Chapter II Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit Terolah Secara Amoniasi dan Fermentasi Terhadap Performans Sapi Aceh

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Sapi Aceh
Sapi Aceh pada umumnya, hidup dan berkembang biak di provinsi aceh
dan juga di Provinsi Sumatera Utara. Sapi aceh ini dikembang-biakkan oleh para
petani pedesaan sejak dulu hingga saat ini. Sapi ini termasuk sapi potong dan
pekerja yang mempunyai kontribusi cukup besar bagi pemenuhan kebutuhan
daging dan berkontribusi dalam pengolahan lahan pertanian di daerah
(Diskeswannak, 2011).
Sapi Aceh memiliki badan kecil, padat dan kompak dengan pundak pada
jantan berpunuk, sedangkan betina tidak berpunuk namun bagian pundaknya tidak
rata, sedikit menonjol dibanding sapi bali betina. Pola warna bulu sapi aceh ini
pada umumnya berwarna coklat atau merah bata. Pada umumnya sapi aceh
bertanduk, tapi juga terdapat juga sapi aceh yang tidak bertanduk 7% hanya
dijumpai pada betina (Abdullah dkk, 2006)
Bangsa sapi Aceh menurut (Blakely dan bade, 1992) mempunyai susunan
klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata, Sub-phylum :
Vertebrata, Class : Mamalia, Sub-class : Eutheria, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo :
Ruminantia, Infra-ordo : Pecora, Family : Bovidae, Genus : Bos, Group :
Taurinae, Species : Bos indicus.
Sapi Aceh merupakan salah satu dari 4 bangsa sapi lokal Indonesia ( Aceh,
Pesisir, Madura dan Bali). Sapi Sumba-Ongole dan Java-Ongole (PO) juga

dianggap sebagi bangsa sapi lokal Indonesia (Dahlanuddin et al,. 2003). Ternak
asli Indonesia telah terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk

makanan, ketersediaan air, iklim, dan penyakit. Sehingga ternak inilah yang
paling cocok dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, dengan produksi baik.
Dengan interval kelahiran 12 bulan, dan kualitas daging baik (Noor, 2004).

Kebutuhan Nutrisi Sapi Aceh
Jumlah kebutuhan ternak ruminansia terhadap pakan setiap hari tergantung
pada jenis, umur, fase pertumbuhan, kondisi ternak, bobot badan dan faktor
lingkungan (Kartadisastra, 1997). Kebutuhan akan nutrisi sapi Aceh pada tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan nutrisi sapi
Uraian Bahan (%)

Pembibitan
Kadar Air
12
Bahan Kering
88
Protein Kasar

10,4
Lemak Kasar
2,6
Serat Kasar
19,6
Kadar Abu
6,8
TDN
64,2
Sumber:Wahyono dan Hardianto (2004)

Tujuan Produksi
Penggemukan
12
88
12,7
3
18,4
8,7
64,4


Kebutuhan ternak akan zat gizi terdiri atas kebutuhan hidup pokok dan
produksinya. Zat-zat pakan dalam ransum sangat berpengaruh terhadap daya
cerna (tilman et al., 1993). Kemampuan ternak ruminansia dalam mengkonsumsi
ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1) faktor tenak itu sendiri yang
meliputi besar tubuh atau bobot badan, potensi genetik, status fisiologi, tingkat
produksi dan kesehatan ternak; 2) faktor ransum yang diberikan, meliputi bentuk
dan sifat, komposisi zat-zat gizi serta kandungan bahan toksik dan anti nutrisi dan
3) faktor lain yang meliputi suhu dan kelembapan udara, curah hujan, serta
keadaan ruangan kandang dan tempat ransum.

Sistem Pencernaan dan Konsumsi Pakan
Pencernaan adalah rangkaian proses yang terjadi terhadap pakan yang
dikomsumsi alat pencernaan sampai memungkinkan terjadinya penyerapan di
usus. Ternak ruminansia mampu memanfaatkan pakan berkadar serat kasar tinggi
sebagai sumber nutrisi untuk produksinya (Parakkasi, 1999). Frandson (1992)
menyatakan bagian-bagian sistem pencernaa adalah mulut, parinks, (pada
ruminansia terdapat rumen, retikulum, omasum, dan abomasum). Usus halus, usus
besar serta glandula aksesoris yaitu glandula saliva, hati dan pancreas.
Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik, ataupun

mikrobial. Proses mekanik terdiri atas mastikasi ataupun pengunyahan
dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh
kontraksi-kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau
kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan.
Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga dicerna secara enzimatik yang
enzimnya dihasilkan oleh sel-sel mikroorganisme (Tilman et al., 1993).
Hewan ruminansia memiliki perut besar, mempunyai ruang dan
kebanyakan kegiatan pencernaan dilakukan oleh mikroba yang tinggal dalam
perut besar. Bagian terbesar dari lambung ruminansia adalah rumen yang
berfungsi sebagai tempat fermentasi. Keuntungan lain dari fermentasi rumen ialah
kemampuan mikroba rumen mensintesis asam amino dan pencernaan protein
mikrobial (Tilman et al., 1993).
Pertumbuhan dan aktivitas mikroba selulotik yang efisien, sama
halnya

