Daftar Isi - Edisi Khusus 2003.pdf

  Penanggungjawab:

  (

  ( John Ire ) ..............................

  50 Agama dan Konflik Sosial

  (

  M uhammad Azhar ) ............

  51 Bumi Yang Damai ( Listia ) ..................................

  54 M elemahnya Kekuatan ......

  (

  Fanfaidin ) ..........................

  56 Refleksi Pemikiran .......

  ( Sudarto ) .............................

  60 Bernaung di Bawah .....

  Rip Tockary ) ......................

  Darwis W aru ) ....................

  66 Kekerasan atas nama Agama ( Yuberlian Padele ) ..............

  72 Transformasi Agama .....

  (

  Abidin W akano ) ................

  74 Teologi Perang .....

  ( M usa Asy’ arie ) .................

  76 Agama sebagai Kambing .........

  (

  Putu W ijaya ) ....................

  79 Kekerasan dalam Agama .....

  ( Zakaria J. Ngelow ) ............

  48 Hidup Beragama Bukan .....

  (

  Elga Sarapung, Pemimpin Redaksi: Noegroho Agoeng, Redaksi: Wiwin Siti Aminah, Haryandi, Listia, Alfred B. Jogo Ena, Konsultan: IGB Harimurty Desain/Layout: Haryandi & Sarnuji Keuangan: Eko Putro Sekretaris: Wiwin Siti Aminah, Octavia Christiani

  (

  Distributor:

  Susanto, Sarnuji. Newsletter ini diterbitkan oleh: Institut DIAN/Interfidei Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia, Ph./ Fax. : 0274-880149, E-mail: [email protected]

  (I) kepadaku dengan berpakain Dalam buku “Sebutkan- seperti aku. Sungguh tidak lah nama-nama Kami”, C.S. masuk akal.” Si istri, ibu mertua Song mengangkat sebuah cerita dan hakim wilayah tidak sadar rakyat Tiongkok berjudul dan marah ketika melihat “Cermin”. Syahdan, di negeri cerminan wajah mereka masing- Cina hiduplah seorang Bapak masing. Apakah cermin harus yang cukup bodoh, yang dipecahkan bila memperhatikan berinisial Wang III. Istrinya wajah kita yang belum ceria alias menyuruhnya membeli sebuah kusam? sisir berbentuk sabit. Supaya (ii)

Wang tidak lupa, si istri

P e r j a l a n a n b a n g s a

menunjuk bulan di langit yang

Indonesia dalam 10 tahun

pada saat itu berbentuk sabit.

terakhir meninggalkan jejak

Beberapa hari kemudian, bulan

duka yang mendalam dan

sudah purnama. Tatkala Wang

memilukan. Betapa tidak!

ingat akan pesanan istrinya, ia

Hampir dalam segala bidang

menatap bulan yang sedang

kehidupan kita berduka, sedih,

purnama. Ternyata bukan sisir

b i n g u n g , s u a s a n a s e l a l u

yang dibelinya, melainkan

menegangkan. Kita seakan nanar

sebuah cermin yang berbentuk

memandang aneka kekerasan,

bulat. Maklum ia harus membeli

korupsi, kolusi, nepotisme yang sesuatu seperti bulan. menyusup dalam sumsum Wang membawa cermin itu kehidupan berbangsa. Wajah kita

ke rumahnya dan memberikan

pucat pasi, kusam masai! Tapi

kepada istrinya. Ketika melihat

kita tidak boleh naif dalam

cermin itu, murkalah istrinya

menyingkapkan lembaran hitam

lantas menghentakkan kaki lalu

b a n g s a k i t a m e l a l u i

pulang ke rumah orangtuanya

penelanjangan yang memalukan.

dan berkata kepada ibunya:

Dalam kondisi yang memilukan

“Suamiku telah mengambil

dan memalukan ini, dibutuhkan

seorang selir.” Sang ibu mertua

keberanian, kerja keras dan

y a n g m e l i h a t c e r m i n i t u

kearifan untuk melakukan

langsung mengeluh, “mengapa

proses pencerminan sehingga

i a m e n g a m b i l s e o r a n g

mampu memilih dan menempuh

perempuan tua yang demikian

langkah-langkah pemulihan

jelek dan mengerikan ini?

yang sehat dan melegakan.

Seharusnya ia memilih seorang

wanita muda!” Perkara ini

  (iii)

dibawa ke hadapan hakim

Pluralitas agama adalah

wilayah. Ketika melihat cermin

s a t u k e n y a t a a n d a l a m

itu, hakim geram, “Berani benar

kehidupan. Hampir tak satu

kalian membawa perkara ini

  Daftar Isi Refleksi “Agama dan....

  ( Arlina G Latief ) .....................

  3 Agama dan kekerasan

  ( Noorhalis M .

  ) .....................

  10 Agama dan Kekerasan ( Arifin Assegaf ) ....................

  12 Kembali pada Keyakinan....

  Irfan S. Awwas ) ..................

  38 Dan Kita Pun M alu Bercermin

  19 Pagar sebuah Kebebasan ( Prajnavira M ahasthavira )...

  27 Agama dan Kekerasan

  (

  I Nyoman Sadra ) ................

  29 Gejala Bergesernya ......

  ( Suhadi ) ...............................

  31 Beberapa Aspek Tentang .....

  (

  W ahadi Ghuna ) ..................

  35 Kekerasan dan Krisis .....

  ( Laode Arham ) ......................

  89

  interfidei new sletter Editorial

masyarakat pun membentengi diri dengan agama Kelompok Antar-iman se-Indonesia, di Malino,

tertentu. Agama-agama hakikatnya menawarkan Sulawesi Selatan, 23-27 Januari 2002, yang

diri sebagai “jembatan” antara manusia dan Allah digagas dan diprakarsai oleh Institut Dian/

dan manusia dengan sesama manusia lainnya. Interfidei.

