Perbandingan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara dan Conseil d’etat sebagai Institusi Pengawas Tindakan Hukum Tata Usaha Negara

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 423

Perbandingan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara dan
Conseil d’etat sebagai Institusi Pengawas Tindakan
Hukum Tata Usaha Negara
W. Riawan Tjandra
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Mrican Baru No. 28 Yogyakarta
[email protected]
Abstract
French State Administrative Court system and Indonesian State Administrative Court system basically
have many similarities. The legal problem studied in this paper is related to the attempt to widely
manage the judge proactivity principle in the State Administrative Court to attribute the advisory function
of the State Administrative Court as a part of active dimensions of the preventive control of the State
Administrative Court toward the state administrative staff before a State Administrative Decision is
stipulated. The research method used to discuss the problem is the normative legal research using
legal comparative approach. The result of the study concludes that there is a necessity to broaden the
function of State Administrative Court in Indonesia to increase the quality of the state administrative
decisions issued by the state administrative authorities.

Key words : State administrative court, advisory function, state administrative decision


Abstrak
Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Perancis pada hakikatnya memiliki banyak persamaan dengan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Permasalahan hukum yang dibahas dalam tulisan ini
terkait dengan upaya untuk mengatur secara lebih luas asas keaktifan hakim di Peradilan Tata Usaha
Negara untuk mengatribusikan fungsi penasihatan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai bagian dari
dimensi aktif pengawasan preventif Peradilan Tata Usaha Negara terhadap pejabat tata usaha negara
sebelum suatu Keputusan Tata Usaha Negara ditetapkan. Penelitian yang digunakan untuk membahas
permasalahan tersebut adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perbandingan hukum.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perlunya perluasan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dengan
meletakkan fungsi penasihatan sebagai bagian dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia
guna meningkatkan kualitas keputusan-keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat
tata usaha negara.

Kata kunci: Peradilan tata usaha negara, fungsi penasihatan, keputusan tata usaha negara

424 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 20 JULI 2013: 423 - 439
Pendahuluan
Sistem Peradilan Tata Usaha Negara bertujuan untuk melaksanakan fungsi
pengawasan yudisial terhadap tindakan hukum tata usaha negara yang pelaksanaan

fungsinya didasarkan antara lain atas asas keaktifan hakim dan asas pembuktian
bebas. Asas keaktifan hakim secara prinsip memberikan kewenangan yang luas
kepada Hakim Tata Usaha Negara dalam proses pemeriksaan sengketa tata usaha
negara menyangkut pembagian beban pembuktian dan penentuan hal-hal yang
harus dibuktikan. Konsekuensi dari keberadaan asas keaktifan hakim adalah
dimungkinkannya penerapan asas ultra petita yang pertama kali dituangkan dalam
putusan MA No. 5 K/TUN/1992, yaitu tindakan hakim menyempurnakan atau
melengkapi objek sengketa yang diajukan para pihak kepadanya.1
Hakim administrasi diberikan peran aktif karena hakim tidak mungkin
membiarkan dan mempertahankan tetap berlakunya suatu keputusan administrasi
negara yang nyata keliru dan jelas bertentangan dengan undang-undang yang
berlaku, hanya karena alasan para pihak tidak mempersoalkannya dalam objek
sengketa.2 Asas keaktifan hakim (dominus litis) merupakan salah satu asas yang
mendasari dan mencerminkan karakter spesifik dari Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara. Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara Negara (UU No. 5 Tahun
1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009) wujud penerapan asas
keaktifan hakim terlihat dari rumusan Pasal 107 PTUN yang menyatakan bahwa:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurangkurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.”
Penjelasan Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 berkaitan dengan keaktifan hakim

tersebut menyatakan bahwa:
Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, maka
dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa
bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim Peradilan
Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri: a) apa yang harus dibuktikan; b)
siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak
yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri; c)
alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian;
d) kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.

1
2

Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Adminstratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 303.
Ibid.

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 425
Berdasarkan asas keaktifan hakim tersebut sistem pengujian Keputusan Tata
Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia tersentralisasi di tangan
Hakim Tata Usaha Negara, karena hakim diberikan kewenangan yang luas untuk

