt menyambut dan langsung menjawab ungkapan tersebut dengan
hażā li ˋabdī wa li ˋabdī mā sa’ala (ini untuk hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa
yang dia minta). Ini merupakan bentuk dialog vertikal langsung seorang hamba
dengan Allah swt.
Hemat penulis, bila dicermati dan ditelaah jawaban Allah swt di atas
dengan pendekatan semantik, yaitu makna kata dan bentuk ungkapan terdapat dua
hal penting. Pertama, dari aspek makna diperoleh pemahaman bahwa Allah swt
mengisyaratkan kedekatan diri-Nya dengan hamba-Nya yang melaksanakan salat.
Hal ini dipahami dari redaksi kata hażā yang bermakna ini dan menunjukkan
makna dekat. Kedua, Allah swt menjamin segala permintaan hamba-Nya akan
dikabulkan, meski tidak disebut makna segera atau kapan dikabulkan. Hal ini

dipahami dari ungkapan mā sa’ala yang menunjukkan makna keumuman lafaz.
Terkait dengan hal di atas, kajian tafsir Alquran merupakan salah satu cara
membumikan Alquran – istilah yang digunakan Quraish Shihab – dengan tujuan
agar ajaran Islam aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Alquran
yang salah satu namanya adalah an-Nūr3 yang bermakna cahaya, memiliki fungsi
sebagai pemandu jalan kehidupan manusia. Kesalahan fatal manusia akibat
mengabaikan panduan Alquran misalnya, ketika berdoa menggunakan perantara.
Padahal dalam pandangan Islam, manusia beriman tidak perlu menggunakan
perantara ketika berdoa atau berkomunikasi kepada Allah swt, sebagaimana
terjadi di semua agama selain Islam, khusunya Nasrani dan Yahudi yang dimurkai
dan dinilai sesat oleh Allah swt.4
1

Tenaga Pendidik Agama Islam SMP Negeri 3 Lubuk Pakam dan MTs Alwashliyah
Pulau Gambar, Sekretaris Pimpinan Cabang Alwashliyah Kecamatan Galang dan Sekretaris MUI
Kecamatan Galang.
2
Ulama mendefinisikan hadis qudsi sebagai khitab (titah) Allah swt yang disampaikan
kepada Rasul saw melalui mimpi atau ilham. Kemudian Rasul saw menerangkan apa yang
diterimanya itu dengan redaksinya sendiri walaupun tetap menyandarkan kepada Allah swt. Di

antara cirri-ciri hadis qudsi adalah bahwa di dalamnya terdapat perkataan Rasul saw, “Allah swt
berfirman…” dan seterusnya. Makna kandungan hadis qudsi berasal dari Allah swt yang
disampaikan langsung kepada Rasul saw tanpa perantara malaikat Jibril. Kemudian Rasul saw
menerangkan dengan gaya bahasanya sendiri. Lihat Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis
(Bandung: Citapustaka Media, 2005), h.20-21.
3
QS. An-Nisā’/4: 174.
4
Kajian tentang makna dimurkai dan sesat akan dibahas pada kajian tafsir berikutnya.

Seri Kajian Tafsir Alquran |2

B. Pembahasan

1. Tafsir Makna Hidayah
Ibn ˋĀsyur menjelaskan bahwa hidayah ditandai dengan adanya
ketenangan (talaṭṭuf) karena adanya kebaikan (khair). Hakikat hidayah adalah alwuṣūl ilā makān al-maṭlūb (sampai pada tujuan). Menurut istilah syariat hidayah
adalah ad-dilālah ˋalā mā yarḍallah min fiˋl al-khair wa yuqābiluhā aḍ-ḍalālah
wa hiya tagrīr (petunjuk terhadap apa yang diridhai Allah swt dengan cara
mengerjakan kebaikan dan menghindari kesesatan). Kemudian, ia

