Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 ABSTRACT - Hidrologi Tapak Lahan : Perubahan Tutupan Lahan dan Tingkat Resapan Air
HIDROLOGI TAPAK LAHAN: PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN TINGKAT RESAPAN AIR Hydrology of Land Site: The Changing of Land Cover and Water Absorption Level
MTh. Sri Budiastuti Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
ABSTRACT
The movement of water to the soil is called infiltration process. The process can be understood by infiltration model which developed by Phillips in 1960’s (I = st‐0.5 + Kt). Phillips’s models can be explained as a function of time and are determined by soil sorptivity and hydraulic conductivity. Study of sorptivity and conductivity parameters on Teak land cover are to get more information about cumulative infiltration that accure during several times and coefficient of water absorption reference (Zref) in many kinds of land cover. Zref is the real soil potential for water moving and determines the soil macropores and reflects the water absorption ability. Coefficient of water absorption reference (Zref) with coefficient of water absorption (Z) from RAINS model (I = (Z Cos α/(1‐λ)) P(1‐λ)) can be used to estimate land cover index by the ratio of coefficient of water absorption and coefficient of water absorption reference, indirectly, show the function of land cover on certain area. The changing of land cover from Teak to agroforestry Teak+Soybean and monoculture system (Soybean and Maize) increase land cover index as big as 15% and 70%, respectively. On the other hand, the changing to agroforestry Teak+Maize decrease land cover index as big as 3.4%. The estimation of coefficient of water absorption reflects the function of land cover as the main point to get the ability of water soil movement.
Keywords: Hydrology, Land Cover, Water Absorption Level
1 korespondensi: budiastutiw@yahoo.com
PENDAHULUAN menunjukkan bahwa kondisi tajuk terkait erat Pergerakan air ke dalam tanah dalam proses resapan air.
merupakan peristiwa yang menunjukkan Pendekatan yang dipakai berdasarkan kemampuan tanah meresap air dan menjadi
suatu konsep bahwa resapan air dapat kunci pengendali limpasan permukaan dan
berlangsung dengan baik apabila pergerakan erosi yang selama ini menjadi masalah utama
air ke dalam tanah tidak mengalami pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Kerentanan
hambatan karena didukung oleh kondisi pori suatu kawasan terhadap limpasan permukaan
makro (sebagai saluran air) yang baik. Hal dan erosi tidak terlepas dari tingkat kegiatan
demikian berhubungan dengan arsitektur intensif di atas permukaan tanah dalam
tajuk yang berperan dalam mengendalikan bentuk perubahan tutupan lahan yang
kekuatan hempasan air hujan ke permukaan tampak secara jelas pada perubahan pola
tanah untuk tidak merusak struktur tanah. tajuk pohon dan tanaman. Hal demikian
Salah satu cara untuk mengetahui tingkat sejalan dengan terbatasnya informasi resapan air pada beberapa jenis tutupan
mengenai kinerja sistem resapan air yang lahan, dilakukan dengan mengukur laju melibatkan faktor vegetasi dan beberapa
infiltrasi kumulatif di tempat‐tempat yang faktor lain. Peran vegetasi melalui aspek
mewakili suatu jenis tutupan lahan tertentu arsitektur tajuk sebagai pendukung suasana
dengan berbagai karakter tajuk. Penutupan kondusif bagi tanah untuk dapat meresap air,
permukaan tanah oleh pohon dan tanaman belum begitu banyak dipahami dan
maupun segala benda yang berada di diperlukan suatu pendekatan tertentu untuk
permukaan (batu‐batuan, bongkahan tanah, Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
merupakan bagian dari DAS yaitu Area hujan yang jatuh di permukaan tanah baik
Resapan Air (ARA) (Sitompul et al., 2005). yang mengalir sebagai limpasan permukaan
Selanjutnya, untuk mempermudah maupun yang tertahan dalam jangka waktu
pemahaman dilakukan pendekatan skala plot tertentu untuk kemudian menjadi tolok ukur
(sistem petak) dengan variasi tutupan lahan tingkat infiltrasi yang dihasilkan pada suatu
yang sesuai tujuan utama studi. Kenyataan di area. lapangan menunjukkan bahwa mempelajari Berbagai hasil penelitian tentang resapan air pada sistem petak tidaklah mudah
pengaruh faktor tutupan lahan terhadap sehubungan dengan berbagai peristiwa yang tingkat limpasan permukaan maupun infiltrasi
dialami air hujan saat hendak menuju menyebutkan bahwa keberadaan vegetasi
permukaan tanah dan menjadi kendala dalam berpengaruh secara langsung pada struktur
mempelajarinya.