menentukan objek yang harus dibuktikan, subjek (pihak) yang dibebani kewajiban
pembuktian dan menilai pembuktian yang dilakukan. Diterapkannya asas
pembuktian bebas berdasarkan ajaran pembuktian bebas (vrije bewijsleer) telah
menempatkan hakim sebagai pusat dalam persidangan di PTUN. Eksistensi asas
keaktifan hakim sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari sifat sengketa tata
usaha negara yang merupakan sengketa hukum publik antara pemerintah (bestuur)
selaku penguasa (overheid) dengan rakyat (burger) selaku yang diatur (geregerd),
sebagai akibat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dikeluarkan
pemerintah.3
Diterapkannya asas keaktifan hakim tersebut telah menjadikan hakim harus
berperan aktif sejak dimulainya rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan
sebagai bagian dari pemeriksaan pendahuluan (preliminary examination), pelaksanaan
persidangan, putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam pemeriksaan
pendahuluan tersebut, Hakim Tata Usaha Negara menilai kelayakan surat gugatan
sebagai titik tolak dimulainya pemeriksaan dalam persidangan di Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia. Dalam persidangan, Hakim Tata Usaha Negara berperan aktif untuk
mengarahkan jalannya persidangan dan dalam pembuktian melalui asas pembuktian
bebas hakim mengkonstruksi struktur proses pembuktian yang dilaksanakan agar
dapat diarahkan untuk mewujudkan kebenaran materiil (materiele waarheid).
Sistem pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha Negara mencakup: dasar gugatan

yang menjadi parameter untuk mengukur legalitas Keputusan Tata Usaha Negara
(beschikking) sebagai objek sengketa tata usaha negara, metode pembuktian dan
langkah-langkah menarik konklusi hukum atas dasar proses pembuktian yang telah
dilaksanakan. Pengaruh asas keaktifan hakim dalam pengujian Keputusan Tata
Usaha Negara berwujud metode khas dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara
untuk mendeduksikan teori-teori hukum administrasi negara dan norma-norma
Hukum Administrasi Negara yang bersifat umum maupun sektoral untuk menilai
legalitas suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan secara hukum
oleh para pihak di Peradilan Tata Usaha Negara.
3

W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2011,
hlm. 118.

426 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 20 JULI 2013: 423 - 439
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perluasan asas
keaktifan hakim yang dimiliki oleh hakim di Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia
dan Conseil d’etat untuk mengatribusikan fungsi penasihatan Peradilan Tata Usaha
Negara sebagai bagian dari dimensi aktif pengawasan preventif Peradilan Tata Usaha

Negara terhadap pejabat tata usaha negara sebelum suatu Keputusan Tata Usaha
Negara ditetapkan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dan menganalisis perluasan asas
keaktifan hakim yang dimiliki oleh hakim di Peradilan Tata Usaha Negara dan Conseil
d’etat untuk mengatribusikan fungsi penasihatan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai
bagian dari dimensi aktif pengawasan preventif Peradilan Tata Usaha Negara terhadap
pejabat tata usaha negara sebelum suatu Keputusan Tata Usaha Negara ditetapkan.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk membahas permasalahan di atas adalah
penelitian hukum normatif melalui pendekatan perbandingan hukum (comparative
law). Istilah perbandingan hukum sendiri dapat didefinisikan sebagai studi sistematis
mengenai bagian dari tradisi-tradisi dan aturan-aturan hukum berdasarkan suatu
perbandingan. Guna mengkualifikasikan sesuatu sungguh-sungguh sebagai suatu
perbandingan hukum, mempersyaratkan adanya dua atau lebih sistem-sistem hukum,
atau dua atau lebih tradisi hukum (legal traditions) atau bagian-bagian tertentu,
kelembagaan atau cabang-cabang dari dua atau lebih sistem-sistem hukum.4 Dari
perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan
kedua sistem hukum itu. 5 Penelitian ini dilakukan melalui studi dokumen
(documentary study) dengan cara mengkaji literatur-literatur dan peraturan perundangundangan yang mengatur sistem peradilan tata usaha negara di Perancis dan Indonesia guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan di atas.


4

Peter de Cruz, Comparative Law in a Changing World, Second Edition, Cavendish Publishing Limited, Sidney,
Australia, 1999, hlm. 3.
5
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2006, hlm. 313.

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 427
Hasil Penelitian dan Pembahasan

Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Perancis
Kekhususan sistem Peradilan TUN di Perancis adalah adanya struktur
organisasi Peradilan TUN yang berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan umum,
bahkan tidak termasuk dalam lingkungan kekuasaan yudikatif. Berkaitan dengan
sistem peradilan di Perancis, Auby6 menyatakan bahwa sistem peradilan di Perancis
memiliki dua sistem peradilan (dual system of courts), peradilan umum (ordinary courts/
the ordre judiciare) dan peradilan administrasi (administrative courts/ordre administratif).
Peradilan umum dibagi dalam peradilan yang memiliki wewenang perdata dan
wewenang pidana, kecuali jika melibatkan negara atau pejabat publik atau badan

