Kepemimpinan Efektif dan Tidak Efektif
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Kepemimpinan Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang
tidak hanya saling terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain.
Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada
meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu ketahanan nasional yang mantap
pada sisi lain akan makin memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa.
Sebaliknya, tanpa kepemimpinan yang baik dalam pengelolaan sebuah negara,
terutama Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis dengan kondisi geografis
wilayah negara yang berbentuk kepulauan, negeri ini amat rentan terhadap
guncangan sosial dan politik yang dapat berujung kepada perpecahan dan
disintegrasi bangsa. Ketahanan nasional yang tinggi juga berpengaruh kuat
terhadap terwujudnya kepemimpinan nasional yang kuat, dapat menjalankan
fungsi-fungsi kepemimpinan secara efektif dalam mengelola pemerintahan
negara. Keduanya, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya, saling mendukung dan saling terimbas. Sejak kemerdekaan
Indonesia, 17 Agustus 1945 hingga saat ini, rezim pemerintahan negara telah
berganti beberapa kali, yang dapat dikelompokan dalam tiga fase atau orde. Setiap
penguasa dengan episode-nya masing-masing memiliki karakteristik dan gaya
pemerintahan yang unik dan berbeda. Orde Lama yang dikomandani Presiden
1
Republik
Indonesia
pertama,
Ir.
Soekarno,
dengan
pola
pemerintahan
nasionalistik-universal yang didasari oleh suasana batin penolakan imprealismekolonialisme (gaya lama maupun gaya baru, neokolonialisme) cukup berhasil
menyatukan bangsa Indonesia dalam sebuah negara dan menciptakan ketahanan
nasional yang cukup baik. Bahkan, pada saat Indonesia masih sangat belia itu,
Soekarno dengan gemilang merebut dan mempertahankan Irian Barat berintegrasi
ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika jalan sejarah tidak berubah
yang dipicu oleh tragedi politik berdarah di tahun 1965, beberapa bagian wilayah
lainnya di seputaran nusantara, seperti Serawak di utara Kalimantan, TimorTimur, bahkan Papua Nugini dan Semenanjung Malaysia dapat ditaklukan untuk
diintegrasikan kedalam wilayah Indonesia dan menjadikannya bagian integral
bangsa Indonesia oleh penguasa saat itu. Masa pemerintahan Soekarno tidaklah
luput dari berbagai persoalan dan rongrongan yang mengarah kepada bubarnya
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI).
Pemberontakan
demi
pemberontakan terjadi di beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Upaya pecah-belah negara yang baru terbentuk inipun juga telah dilakukan secara
“legal” melalui pembentukan negara-negara kecil di nusantara yang menyatu
dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil perundingan Konferensi
Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Namun, kepemimpinan Orde Lama dengan
gaya khas seorang orator dan diplomat ulung, Soekarno dapat dipandang berhasil
mempertahankan keutuhan NKRI melalui berbagai langkah strategis, baik
kedalam negeri maupun ke tataran diplomasi internasional. Kondisi ketahanan
nasional tetap terjaga hingga kepada pergantian rezim di tahun 1966/67. Era Orde
2
Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang lain belalang, lain lubuk
lain ikannya.
Demikian juga terjadi dalam dunia pemerintahan negara Indonesia. Orde
Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden
Republik Indonesia
kedua, muncul dengan
slogan barunya:
“bertekad
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”. Kalimat
sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh lapisan masyarakat
yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan konstitusi dan
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam kehidupan
bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara. Setidaknya, melalui
sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan dan kesatuan antar elemen
masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa dapat lebih kuat sehingga
mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk sementara waktu. Langkah
pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah secara
signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin kuat di
antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran antar
suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat
perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada
gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia. Program
transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis
Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga menjadi
salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto
3
dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan
ketahanan nasional.
Dalam mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan Orde
Baru lebih mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui berbagai strategi
yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak
kriminalitas dan premanisme, pimpinan nasional saat itu menerapkan pola
penghilangan paksa ala militer melalui satuan khusus bawah tanah, petrus
(penembak misterius) yang menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan
Kopkamtib (Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan
Kantor Sosial Politik di daerah-daerah menjadi alat “pengamanan” yang
difungsikan tidak hanya sebagai strategi preventif-represif tapi juga sebagai
komponen petugas penindakan dan recovery terhadap tindakan yang mengarah
kepada pengancaman ketahanan nasional. Di masa Orde Baru, tingkat stabilitas
ketahanan nasional dikategorikan sangat mantap. Orde Baru harus berakhir,
digantikan dengan Orde Reformasi sejak 1998 dan masih berjalan hingga saat ini.
Pada kurun waktu 13 tahun masa Reformasi ini, telah muncul silih berganti 4
presiden di republik ini, Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid,
Megawati Soekarnoputra, dan Susilo Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya
dengan ketahanan nasional, buah pahit era Orde Reformasi berupa lepasnya
Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu gubernurnya Abilio Soares adalah
alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau, Sipadan dan Ligitan ke
wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan cerminan awal lemahnya
kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan mendasar yang perlu
4
direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan kepemimpinan
nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional
dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain,
bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap
peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik
untuk dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak
bangsa,
teristimewa
para
pemimpin
nasional,
dalam
mencari
formula
kepemimpinan nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang.
B. Tujuan Penulis
Makalah ini kami susun selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Pancasila , juga kami memiliki tujuan agar dapat membantu menambah referensi
mengenai sistem hukum yang ada diindonesia
C. Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode daftar pustaka.
Dimana metode ini kami pilih untuk bahan sumber serta pedoman untuk kami dalam
menyusun makalah ini.
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah :
Yaitu membahas tentang “upaya menciptakan kepemimpinan nasional yang demokratis
kuat dan efektif”
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan selalu menarik untuk dibahas. Teori yang menelaah tentang
diskursus ini juga terus berkembang dan berevolusi. Dimulai dari topik
kepemimpinan yang dikarenakan sifat-sifat yang telah dimiliki sejak lahir, gayagaya kepemimpinan, dan pembahasan tipe kepemimpinan yang sesuai dengan
situasi-situasi tertentu, hingga ke pokok bahasan kepemimpinan yang dilihat dari
bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain dan mampu membawa pengikutnya
menghadapi perubahan dan berubah (Bolden et al., 2003). Secara umum,
disepakati bersama bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan,
keterampilan, dapat menganalisa informasi secara mendalam untuk mengambil
suatu keputusan yang tepat, dia juga harus bisa melibatkan pihak-pihak yang tepat
dalam proses pengambilan keputusan. Seorang pemimpin yang efektif adalah
seseorang yang dapat menciptakan situasi yang menginspirasi para pengikutnya
agar mencapai tujuan yang lebih baik dan lebih tinggi lagi dari keadaan sekarang.
Pada kenyataannya seorang pemimpin yang efektif adalah orang yang mampu
membaca
situasi,
mengatasi
permasalahan,
bertanggung-jawab,
mau
mengembangkan pengikutnya dan yang terpenting memiliki integritas dan etika
yang baik, karena dia harus memberikan contoh atau bertindak sebagai panutan
bagi pengikutnya.Banyak pemikiran bermunculan mewarnai teori kepemimpinan,
6
dan terus berkembang hingga sekarang. Berikut adalah perkembangannya mulai
dari Great Man Theories, Trait Theories, Behaviourist Theories, Situational
Leadership, Contingency Theory, dan Transactional Theory sampai dengan
Transformational Theory atau kepemimpinan transformasional (Bolden et al.
