BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Pengertian Diare - Hubungan Iklim (Curah Hujan, Suhu Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) Dengan Kejadian Diare di Kota Jakarta Pusat pada Periode Tahun 2004-2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare

  2.1.1 Pengertian Diare

  Menurut Suharyono (2008) mengutip pendapat Hipocrates diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal atau meingkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair. Menurut Kemenkes RI (2011) diare merupakan penyakit yang terjadi ketika tejadi perubahan konsistensi feses lebih berair dari biasanya atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi juga tidak berdarah dalam waktu 24 jam.

  Diare dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu serangan yaitu diare akut dan diare kronik. Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu. Diare kronik atau diare berulang adalah suatu keadaan meningkatnya frekuensi buang air besar yang dapat berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan baik secara terus-menerus atau berulang, dapat berupa gejala fungsional atau akibat suatu penyakit besar (Suharyono, 2008).

  2.1.2 Tanda dan Gejala Diare

  Menurut Widoyono (2008) ada beberapa gejala dan tanda diare, antara lain : Gejala umum a.

  Berak cair atau lembek dan sering b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut c.

  Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis bahkan gelisah.

  2. Gejala spesifik a.

  Vibrio cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis b.

  Disenteriform : tinja berlendir dan berdarah Menurut Widoyono (2008) diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan : 1.

  Dehidrasi Tergantung dari presentase cairan tubuh yang hilang, dehidrasi dapat terjadi ringan, sedang ataupun berat

  2. Gangguan sirkulasi Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam waktu yang singkat mengalami syok atau presyok yang disebabkan oleh berkurangnya volume darah.

  3. Gangguan asam basa Dapat terjadi akibat kehilangan cairan elektrolit (bikarbonat) dari dalam tubuh.

  4. Hipoglikemia Hal ini sering terjadi pada anak yang sebelumnya mengalami mal ekstraseluler menjadi hipotonik dan air masuk ke dalam cairan intraseluler sehingga terjadi edema otak yang mengakibatkan koma.

5. Gangguan gizi

  Hal ini terjadi karena asupan makanan yang kurang dan keluaran yang berlebihan dan akan bertambah berat bila pemberian makanan dihentikan serta sebelumnya penderita sudah mengalami kekurangan gizi.

2.1.3 Penyebab Diare

  Menurut KEPMENKES RI No. 1216/MENKES/SK/XI/2001 penyebab diare dikelompokkan menjadi 6 golongan besar, yaitu :

  1. Infeksi : a.

  Bakteri : Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Golongan vibrio,

  Basilus cereus, Clostridium perfringen, Staphylococcus aureus, Camphylo bacter, Aeromonas b.

   Virus : rotavirus, adenovirus c.

  Parasit : Protozoa, Entamuba histolytica, Guardian lamblia,

  Balantidium coli, cryptosporidium , Cacing perut, Ascaris, Trichuris, Stringloides, Blastissistis

  2. Mal absorbsi 3.

  Alergi 4. Keracunan a.

  Keracunan bahan-bahan kimia b. Keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi :

   Jasad renik, algae  Ikan, buah-buahan, sayur-sayuran 

5. Imunodefisiensi 6.

  Sebab-sebab lainnya.

2.1.4 Jenis-jenis Diare

  Terdapat dua jenis diare, yaitu : (Kemenkes RI, 2010) 1. Diare akut, diare yang terjadi mendadak dan berlangsung selama beberapa jam hingga 14 hari

  2. Diare kronis, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari Menurut Suharyono (2008) yang mengutip pendapat Rendle Short mengklasifikasikan diare berdasarkan pada ada tidaknya infeksi, yaitu :

  1. Diare infeksi spesifik : tifus abdomen dan paratifus, disentri basil (shigella), enterokolitis stafilokok 2. Diare non spesifik : diare dietetic

2.1.5 Patogenesis Diare

  Patogenesis diare dalam Listiono (2010) dapat dibagi menjadi : 1. Diare oleh virus

  Patogenesis terjadi diare oleh virus yaitu pertama virus masuk ke dalam tubuh bersama makanan dan minuman, setelah sampai ke dalam enterosit (sel epitel usus halus) menyebabkan infeksi serta kerusakan jonjot-jonjot usus halus. Kemudian usus yang rusak digantikan oleh enterosit yang berbentuk kuboit atau sel epitel gepeng yang belum matang, tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan yang tidak terserap dan tercerna tersebut akan meningkatkan koloid osmotic usus. Kemudian terjadi motolitas usus sehingga cairan dan makanan yang tidak terserap tadi akan terdorong keluar usus melalui anus dan terjadilah diare.