mengklasifikasikan hidayah dalam empat tingkatan, yaitu: 1) potensi penggerak
dan tahu, 2) petunjuk yang berkaitan dengan dalil untuk membedakan antara yang
ḥaq dan batil, 3) hidayah yang tidak dapat dijangkau akal, diutuslah rasul, dan 4)
hidayah tersingkapnya hakikat rahasia yang tertinggi serta aneka rahasia.5
Lebih lanjut Ibn ˋĀsyur menjelaskan bahwa ulama kalam berbeda
pendapat tentang makna hidayah ketika dikaitkan dengan adanya hambatan untuk
sampai ke tujuan kebaikan (khair) sebagaimana hakikat hidayah. Pendapat jumhur
ulama Asyˋari meniadakan hambatan menuju kebaikan. Hal ini karena hidayah
adalah jalan menuju tujuan, baik sampai maupun tidak. Inilah pendapat yang
benar. Di sisi lain, Zamakhsyari menyatakan bahwa hidayah merupakan petunjuk
yang sampai pada tujuan. Bila tidak sampai pada tujuan bukan merupakan
kesesatan, karena Allah swt Maha Berkehendak untuk menyampaikan kepada
tujuan siapa yang Dia beri petunjuk.6
Menurut al-Baiḍawi, ayat keenam surah al-Fātihah merupakan penjelasan
tentang adanya pertolongan yang diminta oleh hamba. Seolah-olah terjadi dialog
antara hamba dengan Allah swt. “Bagaimana Aku menolongmu?” Hamba pun
menjawab “ihdinā aṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm.” Hidayah merupakan bagian dari nikmat.
Oleh karena itu, hidayah yang diberikan Allah swt sangat banyak bahkan tidak
terhitung. Meskipun demikian, al-Baiḍawi mengklasifikasikan hidayah dalam
empat kelompok. Pertama, potensi yang memungkinkan seseorang meraih

kemaslahatan, misalnya potensi akal, indera, batin, perasaan (batin), dan fisik
(zahir). Kedua, potensi petunjuk yang dapat membedakan antara hak dan batil,
kedamaian dan kerusakan. Ketiga, hidayah dalam bentuk diutusnya rasul dan
diturunkannya Alquran. Keempat, potensi terbukanya rahasia hati baik melalui
wahyu, ilham, mimpi yang benar. Potensi yang keempat dikhususkan kepada para
nabi dan para wali.7
5
Muḥammad Ṭahir ibn ˋĀsyur, Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr (Tunisia: Dār at-Tunisiyah
wa an-Nasyr, 1984), jilid I, h. 187.
6
Ibid., h. 188.
7
Naṣhr ad-Dīn Abī Saˋīd ˋAbdullah ibn ˋUmar ibn Muḥammad asy-Syirāzī al-Baiḍawi,
Anwār at-Tanzīl wa Isrār at-Ta’wīl (Kairo: Dār al-Fikr, t.t), jilid I, h. 34.

Seri Kajian Tafsir Alquran |3

Zakaria mengungkapkan makna ayat keenam surah al-Fātiḥah dengan
makna tunjukilah kami jalan yang lurus, menuju rida dan surga-Mu, dengan tetap
mengikuti perintah dan menjauhi larangan. Islam adalah jalan yang lurus, karena