tanah (porositas tanah, permeabilitas tanah), Sebagai upaya mengatasi kesulitan jenis serta ketebalan seresah dan kegiatan
analisis resapan air pada sistem petak maka biologis tanah (Asdak, 1995., Utomo, 1995.,
digunakan sistem tapak terbatas dengan Braud, 2001). Namun demikian, bagian dari
meletakkan alat yang disebut infiltrometer vegetasi yang memiliki peran terbesar dalam
pada sistem petak dan telah diuji tingkat menunjang resapan air, belum banyak
ketelitiannya (Landon, 1984; Sitompul et al., dibicarakan. Penemuan lain menyatakan
2005). Satu unit alat ini terdiri atas dua (2) bahwa variasi dari tutupan lahan silinder (tabung) terbuka dengan diameter
mencerminkan kekasaran permukaan tanah dan panjang yang berbeda dan keduanya (mikro topografi) dan pada area dengan
mampu menjaga air yang masuk ke dalam tingkat kekasaran permukaan tinggi (berbatu,
tanah untuk tidak bergerak secara lateral tertutup sebagian besar oleh tumbuhan
sampai pada batas 10‐20 cm di bawah penutup tanah berdaun lebar) menghasilkan
permukaan tanah (tergantung tingkat koefisien limpasan (nisbah limpasan dan
kejenuhan tanah). Jumlah air yang masuk ke curah hujan) yang relatif rendah bila
dalam tanah dipertimbangkan dari dibandingkan dengan area dengan tingkat
penurunan muka air pada infiltrometer dalam kekasaran permukaan sebaliknya. Koefisien
waktu tertentu dan mencerminkan kumulatif limpasan yang relatif rendah tersebut akan
infiltrasi (cm). Data tersebut kemudian menghasilkan infiltrasi yang relatif tinggi
diterapkan kedalam model infiltrasi Phillips dengan suatu asumsi bahwa penutupan
(1957) dan menghasilkan sorptivitas dan permukaan tanah akan menahan air hujan
konduktivitas hidrolis tanah yang menjadi lebih lama dan didukung oleh kondisi struktur
dasar pengukuran estimasi resapan air pada tanah yang kondusif, maka pergerakan air ke
sistem petak melalui analisis konduktivitas. dalam tanah dapat berlangsung dengan baik
Kuantifikasi resapan air atau infiltrasi (Braud, 2001).
dengan menggunakan pendekatan model Pemahaman proses resapan air pada area
pada dasarnya mengacu kepada proses yang luas dengan berbagai tutupan lahan
masuknya air kedalam tanah melalui saluran (DAS) terasa sulit dilakukan sehubungan
yang tidak lain adalah pori tanah dan perilaku dengan tingkat variasi yang tinggi dari faktor‐
air didalam tanah yang sangat tergantung faktor yang bekerja pada DAS, sehingga
kepada sifat fisik tanah, dan keduanya diperlukan pencermatan pada area yang lebih
berlangsung karena gaya gravitasi serta gaya sempit yang secara ekologis memiliki faktor‐
kapiler (Arsyad, 1989., Hillel, 1980., Radcliffe,
16 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
2002., Seyhan, 1995). Model infiltrasi yang nilai sorptivitas dan konduktivitas hidrolis sering digunakan adalah model infiltrasi
tanah pada area yang lebih luas (skala petak). Phillips dan berkembang berdasarkan Nilai kumulatif infiltrasi dalam jangka pemahaman tentang keberadaan lengas
waktu tertentu pada suatu bagian petak tanah pada suatu profil tanah tertentu yang
digunakan untuk menghitung estimasi nilai ditentukan oleh tingkat absorpsi air oleh
sorptivitas dan konduktivitas hidrolis (s dan K) permukaan tanah dan kecepatan gerakan air
dan bersama dengan estimasi nilai curah didalam tanah. Selain itu, proses infiltrasi
hujan (P) (dari model RAINS) (Sitompul et al., berlangsung karena paparan langsung air
2004), digunakan untuk menentukan nilai hujan di atas permukaan tanah selama jangka
koefisien resapan air acuan (Z ref =Z acuan ). Nilai waktu tertentu (kumulatif infiltrasi adalah
tersebut merupakan cerminan dari tingkat fungsi dari waktu), dan waktu inilah yang
kemampuan tanah melalukan air atau tingkat menjadi tenaga pendorong berlangsungnya
hambatan tanah terhadap aliran air (sebagai infiltrasi (Landon, 1984).
contoh tanah berpasir memiliki hambatan Model infiltrasi Phillips rendah terhadap aliran air, sedangkan tanah
mempertimbangkan nilai sorptivitas dan liat berkelakuan sebaliknya) (Sitompul et al., konduktivitas dari suatu area resapan dan
2005, Utomo, 1995). Selain daripada itu, ditunjukkan dengan suatu persamaan. Nilai
penyebutan Z acuan berdasarkan kondisi saat sorptivitas tergantung pada kondisi pengukuran infiltrasi kumulatif tersebut
permukaan tanah saat terpapar oleh air hujan dilakukan yakni: (i) air bukanlah merupakan yaitu pada tingkat kemampuannya menyerap
faktor pembatas, (ii) infiltrasi yang hendak air yang oleh Phillips dianggap sebagai
diukur terbatas pada luasan permukaan kandungan air tanah pada saat awal.
tanah dan lama pengukuran tertentu dan (iii) Selanjutnya dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan kondisi permukaan tanah saat profil tanah akan mencapai kondisi lengas
pengukuran dilakukan. Apabila nilai koefisien tanah yang konstan berhubung gradient
resapan air acuan ini mewakili seluruh petak, hidrolis sebagai tenaga pendorong telah
maka estimasi nilai koefisien resapan air mendekati suatu nilai yang semakin konstan,
lahan (Z) dapat dipertimbangkan dari nilai Z ref . dan hal ini dinyatakan sebagai konduktivitas
Karena nisbah antara Z dan Z ref hidrolis jenuh (Hillel, 1980., Utomo, 1995).
