PEMBANGUNAN DESA SEBAGAI TRANSFORMASI SOSIAL

   PEMBANGUNAN DESA SEBAGAI TRANSFORMASI SOSIAL

   Dr. Sismudjito, M.Si.

  Pendahuluan

  Pada umumnya sebagian dari beberapa daerah dan wilayah di dunia ini terdapat daerah-daerah dan wilayah-wilayah kecil yang jauh dari aktivitas manusia. Daerah dan wilayah tersebut lazimnya disebut sebagai desa. Dari berbagai pengamatan dan studi terlihat bahwa bentuk desa berbeda dari suatu daerah ke daerah lain. Secara Geografis kondisi alam sekitar sering memengaruhi atau menentukan bentuk desa, baik berkaitan dengan pembangunan, pemukiman di daerah pegunungan dengan desa yang berada di bagian pantai atau dengan desa-desa di suatu dataran yang dilewati sungai yang airnya dapat dipakai untuk pengairan lahan usaha ini.

  Terdapat pula bentuk suatu desa yang berkaitan erat dengan karakteristik sosial dan budaya yang dominan di pemukiman yang bersangkutan. Terdapat beberapa karakteristik yang senantiasa inheren dan dijiwai oleh anggota komunitasnya, salah satunya adalah sikap tradisional. Sikap hidup dan nilai budaya masyarakat pedesaan telah semenjak lama menjadi obyek kajian para cendikiawan, baik dari disiplin social dan filsafat. Pada umumnya konstatasi para cendekiawan tersebut mengganggap bahwa nilai dan sikap hidup masyarakat pedesaan cenderung bersifat tradisional. Artinya kepatuhannya terhadap niai-nilai social yang ada dalam tradisi sangat kuat, sehingga konsekuensi menjadi sikap jiwa

  Max Weber menyatakan kepada kita bahwa tradisionalisme merupakan sikap jiwa yang mendasarkan diri kepada kebiasaan sehari-hari serta mempercayai kebiasaan sehari-hari itu sebagai suatu keadaan yang tidak dapat dilanggar atau diubah. Karl Manheim melengkapinya dengan menyatakan bahwa tradisionalisme 1 merupakan suatu tendensi untuk menganut pola-pola yang berhubungan dengan 2 Disampaikan pada kuliah umum di FISIP UNIMAL Staff pengajar di Departemen Sosiologi FISIP USU tumbuhnya way of life, yang dengan jujur orang akan menganggapnya ada di mana-mana serta bersifat universal.

  Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan tradisionalisme sebagai suatu keyakinan terhadap nilai-nilai tertentu yang terinternalisasi kedalam individu/kelompok secara terikat. Lebih lanjut, Kluckhon dan Strodtbeck memandang tradisionalisme berkaitan dengan persoalan pokok kehidupan manusia yang meliputi, yaitu: hakikat sifat manusia, karya manusia, ruang dan waktu, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan sesama manusia.

  Pertentangan terhadap nilai-nilai tradisionalisme dapat terjadi melaui dua hal, yaitu secara internal dan eksternal. Secara internal, individu merasa terkungkung dengan sistem nilai yang dibentuk sejak lama.Misalnya, seseorang tidak dapat leluasa dalam mengembangkan dirinya diakarenakan terbentuk dari nilai-nilai yang telah diwariskan. Secara eksternal, perubahan terhadap pola pikir, sikap, dan kemajuan (modernisasi) yang dirangsang dari luar. Misalnya, hadirnya teknologi.

  Dengan demikian benturan terhadap nilai-nilai tradisionalisme memberikan ruang kepada individu/kelompok untuk melakukan transformasi kedalam bentuk nilai-nilai yang baru (modern).

