BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia - Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Dan Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia Terhadap Penduduk Sipil

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan.

  

bahwa adalah suatu kenyataan yang

  menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan jenis kemudian membawa keinsyafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu merugikan umat manusia sehingga kemudian orang mengadakan pembatasan- pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum

   yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.

  Perang berarti adanya pembunuhan besar-besaran dan sering terjadi kekejaman-kekejaman, ini hanya merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pada naluri untuk mempertahankan diri yang berlaku dalam pergaulan antar manusia, maupun dalam pergaulan antar bangsa. Karena itu sejarah perang sama

  

  tuanya dengan sejarah umat manusia. Perlu pula ditegaskan bahwa studi ini, bahwa akhir-akhir ini timbul istilah baru dalam khasanah hukum Internasional. 5 6 Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 9

  Istilah yang dimaksud adalah International Humanitarian Law diterjamahkan dengan Hukum Humaniter Internasional.

  Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum “humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur hukum perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.” Panitia tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan merumuskan “Hukum Humaniter sebagai keseluruhan azas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak azasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat

   dan martabat seseorang.

  Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan

  

  pokok, yaitu : 1.

  Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws) ;

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws).

  Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai

  

  berikut : 1.

  Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata ; 8 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Comitee of The Red Cross., Jakarta., 1999., hal. 9-10. 9

2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2

  (dua) yaitu : a.

  Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war).

  Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

  b.

  Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

  Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa.

  Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed confilict) sebagai pengganti hukum perang (law of war) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan kedua prokol tambahannya. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity principle) .

  Perlakuan Hukum Humaniter Internasional, sebagai ius in belo (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad

  

bellum (hukum tentang keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, Hukum

  Humaniter Internasional mengikat para pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut.

  Hukum Humaniter Internasional sendiri berkembang ketika use of force (penggunaan tindakan keras) atau perang merupakan suatu tindakan yang sah dalam hubungan Internasional, yaitu ketika menutut ius ad bellum negara-negara dianggap mempunyai hak untuk berperang. Saat ini, dalam masyarakat Internasional, yaitu ketika menurut ius ad bellum telah berubah menjadi ius contra

  

bellum (hukum yang melarang perang), sebagaimana ditegaskan dalam Piagam

  PBB, setiap negara dilarang menggunakan tindakan keras, kecuali sebagai pertahanan sendiri atau pertahanan bersama, tindakan penegakan dari Dewan Keamanan PBB, atau mungkin dalam rangka menegakkan hak rakyat untuk menentukan nasibnya (Perang Pembebasan Nasional). Serupa halnya dengan hukum Internasional, semua hukum nasional juga melarang warganya menggunakan tindakan keras terhadap pemerintah atau badan-badan penegak

   hukumnya.

  Secara logika, suatu negara yang melakukan peperangan dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran suatu hukum Internasional, yaitu melanggar ius

  

contra bellum atau ius ad bellum. Selanjutnya, dalam peperangannya, para pihak

  harus menghormati dan melaksanakan ius in bello (Hukum Humaniter Internasional). Oleh karena itu, Hukum Humaniter Internasional ketika hubungan sesama anggota masyarakat Internasional terkait sedang berada dalam keadaan tidak damai. Dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional dapat dijadikan batu ujian mengenai ketaatan negara terhadap kesepakatan Internasional,

   khususnya kesepakatan untuk meminimalkan korban konflik.

  Hukum Humaniter Internasional terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum Internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya perang dan konflik-konflik 11 Ambarwati., Hukum Humaniter Internasional dalam studi Hubungan Internasional, bersenjata. Andai kata tidak ada kaidah-kaidah hukum demikian, maka kebiadaban dan kebrutalan perang tidak akan dapat dikekang lagi. Ketentuan- ketentuan hukum dan kebiasaan ini telah timbul dari praktek-praktek yang berlangsung lama dari pihak-pihak yang berperang.

  Walaupun Hukum Humaniter Internasional merupakan aturan-aturan yang akan diberlakukan pada waktu perang, persiapan pelaksanaannya harus disiapkan semenjak masa damai, baik oleh masing-masing negara maupun dalam hubungan antarnegara. Demikian telah disepakati oleh masyarakat internasional, sebagaimana termuat dalam berbagai perjanjian internasional hukum humaniter. Kesepakatan tersebut dapat dipahami mengingat, pada waktu perang kesepakatan mempersiapkan pelaksanaan Hukum Humaniter Internasional akan semakin berkurang dibanding keinginan para pihak untuk mengejar tujuan perang masing- masing.

