Sejumlah Pandangan Tentang agama dan Burqo

Beberapa Pandangan Tentang Burqo’/Cadar/Niqob (Antara Adat dan Syariat)
-

Setidaknya, dalam diskursus kedudukan cadar sebagai ada dua pendapat besar,
yang kami kutip dari salah satu skripsi berbahasa Arab dengan judul
Qodhiyyah al-Hijab wa al-Niqob fi Islam yang ditulis Aida Humaira, S.SI.,
MA., yang mana akan kami sarikan terjemahannya sebagai berikut:
Pemaknaan bahasa tentang cadar, didalam bahasa Arab mempunyai kata yang
beragam, sebagaimana yang dibawah ini:
a. Niqob
: sesuatu yang menutup wajah peremempuan, sebagai salah
satu jenis hijab yang diwajibkan kepadanya untuk ditutup, berupa
pakaian, perhiasan, wewangiannya, dan segala sesuatu yang berguna
untuk berhias.

Penulis skripsi ini menyimpulkan bahwa niqob/cadar meskipun termasuk jenis
hijab, namun bentuknye berbeda dengan khimar (terjemah Indonesia
umumnya adalah kerudung). Dan cadar lebih menutup dari khimar dari
fungsinya yang menutup kepala sampai wajahnya, hingga tidak terlihat
darinya melainkan kedua mata, bahkan satu saja
b. Burqo‟

: sesuatu yang digunakan untuk menutupi wajah perempuan
c. Qina‟
: penutup kepala, dan kebanyakan sampai daerah wajah
dengan kain atau selainnya

“... Para Fuqoha Kontemporer berbeda pendapat mengenai masalah ini,
menjadi dua mazhab:
1. Mazhab pertama mewajibkan menyatakan bahwa cadar bagi wanita
muslimah adalah wajib. Mereka yang berpendapat demikian, adalah
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Muhammad bin Sholih bin Utsaimin, Ahmad
Abdul Ghofur al-„Atthor, dan Abu al-A‟la al-Maududi.
Menurut mazhab ini, ayat 31 surah an-Nur mempunyai beberapa
penafsiran/dilalah penting mengenai wajibnya menggunakan hijab
dihadapan laki – laki yang bukan muhrimnya, dengan beberapa alasan:
a. Allah memerintahkan wanita mukmin untuk menjaga kemaluannya.
Lantas, perintah untuk menjaga hal itu juga bermakna menjaga apa –
apa yang menjadi jalan menuju kesana. Maka, Akal tidak memungkiri
bahwan termasuk jalan menuju ke sana adalah menutup wajah karena
membukanya adalah penyebab dari memandang kepada perempuan,
dan membayangkan keindahan – keindahannya, dan berfantasi dengan

hal itu.
Namun, pendapat ini oleh sementara kalangan seperti Muhammad alGhozali: “Apakah (ayat 30 surah an-Nur) menunjukkan kepada
menundukkan dari tengkuk dan punggung ? tentunya menundukkan
pandangan adalah dari wajah secara logis. (karena) boleh jadi
seorang laki – laki melihat apa yang dianggapnya indah dari
perempuan, maka sudah menjadi kewajibannya untuk mengulangi
pandangannya sejak saat itu.1

1

Muhammad al-Ghozali, adalah salah satu pemikir kontemporer Mesir, yang banyak menyuarakan
tentang pentingnya memahami Islam secara utuh, dengan menggunakan nalar dan pemahaman
sehingga bisa membela dirinya dari serangan – serangan pemikiran Barat. Buku al-Sunnah alNabawiyah baina ahl-fiqh wa ahl – hadits (Sunnah Nabawiyah – antara Fuqoha dan Muhadditsin)
mempunyai kutipan menarik tentang hal ini:

b. Ayat (‫ ) ليضربن يخمرهن على جي ب ن‬menunjukkan bahwa khimar adalah
sesuatu yang menutupi kepala dan. Maka jika perempuan telah
diperintahkan untuk mengenakan khimar sampai dadanya, maka
secara analogis juga diperintahkan untuk menutup wajahnya secara
pasti, karena jika seorang perempuan diperintahkan menutup daerah