mencerminkan indeks tutupan lahan, maka Didalam model Phillips, faktor sorptivitas
perolehan harga Z ref dipertimbangkan untuk dan konduktivitas menjadi penentu infiltrasi
mengevaluasi kondisi tutupan lahan. Dengan kumulatif dan secara empiris nilai‐nilai
demikian, koefisien resapan lahan tersebut dapat diperoleh dengan cara
mencerminkan peran tutupan lahan dalam pemasangan alat‐alat tertentu di suatu tapak
meningkatkan kemampuan tanah meresap air (Hallett et al., 2004) yang tentu saja
Penajaman studi tentang proses infiltrasi memakan waktu serta biaya besar. Karena
dalam sistem tapak terbatas merupakan itu, cara lain untuk menghindari kesulitan di
langkah awal yang sangat bermanfaat bagi lapangan adalah dengan mencari data
usaha mengelola suatu kawasan yang rawan infiltrasi dari infiltrometer yang dipasang di
terhadap peristiwa limpasan permukaan dan suatu bagian petak percobaan dan erosi. Pemakaian suatu alat yang sudah teruji
menerapkan data tersebut dalam persamaan ketelitiannya akan menghasilkan data untuk infiltrasi (model Phillips). Dengan demikian,
seterusnya diterapkan dalam model yang peneliti secara mudah dapat mengestimasi
teruji pula sehingga memberikan informasi yang berguna tentang mekanisme resapan
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
cara: (i) menghubungkan infiltrasi kumulatif faktor yang menentukan tingkat resapan yang
dengan waktu (diturunkan dari data infiltrasi dihasilkan. Faktor tutupan lahan yang selama
di suatu tutupan lahan dengan infiltrometer) ini banyak mengalami perubahan menjadi
dan diperoleh estimasi nilai s dan K, (ii) dasar kecurigaan sebagai penyebab masalah
estimasi nilai s dan K digunakan untuk limpasan permukaan dan erosi. Pemahaman
menghitung estimasi nilai infiltrasi kumulatif terhadap analisis kemampuan tanah berdasarkan model infiltrasi Phillips, (iii)
melalukan air pada berbagai tutupan lahan estimasi nilai infiltrasi kumulatif diterapkan seperti dalam sistem agroforestri akan
kedalam model RAINS (persamaan (3)) (Rains memberikan jawaban tentang kegiatan mana
Interceptions in Natural Systems) untuk yang selayaknya dilakukan bagi pembenahan
memperoleh harga koefisien resapan air wilayah resapan air.
acuan (Z ref ) (persamaan (4)) sebagai upaya mendekati harga Z dari model RAINS.
BAHAN DAN METODE
Z cos α ( 1 − λ )
Model Infiltrasi
I = infiltrasi kumulatif, Z = koefisien resapan kumulatif dalam bentuk terapan yang
Model laju infiltrasi atau infiltrasi
air lahan, P = curah hujan dan λ = konstanta, dijabarkan oleh Phillips sekitar tahun 1960‐an
α = kemiringan lahan.
(Hillel, 1980) adalah sebagai berikut:
I 0,5
= st + Kt
(1) I ( 0 , 8 )
atau Z ref =
Cos α P δ I 0 , 5 ‐1
= i = 0 , 5 st + K (2) Z ref (cm.menit ) = koefisien resapan air acuan, δ t
I (cm dalam waktu 2 jam) = infiltrasi
I = kumulatif infiltrasi, i = laju infiltrasi, s = kumulatif, α (˚) = kemiringan lahan dan P (cm) sorptivitas tanah dan K = konduktivitas
= curah hujan.
hidrolis tanah. Model RAINS yang diterapkan pada Harga s dan K diperoleh secara empiris
tutupan lahan Jati dan Pinus (Sitompul et al., dengan pemasangan suatu alat yang disebut
2005) menghasilkan parameter koefisien infiltrometer di suatu tempat selama jangka
resapan air (Z) yang cukup baik untuk waktu tertentu dan tidak dapat mewakili
menggambarkan infiltrasi yang terjadi di daerah resapan yang luas dengan berbagai
suatu area. Apabila dibandingkan antara Z tutupan lahan di atasnya. Hal ini
dan Z referens maka perbedaan utama terdapat berhubungan dengan (i) diameter pada kondisi penutupan tanah. Z referens
infiltrometer yang sangat kecil (40 cm) bila diperoleh berdasarkan data infiltrasi dari dibandingkan dengan area resapan air, (ii) air
pengukuran dengan infiltrometer (area yang berada dalam infiltrometer tidak
pengukuran terbatas) dan Z merupakan nilai mengalami hambatan saat mencapai estimasi yang diperoleh dari data resapan air
permukaan tanah dibanding dengan air hujan (dipertimbangkan dari data limpasan yang jatuh di suatu area resapan air akan
permukaan) pada suatu petak tertentu. banyak mengalami hambatan untuk Dengan demikian semakin besar nilai Z
mencapai permukaan tanah (terutama bila mencerminkan tingkat penutupan tanah oleh area resapan tertutupi oleh berbagai
vegetasi baik pohon maupun tanaman vegetasi). Untuk itu, perlu dipertimbangkan
beserta seresahnya yang secara tidak nilai s dan K acuan sebagai dasar analisis
18 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009 18 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
(vii) menambah air dengan cepat segera setelah permukaan air menurun ke ketinggian
Tempat dan Waktu
semula.