Islam membahagiakan dan penuh nikmat. Islam bagaikan jalan bebas hambatan.8
Sementara itu, As-Saˋdi menafsirkan ayat keenam tersebut dengan makna
tunjukilah (dullanā), bimbinglah (arsyidnā), dan berilah taufik (waffaqanā) ke
jalan yang lurus, yaitu jalan yang jelas yang membawa sampai kepada Allah swt
dan ke surga-Nya, yaitu dengan jalan mengetahui kebenaran (haqq) dan beramal
dengan kebenaran itu. Lebih lanjut, ia membatasi makna tunjukilah kami jalan
yang lurus dengan dua cakupan makna, yaitu: 1) tunjukilah kami ke jalan yang
lurus dan 2) tunjukilah kami di jalan yang lurus. Makna pertama permohonan dan
usaha hamba agar istiqamah dalam dīn Islam, tidak mencari agama selain Islam.
Sedangkan makna kedua meliputi hidayah (petunjuk) untuk semua rincian
(tafāṣīl) agama, ilmu, dan amal. Inilah merupakan doa yang mencakup semua doa
dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh sebab itu wajib bagi setiap muslim yang
salat berdoa kepada Allah swt di setiap rakaat salatnya sebagai bentuk kebutuhan
primernya (ḍarūratihi).9
Ulama tafsir Alquran Indonesia, M. Quraish Shihab menafsirkan ayat
keenam surah al-Fātiḥah dengan memberikan hubungan dengan ayat sebelumnya.
Setelah mempersembahkan puja puji kepada Allah swt dan mengakui kekuasaan
dan kepemilikan-Nya, ayat selanjutnya merupakan pernyataan hamba tentang
ketulusan beribadah serta kebutuhannya kepada pertolongan Allah swt. Ayat
keenam ini bermakna bimbing antar-lah kami memasuki jalan lebar dan luas.

Selanjutnya, ia menjelaskan makna kata iḥdinā yang mencakup dua hal, yaitu: 1)
tampil ke depan memberi petunjuk, dan 2) menyampaikan dengan lemah lembut.
Dari sini, lahir kata hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah
lembut guna menunjukkan simpati.10
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Allah sw menuntun setiap makhluk
kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dialah
yang memberi hidayah kepada anak ayam memakan benih ketika baru saja
menetas, atau lebah untuk membuat sarangnya dalam bentuk segi enam karena
bentuk tersebut lebih sesuai dengan bentuk badan dan kondisinya. Shihab
mengelompokkan hidayah ke dalam empat bentuk, yaitu: 1) hidayah dalam
bentuk naluri, 2) hidayah dalam bentuk indera manusia, 3) hidayah dalam bentuk
akal, dan 4) hidayah dalam bentuk agama. Selain itu, menurut Shihab hidayah
biasa disebut Alquran dengan menggunakan kata ilā maupun tanpa ilā. Ketika
kata hidayah disebut dengan menggunakan kata ilā , ini bermakna bahwa yang
diberi petunjuk belum berada dalam jalan yang benar, sedang bila tidak

8

Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2012), h, 2.
Abdurrahman ibn Nāṣir as-Saˋdiy, Taisīr al-Karīm fī Tafsīr Kalām al-Mannān (Saudi

Arabia: Al-Bayān, 1995), h. 27.
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol. 1, h. 74.
9

Seri Kajian Tafsir Alquran |4

menggunakan kata ilā pada umumnya yang diberi petunjuk telah berada dalam
jalan yang benar—kendati belum sampai di tujuan.11
Al-Maragi menjelaskan bahwa hidayah ada pada diri Allah swt dan
kewenangan memberikan hidayah tidak akan diberikan kepada siapapun. Dialah
yang memiliki sifat sebagai Pemberi hidayah. Terkait dengan klasifikasi hidayah,
al-Maragi mengelompokkan hidayah dalam empat bagian. Pertama, hidayah
dalam bentuk ilham. Hal ini dirasakan oleh anak kecil sejak ia dilahirkan. Seorang
anak akan merasa membutuhkan makanan dengan cara menangis sebagai
pertanda. Kedua, hidayah kepada panca indera. Hidayah kedua ini dimiliki oleh
manusia dan hewan. Ketiga, hidayah kepada akal. Hidayah ini lebih tinggi
derajatnya dibandingkan hidayah ilham dan panca indera. Keempat, hidayah
berupa agama dan syariat. Hidayah ini merupakan kebutuhan mutlak bagi orang
yang menganggap remeh akal pikirannya, mengikuti kemauan hawa nafsunya,