(2003). Transformational theory sebagai pendekatan yang paling terakhir
berkembang,
dimulai
oleh
James
MacGregor
Burns
dengan
bukunya
‘Leadership’. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional adalah suatu
hubungan yang bersifat mutual dan menuju kearah peningkatan yang bisa
merubah pengikut menjadi pemimpin dan dapat merubah pemimpin menjadi agen
moral. Lebih lanjut Burns menyatakan kepemimpinan transformasional terjadi
ketika satu orang atau lebih saling berinteraksi dimana mereka saling
mempengaruhi sehingga baik si pemimpin dan sang pengikut mencapai tingkat
motivasi dan moral yang lebih tinggi.
1.
Kepemimpinan Transaksional dan Transfomasional
Pengembangan lebih lanjut oleh Stephen Covey (1992) dalam bukunya
‘Principle-Centred
Leadership’
menyatakan
perbedaan
antara
pemimpin
transaksional dan pemimpin transformasional sebagai berikut:
Kepemimpinan Transaksional:
- Berdasarkan keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan;
- Dimulai dengan kekuatan, posisi dan politik;
7
- Berdasarkan kejadian sehari-hari;
- Pencapaian tujuan jangka pendek dan orientasi pada data yang nyata;
- Fokus pada masalah taktis;
- Mengandalkan hubungan yang baik untuk interaksi antar sesama;
- Memenuhi peran yang diharapkan melalui kerja yang efektif sesuai dengan
system; dan
- Mendukung sistem dan struktur yang menghasilkan dan memaksimalkan
efisiensi dan menjamin keuntungan dalam jangka pendek.
Kepemimpinan Transformasional:
- Berdasarkan kebutuhan seseorang untuk suatu arti;
- Dimulai dengan tujuan dan nilai-nilai, moral dan etika;
- Lebih dari (diatas) kejadian sehari-hari;
- Pencapaian tujuan jangka panjang tanpa mengkompromikan nilai-nilai dan
prinsip;
- Fokus pada misi dan strategi;
- Mengarahkan potensi; identifikasi dan pengembangan sumber daya;
8
- Mendesain dan me-re-desain pekerjaan supaya menjadi lebih berarti dan
menantang; dan
- Menyesuaikan struktur dan sistem internal untuk pencapaian nilai dan tujuan.
Covey menyatakan bahwa kedua tipe kepemimpinan di atas dibutuhkan.
Kepemimpinan transaksional diperlukan sebagai model bagi banyak orang dan
untuk organisasi yang stabil dan tidak memerlukan perubahan; sedangkan
kepemimpinan transformasional diperlukan untuk menghadapi dan memfasilitasi
perubahan (Bolden et al., 2003). Pada 1994, Bass dan avolio menyatakan bahwa
pemimpin transformasional menunjukkan perilaku-perilaku yang berasosiasi
dengan 5 gaya transformasi, yakni: Ideal Behaviour yang berpegang teguh pada
idealism sang pemimpin; Inspirational Motivation, yang selalu menginspirasi
orang lain; Intellectual Stimulation, yang senantiasa menstimulai orang lain;
Individualized Consideration, yang berupaya melatih dan membangun orang lain;
dan Idealized Attributes, yang menghargai, mempercayai dan meyakinkan orang
lai. Kepemimpinan transformasional bersifat proaktif dalam berbagai macam dan
caranya yang unik. Para pemimpin ini berusaha untuk mengoptimasikan
pengembangan dan tidak hanya fokus pada kinerja saja, mereka juga mendorong
rekan-rekannya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi termasuk juga pada
peningkatan standar moral dan etika. Melalui pengembangan rekan-rekannya
mereka yakin organisasinya juga akan otomatis berkembang.
9
2 . Kepemimpinan Efektif dan Tidak Efektif
Pengembangan lebih lanjut dari teori kepemimpinan transformasional adalah
oleh Hooper dan Potter (1997) yang mengidentifikasi tujuh kompetensi inti dari
‘transcendent leaders”; yaitu pemimpin yang mampu mengikat dukungan emosi
dari para pengikutnya dan mampu dengan efektif melakukan perubahan yang
transenden (Bolden et al., 2003): Menentukan tujuan, Memberikan contoh,
Komunikasi, Melakukan harmonisasi, Mengeluarkan kemampuan terbaik dari
pengikutnya, Menjadi agen perubahan, Memberikan keputusan di saat kritis dan
kebingungan. Hamlin (2002) dalam Bolden et al,. 2003 mengajukan model
generik untuk manajer dan kepemimpinan yang efektif berdasarkan analisa peta
perilaku kepemimpinan dan manajemen di 4 organisasi sektor publik di UK; yang
dibedakan menjadi indikator-indikator positif dan negatif:
Indikator Positif, meliputi:
1. Kemampuan berorganisasi yang efektif dan manajemen perencanaan;
2. Kepemimpinan partisipatif dan supportif, kepemimpinan tim proaktif;
3. Empowerment dan delegasi;
4. Memperhatikan keadaan, kebutuhan, dan perkembangan anggota;
5. Manajemen pendekatan terbuka dan personal; dan
10
6. Berkomunikasi dan berkonsultasi dengan semua pihak.
Indikator Negatif, meliputi:
1. Tidak memperhatikan pendapat sekitar (manajemen otokratik);
2. Tidak
memperhatikan
orang
lain,
tidak
melayani,
berperilaku
mengintimidasi;
3. Membiarkan kinerja yang buruk dan standar yang rendah;
4. Menyerahkan peran dan tanggungjawabnya ke orang lain; dan
5. Menolak ide-ide baru.
Hamlin (2007) mendapatkan hasil yang mirip untuk kepemimpinan yang efektif,
yakni:
Perilaku Positif (kepemimpinan efektif), meliputi:
- Menunjukkan perhatian kepada orang lain (rakyat), merespon terhadap
kebutuhan mereka;
- Berkonsultasi dan melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan;
- Melakukan pertemuan dan komunikasi regular dengan seluruh elemen terkait
untuk penentuan target, tujuan, pembagian tugas dan penilaian kinerja;
- Menghadapi permasalahan dengan penuh tanggung-jawab;
11
- Mendorong semua pihak (sektor swasta dan masyarakat) untuk bertindak dan
bekerja atas inisiatifnya masing-masing;
- Mengakui kerja keras dan komitmen orang lain;
- Menggunakan informasi, pengetahuan dan pengalaman secara efektif untuk
pengambilan keputusan;
- Manajemen perencanaan proyek yang efektif;
- Mencari cara peningkatan berkelanjutan di atas segala permasalahan dan
hambatan yang ada;
- Selalu siap menghadapi permasalahan yang sulit dan sensitif;
- Menunjukkan semangat dan antusiasme yang tinggi;
- Menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah
dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel;
- Gaya komunikasi yang langsung, terbuka, jujur;
- Mendidik, melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai
dengan pengalaman dan potensinya;
- Menunjukkan perilaku yang patut dicontoh; dan
- Mempertimbangkan akibat sebelum bertindak.