leher dan dada, maka perintah menutup wajah bersifat bab al-aula
(skala yang lebih prioritas) karena wajah adalah tempat kecantikan
dan fitnah. Manusia, sesungguhnya yang senantiasa memperhatikan
keindahan sebuah objek, tidak akan mempertanyakannya melainkan
melalui wajah, kalau wajah itu cantik meka mereka tidak akan
memperhatikan bagian lain, dengan pandangan yang lebih.
c. Pertimbangan, zaman yang penuh kerusakan. Melihat dari zaman
awal kenabian saat perempuan tidak menggunakan niqob melainkan
dibeberapa saat – tanpa menafikan dalil yang mensyariatkan
membuka wajahnya. Namun, menurut pendapat pertama zaman ini
adalah zaman percontohan (persis dengan ajaran Islam). Karena,
masa ini adanya kejernihan akhlak, dan tidak ada yang menyakiti
seorangpun jika tidak bercadar.
Namun, pendapat ini mendapat argumentasi lain dari Yusuf alQaradhawi yang menyatakan: “sesungguhnya zaman para nabi dan
khulafa al-rasyidin sebagai wujud paling idealis dari Islam, dan tidak
pernah terlihat dalam sejarah kemanusiaan dalam karakter kehalusan
budi dan kebersihan jiwa, tetaplah merupakan sebuah zaman yang
tidak terlepas dari sifat kemanusiaan. Maka, didalamnya masih
terdapat kelemahan manusiawi dan nafsunya serta kekhilafannya,
seperti masih terdapatnya kasus zina dan pelaksanaan hukum

hadd/pidana. Dan terdapatnya kalangan fasiq dan pembual yang
menyakiti perempuan dengan sikap mereka yang menyimpang. Maka
ayat al-ahzab: 59, yang memerintahkan wanita mukminah untuk
menjulurkan jilbab sampai dapat dibedakan bahwa mereka adalah
wanita merdeka yang terhormat, sehingga tidak diganggu.
Sisi lain, dalil-dalil syariah jika tegas dan shohih kebenarannya.
Terdapat karakter umum dan kekal didalamnya, bukan terikat oleh
satu atau dua masa saja, kemudian muncul implikasi pemahaman dari
ayat tersebut (istidlal). Jika demikian adanya, maka syariah akan
bersifat temporal, dan ini menafikan bahwa dalil syar‟i itu bersifat
paripurna dan kekal nilainya.2
1. Mazhab kedua tidak mewajibkannya, bahkan menyatakannya hanya mubah.
Mereka yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad al-Ghozali,
Yusuf al-Qordhowi, Muhammad Nashir al-Din al-Albani, Abdul Halim abu
Syaqqoh, dan Murtadho Muthohhari.
“... Tidak diragukan lagi, bahwa sebagian perempuan Jahiliyah dimasa Islam mereka menutup
wajahnya, tanpa menutup matanya. Praktek ini bukanlah termasuk jenis ibadah, melainkan adat saja.
Dan sebuah ibadah tidak ada melainkan dengan pijakan nash...” - al-Sunnah al-Nabawiyah baina ahlfiqh wa ahl – hadits (Sunnah Nabawiyah – antara Fuqoha dan Muhadditsin) dar al-Syuruq hal. 47
2
Kedua pendapat tersebut memang dipaparkan langsung oleh Qaradhawi dalam buku al-Niqob li alMar.ah – Baina al-Qoul bibid‟iyyatihi wa sunnatihi (Cadar bagi perempuan – Antara Bid‟ah dan

Sunnah) namun kecenderungan beliau lebih menyatakan bahwa keterangan Dzalika adnaa an yu‟rafna
fa laa yu.dzain (al-ahzab: 59) bermakna bahwa didalamnya memang penggunaan jilbab, bukan cadar.
Lebih lanjut lihat keterangan tentang kesejarahan cadar didalam: Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian
Wanita Muslimah hal. 128 - 160