menundukkan jiwa untuk kemauan syahwatnya. Dengan hidayah agama manusia
akan menerima petunjuk.12
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia telah diberi
Allah hidayah. Akan tetapi hidayah tertinggi berupa dīn al-Islām belum dimiliki
secara sempurna oleh manusia. Oleh karena itu, setiap muslim memohon doa agar
selalu berada dalam hidayah Allah swt. Sementara di sisi lain, dalam konteks
perolehan ilmu pengetahuan Islam (epistemologi Islam) dikenal istilah masālik alhidāyah (sarana perolehan hidayah). Sarana perolehan tersebut adalah melalui
ilham, panca indera, akal, dan agama. Ketika sarana perolehan hidayah tersebut
tidak dipergunakan atau salah penggunaannya, Allah akan menghukum manusia
dalam neraka-Nya sebagaimana dalam Alquran surah al-A’raf ayat 179. Oleh
karena itu manusia dituntut untuk menjaga sarana perolehan hidayah tersebut
dengan cara patuh dan melaksanakan syariat Islam. Ketika hal tersebut
dilaksanakan, maqāṣid asy-syarīah akan diraih, yaitu: 1) terjaga akal, 2) terjaga
agama, 3) terjaga keturunan, 4) terjaga harta, dan 5) terjaga diri.
2. Tafsir Makna Aṣ-ṣirāṭ
Al-Baghawi menjelaskan bahwa ungkapan ihdinā aṣ-ṣirāṭ al-mustaqīm
merupakan suatu bentuk doa bagi mukmin mengungkapkan keadaannya yang
butuh hidayah. Hidayah yang dimohonkan adalah hidayah dalam benuk taṡbīt
(pengokohan) yang bermakna memohon tambahan hidayah. Selanjutnya, ia
menjelaskan bahwa lafal aṣ-ṣirāṭ bisa dibaca as-sirāṭ (‫ ﺲ‬/sin). Selain itu, lafal

tersebut bisa dibaca az-zirāt (‫ ﺰ‬/zai). Akan tetapi, qira’ah (bacaan) yang terpilih
dan disepakati oleh para qurra’ (ulama qiraah) adalah membaca lafal tersebut
dengan (‫ ﺺ‬/ṣad) sebagaimana tertulis dalam mushaf.13
11

Ibid., h.75-77.
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, terj. K. Ansori Umar Sitanggal, dkk
(Semarang: Toha Putra, 1992), h. 48.
13
Abu Muḥammad Husain ibn Mas’ud al-Bagawi, Ma’ālim at-Tanzīl (Riyadh: Dār aṭṬayyibah, 1988), h. 54.
12

Seri Kajian Tafsir Alquran |5

Perbedaan cara baca kata aṣ-ṣirāṭ menurut Ibn ˋAsyur dikarenakan
perbedaan bahasa. Qira’ah menggunakan huruf (‫ ﺲ‬/sin) berasal dari jumhur
qurra’ Arab. Sedangkan para qurra’ Hijaz membaca dengan huruf (‫ ﺺ‬/ṣad).
Adapun bacaan menggunakan huruf (‫ ﺰ‬/zai) pada kata aṣ-ṣirāṭ dinilai oleh alQurṭubi sebagai qiraah yang cacat (majrūḥ). Qiraah yang cacat tersebut biasa
dibaca oleh suku ‘Uzrah, Kalb, dan Bani Qain. Membaca kata aṣ-ṣirāṭ dengan
huruf (‫ ﺲ‬/sin) maupun (‫ ﺺ‬/ṣad) memiliki arti kata yang sama, yaitu (ṭarīq).

