Kedudukan Ahli dan Pendapatnya dalam Per

Kedudukan Ahli dan Pendapatnya dalam Perkara Pidana
Hakim tak harus terikat dengan pendapat ahli. Apalagi jika keterangannya tidak cukup kuat
dan tidak cukup komprehensif. Konsistensi ahli bisa diuji.
MUHAMMAD YASIN/FITRI N. HERIANI
keterangan dan terdakwa Jessica Kumala Wongso memerhatikan, di PN Jakarta Pusat. Foto:
RES
Berada di nomor urut dua dalam daftar alat bukti yang sah menurut KUHAP, keterangan
ahli telah menjadi salah satu ‘kekuatan’ aparat penegak hukum untuk membuktikan
terjadinya suatu tindak pidana. Meskipun ahli tak melihat, mengalami atau mendengar
langsung suatu peristiwa pidana, keterangannya acapkali sangat diandalkan penegak
hukum.
“Keterangan ahli itu sangat penting, membantu hakim mencari kebenaran tentang fakta”
kata Lucky Raspati, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, yang lagi meneliti
tentang ahli dalam hukum acara pidana.
Pendapat ahli acap dijadikan rujukan untuk menetapkan seseorang tersangka,
membebaskan atau menghukum terdakwa. Begitu pentingnya kedudukan seorang ahli,
sehingga dalam perkara-perkara pidana yang menarik perhatian publik, kehadiran ahli
sering dinantikan.
Sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin, yang sedang disidangkan di PN Jakarta Pusat, bisa
dijadikan contoh terbaru bagaimana keterangan ahli begitu penting. Hingga pekan ke dua di
bulan Agustus, sudah enam orang ahli yang dimintai keterangan. Penuntut umum,

pengacara, dan majelis berupaya menggali informasi sebanyak mungkin pendapat ahli,
sesuai kepentingan yang bertanya.
Untuk membuktikan penyebab kematian Mirna, penuntut umum menghadirkan ahli forensik
dokter Slamet Purnomo dan ahli racun (toksikolog) Nursamran Subandi. Dokter Slamet
mengatakan ada tanda kerusakan yang berasal dari zat korosif. Bagian bibir dalam berwarna
kehitaman. Di lambung korban juga ditemukan bercak berwarna hitam. Keterangan
Nursamran Subandi semakin mempertegas penyebab kematian Mirna adalah racun sianida.
Kadar sianida dalam tubuh korban melebihi dosis. Artinya, mematikan.
Sampai di sini, masih ada pertanyaan yang harus dijawab: siapakah yang menaruh racun ke
dalam gelas es kopi vietnam yang diminum korban? Polisi dan jaksa mengandalkan CCTV
kafe Olivier Jakarta. Tetapi untuk meyakinkan hakim pada hasil rekaman itu, penuntut umum
menghadirkan dua ahli digital forensik dan teknologi informasi, M. Nuh dan Christopker
Hariman Rianto. Ahli menguraikan detik per detik gerakan terdakwa Jessica Kumala Wongso
yang terekam CCTV selama di dalam kafe. Detik-detik saat memasukkan sianida ke dalam
minuman yang dikonsumsi korban menjadi kunci penting mengungkap siapa yang
membunuh Mirna. Terdakwa Jessica menyatakan keberatan terhadap keterangan ahli digital.
Dua ahli lain yang dihadirkan penuntut umum adalah psikolog klinis Antonia Ratih
Handayani dan ahli psikiatri forensik RCSM Natalia Widyasih Raharjanti.
Keahlian khusus
Keenam ahli itu (seharusnya) memberikan keterangan sesuai keahliannya. Dalam teks

KUHAP disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan. KUHAP tak memberikan penjelasan lebih lanjut
makna ‘keahlian khusus’.
Para pihak dalam sidang perkara pidana, khususnya hakim, punya hak untuk

mempertanyakan kapasitas atau kualifikasi seorang ahli. Dalam sidang-sidang di Pengadilan
Tipikor, misalnya, kapasitas ahli keuangan negara atau ahli administrasi negara sering
dipertanyakan para pihak ketika membahas anasir kerugian negara. OC Kaligis pernah
mempertanyakan kedudukan auditor BPK sebagai ahli, padahal auditor bersangkutan adalah
yang melakukan pemeriksaan sehingga lebih tepat menjadi saksi. Toh, hakim menolak
argumentasi Kaligis.
Kapasitas ahli itu pula yang sempat dipertanyakan organisasi masyarakat sipil dalam kasus
SP3 kasus kebakaran hutan di Riau. Polisi antara lain berdalih menggunakan pendapat ahli
untuk menghentikan proses penyidikan.
KUHAP memang tak mengatur secara rinci persyaratan untuk menjadi ahli dalam perkara
pidana. Yang ada hanya frasa ‘keahlian khusus’ tadi. Pertanyaan mengenai kapasitas ahli
antara lain muncul dalam perkara pembunuhan Mirna.
Pengacara Jessica, Otto Hasibuan, mempertanyakan kapasitas Antonia Ratih Handayani
sebagai ahli psikologi klinis. Penyebabnya, Ratih bergelar magister manajemen, bukan