  Hukum Humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang Hukum Humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum Humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.

  Mohammed Bedjaui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk

   memanusiawikan perang.

  Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam

  

  berbagai kepustakaan antara lain sebagai berikut :

  13

  1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu.

  2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.

  3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sisi yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.

  4. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian.

  Memang benar kaidah-kaidah ini seringkali dan secara luas dilanggar, tetapi tanpa kaidah-kaidah hukum ini kebrutalan perang umum sama sekali tidak dapat dikendalikan. Mungkin tidak realistis, dalam kaitan ini, untuk mengabdikan dampak dari apa yang dinamakan “tombol” perang di masa mendatang, yang dialkukan dengan peluru-peluru kendali senjata nuklir, dan senjata-senjata lainnya. Kecenderungan pada depersonalisasi perang yang menjadi antitetis dari humanisasi perang, merupakan suatu ancaman berat terhadap keberadaan Hukum Humaniter Internasional.

  Karena keberadaan kaidah-kaidah Hukum Humaniter Internasional adalah untuk kepentingan individu-individu, maka tampak bahwa dalam kasus suatu konflik yang melanggar hukum, yang dilakukan oleh negara agresor, kaidah- kaidah hukum ini bagaimanapun juga mengikat negara-negara yang diserang dan anggota angkatan bersenjatanya yang karenanya menguntungkan negara agresor dan angkatan bersenjatanya. Namun, negara agresor itu kemungkinan dihukum sampai sejauh, selama berlangsungnya konflik, negara-negara netral atau negara- negara yang tidak terlibat perang dapat melakukan diskriminasi terhadapnya, atau dengan alasan fakta bahwa pada saat berakhirnya permusuhan-permusuhan di negara itu harus memikul beban penggantian kerugian atau untuk mengembalikan wilayah yang diperoleh secara ilegal. Kaidah-kaidah itu tentu harus berlaku pula

   terhadap konflik-konflik bersenjata non-perang.

  Kaidah-kaidah Hukum Humaniter Internasional adalah mengikat bukan saja terhadap negara-negara sendiri, melainkan terhadap individu-individu, termasuk anggota bersenjata, kepala negara, menteri-menteri dan pejabat-pejabat lain. Juga kaidah-kaidah hukum tersebut perlu mengikat terhadap pasukan perserikatan bangsa-bangsa yang terlibat dalam suatu konflik militer, terutama karena perserikatan bangsa-bangsa adalah subjek hukum Internasional dan terikat oleh seluruh kaidah hukum Internasional, dimana Hukum Humaniter merupakan bagian dari padanya. Juga ada pertimbangan bahwa apabila pasukan-pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak terikat oleh kaidah-kaidah hukum tersebut, dan dilihatkan dalam operasi-operasi terhadap suatu negara yang mana pasukan- pasukan negara itu tunduk kepada hukum perang, tetapi tidak demikian dengan pasukan PBB.

  Salah satu dari perkembangan besar yang terjadi pada dasawarsa terakhir dan yang secara luas menjelaskan penggantian nama dari cabang hukum internasional ini, “hukum perang” menjadi namanya sekarang “Hukum Humaniter Internasional” adalah masuknya kaidah-kaidah hak-hak manusia dan standar hidup manusia kedalam konflik bersenjata. Telah terbentuk jembatan antara doktrin hak-hak manusia dan standar hidup manusia kedalam konflik bersenjata. Telah terbentuk jembatan antara doktrin hak-hak manusia dan kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku dalam konflik-konflik bersenjata.

  Sejarah telah menunjukkan bahwa pemaknaan Hak Asasi Manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu menunjukkan bahwa Hak Asasi Manusia tidak statis, namun bersifat dinamis dan mengikuti pandangan yang berkuasa sesuai zamannya.

  Hak asasi manusia dapat didefinisikan secara umum “as those rights which

  

are inheret in our nature and without which we cannot live as human beings.”

