BAB III PONDOK PESANTREN AR-RAUDHATUL HASANAH 3.1. Sejarah Pendidikan Islam di Jazirah Arab - Studi Deskriptif Nasyid Pada Pondok Pesantren Raudhatul Hasanah Di Medan

BAB III PONDOK PESANTREN AR-RAUDHATUL HASANAH

3.1. Sejarah Pendidikan Islam di Jazirah Arab

  Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan social budaya manusia di dunia ini.

  Dapat dikatakan bahwa ajaran Islam terdahulu disampaikan kepada umat manusia melalui rasul-rasul yang tugasnya memang untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Pendidikan Islam tidak lain adalah proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia di bawah bimbingan ajaran Islam. Dan ciri yang membedakan antara pendidikan Islam dan yang bukan Islam adalah pada penggunakan ajaran Islam sebagai pedoman.

  Telah diketahui bahwa Allah menurunkan ajaran Islam kepada umat manusia tersebut melalui proses yang panjang, melalui serangkaian urutan rasul-rasul. Seorang rasul diutus pada hakikatnya adalah untuk menyempurnakan dan meluruskan kembali ajaran Islam yang telah diselewengkan atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perkembangan budaya manusia. Seorang rasul yang diutus kemudian, berfungsi menyempurnakan dan meluruskan ajaran Islam yang dibawa oleh rasul sebelumnya. Dan rangkaian penyempurnaan ajaran Islam tersebut menjadi sempurna dengan diutusnya Muhammad sebagai rasul terakhir, dan ajaran Islam terabadikan dalam kitab suci Al-Qur’an yang di sampaikan oleh

38 Muhammad SAW . Jadi Islam dalam artinya yang sudah sempurna dan lengkap, adalah identik dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad.

  Terdapat beberapa priode tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam ini, pembagian priode dibawah ini hanyalah sebagai usaha untuk memudahkan urutan pembahasan saja, karena pada hakikatnya suatu peristiwa sejarah selalu berkaitan dengan peristiwa lainnya, baik sebelum, yang semasa maupun yang sesudahnya.

  3.1.1 Pendidikan Islam Klasik Ada beberapa terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu sebelum ke pembahasan yang lebih lanjut. Pertama, sistem pendidikan yaitu suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan biasanya dipahami sebagai suatu pola dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen, dan organisasi yang memindahkan (transfer) pengetahuan dan warisan kebudayaan serta sejarah kemanusiaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spritual, dan intlektual. Menurut Hasan Langgulung, sistem pendidikan, seperti demikian dalam literatur pendidikan Islam klasik tidak pernah di jumpai. Sebab, sistem pendidikan itu tidak terpisah dari sistem-sistem yang lain, seperti sistem politik, sistem tatalaksana, sistem keuangan, sistem kehakiman, dan lain-lain. Kedua, metode Pendidikan Islam. Metode pendidikan sesungguhnya dapat dikelompokan menjadi dua bentuk: 1) metode 38 perolehan (acquisition) dan, 2) metode pemindahan atau penyampain.

  Al-Qur’an, Surah Al-Maidah, ayat 3.

  Metode perolehan lebih ditekankan sebagai cara yang ditempuh oleh peserta didik ketika mengikuti proses pendidikan, sedangkan metode pemindahan diasosikan sebagai cara pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam banyak hal, kecendrungan pemikiran pendidikan Islam klasik lebih memprioritaskan kepada guru sebagai subjek pendidikan, bukan kepada murid. Guru menjadi faktor penentu untuk menilai tingkat keberhasilan pendidikan Islam.

  Ketiga, kurikulum-kurikulum pendidikan Islam klasik dapat dikatakan tidak seperti kurikulum pendidikan modern seperti kurikulum pendidikan nasional di Indonesia saat ini, yang ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari berbagai komponen: tujuan, isi , organisasi, dan strategi. Pengertian dan komponen yang demikian sepertinya sangat sulit ditemukan dalam literatur-literatur kependidikan Islam klasik.

  Keempat, masa klasik. Untuk menentukan sejak dan hingga kapan masa klasik tersebut masih dapat diperdebatkan. Yaitu apakah dalam kacamata dunia muslim atau penulis barat mengidentikan masa klasik abad ke-7 hingga abad ke-12/13 M sebagai zaman kegelapan (Dark Age); sementara para penulis Muslim mengidentikannya dengan masa

   39 keemasan. Dalam hal ini penulis membatasi masa klasik dalam

Marshall G.S. Hudgson membagi Sejarah Islam menjadi tiga priode. Pertama, Priode klasik. Priode ini

dimulai sejak lahirnya Islam (670-an M) hingga runtuhnya tradisi pemerintahan Absolut (945). Kedua,

periode pertengahan abad kesepuluh (945 M) hingga Abad kelima belas (1503 M). yakni ketika kemajuan

belahan dunia barat seimbang dengan kemajuan dunia Timur dan tumbuhnya peradapan Internasional.

  Ketiga, priode modrn. Priode ini dimulai sejak Abad ke lima belas, ketika kerajaan Islam terwakili oleh tiga kerajaan besar: Safawi di Persia, Mughal di India, dan Kerajaan Turki (otoman) di Turki hingga sekarang. kacamata penulis Muslim, seperti batasan yang dilakukan oleh Harun Nasution. Ia mengklsifikasikan sejarah Islam pada tiga masa : (a) Priode Klasik dimulai tahun 650 hingga 1800 M., sejak Baghdad Hancur hingga munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan (c)

   Periode Modrn, mulai tahun 1800 M. hingga sikarang. Dengan

  demikian, masa klasik dalam pembahasan ini debatasi sejak masa Muhammad hingga Baghdad di hancurkan.

  3.1.2 Pendidikan Islam di masa Muhammad (611 – 632 M/12 SH-11 H) Pendidikan pada masa Muhammad dapat dibedakan menjadi dua priode; yaitu priode Makkah dan Madinah. Pada priode pertama, yakni sejak muhammad diutus sebagai Rasul hingga Hijrah ke Madinah, kurang lebih sejak tahun 611-622 M atau selama 12 tahun, sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi- materi pendidikan, selain Nabi. Nabi melakukan pendidikan secara sembunyi-sembunyi terutama pada keluarganya, di samping dengan berpidato dan ceramah di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada Ayat- ayat Al-Qur’an dan petunjuk-petunjuknya.