  Transformasi Sosial

  Pada dasarnya masyarakat baik dalam arti mikro maupun makro senantiasa dalam kondisi dinamis, artinya masyarakat tersebut tidak ada yang mengalami stagnasi atau mandeg. Paralel dengan pernyataan Berger (1982) bahwa masyarakat senantiasa akan terjadi transformasi sosial, baik bersifat intern maupun ekstern. Transformasi intern artinya transformasi yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, yang ditandai oleh ketidak puasan para anggota masyarakat terhadap kondisi yang sedang dialami, sehingga ada tendensi untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dianggap tidak memuaskan lagi. Perubahan yang bersifat ekstern artinya perubahan yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri yang bermula meningkatnya hubungan sosial antara anggota masyarakat itu sendiri dengan anggota masyarakat luar, sehingga terjadi proses komparasi antara keadaan diri dengan keadaan luar masyarakatnya. Proses komparasi tersebut akan menimbulkan sikap deprefasi relatif (relative

  

deprevation ), seadainya keadaan sosio kultural internal tidak mendukung

  dinamika kemajuan. Deprefasi sebagaimana yang dikemukakan Berry (1982) adalah perasaan yang timbul jika seseorang menyadari kondisi hidupnya mengalami kekurangan dalam beberapa hal, dan hal-hal mana mereka sadari ada pada diri orang lain sehingga ia merasa seharusnya hal terebut bisa dia miliki. Pengertian tersebut ditegaskan oleh Gorr (1971), deprefasi relatif adalah persepsi para actor tentang ketidaksesuaian antara nilai harapan dengan kemampuan. Nilai harapan adalah materi atau kondisi yang diyakini para aktor menjadi haknya. Nilai kemampuan adalah materi atau kondisi yang diperkirakan dapat diperoleh dan diambil para aktor.

  Proses komparasi tesebut tidak jarang akan meningkatkan motivasi para anggota masyarakat untuk mengidentifikasikan kepada pihak lain yang dianggap sebagai referensinya. Dalam hal ini sesuai dengan pemikiran David McClelland tentang N’ach (the need for achievement) (kebutuhan akan pencapaian) (Fakih, 2001). McClelland mengemukakan bahwa individu memiliki target-target pencapaian yang ada dalam benak individu tersebut. Berawal dari kesadaran individu, kemudian disosialisasikan kepada seluruh masyarakat tentang keinginan untuk maju dan berkembang.

  Proses lebih lanjut, pengembangan sifat tersebut terwujud dalam aspirasi yang tinggi, rasionalita yang tidak tertekan, dan achievement motivation yang tinggi, ketiganya bersama-sama menjadi sumber tenaga potensiil yang pada setiap saat dapat muncul menjadi tindakan-tindakan kreative berupa “innovativeness”, yakni derajat kecepatan seseorang atau sesuatu masyarakat di dalam menerima segala sesuatu yang bersifat baru. “Innovativeness is defined as the degree to

  

which an individual adopts new ideas relatively earlier than others in hid social

system ”. Dengan perkataan lain innovativeness dapat diartikan sebagai derajat

  kemampuan yang tinggi untuk mengadoptir inovasi-inovasi baru. Karenanya innovativeness dapat dipandang sebagai indikator daripada modernisasi.

  Lebih daripada itu innovativeness malahan dapat dipandang sebagai satu- satunya indikator yang terbaik daripada modernisasi, oleh karena innovativeness lebih menunjukkan realita tindakan daripada sekedar perubahan sikap.

  

Innovativeness dalam modernisasi merupakan rangkaian tindakan yang aktual

  untuk menggunakan atau melaksanakan ide-ide dan teknologi modern dalam lapangan pertanyaan, kesehatan, kehidupan keluarga dan lain sebagainya, Dengan sendirinya aspirasi yang tinggi rasionalita yang tidak tertekan, dan achievement

  motivation yang tinggi, ketiganya dapat pula dipandang sebagai indikator- indikator yang lain daripada modernisasi.

  Menurut Alex Inkeles (dalam Weiner, 1981), ciri-ciri manusia modern dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu:

  1. Bersedia menerima pengalaman baru dan terbuka bagi innovate baru.

  2. Memiliki probrem solving intern dan ekstern dan lebih demokratis.

  3. Lebih berorientasi pada masa kini dan akan datang 4.

  Terencana dan terorganisasi.