12
Perilaku Negatif (kepemimpinan tidak efektif), meliputi:
- Tidak menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap orang lain (rakyat) dan
tidak menghargai sumbangsih kerja mereka;
- Tidak melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan;
- Tidak bertanggung jawab, merasa memiliki atau akuntabel;
- Reaktif, fokus pada hal kecil bukan pada keseluruhan permasalahan;
- Membatalkan atau mengatur ulang rapat pada saat-saat terakhir;
- Bersikap emosional, irasional dan temperamental;
- Komunikasi yang tidak jelas atau membingungkan;
- Tidak berkomunikasi atau menguasai perubahan secara efektif;
- Gagal mencapai persetujuan atau mengklarifikasi harapan;
- Menunjukkan keengganan untuk berhadapan dengan konflik;
- Menunjukkan ketidakterbukaan dan fokus pada halangan-halangan;
- Membiarkan standar dan kinerja yang rendah; dan
- Persiapan atau perencanaan yang kurang.
3 . Kepemimpinan Nasional di Era Reformasi
13
Negara Indonesia dibentuk dalam kerangka mencapai tujuan nasional
Indonesia Merdeka yakni sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu: melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Hal tersebut tentunya harus dimaknai bahwa keberhasilan bangsa Indonesia
sebagai suatu negara akan diukur dari seberapa jauh tingkat kemampuan
Pemerintah bersama rakyatnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,
aman, adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengorganisasian
seluruh rakyat dan segala sumber daya yang tersedia amat penting dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Dalam hal pengelolaan organisasi negara inilah, faktor
kepemimpinan nasional amat menentukan.
Empatbelas tahun hampir tuntas sudah Indonesia menjalani babak baru
pasca Orde Baru, yang kita sebut Orde Reformasi. Perubahan demi perubahan
menjadi fenomena bangsa kita sejak kejatuhan Soeharto hingga memasuki masa
tujuh-delapan tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.
Pada kurun waktu empatbelas tahun itu sesungguhnya rakyat sudah semestinya
dapat menikmati hasil dari perubahan yang menjadi tuntutan jutaan mahasiswa
dan masyarakat di akhir rezim Orde Baru tiga-belasan lalu. Namun, kenyataan
mengindikasikan seakan-akan pemerintah Indonesia belum mampu membawa
rakyatnya kepada kondisi yang diidamkan tersebut. Berbagai kasus yang terjadi
silih berganti di hampir seluruh pelosok tanah air menjadi pertanda bahwa tujuan
14
negara sebagaimana tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945
belum tercapai, bahkan seakan tiada akan terwujud.
Irman Gusman mencatat bahwa belakangan ini terdapat berbagai
persoalan yang menjadi menu keseharian rakyat Indonesia, mulai dari masalah
makelar kasus, manipulasi pertanahan dan kisruh agraria di mana-mana,
penegakan hukum yang hanya berpihak kepada kelompok tertentu, hingga
penggelapan pajak triliunan rupiah adalah cerita miris yang menghimpit setiap
nurani kita. Masih banyak kisah pilu lainnya yang mendera bangsa ini.
Pemandangan penggusuran paksa, konflik-konflik bernuansa SARA, tawuran
antar desa, antar sekolah, antar kampus, antar komunitas hingga ke persoalan
separitisme Organisasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan lain-lain,
masih menghiasi layar media massa kita hari-hari ini. Di lain waktu kita juga
disugihi informasi tentang hingar-bingarnya pola hidup hedonis-materialistis dari
sebagian masyarakat di tataran elit yang lebih beruntung nasibnya secara materil
dari kebanyakan rakyat di negara ini. Belum lagi jika kita lihat secara vulgar
strategi berpolitik para elit politik bangsa yang hampir seluruhnya menerapkan
pola politik uang, sebuah kehidupan politik yang oleh sebagian pihak
menyebutnya sebagai sistem penerapan demokrasi yang tidak manusiawi. Negeri
ini sedang mengalami kerapuhan di segala bidang yang menjurus kepada
perpecahan dan disintegrasi bangsa. (Irman Gusman, 2011).
Badan dan institusi negara bermunculan dibentuk pemerintah yang
ditujukan untuk memperlancar penuntasan masalah dan berbagai persoalan
15
kebangsaan dan kenegaraan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Komisi
Pemberantasan Korupsi misalnya, diadakan sejak pemerintahan Presiden
Megawati Sukarno Putri untuk menangani perkara korupsi yang dikategorikan
sebagai the extra-ordinary crime, yang telah menggurita secara luar biasa di
berbagai lapisan masyarakat kita. Sebagaimana yang diketahui bersama, hingga
saat ini KPK belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite
partai politik, pejabat tinggi negara, maupun birokrat. Pada tataran yang lebih
penting, mendesak, dan amat fundamental bagi rakyat, yakni menyangkut
kehidupan sehari-hari rakyat, terlihat bahwa pemerintah masih kesulitan
mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin hari semakin
membumbung tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Pangan seakan menjadi
barang langka dan sulit diakses oleh masyarakat. Ketahanan pangan menjadi
pertaruhan bagi kelangsungan hidup rakyat, yang sekaligus juga menjadi salah
satu indikator penentu kuat-lemahnya ketahanan nasional Indonesia.
4. Ketahanan Nasional dan Efektivitas Kepemimpinan Nasional
Ketahanan Nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia
yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan
dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan
dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin
identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan
mencapai tujuan nasionalnya. Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah
16
keuletan
dan
ketangguhan
bangsa
yang
mengandung
kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup
bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Pendekatan yang semestinya
ditempuh para pemimpin nasional dalam meningkatkan dan mempertahankan
ketahanan nasional adalah dengan kebijakan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat
melalui pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi,
pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat, serta kesehatan dan keamaan umum.
Pada kondisi terpenuhinya hajat hidup orang banyak dengan mudah dan tersedia
terjangkau setiap saat di semua tempat di nusantara, maka nasionalisme bangsa
akan semakin menguat yang selanjutnya akan menjadi modal terbesar dalam
mengeliminir keinginan disintegrasi bangsa. Bercermin dari kondisi nyata di
masyarakat Indonesia saat ini sebagaimana telah dituliskan di atas, dikaitkan
dengan teori efektivitas kepemimpinan yang diuraikan di awal tadi, maka dengan
sangat jelas terlihat bahwa pelaksanaan amanah rakyat oleh para pemimpin
nasional, mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah, dapat dikategorikan
belum mencapai efektivitas yang baik. Sikap dan perilaku kepemimpinan nasional
yang kurang menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap rakyat kecil dan
termarginalkan oleh sistem kapitalisme, pendidikan yang dibiayai oleh 20%
APBN namun semakin tidak terjangkau oleh rakyat pinggiran, akses kesehatan
yang mahal, serta harga bahan pokok kebutuhan sehari-hari yang amat
menyengsarakan karena tidak mampu dikendalikan oleh pemerintah, merupakan
sebagian dari contoh potret ketidak-efektifan kepemimpinan nasional. Kurangnya
komunikasi dan sinergitas antar elemen dalam sistem manajemen pemerintahan
17
nasional yang mengindikasikan ketidak-terlibatan pihak-pihak terkait dalam
pengambilan keputusan, yang pada intinya adalah penghindaran atas sikap
bertanggung jawab terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan serta
egoisme sektoral, juga menjadi contoh lainnya dari kurang efektifnya
kepemimpinan nasional Indonesia. Sikap emosional, irasional dan perilaku
temperamental sering menjadi tontonan “unik” yang diperlihatkan para pemimpin
nasional di negeri ini. Hal tersebut berdampak kepada munculnya komunikasi
yang tidak jelas dan membingungkan sehingga bermuara kepada gagalnya
pencapaian kesepahaman dan kesepakatan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Selain itu, seringnya pemimpin nasional menunjukkan keengganan untuk
menghadapi perbedaan pendapat, apalagi konflik, dan bersikap tertutup terhadap
kinerja pelayanan publik yang sudah dilaksanakan, mencerminkan ketidakmampuan kepemimpinan nasional menjalankan fungsinya sebagai pemimpin
nasional. Tambahan lagi, ketidak-becusan para pimpinan nasional untuk
memperbaiki dan meningkatkan standar dan kinerja pemerintahan dalam melayani
rakyat yang diakibatkan oleh ketidak-siapan menjadi pemimpin nasional serta
perencaan yang kurang matang sebagai dampak sistim rekrutmen pemimpin
melalui politik transaksional, menjadikan efektivitas kepemimpinan nasional
bertambah buruk.