  Baca Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam : Conscience and History in a World Civilization, (Chicago : 40 The University of Chicago Press, 1977), Volume 1-3.

  

Lihat babakan sejarah Harun Nasution pada Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI-

Press, 1985, Cet. Ke-5, hal. 56-91)

  Sebelum kelahiran Islam, pada masa jahiliyah “institusi” pendidikan Kuttab telah berdiri.

  

Adapun orang yang pertama kali belajar membaca dah menulis di

  antara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibnu Umayyah dan ‘Abu Qais ibn Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyu Ibn ’Abd al- Malik. Kepada keduanyalah penduduk Makkah belajar membaca dan menulis. Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami ketika nabi menyiarkan Agama Islam (sekitar tahun 610 M), di Masyarakat Quraisy baru ada 17 laki-laki yang pandai baca tulis dan 5 wanita.

   Secara umum, Al-Qur’an dan perkataan-perkataan nabi yang

  menerangkan kajian keagamaan yang menitik beratkan pada teologi dan ibadah. Selain itu materi Akhlak juga diajarkan agar manusia bertingkah laku dengan Akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Sementara itu materi-materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya. 41 Menurut Hasan Fahmi, lembaga pendidikan Kuttab ini didirikan oleh orang Arab massa Kekhalifahan Abu

  

Bakar. Baca Asma Hasan Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Ibrahim Hussein,

Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), cet. Ke-1, hlm. 30. Sementara menurut

Ahmad Syalabi, kuttab telah hadir sebelum Islam datang, tetapi ketika itu masih belum terkenal. Lihat

Ahmad Syalabi, “Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latief, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), Cet. Ke-1, hlm. Ke-33. 42 Ke-17 orang itu adalah: 1) Umar ibn Khatab, 2) Ali ibn Abi Thalib, 3) Usman ibn Affan, 4) Abu Ubaidah ibn Jarrah, 5) Thalhah, 6) Yazid ibn Abu Sufyan, 7) Abu Huzaifah ibn Utbah, 8) Hatib ibn Amr, 9) Abu Salamah Abd al-Asad al-Makhzumi 10)Aban ibn Sa’ad ibn al-Ash ibn Umaiyah, 11-12) Khalid ibn sa’d dan saudaranya,

13) Abdullah ibn Sufyan ibn Harb, 16) Mu’awiyah ibn Abu Sufyan dan 17) Juhaim ibn Shalt. Dan kelima

wanita itu adalah: 1) Hafsah, isteri nabi, 2) Ummi Kalsum bint Uqbah, 3) Aisyah bint Sa’d, 4) al-Syifa bint Abdullah al-Aadawiyah, 5) Karimah bint al-Miqdad. Sedangkan Siti Aisyah dan Ummi Salamah, isteri nabi, pandai membaca tapi tidak bisa menulis. Baca Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992) hlm. 19-20.

  Pada periode Madinah, tahun 622-632 M. usaha pendidikan Nabi yang pertama adalah membangun ‘institusi’ masjid. Melalui pendidikan mesjid ini, nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Pada priode ini secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang; pendidikan keagamaan, pendidikan Akhlak, pendidikan Kesehatan Jasmani, dan pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan terdiri dari keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan Akhlak lebih menekankan penguatan basis mental yang telah dilakukan pada priode Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih detekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami, dari Amaliah Ibadah, seperti makna wudhu, shalat, puasa dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan

   hukum.

  Metode yang dikembangkan oleh nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawah dan didukung dengan bukti-bukti rasional dan ilmiah. Pada materi Ibadah biasanya menggunakan metode peneladanan, yakni nabi memberikan contoh. Sedangkan bidang Akhlak, nabi membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi kisah umat terdahulu, namun demikian materi akhlak juga menitik beratkan pada metode peneladanan.

43 Baca ibid., hlm. 16-19. Hassan langgulung memberikan keterangan bahwa ilmu-ilmu yang berkembang ketika itu adalah ilmu tafsir, qiraat, fiqih, qadla, (kehakiman), faraid, dan ilmu hadis.

  Dan selanjutnya pada Masa Khlulafa al-Rasyidin (632-661) sistem pendidikan Islam dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah kecuali pada masa khalifah umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan masing-masing lembaga pendidikan kuttab mencapai tingakat kemajuan yang berarti ketika masyarakat Muslim telah menaklukan dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju.

  Pusat-pusat pendidikan pada masa itu menyebar diberbagai kota, seperti Makkah dan Madinah (Hijaz), kota Bashrah dan kufah (Irak), kota Damsyik dan palestina (Syam), dan kota Fislat (Mesir). Di pusat- pusat daerah inilah, Pendidikan Islam berkembang secara cepat.

3.2 Pendidikan Islam di Indonesia

  Sejarah perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh adanya lembaga-lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Perkembangan lembanga-lembaga pendidikan tersebut selanjutnya telah menarik perhatian para ahli untuk melakukan studi ilmiah secara komprehensif. Kini sudah banyak hasil karya penelitian parah ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya kazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa ke Islaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan perinsip yang umumnya di anut masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik lagi.

  3.2.1 Jenis-jenis Pendidikan Islam di Indonesia Sejak zaman sebelum kemerdekaan Indonesia sampai sekarang banyak terdapat lembaga pendidikan Islam yang memegang peranan sangat penting dalam rangka penyebaran ajaran Islam di Indonesia, disamping peranannya yang cukup menentukan dalam membangkitkan sikap patriotisme dan nasionalisme sebagai modal mencapai kemerdekaan Indonesia serta menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional.

  Dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada yang bersifat non formal seperti langgar/surau, pondok pesantren, dan ada yang bersifat formal seperti madrasah.

  3.2.1.1 lembaga pendidikan Islam sebelum kemerdekaan Indonesia.

  Pendidikan Islam mulai bersemi dan berkembang pada abad ke 20 Masehi dengan berdirinya madrasah Islamiyah yang bersifat formal.

  Madrasah-madrasah yang bermunculan di Sumatera antara lain: madrasah Adabiyah di Padang Sumatera Barat yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M. Madrasah ini berubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915 M. pada tahun 1910 M didirikan Madrasah School di daerah Batu Sangkar Sumatera Barat oleh Syekh M. Taib Umar. Pada tahun 1918 M Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai lanjutan Madras School.