hukum publik sebagai pihak, dalam kasus tersebut Peradilan TUN memiliki
wewenang khusus. Struktur Peradilan TUN di Perancis berpuncak pada Conseil d’etat,
yang merupakan institusi seperti Dewan Pertimbangan Agung di Indonesia dalam
UUD 1945 (naskah asli), tetapi dengan kewenangan yang amat luas baik di bidang
administratif maupun peradilannya. Kesatuan yurisprudensi dalam Hukum
Administrasi Negara di Perancis diperoleh melalui arrest-arrest atau putusan-putusan
Conseil d’etat di bidang Peradilan TUN.
Di samping eksistensi Conseil d’etat sebagai puncaknya, daerah-daerah di
Perancis juga terdapat lembaga Tribunal Administratif, yaitu Badan Peradilan Tata
Usaha Negara yang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat
pertama. Putusan-putusan di tingkat Tribunal Administratif, yang di seluruh Perancis
terdapat 25 Tribunal Administratif, dapat dimohonkan banding (appel) kepada Conseil
d’etat yang berkedudukan hukum di Paris.
Conseil d’etat maupun Tribunal Administratif memiliki dua fungsi atau peranan
ganda, yaitu sebagai lembaga penasihat pemerintah dan sekaligus sebagai lembaga
peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fungsi
pengawasan oleh Conseil d’etat maupun Tribunal Administratif bersifat preventif
(penasihatan kepada pemerintah) dan represif (pengujian keputusan administratif).
Sejak 1872 lembaga Conseil d’etat sungguh-sungguh menjalankan fungsi sebagai
peradilan tata usaha negara dan melalui fungsionarisnya yang berposisi sungguh6


Seerden, Rene dan Frits Stroink, Administrative Law of the European Union, its Member States and the United States,
Intersentia Uitgevers Antwerpen, Groningen, Netherlands, 2002, hlm. 75.

428 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 20 JULI 2013: 423 - 439
sungguh sebagai hakim tata usaha negara memiliki wewenang untuk mengeluarkan
putusan peradilan tata usaha negara yang mengikat. Peradilan tersebut telah
mengembangkan asas-asas dan peraturan-peraturan hukum yang melaluinya
perbuatan-perbuatan tata usaha negara dilakukan pengujian.7
Selain dua lembaga Peradilan TUN di atas, di Perancis juga terdapat badanbadan Peradilan TUN yang bersifat khusus dengan kompetensi/wewenang di
bidang-bidang tertentu atau terbatas pada materi-materi tertentu. Secara umum,
lembaga-lembaga itu memiliki wewenang pemeriksaan di tingkat pertama dan banding (appel) sedangkan kasasinya dilakukan kepada Conseil d’etat. Wewenang badan
peradilan khusus tersebut misalnya menyangkut masalah-masalah: 1) keuangan negara,
yang diperiksa dan diputus oleh Cour des Comptes (semacam Badan Pengawas Keuangan);
2) pendidikan termasuk juga menyangkut persoalan universitas; 3) pajak; 4) jaminan
sosial; 5) bidang jabatan profesional seperti: dokter, advokat, arsitek, dan lain-lain.
Sistem Peradilan TUN di Perancis yang terpisah sama sekali dari struktur
organisasi peradilan umum, disebut sebagai sistem duality of jurisdiction, yaitu adanya
peradilan umum (jurisdiction judiciaire) di satu sisi, dan di sisi lain ada Peradilan
TUN (jurisdiction administrative). Apabila terjadi sengketa yurisdiksi di antara institusi

peradilan dalam satu sistem, maka masing-masing akan diselesaikan oleh puncak
peradilan dari masing-masing sistem itu, yaitu untuk sengketa tata usaha negara
akan diselesaikan oleh Conseil d’etat dan untuk sengketa di lingkungan peradilan
umum akan diselesaikan oleh Cour de Cassation (Mahkamah Agung).
Apabila terjadi sengketa yurisdiksi antara badan peradilan umum dan badan
Peradilan TUN, maka hal tersebut akan diperiksa dan diputus oleh suatu lembaga
peradilan kolegial yang disebut dengan Tribunal des Conflicts. Tribunal des Conflicts
tersebut terdiri dari 3 (tiga) orang hakim agung dari Cour de Cassation dan 3 (tiga)
orang anggota Conseil d’etat, ditambah dengan 2 (dua) orang anggota pengganti yang
masing-masing diambil dari Cour de Cassation dan Conseil d’etat.

7

Sauveplanne, JG., Rechtsstelsels in Vogelvlucht – Een Inleiding tot de Privaatsrechtsvergelejiking, tweede druk,
Kluwer – Deventer, 1981, hlm. 45

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 429
Tabel 1
Organisasi Peradilan di Perancis
Conseil Constitutioneel

(not connected to the rest of the apparatus: only the Preseident, the Government
and Members of Parliement can challenge statutes before the Conseil
Constitutioneel, not the courts, nor the citizens)
Tribunal des Conflicts
(only in charge of dispatching cases between administrative and judiciary courts
when jurisdiction is debated)
Administrative Courts
Judiciary Courts
(Jurisdictions administratives)
(jurisdictions judiciaries)
Conseil d’etat
Cour de Cassation
Courts administratives d’appel Cours d’appel
Tribunaux administratifs
Tribunaux de grande et tribunal d’instance (civil
courts), tribunaux de commerce (commercial
courts), conseils de prud’hommes (labour courts) …
Sumber: Seerden dan Stroink, 2002: 76