B . Kondisi Ideal dan Upaya
Kondisi-kondisi kepempimpinan seperti ini sesungguhnya amat rawan
bagi pencapaian tingkat ketahanan nasional yang baik serta mempertahankannya.
18
Oleh karena itu, tidak heran jika keinginan melepaskan diri dari NKRI akan tetap
subur di tengah masyakarat Indonesia, khususnya bagi mereka yang secara
ekonomi-politik termarginalkan. Kasus-kasus perbatasan dan gerakan-gerakan
disintegrasi di beberapa wilayah dan di kota-kota – semisal NII, JI, Papua
Merdeka, dan sebagainya – adalah sedikit contoh dari fenomena nyata di depan
mata saat ini. Jika pola kepemimpinan nasional yang kurang efektif ini tidak
diperbaiki dengan segera, bukan tidak mungkin kondisi tersebut akan
dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan baik di dalam negeri maupun luar
negeri untuk memporak-porandakan keutuhan NKRI.
Memimpin dan mengelola Indonesia itu tidak mudah, namun tidak juga
sulit. Rakyat pada hakekatnya hanya butuh tiga hal utama dalam hidupnya di
negeri yang subur-makmur ini: kesejahteraan (ekonomi-sosial), kesehatan, dan
pendidikan. Jika kepemimpinan nasional mampu menyediakan pelayanan kepada
rakyat dan fokus pada tiga masalah pokok tersebut, maka akan berdampak kepada
semakin tingginya tingkat cinta tanah air dan rela berkorban demi NKRI dari
bangsa di seluruh pelosok tanah air, yang tentunya berkorelasi langsung dengan
peningkatan dan stabilitas ketahanan nasional. Bagaimana hal ini bisa dilakukan?
Para pemimpin nasional perlu menunjukkan perhatian sungguh-sungguh terhadap
kebutuhan rakyatnya, selalu berkonsultasi dan melibatkan semua pihak terkait
dalam pengambilan keputusan melalui sebuah sinergitas dan komunikasi yang
baik antar elemen, serta siap senantiasa menghadapi permasalahan dengan penuh
tanggung-jawab. Pemimpin nasional juga harus mendorong semua pihak (sektor
swasta dan masyarakat) untuk terlibat dan bekerja atas inisiatifnya masing-masing
19
dalam gerak-dinamis pembangunan bangsa, memberi penghargaan atas hasil
karya dan kerja keras yang sudah dilakukan, serta memelihara komitmen terhadap
konsekwensi sebagai pemimpin nasional. Penting sekali juga untuk senantiasa
mengupayakan peningkatan kinerja kepemimpinan nasional, baik untuk diri
sendiri sang pemimpin maupun untuk kinerja organisasi (termasuk sub sistem)
bangsa dan negara yang dipimpinnya. Hal itu akan memberikan dorongan yang
kuat tidak hanya bagi pencapaian tujuan negara dengan lebih cepat tetapi juga
dengan hasil yang berkualitas tinggi.
Sifat jujur, terbuka, dan komunikasi langsung apa adanya, merupakan
beberapa karakter yang harus dimiliki oleh kepemimpinan nasional yang efektif
dan efisien dalam berbagai hal. Memelihara semangat yang tinggi, dan kegemaran
untuk menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah
dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel, adalah dua unsur penting
yang perlu dibudayakan oleh kepemimpinan nasional. Pada lingkup masingmasing, pemimpin nasional perlu mengimplementasikan kegiatan mendidik,
melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai dengan
pengalaman dan potensi mereka, yang tentu saja tidak perlu dengan ceramah
teoritis belaka namun terpenting menunjukkan perilaku yang patut dicontoh.
Senantiasa mempertimbangkan akibat sebelum bertindak adalah salah satu kata
kunci penting bagi kesuksesan kepemimpinan nasional di setiap masa.
20
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Memantapkan ketahanan nasional merupakan salah satu prioritas utama
dalam pembangunan, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi semua negara di
dunia ini. Hal tersebut terutama disebabkan oleh satu prinsip pokok bahwa tanpa
ketahanan nasional, suatu negara akan menghadapi situasi sulit, yakni distegrasi
bangsa. Untuk mencapai tingkat ketahanan nasional yang memadai, sekaligus
mempertahankan
stabilitas
ketahanan
nasional
tersebut
dibutuhkan
kepempimpinan nasional yang kuat dan efektif. Kepemimpinan Nasional dan
Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang tidak hanya saling terkait tapi juga
saling mempengaruhi satu sama lain. Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu
sisi akan berdampak kepada meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu
ketahanan nasional yang mantap pada sisi lain akan makin memperkokoh
kepemimpinan nasional suatu bangsa. Berdasarkan fenomena lapangan yang ada
di masyarakat, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan nasional di era reformasi ini
relatif kurang efektif dikaitkan dengan peningkatan ketahanan nasional. Hal itu
21
dapat terlihat dari masih adanya dinamika disintegrasi yang muncul akibat masih
tingginya angka kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan di masyarakat
Indonesia.
2. Saran
Untuk mengantisipasi kondisi yang lebih buruk terhadap ketahanan
nasional Indonesia, disarankan agar dilakukan revitalisasi sistem kepemimpinan
nasional yang baik dengan sinergitas dan komunikasi-koordinatif antar semua
elemen bangsa, serta perlunya pendidikan karakter kepemimpinan nasional yang
efektif bagi para pemimpin dan calon pemimpin nasional.
22
Daftar Pustaka
Bolden, R., Gosling, J., Marturano, A. and Dennison, P. 2003. A Review of
Leadership Theory and Competency Frameworks. Centre for Leadership Studies,
University of Exeter. UK.
Hamlin, R. 2007. Developing effective leadership behaviours: the value of
evidence based management. Business Leadership Review IV:IV October 2007,
UK
Irman Gusman, 2011, Dokumen Pidato dan Orasi Ilmiah ketua DPD-RI Tahun
2011.
Lemhannas, 2012, Buku Modul Bidang Studi Ketahanan Nasional.
Lemhannas, 2012, Buku Modul Bidang Studi Kepemimpinan Nasional.
23
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Kepemimpinan Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang
tidak hanya saling terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain.
Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada
meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu ketahanan nasional yang mantap
pada sisi lain akan makin memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa.