Parameterisasi sorptivitas dan
konduktivitas hidrolis tanah diperoleh melalui
HASIL DAN PEMBAHASAN
data penelitian hidrologi (Agustus‐Oktober
Hasil
2005) berupa data infiltrasi dari area resapan Infiltrasi kumulatif untuk setiap air dalam suatu petak percobaan dengan
percobaan menunjukkan peningkatan seiring tutupan lahan Jati (15 tahun), Jati+Kedelai,
waktu dengan laju infiltrasi rata‐rata sebesar Jati+Jagung dan sistem monokultur Kedelai,
0,36 cm per menit dan menghasilkan nilai s Jagung, di desa Sumberjatipohon, Grobogan,
serta K yang selanjutnya digunakan untuk
dan mengestimasi kecenderungan pola infiltrasi 110˚54,57'17''BT) pada ketinggian tempat
Jawa Tengah (7˚35'14,7''LS
pada setiap tutupan lahan. Tutupan lahan 250 m dpl, rerata curah hujan 1946 ± 412
Jati dan sistem agroforestri Jati+Kedelai, Jati mm/th, rerata suhu harian 32˚C, jenis tanah
+Jagung menunjukkan kecenderungan vertisol, kandungan liat, debu, pasir dan
peningkatan infiltrasi dengan nilai yang porositas berturut‐turut 23,64%, 39,19%,
hampir sama namun perubahan tutupan 37,17% dan 42,71%.
lahan Jati menjadi sistem agroforestri menurunkan infiltrasi hingga 5 ‐14%. Pelaksanaan Sedangkan pada sistem monokultur Kedelai, Pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer
Jagung, peningkatan infiltrasi tidak terlalu yang diletakkan pada setiap petak percobaan
tinggi dan bila dibandingkan dengan tutupan sesaat setelah panen dan petak tersebut
lahan Jati terjadi penurunan infiltrasi hingga disusun dengan menggunakan rancangan
lebih dari 100% (Tabel 1). Pola peningkatan acak kelompok meliputi: 1) Jati (sebagai
infiltrasi dengan waktu dari kelima jenis kontrol),
2) Jati+Kedelai, 3) Jati+Jagung, 4) tutupan lahan memberikan nilai yang tidak Kedelai monokultur, 5) Jagung monokultur
sama dan hal itu memberi gambaran akan masing ‐masing diulang 3 (tiga) kali.
peran tutupan lahan khususnya tajuk sebagai Sedangkan pelaksanaannya adalah sebagai
pengendali aliran air ke permukaan tanah. berikut: (i) memasang alat silender ganda (Ø
Penggunaan infiltrometer sebagai
40 cm dan 50 cm) secara bergantian untuk pengukur infiltrasi kumulatif selama waktu setiap petak percobaan, (ii) menutup
tertentu di setiap petak percobaan permukaan tanah pada silender kecil dengan
menghasilkan estimasi nilai s dan K yang plastik sebelum pengukuran untuk cukup bervariasi (Tabel 1) dan hal itu secara
menghindari kerusakan struktur tanah, (iii) umum menunjukkan pengaruh kondisi mengisi ruang antara silinder kecil dan besar
penutupan tanah pada setiap petak pada saat dengan air hingga ketinggian satu (1) cm
pengukuran dilakukan dalam mengatur aliran dibawah tepi atas silinder, (iv) mengisi air
air ke dalam tanah. Disamping itu, pada silinder kecil hingga ketinggian air sama
dipertimbangkan pula saat pengukuran dengan ketinggian air pada silinder luar, (v)
infiltrasi dilakukan, yaitu setelah panen yang memulai pengukuran dengan menarik plastik
tentu saja banyak meninggalkan sisa‐sisa secara hati‐hati dan bersamaan dengan itu
biomasa tanaman dan seresah dengan menjalankan stopwatch, (vi) mencermati
spesifikasi masing ‐masing dan terjadi penurunan muka air pada silinder kecil setiap
pemadatan permukaan tanah sehingga Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
Tabel
1. Estimasi nilai sorptivitas (s), konduktivitas hidrolis tanah (K), infiltrasi kumulatif dari
05 model 0,5 Phillips (I = st + Kt) dan laju infiltrasi (i=0,5s t +K) pada perubahan tutupan lahan berbasis Jati menjadi sistem agroforestri dengan Kedelai, Jagung dan sistem
monokultur Kedelai, Jagung.
Parameter Satuan Sistem tutupan lahan
Jati Jati+Kedelai Jati+Jagung Kedelai Jagung s ‐0,5 cm.m 1,08b 1,30c 1,95d 0,75a 0,91b
K ‐1 cm.m 0,32r 0,25q 0,22q 0,11p 0,11p
I cm.2 j ‐1 50,61m 44,22l 47,80lm 22,15k 23,67k R 2 0,99 0,98 0,98 0,98 0,98
i ‐1 cm.menit 0,50g 0,41f 0,48g 0,20e 0,22e
Catatan: ‐1 s (cm.menit ) dan K (cm.menit ). Nilai dalam satu baris yang diikuti huruf sama menunjukkan bahwa diantara tutupan lahan berpengaruh sama terhadap nilai s, K, I maupun i (BNT 5%)
perilaku air di permukaan tanah cukup dipadankan dengan peristiwa hujan di alam bervariasi dan kondisi itu yang menyebabkan
yang sampai di permukaan tanah dan besar kecilnya peluang bagi air untuk masuk
mencerminkan tinggi air selama hujan kedalam tanah.