Proses beracara di Peradilan TUN Perancis secara prinsip tidak didasarkan atas
suatu hukum acara yang dikodifikasikan dalam suatu kitab undang-undang hukum
acara seperti halnya untuk perkara perdata dan pidana, demikian juga hukum
materiil yang diterapkan tidak didasarkan atas Hukum Administrasi Negara yang
dikodifikasikan seperti di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum
administrsi di Belanda. Hal tersebut berimplikasi terhadap kuatnya peranan dan
pengaruh yurisprudensi dalam sistem Peradilan TUN di Perancis.
Dasar pengajuan gugatan ke Peradilan TUN di Perancis pada umumnya dibedakan
atas 2 (dua) macam sifat gugatan yaitu:8 a) gugatan yang dimaksudkan untuk
memohonkan pembatalan suatu keputusan tata usaha negara (akta administratif), yang
disebut sebagai gugatan pembatalan (recours en exces de pouvoir); b) gugatan yang
disamping memohon pembatalan atas suatu produk keputusan tata usaha negara,
juga menuntut pembayaran ganti rugi kepada pemerintah atas tindakan hukum
pemerintah yang menimbulkan kerugian, yang disebut sebagai gugatan ganti rugi
(recours en plein contentiuex).
Alasan atau dasar pengajuan permohonan pembatalan suatu keputusan tata
usaha negara adalah bahwa akta administratif yang bersangkutan bersifat illegal

8

Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah Edisi ke-II , Penerbit
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 5.

430 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 20 JULI 2013: 423 - 439
atau tidak berdasarkan hukum. Dalam sistem Peradilan TUN di Perancis, illegalitas
tersebut diklasifikasikan atas 2 (dua) kelompok, yaitu9: 1) illegalitas ekstern, yang
penilaiannya meliputi penilaian tentang syarat formal untuk sahnya suatu akta
administratif (dari segi bentuk luarnya); 2) illegalitas intern, yang penilaiannya
meliputi penilaian tentang syarat material untuk sahnya suatu akta administratif
(dari segi substansi/isi akta administratif). Kedua alasan gugatan tersebut dapat
dijelaskan berikut ini: pertama, Illegalitas ekstern. Alasan pembatalan yang didasarkan
atas illegalitas ekstern meliputi: a) Tanpa kewenangan (kompetensi), yaitu akta
administratif dikeluarkan oleh seorang pejabat tata usaha negara yang tidak
mempunyai kompetensi (kewenangan) sama sekali untuk mengeluarkan akta administratif tersebut, atau kewenangan tersebut sesungguhnya ada pada pejabat yang
lain10. Kriteria tanpa kewenangan tersebut dapat diperinci lagi atas 3 (tiga) bentuk
yaitu 11: 1) tanpa kewenangan yang bersifat materiil, seorang pejabat yang
mengeluarkan suatu akta administratif mengenai materi atau masalah yang secara
substansi sebenarnya materi atau masalah itu menjadi wewenang dari pejabat lainnya;
2) tanpa kewenangan yang ditinjau dari segi wilayah atau tempat sehubungan dengan
wilayah yurisdiksi seharusnya akta administratif itu dapat dikeluarkan; 3) tanpa
kewenangan yang ditinjau dari segi waktu berlakunya atau dikeluarkannya suatu
akta administratif yang menyimpang dari waktu yang seharusnya diperhatikan; b)
kekeliruan bentuk dan prosedur. Suatu akta administratif dikeluarkan secara
bertentangan dengan formalitas yang telah ditentukan sebelumnya dalam peraturan
dasarnya atau telah terjadi penyimpangan dari prosedur yang seharusnya diikuti
dalam penetapan. Kedua, Illegalitas Intern. Alasan pembatalan yang didasarkan atas
kriteria ini meliputi:12 a) bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan hukum
lainnya; Alasan ini dipergunakan bila pejabat yang mengeluarkan keputusan administratif yang bersangkutan tidak memperhatikan atau tidak bertindak sesuai dengan
Undang-undang atau peraturan hukum lainnya yang seharusnya menjadi dasar
dikeluarkannya keputusan administratif yang bersangkutan; b) adanya
penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Alasan ini dipergunakan jika
seorang pejabat dalam mengeluarkan keputusan administratif dengan sengaja
mempergunakan wewenangnya untuk tujuan/maksud yang menyimpang dari
9

Ibid., hlm. 7-8.
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid.