  Diare yang disebabkan oleh virus ini tidak berlangsung lama, biasanya antar 3-4 hari dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan setelah enterosit usus yang rusak diganti oleh entrosit yang baru, normal dan sudah matang (mature).

2. Diare oleh bakteri a.

  Bakteri non invasive : Pathogenesis terjadinya diare oleh bakteri non invasive yaitu pertama bakteri masuk ke dalam tubuh bersama makanan dan minuman, setalah sampai ke dalam lambung, bakteri akan dibunuh oleh asam lambung. Bila jumlah bakteri banyak, maka akan ada yang lolos sampai ke usus dua belas jari. Disini bakteri akan berkembang biak hingga bisa mencapai 100.000.000 koloni atau lebih per millimeter cairan usus halus dengan memproduksi enzim micinase, lapisan lender yang menutupi permukaan sel epitel usus halus menjadi cair sehingga bakteri dapat masuk ke dalam membrane epitel.

  Di dalam membrane epitel, bakteri mengeluarkan toksin sub unit A dan sub unit B serta CAMP (cyclic adenosine monophosphate) yang absorbsi cairan di bagian apical villi tanpa menimbulkan kerusakan sel epitel tersebut. Hal ini menimbulkan cairan di dalam lumen usus bertambah banyak sehingga lumen usus mengelembung dan tegang, kemudian dinding usus mengadakan kontruksi sehingga hipermolitas dan hiperperistaltik untuk mengeluarkan cairan ke usus besar kemudian keluar anus. Dalam keadaan normal usus besar mempunyai kemampuan mengabsorbsi sampai dengan 4500 ml, apabila melebihi kapasitas akan terjadi diare.

  b.

  Diare bakteri invansive Pathogenesis tejadinya diare bakteri invansive hamoit sama prinsipnya dengan terjadinya diare yang disebabkan oleh baktei non invansive. Perbedaannya bakteri Salmonella sp dan Shigella sp dapat menimbulkan mukosa usus halus sehingga dapat ditemukan adanya darah dalam tinja dan dapat menimbulkan reaksi sistematik seperti demam, kram perut dan sebagainya.

2.1.6 Teori Simpul Diare

  Pathogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat digambarkan dalam teori Simpul. Teori simpul tersebut menggambarkan interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia. Berdasarkan teori simpul (Ahmadi) faktor-faktor yang mempengaruhi diare antara lain sebagai berikut : a.

  Agent melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja atau kontak langsung dengan tinja penderita. Penyebaran tidak langsung terjadi melalui perantara yaitu vektor binatang seperti lalat, tikus, kecoa dan lain-lain. Binatang tersebut dapat menjadi penyebaran kuman tidak langsung karena kontak langsung dengan feses yang mengandung kuman penyebab diare lalu mengkontaminasi makanan dan minuman.

  b.

  Media transmisi  Lingkungan biologis seperti vektor penyakit tertentu terutama penyakit menular.

   Keadaan iklim yang dapat mempengaruhi diare seperti curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan sumber air dapat tercemar, suhu udara dan kelembaban udara yang mempengaruhi tumbuh kembang mikroorganisme dan vektor.

   Diare biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi lingkungan yang buruk (Kemenkes, 2010).

  c.

  Host atau penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare

   Keadaan imunitas dan reaksi tubuh terhadap berbagai unsur dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri.

   Kebiasaan hidup dan kehidupan sosial sehari-hari termasuk kebiasaan hidup yang tidak sehat, misalnya memberikan susu formula dalam botol kepada bayi, karena memakai botol akan meningkatkan risiko pencemaran kuman dan menimbulkan diare.

   Gizi kurang.

   Tidak mendapatkan ASI sehingga mempengaruhi kondisi imunitas tubuh.

2.1.7 Pencegahan Diare

  Menurut Kemenkes RI tahun 2010, pencegahan diare dapat dilakukan antara lain : 1.