  Adapun pondok pesantren yang pertama kali membuka madrasah formal ialah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921 M di bawah pimpinan Syekh Abd. Karim Amrullah, ayah Hamka.

  Di Jambi didirikan pesantren dan madrasah Nurul Iman. pada tahun 1913 M, oleh H. Abd. Somad, seorang ulama besar keluaran Makkah. Madrasah Sa’adah al Darain di dirikan oleh H. Achmad Syakur, Madrasah Nurul Islam oleh H. M. Saleh, Madrasah Juharain oleh H. Abd. Majid pada tahun 1922 M.

  Di Aceh, didirikan madrasah yang pertama pada tahun 1930 bernama Sa’adah Adabiyah oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh, madrasah Al Muslim oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Mencap, Madrasah Darul Huda di Jambi dan banyak madrasah lainnya.

  Di Sumatera Timur didirikan pesantren Syekh Hasan maksum pada tahun 1916 M, Madrasah Maslurah di Tanjung Pura pada tahun 1912, Madrasah Aziziyah pada tahun 1918 M.

  Di Tapanuli berdiri pesantren dan Madrasah Mustafawiyah di Prubabaru pada tahun 1913 M oleh Syekh Mustafa Husain keluaran Makkah.

  Di Sumatera Selatan berdiri Madrasah Al-Qur’aniyah pada tahun 1920 di Palembang oleh K.H. Moch. Yunus, Madrasah Ahliah Diniyah oleh K.H. Abu Bakar Bastari pada tahun 1934M dan madrasah Darul Funun oleh K.H. Ibrahim pada tahun 1938 M.

  Adapun situasi pendidikan di Jawa pada permulaan abad ke 20 secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut: Pada tahun 1899 M berdirilah pondok pesantren Tebuireng

  Jombang oleh K.H. Hasyim Asy’ari, madrasahnya yang formal berdiri pada tahun 1919 M bernama Salafiyah diasuh oleh K.H.

  Ilyas (bekas Menteri Agama RI). Madrasah ini memberikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum.

  Sesudah pondok Tebuireng, maka menyusul pondok Tambak Beras di Jombang oleh K.H. Wahab Hasbullah dan pondok Rejoso Peterongan Jombang oleh K.H. Tamin pada tahun 1919 M. Kedua pondok tersebut juga mempuyai madrasah yang formal.

  Pondok Modern Gontor berdiri tahun 1926 oleh K.H. Imam Zarkasy dan K.H. Sahal.

  Di Kudus berdiri Madrasah Aliyah, Sanawiyah Muawanatul Muslimin pada tahun 1915 oleh Syarikat Islam, Madrasah Kudsiyah pada tahun 1918 oleh K.H.R. Aswawi, Madrasah Tasywiqut Tullab pada tahun 1928 oleh K.H.A.

  Khaliq, Madrasah Ma’ahidul Diniyah pada tahun 1938.

  Di Yogyakarta banyak madrasah Islamiyah yang didirikan oleh organi organisasi-organisasi Muhammadiyah tahun 1912, yaitu: Kweek School, Mualimin, Muallimat, Zu’ama, Kulliyah Muballigin, HIK dan lain-lain.

  Pada tahun 1911 berdiri pondok pesantren Krapyak Yogyakarta oleh K.H. Munawir. Di Solo berdirilah Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905 oleh R. Hadipati Sosrodiningrat dan R. Panghulu Tafsirul Anam, dibiayai oleh Kraton Surakarta.

  Di Jawa Barat pada zaman tekanan pemerintah Belanda itu juga bermunculan madrasah-madrasah Islamiyah, antara lain: Madrasah Ibtidaiyah di Majalengka pada tahun 1917 oleh K.H. Abd. Halim, Madrasah Muallimin pada tahun 1932, pesantren dan madrasah di Gunung Puyuh Sukabumi oleh K.H. Ahmad Sanusi. Di Bandung berdiri pesantren Persatuan Islam pada tahun 1963 M oleh A. Hasan.

  Di Banten berdiri Madrasah al-Khairiyah pada tahun 1925 oleh Al-Jam’iyah al-Khairiyah, perkumpulan dari orang-orang keturunan Arab golongan Alawiyin, Madrasah Matlaul Anwar dan Nurul Falah.

  Di Jakarta berdiri Madrasah Al-Irsyad pada tahun 1913 oleh Jam’iyah Al-Irsyad, perkumpulan orang-orang keturunan Arab non Alawiyah yang dipimpin oleh Syeikh Achmad Sukarti. Pada tahun 1905 berdiri madrasah Jami’at Khair, oleh perkumpulan Al-Khairiyah.

  Adapun pesantren dan madrasah yang tumbuh pada zaman penjajahan di luar Jawa dan Sumatera adalah sebagai berikut: Di Sulawesi berdiri madrasah formal yang pertama tahun 1926 oleh Muhammadiyah. Di Bone berdiri Madrasah Amiriah

  Islamiyah pada tahun 1933 di kota Watampone oleh persatuan ulama dan pemuka rakyat. Di Sengkang berdiri Madrasah Wajo Tarbiyah Islamiyah pada tahun 1931 oleh Syekh H. M As’ad Bugis, keluaran Makkah.

  Di Pulau (Sulawesi Tengah) berdiri Madrasah Al Khairat pada tahun 1930 oleh Syekh Al-Idrus. Madrasah Tarbiyah Al- Islamiyah berdiri di Mangkoso pada tahun 1938 oleh H. Abd. Rahman Ambo Dale.

  Pada tahun 1936 berdiri madrasah Nadatul Watan di Lombok Timur oleh K.H. Zainuddin Pancor, lulusan Makkah, Madrasah Al-Ittihad di Ampenan (Lombok Barat), Madrasah Darul Ulum di Sumbawa.

  Madrasah formal yang mula-mula berdiri di Kalimantan ialah al-Najah wal Falah pada tahun 1918 di Sei Bakan Besar Mempawah, Madrasah Al-Sultaniyah di Smabas (Kalimantan Barat) pada tahun 1922, Madrasah al-Raudotul ilsamiyah di Pontianak pada tahun 1936. Pada tahun 1928 di Amuntai Kalimantan Selatan Madrasah Normal Islam oleh H. Abd.