Lebih lanjut, Ibn ˋAsyur menjelaskan mengapa bisa terjadi ragam qiraat
sementara yang tertulis dalam mushaf Alquran menggunakan huruf (‫ ﺺ‬/ṣad). Ia
menegaskan bahwa para sahabat menulis dengan menggunakan (‫ ﺺ‬/ṣad) sebagai
bentuk kewaspadaan (tanbīh) demi menjaga kefasihan. Para sahabat pada masa itu
menulis dengan bahasa Quraisy sementara mereka berpegang teguh dengan ilmu
Arab.14
Pada sisi lain, Shihab menjelaskan bahwa kata aṣ-ṣirāṭ terambil dari kata
saraṭa dan karena huruf (‫ ﺲ‬/sin) dalam kata ini bergandeng dengan huruf ( ‫ﺮ‬/ra),
huruf (‫ ﺲ‬/sin) terucapkan (‫ ﺺ‬/ṣad) menjadi (‫ﺻﺮﺍﻄ‬/ṣiraṭa) atau zai menjadi (‫ﺯﺮﺍﻄ‬/
ziraṭa). Asal katanya sendiri bermakna menelan. Jalan yang lebar dinamai aṣ-ṣirāṭ
karena sedemikian lebarnya sehingga jalan tersebut bagaikan menelan si pejalan.
Kata aṣ-ṣirāṭ ditemukan dalam Alquran sebanyak 45 kali. Kesemuanya dalam
bentuk tunggal. 32 kali di antaranya dirangkaikan dengan kata mustaqīm. Kata aṣṣirāṭ berbeda dengan kata as-sabīl yang juga diterjemahkan dengan jalan. Kata
as-sabīl ada yang berbentuk jamak, seperti subul as-salām (jalan-jalan
kedamaian), ada pula yang dinisbahkan kepada Allah swt seperti sabīlillah atau
kepada orang yang bertakwa, seperti sabīl al-muttaqīn.15
Selanjutnya, aṣ-ṣirāṭ yang dimohonkan dalam surah al-Fātihah ini adalah
yang mustaqīm yakni lurus. Dalam surah al-Fātihah ini, kata mustaqīm diartikan
lurus. Dengan demikian, yang diharapkan bukan hanya aṣ-ṣirāṭ yakni jalan yang
lebar dan luas, tetapi juga lurus karena kalau jalan hanya lebar dan luas lagi

berliku-liku, sungguh panjang jalan yang harus ditempuh guna mencapai tujuan.
Aṣ-ṣirāṭ al- mustaqīm adalah jalan luas, lebar, dan terdekat menuju tujuan. Jalan
luas lagi lurus itu adalah segala jalan yang dapat mengantar kepada kebahagiaan
dunia dan akhirat. Alquran juga menegaskan bahwa aṣ-ṣirāṭ al- mustaqīm adalah

14

Ibn ˋĀsyur, Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, h. 190. Masyarakat Arab sebelum Islam
sudah mengenal dan menguasai berbagai ilmu, seperti ilmu Riyāh (angin), Nujum (astrologi),
Anwa’ (cuaca), Kahanah (perdukunan), Ṭibb (kedokteran), Syair, Pidato. Bahkan masyarakat
Arab pada masa itu mampu mengetahui bekas tapak kaki di gurun pasir, apakah tapak kaki laki
atau perempuan; bila perempuan, gadis atau janda. Mereka memperoleh ilmu tersebut dari
lingkungan dan pengalaman hidup mereka. Nilai ilmu menurut mereka adalah ilmu yang
bermanfaat untuk kehidupan materi mereka. Lihat Umar Ridha Kahhalah, Dirāsāh Ijtimāˋiyyah fī
al-ˋUṣūr al Islāmiyyah (Damsyiq: Maktabah at-Taˋāwūn, 1973), h. 37.
15
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 79.