  Perilaku sehat a.

  Pemberian ASI b. Makanan pendamping ASI c. Menggunakan air bersih yang cukup d. Mencuci tangan e. Menggunakan jamban f. Membuang tinja bayi yang benar g.

  Pemberian imunisasi campak 2. Penyehatan lingkungan a.

  Penyediaan air bersih Air mempunyai peran besar dalam penyebaran beberapa penyakit menular. Besarnya peranan air dalam penularan penyakit disebabkan keadaan air itu sendiri sangat membantu dan sangat baik untuk kehidupan mikroorganisme (Rahadi, 2005).

  Air dapat berperan sebagai transmisi penularan suatu penyakit melalui kuman-kuman yang ditularkan lewat jalur air

  (water borne disease) atau jalur peralatan yang dicuci dengan air (water washed disease)

  (Chandra, 2007). ditularkan melalui cara oro-fecal. Diare dapat ditularkan melalui cairan atau bahan yang tercemar dengan tinja seperti air minum, tangan atau jari-jari, makanan yang disiapkan dalam panci yang telah dicuci dengan air tercemar (Subagyo, 2008).

  Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran air bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak.

  Kesehatan lingkungan dengan penyediaan air bersih, yakni pengamanan dan penetapan kualitas air untuk berbagai kebutuhan dan kehidupan manusia. Dengan demikian air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari selain memenuhi atau mencukupi dalam kuantitas juga harus memenuhi kualitas yang telah ditetapkan. Pentingnya air bersih berkualitas baik perlu disediakan untuk memenuhi kebutuhan dasar kebutuhan dasar dalam mencegah penyebaran penyakit menular melalui air (Ginanjar, 2008).

  Hasil penelitian dari Febriani, Emi (2013) dapat disimpulkan adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu (p = 0,029).

  Hasil penelitian Fauziah (2013) juga menyimpulkan ada hubungan antara kondisi sarana air bersih dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang tahun 2013 (p = 0,023).

  Air yang diperuntukan bagi konsumsi manusia harus berasal dari sumber yang bersih dan aman. Batasan-batasan sumber air yang bersih dan aman tersebut antara lain: (Mubarak dan Chayatin, 2009) :

   Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit  Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun  Tidak berasa dan tidak berbau  Dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga  Memenuhi standart minimal yang ditentukan Departemen Kesehatan RI b.

  Pengelolaan sampah Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah tidak digunakan dalam suatu kegiatan manusia atau dibuang (Notoatmodjo, 2003).

  Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa dan lain-lain. Hasil penelitian Emi Febriani (2013) dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pembuangan sampah dengan kejadian diare pada anak (p = 0,035).

  Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, hasil penelitian Lindayani, Sintari dan Azizah, R (2009) dapat disimpulkan ada hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita di Desa Ngunut Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung (p= 0,004), hubungan ini ditunjukan dengan angka kejadian diare pada balita lebih besar pada responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat.

  Selain itu sampah dapat mencemari tanah dan menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap dan pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena itu pengelolaan sampah sangat penting, untuk mencegah penularan penyakit(Kemenkes RI, 2010).

  Ada beberapa tahapan di dalam pengelolaan sampah padat yang baik, diantaranya tahap pengumpulan dan penyimpanana di tempat sumber, tahap pengangkutan dan tahap pemusnaahan (Sumantri, 2010).

  c.

  Sarana pembuangan air limbah Salah satu penyebab terjadinya pencemaran air adalah air

  Air limbah adalah sisa dari suatu usaha/ atau kegiatan yang berwujud cair. Air limbah dapar berasal dari rumah tangga maupun industri.

  Air limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak buruk baik terhadap mahkluk hidup dan maupun lingkungannya. Salah satu dampak buruknya terhadap mahkluk hidup adalah gangguan kesehatan. Air limbah dapat mengandung bibit penyakit yang dapat menimbulkan penyakit bawaan air (waterborne disease) salah satunya adalah diare. adakalanya, air limbah yang tidak dikelola dengan baik juga dapat menjadi sarang vektor penyakit misalnya nyamuk, lalat, kecoa, tikus dan lain-lain (Sumantri, 2010) .