Mazhab ini mempunyai beberapa pandangan dari pendapatnya sebagaimana
berikut:
a. Ayat (‫ ) ليضربن يخمرهن على جي ب ن‬menunjukkan bahwa al-khumru (plral: alkhimar) adalah Menutup kepala, sementara al-juyuub (bentuk plral dari:
al-jayb) adalah terbukanya dada dari pakaian (sejenis kemeja) dan
sejenisnya. Maka Allah memerintahkan wanita – wanita mukmin agar
menampakkan serta menjulurkan kerudungnya, dan penutup kepalanya
dikarenakan mesti tertutupnya juga leher dan dada. Maka, seandainya
menutup wajah adalah kewajiban, maka ayat tersebut pasti telah
menegaskan untuk mengenakan hijab sampai menutup wajah,
sebagaimana perintah menutup daerah sekitar dada.
b. Terdapat hadits riwayat Ibn Abbas: al-Fadhl bin „Abbas, prajurit
Rasulullah SAW, pernah suatu waktu kedatangan perempuan dari
khost‟amah meminta fatwa kepadanya, lantas Fadhl kemudian melihat
kepadanya, begitu pula perempuan itu kepada Fadhl, maka (hal itu)
menjadikan Rasulullah SAW memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Lalu

Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah kepada
hamba – hambanya berupa haji, didapati ayahku disaat tua renta
(dimana) tidak mampu untuk melaksanakan perjalanan, maka apakah aku
bisa menghajikan (atas nama)nya ?. Rasulullah menjawab: Iya. Dan
(peristiwa) itu terjadi pada Haji Wada‟ (HR. Muslim)
c. Hadits riwayat Aisyah: bahwasanya Asma binti Abi Bakar pernah datang
kepada Rasulullah SAW dengan pakaian yang tipis kemudian Rasulullah
berpaling darinya kemudian berkata: “Wahai Asma, perempuan itu
sesungguhnya ketika telah mencapai masa haidh (pubertas) tidak patut
terlihat darinya melainkan ini dan ini (seraya menunjukkan kepada wajah
dan telapak tangannya). (HR. Abu Daud, hadits ini dinilai Mursal3
olehnya) hadits ini dinilai lemah dilihat dari dua sudut pandang:
- Adanya Inqitho al-Sanad4 antara Aisyah RA dengan Kholid bin Duraik
yang meriwayatkan dari beliau sebagaimana dijelaskan Imam Abu
Daud sendiri, bersamaan dengan pertanyaan Kholid bahwa ia tidak
mendengar dari Aisyah RA sebagaimana diterangkan Abu Hatim alRazi5.
- Ada perawi lain seperti Sa‟id bin Basyir al-Nashri, penduduk Dimasyq
(Damaskus) yang ditinggalkan (dicap lemah 6) Ibn Mahdi, serta
justifikasi dho‟if dari Ahmad bin Hanbal, Ibn al-Ma‟in, Ibn al-Madini,
dan Nasa‟i yang menjadi dasar lemahnya hadits ini, dan tidak bisa

disejajarkan dengan hadits shohih yang menyatakan wajibnya hijab.
d. Meskipun demikian, Imam al-Albani yang menyatakan bahwa hadits diatas
mempunyai penguatnya dengan redaksi yang semakna. Namun, beberapa
perawinya diperselisihkan statusnya oleh para ulama karena diklaim
mengalami ikhtilath al-hifdz (kecampuradukan dalam hafalannya), yaitu
Abdullah ibn Lahi‟ah al-Hadhromi yang mengalami penurunan derajat

Definisi Mursal bisa ditemukan didalam kitab – kitab mushtolah al-hadits seperti Taysir al-Mushtolah
al-Hadits, Tadrib al-Rawi, Muqoddimah fii Ulum al-Hadits (karangan Ibn Sholah al-Syahrawarzi)
4
Rujuk sebagaimana footnote sebelumnya
5
Pengarang kitab rijal al-hadits – al-Jarh wa al-Ta‟dil
6
Ingat definisi Hadits Matruk, atau status rawi yang dicap Matruk oleh para kritikus perawi