  Rasyid, keluaran Al-Azhar.

  Dari data-data tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah Belanda walaupun sudah berusaha menekan dan menghancurkan pendidikan Islam Indonesia selama 350 tahun dengan bermacam-macam usaha yaitu di satu pihak memberikan bantuan 100% kepada sekolah- sekolah gereja dan di lain pihak mengeluarkan peraturan- peraturan yang merugikan pendidikan Islam Indonesia, namun pendidikan Islam tidak dapat hancur, bahkan tumbuh dan berkembang secara militant walaupun dalam keadaan yang serba kekurangan.

  3.2.1.2 Lembaga pendidikan Islam sesudah Indonesia Merdeka.

  Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara instansional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pendidikan agama Islam ada yang berstatus negri dan ada yang berstatus swasta.

  Yang berstatus negri misalnya: 1) Madrasah Ibtidaiyah Negri (Tingkat Dasar).

  2) Madrasah Tsanawiyah Negri (Tingkat Menengah Pertama). 3) Madrasah Aliyah Negeri (Tingkat Menengah Atas).

  Dahulunya berupa Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).

  4) Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berubah menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Telah diterangkan bahwa pendidikan agama Islam mulai diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah umum negeri pada tahun 1946, dengan keluarnya SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai tindak lanjutnya ialah penyediaan dan pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan disekolah-sekolah umum negeri.

  Departemen Agama juga mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Negeri setingkat dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah Negeri sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Aliyah Negeri setingkat dengan Sekolah Menengah Atas. Tujuannya antara lan untuk memberikan bimbingan dan percontohan yang konkrit kepada masyarakat Islam tentang pengelolaan madrasah-madrasah swasta Islam yang jumlahnya sangat banyak. Pada madrasah-madrasah negeri itu diatur perbandingan-perbandingan antara pelajaran agama dan pelajaran umum, juga diatur administrasi pendidikannya.

  3.2.2 Sistem Pendidikan Islam di Indonesia Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan

  Islam dilaksanakan secara informal. Didikan dan ajaran Islam mereka berikan dengan perbuatan, dengan contoh dan tiru teladan. Mereka berlaku sopan dan santun, ramah-tamah, tulus ikhlas, amanah dan kepercayaan, pengasih, pemurah, jujur dan adil, menepati janji serta menghormati adat istiadat anak negeri. Dengan demikian tertariklah

   penduduk negeri hendak memeluk agama Islam.

  Begitulah para pengajar agama Islam pada waktu itu melaksanakan penyiaran Islam kapan saja, di mana saja dan siapa saja setiap ada kesempatan, di pinggir kali sambil menunggu perahu yang akan mengangkut barang ke seberang, di perjamuan waktu kenduri, di padang rumput tempat pengembalaan ternak, di pasar , di warung kopi dan sebagainya. Disitulah agama Islam diajarkan kepada mereka 44 dengan cara yang mudah dan dengan demikian orang akan dengan Prof. H. Mahmud Yunus, op.cit., hal. 13. mudah pula menerima dan melakukannya. Juga penyebaran Islam dilakukan juga dengan jalan perkawinan yang dapat menurunkan generasi Islam yang mendatang.

  Pendidikan Islam informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik sekali, karena dengan berangsur-angsur tersiarlah agama Islam di

  

  Adapun factor-faktor mengapa agama Islam dapat tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada waktu itu adalah sebagai berikut: a) Agama Islam tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan- aturannya, bahkan mudah diturut oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk Islam cukup dengan mengucap dua kalimat syahadat saja.

  b) Sedikit tugas dan kewajiban dalam Islam.

  c) Penyiaran Islam dilakukan dengan berangsur-angsur, sedikit demi sedikit.

  d) Penyiaran Islam dilakukan dengan cara kebijaksanaan dan cara yang sebaik-baiknya.

  e) Penyiaran Islam itu dilakukan dengan perkataan yang mudah di pahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah sampai ke golongan atas dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang

45 Ibid., hal. 14

  maksudnya : berbicaralah kamu dengan manusia menurut kadar akal mereka.

  Sistem pendidikan Islam informal ini, terutama yang berjalan dilingkungan keluarga telah berjalan dengan baik. Anak-anak dididik dengan ajaran-ajaran agama sejak kecil dalam keluarganya. Mereka dibiasakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang sesuai dengan ajaran Qur’an dan hadits. Anak-anak disuruh oleh orang tua mereka pergi ke langgar atau surau untuk mengaji kepada seorang guru ngaji atau guru agama. Mereka dilatih membaca Al-Qur’an, melakukan shalat dengan berjama’ah, berpuasa di bulan Ramadhan, dan lain-lain.

  Usaha-usaha pendidikan agama di masyarakat ternyata mampu menyediakan kondisi yang sangat baik dalam menunjang keberhasilan pendidikan Islam dan memberi motivasi yang kuat bagi umat Islam untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih baik dan lebih sempurna.

  Pada mulanya pendidikan agama Islam di surau atau langgar atau di mesjid masih sangat sederhana. Yang penting bagi guru agama ialah dapat memberikan ilmunya kepada siapa saja, terutama pada anak-anak. Di tempat pendidikan seperti ini berkumpul sejumlah murid, duduk di lantai, menghadap sang guru, belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu petang atau malam hari. Sebab pada waktu siangnya anak-anak membantu orang tuanya bekerja, sedangkan sang guru juga bekerja mencari nafkah keluarganya sendiri. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan agama pada anak-anak tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari, baik bagi orang tua anak-anak maupun bagi sang guru agama. Itulah sebabnya, pelajaran agama dan latihan beragama itu mendapat dukungan dari orang tua dan guru

   malahan dari seluruh masyarakat kampong atau desa itu.

  Tempat pendidikan Islam seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya system pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam yang formal yang berbentuk madrasah atau sekolah yang berdasarkan keagamaan.

  Pondok pesantren adalah tempat murid-murid (disebut santri) mengaji agama Islam dan sekaligus di asramakan di tempat itu. Murid- muridnya yang tinggal di pesantren itu bermacam-macam sebagai satu keluarga di bawah pimpinan gurunya. Mereka belajar hidup sendiri, mencuci sendiri dan mengurus kebutuhannya sendiri. Bahan-bahan keperluan hidup seperti beras dan sebagainya mereka bawa dari kampung sendiri.