  Hasil penelitian Lindayani, Sintari dan Azizah, R (2009) dapat disimpulkan ada hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian diare di Desa Ngunut Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung (p= 0,048), secara umum pembuangan air limbah warga masih menggunakan galian tanah dan saluran tersebut tidak lancar, terbuka dan menimbulkan bau.

  Beberapa metode sederhana yang dapat digunakan untuk mengelola air limbah, diantaranya (Mubarak dan Chayatin, 2009) :

1. Pengenceran (disposal by dilution)

  Kolam oksidasi (oxidation ponds) 3. Irigasi (irrigation)

2.2 IKLIM

  2.2.1 Pengertian Iklim

  Dalam memahami masalah iklim, tentunya harus dibedakan dua terminologi, yakni cuaca dan iklim. Iklim dan cuaca memiliki banyak kesamaan, tetapi keduanya tidak identik. Cuaca adalah total dari keseluruhan variabel atmosfer di suatu tempat dalam suatu periode waktu yang singkat. Sedangkan iklim merupakan suatu konsep yang abstrak. Ini merupakan suatu komposit dari keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen atmosfer, di dalam suatu kawasan tertentu dalam jangka waktu yang panjang ( Trewartha, GT & Horn, LH, 1995) .

  2.2.2 Unsur-Unsur Iklim

2.2.2.1 Suhu Udara Udara adalah campuran dari miliaran atom yang tak terhitung jumlahnya.

  Masing-masing molekul tersebut memiliki ukuran dan karakteristik tersendiri. Molekul tersebut setiap waktu bergerak dan melesat bebas dan saling bertumbuknya molekul tersebut akan menghasilkan sebuah energi. Suhu yang terbentuk di udara merupakan hasil dari energi yang terjadi dari pertumbukan molekul-molekul di udara (Ahrens, 2009).

  Suhu udara adalah derajat panas dari aktivitas molekul dalam atmosfer. Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan thermometer. Satuan yang biasa digunakan adalah dalam gerajat Fahrenheit ( F) .

  Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi, antara lain :

  1. Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim.

  2. Pengaruh daratan atau lautan.

  3. Pengaruh ketinggian tempat.

  4. Pengaruh angin secara secara tidak langsung.

  5. Pengaruh panaas laten, yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer.

  6. Penutup tanah, yaitu tanah yang ditutup vegetasi yang mempunyai temperature yang lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi.

  7. Tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi.

  8. Pengaruh sudut datang sinar matahari. Sinar matahari yang tegak lurus akan membuat suhu lebih panas daripada yang datangnya miring.

  Data suhu berasal dari suhu rata-rata harian, bulanan, musiman dan tahunan.

  1. Suhu rata-rata harian, yaitu a. dengan menjumlahkan suhu maksimum dan minimum hari tersebut, selanjutnya dibagi dua, dan b. dengan mencatat suhu setiap jam pada hari tersebut selanjutnya dibagi 24

  2. Suhu rata-rata bulanan, yaitu dengan menjumlahkan rata-rata suhu darian selanjutnya dibagi 30

  3. Suhu rata-rata tahunan, yaitu dengan menjumlahkan suhu rata-rata 4.

  Suhu normal adalah angka rata-rata suhu yang diambil dalam waktu 30 tahun. (Katasapoetra, 2008).

2.2.2.2 Curah Hujan

  Menurut Hermansyah (2008) mengutip pendapat Gunawan, curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Rain Gauge. Curah hujan yang jatuh di wilayah Indonesia di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : a.

  Bentuk medan atau topografi b. Arah lereng medan c. Arah angin yang sejajar dengan garis pantai d. Jarak perjalanan angin di atas medan datar

  Ada teori yang menjelaskan proses terjadinya hujan, yaitu teori kristal es dan teori tumbukan. Berdasarkan teori kristal es, butiran air hujan berasal dari Kristal es atau salju mencair. Kristal es terbentuk pada awan-awan tinggi akibat deposisi uap air pada inti kondensasi. Apabila semakin banyak uap air yang terikat pada inti kondensasi ini, maka ukuran Kristal menjadi besar dan terlalu besar untuk melayang. Dengan dipengaruhi gaya gravitasi bumi, maka akan jatuh dalam perjalanannya menuju kepermukaan bumi, maka akan jatuh dalam perjalanannya menuju kepermukaan bumi, Kristal es tersebut melewati udara panas sehingga mencair menjadi butiran air hujan. Teori tumbukan berdasarkan fakta yaitu ukuran butiran air tidak seragam, sehingga kecepatan jatuhnya berbeda. Butiran yang berukuran besar akan jatuh dengan kecepatan lebih tinggi lebih besar ini akan menabrak dan bergabung dengan butiran yang lebih kecil.