Seri Kajian Tafsir Alquran |6

ibadah sebagaimana disebut dalam Alquran surah Yāsīn ayat 61, “Dan
beribadahlah kepada-Ku, inilah aṣ-ṣirāṭ al- mustaqīm. 16
Kata aṣ-ṣirāṭ memiliki lawan kata az-ẓulumāt (kegelapan) yang selalu
digunakan Alquran dalam bentuk jamak (plural). Menurut Muṭaḥḥari,
penggunaan kata az-ẓulumāt (kegelapan) yang selalu digunakan Alquran dalam
bentuk jamak sedangkan kata aṣ-ṣirāṭ selalu dalam bentuk tunggal bermakna
bahwa jalan yang salah itu sangat banyak jumlahnya, sedangkan jalan Allah swt
hanyalah satu. Di sinilah perlunya para nabi diutus, karena jalan lurus yang
membawa kepada kesempurnaan tidak dapat dibedakan manusia tanpa bantuan
para nabi. Para nabilah yang menunjukkan jalan lurus tersebut. Ia juga
menjelaskan perbedaan makna kata aṣ-ṣirāṭ dengan kata as-sabīl. Kata as-sabīl
bermakna anak cabang jalan, sedangkan kata aṣ-ṣirāṭ bermakna jalan besar.
Mungkin ada banyak anak cabang jalan yang dapat menuju tujuan, namun hanya
ada satu jalan utama.17
Menurut Ibnu ˋAbbas18, Jabīr, dan Muqātil r.a makna aṣ-ṣirāṭ adalah
Islam. Ibnu Masˋud dan Sayyidina ˋAlī r.a 19 memaknainya sebagai Alquran
berdasarkan hadis marfuˋ.20 Saˋid ibn Zubair mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan aṣ-ṣirāṭ adalah jalan (ṭarīq) menuju surga. Abū ˋĀliyah dan Ḥasan
memaknainya sebagai Rasul saw, keluarga, dan para sahabatnya. Sedangkan Saḥl
ibn ˋAbdullah menyatakan bahwa makna aṣ-ṣirāṭ adalah jalan ahlussunnah wal
jamaah. Secara bahasa aṣ-ṣirāṭ bermakna aṭ-ṭarīq al wāḍih (jalan yang jelas).21
Dengan demikian, kehidupan manusia seperti musafir yang berjalan
menuju kesempurnaan, seharusnya memilih jalan utama. Mungkin ada di antara
kita yang memilih cabang jalan untuk mencapai jalan utama tersebut. Jika
16

Ibid., 80-81.
Murtaḍa Muṭaḥḥari, Tafsir Surat-surat Pilihan: Mengurai Kandungan Ayat-ayat
Qurani, terj. M.S Nasrulloh dan Hasan Rahmat (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), h. 61.
18
Ibn ˋAbbas ulama tafsir generasi sahabat di Mekah yang memiliki murid Saˋid ibn
Zubair, Mujāhid, ˋIkrimah, Maulā Ibn ˋAbbas, Ṭawus ibn Kaisān al Yamani, dan ˋAṭa’ ibn Abī
Rabāh. Di Madinah ulama tafsir generasi sahabat adalah Ubay ibn Kaˋab yang memiliki murid
Zaid ibn Aslam, Abū al-ˋĀliyah, dan Muḥammad ibn Kaˋab al-Qaraẓi. Di Irak ulama tafsir
generasi sahabat adalah ˋAbdullah Ibn Masˋud yang memiliki murid ˋAlqamah ibn Qais, Masrūq,
Aswad ibn Yazīd, ˋĀmir asy-Syaˋbi, Ḥasan al-Baṣri, Qatadah ibn Diˋamah as-Sadūsi. Lihat
Mannaˋ al-Qaṭṭan, Mabāḥiṡ fī ˋUlūm al-Qurˋan (Riyadh: Mansyurah al-ˋAṡr al-Ḥadīṡ, 1990),
h. 11.
19
As-Suyūṭi menyebutkan sepuluh orang sahabat terkemuka yang memiliki kredibilitas
dalam bidang tafsir. Mereka adalah empat orang dari al-khulafa’ ar-rasyidun, Ibn ˋAbbas, Ibn
Masˋud, Ubay ibn Kaˋab, Zaid ibn Ṡabit, Abū Musā al-Asyˋari dan ˋAbdullah ibn Zubair. Lihat
Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Alquran: Kajian Kritis, Objektif, dan Komprehensif, terj.
Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 10.
20
Hadis marfuˋ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw dalam bentuk
perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan/ketetapan), ataupun sifat. Hukum hadis marfuˋ tergantung
pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian memungkinkan
suatu hadis marfuˋ itu berstatus sahih, ḥasan, atau ḍaif. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis
(Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003), h. 283.
21
al-Bagawi, Ma’ālim at-Tanzīl, h. 54.
17