  

Dengan menjadi jembatan, agama-agama Tema Forum Refleksi Bersama adalah

membiarkan manusia untuk melewatinya dengan “Agama dan Kekerasan”. Tema ini dipilih karena

damai, aman, melegakan dan membahagiakan. dianggap relevan dengan situasi dan konteks

Akan tetapi dalam konteks Indonesia beberapa bangsa Indonesia saat ini, dan masyarakat dunia

tahun terakhir , agama tampil dengan wajah yang umumnya. Isu di sekitar “agama dan kekerasan”

kontradiktoris. Agama tidak saja menjadi sangat signifikan, di tengah pergulatan

“jembatan” tetapi malah menjadi “kuda kemajemukan masyarakat Indonesia dengan

tunggangan” atau “dagang sapi” dalam kancah segala perkembangan dan perubahan yang sedang

politik bangsa. Agama selalu dikaitkan dan berlangsung.

seolah-olah identik dengan politik Indonesia yang Dalam Newsletter edisi khusus kali ini, kami

juga selalu diwarnai/disertai kekerasan. Ini bukan menyajikan tulisan-tulisan, refleksi pengalaman

barang baru bahwa agama selalu dipakai dalam lembaga-lembaga antar-iman yang ada di berbagai

pertarungan dunia perpolitikan Indonesia. Agama daerah atau pribadi-pribadi yang concern pada

dijadikan simbol, kekuatan legitimatif partai atau isu-isu di sekitar tema “Agama dan Kekerasan”

kekuasaan, sebagai “topeng” untuk melakukan yang terjadi di tanah air. Kita akan menemukan

tindak kekerasan demi memenangkan perjuangan berbagai dinamika dan kajian seputar tema di atas.

politik kekuasaan yang sifatnya sementara, bukan Ada yang berupa Opini, refleksi yang mengkritisi

untuk kepentingan rakyat banyak yang sifatnya eksistensi negara dan agama, ada ungkapan

jangka panjang. Mengapa agama begitu mudah pengalaman atas “kekerasan” yang dialami atas

diperalat oleh politik dan kekuasaan sebagai nama agama, wacana-wacana maupun realitas

kekuatan yang melegitimasi tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat.

politik kotor? Di mana kekuatan agama yang bisa Tulisan-tulisan yang ada memperlihatkan

memberi corak positif bagi perkembangan politik kepada kita bahwa betapa agama dan kekerasan

di Indonesia? Di mana fungsi agama sebagai “bagaikan” sekeping uang logam yang punya dua

“jembatan” yang menyeberangkan manusia sisi yang berlainan. Apakah agama identik dengan

menuju Allah dan sesama cum amore, dengan kekerasan? Apakah kekerasan merupakan

penuh kasih sayang, damai, aman dan realisasi ajaran agama sehingga kekerasan harus

membahagiakan? Yang terjadi adalah “jembatan” melahirkan kekerasan lainnya (M.K. Gandhi)?

sine amore , tanpa kasih sayang, tanpa keamanan Semoga tulisan-tulisan yang tersajikan di

dan kedamaian, menakutkan dan penuh sini semakin membuka cakrawala, khususnya

kekerasan? dalam memahami hidup keagamaan kita. Apakah

  (iv) kita mampu bercermin dari pengalaman hidup sehari-hari, bagaimana hidup keberagamaan kita? Menanggapi situasi tersebut di atas, Apakah kita juga memanfaatkan agama untuk lembaga-lembaga antar-iman kembali bertemu melakukan kekerasan terhadap sesama? dalam Forum Refleksi Bersama pada tanggal 18-

  23 Februari 2003 di Ashram Gedong Gandhi, Candi Dasa, Karangasem, Bali. Kegiatan ini SELAMAT MEMBACA! merupakan tindaklanjut dari Forum Refleksi

  2

  interfidei new sletter Edisi Khusus Candi Dasa

  

REFLEKSI

“ AGAM A DAN KEKERASAN”

  Pengantar bertalian dengan kepercayaan itu.: - Islam; Kristen; Buddha Hindu, dst” .

  Refleksi ini d ituangkan d alam bentuknya yang masih 'partial', belum Sedangkan dalam bahasa Inggris, secara menyeluruh. Dengan perkataan menurut “ Oxford A dvanced Learner' s

  Dictionary of Current English” , agama

  lain baru mengatakan sejumlah pokok pikiran, masih banyak 'missing link'. adalah: Harapan saya lew at pertemuan dan (1) “ Belief in the existence of a supernatural

  ruling power, the creator and controiler of

  diskusi kita beberapa hari mendatang di

  the universe, who has given to man a spiritual

  Gedong Gandhi Ashram di pulau Dewata ini,

  nature which continues to exist after the death of the

  dapat menemukan butir-butir kaitan yang belum

  body” ketemu tersebut.

  (2) One of the various systems of faith and worship Pada bagian pertama dari refleksi ini,

  based on such belief, the great religions of the world

  dituangkan beberapa pokok pikiran yang muncul

  (e.g. Christianity, Islam, Buddhism, etc.)

  ketika saya mencoba memahami dan memaknai (3) Live as live under the rules of monastic order k e d u a k a t a t e r s e b u t d a n m e n c o b a (4) Matter of conscience: something that one considers menghubungkan keduanya untuk kemudian

  oneself bound to do...

  mencari tahu di mana ketemu dan tidak ketemunya. Pada bagian kedua, dengan berbekal Sementara menurut “ Chamber twentieth pikiran pada bagian pertama saya coba melihat Century Dictionary”, agama adalah: beberapa fenomena bangsa kita saat ini. Pada (1) Belief in, recognition of or an awakened sense of, a bagian ketiga tentang apa yang seyogyanya kita

  higher unseen controlling power or powers, with lakukan. the emotion and morality connected therewith:

  D em ikian p eng antar say a, d isertai

  rites or worship

  ungkapan syukur kepada Yang Maha Empunya (2) Any system of belief or worship; karena saya mempunyai peluang untuk sejenak (3) Devoted fidelity; memiliki keleluasaan berpikir tentang tema (4) Monastic life; tersebut. Terima kasih banyak kepada rekan-