Sebaliknya, tanpa kepemimpinan yang baik dalam pengelolaan sebuah negara,
terutama Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis dengan kondisi geografis
wilayah negara yang berbentuk kepulauan, negeri ini amat rentan terhadap
guncangan sosial dan politik yang dapat berujung kepada perpecahan dan
disintegrasi bangsa. Ketahanan nasional yang tinggi juga berpengaruh kuat
terhadap terwujudnya kepemimpinan nasional yang kuat, dapat menjalankan
fungsi-fungsi kepemimpinan secara efektif dalam mengelola pemerintahan
negara. Keduanya, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya, saling mendukung dan saling terimbas. Sejak kemerdekaan
Indonesia, 17 Agustus 1945 hingga saat ini, rezim pemerintahan negara telah
berganti beberapa kali, yang dapat dikelompokan dalam tiga fase atau orde. Setiap
penguasa dengan episode-nya masing-masing memiliki karakteristik dan gaya
pemerintahan yang unik dan berbeda. Orde Lama yang dikomandani Presiden
1
Republik
Indonesia
pertama,
Ir.
Soekarno,
dengan
pola
pemerintahan
nasionalistik-universal yang didasari oleh suasana batin penolakan imprealismekolonialisme (gaya lama maupun gaya baru, neokolonialisme) cukup berhasil
menyatukan bangsa Indonesia dalam sebuah negara dan menciptakan ketahanan
nasional yang cukup baik. Bahkan, pada saat Indonesia masih sangat belia itu,
Soekarno dengan gemilang merebut dan mempertahankan Irian Barat berintegrasi
ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika jalan sejarah tidak berubah
yang dipicu oleh tragedi politik berdarah di tahun 1965, beberapa bagian wilayah
lainnya di seputaran nusantara, seperti Serawak di utara Kalimantan, TimorTimur, bahkan Papua Nugini dan Semenanjung Malaysia dapat ditaklukan untuk
diintegrasikan kedalam wilayah Indonesia dan menjadikannya bagian integral
bangsa Indonesia oleh penguasa saat itu. Masa pemerintahan Soekarno tidaklah
luput dari berbagai persoalan dan rongrongan yang mengarah kepada bubarnya
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI).
Pemberontakan
demi
pemberontakan terjadi di beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Upaya pecah-belah negara yang baru terbentuk inipun juga telah dilakukan secara
“legal” melalui pembentukan negara-negara kecil di nusantara yang menyatu
dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil perundingan Konferensi
Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Namun, kepemimpinan Orde Lama dengan
gaya khas seorang orator dan diplomat ulung, Soekarno dapat dipandang berhasil
mempertahankan keutuhan NKRI melalui berbagai langkah strategis, baik
kedalam negeri maupun ke tataran diplomasi internasional. Kondisi ketahanan
nasional tetap terjaga hingga kepada pergantian rezim di tahun 1966/67. Era Orde
2
Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang lain belalang, lain lubuk
lain ikannya.
Demikian juga terjadi dalam dunia pemerintahan negara Indonesia. Orde
Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden
Republik Indonesia
kedua, muncul dengan
slogan barunya:
“bertekad
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen”. Kalimat
sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh lapisan masyarakat
yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan konstitusi dan
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam kehidupan
bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara. Setidaknya, melalui
sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan dan kesatuan antar elemen
masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa dapat lebih kuat sehingga
mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk sementara waktu. Langkah
pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah secara
signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin kuat di
antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran antar
suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat
perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada
gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia. Program
transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis
Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga menjadi
salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto
3
dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan
ketahanan nasional.
Dalam mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan Orde
Baru lebih mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui berbagai strategi
yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak
kriminalitas dan premanisme, pimpinan nasional saat itu menerapkan pola
penghilangan paksa ala militer melalui satuan khusus bawah tanah, petrus
(penembak misterius) yang menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan
Kopkamtib (Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan
Kantor Sosial Politik di daerah-daerah menjadi alat “pengamanan” yang
difungsikan tidak hanya sebagai strategi preventif-represif tapi juga sebagai
komponen petugas penindakan dan recovery terhadap tindakan yang mengarah
kepada pengancaman ketahanan nasional. Di masa Orde Baru, tingkat stabilitas
ketahanan nasional dikategorikan sangat mantap. Orde Baru harus berakhir,
digantikan dengan Orde Reformasi sejak 1998 dan masih berjalan hingga saat ini.
Pada kurun waktu 13 tahun masa Reformasi ini, telah muncul silih berganti 4
presiden di republik ini, Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid,
Megawati Soekarnoputra, dan Susilo Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya
dengan ketahanan nasional, buah pahit era Orde Reformasi berupa lepasnya
Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu gubernurnya Abilio Soares adalah
alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau, Sipadan dan Ligitan ke
wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan cerminan awal lemahnya
kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan mendasar yang perlu
4
direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan kepemimpinan
nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan nasional
dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain,
bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap
peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik
untuk dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak
bangsa,
teristimewa
para
pemimpin
nasional,
dalam
mencari
formula
kepemimpinan nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang.
B. Tujuan Penulis
Makalah ini kami susun selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Pancasila , juga kami memiliki tujuan agar dapat membantu menambah referensi
mengenai sistem hukum yang ada diindonesia
C. Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode daftar pustaka.
Dimana metode ini kami pilih untuk bahan sumber serta pedoman untuk kami dalam
menyusun makalah ini.
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah :
Yaitu membahas tentang “upaya menciptakan kepemimpinan nasional yang demokratis
kuat dan efektif”
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan selalu menarik untuk dibahas. Teori yang menelaah tentang
diskursus ini juga terus berkembang dan berevolusi. Dimulai dari topik
kepemimpinan yang dikarenakan sifat-sifat yang telah dimiliki sejak lahir, gayagaya kepemimpinan, dan pembahasan tipe kepemimpinan yang sesuai dengan
situasi-situasi tertentu, hingga ke pokok bahasan kepemimpinan yang dilihat dari
bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain dan mampu membawa pengikutnya
menghadapi perubahan dan berubah (Bolden et al., 2003). Secara umum,
disepakati bersama bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan,
keterampilan, dapat menganalisa informasi secara mendalam untuk mengambil
suatu keputusan yang tepat, dia juga harus bisa melibatkan pihak-pihak yang tepat
dalam proses pengambilan keputusan. Seorang pemimpin yang efektif adalah
seseorang yang dapat menciptakan situasi yang menginspirasi para pengikutnya
agar mencapai tujuan yang lebih baik dan lebih tinggi lagi dari keadaan sekarang.
Pada kenyataannya seorang pemimpin yang efektif adalah orang yang mampu
membaca
situasi,
mengatasi
permasalahan,
bertanggung-jawab,
mau
mengembangkan pengikutnya dan yang terpenting memiliki integritas dan etika
yang baik, karena dia harus memberikan contoh atau bertindak sebagai panutan
bagi pengikutnya.Banyak pemikiran bermunculan mewarnai teori kepemimpinan,
6
dan terus berkembang hingga sekarang. Berikut adalah perkembangannya mulai
dari Great Man Theories, Trait Theories, Behaviourist Theories, Situational
Leadership, Contingency Theory, dan Transactional Theory sampai dengan
Transformational Theory atau kepemimpinan transformasional (Bolden et al.