berlangsung. Secara alami, intensitas hujan akan menentukan tingkat infiltrasi yang
Koefisien Resapan Air Acuan dan Indeks
berlangsung di suatu area yang tentu saja
Tutupan Lahan
tidak terlepas dari berbagai faktor yang Pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer
berpengaruh terhadap proses tersebut. merupakan langkah awal untuk memperoleh
Gambaran akan hal itu adalah bahwa estimasi nilai s dan K yang selanjutnya dengan
keberadaan air hujan di atas permukaan model Phillips dapat ditaksir harga infiltrasi
tanah sangat ditentukan oleh kondisi kumulatif pada suatu tapak tertentu. Nilai
permukaan tanah yang bersangkutan dalam infiltrasi kumulatif dari hasil perhitungan
memberikan peluang bagi air untuk dapat dengan model Phillips mendasari perhitungan
meresap ke dalam tanah atau mengalir di koefisien resapan air acuan (Z referens ) yaitu
atas permukaan tanah. Karena itu, estimasi dengan terlebih dahulu menentukan tinggi air
terhadap besarnya air yang mengalir di atas yang berada di atas permukaan tanah yang
permukaan tanah sebagai limpasan dapat dianggap sebagai tinggi air hujan yang
permukaan perlu dicari yang kemudian jatuh di atas permukaan tanah. Selanjutnya
bersama dengan infiltrasi kumulatif dapat ditentukan pula seberapa besar estimasi
dipergunakan untuk mengestimasi curah percepatan aliran berdasarkan kemiringan
hujan total yang terjadi.
lahan dan gaya gravitasi. Estimasi percepatan Tutupan lahan Jati menghasilkan nilai Z ref digunakan untuk mengestimasi kecepatan
yang lebih besar dibanding dengan tutupan aliran dan bersama dengan luas bidang
lahan dalam sistem monokultur, masing‐ permukaan pada tinggi air tertentu
masing dengan rata‐rata nilai Z ref sebesar
menghasilkan ‐1 estimasi limpasan permukaan. 44,32 cm.m dibanding 28,82 cm.m (Tabel Infiltrasi kumulatif dan limpasan permukaan
2). Perubahan sistem agroforestri Jati+Kedelai akan mencerminkan besarnya curah hujan
dan Jati+Jagung menjadi sistem monokultur dan dengan menggunakan model RAINS
Kedelai dan Jagung menurunkan nilai Z ref dapat ditentukan Z referens . berturut ‐turut
hingga 36,75% untuk Kedalaman air kumulatif yang masuk
monokultur Kedelai dan 33,19% untuk kedalam tanah dan tinggi air di atas
monokultur Jagung. Kemungkinan bahwa permukaan tanah selama pengukuran
penurunan nilai Z ref dipengaruhi oleh
infiltrasi dengan infiltrometer dapat
20 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009 20 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
Perhitungan nilai Z ref sebagai acuan lahan yang akhirnya menentukan tingkat kemampuan tanah melalukan air dipakai
resapan air pada suatu jenis tutupan lahan sebagai dasar penentu nilai koefisien resapan
(Tabel 3).
air (Z) untuk satuan area yang lebih luas. Tingkat resapan air ini tidak hanya Berhubung estimasi nilai Z (model RAINS)
tergantung pada kondisi tutupan lahan telah diperoleh maka dengan mempertim‐
namun perlu dipertimbangkan pula aktifitas bangkan nilai Z ref , indeks tutupan lahan dapat
pengolahan tanah yang mempengaruhi ditentukan. Perubahan tutupan lahan Jati
struktur tanah. Perubahan tutupan lahan Jati menjadi sistem agroforestri Jati+Kedelai dan
menjadi Jati+Kedelai, Kedelai dan Jagung Jati+Jagung serta sistem monokultur Kedelai,
meningkatkan koefisien resapan air berturut‐ Jagung menunjukkan koefisien resapan air
turut sebesar 15, 70 dan 64%. Sedangkan yang cukup bervariasi dan setiap jenis
perubahan menjadi Jati+Jagung menurunkan tutupan menunjukkan pengaruhnya masing‐
koefisien resapan air sebesar 3,4% walau
Tabel
2. Harga parameter penentu nilai Z ref pada beberapa jenis tutupan lahan Jati dan sistem monokultur Kedelai dan Jagung
Parameter Satuan Sistem tutupan lahan
Jati Jati+Kedelai Jati+Jagung Kedelai Jagung W ‐1 cm.2j 60,800 56,967 56,267 39,900 43,367
H ‐1 cm.det 0,0084 0,0079 0,0078 0,0055 0,0060
I ‐1 cm.2j 50,61 44,22 47,80 22,15 23,67 Sin α
0,15 0,16 0,15 0,18 0,15 Cos α
A ‐2 m.det 1,356 1,514 1,325 1,623 1,388 Vmean ‐1 m.det 0,368 0,389 0,364 0,402 0,372
A m 2 0,000106 0,000099 0,000098 0,000069 0,000075 L m 2,241 2,217 2,047 1,586 1,599
P cm 274,71 265,96 252,50 180,77 183,54 Z ‐1 ref cm.m 45,566 41,174 46,230 28,033 29,616
Catatan: W dan H merupakan gambaran dari tinggi air di atas permukaan tanah, α adalah derajat sudut kemiringan, a adalah percepatan aliran yang mempertimbangkan gaya gravitasi, V adalah kecepatan aliran, A = luas bidang permukaan aliran (A=keliling silinder kecil x H), L merupakan limpasan permukaan (L=Vmean x A) dan P adalah curah hujan (jumlah antara I dan L). Zref (cm.meter hujan ‐1 ) dipertimbangkan berdasarkan model RAINS (persamaan (4)) (Sitompul, et al., 2004).