  Artinya, manusia dikaruniai Hak Asasi Manusia oleh Tuhan sejak lahir, karena

   sifat Hak Asasi Manusia selalu merekat pada diri manusia.

  Dengan demikkian Hak Asasi Manusia tidak dapat dirampas atau dihapuskan oleh penguasa (negara), kecuali oleh Tuhan. Hal tersebut merupakan suatu konsekwensi logis mengingat eksistensi Hak Asasi Manusia tidak tergantung dari penguasa malahan penguasa (negara) berkewajiban menanggung beban untuk melindungi Hak Asasi Manusia dengan suatu aturan hukum tertentu.

  Ruang lingkup perlindungan Hak Asasi Manusia semakin kompleks, yaitu meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Hal itu terlihat dimulai dari hak-hak individual kemudian beralih kepada perlindungan hak-hak yang lebih bersifat kolektif.

  16

  Hukum Hak Azasi Manusia Internasional (IHRL) adalah cabang hukum

  

  internasional yang bidang kajiannya berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Oleh karena Hak Asasi Manusia berdimensi internasional, yaitu Hak Asasi Manusia telah mengandung nilai-nilai yang bersifat Universal, maka dapat dikatakan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia telah menjadi suatu persoalan internasional. Pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak lagi dapat diklaim sebagai urusan dalam negeri suatu negara semata-mata.

B. Sejarah dan perkembangan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia

  Secara umum, diketahui bahwa Hukum Humaniter Internasional modern, sebagai bagian atau cabang dari hukum internasional publik, mulai diformulasikan pada tahun 1864 dalam Konvensi Jenewa Tentang Perawatan Terhadap Orang- orang Angkatan Bersenjata yang terluka dan sakit di Medan Perang (selanjutnya disebut Konvensi Jenewa 1864). Sebenarnya, cukup banyak norma-norma atau aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional modern saat ini yang telah ada dan dikenal sebagai aturan dalam peperangan yang dilaksanakan oleh kesatuan- kesatuan tentara di berbagai belahan dunia semenjak 3000 sebelum Masehi.

  Aturan-aturan tersebut sering disebut dengan hukum perang tradisional. Di samping itu, norma-norma Hukum Humaniter Internasional juga dapat ditemui dalam ajaran-ajaran agama sebagaimana tertulis dalam kitab suci agama Hindu,

18 Budha, Yahudi, Kristen dan Islam.

  17

  Khusus hukum perang tradisional yang telah ada sejak sebelum Masehi, memang belum setaraf dibanding hukum perang modern. Hukum perang modern, sesuai dengan judulnya yang memuat kata-kata “humaniter” (humanitarian dalam istilah international humanitarian law), telah memuat aspek-aspek dan pertimbangan kemanusiaan dalam norma dan sistem hukumnya. Adapun hukum perang tradisional masih lebih didedikasikan kepada kepentingan militer dan kehormatan ksatria. Secara singkat, dapat dikatakan, Hukum Humaniter Internasionl adalah aturan-aturan yang dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan dan juga kepentingan militer. Dalam istilah yang lebih populer, dapat dikatakan bahwa Hukum Humaniter Internasional terbentuk dari

   percampuran antara seni perang dengan pertimbangan kemanusiaan.

  Sebagai contoh, hukum perang tradisional adalah suatu norma hukum perang tradisional tentang larangan meracuni sumur di daerah taklukan. Norma yang dianut oleh tentara suatu suku di Afrika tersebut tampaknya tidak berbeda dengan ketentuan Hukum Humaniter Internasional yang termuat dalam perjanjian- perjanjian internasional. Namun demikian, ada perbedaan dalam tujuannya karena norma tersebut sebenarnya ditujukan sebagai pembenaran eksploitasi sumber daya di daerah taklukan, bukan semata-mata untuk melindungi penduduk di daerah

   taklukan.

  Contoh lainnya adalah ketentuan untuk memperlakukan tawanan perang dengan keluhuran budi dan tulus hati. Ketentuan tersebut telah ada pada zaman kebudayaan Confusian di Cina sejak tahun 551 sebelum Masehi. Ketentuan 19 tersebut diperintahkan dengan maksud agar pihak penawar dapat memanfaatkan mereka. Adapun kebutuhan memanfaatkan mereka dirasakan karena naiknya

   harga di daerah-daerah yang dimasuki tentara.