magister psikologi. “Kami keberatan dengan ahli yang dihadirkan, Yang Mulia. Karena di CV
tertulis bahwa ahli bergelar magister manajemen,” ujarnya, sebelum Antonia memberikan
keterangan.
Otto juga mempertanyakan independensi ahli. Menurutnya, Antonia tidak bisa memberikan
keterangan di persidangan karena pernah membantu pihak kepolisian dalam proses
penyidikan. Kehadiran Antonia sebagai ahli dikhawatirkan akan memberatkan Jessica. Tak
hanya itu. Dalam sidang, Kamis (18/8), Otto kembali menolak dua ahli, yakni Danardi Sostro
Sumiardjo, dan Geraldi. Keduanya satu tim dengan ahli Natalia saat memeriksa Jessica.
Keberatan Otto kali ini didengar majelis hakim pimpinan Kisworo.
Mengabdi ilmu pengetahuan
Pasal 179 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.” Sedangkan dalam Pasal 186 menyatakan bahwa “Keterangan ahli adalah apa
yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.”
Ahli yang dihadirkan di persidangan umumnya adalah ahli yang telah dimintai keterangan
oleh penyidik dalam proses penyidikan. Dalam perkara pidana pembunuhan, misalnya, ahli
yang dihadirkan seringkali dokter forensic yang juga bekerja di rumah sakit Polri. Apakah
dalam konteks itu terjadi konflik kepentingan, sehingga ahli akan selalu membela
kepentingan penyidik?
Menurut Lucky Raspati, konflik kepentingan merupakan sesuatu yang pasti terjadi sejak

awal. Namun hal tersebut sebenarnya juga dibatasi, sebatas ahli mengabdi kepada
kepentingan ilmu pengetahuan dan pertanggungjawaban kepada ilmu pengetahuan. “Bukan
kepada para pihak (kepentingan),” kata Lucky kepada hukumonline, Senin (22/8).
Menurut dia, kekeliruan yang sering terjadi dalam proses peradilan di Indonesia adalah
keterangan ahli yang dihadirkan oleh para pihak lebih bertujuan untuk kepentingan para
pihak. Ilmu pengetahuan dan hakikat ‘keadilan’ yang disebut Pasal 179 ayat (1) KUHP seolah
terabaikan.
Lucky mengatakan bahwa ahli dalam suatu kasus pidana memang harus dilibatkan sejak
awal karena tugasnya untuk menganalisis sesuai bidang keilmuan. Hasil analisis berupa
opini dituangkan dalam BAP, dan kemudian BAP masuk ke persidangan. Ahli tersebut boleh
memberikan keterangan dalam persidangan untuk membantu hakim memahami, misalnya,

penyebab kematian seseorang.
Sayangnya, lanjut Lucky, Indonesia tidak memiliki kriteria ahli yang bisa masuk ke
persidangan. Terkesan siapa saja bisa menjadi ahli. Bahkan sarjana hukum bisa menjadi ahli
untuk menerangkan suatu peraturan, padahal ada prinsip ‘hakim dianggap tahu hukum’ (ius
curia novit). Hakim juga khawatir berimbas pada pelaporan ke Komisi Yudisial jika menolak
ahli yang dihadirkan salah satu pihak.
Menurut dosen FH Unand itu sejak awal seharusnya sudah ada filter siapa saja yang boleh
dijadikan ahli. Keterangan seorang ahli pada hakikatnya tak mengikat hakim. Hakim berhak

menolak keterangan ahli jika keterangan itu tidak cukup kuat, dan keterangannya dianggap
tidak komprehensif. Karena itu, perlu ada saringan dari majelis. “Sejak awal harus dipastikan
bahwa dia harus membantu hakim,” tuturnya.
Biaya
Di kalangan awam telah lama muncul semacam plesetan ‘pendapat ahli sesuai pendapatan’.
Kalimat sindiran ini mungkin adalah bentuk kritik terhadap ahli yang pendapatnya tak
konsisten, berubah-ubah sesuai kepentingan pihak yang ‘mengundang’.
Lepas dari kritikan itu, pemanggilan ahli memang membawa konsekensi finansial. Ada biaya
yang harus dikeluarkan para pihak. Apakah ahli akan cenderung memilih pihak yang
menjanjikan bayaran lebih besar? Tak ada yang bisa memastikan karena ada juga ahli yang
bersedia mengabdikan ilmu pengetahuannya tanpa dibayar.
Pasal 229 KUHAP menegaskan ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak mendapatkan penggantian
biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat yang melakukan
pemanggilan wajib memberitahukan hak ahli tersebut.
Jika instansi pemerintah mengundang ahli maka besaran honorariumnya dibatasi oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan. Beda halnya dengan dunia swasta yang bisa
menentukan besaran honorarium sesuai kesepakatan. Seorang penegak hukum pernah
bercerita penyidik sulit memenuhi biaya yang dikeluarkan untuk ahli untuk mengungkap
suatu tindak pidana korupsi. Apalagi kalau harus menggunakan satelit atau harus datang ke

tempat yang jauh dari tempat tinggal ahli.
Konsistensi keterangan
Konsistensi keterangan ahli juga bisa menjadi masalah. Dalam perkara pidana, banyak nama
akademisi yang sering dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai ahli. Suatu saat
mereka menjadi ahli atas permintaan polisi, kali lain tokoh yang sama mewakili kepentingan
tersangka/terdakwa.
Menurut Lucky Raspati, sejatinya keterangan seorang ahli selalu berkesesuaian untuk kasus
yang sama. Ia tidak selayaknya mengubah-ubah keterangan atau pendapatnya tentang
suatu hal. Masalahnya, tidak ada yang bisa memastikan apakah keterangan seorang ahli
konsisten dari satu sidang ke sidang lain, dari satu perkara ke perkara lain. Hakim, jaksa,
atau penasihat hukum sebenarnya bisa menguji konsistensi itu. Syaratnya, mereka punya
pengetahuan yang cukup mengenai ahli sebelum sidang dimulai.
Lucky menyarankan organisasi tempat bernaung seorang ahli bisa dioptimalkan untuk
menguji konsistensi pendapat seorang ahli. Jika si ahli tak konsisten, organisasi profesi bisa
memberikan teguran. Mengenai tanggung jawab atas pendapat, tentu saja terletak di
pundak ahli bersangkutan. Bukankah ahli disumpah lebih dahulu sebelum memberikan
pendapatnya?