  (5) A monastic order:

  rekan di Interfidei yang memberi stimulans bagi Mencermati uraian beberapa d efinisi saya untuk mengalokasikan waktu bagi hal tersebut, bisa disimpulkan beberapa hal pokok, tersebut. Semoga ada manfaat bagi kita bersama. antara lain: (1) A g ama ad alah: kep ercay aan kep ad a,

  Pengertian Agama

  pengakuan akan adanya, kesadaran akan adanya Pertama-tama, kita coba telusuri makna Tuhan (apapun sebutanNya) yang 'menciptakan', atau pengertian agama secara harafiah dari 'memiliki' dan 'mengatur' serta mengendalikan definisi bahasanya, dalam hal ini dipilih dua alam semesta beserta isinya. bahasa, Indonesia dan Inggris. Menurut Kamus

  Jadi Agama BUKAN Tuhan Pencipta, Besar Bahasa Indonesia, pengertian agama Pemilik, Pengatur, Pengelola, Pengendali alam adalah: semesta beserta segala isinya.

  “ Kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dsb) dengan

  Agama TIDAK BISA dan TIDAK BOLEH

  ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban MENGGANTIKAN Tuhan Pencipta, Pemilik, * Guru Besar pada fakultas psikologi UNHAS Makassar.

  interfidei new sletter

  Pengatur, Pengelola, Pengendali alam semesta (3) Agama berisi ajaran tentang panggilan, hak beserta segala isinya. dan kew ajiban yang patut dilakukan oleh Jadi Agama TIDAK LEBIH PENTING dari penganutnya dalam kehidupan kesehariannya,

  Tuhan Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pengelola, secara ikhlas (volunteer, pilihan, bukan paksaan) Pengendali alam semesta beserta segala isinya. dengan taat dan penuh rasa syukur. Apa isi p a n g g i l a n , h a k d a n k e w a ji b a n y a n g (2) Agama berisi ajaran, ke-bakti-an, ibadat, ritual dimaksudkan? dalam rangka berhubungan dengan Tuhan sesuai

  Pada hakekatnya, apabila manusia adalah sistem keyakinan tertentu. ciptaan TUHAN, maka panggilan, hak dan

  Jadi setiap agama mempunyai ajaran cara kewajiban manusia sebagai 'human being' sama, b e r h u b u n g a n d e n g a n T u h a n s e s u a i yaitu 'respek dan kasih'. Kalau ada perbedaan, keyakinannya tentang Tuhan, tentang diri barangkali dalam bentuk perwujudan respek dan mereka dan tentang keterhubungan mereka kasih tersebut, yang amat bervariasi dari satu dengan Tuhan. budaya ke budaya lain, dari satu keluarga ke

  Jadi selalu mungkin dan sangat masuk akal keluarga lain, bahkan dari satu individu ke ajaran berbagai agama, berbeda satu dengan yang individu lain. Dengan perkataan lain ada lainnya, sesuai dengan sistem keyakinan yang perbedaan ranah dalam memaknai panggilan, dianutnya. Akan tetapi apabila kita sepakat hak dan kewajiban. Pada ranah yang lebih aktual Tuhan adalah Esa, bahkan Maha Esa, maka operasional, tentunya terpengaruh oleh konteks seyogyanya yang dituju oleh semua agama lokal, yang bisa saja bervariasi, tetapi tidak adalah DIA Yang Esa itu, tidak ada lain. Maka kehilangan esensinya yang ada di ranah yang HA NYA DIA Yang punya hak menerima lebih 'dalam' yang saya yakin adalah sama, / menolak cara penyembahan atau hubungan kita karena keluar dari TUHAN YANG SAMA. Oleh denganNYA. karena itu yang o p erasio nal tid ak bo leh

  Dengan p erkataan lain, kita sebagai mengalahkan yang essensial. Untuk hal ini saya manusia tidak punya wewenang/ otoritas untuk kira diperlukan kesungguhan mencari mana menilai apakah cara ibadat/ cara berhubungan yang essensi, mana yang operasional, dan dengan Tuhan yang diajarkan suatu agama diperlukan hikmah dan kebijaksanaan yang diterima/ ditolak oleh TUHAN Yang Maha ESA daripadaNya YANG MAHA MENGETAHUI. tersebut.

  Dalam penyelenggaraan panggilan, hak Juga kita sebagai manusia, salah satu dan kew ajiban ini, selalu mungkin terjadi makhluk isi alam semesta ini, tidak punya hak, perbedaan bahkan pertentangan antara satu wewenang ataupun otoritas untuk 'memaksakan' agama dengan agama lain. Hal ini bisa terjadi cara kita beribadat kepada orang lain. hany a ap ab ila kita m elihat p ad a y ang

  Tujuan berbakti, beribadat, menyembah operasionalnya saja, tidak kepada essensinya. TUHAN YANG ESA, implisit mengandung makna

  Sekali lagi bilamana kita melihat pada essensinya, 'merendahkan hati', 'respek' dan 'taat' serta 'apa maka wujud operasional dari essensi tersebut adanya' dari mereka yang beribadat. Oleh karena tidaklah satu, tetapi banyak alternatif, sehingga itu, manakala kita dari berbagai agama melakukan tidak perlu ada gesekan. ibadat, sembah sujud kepadaNya, implisit 'saling merendahkan hati', 'saling respek' dan 'toleransi

  (4). Pada dasarnya Agama berkenaan dengan hal- pad a ketaatan masing-masing' serta 'saling hal yang berhubungan dengan 'conscience', atau menghargai apa adanya'. Dengan demikian, tidak 'sanubari', 'kata hati dan hati nurani', atau 'qalbu', ada peluang untuk 'kecongkakan/

  arrogance

  ', 'mau atau apapun namanya. Ia berhubungan dengan menang send iri', 'tid ak p ed uli o rang lain sesuatu yang padanya orang menganggap terganggu', 'tidak menghargai', dsb. karena alasan dirinya terikat untuk melakukan (Matter of ap ap u n , ( te rm as u k ag am a b e s ar/ k e c i l , conscience: something that one considers oneself mayoritas/ minoritas, dst;) sebab dihadapanNya bound to do: ...) kita sedang beribadat.