(2003). Transformational theory sebagai pendekatan yang paling terakhir
berkembang,
dimulai
oleh
James
MacGregor
Burns
dengan
bukunya
‘Leadership’. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional adalah suatu
hubungan yang bersifat mutual dan menuju kearah peningkatan yang bisa
merubah pengikut menjadi pemimpin dan dapat merubah pemimpin menjadi agen
moral. Lebih lanjut Burns menyatakan kepemimpinan transformasional terjadi
ketika satu orang atau lebih saling berinteraksi dimana mereka saling
mempengaruhi sehingga baik si pemimpin dan sang pengikut mencapai tingkat
motivasi dan moral yang lebih tinggi.
1.
Kepemimpinan Transaksional dan Transfomasional
Pengembangan lebih lanjut oleh Stephen Covey (1992) dalam bukunya
‘Principle-Centred
Leadership’
menyatakan
perbedaan
antara
pemimpin
transaksional dan pemimpin transformasional sebagai berikut:
Kepemimpinan Transaksional:
- Berdasarkan keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan;
- Dimulai dengan kekuatan, posisi dan politik;
7
- Berdasarkan kejadian sehari-hari;
- Pencapaian tujuan jangka pendek dan orientasi pada data yang nyata;
- Fokus pada masalah taktis;
- Mengandalkan hubungan yang baik untuk interaksi antar sesama;
- Memenuhi peran yang diharapkan melalui kerja yang efektif sesuai dengan
system; dan
- Mendukung sistem dan struktur yang menghasilkan dan memaksimalkan
efisiensi dan menjamin keuntungan dalam jangka pendek.
Kepemimpinan Transformasional:
- Berdasarkan kebutuhan seseorang untuk suatu arti;
- Dimulai dengan tujuan dan nilai-nilai, moral dan etika;
- Lebih dari (diatas) kejadian sehari-hari;
- Pencapaian tujuan jangka panjang tanpa mengkompromikan nilai-nilai dan
prinsip;
- Fokus pada misi dan strategi;
- Mengarahkan potensi; identifikasi dan pengembangan sumber daya;
8
- Mendesain dan me-re-desain pekerjaan supaya menjadi lebih berarti dan
menantang; dan
- Menyesuaikan struktur dan sistem internal untuk pencapaian nilai dan tujuan.
Covey menyatakan bahwa kedua tipe kepemimpinan di atas dibutuhkan.
Kepemimpinan transaksional diperlukan sebagai model bagi banyak orang dan
untuk organisasi yang stabil dan tidak memerlukan perubahan; sedangkan
kepemimpinan transformasional diperlukan untuk menghadapi dan memfasilitasi
perubahan (Bolden et al., 2003). Pada 1994, Bass dan avolio menyatakan bahwa
pemimpin transformasional menunjukkan perilaku-perilaku yang berasosiasi
dengan 5 gaya transformasi, yakni: Ideal Behaviour yang berpegang teguh pada
idealism sang pemimpin; Inspirational Motivation, yang selalu menginspirasi
orang lain; Intellectual Stimulation, yang senantiasa menstimulai orang lain;
Individualized Consideration, yang berupaya melatih dan membangun orang lain;
dan Idealized Attributes, yang menghargai, mempercayai dan meyakinkan orang
lai. Kepemimpinan transformasional bersifat proaktif dalam berbagai macam dan
caranya yang unik. Para pemimpin ini berusaha untuk mengoptimasikan
pengembangan dan tidak hanya fokus pada kinerja saja, mereka juga mendorong
rekan-rekannya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi termasuk juga pada
peningkatan standar moral dan etika. Melalui pengembangan rekan-rekannya
mereka yakin organisasinya juga akan otomatis berkembang.
9
2 . Kepemimpinan Efektif dan Tidak Efektif
Pengembangan lebih lanjut dari teori kepemimpinan transformasional adalah
oleh Hooper dan Potter (1997) yang mengidentifikasi tujuh kompetensi inti dari
‘transcendent leaders”; yaitu pemimpin yang mampu mengikat dukungan emosi
dari para pengikutnya dan mampu dengan efektif melakukan perubahan yang
transenden (Bolden et al., 2003): Menentukan tujuan, Memberikan contoh,
Komunikasi, Melakukan harmonisasi, Mengeluarkan kemampuan terbaik dari
pengikutnya, Menjadi agen perubahan, Memberikan keputusan di saat kritis dan
kebingungan. Hamlin (2002) dalam Bolden et al,. 2003 mengajukan model
generik untuk manajer dan kepemimpinan yang efektif berdasarkan analisa peta
perilaku kepemimpinan dan manajemen di 4 organisasi sektor publik di UK; yang
dibedakan menjadi indikator-indikator positif dan negatif:
Indikator Positif, meliputi:
1. Kemampuan berorganisasi yang efektif dan manajemen perencanaan;
2. Kepemimpinan partisipatif dan supportif, kepemimpinan tim proaktif;
3. Empowerment dan delegasi;
4. Memperhatikan keadaan, kebutuhan, dan perkembangan anggota;
5. Manajemen pendekatan terbuka dan personal; dan
10
6. Berkomunikasi dan berkonsultasi dengan semua pihak.
Indikator Negatif, meliputi:
1. Tidak memperhatikan pendapat sekitar (manajemen otokratik);
2. Tidak
memperhatikan
orang
lain,
tidak
melayani,
berperilaku
mengintimidasi;
3. Membiarkan kinerja yang buruk dan standar yang rendah;
4. Menyerahkan peran dan tanggungjawabnya ke orang lain; dan
5. Menolak ide-ide baru.
Hamlin (2007) mendapatkan hasil yang mirip untuk kepemimpinan yang efektif,
yakni:
Perilaku Positif (kepemimpinan efektif), meliputi:
- Menunjukkan perhatian kepada orang lain (rakyat), merespon terhadap
kebutuhan mereka;
- Berkonsultasi dan melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan;
- Melakukan pertemuan dan komunikasi regular dengan seluruh elemen terkait
untuk penentuan target, tujuan, pembagian tugas dan penilaian kinerja;
- Menghadapi permasalahan dengan penuh tanggung-jawab;
11
- Mendorong semua pihak (sektor swasta dan masyarakat) untuk bertindak dan
bekerja atas inisiatifnya masing-masing;
- Mengakui kerja keras dan komitmen orang lain;
- Menggunakan informasi, pengetahuan dan pengalaman secara efektif untuk
pengambilan keputusan;
- Manajemen perencanaan proyek yang efektif;
- Mencari cara peningkatan berkelanjutan di atas segala permasalahan dan
hambatan yang ada;
- Selalu siap menghadapi permasalahan yang sulit dan sensitif;
- Menunjukkan semangat dan antusiasme yang tinggi;
- Menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah
dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel;
- Gaya komunikasi yang langsung, terbuka, jujur;
- Mendidik, melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai
dengan pengalaman dan potensinya;
- Menunjukkan perilaku yang patut dicontoh; dan
- Mempertimbangkan akibat sebelum bertindak.