KUHAP sebenarnya memberi ruang bagi majelis hakim jika mereka ragu atas keterangan
ahli. Pengacara terdakwa pun bisa mengajukan protes karena hak itu dijamin UndangUndang. Pasal 180 ayat (2) dan (3) KUHAP menegaskan ‘dalam hal timbul keberatan yang

beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli, hakim
memerintahkan agar dilakukan penelitian ulang’. Misalnya, ada keraguan terhadap hasil
otopsi. Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan instansi semula melakukan otopsi
ulang dengan komposisi tim otopsi yang berbeda.
Revisi KUHAP bisa dijadikan momentum untuk mengkaji kembali masalah-masalah yang
berkaitan dengan keterangan ahli. Termasuk perubahan paradigma yang dianut Indonesia
selama ini.

Pertanyaan :

Syarat dan Dasar Hukum Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana
Dimana saya dapat menemukan ketentuan hukum/peraturan mengenai syarat sah menjadi
ahli/memberikan keterangan sebagai ahli dalam suatu perkara pidana?

Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Definisi keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah
satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli
ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Mengenai peran ahli dalam memberikan keterangannya dalam pemeriksaan di persidangan terdapat
dalam sejumlah peraturan dalam KUHAP, antara lain:
Pasal 132 ayat (1) KUHAP
Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau
diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan
keterangan mengenai hal itu dari orang ahli;
Pasal 133 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya
Pasal 179 ayat (1) KUHAP

Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli
lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan
Terkait dengan Pasal 179 ayat (1) KUHAP ini, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan

Permasalahan dan Penerapan KUHAP mengatakan bahwa biasanya yang dimaksud “ahli kedokteran
kehakiman ialah ahli forensik atau ahli bedah mayat”. Akan tetapi pasal itu sendiri tidak membatasinya
hanya ahli kedokteran kehakiman saja, tetapi meliputi ahli lainnya (hal. 229).
Melihat dari aturan dalam KUHAP di atas, sepanjang penelusuran kami, KUHAP tidak mengatur khusus
mengenai apa syarat didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang
disebut dalam KUHAP adalah selama ia memiliki ‘keahlian khusus’ tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa
didengar untuk kepentingan pemeriksaan.
Sayangnya, KUHAP maupun peraturan pelaksananya, lagi-lagi berdasarkan penelusuran kami, tidak
mengatur lebih lanjut mengenai ‘keahlian khusus’. Namun dalam praktik, keahlian khusus ini bisa
ditunjukkan dari pengalaman dan/atau pengetahuan sang ahli atas bidang tertentu.
Contoh kasus yang membutuhkan keterangan ahli adalah kasus korupsi. Dalam artikel berjudulPeranan
Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dibuat berdasarkan
pengkajian studi kepustakaan dan diskusi di antara anggota tim pengkaji Kejaksaan RIdikatakan bahwa
seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya
sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa.
Keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu
berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum
memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu.

Lebih lanjut dalam artikel tersebut dikatakan bahwa KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang
siapa itu ahli. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya
keahlian yang dapat memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang,
terutama menyangkut tindak pidana korupsi. Seorang ahli umumnya mempunyai keahlian khusus di
bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan
formal,sepanjang sudah diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai
ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai visi apabila apa yang
diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya yang
diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang
diperiksa.
Contoh lain kasus mengenai didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan, yakni
perkara yang berhubungan dengan delik pers. Dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk
pada SEMA No. 13 Tahun 2008 dikatakan bahwa mengingat banyaknya perkara delik pers yang masuk
pengadilan, Mahkamah Agung (“MA”) menyarankan kepada para hakim untuk meminta keterangan dari
ahli di bidang pers. Dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers,
hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang
lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek. Hal ini merujuk pada Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli (“SEMA
13/2008”).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


Dasar hukum:
1.
2.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Herzien Indlandsch Reglement (HIR)(S.1941-44)
Surat Edaran Mahakamah Agung Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli

Referensi:
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. 2010. Jakarta: Sinar Grafika.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.TataCara&id=12, diakses pada 11 November 2013 pukul 16.21 WIB
http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&idke=0&hal=1&id=52&bc=, diakses pada 11 November 2013
pukul 16.24 WIB

Restatement Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam
Perkara Pidana oleh: Albert Aries, SH, MH *)
Sangat penting untuk menegaskan kedudukan ahli, kewenangan hakim untuk menilai
keterangan ahli, keterangan ahli tak mengikat hakim.
Dibaca: 15339 Tanggapan: 0
Pentingnya Mempertegas Kedudukan Ahli
Adagium yang menyatakan bahwa hukum selalu berada di belakang realitas masyarakat
nampaknya cukup teruji (Das Sollen - Das Sein, bahkan Das Sullen/hukum yang dicitacitakan). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bentuk dari suatu
kejahatan menjadi lebih mutakhir dari bentuk konvensionalnya. Hal ini membuat Penulis
teringat akan perkataan Raja Sulaiman yang terkenal akan kebijaksanaannya bahwa tidak
ada sesuatu hal yang benar-benar baru di dunia ini, karena sesungguhnya hal itu sudah
pernah ada sebelumnya.
Sebagaimana halnya alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu Saksi, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa,
maka kedudukan Keterangan Ahli sebagai salah satu alat bukti dalam perkara pidana
menjadi cukup krusial di era penegakan hukum modern, yang tidak dapat dipisahkan dari
kecanggihan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan dalam
proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia dianut sistem Pembuktian Negatif (negatief
wettelijke), yang berarti hakim hanya boleh menyatakan terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana, apabila ada alat bukti yang cukup dengan disertai keyakinan
hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukannya.
Oleh karena itu, semua pihak dalam suatu perkara pidana, yaitu Majelis Hakim, Jaksa
Penuntut Umum, Terdakwa dan Penasihat hukum dalam upaya bersama mencari suatu
kebenaran yang sesungguhnya (kebenaran materiil), terikat secara wajib (imperative) dan
terbatas (limitative) dalam menggunakan alat bukti yang sah, sebagaimana ditentukan
dalam KUHAP dan alat bukti lain yang ditentukan dengan kekuatan suatu Undang-Undang,