  Agama dan Kekerasan

  Jad i ag am a b e rke naan d e ng an isi bahkan hanya perilaku reaktif otomatis, di ranah 'conscience', tetapi agama bukan 'conscience'. jasmaninya. Artinya, agama tidak serta merta membuat Kata 'conscience' sendiri berarti “ together penganutnya menjalankan apa yang diajarkan with God” . Pada hakekatnya setiap manusia agama tersebut. Yang menjalankan ajaran agama mempunyai kerinduan untuk bersama dengan adalah individu yang menganut dan mengimani Tuhan, sehingga ia akan mencari Sang Pencipta. apa yang dipaparkan oleh agama. Individu mana Agama boleh jadi menolong pencarian tersebut. p erlu menganggap d irinya terikat untuk Akan tetapi yang terpenting dan yang ingin dicari melakukan isi consciencenya. Dengan perkataan bukanlah ag am a, tetap i TUH A N SA N G lain agama tidak berhubungan langsung dengan EMPUNYA . Jadi yang pantas dirindukan, perilaku, meskipun agama menawarkan model dipegang teguh, disembah, diprioritaskan dan perilaku. dikejar BUKA NLAH agama tetapi TUHA N

  Antara perilaku yang diajarkan agama SANG PENCIPTA. Apabila hakikinya demikian, dengan perilaku pemeluk agama tersebut, m aka tentuny a tid ak ad a alasan untuk terdapat jarak yang cukup lebar dan berisi m em p ertaru hkan ag am a d alam ko nflik. sejumlah proses, antara lain: Sehingga bila terjadi pertentangan agama atau

  Agama lew at tokohnya mengupayakan konflik agama, maka terjadi pada tataran lain, sosialisasi (bisa subyektif, bisa bias) ajaran pada fungsi sekundernya, sebagai aksesoris yang kepada umat. Agama = sumber moral force mewarnai kehidupan bermasyarakat.

  Individu umat memproses input sosialisasi (5) Merujuk pada uraian di atas, maka agama terseb u t lew at p ersep siny a ( b isa b ias) , yang perlu dilihat dan dipahami dalam konteks mengolahnya dengan proses mental (bisa keliru kehidupan masyarakat, adalah sebuah lembaga tergantung modal dasar yang dimilikinya) moral (bukan lembaga organisasi) yang lekat menghasilkan kognisi tentang ajaran tersebut, dengan budaya, yang berada pada tataran nilai- beserta emosi iringannya proses di ranah nilai. Modus operandinya memakai sosialisasi kejiwaan persuasi, tidak memakai 'force'. Apabila individu selanjutnya meng 'adopt'

  Jadi apabila agama mengaktualisasikan kognisi tersebut dan 'memaknai dalam terang misinya lewat modus operandi organisasi atau i m a n n y a ' , m a k a k o g n i s i t e r s e b u t politik, dengan komoditi 'force', 'kekuasaan', d itransfo rmasikan menjad i 'hikmah' atau maka ia kehilangan nilai hakiki existensinya

  'wisdom', yang ia 'internalisasikan' ke dalam hati sebagai sumber penghantar pencarian kebenaran san u b ari n y a. Itu l ah y an g m e n jad i i si Ilahi. 'conscience'nya, proses di ranah spiritualnya

  Semakin terorganisasikan suatu agama, Selanjutnya d alam hid up keseharian se m akin te rp e ran g kap ke d alam le v e l sebagai individu, ada banyak faktor yang organisasionalnya, yang mau tidak mau akan mempengaruhi keputusan perilakunya. Satu berurusan dengan 'kekuasaan' dan 'paksaan diantaranya adalah 'conscience'nya. Apabila ia o to ritas'. Dengan d emikian akan semakin terlatih mend eng ar suara hatiny a, maka kehilangan esensi existensinya sebagai sumber berlakulah kebenaran yang diimaninya, dan penghantar bertemunya manusia dengan SANG kehendak berperilakunya terikat pada kebenaran PENCIPTA. tersebut. Akan tetapi apabila ia tidak terlatih m end eng ar su ara hatiny a, atau sering

  Pengertian Kekerasan

  membekukan diri terhadap suara hatinya, maka Selanjutnya kita telaah arti harafiah dari lama kelamaan suara hati itu tidak terdengar lagi. kata kekerasan, yang menurut Kamus Besar

  Dengan perkataan lain 'consciencenya' tidak Bahasa Indonesia, adalah: berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga (1) perihal (yang bersifat, berciri) keras pertimbangan perilakunya tidak lagi melibatkan (2) perbuatan seseorang atau sekelompok orang ranah spiritual, tetapi mungkin hanya ranah yang menyebabkan cedera atau matinya kejiwaan (pikiran, perasaan dan kehendak), atau

  interfidei new sletter Edisi Khusus Candi Dasa orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik kekerasan , tetapi oknum, orang atau kelompok atau barang orang lain. o rang. Jad i kalau ad a o rang/ pihak yang (3) paksaan dengan kekerasan. Kalau keduanya mengatasnamakan agama, maka mereka sedang berhubungan, maka keberad aan agama 'menurunkan' hakekat eksistensi 'agama' yang dalam hal ini bukan pada fungsi primer merupakan sumber bagi upaya proses spiritual kehadirannya sebagai penghantar kepada (moral bagi masyarakat), ke dalam tataran 'pencarian Tuhan', tetapi pada peran aksesoris k e ji w aan ( o rg an i s as i o n al - p o l i ti k b ag i dari ko nteks budaya masyarakat, yang masyarakat) bahkan ke dalam level yang lebih

  nyelonong masuk ke level organisasional bawah lagi yaitu level survival, menjadi komoditi ( p o l i ti k / h u k u m ) d e n g an i n s tru m e n jasmani (level sosial-ekonomi bagi masyarakat).