  5. Berwawasan terus belajar akan science.

  6. Mengandalkan tanggung jawab timbal balik individu dan lembaga.

  7. Sadar akan martabat orang lain dan menghargainya.

  8. Yakin akan ilmu dan teknologi.

  9. Berfaham kuat tentang keadilan yang merata.

  Pembangunan Desa

  Masyarakat di manapun di dunia ini akan selalu terlihat dalam proses pembangunan, dan sistem peradaban yang tercipta kemudian bukanlah merupakan produk akhir. Peradaban akan selalu dinamis dalam mencari bentuk kesempurnaan. Dalam hal ini Berger (Poloma, 1979) menyatakan “sebenarnya masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, akan tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.” Pada dasarnya proses pembangunan membawa suatu peningkatan kualitas kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan proses pembangunan Roupp (1953) mengartikan pembangunan sebagai berikut “pembangunan adalah perubahan dari suatu bentuk yang kurang berarti ke suatu bentuk yang lebih berarti, dalam upaya mencapai tujuan yang terkandung dalam pembangunan tersebut, sumber-sumber daya yang ada dalam masyarakat perlu dimobilisasi sampai pada tingkat yang optimum melalui mekanisme legitimasi yang ada.”

  Saat ini pembangunan perdesaan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal itu dikarenakan adanya perubahan paradigma pembangunan yang dahulunya berbentuk sentralisasi yang kini menjadi desentralisasi. Bentuk manifestasi dari pergeseran paradigma pembangunan tersebut adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Perubahan paradigma sentralisasi pemerintah ke arah desentralisasi dengan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab, dengan landasan konstitusional serta legal yang kuat telah menghasilkan pembaharuan orientasi, konsepsi, regulasi, dan kebijakan pembangunan daerah. Hal tersebut berlaku pada seluruh daerah di Indonesia, termasuk kawasan pesisir.

  Terjadinya pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi membuat masyarakat pesisir yang semula tidak memiliki hak otonom untuk mengurusi daerahnya, kini mendapatkan hak penuh dalam upaya pembangunan daerah pesisir itu sendiri. Hal itu berdampak pada kemajuan pembangunan daerah pesisir, namun dampak lain yang tercipta adalah terjadinya pergerseran orientasi ekonomi. Orientasi yang semulanya hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sebagai bentuk subsistensi, kini sudah berkembang menjadi orientasi ekonomi yang bertujuan mencari keuntungan yang tinggi.

  Pembangunan memiliki konsekuensi yang berbeda-beda sesuai dengan keberlangsungan waktu dan sebab dari pembangunan itu sendiri. Pembangunan yang bersifat evolusioner biasanya memiliki tatanan nilai yang sudah mendarah daging di dalam masyarakat. pembangunan yang terjadi secara lambat namun pasti, dikarenakan masyarakat senantiasa berubah dan bertransformasi menuju ke arah yang lebih maju. Oleh karenanya, pembangunan evolusioner banyak dilatar belakangi oleh kesadaran akan kebutuhan yang meningkat dari masyarakat itu sendiri.

  Sejalan dengan pembangunan yang bersifat evolusioner, masyarakat perdesaan senantiasa mengalami transformasi-transformsi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Sehingga desa mengalami perubahan bentuk dari swadaya menuju swakarsa, dan kemudia swasembada. No. Tingkat Karakteristik Desa

  Perkembangan Desa

  1. - Swadaya Lebih dari 50% penduduk bermata pencaharian di sektor primer (berburu, menangkap ikan, dan bercocok tanam secara tradisional)

  2. Swakarsa Mata pencaharian penduduk mulai bergeser dari sektor

  • primer ke industry, penduduk desa mulai menerapkan teknologi pada usaha taninya, kerajinan dan sektor sekunder mulai berkembang.

  3. Swasembada

  • jasa dan perdagangan atau lebih dari 55% penduduk bekerja di sektor tersier.