sehingga dapat memberikan dasar yang kuat bagi hakim untuk memperoleh keyakinannya,
dalam mengadili suatu perkara pidana.
Berkaca dari perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat, hal mana didalamnya
terjadi perdebatan ahli dari masing-masing pihak yang mengajukannya, penulis
berpendapat bahwa kedudukan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam suatu
perkara pidana perlu kembali diperjelas dan dipertegas dalam suatu penjelasan hukum
(restatement). Secara hukum, Keterangan Ahli saja sebagai alat bukti tidak cukup untuk
membuktikan seorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah, karena substansi dari
keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian
khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana.
Keterangan Ahli sebagai suatu alat bukti baru diperlukan manakala dalam suatu proses
pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun di pengadilan diperhadapkan pada suatu
hal/permasalahan yang perlu diberikan penjelasan yang khusus, yang mungkin sebelumnya
tidak dapat dimengerti atau dipahami oleh orang awam. Oleh karena itu, baik ahli yang
dihadirkan oleh Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum wajib memberikan keterangan
yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu penyeimbang, karena
menurut pendapat dari Mr. Trapman, posisi Penuntut Umum adalah objektif dengan
pendirian yang subjektif, sedangkan dipihak yang berlawanan, yaitu Penasihat Hukum
berada dalam posisi subjektif dengan pendirian yang objektif.
Kewenangan Hakim Untuk Menilai Keterangan Ahli
Mengenai siapa saja yang dapat dikualifikasikan sebagai seorang ahli, dalam praktik hukum
acara pidana memang tidak diatur lebih lanjut tentang keharusan bahwa ahli adalah
seseorang yang telah memperoleh pendidikan khusus atau memperoleh sertifikasi atau
ijazah tertentu. Dengan kata lain, sepanjang yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang khusus mengenai suatu bidang tertentu, ia dapat dihadirkan untuk
memberikan keterangan ahli. Akan tetapi menurut hemat penulis, Hakim karena jabatannya
(ex officio), sudah sepatutnya dapat memilah, menguji dan menilai kualifikasi seorang ahli,
termasuk adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dari ahli tersebut,
sehingga objektifitas dari keterangan ahli tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan tidak adanya batasan yang pasti mengenai kualifikasi dari seorang ahli, maka tidak
jarang dalam praktik, ahli bidang hukum tertentu pun dihadirkan oleh salah satu pihak yang
berperkara, padahal menurut asas Ius Curia Novit, hakim dianggap mengetahui (segala)
hukum. Dalam praktiknya, keterangan seorang ahli hukum seringkali dapat diterima, dengan
pertimbangan terbatasnya penguasaan ilmu hukum dan potensi dilaporkannya Majelis
Hakim ke Komisi Yudisial karena dianggap mengurangi hak-hak dari pihak yang berperkara
untuk membela kepentingan hukumnya.
Disinilah peran penting dan kualitas dari para Hakim teruji dalam memimpin jalannya proses
pemeriksaan dan pembuktian perkara pidana yang menganut asas “Penggunaan Alat-Alat
Bukti Secara Langsung (Ommiddelijkheid Der Bewijsvoering).”. Dalam posisi yang objektif
dengan pendirian yang objektif pula, Majelis Hakim diberikan kebebasan untuk menguji dan
menilai keobjektifitasan keterangan seorang ahli, karena baik Ahli yang diajukan oleh
Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum/Terdakwa dapat memiliki kecenderungan untuk
menguntungkan pihak yang mengajukannya secara subjektif, termasuk untuk menunjukkan
ketegasan manakala salah satu pihak memberikan pertanyaan kepada ahli yang sifatnya
menjerat atau menggiring ahli untuk memberikan kesimpulan dalam suatu perkara.
Keterangan Ahli Tidak Mengikat Hakim
Sesuai uraian di awal, substansi dari kedudukan keterangan ahli adalah untuk memperjelas
tentang suatu hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana, sehingga

Keterangan Ahli sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri dan memerlukan alat bukti
yang lain untuk dapat dicapainya suatu Keyakinan Hakim. Hal ini sejalan dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 72 K/Kr/1961 tertanggal 17 Maret 1962 yang memiliki
kaidah hukum bahwa hakim tidak terikat pendapat seorang ahli jika pendapat tersebut
bertentangan dengan keyakinan hakim.
Tanpa harus “mengambil alih” tugas dari Penuntut Umum, maka peran aktif dari Hakim
dalam suatu perkara pidana adalah sangat penting untuk menggali kebenaran materiil,
diantaranya untuk mengelaborasi keterangan saksi fakta dan menganalisa perbuatan,
kejadian dan keadaan yang memiliki persesuaian yang menandakan telah terjadinya suatu
tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pelakunya, atau yang biasa disebut
sebagai Petunjuk, karena agak sulit untuk mengandalkan keterangan terdakwa sebagai alat
bukti, yang oleh undang-undang telah diberikan “hak ingkar” bagi terdakwa dari dakwaan
yang dituduhkan kepadanya.
Fiat justitia ne pereat mundus, tegakkanlah keadilan agar dunia tidak runtuh.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dari Penulis selaku pemerhati hukum acara pidana dan
tidak dimaksudkan untuk kepentingan pihak manapun juga.
PERATURAN TERKAIT






Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 1 Tahun 2016
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 192 Tahun 2015
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2008
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor . .

Kedudukan keterangan ahli sbg alat bukti dalam pemeriksaan
perkara pidana
Apa fungsi dan kedudukan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara pidana ? Jaksa
Penuntut Umum (Jaksa) berkewajiban membuktikan dakwaannya terhadap seorang
terdakwa dalam persidangan. Meskipun suatu dakwaan yang disusun Penuntut Umum
dibuatnya berdasarkan bukti yang diperoleh dari hasil penyidikan, tetapi tidak berarti apa
yang dirumuskan dan diuraikan dalam surat dakwaan menjadi suatu hal yang sudah benar
dan tidak dipertanyakan atau uji lagi. Dalam proses peradilan pidana, Penuntut Umum harus
membuktikan dakwaannya itu dalam persidangan, demikian pula dengan
terdakwa/Penasehat hukum yang tentunya merujuk pada alat bukti yang diajukan dalam
persidangan.
Terkait dengan pembuktian dalam persidangan perkara pidana, KUHAP Indonesia menyebut
berapa jenis alat bukti yang sah, yakni berupa; (1) Keterangan Saksi; (2) keterangan ahli; (c)
surat; (d) petunjuk; dan (e) keterangan terdakwa.
Dari beberapa jenis alat bukti yang sah itu, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti
yang sah. Bahkan dalam perkembangannya beberapa waktu belakangan dalam
pemeriksaan perkara-perkara pidana yang rumit maupun perkara pidana khusus, terlihat
kecenderungan menghadirkan ahli untuk memberikan keterangan dalam persidangan, baik
dari pihak Jaksa (Penuntut Umum) maupun terdakwa/Penasihat Hukum terdakwa. Bahkan
Penuntut Umum, jauh-jauh hari sebelum suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan, telah

meminta ahli untuk dimintai keterangannya suatu kasus/perkara pidana yang ditanganinya.
Sedangkan bagi terdakwa, kesempatan untuk mengajukan ahli cenderung dihadirkan saat
persidangan sudah berlangsung. Walaupun sebenarnya, terdakwa dapat saja mengajukan
ahli dari pihaknya untuk juga dimintai keterangan pada waktu penyidikan.
Persoalannya sekarang, apa dan bagaimana kedudukan keterangan ahli sebagai sebuah alat
bukti ? Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP yang dimaksudkan dengan keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Dari defenisi yang diberikan KUHAP terhadap keterangan ahli itu, maka suatu keterangan
ahli akan menjadi alat bukti apabila keterangan itu diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus atas sesuatu hal. Dan jika hanya merujuk pada apakah seseorang memiliki
keahlian khusus, maka seseorang dikatakan ahli bisa dalam cakupan yang luas dan tidak
diukur dari sisi pendidikan, tetapi apakah seseorang itu memiliki kompetensi untuk
menjelaskan sesuatu. Kompetensi itu bisa saja didasarkan suatu pendidikan khusus yang
sudah dijalani seseorang atau bisa juga melalui suatu proses sertifikasi. Meskipun KUHAP
hanya menyebutkan “memiliki keahlian khusus”, namun dalam perkembangannya
belakangan ada kecenderungan keahlian khusus yang dimiliki seseorang itu disertai dengan
bukti formal apakah melalui pendidikan khusus, melalui proses sertifikasi atau pengakuan.
Terlepas dari perkembangan atas sosok ahli itu, keterangan ahli adalah merupakan alat
bukti dalam suatu proses peradilan perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Terkait dengan keterangan ahli itu sebagai alat bukti, ia hanya akan menjadi
alat bukti bagi Penuntut Umum saja ketika seorang ahli memberikan keterangan pada saat
penyidikan. Suatu keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dan menjadi pertimbangan
bagi hakim dalam memutus suatu perkara pidana adalah ketika keterangan ahli itu
disampaikan dalam persidangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 186 KUHAP yang
mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan. Karena itu, keterangan ahli yang diberikan ahli pada waktu penyidikan dan
menjadi bahan bagi Penuntut dalam menyusun dakwaan, harus diberikan ahli dalam
persidangan. Konsekuensinya, bisa keterangan yang diberikan ahli dalam persidangan, lebih
terinci dan tidak tertutup kemungkinan pendapat ahli itu mendapat pengujian dalam
persidangan baik oleh hakim, penuntut umum maupun penasihat hukum terdakwa.
Sesuai dengan kedudukan dan apa yang dimaksud dengan keterangan ahli sebagai alat
bukti, ia sekaligus menjadi pembeda dengan keterangan saksi. Karena itu dalam berbagai
kesempatan sering kita dengar istilah “saksi Ahli” adalah suatu kekeliruan, karena secara
hukum “ahli” dan “saksi” dari sisi alat bukti adalah dua hal yang berbeda. Secara singkat
keberadaan ahli dalam persidangan mengarah pada pendapat ahli atas sesuatu menurut
keahlian ahli, sedangkan saksi sebagai alat bukti mengarah kepada apa yang dilihat,
dirasakan dan dialami saksi atas suatu peristiwa pidana. Dalam perkataan lain, keterangan
ahli adalah berupa pendapat berdasarkan keilmuan yang dimiliki ahli, sedangkan
keterangan saksi menuju pada fakta. Itulah sebabnya, mengapa kepada seorang saksi tidak
boleh ditanyakan pendapatnya atas sesuatu terkait suatu perkara pidana. Sebaliknya pada
ahli, ia tidak boleh memberikan keterangan atas fakta, melainkan pendapatnya atas sesuatu
terkait dengan masalah perkara pidana tengah periksa.
Jadi keberadaan seorang ahli dalam pemeriksaan suatu proses peradilan perkara pidana
adakalanya diperlukan dan adakalanya tidak. Hal itu tergantung dari bentuk dan jenis
perkara pidananya. Keperluan akan keterangan ahli sebagai contoh bisa ditemukan dalam
KUHAP sendiri. Misalnya Pasal 132 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan, “Dalam hal diterima
pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh
penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan

mengenai hal itu dari orang ahli”. Demikian juga dengan Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang
menyebutkan, “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan atau pun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Dari dua ketentuan KUHAP di atas, maka keberadaan keterangan ahli sebagai alat bukti
pada prinsipnya berkedudukan untuk menguatkan suatu elemen atau unsur suatu tindak
pidana, khususnya atas tindak-tindak pidana yang untuk memastikanya membutuhkan
keterangan dari seorang yang memiliki keahlian khusus terkait dengan unsur tindak pidana
bersangkutan. Hal itu tentu berarti juga, keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah tidak
menjadi alat bukti utama berupa keterangan saksi yang memberikan keterangan atas fakta
dari suatu perbuatan pidana. Artinya, ketika keterangan saksi sebagai alat bukti tidak ada,
maka suatu tindak pidana bisa dinyatakan dengan hanya berdasarkan keterangan ahli saja.
Atau keterangan ahli lebih menjadi pertimbangan utama dalam memutus suatu perkara
pidana, ketika keterangan saksi lemah.
Sekalipun sama-sama berkedudukan sebagai alat bukti, namun kedudukan keterangan ahli
sebagai alat bukti tidak dapat menggantikan atau didorong menjadi alat bukti utama dalam
sebuah perkara pidana. Hal ini sesuai dengan keberadaan keterangan ahli dalam lingkup
memberikan keterangan bukan mengenai apa yang dilihat, dialami dan dirasakan ahli atas
terjadinya suatu tindak pidana, melainkan keterangan atau pendapat ahli berdasarkan
keahliannya mengenai hal-hal yang ada hubungannya dengan perkara yang tengah
diperiksa.
Dengan demikian, dalam sebuah pemeriksaan perkara pidana, seorang ahli yang dihadirkan
dalam persidangan memerlukan pula pengetahuan secara hukum tentang kedudukan dan
ruang lingkup keterangannya sebagai ahli dalam sebuah persidangan. Seorang ahli dalam
memberikan keterangan dalam satu persidangan perkara pidana harus memiliki
pemahaman yang memadai atas keterangan yang akan diberikannya, karena bisa jadi ahli
terjebak memberikan keterangan seolah-olah keterangan yang diberikannya tidak obahnya
keterangan “saksi”. Kemungkinan ahli memberikan keterangan layak keterangan seorang
saksi bisa berasal dari diri ahli sendiri, bisa pula terjadi karena ketidakmapuannya
menyaring pertanyaan yang diajukan hakim, penuntut umum maupun penasehat hukum.
Akan tetapi, kemungkinan ahli memberikan keterangan bagai keterangan seorang saksi,
bisa dihindari apabila ahli sejak dari awal sudah memahami, bahwa keterangan yang
diberikannya adalah suatu penghargaan atau pendapat atas sesuatu yang ada
hubungannya dengan suatu tindak pidana. Selain itu, seorang ahli dalam memberikan
keterangan di depan persidangan, mestilah selalu ada dalam kesadaran bidang keahliannya,
sehingga ketika ada pertanyaan yang diluar kompetensi keahliannya, seorang ahli dengan
tegas menyatakan tidak berkompenten untuk menjelaskanya. Artinya, sikap memaksakan
diri memberikan keterangan diluar bidang keahliannya haruslah dihindari seorang ahli dalam
sebuah proses peradilan*. (by Boy Yendra Tamin)

KEDUDUKAN AHLI PADA TAHAP PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA DAN KEKUATAN
PEMBUKTIANNYA
ABSTRAK
Proses peradilan pidana pada dasarnya adalah suatu aktivitas penegakan hukum
yang bertujuan untuk mencari dan menemukan kebenaran menurut hukum. Di dalam
penegakan hukum juga dibutuhkan suatu alat bukti sesuai dengan pasal 184 ayat 1 KUHAP,
yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa
yang semuanya itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sama. Penulisan hukum ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan ahli dalam perkara pidana serta
kekuatan pembuktiannya. Karena dalam suatu persidangan sering kita jumpai seorang ahli
yang dimintai pendapatnya untuk membuat terang suatu perkara. Pembahasan meliputi
kedudukan ahli, kualifikasi ahli, nilai kekuatan pembuktiannya serta kaitannya dengan hakim
sebagi pertimbangan keputusannya.
Penulis dalam penelitian hukum ini menggunakan penelitian dalam kategori
penelitian yuridis normatif/doktrinal yang bertujuan untuk mencari taraf sinkronisasi antara
ketentuan-ketentuan yang ada dengan implementasinya dengan spesifikasi penelitian yang
digunakan yaitu suatu telaah deskriptif analitis, yang kemudian dianalisa dengan metode
analisis komparatif yaitu studi perbandingan hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti
itu sama dengan saksi lainnya yaitu sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Penentuan kualifikasi seorang ahli diputuskan oleh hakim dengan proses pemeriksaan
pendahuluan (preliminary examination). Kekuatan pembuktian seorang ahli dapat dilihat
saat proses pengangkatan sumpah sebelumnya, serta keterangan seorang ahli tidak dapat
menjadi alat bukti yang mutlak akan tetapi harus disertai dengan alat bukti lain dalam
proses pembuktiannya. Dalam hal ini hakim sangat berperan penting sesuai naluri, apakah
menyertakan pertimbangan keterangan ahli atau tidak dalam pengambilan keputusan untuk
mencari kebenaran materiil.
Kata kunci : Kedudukan Ahli, Kualifikasi Ahli, Kekuatan Pembuktian Dari
Keterangan Ahli.

Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara
Tindak Pidana Korupsi
24 Maret 2014 pukul 22:05

PERANAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PENANGANAN
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam
Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pengkajian ini juga dimaksudkan
untuk mencari solusi atas Kendala penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam perkara
Tindak Pidana Korupsi.
Pengkajian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan diskusi di antara anggota tim
pengkaji. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa:
1.Masalah korupsi di Indonesia sudah merupakan persoalan yang komplek dan terjadi secara
meluas di seluruh sisi kehidupan. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan sosial yang
terjadi secara sistematik. Korupsi bukan hanya sekedar soal seorang pegawai negeri
menggunakan kesempatan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga menyangkut budaya
masyarakat yang ingin mendapat keuntungan pribadi dengan segala cara termasuk kolusi
dengan para pejabat.
2.Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara atau
ketentuan-ketentuan tentang pembuktian sebagaimana telah diatur dalam undang-undang.
Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa
terdakwa dan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang.
Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu

penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan pengertian
terhadap penerapan hukum.
3.Sistem pembuktian yang digunakan dalam hukum acara pidana Indonesia dikenal dengan
“sistem negatif” (negatief wettelijk bewijsleer), di mana yang dicari oleh hakim adalah
kebenaran materiil. Sistem negatief merupakan sistem yang berlaku dalam hukum acara
pidana yaitu hakim dalam menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).
4.Sistem pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP adalah ketentuan dasar dalam hukum
pembuktian dan mutlak berlaku untuk membuktikan semua tindak pidana, kecuali
ditentukan lain dalam hukum pembuktian khusus. Penyimpangan hukum pembuktian ada
dalam hukum pidana korupsi, yang meliputi pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahanbahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem
pembebanan pembuktian. Kegiatan pembuktian Tindak Pidana Korupsi di samping tetap
menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, tetapi dalam bidang atau hal-hal
tertentu berlaku hukum pembuktian khusus. Pembuktian korupsi tetap memperhatikan Pasal
183 KUHAP, kecuali dalam hal pembuktian terbalik {Pasal 37 ayat (2) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001}.
5.Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar
dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang keahliannya
yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu
diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada
keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan dan fakta.
Sedang keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas
penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat
penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau
janji terlebih dahulu.
6.Melihat ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikan
pemeriksaan ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksi-saksi. Mereka dipanggil dan diperiksa
apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya {Pasal 120 ayat (1) KUHAP}.
Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap
lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk
kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.
7.KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan
teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya keahlian yang dapat
memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama
menyangkut tindak pidana korupsi.
8.Seorang ahli umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun
informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah diakui
tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan
melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai Visi apabila :
apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup
keahliannya ;
yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara
pidana yang sedang diperiksa.
9.Dalam praktek pengajuan ahli di persidangan dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
(JPU) atau penasehat hukumnya. JPU mengajukan saksi ahli sesuai dengan apa yang
terdapat dalam BAP atau bisa juga mengajukan ahli di persidangan setelah melihat jalannya
dan perkembangan perkara di persidangan. Begitu juga penasehat hukum dapat juga
mengajukan ahli untuk menjadi terangnya perkara yang sedang berjalan di pengadilan.
Kadangkala ahli yang diajukan oleh JPU dan penasehat hukumnya dalam materi yang sama

tetapi keterangan berbeda, dalam konteks ini tinggal hakim yang menentukan seseorang itu
ahli dan bobot keterangan dari ahli itu, sehingga ada persesuaian keterangan dengan alat
bukti lain.
10.Seorang ahli dalam memberikan keterangannya hanya berdasarkan kepada keahliannya
dan pengetahuannya. Keterangan ahli bukanlah menafsirkan terhadap peraturan
perundang-undangan. Dalam beberapa kasus korupsi ahli hukum memberikan keterangan
sebagai ahli tetapi pada kenyataannya keterangan ahli tersebut dengan cara melakukan
penafsiran hukum. Keterangan ahli ekonomi dan ahli hukum tentang adanya kerugian
negara dalam tindak pidana korupsi ditafsirkan berbeda dan kadang bertolak belakang satu
dengan lainnya.
11.Keterangan ahli yang memberikan keterangannya karena penafsiran akan menimbulkan
inkonsistensi pendapat sehingga keterangannya tidak dapat dijadikan patokan hakim
maupun putusan lainnya. Dalam hal ini hakim perlu melihat kompetensi orang yang ditunjuk
sebagai ahli. Tidak cukup berpatokan pada formalitas pendidikan atau status sosial orang
tersebut, misalnya terhadap seorang profesor yang ditunjuk sebagai ahli.
12.Kendala penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam perkara Tindak Pidana Korupsi
adalah:









Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian dipersidangan disebabkan dua hal,
yaitu penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan
pengertian terhadap penerapan hukum.
Dalam praktek dilapangan, untuk kasus korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh
polisi dan jaksa minta untuk dilakukan pemeriksaan ahli. Jarang polisi memenuhi
petunjuk jaksa atau akan menjadi kesulitan bagi polisi mendatangkan ahli.
13.Berdasarkan uraian 1 s.d. 12 di atas dapat simpulkan bahwa:
Peran pembuktian sangat penting dalam suatu proses hukum di pengadilan, bila
salah dalam menilai pembuktian akan mengakibatkan putusan yang salah pula. Untuk
menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang
demikian, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan,
terutama dalam kasus tindak pidana korupsi.
Peranan ahli dalam pemeriksaan tingkat penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi
maupun pemeriksaan dalam sidang pengadilan semakin diperlukan. Pemeriksaan ahli
akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk
dilakukan pemeriksaan ahli.
Dalam hal hakim membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa melakukan
tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah sama
dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar keterangan ahli dan
alat bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti dimaksud Pasal 183
KUHAP. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi,
terdapat pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan
untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian.

14.Saran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi yang menggunakan alat bukti
keterangan ahli adalah :

Perlu segera dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan
saksi ahli dan keluarganya {sejalan dengan sebagaimana dimaksud article 32 dan 33
UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003}.