  'kekuasaan' d an 'kekuatan'nya. Sebagai Hal itu perlu dicegah, sebab bila tidak, umat akan aksesoris, selalu mungkin dikonversikan kehilangan peluang kemudahan bertemu dengan menjadi komoditi sosial atau komoditi politik. PENCIPTA NYA, yang pada gilirannya bisa kehilang an co nscience y ang berarti jug a

  Jadi arti kata 'keras', antar lain mengandung kehilangan jati diri, esensi dari kemanusiaannya, beberapa hal yang dapat dikelompokkan sebagai 'the being' dari 'human being'. berikut: (1) 'masif', dan tidak mudah berubah (padat, kuat,

   M encermati Situasi Indonesia

  tidak mudah berubah bentuknya, gigih dan Setelah mencoba memaknai pengertian dengan sungguh-sungguh hati) tema, kini kita coba menerapkannya dalam

  (2) mengandung kuantitas dan kualitas lebih konteks keadaan bangsa kita akhir-akhir ini. Saya (sangat kuat, sangat teguh, cepat, payah, kira tidak perlu kita ulang uraian yang sudah kita hebat, menjadi-jadi, ketat, sungguh-sungguh, kaji sejak Malino, dan yang telah sangat kencang, deras, nyaring, lebat sekali, berat, komprehensif dituangkan oleh pemrakarsa terlampau kuat daya reaksinya, sangat (dalam hal ini Institut DIAN/ Interfidei) dalam merangsang) bagian pendahuluan dari proposalnya. Dengan

  (3) berlawanan dengan 'kasih' (tidak mengenal merujuk pada fenomena tersebut, saya ingin belas kasihan, tidak lemah lembut, bersifat melihat dimana dan bagaimana tema kita berada. mengharuskan)

  Berikut ini ada beberapa pokok pikiran: (4) tidak lentur, kaku (sukar dibuka atau ditarik; (1) Mengenai keberagamaan kita di Indonesia. tidak memegas lagi)

  Beberap a w aktu y ang lalu, sejumlah Dalam bahasa Inggris pun tidak banyak kebijakan d iam bil berkenaan d eng an berbeda, yaitu “ state of being violent” atau “ the k e h i d u p an ag am a. D i M al i n o k i ta state or quality of being violent; excessive m em b ic arakan p erso alan p elarang an unrestrained; or unjustifiable force” . Sementara sejumlah agama, bersamaan dengan itu 'violent' diartikan sebagai 'intensely forcible'. pengakuan hak hidup sejumlah agama. Dari berbagai ungkapan di atas, nampak

  Mencermati kajian pada bagian I, lalu muncul bahwa dalam kekerasan ada unsur pemaksaan pertanyaan: secara berlebihan terhadap pihak lain, yang

  Apakah negara punya hak/ otoritas untuk menimbulkan kerusakan atau kehilangan pada mengakui atau tidak mengakui keberadaan pihak yang terkena, tidak mudah diubah dan agama di kawasannya? berlawanan dengan 'kasih sayang'.

  Apakah pemerintah punya hak/ wewenang Jadi pada konsep kekerasan, terkandung m e n g a t u r a g a m a d a l a m f u n g s i unsur hakiki yang berlawanan dengan esensi eksistensialnya mengantar/ memfasilitasi panggilan berhubungan dengan PENCIPTA, p e r t e m u a n m a n u s i a d e n g a n Sa n g yaitu KA SIH kepada A LLA H dan kepada

  Penciptanya? SESAMA. (2) Kita seringkali lebih memprioritaskan agama

  Jadi pada fungsi eksistensialnya agama dan ritus serta ritualnya ketimbang tujuan tid ak mung kin d ap at melakukan tind ak

  interfidei new sletter Agama dan Kekerasan

  Edisi Khusus 2003

  utama beragama yaitu, MENDEKATKAN menunggu pimpinan dari pemimpin. Perlu DIRI BERTEMU SEDEKA T MUNGKIN dikaji lebih lanjut, apakah orang tua pun DENGAN SANG EMPUNYA. Kita seringkali kehilangan respek yang seyogyanya mereka lebih terperangkap oleh aturan-aturan yang dapatkan dari anak-anak mereka? Apakah kita ciptakan (termasuk undang-undang) guru-guru pun kehilangan privelege sebagai ketimbang hal esensi mew ujudkan rasa pembina? Bagaimana dengan pemimpin KASIH kepadaNya dan kepada sesama serta agama? seisi ALAM SEMESTA. Khusus di bidang agama, barangkali

  (3) Kita juga seringkali merasa hanya kita yang pembinaan hidup keberagamaan kita amat punya hak dan kewajiban, tanpa menyadari diwarnai oleh budaya 'pengkultusan' tokoh bahw a o rang lainpun punya hak d an pemimpin agama, meskipun para nabi kita kewajiban yang sama dengan kita, meskipun s e l a l u m e n g i n g a t k a n u n t u k t i d a k barangkali wujud perilakunya berbeda. Hal mengkultuskan mereka. Tetapi nampaknya, ini terjadi karena kita seringkali terlalu takut seringkali kita lupa lalu mengkultuskan kehilangan eksistensi diri kita. Padahal yang pemimpin yang nyata dan riil, tangible di sebenarnya terjad i ad alah kita sed ang hadapan kita. Apa kata dia, itulah yang paling m em p erju ang kan benar, kemud ian akseso ris, bukan k i t a p u n s e g e r a e s e n s i ; k i t a menutup peluang m em p erju ang kan b a h w a m e r e k a , p eran-p eran kita p a r a p e m i m p i n bukan keberadaan agama itu selalu

  being

  kita. Sebab bila m u ng kin keliru , berbicara tentang sebagai manusia. hak dan kewajiban,

  Itu sebabnya perlu maka kita berbicara k i t a i n g a t k a n tentang posisi dan kembali yang kita peran. Pada saat yang sama kita sedang dalam junjung, yang kita cari dan ikuti, yaitu proses melupakan siapa diri kita. Saya kuatir TUHAN SANG PENCIPTA. Belakangan ini para vokalis negeri ini yang banyak bicara, fenomena personifikasi agama pada figur tetapi tanpa melihat kemanusiaan manusia. to ko h sem akin tam p ak. Kead aan ini Yang ada hanya kedudukan, jabatan dan mengindikasikan bahwa para tokoh semakin kekuasaan. kehilangan kepercayaan diri dari umat.