10

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 431
tujuan/maksud semula dari pemberian wewenang tersebut kepada pejabat yang
bersangkutan.
Suatu keputusan administratif supaya dapat dinyatakan sah menurut Auby
harus memenuhi unsur-unsur berikut:13 a) ada yang membuat: seseorang atau badan
kolektif yang menetapkannya; b) memiliki bentuk tertentu dan ditetapkan melalui
prosedur yang ditentukan; c) memiliki isi menyangkut pertanyaan: apa yang
ditetapkan? Apa yang dinyatakan?; d) memiliki pertimbangan tertentu, alasan-alasan
tertentu: ditetapkan berdasarkan fakta-fakta tertentu dan didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan hukum tertentu; e) memiliki tujuan, satu atau beberapa
tujuan: ditujukan untuk mencapai satu atau beberapa kemanfaatan tertentu.
Pola pengujian materiil di Perancis menurut Auby dilakukan sehubungan dengan
beberapa dasar pengujian materiil berikut:14 a) ketidakwenangan (incompetence):
keputusan tidak ditetapkan oleh seorang pejabat atau badan hukum publik yang
memiliki wewenang untuk menetapkan; b) pelanggaran prosedur (vice de forme ou de
procedure): keputusan administratif cacat mengenai bentuknya atau tidak mengikuti
prosedur penetapan dalam menetapkannya; c) pelanggaran hukum (violation de la loi):
substansi keputusan bertentangan dengan satu atau beberapa ketentuan yang harus
diikuti oleh pejabat tata usaha negara; d) ketidaksahan pertimbangan (vices de motifs):
dapat diperinci menjadi 3 (tiga) macam: kesalahan dalam fakta (erreur de fait),
kesalahan menyangkut hukum (erreur de droit); ketidaktepatan dalam kualifikasi
atau ketidaktepatan dalam mengkualifikasikan faktanya (erreur dans la qualification
juridique des faits, erreur manifeste d’appreciation, et cetera).
Sehubungan dengan wewenang mengadili gugatan ganti rugi yang berkaitan
dengan pertanggungjawaban negara untuk membayar ganti rugi, hal tersebut
sebagian besar merupakan hasil perkembangan dari yurisprudensi Conseil d’etat,
dan sebagian kecil dikembangkan melalui undang-undang. Guna menilai
pertanggungjawaban negara untuk membayar ganti rugi, yurisprudensi di Perancis
telah mengembangkan teori “kesalahan” yang pada prinsipnya membedakan antara
kesalahan dinas (faute de service) dan kesalahan pribadi pejabat (faute personelle). Di
samping itu, juga dilakukan klasifikasi lagi atas kesalahan berat (faute fourde) dan
kesalahan ringan (faute legere). Pertanggungjawaban pemerintah untuk membayar
ganti rugi juga telah mengalami perluasan melalui putusan Conseil d’etat, yang
13
14

Seerden dan Stroink, Op.Cit., hlm. 83
Ibid., hlm. 83-84.

432 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 20 JULI 2013: 423 - 439
disebut dengan teori “responsibilite sans faute” (pertanggungjawaban tanpa kesalahan).
Berdasarkan teori tersebut, sekalipun tidak terdapat unsur kesalahan/kelalaian pada
pihak pemerintah/negara, tetapi pemerintah dapat pula dibebani dengan kwajiban
untuk membayar ganti rugi kepada rakyat /warga negara yang menjadi korban
pelaksanaan tugas administratif.
Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia
Dasar pengajuan gugatan di Peradilan TUN Indonesia adalah Pasal 53 ayat (2)
UU No. 5 Tahun 1986 yang kini direvisi melalui UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51
Tahun 2009. Pasal 53 tersebut menurut Philipus M. Hadjon15 mengandung asas
keabsahan dalam pemerintahan yang memiliki 3 (tiga) fungsi: a) bagi aparat
pemerintahan, asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan (bestuursnormen);
b) bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alasan mengajukan gugatan
terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden); c) bagi hakim, asas keabsahan berfungsi
sebagai dasar pengujian suatu tindak pemerintahan (toetsingsgronden).
Alasan pengajuan gugatan di Peradilan TUN menurut Pasal 53 ayat (2) UU No.
5 Tahun 1986 terdiri dari: a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut; c) badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang
tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau
tidak pengambilan keputusan tersebut.
Alasan pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) UU
No. 5 Tahun 1986 kemudian direvisi melalui Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004
sehingga alasan pengajuan gugatan di Peradilan TUN terdiri dari: a) Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

15

Hadjon, PM.,Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato
diucapkan dalam peresmian penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga pada hari Senin tanggal 10 Oktober 1994.