Mata pencaharian penduduk sebagian besar di sektor

  (sumber: Muta’ali, 2013) Berbeda halnya dengan pembangunan yang bersifat revolusioner. Pembangunan revolusioner berlangsung secara cepat dan nyaris secara tiba-tiba. Sifatnya yang berlangsung secara cepat dan tiba-tiba mengakibatkan masyarakat mengalami apa yang disebut dengan culture shock (kaget budaya). Pembangunan revolusioner ini bisa disebabkan oleh adanya kejadian atau peristiwa yang terjadi begitu cepat seperti peperangan, bencana alam, atau konflik. Sebagai contoh pembangunan yang bersifat revolusioner adalah yang disebabkan oleh bencana alam yang pernah terjadi di berbagai kawasan di Aceh. Pada tahun 2004, bencana tsunami menimpa Provinsi Aceh sehingga mengakibatkan kerugian materill dan korban jiwa yang sangat tinggi.

  Berbagai pihak datang ke Aceh untuk memberikan bantuan. Peristiwa bencana alam yang terjadi berlangsung begitu cepat sehingga masyarakat Aceh yang dahulunya memiliki nilai-nilai kemandirian yang tinggi beralih menjadi masyarakat yang senang berpangku tangan. Untuk mengantisipasi dampak- dampak negatif dari tranformasi sosial terhadap pembangunan diperlukan adanya pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses belajar dan sekaligus merupakan suatu proses yang berkesinambungan bagi individu yang berkesempatan mengenyamnya (Combs & Ahmed, 1984: 9). Sehingga pendidikan sangat penting untuk diperhatikan agar dapat menjaga kestabilan proses transformasi sosial pembangunan desa.

  Konklusi

  Masyarakat senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Bentuk nyata dari perubahan-perubahan tersebut adalah bertambahnya berbagai kebutuhan yang ada pada masyarakat. Sehingga masyarakat perlu keluar dari budaya yang ada pada masyarakat tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lebih jauh lagi, masyarakat perdesaan akan senantiasa berkembang dan beralih dari desa swadaya ke swakarsa, dan menuju swasembada. Bentuk-bentuk desa yang demikian itu, merupakan bentuk dari transformasi sosial yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Seiring dengan transformasi sosial yang terjadi di masyarakat, pembangunan juga terus berlangsung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tanpa dibarengi pembangunan mental masyarakat, pembangunan yang berkelanjutan tidak akan terpenuhi secara maksimal.

  Pembangunan yang bersifat revolusioner biasanya diakibatkan oleh peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba atau mendadak. Akibat kejadian yang berlangsung secara tiba-tiba dan mendadak tersebut, masyarakat secara langsung akan merasakan akibatnya. Salah satu akibat dari pembangunan revolusioner adalah kaget budaya (culture shock) yang mengakibatkan masyarakat dengan terpaksa harus keluar dari budaya yang sudah melekat di dalam tatanan sosial masyarakat tersebut.

  

Daftar Pustaka

Fakih, Masour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi.

  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Frank, Andre Gunder. 1984. Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan sosiologi. Jakarta: Sangkak Pulsar.

  Hanafi, Abdillah. 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru.Surabaya:Usaha Nasional. Lerner, Daniel. 1983. Memudarnya masyarakat tradisional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muta’ali, Lutfi. 2013. Pengembangan Wilayah Perdesaan (Persepektif Keruangan) . Yogyakarta: BPFG UGM. Nugroho, Heru. 1985. Dislokasi Tenaga Kerja Sektor Pertanian (Suatu Studi

  Tentang Pengaruh Penetrasi Modernitas Terhadap Pergeseran Orientasi

Mata Pencaharian Masyarakat Perdesaan) . Skripsi tidak diterbitkan.

  Ritzer,George dan Douglas J.Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Sismudjito. 2001. Sosiologi Pedesaan Suatu Ikhtisar dari Beberapa Referensi.

  Medan: Tidak dipublikasikan. Soedjito. 1987. Aspek Sosial Budaya Dalam Pembangunan Pedesaan.

  Yogyakarta: Usaha Nasional. Soetomo. 2008. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajaran.

  Sugihen, Bahren. 1996. Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: Rajawali Pers. Sumodiningrat, Gunawan. 2007. Pemberdayaan Sosial. Jakarta:Kompas. Weiner, Wyton. 1981. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.