  Menurut Lakitan (2002) mengutip pendapat Mori et.al membagi tingkatan hujan berdasarkan intensitasnya, yaitu :

  1. sangat lemah (kurang dari 0,02 mm/menit), 2. lemah (0,02-0,05 mm/menit), 3. sedang (0,05-0,25 mm/menit), 4. deras (0,25-1,00 mm/menit) dan 5. sangat deras (lebih dari 1,00 mm/menit).

  Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika berdasarkan analisis curah hujan bulanan maka distribusi hujan bulanan diklasifikasikan sebagai berikut : 1. rendah (0-100 mm) 2. menengah/ sedang (101-200 mm) 3. tinggi (201-400 mm) 4. sangat tinggi (400- >500 mm)

  Pola curah hujan di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh keberadaan Samudra Pasifik di sebelah timur laut dan Samudra Indonesia di sebelah barat daya. Kedua samudra ini merupakan sumber udara lembab yang akan mendatangkan hujan di wilayah Indonesia.

  Keberadaan benua Asia dan Australia yang mengapit kepulauan Indonesia mempengaruhi pola pergerakan angin. Arah angin sangat penting perannya dalam Antara bulan Oktober sampai Maret, angin muson timur laut akan melintasi garis ekuator dan mengakibatkan hujan lebat, sedangkan antara bulan April sampai September angin akan bergerak dari arah tengggara melintasi benua Australia sebelum sampai ke wilayah Indonesia dan angin ini sedikit sekali mengandung uap air (Lakitan, 2002).

  2.2.2.3 Kelembaban Udara

  Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu yang dinyatakan dalam persen (%) (Hermansyah, 2008). Alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban udara adalah psychrometer atau hygrometer.

  Kelembaban udara mempunyai beberapa istilah yaitu : a.

  Kelembaban mutlak atau kelembaban absolute, yaitu massa uap air

  3 persatuan volume udara dinyatakan dalam satuan gram/ m .

  b.

  Kelembaban spesifik yaitu perbandingan antara massa uap air dengan massa udara lembab dalam satuan volume udara tertentu, dinyatakan dalam g/kg.

  c.

  Kelembaban nisbi atau lembaban relative, yaitu perbandingan antara tekanan uap air actual (yang terukur) dengan tekanan uap air pada kondisi jenuh, dinyatakan dalam % (Katasapoetra, 2008).

  2.2.2.4 Kecepatan angin

  Angin adalah gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi. Udara bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah.

  Kecepatan angin adalah rata-rata laju pergerakan angin yang merupakan gerakan horizontal udara terhadap permukaan bumi suatu waktu yang diperoleh dari hasil pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan dan memiliki satuan knot (Neiburger, 1995). Kecepatan angin di wilayah Indonesia umumnya terutama wilayah dekat garis ekuator. Kecepatan angin yang diukur di Jakarta menunjukan perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau (Tjasyono, 2004).

2.3 Pengaruh Iklim Terhadap Kejadian Diare

  Iklim dapat memengaruhi ekosistem, habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni kuman secara tidak langsung. Disamping itu, adanya peningkatan suhu global mengakibatkan perubahan pola transmisi beberapa parasit dan penyakit baik yang ditularkan langsung maupun yang ditularkan oleh serangga. Dengan demikian, iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang erat, terutama terjadinya berbagai penyakit menular (Achmadi, 2011).