  System pendidikan pada pondok pesantren ini masih sama seperti system pendidikan surau, langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam kurun waktu yang lebih lama.

  Usaha untuk menyelenggarakan pendidikan Islam menurut rencana 46 yang teratur sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1476 dengan Deliar Noer, op.cit., hal. 15. berdirinya Bayangkara Islah di Bintara Demak yang ternyata merupakan organisasi pendidikan Islam yang pertama di Indonesia.

  System pendidikan agama Islam mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia.

  Sejalan dengan itu pemerintahan belanda mulai mengenalkan system pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur yang mulai menarik kaum muslimin untuk memasukinya. Oleh karena itu system pendidikan Islam di surau, langgar atau mesjid atau tempat lain yang semacamnya, dipandang sudah tidak memadai lagi dan perlu di perbaharui dan disempurnakan.

  Kemudian system klasikal mulai diterapkan, bangku, meja, papan tulis mulai digunakan dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Pembagian jenjang kelas juga mulai diadakan. Demikianlah system pendidikan formal, seklolah atau madrasah, mulai tersebar di mana-mana, bahkan dikalangan pondok pesantren sudah diterapkan system sekolah atau madrasah ini, disamping system pendidikan dan pengajaran pondok pesanteren yang sudah ada.

  Dalam perkembangannya system madrasah ini dibedakan menjadi dua macam yaitu madrasah yang khusus member pendidikan dan pengajaran agama disebut Madrasah Diniyah, dan madrasah yang disamping memberikan pendidikan dan pengajaran agama juga member pelajaran umum. Untuk tingkat dasar disebut Madrasah Ibtida’iyah, untuk tingkat menengah pertama disebut Madrasah Tsanawiyah dan untuk tingkat menengah atas disebut Madrasah Aliyah.

  3.2.3 Isi Pendidikan Islam di Indonesia.

  Pada awal penyiaran agama Islam di Indonesia, maka para penganjur agama Islam menghendaki agar masyarakat, yang pada waktu itu masyarakat sudah menganut agama Hindu dan Budha, mau menerima agama Islam dan mau melakukan ajaran-ajaran Islam, atau mau memeluk agama Islam dan mau melakukan ajaran-ajaran Islam, atau mau memeluk agama Islam. Oleh karena itu isi pendidikan Islam adalah pokok-pokok aqidah agama Islam dan ajran-ajaran Islam yang mudah dipahami dan dilaksanakan.

  Setelah agama Islam semakin tersebar luas dan banyak keluarga- keluarga yang memeluk agama Islam, mereka mulai merasakan perlunya pendidikan agama Islam pada anak-anak mereka. Mula-mula anak-anak dididik dalam lingkungan keluarga, kemudian anak-anak disuruh ke langgar, surau atau masjid untuk memperoleh pendidikan agama dari para guru agama.

  Adapun isi pendidikan dan pengajaran agama Islam pada tingkat permulaan ini meliputi: a) Belajar membaca Al-Qur’an.

  b) Pelajaran dan praketek shalat. c) Pelajaran ketuhanan (teologis) Pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan pula bahasa Arab, mulai mempelajari ushul fiqh, misalnya taharah, shalat, zakat, puasa dan haji.

  Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang mengenai aturan-aturan tentang nikah, talak , rujuk, waris.

  Isi pendidikan dan pengajaran Islam seperti tersebut diatas, juga berlaku pada pondok pesantren, hanya saja karena murid-murid (para santri) bertempat tinggal bersama dengan kyai, maka pelajaran tersebut dapat dilaksanakan dengan lebih intensif.

  Adapun materi pelajaran yang diberikan di pondok pesantren ini, setelah murid dapat membaca Al-Qur’an, dilanjutkan dengan pelajaran ilmu sharaf dan nahwu kemudian ilmu fiqh, tafsir, ilmu kalam (tauhid) dan akhirnya sampai pada ilmu tasawuf.

  Oleh karena sistem kelas belum diadakan dan cara mengajarnya masih menggunakan sistem halakah (lisan). Maka kemajuan murid dan kapan selesainya pelajaran, sangat tergantung pada kecerdasan dan kerajinan murid. Ada yang cepat, ada pula yang lambat dan bahkan tidak sedikit yang gagal dan drop out.

  Setelah Islam mengalami babak baru dengan munculnya system madrasah, yang penyelenggaraanya lebih baik dan teratur. Agar anak- anak dapat menyesuaikan diri dalam alam yang modern maka selain di madrasah diajarkan agama juga diajarkan ilmu pengetahuan umum.

  System pendidikan di madrasah-madrasah mulai dibenahi dan kurikulumnya tidak lagi mengkhususkan pada pendidikan agama, tetapi telah dimasukkan ilmu pengetahuan umum yang lebih disejajarkan dengan pengetahuan umum pada sekolah umum yang sederajat.

3.3 Asal Usul dan Pertumbuhan Kelembagaan Pesantren

  Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah panjang dan unik. Secara historis, pasantren termasuk pendidikan Islam yang paling awal dan masih bertahan sampai sekarang. Berbeda dengan lembaga- lembaga pendidikan yang muncul kemudian, pesantren telah sangat berjasa dalam mencetak kader-kader ulama, dan kemudian berperan aktif dalam penyebaran agama Islam dan transfer ilmu pengetahuan. Namun, dalam perkembangannya pesantren telah mengalami transformasi yang memungkinkannya kehilangan identitas jika nilai-nilai tradisionalnya tidak di lestarikan.

  Sesuatu yang unik pada dunia pesantren ialah begitu banyak variasi antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Namun dalam berbagai aspek juga ditemukan kesamaan-kesamaan umum. Seperti bentuk kepemimpinan, organisasi pengurus, dewan kiai atau dewan guru, susunan rencana pelajaran, kelompok santri, dan bagian-bagian yang lain.

  Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntunan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidika selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaanya di tenga- tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitarnya.

  Karena keunikanya itu maka pesantren hadir dalam berbagai situasi dan kondisi, dan hampir dapat dipastikan bahwa lembaga ini, meskipun dalaam keadaan yang sangat sederhana dan karakteristik yang beragam, tidak pernah mati. Demikian seluruh komponen di dalamnya seperti kyai atau ustad serta para santri senantiasa mengabdikan diri mereka demi kelangsungan pesantren.

  Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna ke Islaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga serupa pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa Hindu Budha.

  Pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari asalnya. Merupakan tempat tinggal kyai bersama santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada awal pertumbuhan dan perkembangannya, pondok bukanlah semata- mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama. Para santri untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh kyai, melainkan juga sebagai tempat training atau latihan bagi santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat.

  Hubungan kyai dan santri pada umumnya merupakan hubungan ketaatan

  

  tanpa batas, begitu pula kepada guru-guru bantu. Rasa persamaan dan persaudaraan sangat terasa.

  3.3.1 Pengertian pesantren Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukan tempat.

  Dengan demikian pesantren artinya “tempat para santri”. Selain itu, asal kata pesantren terkadang dianggap gabungan dari kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong) sehingga kata pesantren

   dapat berarti “tempat pendidikan manusia baik-baik”.

  Lebih jelas lagi Nurcholish mengupas asal usul perkataan santri, dan juga tentang kyai karena kedua perkataan tersebut tidak dapat dipisahkan ketika dibicarakan tentang pesantren. Ia berpendapat: “santri asal kata sastrei (sangsekerta) yang berarti melek huruf, dikonotasikan santri adalah kelas literary, pengetahuan agama dibaca dari kitab berbahasa Arab dan diasumsikan bahwa santri berarti juga orang yang tau tentang agama (melalui kitab-kitab). Dan paling tidak santri dapat membaca Al-Qur’an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama. Perkataan santri juga berasal dari bagasa jawa (cantrik) yang berarti orang yang selalu mengikuti seorang guru

   kemanapun belajra dari guru mengenai sesuatu keahlian.

  47 48 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3S, 1994) hlm. 20) 49 Dr. dr. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 20

Dr. Nurcholish Majdid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 20

  Sedangkan menurut Dhofier, Pesantren sendiri pada dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu, kata pondok mungkin berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang berarti “hotel

   atau asrama”.

  Perkataan kyai (laki-laki), dan nyai (wanita) mempunyai arti orang tua, kedua arti tersebut terkandung rasa pensucian pada yang tua, sehingga kyai tidak saja berarti yang tua, tetapi juga yang berarti sakral,

   keramat, dan sakti.

  Dilihat dari sudut keberadaan pesantren berbeda dengan pendapat dari kalangan peneliti. Sementara ada yang berpendapat pada umumnya berdirinya suatu pesntren diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggalan ilmu seorang guru atau kyai. Karena keinginan menuntut dan memperoleh ilmu dari kyai atau guru tersebut maka masyarakat sekitar bhkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana

   disekitar tempat tinggal guru atau kyai tersebut.

  3.3.2 Sejarah Pesantren Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren pertama berdiri. Pada awal rintisannya, pesantren bukan 50 hnaya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah, justru 51 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 18 52 Ibid., Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 138)

  misi yang kedua ini yang lebih menonjol. Lembaga pendidikan ini pada awalnya selalu mencari lokasi yang dapat menyalurkan dakwah, sehingga berbenturan antara nilai-nilai yang dibawanya dengan nilai- nilai yang telah mengakar di masyarakat setempat. Sehingga menghadapi kerawanan-kerawanan sosial dan keagamaan pada awal perjuangannya. Terkadang pesantren juga menghadapi penyerangan penguasa yang merasa tersaingi kewibawaanya. Sebagai contoh, Raden Paku (Sunan Giri) sewaktu merintis pondok pesantren di kedaton pernah terancam rencana pembunuhan atas perintah raja Majapahit

   (Prabu Brawijaya).

  Pesantren tidak pernah memulai konfrontasi sebab orientasi utamanya adalah melaksanakan dakwah dan menanamkan pendidikan.

  Pada tahap berikutnya, pesantren diterima masyarakat sebagai upaya mencerdaskan bangsa. Dan menjadi kebanggaan masyarakat sekitar, terutama bagi mereka yang muslim.

  Kemudian selanjutnya, dimasa kolonial belanda yang menguasai Indonesia selama 3,5 abad lamaya, selain menguasai politik, ekonomi, dan militer juga mengemban misi penyebaran agama Kristen. Bagi Belanda, pesantren merupakan lembaga yang anti terhadap gerakan kristenisasi dan upaya pembodohan masyarakat. Anggapan ini ialah argumen bagi belanda untuk menekan pertumbuhan pesantren. Sutari Imam Bardadib menuturkan bahwa penjajah malah menghalang-halangi perkembangan agama Islam sehingga pondok pesantren tidak dapat 53 berkembang secara normal. Bahkan pada 1882 Belanda membentuk

  Pesantren Luhur, Sejarah, hlm. 125

  “Pristeranden” yang bertugas mengawasi pengajaran agama di

   pesantren-pesantre.

  Kemudian pada awal penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan imperialisme baru, ini disebabkan karena penolakan Kyai Hasyim Asy’ari, dan kyai-kyai pesantren lainnya terhadap saikere (penghormatan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan dewa Amaterasu) dengan cara membungkukan badan 90 drajat menghadap Tokyo setiap pagi pukul 07.00, sehingga mereka ditangkap

   dan dipenjara Jepang.

  Wahjoetomo mengatakan bahwa pesantren yang berdiri ditanah air, khususnya di Jawa dimulai dan dibawa oleh wali songo, sehingga mungkin juga dapat dikatakan pesantren yang pertama didirikan adalah “Pondok Pesantren yang pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau terkenal sebutan Sunan Gresik. (wafat tanggal 12 Rabiul Awal 882 H atau tanggal 8 April 1419 di Gresik)

  3.3.3 Karakteristik Pendidikan Pesantren Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren, maka dapat di cari dari berbagai segi yang meliputi keseluruhan sistem pendidikan: materi pelajaran dan metode pengajaran, prinsip-prinsip pendidikan, sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kyai dan santri serta 54 hubungan keduanya.

  

Hadimulyo, “Dua Pesantren Dua Wajah Budaya” dalam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren

55 Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), h. 110.

  Imron Arifin, Kepemimpinan Kiyai Kasus Pondok Tebuireng, (Malang: Kalimasahada Press, 1993), h. 79.

  Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran Sebagian lembaga pendidikan Islam, Pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajara agama yang dikaji ialah Al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsirnya, fiqh dan usul fiqh, hadis dengan mushtahalah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, Sharaf. Kitab-kitab yang dikaji di pesantren umumnya kitab-kitab yang ditulis dalam abad pertengahan, yaitu antara abad ke- 12 sampai dengan abad ke-15 atau yang sering disebut dengan “Kitab Kuning”.

  Namun di saat sekarang ini banyak pesantren-pesantren yang sudah memasukan sistem pendidikan yang modern dengan sistem pendidikan yang telah ditetapkan di Indonesia, seperti pengetahuan umum yang telah di ajarkan disekolah-sekolah umum.

3.4 Pondok Pesantren Raudhatul Hasanah

  Telah diketahui bahwa dunia pendidikan islam terus bertambah dan semangkin berkembang, terutama di Indonesia sendiri. Seperti...

  Pada dasarnya pesantren mendidik para santrinya dengan ilmu agama Islam, agar mereka menjadi orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa, berilmu agama yang mendalam dan beramal sesuai dengan tuntunan agamanya. Pesantren sebahagian besar terletak di pedesaan, yang di dalamnya terdapat tempat tinggal para santri yang sederhana. Namun lain halnya dengan pondok pesantren raudhatul hasanah yang letaknya di perkotaan, dengan fasilitas yang serba berkecukupan yang memiliki pengasuh hingga ratusan orang dan terdapat murid hingga ribuan santri, namun memiliki tujuan yang sama yaitu menuntut ilmu dan beriman kepada Allah SWT. Para santri umumnya berasal dari daerah yang jauh dari pondok pesantren tersebut, oleh karena itu maka tersedialah asrama-asrama sebagai tempat tinggal para santri, yang masih terletak di dalam pesantren itu sendiri.

  3.4.1 Sejarah dan perkembangan Wakaf menurut Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. Pada awal perkembangan Islam macam-macam wakaf hanya terbatas pada benda yang tidak bergerak ataupun bertahan lama menurut zatnya namun melalui perkembangan sekarang wakaf tunai sudah termasuk jenis wakaf yang sudah diakui oleh umum. Sesuai dengan perkembangan kebutuhan umat wakaf tidak boleh didiamkan namun wakaf produktif di dalam pengelolaan harta wakaf harus sesuai dengan syariah dan hasilnya sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan dan kepentingan umum. Keberhasilan pengelolaan wakaf merupakan

   tanggung jawab nadzir.

  Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah merupakan lembaga pendidikan wakaf, yang didirikan pada tahun 1982 dan telah resmi dicatat dalam akte notaries M. Djaidir, SH No. 29 tahun 1986 di Medan. Pesantren ini didirikan di atas lahan ± 80.000 M2 yang berlokasi di jalan Jamin Ginting Km. 11 Paya Bundung Simpang Selayang Medan Sumatera Utara. Dibuka program pendidikan formal pesantren sejak tahun 1986. Pada tahun 2005 diketahui jumlah santri dan santriwati sebanyak 2300 orang dibawah bimbingan 151 guru. Pada penerimaan santri dari tahun 2004-2010, tercatat lebih dari 900 calon santri pertahun yang mendaftar, namun yang dapat diterima hanya sebanyak 600 santri. memiliki jenjang pendidikan di antaranya yaitu, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Madrasah Tsanawiyah (setingakat SMP), dan Madrasah Aliyah (Setingkat SMA).

  Pesantren ini didirikan atas inisiatif tokoh-tokoh mayarakat, termasuk alim ulama setempat. Dalam susunan pengurusan yang berlaku sekarang terdapat 17 orang pengurusan, dengan susunan sebagai berikut : Musyrif, Ketua Umum, Ketua I, Ketua II, Sekretaris Umum, Sekretaris I, Bendahara Umum, Bendahara I, dan Anggota. Pada saat diresmikan tahun 1986, Pengurus Badan Wakaf Ar-Raudhatul 56 Hasanah adalah sebagai berikut : Joko Kuncoro : Badan Wakaf Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Dalam Perspektif Hukum Nasional, 2006.

  Musyrif : H. Hasan Tarigan : H. M. Arsyad Tarigan : Usman Husni, BA

  Ketua Umum : dr. H. M. Mochtar Tarigan Ketua I : H. Abdul Muthalib Sembiring, SH Ketua II : Drs. H. M. Ardyan Tarigan Sekretaris Umum : Drs. H. M. Ilyas Tarigan Sekretaris I : H. Goman Rusdy Pinem Sekretaris II : Ir. H. Musa Sembiring Bendahara Umum : dr. H. Hilaluddin Sembiring Bendahara I : H. Panji Bahrum Tarigan Anggota : Prof. Dr. drg. Hj. Moendyah Mochtar

  : H. Sya'ad Afifuddin Sembing, M.Sc : Ir. H. Sehat Keloko : H. Raja Syaf Tarigan : dr. H. Benyamin Tarigan : dr. H. Nurdin Ginting : dr. H. Ja'far Tarigan

  Sejak dibentuk, telah terjadi pergantian anggota Badan Wakaf, karena telah banyak di antara mereka yang meninggal dunia atau sebab lainnya. Para anggota Badan Wakaf yang telah wafat adalah : H. Hasan Tarigan, H. M. Arsyad Tarigan, dr. H. M. Mochtar Tarigan, H. Panji Bahrum Tarigan, Ir. H. Musa Sembiring, H. Raja Syaf Tarigan, Drs. H.

  M. Ardyan Tarigan, MM dan Prof. Dr. drg. Hj. Moendyah Mochtar. Meskipun sudah banyak pergantian, namun peremajaan kepengurusan belum pernah dilaksanakan, sehingga kepengurusan Badan Wakaf Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah hingga Februari 2011 adalah sebagai berikut : Musyrif : Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA

  : H. Abdul Muthalib Sembiring, SH : dr. H. Benyamin Tarigan

  Ketua Umum : Drs. H. Muhammad Ilyas Tarigan Ketua I : Ir. H. Sehat Keloko Ketua II : dr. H. Nurdin Ginting Sekretaris Umum : dr. H. Hilaluddin Sembiring Sekretaris I : H. Goman Rusdy Pinem Sekretaris II : Prof. Dr. H. Sya’ad Afifuddin S, M.Ec Bendahara I : Drs.H.Wahidin Tarigan, Ak Bendahara II : Drs. M. Amin Tarigan, Ak Anggota : dr.H.Ja’far Tarigan, Sp.B, Sp.B DigK

  : Dr.Ir.H.Ahmad Perwira Mulia Tarigan, M.Sc : Akhmad Tarigan, Amd : H.Abdul Aziz Tarigan, Lc : Ramadhan Sembiring, SE : Nur M. Ridha Tarigan, SE, MM Yayasan menentukan kebijakan umum pesantren dan bertanggung jawab baik di luar maupun di dalam. Di samping itu ada pengasuh pesantren yang bertugas mengadakan pembinaan sehari-hari baik di bidang pendidikan, penyuluhan dan produksi. Pengasuh pesantren adalah guru-guru yang menetap di perkampungan sekitar pesantren maupun yang menetap tinggal di pesantren.