12
Perilaku Negatif (kepemimpinan tidak efektif), meliputi:
- Tidak menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap orang lain (rakyat) dan
tidak menghargai sumbangsih kerja mereka;
- Tidak melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan;
- Tidak bertanggung jawab, merasa memiliki atau akuntabel;
- Reaktif, fokus pada hal kecil bukan pada keseluruhan permasalahan;
- Membatalkan atau mengatur ulang rapat pada saat-saat terakhir;
- Bersikap emosional, irasional dan temperamental;
- Komunikasi yang tidak jelas atau membingungkan;
- Tidak berkomunikasi atau menguasai perubahan secara efektif;
- Gagal mencapai persetujuan atau mengklarifikasi harapan;
- Menunjukkan keengganan untuk berhadapan dengan konflik;
- Menunjukkan ketidakterbukaan dan fokus pada halangan-halangan;
- Membiarkan standar dan kinerja yang rendah; dan
- Persiapan atau perencanaan yang kurang.
3 . Kepemimpinan Nasional di Era Reformasi
13
Negara Indonesia dibentuk dalam kerangka mencapai tujuan nasional
Indonesia Merdeka yakni sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu: melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Hal tersebut tentunya harus dimaknai bahwa keberhasilan bangsa Indonesia
sebagai suatu negara akan diukur dari seberapa jauh tingkat kemampuan
Pemerintah bersama rakyatnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera,
aman, adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengorganisasian
seluruh rakyat dan segala sumber daya yang tersedia amat penting dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Dalam hal pengelolaan organisasi negara inilah, faktor
kepemimpinan nasional amat menentukan.
Empatbelas tahun hampir tuntas sudah Indonesia menjalani babak baru
pasca Orde Baru, yang kita sebut Orde Reformasi. Perubahan demi perubahan
menjadi fenomena bangsa kita sejak kejatuhan Soeharto hingga memasuki masa
tujuh-delapan tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.
Pada kurun waktu empatbelas tahun itu sesungguhnya rakyat sudah semestinya
dapat menikmati hasil dari perubahan yang menjadi tuntutan jutaan mahasiswa
dan masyarakat di akhir rezim Orde Baru tiga-belasan lalu. Namun, kenyataan
mengindikasikan seakan-akan pemerintah Indonesia belum mampu membawa
rakyatnya kepada kondisi yang diidamkan tersebut. Berbagai kasus yang terjadi
silih berganti di hampir seluruh pelosok tanah air menjadi pertanda bahwa tujuan
14
negara sebagaimana tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945
belum tercapai, bahkan seakan tiada akan terwujud.
Irman Gusman mencatat bahwa belakangan ini terdapat berbagai
persoalan yang menjadi menu keseharian rakyat Indonesia, mulai dari masalah
makelar kasus, manipulasi pertanahan dan kisruh agraria di mana-mana,
penegakan hukum yang hanya berpihak kepada kelompok tertentu, hingga
penggelapan pajak triliunan rupiah adalah cerita miris yang menghimpit setiap
nurani kita. Masih banyak kisah pilu lainnya yang mendera bangsa ini.
Pemandangan penggusuran paksa, konflik-konflik bernuansa SARA, tawuran
antar desa, antar sekolah, antar kampus, antar komunitas hingga ke persoalan
separitisme Organisasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan lain-lain,
masih menghiasi layar media massa kita hari-hari ini. Di lain waktu kita juga
disugihi informasi tentang hingar-bingarnya pola hidup hedonis-materialistis dari
sebagian masyarakat di tataran elit yang lebih beruntung nasibnya secara materil
dari kebanyakan rakyat di negara ini. Belum lagi jika kita lihat secara vulgar
strategi berpolitik para elit politik bangsa yang hampir seluruhnya menerapkan
pola politik uang, sebuah kehidupan politik yang oleh sebagian pihak
menyebutnya sebagai sistem penerapan demokrasi yang tidak manusiawi. Negeri
ini sedang mengalami kerapuhan di segala bidang yang menjurus kepada
perpecahan dan disintegrasi bangsa. (Irman Gusman, 2011).
Badan dan institusi negara bermunculan dibentuk pemerintah yang
ditujukan untuk memperlancar penuntasan masalah dan berbagai persoalan
15
kebangsaan dan kenegaraan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Komisi
Pemberantasan Korupsi misalnya, diadakan sejak pemerintahan Presiden
Megawati Sukarno Putri untuk menangani perkara korupsi yang dikategorikan
sebagai the extra-ordinary crime, yang telah menggurita secara luar biasa di
berbagai lapisan masyarakat kita. Sebagaimana yang diketahui bersama, hingga
saat ini KPK belum mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan elite
partai politik, pejabat tinggi negara, maupun birokrat. Pada tataran yang lebih
penting, mendesak, dan amat fundamental bagi rakyat, yakni menyangkut
kehidupan sehari-hari rakyat, terlihat bahwa pemerintah masih kesulitan
mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang semakin hari semakin
membumbung tak terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Pangan seakan menjadi
barang langka dan sulit diakses oleh masyarakat. Ketahanan pangan menjadi
pertaruhan bagi kelangsungan hidup rakyat, yang sekaligus juga menjadi salah
satu indikator penentu kuat-lemahnya ketahanan nasional Indonesia.
4. Ketahanan Nasional dan Efektivitas Kepemimpinan Nasional
Ketahanan Nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia
yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan
dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan
nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan
dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin
identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan
mencapai tujuan nasionalnya. Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah
16
keuletan
dan
ketangguhan
bangsa
yang
mengandung
kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup
bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Pendekatan yang semestinya
ditempuh para pemimpin nasional dalam meningkatkan dan mempertahankan
ketahanan nasional adalah dengan kebijakan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat
melalui pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi,
pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat, serta kesehatan dan keamaan umum.
Pada kondisi terpenuhinya hajat hidup orang banyak dengan mudah dan tersedia
terjangkau setiap saat di semua tempat di nusantara, maka nasionalisme bangsa
akan semakin menguat yang selanjutnya akan menjadi modal terbesar dalam
mengeliminir keinginan disintegrasi bangsa. Bercermin dari kondisi nyata di
masyarakat Indonesia saat ini sebagaimana telah dituliskan di atas, dikaitkan
dengan teori efektivitas kepemimpinan yang diuraikan di awal tadi, maka dengan
sangat jelas terlihat bahwa pelaksanaan amanah rakyat oleh para pemimpin
nasional, mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah, dapat dikategorikan
belum mencapai efektivitas yang baik. Sikap dan perilaku kepemimpinan nasional
yang kurang menunjukkan komitmen dan perhatian terhadap rakyat kecil dan
termarginalkan oleh sistem kapitalisme, pendidikan yang dibiayai oleh 20%
APBN namun semakin tidak terjangkau oleh rakyat pinggiran, akses kesehatan
yang mahal, serta harga bahan pokok kebutuhan sehari-hari yang amat
menyengsarakan karena tidak mampu dikendalikan oleh pemerintah, merupakan
sebagian dari contoh potret ketidak-efektifan kepemimpinan nasional. Kurangnya
komunikasi dan sinergitas antar elemen dalam sistem manajemen pemerintahan
17
nasional yang mengindikasikan ketidak-terlibatan pihak-pihak terkait dalam
pengambilan keputusan, yang pada intinya adalah penghindaran atas sikap
bertanggung jawab terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan serta
egoisme sektoral, juga menjadi contoh lainnya dari kurang efektifnya
kepemimpinan nasional Indonesia. Sikap emosional, irasional dan perilaku
temperamental sering menjadi tontonan “unik” yang diperlihatkan para pemimpin
nasional di negeri ini. Hal tersebut berdampak kepada munculnya komunikasi
yang tidak jelas dan membingungkan sehingga bermuara kepada gagalnya
pencapaian kesepahaman dan kesepakatan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Selain itu, seringnya pemimpin nasional menunjukkan keengganan untuk
menghadapi perbedaan pendapat, apalagi konflik, dan bersikap tertutup terhadap
kinerja pelayanan publik yang sudah dilaksanakan, mencerminkan ketidakmampuan kepemimpinan nasional menjalankan fungsinya sebagai pemimpin
nasional. Tambahan lagi, ketidak-becusan para pimpinan nasional untuk
memperbaiki dan meningkatkan standar dan kinerja pemerintahan dalam melayani
rakyat yang diakibatkan oleh ketidak-siapan menjadi pemimpin nasional serta
perencaan yang kurang matang sebagai dampak sistim rekrutmen pemimpin
melalui politik transaksional, menjadikan efektivitas kepemimpinan nasional
bertambah buruk.