  Hubungan secara tidak langsung antara musim hujan dengan kejadian penyakit, misalnya kejadian berbagai penyakit menular wilayah urban terutama daerah padat penduduk seperti diare. Perubahan iklim global juga menyebabkan beberapa daerah tropis di Pasifik mendapat curah hujan yang meningkat pesat, sehingga mengakibatkan banjir, gangguan drainase atau terjadi surplus air, sementara di daerah lain air mengalami kekeringan (Achmadi, 2012). Hampir 90 % kasus diare yang terjadi diakibatkan oleh akses air bersih yang kurang, air minum yang tidak aman dan sanitasi yang kurang baik (WHO, 2009). diare tidak berkolerasi dengan musim pancaroba. Kejadian diare sangat dipengaruhi oleh akses air bersih dan akses terhadap sanitasi. Terkait dengan perubahan iklim, ketersediaan air bersih dan kondisi sanitasi suatu daerah dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya air, potensi banjir dan potensi kekeringan, semua itu akan berdampak secara tidak langsung bagi timbulnya penyakit diare. (Bappenas,2010).

2.3.1 Pengaruh Suhu Udara Terhadap Kejadian Diare

  Perubahan suhu mempengaruhi populasi vektor yang dapat menimbulkan kerugian bagi kesehatan (Haines, dkk, 2002). Perubahan suhu berhubungan dengan perubahan dinamika siklus terhadap spesies vektor dan organism pathogen seperti protozoa, bakteri dan virus sehingga akan meningkatkan potensi transmisi penyebab penyakit (WHO, 2003). Jenis mikroorganisme tergantung pada suhu, seperti bakteri pathogen dan telur cacing dapat hidup selama kurang lebih 5 hari dalam kondisi yang basah dan lembab pada tanah berpasir ataupun kurang lebih 3 bulan dalam air buangan (Kusnoputranto, 2000).

  Pada musim hujan, suhu yang rendah dapat menyebabkan kuman diare dapat berkembang dengan cepat dan begitu pula dengan perkembangan serangga vektor seperti tikus, kecoa, lalat.

  Pada tahun 1997 ketika suhu lebih tinggi dari suhu normal selama kejadian El nino, banyak pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan diare dan dehidrasi di Lima, Peru. Analisis time series data harian rumah sakit menguatkan efek suhu pada kunjungan rumah sakit karena diare dengan estimasi peningkatan 8% setiap

  Berdasarkan pendapat Ernayasih 2012 yang mengutip pernyataan WHO secara statistik ada hubungan yang signifikan akibat perubahan suhu bulan dengan kejadian diare di Pulau Fiji tahun 1978-1992, diperkirakan kenaikan 3% dalam kejadian diare perpeningkatan suhu 1 C. Berdasarkan Kurniawan (2009) yang mengutip hasil penelitian Kolstad &

  Johnsson dapat disimpulkan bahwa peningkatan suhu 1 C akan menyebabkan peningkatan kasus diare sebesar 5% dan diestimasikan perubahan suhu 1 C menyebabkan peningkatan kasus diare sebesar 0-10%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nersan (2006) suhu udara memiliki hubungan atas peningkatan prevalensi diare di Kota Palembang pada tahun 2000-2004. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang lemah antara peningkatan suhu dan prevalensi diare (r=0,11), yang dapat diartikan bahwa peningkatan suhu sebesar 1 C meningkatkan prevalensi diare sebanyak 1 per 1000 penduduk.

2.3.2 Pengaruh Curah Hujan Terhadap Kejadian Diare

  Pada tipe penyakit diare tropik, kejadian puncak terjadi pada musim penghujan. Banjir dan kemarau berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian diare. Hal tersebut dapat terjadi karena curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir sehingga menyebabkan terkotaminasinya persediaan air bersih dan menimbulkan wabah penyakit diare dan leptospirosis, pada saat kondisi kemarau panjang dapat mengurangi persediaan air bersih sehingga meningkatkan risiko penyakit yang berhubungan dengan hygiene seperti diare (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). menyebarkan penyakit, hujan dapat mencemari air dengan cara memindahkan kotoran manusia dan hewan ke air tanah. Organism yang ditemukan antara lain

  kriptosporodium , giardia dan E.coli yang dapat menimbulkan penyakit diare (Lapan, 2009).

  Menurut penelitian Rico Kurniawan (2009) jumlah curah hujan dengan kejadian diare di Kota Jakarta Selatan tahun 2007-2011 memiliki hubungan yang bermakna. Hubungan yang terjadi bersifat positif dan kekuatannya sedang (r= 0,370).