  (4) Secara historis kita dikenal sebagai bangsa Makanya umat mencari dan menggali sendiri Timur yang Paternalistik. Karena itu kita kebenaran Ilahi dari sumber-sumber lain yang hormat dan patuh (secara berlebihan) kepada jauh lebih absah, seperti dari kitab suci, alam, para pemimpin kita, termasuk para pemimpin dari fenomena peristiwa yang terjadi di dunia, agama. Seringkali kita begitu takut untuk dst. Kita malas mencari, malas berpikir, lalu tidak patuh pada figur otoritas, karena kita berharap dan bertumpu pada orang lain memang kita dididik untuk patuh pada yang 'tugasnya memang itu', terlepas dari o to ritas, bahkan kita kad ang memiliki apakah dia punya peluang keliru atau tidak, kecend erung an untuk meng 'kultus'kan maka akibatnya o rang menjad i sangat pimpinan kita. Belakangan ini gejalanya kolektif, dan emosional kolektif. berbalik, seakan penghargaan terhadap figur (5) Secara historis, kita sering diingatkan sebagai pemimpin kehilangan gregetnya. Bahkan di bangsa besar yang trad isio nal agraris, level manapun d i sekto r apapun, ad a sehingga p rimo rd ial kita begitu kuat. kecenderungan untuk melawan, menentang Keterikatan kita kepada tanah begitu lekat, figur otoritas, karena ada ketidakpercayaan tetapi keterikatan kita kepada tanah air terhadap figur otoritas, ada ketidaksabaran agaknya semakin mengend o r. Id entitas

  interfidei new sletter Edisi Khusus Candi Dasa

  

Kita seringkali lebih terperangkap

o leh atu ran- atu ran y ang kita

ciptakan (termasuk undang-undang)

ketimbang hal esensi mewujudkan

rasa KASIH kepadaNya dan kepada

sesama serta seisi ALAM SEMESTA. berbangsa kita semakin tidak terdengar, baik dibandingkan dengan aspirasi mayoritas di kalangan pemimpin, pengamat, maupun bangsa ini. rakyat kecil. Apa identitas bangsa? Apakah

  Selanjutnya bilamana kita kaji lebih lunturnya identitas berbangsa merupakan dalam, apa yang sebenarnya mendasari indikator hilangnya identitas diri (jati diri) kekerasan? kita? Sebab bukan tidak sengaja Tuhan

  (7) Saya sependapat dengan de Mello (Awareness, menciptakan kita sebagai bagian dari bangsa 1990), bahwa dibalik kekerasan adalah rasa

  Indonesia. Masing-masing diciptakan unik, takut yang mencekam pelaku kekerasan d an p uny a kesamaan sebag ai bang sa tersebut, rasa tidak berdaya mengatasi Indonesia, bukan pilihan, tetapi 'given'. ketakutannya, rasa kehilangan kepercayaan

  Barangkali perlu kita sadari bahwa wilayah diri bahwa ia dapat menemukan alternatif Indonesia diisi oleh lebih banyak air daripada so lusi bag i ketakutan, kecemasanny a. tanah. Sehingga perlu kita pertanyakan

  Paradoks sekali, mengatasai rasa takut apakah budaya keterikatan kepada tanah d eng an melakukan kekerasan, seakan perlu dimodifikasi lebih luas sampai ke air, dirinya/ pihaknya punya kelebihan tenaga, sehingga kita boleh menjadi bangsa yang juga punya kelebihan kuasa, dengan demikian terikat, melekat pada tanah air yang 'given', berharap menimbulkan rasa takut pada orang dan berarti melekat pada keberadaan kita lain. Selayaknya untuk mengatasi rasa takut dihadapan SANG PENCIPTA. ini, orang lari kepada DIA YANG MAHA

  (6) Kalau belakangan ini semakin sering kita KUASA, untuk itu agama bisa memfasilitasi diperhadapkan pada hubungan kekerasan orang untuk menemukan cara mengatasi rasa dengan agama, maka menurut kajian pada takut tersebut. Tetapi yang terjadi adalah, bagian pertama, berarti agama di masyarakat justru rasa takut ini d iatasi d eng an kita lebih berfungsi sebagai asesoris sosial melegitimasikan kekerasan atas nama agama. politik, ketimbang fungsi esensial spiritual.

  Mengapa terjadi demikian? Barangkali fungsi Dengan begitu lalu kita merasa legitimate agama yang esensial perlu lebih ditingkatkan, mempergunakan instrumen sosial politik, tetapi juga upaya mendorong umat untuk maka kita bicara tentang 'kekuasaan', melakukan internalisasi hakekat hikmah ke 'ko o rd inasi', 'keharu san', 'm ay o ritas- d alam kalbuny a p erlu d id o ro ng d an minoritas', tentang 'aspirasi umat', dan difasilitasi. seterusnya, yang kesemuanya merupakan

  (8) Dalam diskusi kita di Malino, saya pahami instrumen dalam level organisasi politik dan bahwa krisis bangsa ini masih berada dalam hukum. Kita kehilangan fungsi esensial taraf krisis moral. Saat ini saya melihatnya agama sebagai fasilitas ranah spiritual, yang lebih jauh lagi, saya kuatir kita sudah sedang berbicara tentang 'benar-salah di mata mulai berada pada krisis identitas. Kita lagi