Tabel
3. Harga parameter estimasi koefisien resapan air dan koefisien resapan air acuan pada perubahan tutupan lahan Jati menjadi sistem agroforestri Jati+Kedelai dan Jati+Jagung serta sistem monokultur Kedelai dan Jagung
Parameter Sistem Satuan Jati Jati+Kedelai Jati+Jagung Kedelai Jagung
tutupan lahan
10,105 8,7109 Z ‐1 cm.m 32,87 34,22 32,20 34,53 35,21
Z ‐1 ref cm.m 45,57 41,17 46,23 28,03 29,62 Indeks tutupan lahan
0,72ab 0,83b 0,70a 1,23d 1,19cd Catatan: Indeks tutupan lahan adalah Z/Z ref . Z merupakan nilai estimasi berdasarkan model RAINS dan Z ref diperoleh melalui pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer dan diperhitungkan berdasarkan model RAINS pula. Baik Z maupun Z ref diperhitungkan dari petak percobaan (dengan α= sudut kemiringan masing‐masing) yang sama. Angka diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan setiap jenis tutupan lahan berpengaruh sama pada koefisien resapan air (BNT 5%)
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
kondisi tekstur dan struktur tanah (Landon, melalukan air tergantung pada tekstur tanah
1984). Karena itu, parameter s dan K tidak (ukuran partikel tanah) dan struktur tanah
mungkin lepas dari spesifikasi faktor‐faktor (ukuran dan distribusi pori tanah) yang
ekosistem yang terdapat pada suatu area dipengaruhi oleh semua faktor yang berada di
resapan air dan bentuk‐bentuk perubahan atas permukaan tanah, khususnya vegetasi.
yang mempengaruhi hubungan antar faktor‐ Keberadaan pori tanah mencerminkan
faktor tersebut secara langsung akan konduktivitas tanah dan pengukuran pada
mempengaruhi parameter s dan K. area yang terbatas dengan infiltrometer
Proses infiltrasi berlangsung apabila cukup tepat untuk dijadikan pedoman (acuan)
curah hujan berhasil mencapai permukaan bagi kemampuan sesungguhnya tanah
tanah baik secara langsung (dari atmosfer) tersebut dalam meresap air.
maupun tidak langsung (melalui vegetasi, Indeks tutupan lahan pada tutupan lahan
benda ‐benda di permukaan tanah, seresah, Jati+Kedelai 15% lebih tinggi dibanding
tumbuhan penutup tanah) mulai dari dengan tutupan lahan Jati. Sedangkan untuk
intensitas rendah sampai tingkat intensitas sistem monokultur, nilai ini lebih dari satu
curah hujan tertentu hingga infiltrasi (1,23 dan 1,19) yang menggambarkan
maksimum tercapai. Dengan demikian, sejak pengaruh faktor lain disamping vegetasi yaitu
air hujan berada di permukaan tanah faktor pengelolaan tanah. Dengan demikian
berlangsunglah aktifitas absorpsi air oleh perlu pula dipertimbangkan bahwa partikel tanah kemudian diikuti dengan
kemampuan lahan meresap air terutama pergerakan air di dalam tanah oleh peran pori ditentukan oleh vegetasi sebagai tutupan
tanah sebagai wujud dari kemampuan tanah lahan dan pengelolaan yang dilakukan
melalukan air (Widianto et al., 2004). terhadap vegetasi tersebut. Keduanya tidak
Pencermatan terhadap proses infiltrasi dapat dipisahkan dari upaya meningkatkan
membawa kepada suatu pengertian tentang resapan air di suatu area.
peran vegetasi yang secara langsung mempengaruhi kondisi struktur tanah Pembahasan (ukuran dan distribusi pori makro) karena
Phillips telah berhasil mengembangkan kemampuannya untuk menahan kekuatan model infiltrasi dan dianggap oleh sementara
butir air hujan saat mencapai permukaan peneliti dibidang hidrologi sebagai model
tanah, dan hal itu merupakan kunci tingkat yang cukup sederhana dan sangat mudah
infiltrasi yang terjadi. Pengamatan terhadap diterapkan serta memberikan hasil yang
kekuatan air hujan tersebut secara empiris cukup baik untuk dipakai sebagai pendukung
sangat sulit dilakukan dan pendekatan yang langkah ‐langkah perencanaan pengelolaan
dilakukan melalui pengukuran infiltrasi. suatu area resapan air (Bagarello, et al.,
Peran tutupan lahan pada suatu area 2004., Hallett et al., 2004., Soil Science
resapan tidak hanya berhubungan dengan Journal Organization, 2004). Parameter yang
terbentuknya pori tanah namun berhubungan dipakai dalam model tersebut adalah
juga dengan perannya sebagai tahanan parameter sorptivitas (s) dan konduktivitas
permukaan tanah. Sebenarnya, air hujan hidrolis tanah (K) yaitu sebagai gambaran dari
setelah mencapai permukaan tanah akan kemampuan tanah menyerap air akibat
mengalami peristiwa yaitu mengalir apabila proses difusi serta kemampuannya melalukan
saluran air ke dalam tanah tersumbat dan air atau menghantarkan air (daya hantar air)
apabila tidak terdapat faktor yang menahan
22 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009 22 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
menangkap air hujan sebesar 22% dan berlaku sebaliknya (evaporasi dapat diabaikan
sebagian besar air hujan (73%) akan mengalir mengingat percobaan dilaksanakan pada
ke permukaan tanah sebagai lolos tajuk musim penghujan). Keduanya merupakan
(Budiastuti, 2008). Posisi kedudukan daun gambaran dari kondisi penutupan tanah yang
tidak mendukung pergerakan air ke batang sangat tergantung kepada vegetasi (jenis dan
dan kecenderungan yang terjadi bahwa air masa pertumbuhan, seresah), dan benda‐
yang jatuh di daun lebar akan segera menetes benda lain (batuan, bongkahan tanah)
dengan volume dan kecepatan yang tinggi. maupun segala aktifitas yang terjadi di
Kenyataan di lapangan tingkat infiltrasi permukaan tanah tersebut.