2.3.3 Pengaruh Kelembaban Udara Terhadap Kejadian Diare

  Menurut Kurniawan (2009) yang mengutip pendapat Kolstad & Johansoon, selain temperatur atau suhu, faktor iklim lainnya seperti curah hujan, kelembaban realtif, tekanan udara juga memiliki kontribusi yang cukup penting dalam perubahan kasus diare. Namun hal itu juga sangat berkaitan erat dengan agen pathogen, kualitas air dan infrastruktur sanitasi yang ada disebuah wilayah.

  Pada musim hujan, kelembaban tinggi serta intensitas sinar matahari yang kurang dapat menyebabkan mikroorganisme penyebab diare berkembang biak dengan baik dan membuat perkembangan lebih cepat untuk vektor seperti tikus, kecoa dan lalat (WHO, 2003).

  Berdasarkan pendapat Ernayasih (2012) yang mengutip hasil penelitian Checkley et, al dengan menggunakan model time series untuk melihat dampak kelembaban yang tinggi dengan penderita diare dibawah 10 tahun di Lima Peru, hasilnya menunjukan ada peningkatan jumlah kasus diare sebesar 8% untuk setiap

  Kelembaban udara relatif menunjukan ada hubungan yang bermakna dengan prevalensi diare yang terjadi, hubungan yang didapat bersifat lemah. Selain itu, hubungan yang terjadi bersifat negative, yang dapat diartikan bahwa semakin rendah kelembaban udara maka prevalensi diare semakin tinggi.

  Penurunan kelembaabn udara sebesar 1% dapat mengakibatkan peningkatan prevalensi diare sebesar 1 per 1000 penduduk (Nersan, 2006).

2.3.4 Pengaruh Kecepatan Angin Terhadap Kejadian Diare

  Untuk infeksi karena vektor penyakit, distribusi dan peningkatan organisme vektor dan penjamu (host) dipengaruhi oleh faktor fisik seperti angin serta faktor biotik seperti vegetasi, spesies penjamu, predator, kompetitior, parasit dan intervensi manusia. Hal ini dapat meningkatkan kejadian diare karena penularan tidak langsung yang disebabkan vector borne disease (WHO, 2003).

2.4 Kerangka Konsep

  Variabel Independen Variabel Dependen

  Curah Hujan Suhu Udara Kejadian Diare Kelembaban Udara

  Kecepatan Angin

Dokumen yang terkait

Profil Kadar Vitamin E Plasma pada Berbagai Derajat Keparahan Akne Vulgaris di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akne Vulgaris - Profil Kadar Vitamin E Plasma pada Berbagai Derajat Keparahan Akne Vulgaris di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 19

Tindakan irigasi pada perawatan saluran akar yang dilakukan oleh dokter gigi umum di kota Medan tahun 2015.

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Tindakan irigasi pada perawatan saluran akar yang dilakukan oleh dokter gigi umum di kota Medan tahun 2015.

0 0 17

Tindakan irigasi pada perawatan saluran akar yang dilakukan oleh dokter gigi umum di kota Medan tahun 2015.

0 0 12

BAB II PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA MENANGGULANGI PERJUDIAN TOGEL DI KALANGAN MASYARAKAT A. Sanksi Hukum Terhadap Perjudian - Upaya Polri Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perjudian Toto Gelap (Togel) Di Kalangan Masyarakat

1 1 43

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Upaya Polri Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perjudian Toto Gelap (Togel) Di Kalangan Masyarakat

0 0 25

II. Pengisian Kuisioner - Pengaruh Pengetahuan Pimpinan Tentang Anggaran, Pengalaman Kerja Dan Latar Belakang Pendidikan Terhadap Pengawasan Keuangan Dengan Gaya Kepemimpinan Sebagai Variabel Moderating

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengawasan Keuangan - Pengaruh Pengetahuan Pimpinan Tentang Anggaran, Pengalaman Kerja Dan Latar Belakang Pendidikan Terhadap Pengawasan Keuangan Dengan Gaya Kepemimpinan Sebagai Variabel Moderating

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian - Pengaruh Pengetahuan Pimpinan Tentang Anggaran, Pengalaman Kerja Dan Latar Belakang Pendidikan Terhadap Pengawasan Keuangan Dengan Gaya Kepemimpinan Sebagai Variabel Moderating

0 0 7