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 433
Mengenai alasan gugatan sebagaimana disebutkan pada Pasal 53 ayat (2) huruf
a UU No. 9 Tahun 2004 di atas tidak ada penjelasan pada bagian penjelasan pasal
tersebut elemen-elemen yang dapat dipergunakan untuk menjabarkan dasar
pengujian yang diatur pada Pasal 53 ayat (2) huruf a “Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Jika menggunakan penafsiran historis, alasan-alasan untuk mengajukan
gugatan yang pernah diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 terdiri
dari 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 53 ayat
(2) sub a). Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai “bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku’’ apabila keputusan yang
bersangkutan itu: 1) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang--undangan yang bersifat prosedur/formal; 2) bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/
substansial; 3) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai
kewenangan (bevoegdheidsgebreken). yang meliputi:16 a) Onbevoegdheid ratione materiae,
yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundangundangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
yang tidak berwenang mengeluarkannya; b) Onbevoegdheid ratione loci, keputusan
yang diambil oleh badan atau pejabat TUN tersebut menyangkut hal yang berada
di luar batas wilayahnya (geografis); c) Onbevoegdheid ratione temporis, badan atau
pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan
keputusan TUN, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan
peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru. Kedua, Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut (Pasal 53 ayat (2b)). Dasar
pembatalan ini sering disebut penyalahgunaan wewenang. Setiap penentuan normanorma hukum di dalam tiap peraturan itu tentu dengan tujuan dan maksud tertentu.
Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut harus selalu sesuai dengan tujuan
16

Periksa Penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

434 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 20 JULI 2013: 423 - 439
dan maksud khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Peraturan yang
bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan guna mencapai hal-hal yang
terletak di luar maksud tersebut. Dengan begitu wewenang material Badan atau
Pejabat TUN yang bersangkutan dalam mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara
juga terbatas pada ruang lingkup maksud bidang khusus yang telah ditentukan
dalam peraturan dasarnya. Ketiga, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut
dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan ke-putusan tersebut (Pasal 53 ayat (2) sub c). Dasar pembatalan ini
sering disebut larangan berbuat sewenang-wenang. Suatu peraturan dasar yang
memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adakalanya
mengatur secara sangat terinci dan ketat apa yang harus dilaksanakan dan mengikat
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan urusan pemerintahan.
Berkaitan dengan alasan gugatan menurut Pasal 53 ayat (2) huruf b UU No. 9
Tahun 2004, Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah
meliputi asas: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Jika dasar pengajuan gugatan tersebut dibandingkan dengan di Perancis
terdapat perbedaan menyangkut penempatan dari Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AAUPB) sebagai dasar gugatan. AAUPB di Perancis lebih dikembangkan
melalui yurisprudensi, sedangkan Indonesia hampir memiliki kesamaan dengan
Belanda. AAUPB di Belanda semula dikembangkan melalui yurisprudensi, namun
dalam perkembangannya AAUPB yang sering dipergunakan sebagai dasar
pengujian beschikking dimasukkan sebagai materi muatan artikel 8 Wet AROB.
Sekalipun demikian, substansi AAUPB dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b
UU No. 9 Tahun 2004 kebanyakan berbeda dengan AAUPB yang dikembangkan di
Perancis maupun di Belanda. AAUPB yang dikembangkan di Indonesia dengan
merujuk UU No. 28 Tahun 1999 lebih banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur good
governance yang semula dipelopori oleh World Bank dan lebih memerlihatkan karakter
ekonomi daripada memerlihatkan karakter hukum. Cukup banyak hasil penelitian

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 435
yang menunjukkan bahwa yurisprudensi Peradilan TUN di Indonesia tetap
mengembangkan AAUPB yang semula diperkenalkan melalui doktrin hukum
administrasi negara baik di Perancis, Jerman, Belanda maupun Indonesia, sekalipun
secara normatif tetap menggunakan “payung hukum” Pasal 53 ayat (2) UU No. 9
Tahun 2004.
Gambar 1
Struktur Organisasi Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia
Mahkamah Agung RI
Peradilan Umum

Peradilan Agama

Peradilan Tata
Usaha Negara

Peradilan Militer

 

Kasasi
Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara
 

Gugatan
 

Upaya administratif:
- Banding Administratif -----) atas
pejabat pembuat KTUN
- Keberatan ------) pejabat yang
menetapkan KTUN

Pengadilan Tata
Usaha Negara
 

 

Sengketa
Kepegawaian

Sengketa TUN
pada umumnya

Perbandingan Sistem Pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara
Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu institusi yang mandiri
dalam struktur kekuasaan kehakiman merupakan salah satu ciri dari negara hukum
bertradisi Eropa Kontinental. Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia lebih
mendekati sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Perancis, sekalipun terdapat
beberapa perbedaan. Pertama, sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Perancis
berpuncak di Conseil d’etat (semacam lembaga DPA), bukan di Cour de cassation
(semacam lembaga MA di Indonesia). Kedua, di Perancis terdapat pengkhususan