3

ketsiqohan karena, selama ketsiqohannya berdasarkan catatannya,
kemudian suatu waktu terbakar sehingga hafalannya ikhtilath. 7


- Setelah memberikan gambaran diatas, kita bisa sedikit tergambar bahwa ada
keraguan tentang kedudukan hijab sebagai sebuah bagian dari syariat, karena
alasan yang dikemukakan sejatinya adalah alasan – alasan kondisional dan tidak
mempunyai kedudukan yang kuat. Sementara, kita perlu melihat pendapat dari
keempat mazhab yang ternyata tidak menyatakan hijab sebagai sebuah bagian dari
syariat, namun kondisional belaka:
a. Mazhab Hanafi

‫ لها‬ٜ‫ فلڤ لږ ڭج‬،‫دا غالبا‬ٚ‫جل ڮعمل في شغلڢ مؾج‬ٚ‫جل فأڗ ال‬ٚ‫ها من ال‬ٚ‫ڣأما ژظ‬
‫أع‬ٚ‫ ام‬ٚ‫ إڗ ژظ‬:»‫ب ڣفي كؾاب الخنث من «أصل‬ٝ‫ علګ النا‬ٚ‫ (إلڱڢ) لضاځ أم‬ٚ‫النظ‬
‫ إلګ البطن‬ٚ‫ لها أڗ ؼنظ‬ٛ‫ فا ڭجڤ‬،‫مڢ‬ٙ‫جل إلګ محا‬ٚ‫ ال‬ٚ‫جل أجنب بمن لغ ژظ‬ٚ‫إلګ ال‬
‫ ڣهڤ أصح‬ٛ‫ڣاڭغ أڣلګ ڭجڤ‬ٚ‫ أغلظب ڣعلګ ال‬٠‫ إلګ خاف الجن‬ٚ‫ أڗ النظ‬ٚ‫ڣالظه‬

“… Adapun pandangan perempuan kepada laki – laki, karena umumnya, laki –
laki itu bekerja secara pribadi, maka seandainya perempuan tidak boleh
memandang kepadanya, maka kegiatan di masyarakat, menjadi sulit. Dan
menurut kitab (al-Khuntsa): sesungguhnya pandangan perempuan kepada laki
– laki bukan muhrimnya, seperti memandangnya laki – laki kepada muhrimnya
Maka tidak boleh baginya untuk melihat perut atau punggung, karena memang

memandang kepada berbeda jenis itu lebih berdosa. Namun, menurut satu
riwayat, yang paling shohih adalah boleh.” (Syarh al-Wiqoyah j. 5 hal. 168
b. Mazhab Maliki

‫ ما لږ ڭكن من ڂڤم عادتهږ ٗلڊ ) أڬ ِژؾڃاب فإڗ كاڗ من ڂڤم عادتهږ‬: ‫( ڂڤلڢ‬
‫ب فإ َڗ النڃاب من دأبهږ ڣمن عادتهږ َ ڭت كڤژڢ أصا فا‬ٚ‫غ بامغ‬ٞ‫ٗلڊ كأهل ژفڤ‬
ٖ‫ه ڣإڗ اعؾڱ‬ٚ‫ه لهږ ِژؾڃاب إٗا كاڗ في غي صاع ڣأ َما فيها فڱك‬ٚ‫ڭك‬
َ ‫ڣه مطلڃا ) أڬ كاڗ في‬ٚ‫ فالنڃاب مك‬: ‫( ڂڤلڢ‬
‫ڤاء كاڗ فيها أجلها‬ٞ ‫جها‬ٙ‫الصاع أڣ خا‬
‫أڣ لغي ها ما لږ ڭكن لعادع‬

c. Mazhab Syafii
7

Disarikan dari skripsi Qodhiyyah al-Hijab wa al-Niqob (Diskursus Hijab dan Cadar) yang ditulis
sekitar tahun 2002 oleh Aida Humaira, S.SI, MA. Dari hal. 45 – 65