  Tuhan', tentang 'inspirasi', 'pencerahan', bingung dengan identitas diri kita, identitas 'kesadaran bangun', 'kasih', 'amal', 'soleh', bangsa kita. Ini berarti kita perlu sekali lagi dst. berhenti melangkah kemanapun, berdiam

  Belakangan ini orang takut berbicara diri, bertanya kembali siapa jati diri kita, kita berbeda dari mayoritas, takut bersuara perlu datang kepada PENCIPTA, bertanya lantang tentang kebenaran yang seharusnya

  SIAPA kita? 'Who is the being' of us? Berhenti memberi inspirasi kepada para pemimpin, terperangkap dalam pertanyaan 'what is the bukan teng g elam d i d alam asp irasi- doing' of us. m a s y a r a k a t b a n y a k . A g a m a b i s a

  Bila kita cermati cerita-cerita tentang memfasilitasi orang-orang beriman untuk perjalanan bangsa-bangsa yang ada di Kitab secara lantang dan berani menyuarakan Suci agama-agama, ketika mereka sedang inspirasi hasil dialognya dengan SA NG kehilang an id entitas. Mereka berhenti

  PENCIPTA, kepada masyarakat, kepada para sejenak, dan pemimpinnya (yang dipilih pemimpin bangsa, meskipun suara itu minor

  interfidei new sletter Agama dan Kekerasan

  

Per l u d i car i j al an k el u ar agar f or u m an t ar i m an

d apat m em ber i i n spi r asi k epad a m asy ar ak at d ar i w ak t u k e w ak t u .

  Allah) mengajak bangsanya berpaling kepada seruan, kalau p erlu p eringatan (yang A LLA H, bermo ho n amp un d an to bat, memberi inspirasi dan bukan mencaci maki) kemudian mulai berjalan lagi mengikuti kepada para pemimpin dan siapapun yang petunjuk Ilahi. mencintai d an merasa sebagai bangsa

  Untuk keperluan itu, perlu ada manusia- Indonesia tentang keberadaan saat ini dan manusia 'supernatural', yaitu manusia yang tentang pentingnya kembali bermo ho n m au m e n y e d i ak an d i ri n y a s e b ag ai ampunan dan tobat atas segala perbuatan kita 'instrum en' TA N GA N A LLA H d alam semua di masa lalu dan bahkan masih membawa bangsa ini dari kemelut. Bangsa ini berlangsung sekarang dan berharap HANYA memerlukan perorangan atau kelompok kepada PENCIPTA dan PEMILIK serta orang yang sungguh-sungguh mau secara PENGUASA ALAM SEMESTA (termasuk khusuk datang kepadaNya berdoa dan

  INDONESIA) untuk memimpin kita keluar m e m i n takan p e rto l o n g an N y a u n tu k d ari kem elu t ini, term asu k m em ilih kelanjutan perjalanan dari bangsa ini. Bangsa pemimpin bangsa ini. ini membutuhkan pemimpin yang mau hidup (3) Forum antariman, perlu mulai mendorong ku d u s d an tu nd u k se rta taat p ad a umatnya masing-masing untuk menyediakan KEHENDAK ALLAH untuk kepentingan d an menyiapkan d iri baik pero rangan banyak orang. maupun kelompok (menurut keyakinannya masing-masing) sebagai 'instrumen' Allah,

  Saran untuk Forum Antariman

  tekun berdoa dan berdialog denganNya u n tu k b an g s a s e c ara k e s e l u ru h an , Mencermati proposal yang dikirim kepada menantikan dengan sabar dan penuh harap saya, saya kira Forum Antariman masih relevan, atas arahan (inspirasi) Allah kepadanya. hanya perlu lebih dipertajam dan lebih konkrit.

  (4) Butir-butir yang diajukan di proposal bisa A d a beberap a p ikiran y ang ing in say a ditindaklanjuti dengan lebih terinci, khusus sampaikan: mengenai pembinaan kelompok basis. Saya

  (1) Forum antariman masih akan sangat relevan ingin menyarankan agar memperhatikan kehadirannya pada moment kritis seperti pengisian proses yang berlangsung pada yang sedang terjadi di tengah bangsa i n d i v i d u u m a t d a l a m p e m b i n a a n sekarang ini, selama forum ini tidak mencoba keberagamaan. (dari persepsinya hingga membangun organisasi struktural yang 'too

  'conscience', supaya tidak hanya sampai well organized'. Sebab bila menjadi sangat 'kognisi') terorganisir, maka kita akan terjebak pada

  (5) Perlu dicari jalan keluar agar forum antariman hal-hal yang berkenaan dengan 'kekuasaan' dapat memberi inspirasi kepada masyarakat dan 'keharusan' serta 'pemaksaan' pikiran dari waktu ke waktu. Apakah lewat forum atau p u n k e h e n d ak . M e m an g u n tu k diskusi (mailing list) ataupun lewat forum menyelenggarakan apapun perlu ada derajat pertemuan seperti ini, ataukah berbagai keorganisasiannya, tetapi kiranya perlu topik, perlu dipikirkan. Agar masyarakat dijaga untuk tidak terperangkap dalam tidak hanya mendapat input dari aspirasi, organisasional bisnis. tetapi juga inspirasinya.[]