Seri Kajian Tafsir Alquran |7

seseorang, dalam kedudukan dan peringkat apapun, bertindak sesuai dengan
kewajiban manusiawi, moral dan agamnya, maka ia akan menemukan jalan
utama melalui jalan kecil mana saja yang telah dipilihnya, tidak peduli berapa
besar perbedaan jalan-jalan kecil itu pada mulanya. Para dokter, pekerja, atau
pedagang, memilih jalan-jalan kecil yang berbeda, namun mereka pada akhirnya
dapat bertemu pada jalan utama.22
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aṣ-ṣirāṭ merupakan jalan
luas, dan lebar. Jalan yang diminta manusia adalah jalan luas dan lebar yang almustaqīm, yaitu lurus.
C. Simpulan
Ayat keenam surah al-Fātihah memberi isyarat kepada orang yang beriman
agar selalu sadar dan memohon hidayah Allah swt. Permohonan tersebut adalah
kebutuhan primer manusia. Di balik makna tersebut terungkap pesan bahwa
kehidupan yang dijalani manusia seluruhnya terkait dengan hidayah yang diberi
Allah swt kepada manusia. Masalah yang dihadapi manusia akan selesai bila
mana ia berdoa memohon hidayah Allah swt dan memfungsikan potensi hidayah
tersebut dalam kehidupan. Sebaliknya kegagalan akan terjadi bilamana manusia
tidak mengetahui dan memfungsikan dengan baik potensi hidayah yang
dimilikinya dalam kehidupan.
Manusia yang beriman akan berdoa agar hidayah tersebut langgeng dan
menjadi sarana penuntun kehidupan. Sebaliknya manusia yang lalai bahkan ingkar
dengan jati dirinya sebagai manusia yang lemah akan semakin jauh dari hidayah
Allah swt dan berada di jalan kehidupan yang bengkok. Bila demikian, manusia
yang seperti itu tidak akan pernah sampai ke tujuan yang sesungguhnya.

22

Muṭaḥḥari, Tafsir Surat-surat Pilihan, h. 61.

Seri Kajian Tafsir Alquran |8

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaṭṭan, Mannaˋ. Mabāḥiṡ fī ˋUlūm al-Qurˋan. Riyadh: Mansyurah al-ˋAṡr alḤadīṡ, 1990.
Ushama, Thameem. Metodologi Tafsir Alquran: Kajian Kritis, Objektif, dan
Komprehensif, terj. Hasan Basri dan Amroeni. Jakarta: Riora Cipta, 2000.
Al-Bagawi, Abu Muḥammad Husain ibn Mas’ud. Ma’ālim at-Tanzīl. Jilid I.
Riyadh: Dār aṭ-Ṭayyibah, 1988.
al-Baiḍawi , Naṣhr ad-Dīn Abī Saˋīd ˋAbdullah ibn ˋUmar ibn Muḥammad asySyirāzī. Anwār at-Tanzīl wa Isrār at-Ta’wīl. Jilid I. Kairo: Dār al-Fikr, t.t.
Ibn ˋĀsyur , Muḥammad Ṭahir. Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr. Jilid I. Tunisia:
Dār at-Tunisiyah wa an-Nasyr, 1984.
Kahhalah, Umar Ridha. Dirāsāh Ijtimāˋiyyah fī al-ˋUṣūr al Islāmiyyah. Damsyiq:
Maktabah at-Taˋāwūn, 1973.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi, terj. K. Ansori Umar Sitanggal,
dkk. Semarang: Toha Putra, 1992.
Muṭaḥḥari, Murtaḍa. Tafsir Surat-surat Pilihan: Mengurai Kandungan Ayat-ayat
Qurani, terj. M.S Nasrulloh dan Hasan Rahmat. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2007.
As-Saˋdiy Abdurrahman ibn Nāṣir. Taisīr al-Karīm fī Tafsīr Kalām al-Mannān.
Saudi Arabia: Al-Bayān, 1995.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Volume 1. Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Wahid, Ramli Abdul Wahid. Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media,
2005.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003.
Zakaria, Zainal Arifin. Tafsir Inspirasi. Medan: Duta Azhar, 2012.