436 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 20 JULI 2013: 423 - 439
Peradilan Tata Usaha Negara yang menyelesaikan jenis sengketa-sengketa tata usaha
negara tertentu sesuai dengan kompetensi khususnya. Sedangkan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia bersistem umum yang menangani semua jenis sengketa
tata usaha negara. Meskipun terdapat penyelesaian sengketa khusus kepegawaian,
namun setelah melewati upaya admistratieve beroep dan pihak yang dikalahkan tidak
bisa menerima putusan dari penyelesaian upaya administratif tersebut, dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Ketiga, Baik Conseil
d’etat maupun Tribunal Administratif di Perancis memiliki fungsi pengawasan
preventif (penasihatan) maupun represif (pengujian akta administratif). Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia fungsi pengawasannya hanya bersifat represif
(pengujian atas Keputusan Tata Usaha Negara secara a posteriori).
Meskipun demikian, duality of jurisdiction dalam sistem Peradilan Tata Usaha
Negara di Perancis yang membedakan sistem penyelesaian sengketa tata usaha
negara dengan sistem penyelesaian sengketa perdata, memiliki kesamaan dengan
sistem peradilan di Indonesia dan pada umumnya di negara-negara bertradisi hukum
Eropa Kontinental. Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Perancis dan Indonesia
memiliki kesamaan dalam dasar pengawasan terhadap tindakan hukum tata usaha
negara, yaitu dasar pengawasan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
bersifat tertulis (schriftelijke recht) dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai
hukum tak tertulis (onschriftelijk recht). Dalam kedua sistem peradilan tata usaha
negara baik di Indonesia maupun Perancis fungsi hakim dalam persidangan juga
didasarkan atas Asas Keaktifan Hakim dan Asas Pembuktian Bebas. Hal itu
disebabkan tujuan untuk mewujudkan kebenaran materiil dalam pengujian
Keputusan Tata Usaha Negara yang pada umumnya menjadi karakter dari sistem
Peradilan Tata Usaha Negara di negara-negara yang bertradisi hukum Eropa
Kontinental.
Jika mencermati kedua sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Perancis dan
Indonesia terlihat bahwa dengan sifat aktif-pasif sistem Peradilan Tata Usaha Negara
di Perancis melalui kewenangan penasihatan dan pengujian KTUN dari Conseil d’etat
pengawasan terhadap pemerintah di Perancis memiliki karakter preventif dan
represif. Fungsi penasihatan yang dilaksanakan oleh Conseil d’etat tersebut bisa
mencegah terjadinya tindakan hukum tata usaha negara pemerintah di Perancis
agar tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 437
Pelaksanaan fungsi penasihatan tersebut sejauh dilaksanakan secara optimal dan
dipatuhi oleh pejabat pemerintah di Perancis pada hakikatnya juga bisa meminimalisir
terjadinya sengketa-sengketa tata usaha negara di kemudian hari asal pemerintah
dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (akta administratif) menggunakan
referensi dan konsiderasi sebagaimana yang telah disarankan oleh Conseil d’etat. Jika
dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum dilakukan
amandemen atas UUD 1945, dapat dianalogikan dengan fungsi Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) yang secara teoretis juga memiliki atribusi fungsi penasihatan tersebut.
Sengketa tata usaha negara yang terjadi sebagai gugatan dari warga masyarakat
yang ditangani melalui pelaksanaan fungsi represif dari Conseil d’etat, hanya terjadi
jika saran-saran yang sudah diberikan oleh Conseil d’etat dilanggar/diabaikan pejabat
pemerintah atau ada Keputusan Tata Usaha Negara yang setelah ditetapkan ternyata
melanggar hak-hak administratif warga masyarakat. Pola serupa sebenarnya bisa
dipertimbangkan dengan mengatribusikan fungsi penasihatan terhadap Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia. Ide tersebut dapat menjadi bagian dari dinamika
pelaksanaan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.
Penambahan atribusi wewenang penasihatan terhadap Peradilan Tata Usaha
Negara dapat dilakukan melalui amandemen UU Peradilan Tata Usaha Negara dan
UU Mahkamah Agung. Sebenarnya, jika dibandingkan dengan sistem relasi
kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas) di masa lalu juga sudah dikenal eksistensi
forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) di berbagai daerah yang bertujuan
melakukan fungsi koordinasi antara para pejabat daerah dalam pelaksanaan
kebijakan masing-masing di daerah tanpa bermaksud saling mengintervensi. Meski
tentunya ada perbedaan yang mendasar antara fungsi penasihatan Conseil d’etat
dengan forum Muspida tersebut, namun bisa menjadi inspirasi untuk mengelaborasi
atribusi fungsi penasihatan dari Peradilan Tata Usaha Negara terhadap pemerintah
seperti yang dikenal dalam sistem ketatanegaraan di Perancis. Fungsi penasihatan
(advieserende functie) dari Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia bisa menjadi
sarana untuk meningkatkan kualitas keputusan-keputusan tata usaha negara yang
dikeluarkan pemerintah. Distribusi wewenang ketatanegaraan antarpenyelenggara
kekuasaan negara tidak melarang adanya fungsi koordinasi maupun penasihatan
antarpenyelenggara negara sejauh hal itu tidak mengarah pada terjadinya saling
mengintervensi wewenang yang dimiliki oleh masing-masing penyelenggara negara.
Bukankah jika pemerintah seringkali meminta fatwa kepada Mahkamah Agung bisa