‫ ڣهناك أجاژظ‬،ٖ‫أع مؾنڃبغ إَ أڗ ؼكڤڗ في مسج‬ٚ‫ع ڣؼمثڱل ڣام‬ٙ‫ه أڗ ڭصلي في ثڤب فڱڢ صڤ‬ٚ‫ڣگك‬
‫فع النڃاب‬ٙ ‫م عليها‬ٚ‫اد ح‬ٟ‫ إلګ الف‬ٚ‫ إليها ما ڭج‬ٚ‫ فإڗ خڱڀ من النظ‬،ٚ‫ڣڗ عن النظ‬ٛ ‫َ ڭحت‬
‫ؾحظ أڗ‬ٟ‫فا فلڱجؾنظ ٗلڊ ڣڰ‬ٚ‫اده ه ؽعالګ ش‬ٛ ،ٖٝ‫ع كبڲت امڃ‬ٙ‫گا‬ٜ‫ڣه٘ا كثي في مڤاضع ال‬

‫ن ثڱابڢ ڣه أعلږ‬ٟ‫ڭصلي الشخص في أح‬

“… dan dimakruhkan untuk sholat dengan pakaian yang terdapat gambar, dan
patung, serta bagi perempuan yang bercadar (dimakruhkan juga) kecuali
kalau didalam masjid, dan disana banyak orang yang tidak melepaskan
pandangannya kepada perempuan. Maka, seandainya pandangan tadi
dikhawatirkan membawa kebatilan, maka haram baginya untuk melepas
cadarnya, dan keadaan seperti ini banyak terjadi ditempat – tempat umum,
seperti bait al-maqdis.Semoga Allah menambahkan kemuliaan maka jauhilah
hal tersebut, dan disunnahkan bagi seseorang untuk sholat dengan pakaian
yang paling bagus, Wallahu a‟lam (Kifayah al-Akhyar bab sholat hal. 93)
d. Mazhab Hanabilah

‫ماػ مع‬ٚ‫ڣڗ بنا ڣژحن مح‬ٚ‫كباڗ ڭم‬ٚ‫ كاڗ ال‬: ‫ض ه عنها ڂالت‬ٙ ‫[ عن عائشغ‬
‫ها علګ‬ٞ‫أ‬ٙ ‫ٖلت إحٖاژا جلبابها من‬ٞ ‫لږ فإٗا حاٗڣژا‬ٞ ‫ڤڋ ه صلګ ه علڱڢ ڣ‬ٞٙ
‫ت‬ٞ ‫أع حاجغ إلګ‬ٚ‫م ڣأڗ بام‬ٚ‫ڣاه أبڤ داڣد ڣ أث‬ٙ ] ‫ڣژا كشفناه‬ٛ‫ڣجهها فإٗا جاڣ‬
‫ع‬ٙ‫ت ه علګ إطاځ كالعڤ‬ٞ ‫م عليها‬ٚ‫ڣجهها فلږ ڭح‬
... dari Aisyah RA beliau berkata: pernah sekelompok penunggang kuda,
melewati kami, dan kami dalam keadaan ihram bersama Rasulullah SAW,
maka tatkala mereka lewat dihadapan kami, salah seorang kami menjulurkan

jilbab dari kepalanya, untuk menutup wajahnya, maka saat mereka telah
pergi, kami membukanya – hadits riwayat Abu Daud dan al-Atsram, dan
karena menutup wajahnya itu, bagi perempuan adalah sebah kebutuhan,
maka tidak haram baginya untuk menutupnya secara mutlak, sebagaimana
aurat – al-Mughni, Ibn Qudamah juz 3 hal. 311
Mu gki i i saja, e erapa tulisa , te ta g adar…… se oga isa
e a tu…
Semoga bermanfaat