  Perbedaan lainnya antara hukum perang sebelum Konvensi Jenewa 1864 dengan Hukum Humaniter Internasional modern adalah terletak pada pemberlakuan hukum perang tradisional yang belum universal. Artinya, setiap sistem hukum perang tradisional suatu masyarakat atau suatu negara hanya berlaku bagi tentara dari masyarakat atau negara yang bersangkutan. Salah satu contoh hukum perang tertulis yang dibuat menjelang lahirnya Hukum Humaniter Internasional modern adalah Lieber Code 1863. Instrumen hukum yang dirancang oleh Lieber ini merupakan instruksi bagi tentara pemerintah Amerika Serikat sewaktu itu.

  Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini perkembangan- perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter internasional, dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun 1850. Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah dihasilkan berbagai konvensi yang dihasilkan pada konferensi perdamaian I dan

  II di Den Haag, serta berbagai konvensi lainnya di bidang hukum humaniter.

  Instrumen pertama Hukum Humaniter Internasional ini lahir dari inisiatif Henry Dunant, setelah beliau menyaksikan penderitaan korban pertempuran di medan perang di Solferino (Itali). Memang, Hukum Humaniter Internasional sering dikembangkan berdasarkan pengalaman yang tragis seperti yang dialami Solferino, dan penderitaan manusia yang semakin para telah mendorong penyusunan peraturan baru guna meringankannya. Pernyataan ini mempunyai arti bahwa dibandingkan dengan kebutuhan yang ada, hukum humaniter internasional sebenarnya selalu terlambat dikembangkan. Demikian pula protokol-protokol tambahan konvensi Jenewa tahun 1977 disusun setelah selama kedua dasawarsa terakhir ini, terjadi jenis konflik baru yang menimbulkan masalah, dalam arti jumlah korban akibat konflik baru itu, semakin besar dan perlindungan yang diberikan kepada korban tersebut oleh konvensi-konvensi Jenewa dirasakan

   sangat kurang.

  Dalam jangka waktu seabad lebih lebih, lingkup orang yang dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional menjadi semakin luas. Suatu faktor yang mendorong perkembangan ini adalah defenisi yang tepat mengenai kategori orang yang dilindungi, yaitu : peserta tempur yang luka, sakit, korban kapal karam, tawanan perang, orang sipil di bawah kekuasaan musuh. Tetapi perkembangan terakhir mengacu pada perlindungan setiap orang yang tidak turut serta dalam permusuhan. Dengan perkembangan tersebut Hukum Humaniter Internasional mendekati sistem Hukum Asasi Manusia yang menegaskan bahwa setiap orang berhak dilindungi, tanpa diskriminasi apapun.

  Perkembangan hukum perang tidak terlepas dari perkembangan hak asasi manusia. Walaupun Hukum Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional lahir dari semangat yang mirip dan meskipun kedua bidang hukum ini 22 berkembang sejajar sejak abad XIX, sebenarnya masing-masing mengikuti perkembangan tersendiri dan berbeda. Ketentuan-ketentuan pertama Hak Asasi Manusia terdapat dapat berbagai Deklarasi yang disusun beberapa negara bagian Amerika pada akhir abad XVIII (khususnya “Bill of Rights” yang dibuat oleh negara bagian Virginia tahun 1776), dan dalam Deklarasi Perancis tentang hak manusia dan warganegara tahun 1789. Proklamasi tersebut merupakan hasil dari suatu proses yang cukup lama. Sehubungan dengan itu, sejarah Konstitusi Inggris sangat berarti. Rakyat Inggris berhasil memperoleh dari Raja serta dari pemerintah Inggris hak-hak tertentu yang ditegaskan dalam berbagai piagama, seperti “Petition of Rights” tahun 1628, “Habeas Corpus Act” tahun 1679 dan “Bill of

  

Rights ” tahun 1689. Hak-hak tersebut tidak dapat diberlakukan terhadap

  kewenangan parlemen dan tidak dianggap sebagai hak asasi atau HAM dalam artian seperti diakui sekarang. Namun di masa revolusioner sebagian besar di antara Hak ini tercakup dalam berbagai deklarasi Hak Asasi Manusia yang

   mempunyai ruang lingkup yang lebih luas.