438 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 20 JULI 2013: 423 - 439
dimaknai sebagai semacam dimensi aktif fungsi yudikatif oleh Mahkamah Agung
untuk memberikan pendapat hukum atas permintaan penyelenggara negara yang
lain mengenai suatu masalah hukum yang dihadapi? Pemikiran untuk
mengatribusikan fungsi penasihatan institusi Peradilan Tata Usaha Negara tersebut
tentunya harus didasarkan atas kajian yang cermat untuk mencegah terjadinya
“penyanderaan” lembaga Peradilan Tata Usaha Negara oleh pemerintah, jika suatu
saat suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan oleh pejabat tata
usaha negara berdasarkan nasihat-nasihat Peradilan Tata Usaha Negara di kemudian
hari digugat oleh warga masyarakat karena ternyata dalam pelaksanaannya dinilai
melanggar hak-hak administratif dari warga masyarakat. Institusi Peradilan Tata
Usaha Negara tetap memiliki ruang kebebasan sesuai dengan prinsip kebebasan
hakim dalam kerangka kemandirian peradilan untuk menilai secara komprehensif
legalitas Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dikaitkan dengan sistem
perlindungan hukum publik terhadap hak-hak warga masyarakat pencari keadilan.
Tentu saja nasihat-nasihat yang sudah diberikan sebelum suatu Keputusan Tata
Usaha Negara ditetapkan bisa tetap digunakan sebagai konsiderasi bagi Peradilan
Tata Usaha Negara dalam menilai legalitas Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
Penutup
Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu institusi yang mandiri
dalam struktur kekuasaan kehakiman merupakan salah satu ciri dari negara hukum
bertradisi Eropa Kontinental. Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia lebih
mendekati sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Perancis, sekalipun terdapat
beberapa perbedaan.
Jika mencermati dua sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Perancis dan
Indonesia terlihat bahwa dengan sifat aktif-pasif sistem Peradilan Tata Usaha Negara di
Perancis melalui kewenangan penasihatan dan pengujian KTUN dari Conseil d’etat
pengawasan terhadap pemerintah di Perancis memiliki karakter preventif dan represif.
Fungsi penasihatan yang dilaksanakan oleh Conseil d’etat tersebut bisa mencegah terjadinya
tindakan hukum tata usaha negara pemerintah di Perancis agar tidak melanggar peraturan
perundang-undangan dan asas-ass umum pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan fungsi penasihatan tersebut sejauh dilaksanakan secara optimal
dan dipatuhi oleh pejabat pemerintah di Perancis pada hakikatnya juga bisa

W. Riawan Tjandra. Perbandingan Sistem... 439
meminimalisir terjadinya sengketa-sengketa tata usaha negara di kemudian hari asal
pemerintah dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (akta administratif)
menggunakan referensi dan konsiderasi sebagaimana yang telah disarankan oleh
Conseil d’etat. Pola serupa sebenarnya bisa dipertimbangkan untuk diberikan kepada
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dengan mengatribusikan fungsi
penasihatan terhadap Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Ide tersebut dapat
menjadi bagian dari dinamika pelaksanaan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia. Penambahan atribusi wewenang penasihatan terhadap Peradilan Tata
Usaha Negara dapat dilakukan melalui amandemen UU Peradilan Tata Usaha
Negara dan UU Mahkamah Agung. Fungsi penasihatan (advieserende functie) dari
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia bisa menjadi sarana untuk meningkatkan
kualitas keputusan-keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan pemerintah.
Daftar Pustaka
Brown, L Neville, et.al., French Administrative Law, Fifth Edition, Clarendon Press –
Oxford, UK, 1998.
Cruz, Peter de, Comparative Law in a Changing World, second edition, Cavendish Publishing
Limited, Sidney, Australia, 1999.
Hadjon, PM., Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, Pidato diucapkan dalam peresmian penerimaan
jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga pada hari Senin tanggal 10 Oktober 1994.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang,
2006.
Lotulung, Paulus Effendie, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah
(Edisi ke-II dengan revisi), Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Adminstratif di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997.
Riawan Tjandra, W., Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN, Penerbitan
Universitas Atma Jaya Yogyakart, 2009.
______, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2011.
Sauveplanne, JG., Rechtsstelsels in Vogelvlucht–Een Inleiding tot de
Privaatsrechtsvergelejiking, tweede druk, Kluwer – Deventer, 1981.
Seerden, Rene dan Frits Stroink, Administrative Law of the European Union, its Member
States and the United States, Intersentia Uitgevers Antwerpen, Groningen
Netherlands, 2002.