  Pengurus Pesantren Tarbiyah Islamiyah Ar-Raudhahtul Hasanah Medan Sumatera Utara berlandaskan Surat Keputusan Badan Wakaf Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Nomor 02 Tahun 1999, Surat Keputusan Pimpinan Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Nomor 06 Tahun 2004 dan Anggaran Rumah Tangga Pesantren Tarbiyah Islamiyah Ar-Raudhatul Hasanah. Pengurus Pesantren yaitu: Pimpinan : Drs. H.M. Ardyan Tarigan, MM Bidang Pendidikan : Drs. H. M. Ilyas Tarigan Bidang Keuangan : Drs. M.Amin Tarigan, Ak Direktur : Drs. Syahid Marqum Wakil Direktur : Drs. Junaidi Majlis Guru : Drs. Syahid Marqum ,Drs. Basron Sudarmanto, Drs. Maghfur Abdul Halim, Drs. Rasyidin Bina, Drs. Junaidi, H.

  Solihin Addin, S. Ag, H. Abdul Wahid Sulaiman, Lc, Agis Nirodi Hasbullah, S. Ag Sekretaris : Carles Ginting, B. Hsc, Mukhlis Ihsan, Amd, Yenni Kurniawi Bendahara : Supar Wasesa, SE., MM, Evi Nora J. Lingga, SE

  Koordinator

  1. Bidang Pendidikan :H. Abdul Wahid Sulaiman, Lc

  2. Bidang Pengasuhan : Drs. Rasyidin Bina

  1. Bidang Kesejahteraan : Drs. Basron Sudarmanto

  2. Bidang Usaha Milik Pesantren : Agis Nirodi Hasbullah, S. Ag

  3. Bidang Litbang : M. Subhan, S. Ag

  3.4.2 Kehidupan Sehari-hari di Pesantren Dalam pesantren ini, kehidupan diatur menurut sebuah tata-tertib.

  Sejak mulai bangun tidur, para santri dididik untuk mengikuti peraturan jam bangun, agar bisa mengikuti shalat subuh di mesjid secara berjamaah, dan disertai dengan membaca Al-Qur’an dan mempelajari bahan pelajaran hari itu. Setelah pulang dari mesjid mereka di wajibkan mengikuti kegiatan olah raga, berupa senam sekitar satu jam. Setelah itu dilanjutkan dengan persiapan masuk sekolah: mandi, memakai pakaian seragam sekolah, dan makan pagi.

  Pada pukul tujuh tepat, bel berbunyi dan dimulailah kegiatan belajar mengajar di sekolah hingga pukul satu siang, diselingi dengan satu kali istirahat selama dua puluh menit. Kemudian dilakukanlah shalat dzuhur berjamaah di mesjid, setelah itu ketika bel makan siang berbunyi maka para santri pergi makan bersama di dapur umum. Setelah selesai makan siang, yaitu sekitar pukul dua maka santri di berikan waktu istirahat hingga waktu shalat ashar tiba, ketika tiba waktu shalat ashar (sekitar pukul 4 sore) maka santri diwajibkan untuk melaksanakan shalat berjamaah di mesjid dengan memakai pakaian yang rapi atau pakaian shalat.

  Selesai shalat ashar maka dilakukanlah kegiatan sosial dan olah raga oleh para santri hingga terdengar bunyi bel yang mengisyaratkan bahwa kegiatan di sore hari berheti dan di lanjutkan dengan kegiatan di Asrama, baik berupa mandi, mencuci, membersihkan asrama, hingga persiapan menuju ke mesjid untuk menunaikan shalat Maghrib berjamaah.

  Selesai shalat magrib biasanya ada kegiatan mendengarkan ceramah singkat yang dilakukan santri yang telah di jadwalkan atau pengarahan-pengarahan dari pengasuh pondok. Setelah itu para santri keluar dari mesjid dan kembali ke asrama guna mempersiapkan diri untuk berangkat makan malam di dapur umum. Dan tiba waktu shalat isya para santri menunaikan ibadah shalat isya berjamaah di mesjid.

Dokumen yang terkait

Kajian Pelaksanaan Program Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) di Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan Provinsi Sumatera Utara

13 92 127

Evaluasi Pemanfaatan Koleksi Kitab Kuning Pada Perpustakaan Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan

2 62 74

Studi Deskriptif Nasyid Pada Pondok Pesantren Raudhatul Hasanah Di Medan

3 44 193

Gambaran Faktor Lingkungan Yang Menimbulkan Skabies Pada Pondok Pesantren Modern Raudhatul Hasanah Paya Bundung Medan Tahun 2005

0 33 72

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Skabies Pada Santri Di Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan

11 68 64

IMPLEMENTASI PROGRAM LIFE SKILL DI LEMBAGA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN ANNIBROS (Studi Deskriptif pada Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Annibros Kelurahan Bintoro Kecamatan Patrang)

5 19 139

MANAJEMEN PROSES PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN ( Studi Kasus Di Pondok Pesantren Darul Ihsan Samarinda)

0 1 16

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Temuan Umum 1. Sejarah Berdiri Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah Medan - IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU DI PESANTREN AR-RAUDLATUL HASANAH MEDAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENINGKATAN KOMPETENSI

0 5 157

Kajian Pelaksanaan Program Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) di Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan Provinsi Sumatera Utara

1 1 17

KAJIAN PELAKSANAAN PROGRAM POS KESEHATAN PESANTREN (POSKESTREN) DI PONDOK PESANTREN AR-RAUDHATUL HASANAH MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

0 0 15