  Di abad XIX, semakin lama, semakin sering deklarasi Hak Asasi Manusia termuat dalam Undang-Undang Dasar nasional. Di masa kini, hampir di setiap negara hukum konstitusional meliputi jaminan semacam itu. Sedangkan di tingkat internasional, ketentuan-ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia belum terdapat sampai Perang Dunia II, kecuali konvensi-konvensi yang mengatur tentang beberapa aspek tertentu, seperti pelarangan perbudakan, serta perlindungan

   minoritas. 23 Sejak dulu, jaminan Hak Asasi Manusia ini selalu menyinggung hubungan antara pemerintah dan warga negaranya sendiri masa damai. Perlakuan terhadap pihak musuh pada waktu perang tidak pernah dipertimbangkan dalam ketentuan- ketentuan Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia dan Hukum Perang tetap dipisahkan setelah Perang Dunia II padahal konvensi-konvensi internasional mengenai Hak Asasi Manusia sudah ada, dan konvensi-konvensi tersebut tetap mengatur terutama tentang hubungan antara pemerintah dan warganegaranya sendiri. Konvensi-konvensi tentang Hak Asasi Manusia disetujui di tingkat internasional, setelah disadari bahwa penghormatan Hak Asasi Manusia dalam negeri merupakan suatu persyaratan untuk memelihara perdamaian. Oleh sebab itu, Sekretaris Jendral PBB, dalam laporannya mengenai “Penghormatan Hak Asasi Manusia pada waktu pertikaian bersenjata” tahun 1969 (A. 7720), di

  paragraf 16, menyatakan “Perang Dunia II membuktikan secara nyata hubungan erat yang ada antara perlakuan buruk pemerintah terhadap rakyat dan serangan yang dilakukan pemerintah terhadap negara yang lain, dan sekaligus, keterkaitan yang ada antara penghormatan Hak Asasi Manusia dan pemeliharaan perdamaian”. Sampai sekarang, jumlah negara yang meratifikasi konvensi- konvensi internasional mengenai Hak Asasi Manusia masih kurang dibandingkan dengan Konvensi-konvensi Jenewa, alasannya karena Hak Asasi Manusia

   merupakan bagian dari hukum itern.

C. Sumber-sumber Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia

  Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya mengenai berbagai konvensi-konvensi hukum Humaniter, maka telah diketahui bahwa Hukum Humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

  Hukum Den Haag merupakan ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konperensi Perdamaian di Den Haag (1899-1907) adalah :

   1.

  Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional ; 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut

  Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata ; 3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan ; 4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag ;

  5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di darat ;

6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan

  Peperangan ; 7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang ; 8.

  Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut ; 9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang ; 10.

  Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang di laut ;

11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak

  Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut ; 12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan ; 13.

  Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam perang di laut.

  Konferensi Den Haag mengatur cara dan alat berperang telah membentuk persyaratan dalam Hukum Internasional bahwa pecahnya permusuhan harus didahului dengan pengumuman perang secara resmi.

  Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi

   Jenewa 1949, yang masing-masing adalah : 1.

   Geneva convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field ;

  2. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea ;

3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of War ; 4.

   Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War.

  Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977

  

  ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan :

  27

  1. Protocl Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict (Protocol I ) ; dan 2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, And Relating to the Protection of Victims of Non Internasional Armed Conflicts

  (Protocol II) .

  Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang

   korban pertikaian bersenjata non – internasional.

  Peranan konvensi Jenewa dalam sejarah pertumbuhan hukum perang dan kedudukan konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang yang meliputi lebih dari separuh dari hukum perang yang berlaku pada dewasa ini, menunjukkan berapa meluas dan mendalamnya sudah asas perikemanusiaan dalam hukum perang. Azas perikemanusiaan tidak saja menjiwai konvensi- konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang, tetapi pada hakekatnya merupakan suatu asas pokok daripada seluruh hukum perang. Hukum perang, baik yang berwujud peraturan-peraturan Den Haag maupun yang berbentuk peraturan- peraturan Jenewa hanya dapat kita pahami sungguh-sungguh apabila kita dapat melihat sebagai perpaduan anatra asas-asas kepentingan militer dan asas

   perikemanusiaan.