B . Kondisi Ideal dan Upaya
Kondisi-kondisi kepempimpinan seperti ini sesungguhnya amat rawan
bagi pencapaian tingkat ketahanan nasional yang baik serta mempertahankannya.
18
Oleh karena itu, tidak heran jika keinginan melepaskan diri dari NKRI akan tetap
subur di tengah masyakarat Indonesia, khususnya bagi mereka yang secara
ekonomi-politik termarginalkan. Kasus-kasus perbatasan dan gerakan-gerakan
disintegrasi di beberapa wilayah dan di kota-kota – semisal NII, JI, Papua
Merdeka, dan sebagainya – adalah sedikit contoh dari fenomena nyata di depan
mata saat ini. Jika pola kepemimpinan nasional yang kurang efektif ini tidak
diperbaiki dengan segera, bukan tidak mungkin kondisi tersebut akan
dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan baik di dalam negeri maupun luar
negeri untuk memporak-porandakan keutuhan NKRI.
Memimpin dan mengelola Indonesia itu tidak mudah, namun tidak juga
sulit. Rakyat pada hakekatnya hanya butuh tiga hal utama dalam hidupnya di
negeri yang subur-makmur ini: kesejahteraan (ekonomi-sosial), kesehatan, dan
pendidikan. Jika kepemimpinan nasional mampu menyediakan pelayanan kepada
rakyat dan fokus pada tiga masalah pokok tersebut, maka akan berdampak kepada
semakin tingginya tingkat cinta tanah air dan rela berkorban demi NKRI dari
bangsa di seluruh pelosok tanah air, yang tentunya berkorelasi langsung dengan
peningkatan dan stabilitas ketahanan nasional. Bagaimana hal ini bisa dilakukan?
Para pemimpin nasional perlu menunjukkan perhatian sungguh-sungguh terhadap
kebutuhan rakyatnya, selalu berkonsultasi dan melibatkan semua pihak terkait
dalam pengambilan keputusan melalui sebuah sinergitas dan komunikasi yang
baik antar elemen, serta siap senantiasa menghadapi permasalahan dengan penuh
tanggung-jawab. Pemimpin nasional juga harus mendorong semua pihak (sektor
swasta dan masyarakat) untuk terlibat dan bekerja atas inisiatifnya masing-masing
19
dalam gerak-dinamis pembangunan bangsa, memberi penghargaan atas hasil
karya dan kerja keras yang sudah dilakukan, serta memelihara komitmen terhadap
konsekwensi sebagai pemimpin nasional. Penting sekali juga untuk senantiasa
mengupayakan peningkatan kinerja kepemimpinan nasional, baik untuk diri
sendiri sang pemimpin maupun untuk kinerja organisasi (termasuk sub sistem)
bangsa dan negara yang dipimpinnya. Hal itu akan memberikan dorongan yang
kuat tidak hanya bagi pencapaian tujuan negara dengan lebih cepat tetapi juga
dengan hasil yang berkualitas tinggi.
Sifat jujur, terbuka, dan komunikasi langsung apa adanya, merupakan
beberapa karakter yang harus dimiliki oleh kepemimpinan nasional yang efektif
dan efisien dalam berbagai hal. Memelihara semangat yang tinggi, dan kegemaran
untuk menyampaikan pertanggung-jawaban kepada rakyat tentang apa yang sudah
dilakukan secara periodik, transparan dan akuntabel, adalah dua unsur penting
yang perlu dibudayakan oleh kepemimpinan nasional. Pada lingkup masingmasing, pemimpin nasional perlu mengimplementasikan kegiatan mendidik,
melatih dan mengembangkan kemandirian anggota masyarakat sesuai dengan
pengalaman dan potensi mereka, yang tentu saja tidak perlu dengan ceramah
teoritis belaka namun terpenting menunjukkan perilaku yang patut dicontoh.
Senantiasa mempertimbangkan akibat sebelum bertindak adalah salah satu kata
kunci penting bagi kesuksesan kepemimpinan nasional di setiap masa.
20
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Memantapkan ketahanan nasional merupakan salah satu prioritas utama
dalam pembangunan, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi semua negara di
dunia ini. Hal tersebut terutama disebabkan oleh satu prinsip pokok bahwa tanpa
ketahanan nasional, suatu negara akan menghadapi situasi sulit, yakni distegrasi
bangsa. Untuk mencapai tingkat ketahanan nasional yang memadai, sekaligus
mempertahankan
stabilitas
ketahanan
nasional
tersebut
dibutuhkan
kepempimpinan nasional yang kuat dan efektif. Kepemimpinan Nasional dan
Ketahanan Nasional adalah dua aspek yang tidak hanya saling terkait tapi juga
saling mempengaruhi satu sama lain. Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu
sisi akan berdampak kepada meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu
ketahanan nasional yang mantap pada sisi lain akan makin memperkokoh
kepemimpinan nasional suatu bangsa. Berdasarkan fenomena lapangan yang ada
di masyarakat, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan nasional di era reformasi ini
relatif kurang efektif dikaitkan dengan peningkatan ketahanan nasional. Hal itu
21
dapat terlihat dari masih adanya dinamika disintegrasi yang muncul akibat masih
tingginya angka kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan di masyarakat
Indonesia.
2. Saran
Untuk mengantisipasi kondisi yang lebih buruk terhadap ketahanan
nasional Indonesia, disarankan agar dilakukan revitalisasi sistem kepemimpinan
nasional yang baik dengan sinergitas dan komunikasi-koordinatif antar semua
elemen bangsa, serta perlunya pendidikan karakter kepemimpinan nasional yang
efektif bagi para pemimpin dan calon pemimpin nasional.
22
Daftar Pustaka
Bolden, R., Gosling, J., Marturano, A. and Dennison, P. 2003. A Review of
Leadership Theory and Competency Frameworks. Centre for Leadership Studies,
University of Exeter. UK.
Hamlin, R. 2007. Developing effective leadership behaviours: the value of
evidence based management. Business Leadership Review IV:IV October 2007,
UK
Irman Gusman, 2011, Dokumen Pidato dan Orasi Ilmiah ketua DPD-RI Tahun
2011.
Lemhannas, 2012, Buku Modul Bidang Studi Ketahanan Nasional.
Lemhannas, 2012, Buku Modul Bidang Studi Kepemimpinan Nasional.
23