Perlu ditingkatkan kemampuan teknis penyidikan secara terus menerus dan
berkesinambungan melalui Diklat teknis dan pertemuan ilmiah.
(Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I, Studi tentang Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam
Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, 2008)

KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT
Mangiliwati Winardi dan Tri Wahyuni
Abstract
The Objective of this research is to find out of visum et repertum position in criminal proceedings and the
linkages visum et repertum with a letter and a description of the evidence . This research used the normative law
with the statute approaches. Its data were secondary ones in the from of primary legal materials. They were
gathered through the library research by identifying the laws and the legal issues. Technical analysis of the
data/legal materials based on the principle of logical consistency between legal principles related raw research
problems. The result of the research indicates that visum et repertum as evidence in the form of formal concerns
things seen and found by the doctor who examined objects is a substitute for actual evidence and visum et
repertum position in the law of evidence in criminal proceedings is included as documentary evidence.
Keywords : Victum Et Repertum, evidence
Abstrak
Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Visum Et Repertum dalam proses perkara
pidana serta keterkaitan Visum Et Repertum dengan alat bukti surat dan keterangan ahli. Sumber data penelitian ini
ialah data sekunder berupa bahan hukum primer. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan
pendekatan perundang-undangan. Sumber data penelitian ini ialah data sekunder berupa bahan hukum primer.
Teknik pengumpulan data ialah studi pustaka berupa identifikasi hukum dan isu hukum. Teknis analisis data/bahan
hukum didasarkan pada prinsip konsistensi logis antara asas-asas hukum baku terkait permasalahan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Visum Et Repertum selaku keterangan dalam bentuk yang formil menyangkut
hal- hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya adalah pengganti
barang bukti dan Kedudukan Visum Et Repertum dalam hukum pembuktian dalam proses acara pidana adalah
termasuk sebagai alat bukti surat. Kata kunci : Visum Et Repertum, Pembuktian
A. Latar Belakang Masalah
Peranan keterangan ahli untuk kelengkapan alat bukti dalam alat bukti dalam berkas perkara pro yustisial
dengan pemeriksaan dalam sidang pengadilan, sangat membantu dalam usaha untuk menambah keyakinan hakim
dalam hal pengambilan keputusan. Apabila di tinjau dari hukum acara pidana, maka peranan keterangan ahli di
perlukan dalam setiap tahap proses pemeriksaan, hal itu tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan guna
membantu tugas-tugas baik dari penyidikan, jaksa maupun hakim terhadap suatu perkara pidana seperti yang
banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana kesusilaan dan tindak
pidana kealpaan dan lain-lain.
Kondisi sekarang yang semakin modern, kebutuhan dari orang ahli semakin diperlukan kehadirannya seperti
dalam tindak pidana penyelundupan, kejahatan komputer dan komponen canggih, kejahatan perbankan, kejahatan
korporasi, tindak pidana tentang hak atas kekayaan intelektual (HAKI), tindak pidana uang palsu dan surat berharga,
tindak pidana narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) tindak pidana lingkungan hidup dan lain-lain yang
salah satu hal berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri perdagangan, komunikasi,
informasi dan sebagainya (R.Soeparmono, 2002 : 2).
Harus dipahami bahwa keterangan orang ahli sangat diperlukan dalam setiap tahap pemeriksaan baik dari
tingkat penyidikan, penuntutan maupun tahap pemeriksaan disidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil
pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli yang di dasari pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang

keilmuannya akan dapat menambah kata, fakta dan pendapatnya, yang dipakai oleh ahli dalam menimbang
berdasarkan pertimbangan hukumnya atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara in casu.
Sudah tentu hal tersebut harus dilihat secara kasuistis dari perkara yang sedang diproses, atas tindak pidana
yang didakwakan bagi terdakwa dalam surat dakwaan penuntut umum di sidang pengadilan. 3 Bahwa fenomena
yang berkaitan dengan Visum Et Repertum tidak saja menarik perhatian para ahli yang berkecimpung dalam ilmu
kedokteran forensik atau lembaga ilmu pengetahuan lainnya seperti misalnya kriminalistik, ilmu kimia forensik,
ilmu alam forensik dan kedokteran forensik yang ada seperti psikologi forensik, psikiatri forensik dan di tambah
dengan laboratorium fotografi, akan tetapi juga ini tersesat bagi ahli-ahli hukum. Ilmu-ilmu forensik tersebut itu
dapat dikatakan atau diartikan sebagai ilmu yang digunakan untuk mencari atau menghimpun dan menyusun serta
menilai fakta-fakta yang berhubungan dengan suatu perbuatan pidana dimana selanjutnya dapat dipasrahkan bagi
pengadilan dalam kepentingan melengkapi pembuktian dalam lapangan hukum acara pidana. Ilmu-ilmu forensik
meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan atau dapat dikatakan bahwa
dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus kejahatan, maka ilmu-ilmu forensik memegang peranan penting.
Dilihat dari segi peranannya dalam penyelesaian kasus-kasus kejahatan maka ilmu-ilmu forensik dibagi dalam 3
golongan (R.Soeparmono, 2002 : 11-12).
1)
2)

3)

4

Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah yuridis, yaitu : a) Hukum pidana dan b) Hukum
acara pidana
Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah teknis, yaitu :
a) Ilmu kedokteran forensik;
b) Ilmu kimia forensik termasuk taksikologi dan
c) Ilmu fisika forensik antara lain : balistik, daktiloskopi, identifikasi, fotografi dan sebagainya.
Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah manusia :
a) Kriminologi;
b) Psikologi forensik dan
c) Psikiatri/neurologi forensik (R. Soeparmono, 2002 : 11-12).
Kejahatan di samping merupakan masalah yuridis sekaligus juga merupakan masalah teknis dan masalah
manusia. Kejahatan sebagai masalah yuridis merupakan perbuatan manusia yang melanggar ketentuanketentuan (peraturan) hukum pidana yang berlaku (hukum positif).

Sebagai perbuatan yang melanggar hukum, maka ilmu yang dipergunakan untuk menangani masalah tersebut
ialah hukum pidana dan hukum acara pidana, sehingga kedua ilmu tersebut merupakan soko g