  Sebagaimana halnya telah diketahui umum, bahwa sejak konferensi Perdamaian di Kota Den Haag pada tahun 1899 telah berhasil disepakati bersama Konvensi-konvensi Haque, yang pada pokoknya berisi hukum dan kebiasaan perang dan cara-cara berperang pada umumnya (conduct of war), hukum Den Haag ataupun Hukum Jenewa merupakan bagian dari Hukum Internasional Humaniter, karena mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan internasional bagi kombatan, bagi meeka yang berhenti bertempur (hors de

  

combat) , pengaturan di wilayah pendudukan, perlindungan bagi penduduk sipil,

  obyek-obyek sipil, barang-barang budaya (termasuk mesjid dan gereja) lingkungan hidup dan sebagainya. Karena itu baik hukum Haque maupun Hukum Jenewa mengatur tentang perang, tidak mengherankan apabila ada bagian-bagian yang saling mengisi dan melengkapi, dan kedua hukum itu merupakan perpaduan antara asas-asas kepentingan militer dan asas-asas perikemanusiaan. Kedua hukum itu yang kemudian dikenal sebagai hukum perang. Oleh karena eratnya hubungan Konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban Perang dengan asas-asas perikemanusiaan ini menyebabkan mengapa konvensi-konvensi

   ini disebut juga sebagai konvensi-konvensi humaniter.

  Dalam perkembangan selanjutnya Perserikatan Bangsa-Basang setiap kali mengeluarkan Resolusi yang menambah konvensi di atas, terutam dalam bidang 30 penggunaan senjata ; Pada tanggal 10 Desember 1948 sidang Umum PBB menyetujui dan memproklamirkan pernyataan umum tentang Hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), yang terdiri atas 30 pasal dan memberikan kepada individu hak-hak kebebasan dengan sedikit kewajiban. Hal tersebut tentu saja dilakukan atas beberapa pertimbangan. Pertimbangan- perimbangan dimaksud dapat kita baca dalam mukadimah Universal Declaration

   of Human Rights itu sendiri, yaitu : i.

  Bahwa pengakuan atas kemuliaan dan martabat alami dan hak-hak yang sama serta tidak dapat di pindahkan kepada orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan, juga merupakan dasar bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian didunia ; ii.

  Bahwa mengabaikan dan memandang rendah terhadap hak-hak asasi manusia adalah mengakibatkan perubahan-perubahan bengis yang telah menimbulkan rasa marah dalam hati umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia di mana manusia akan mengecap kenikmatan-kenikmatan kebebasan berbicara dan beragam serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat jelata ; iii. Bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum agar supaya orang tidak terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kezaliman dan penindasan ; iv.

  Perlu dipeliharanya perkembangan persabatan antar bangsa ; v. Bahwa rakyat-rakyat yang tergabung dalam PBB telah menegaskan kembali dalam Piagam PBB, kepercayaan mereka terhadap hak-hak asasi manusia dan terhadap hak-hak yang sama bagi laki-laki dan wanita dan telah menetapkan untuk memelihara kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih luas; vi. Bahwa negara-negara anggota telah berjanji, dengan cara bekerjasama dengan PBB, untuk mencapai perbaikan penghargaan umum terhadap serta pelaksanaan daripada hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan asasi ; dan vii.

  Bahwa pengertian umum akan hak-hak serta kebebasan – kebebasan ini mempunyai arti yang penting sekali bagi pelaksanaan sepenuhnya dari janji ini. Oleh karena itu, maka Majelis Umum PBB memproklamirkan, bahwa pernyataan umum hak-hak asasi manusia ini sebagai suatu pedoman umum pencapaian hasil bagi semua rakyat dan semua bangsa, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat, senantiasa mengingat pernyataan ini, berusaha dengan jalan pengajaran dan pendidikan untuk mempertinggi penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini, dengan jalan tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional maupun internasional untuk menjamin pengakuan serta pelaksanaan yang umum dan efektif baik oleh rakyat- rakyat dari daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka. Dalam rangka ini, di mana pasal 9 deklarasi tersebut ditetapkan, bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap, di tawan atau di buang secara sewenang-wenang. Hak-hak serta kebebasan-kebebasan ini sekali-kali tidak boleh dipergunakan dengan cara yang bertentangan dengan maksud dan tujuan serta asas-asas Perserikatan Bangsa-

33 Bangsa.

  33