kumulatif pada petak percobaan Jati (dengan Vegetasi (arsitektur tajuk dan sistem
rumput ‐rumputan) paling tinggi diantara perakaran) mampu menjaga keberadaan pori
percobaan yang lain dan hal itu diperankan tanah (saluran di dalam tanah) dan akhirnya
oleh sistem perakaran pohon yang mencerminkan tingkat resapan air di suatu
memperenggang agregat tanah yang area. Secara fisik, terbentuknya saluran
berdekatan dan memicu terbentuknya pori didalam tanah merupakan hasil kerja sistem
makro. Disamping itu, rerumputan akan perakaran pohon yang mampu menekan,
menahan air hujan lebih lama dan memperenggang agregat tanah yang menciptakan peluang bagi air hujan tersebut
berdekatan, membuka rengkahan‐rengkahan untuk meresap ke dalam tanah. Sistem kecil yang semua itu memicu terbentuknya
agroforestri Jati+Kedelai maupun Jati+Jagung pori ‐pori makro (Suprayogo et al., 2004).
mampu menciptakan kondisi yang hampir Aktifitas perakaran demikian juga sama dengan sistem monokultur Jati dan
menghasilkan eksudasi organik yang memicu perbedaan nilai infiltrasi kumulatif dari kedua biota tanah untuk menghasilkan semen
sistem agroforestri disebabkan oleh sehingga kestabilan agregat meningkat.
perbedaan sistem perakaran dan habitus Disamping itu, tajuk pohon yang merupakan
tanaman pangan. Jati+Jagung (habitus tinggi jalinan batang, cabang, ranting dan daun
dan tajuk cukup lebar), menciptakan merupakan penangkap air hujan yang baik
stratifikasi tajuk cukup baik dan tajuk Jagung dan sekaligus mengaturnya dalam bentuk
mampu mengurangi kekuatan air hujan dari gerakan atau aliran air ke permukaan tanah.
tajuk Jati sehingga struktur tanah terhindar Sudut percabangan, bentuk daun, kekasaran
dari kerusakan.
permukaan daun maupun batang Pengukuran pori tanah secara empiris menimbulkan variasi yang cukup tinggi bagi
memerlukan waktu yang tidak sedikit, gerakan air hujan yang tertangkap tajuk dan
disamping kondisi pori seringkali berubah berdampak pada tingkat kekuatan air hujan
sejalan dengan perubahan struktur tanah yang mencapai permukaan tanah. Hal
akibat pertumbuhan tanaman ataupun demikian akan menunjang terpeliharanya
seluruh kegiatan yang ada di permukaan kondisi struktur tanah untuk tetap berfungsi
tanah. Karena itu, estimasi indeks tutupan secara maksimal sebagai saluran air ke dalam
lahan melalui pendekatan koefisien resapan tanah. air akan lebih praktis dan cepat serta cukup
Nilai infiltrasi kumulatif pada area yang akurat untuk menunjukkan peran tutupan ditumbuhi pohon lebih besar dari area
lahan dalam pembentukan pori makro. dengan sistem monokultur tanaman pangan.
Indeks tutupan lahan dari tutupan lahan Jati Jati dengan tajuk yang tidak terlalu padat dan
tidak terlalu bervariasi namun setiap tutupan Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
Jati+Jagung tidak sebaik pada sistem Jati+Kedelai memiliki indeks tutupan lahan
agroforestri Jati+Kedelai. yang lebih tinggi daripada jenis tutupan lahan berbasis Jati yang lain. Indeks tutupan lahan
KESIMPULAN
yang tinggi ini didasari oleh pertumbuhan Dasar perwujudan potensi resapan air Kedelai yang baik yang memungkinkan
pada suatu area adalah dengan memahami pertumbuhan tajuk khususnya pada masa
proses infiltrasi yang melibatkan banyak vegetatif. Hal itu menunjukkan peran tajuk
faktor, dan pendekatan model infiltrasi dalam mengatur perilaku air hujan dan
Phillips yang hanya melibatkan faktor pengurangan kekuatan tetesan air yang
sorptivitas dan konduktivitas hidrolis tanah mencapai permukaan tanah. Selain itu,
dapat membantu pemahaman proses melalui sistem perakaran serta pori makro
tersebut. Kelebihan lain dari model ini adalah yang terbentuk oleh sistem perakaran
diperolehnya nilai koefisien resapan air acuan tersebut, air dapat meresap ke dalam tanah
sebagai dasar penentuan indeks tutupan dengan mudah.
lahan dan sekaligus pengaruh tutupan lahan Nilai indeks tutupan lahan dalam kajian
terhadap tingkat resapan air. ini berkisar antara 0,70 sampai dengan 1,23
Estimasi nilai indeks tutupan lahan dan dapat dibagi menjadi dua yakni nilai
mempermudah langkah perencanaan dibawah satu (1) untuk tutupan lahan Jati dan
pengelolaan suatu area khususnya dalam sistem agroforestri dan nilai diatas satu (1)
mengatur segala aktivitas yang berada pada untuk sistem monokultur Kedelai dan Jagung.