  (2) Fo rum antariman perlu mengeluarkan

  interfidei new sletter Edisi Khusus Candi Dasa

  Masihkah bisa disebut “ agama” mengecil menjadi sebuah penamaan dan ke tika ke ke rasan m e n jad i tid ak bahkan mengecil lagi menjadi masjid, terpisahkan dari agama? Sejak kapan gereja, vihara, majelis ulama, majelis “ ag am a” m em b aw a sif at c u rig a, gereja, keuskupan, partai agama atau d end am , b enci, p erm usuhan d an bahkan negara agama. Lebih kecil dari k e i n g i n a n m e m b a r a u n t u k itu agama bahkan menjadi lembaran- memusnahkan? Sejak kapan “ agama” lem b aran b end era d an lam b ang - menjadi menakutkan, menjadi pemicu lambang. Dan sejak itulah kekerasan d an p end o ro ng sem ang at untuk saling mulai menyemaikan bibitnya. meniadakan satu sama lain? Sebuah kenyataan Agama diturunkan derajatnya dan dibagi- bahwa agama mempunyai kekuatan luar biasa, bagi d alam kepingan-kepingan bangunan baik bersifat positif maupun negatif. Sejarah telah konstruksi sosial di masyarakat. “ Konstruksi membuktikan bahwa agama telah melahirkan sosial” , kira-kira dari sini kita mulai menyusuri peradaban bangsa-bangsa di muka bumi ini dan dapat memisahkan antara agama dan dengan sangat maju. Tetapi pada waktu yang kekerasan tadi. Karena itu kita harus jeli untuk sama agama juga melahirkan berbagai perisitiwa dapat memisahkan mana yang datangnya dari kekerasan dan perang antar bangsa. agama dan mana yang lahir dari konstruksi

  Agama dan kekerasan, betulkah dua kata sosial. Sering kali sesuatu yang lahir dari yang tidak dapat dipisahkan? Barangkali ini konstruksi sosial kita sakralkan sebagai sesuatu menjadi satu tema yang sangat menarik di tengah yang datangnya dari agama, bahkan seringkali maraknya kekerasan atas nama agama di konstruksi sosial itu sendiri disebut agama. Kita berbagai daerah. Tidak ada yang menyangkal lalu mencari penjelasan yang dapat menguatkan bahwa agama sesungguhnya diturunkan untuk bahwa sesungguhnya sesuatu itu ada landasan membawa kedamaian di muka bumi. Agamalah agama dan tidak terbantahkan. Begitu juga bila yang menuntun manusia agar hidup teratur. sesuatu yang datangnya dari agama dianggap Agamalah yang pertama mengenalkan hukum hanya konstruksi sosial, akan menghancurkan dan mengajarkan nilai-nilai luhur. Artinya pada nilai-nilai yang dibangun oleh agama. Konsep tingkat ini agama tid ak menjad i sebuah “ keadilan” misalnya, sesuatu yang datangnya “ masalah” bagi siapapun yang menganutnya dari agama, tidak ada yang dapat menjelaskan dengan benar, tentu saja agama tidak menjadi dengan sangat tepat tentang keadilan kecuali ancaman bagi orang lain di luar pemeluknya. agama. Kemudian konstruksi sosial dapat

  Sejak kap an agama menjad i sebuah menjelaskan keadilan lewat bahasa hukum, masalah? Pertanyaan ini tentu harus dipecahkan politik, ekonomi dan sebagainya, akhirnya bersama. Tetapi dengan tidak memberikan keadilan menjadi terbatas seluas bangunan land asan te o ri y ang ku at, m aka say a konstruksi sosial yang ada di masyarakat. memperkirakan agama akan menjadi sebuah Pelembagaan agama d engan macam “ masalah” ketika agama beranjak menjadi ragamnya seperti disebut di atas, juga harus sesuatu yang terlembagakan. Pelembagaan menjadi sebuah kritik apakah datang dari agama agama itulah yang menurut saya awal dari atau lahir dari sebuah ko nstruksi so sial? mengecilnya gagasan turunnya agama. Agama Kemampuan untuk mengkritik barangkali

  

Agama dan Kekerasan

Noorhalis M *

* Anggota Forum Dialog Kalimantan Selatan (FORLOG KALSEL) dan aktifis di Lk3 Banjarmasin. interfidei new sletter

  Agama dan Kekerasan

  interfidei new sletter Edisi Khusus Candi Dasa

  adalah sesuatu yang harus dipisahkan dari dan simbol-simbol tadi. Yang memerlukan agama dan konstruksi sosial. Memang sangat eksistensi hanyalah bentuk-bentuk yang lahir riskan karena agama sudah dikonstruksikan dari konstruksi sosial, karena konstruksi sosial untuk anti kritik. Mengkritik agama adalah bukan sesuatu yang abadi. Sedangkan agama kemurtadan mutlak yang tiada ampun. Tetapi bersifat abadi maka eksistensi tidak diperlukan karena agama harus dimurnikan dari “ fitnah oleh sesuatu yang bersifat abadi. Agama tidak kekerasan” maka kritik untuk memilah antara m e n g e n a l m u s u h d a n t i d a k p e r n a h agama dan konstruksi sosial menjadi sebuah merekomendasikan ekspansi. keharusan. Dengan demikian kita juga dapat Agamanya sendiri masih murni dengan meninjau ulang kronologi terjadinya berbagai segala gagasan dan nilai luhur yang tidak cukup kekerasan yang mengikutsertakan agama untuk diterjemahkan dalam bahasa dan budaya bersama nama lain yang disandarkan kepadanya. manusia. Agama menjadi terbatas maknanya M em b erikan kritik terhad ap b ang u nan karena harus masuk dalam kebudayaan manusia. ko nstruksi so sial tid ak bermaksud untuk Agama harus terurai dalam kebudayaan manusia menghancurkan pelembagaan keagamaan yang y ang terb atas. Selanju tny a keb u d ay aan sudah ada. Karena kalau itu dilakukan maka melahirkan apa yang disebut dengan bahasa. kritik untuk menemukan “ agama” juga akan Pad ahal bahasa ad alah bagian kecil d ari melahirkan kekerasan baru yang jauh dari konstruksi sosial yang dilahirkan manusia. agama. Kritik dimaksudkan untuk menemukan Akhirnya pada tingkat seperti ini “ agama” substansi dari semua kekerasan yang telah mungkin bisa salah, bisa tidak sempurna, karena menyeret agama pada kenistaan dan kehinaan bahasa. Budaya dan konstruksi sosial itu sendiri yang tiada tara. tid ak mampu secara utuh menerima d an