area tersebut. Bagaimanapun aktivitas Didalam sistem monokultur tampak nilai
tersebut akan berpengaruh pada struktur indeks tutupan lahan diatas satu yang berarti
tanah yang tidak lain adalah distribusi dan memiliki kemampuan melalukan air cukup
ukuran pori tanah. Aktivitas pada suatu area besar dan telah dibuktikan pula melalui
yang biasanya berupa perubahan tutupan estimasi nilai fraksi limpasan permukaan yang
lahan harus memiliki konsep bahwa cukup rendah (0,17‐0,31) (Sitompul et al.,
perubahan tersebut harus tetap menjaga 2005). Namun apakah kemampuan tersebut
keterpaduan antara tanah‐tanaman‐atmosfer ditunjang dengan kemampuan tanah sehingga tidak mengganggu kinerja hidrologi mengikat air, sebab semakin besar secara keseluruhan.
konduktivitas hidrolis tanah maka semakin Perubahan tutupan lahan dapat kecil kemampuan tanah mengikat air (Baoma
meningkatkan maupun menurunkan indeks et al., 2003, Tejoyowono, 2000). Penelaahan
tutupan lahan dan kurang mencerminkan terhadap indeks tutupan lahan pada tutupan
peran tutupan lahan terhadap resapan air ke lahan dalam sistem agroforestri menunjukkan
dalam tanah. Indeks tutupan lahan yang peran perkembangan akar bagi pembentukan
tinggi menggambarkan luasan permukaan pori makro dan secara teoritis tanaman
tanah yang terlindung oleh vegetasi dan Jagung dengan sistem perakaran menyebar
secara teoritis akan menunjang resapan air ke ke arah vertikal maupun horizontal akan
dalam tanah. Kesempatan yang besar dari air mampu membentuk pori makro dengan baik.
hujan meresap ke dalam tanah sangat Namun kenyataan yang terjadi di lapangan
tergantung pada kondisi tajuk vegetasi, walau pertumbuhan Jagung pada masa vegetatif
seringkali terjadi penguapan sebelum air dalam sistem agroforestri tidak sebaik
hujan mencapai permukaan tanah. Ini pertumbuhan Kedelai sehingga pembentukan
dipertimbangkan sebagai jawaban dari
24 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009 24 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
Agrivita. 27 (2005): 15‐25 menjadi Jati+Kedelai.
Soil Science Journal Organization. 2004. Estimating Hydraulic Properties of Soil PUSTAKA Agregate Skins from Sorptivity and Water Retention.
Arsyad, 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
http://soil.scijournal.org/cgi/content/ full/03/09/04
Asdak,
C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
Suprayogo, D., Widianto., P. Purnomosidi., University Press. Yogyakarta.
H.Widodo., F.Rusiana., Z.Z.Aini., N.Khasanah dan Z.Kusuma. 2004.
Bagarello, V., M. Iovino and D. Elrick. 2004. A Degradasi Sifat Fisik Tanah Sebagai
Simplified Falling‐Head Technique for Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Rapid Determination of Field‐Saturated
Sistem Kopi Monokultur: Kajian Hydraulic Conductivity. Soil Perubahan Makro orositas Tanah.
Agrivita 26 (2004): 60‐68 Baoma, J., P.S.C.Rao and R.B.Brown. 2003.
Sci.Soc.Am.J.
68: 66‐73.
Tejoyuwono. 2000. Tanah Dan Lingkungan. Movement of Water: Basics of Soil‐
Pusat Penelitian Sumberdaya Lahan Water Relationships‐Part III. University
dan Lingkungan. Lembaga Penelitian of Florida, Institute of Food and
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Agriculture Science.
Utomo, W.H. 1994. Erosi dan Konservasi Braud, I., A.I.J. Vich, J. Zuluaga, L. Fornero and
Tanah. Penerbit IKIP Malang
A. Pedrani. 2001. Vegetation Influence on Runoff and Sediment Yield in The
D. Suprayogo., H. Noveras., Andes Region: Observation and
Widianto.,
R.H.Widodo., P.Purnomosidi dan M.V. Modelling. Journal of Hydrology 254:
2004 Noordwijk. Alih Guna Lahan 124 ‐144.
Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis Hutan Dapat
Budiastuti. 2008. Pengelolaan Hidrologi Digantikan Sistem Kopi Monokultur.
Hutan Dalam Skala Plot: Peran Tajuk Agrivita 26 (2004): 47‐52. Pohon Sebagai Pengatur Aliran Air.
Sedang dalam proses publikasi.
Hallet, P.D., N. Nunan, J.T. Douglas and I. M. Young. 2004. Milimeter‐Scale Spatial Variability in Soil Water Sorptivity. Soil Sci.Soc.Am.J
68: 352‐358
Hillel,
D. 1980. Fundamental of Soil Physics. Academic Press. New York
Landon, J. R. 1984. Soil Survey for Agricultural Land Evaluation in The Tropics and
Subtropics. Booker Agricultural
International Limited. New York. Seyhan,
A. 1990. Pengantar Hidrologi. Gadjah Mada University Press.
Sitompul, S.M., Juniarti Wulan Lestari dan Setyono Yodo Tyasmoro. 2005. Evaluasi dan Parameterisasi Model Hidrologi Area Resapan Air: Limpasan Air dan
25
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009
26 Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 6(1)2009