dengan

mikroba

rumen


lain,

membutuhkan

sejumlah

energi,

nitrogen, mineral dan faktor lain (misalnya vitamin). Selanjutnya dinyatakan pula

bahwa energi merupakan faktor esensial utama yang digunakan untuk
pertumbuhan mikroba rumen. Mikroba rumen mempunyai energi untuk hidup
pokok (Bamualim, 1994).
Parakkasi (1999) menyatakan tingkat perbedaan konsumsi dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain faktor ternak (bobot badan, umur, tingkat
kecernaan pakan, kulitas pakan dan palatabilitas. kemampuan mencerna bahan
makanan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, komposisi makanan
dan penyiapan makanan (Tilman et al., 1993).


Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit Sebagai Pakan Ternak Sapi
Pakan adalah semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak
serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang
diberikan harus berkualitas serta mengandung zat-zat yang diperlukan ternak
(Parakkasi, 1999). Widayati dan Widalestari (1996), menyatakan pakan yang
diberikan jangan sekedar untuk mengatasi lapar, melainkan bermanfaat untuk
kebutuhan hidup pokok, membentuk sel-sel baru, menggantikan sel yang rusak,
dan untuk produksi.
Pakan sapi pada dasarnya merupakan sumber pembangun tubuh.
Untuk

memproduksi

protein

tubuh,

sumbernya

adalah


protein

pakan,

sedangkan energi yang diperlukan bersumber dari pakan yang dikonsumsi,
sehingga pakan merupakan kebutuhan utama dalam pertumbuhan ternak
(Yasin dan Dilaga, 1993).
pakan ternak ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan (rumput dan
legume) dan konsentrat. Hijauan dapat berupa rumput lapangan, limbah hasil
pertanian, rumput jenis unggul, dan juga beberapa jenis leguminosa. Sedangkan

konsentrat merupakan bahan pakan mpenguat yang terdiri dari bahan pakan yang
kaya karbonhidrat dan protein. Pemberian pakan berupa kombinasi kedua bahan
pakan tersebut akan member peluang terpenuhinya zat-zat gizi dan biaya relative
rendah (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988)
Konsentrat adalah bahan makanan yang konsentrasi gizinya tinggi tetapi
kandungan serat kasarnya relatif rendah dan mudah dicerna. Parakassi (1999)
menyatakan bahwa konsentrat atau makanan penguat adalah bahan pakan yang
tinggi kadar zat-zat makanan seperti protein atau karbohidrat dan rendahnya kadar

serat kasar (dibawah 18%). Konsentrat mudah dicerna, karena terbuat dari
campuran beberapa bahan pakan sumber energi (biji-bijian, sumber protein jenis
bungkil, kacang-kacangan, vitamin dan mineral).
Pakan penguat adalah pakan yang berkonsentrasi tinggi dengan kadar serat
kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi
bahan makanan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, bulgar,
hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak, bekatul, bungkil kelapa, dan
berbagai umbi (Sugeng, 2000). Ternak ruminansia membutuhkan konsentrat
untuk mengisi kekurangan makanan yang diperolehnya dari hijauan. Pemberian
konsentrat pada sapi tidak sama dengan hewan lainnya (Novirma, 1991).
Pemberian konsentrat terlalu banyak, akan meningkatkan konsentrasi
pakan energi yang dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi
energi

sendiri

dapat

berkurang


(parakkasi,

1999).

Ternak

ruminansia

membutuhkan konsentrat untuk mengisi kekurangan makanan yang diperolehnya
dari hijauan. Pemberian konsentrat pada sapi tidak sama dengan hewan lainnya
(novirma, 1991).

Pelepah Kelapa Sawit
Kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 80-an dan
saat ini telah menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat penting dalam
penenrimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, serta pengembangan
perekonomian rakyat dan daerah (Elisabeth dan Ginting, 2003).
Daun dan pelepah kelapa sawit merupakan salah satu bahan pakan ternak
yang memiliki potensi yang cukup tinggi, tetapi kedua bahan pakan tersebut
belum dimanfaatkan secara maksimal oleh peternakan sapi. Kandungan protein

kasar pada kedua bahan pakan tersebut masing-masingnya mencapai 15% BK
daun dan 2-4% BK pelepah (Mathius, 2003).
Kandungan zat nutrisi pada pelepah kelapa sawit seperti; bahan organic
sebesar 16,6%, serat detergen netral sebesar 78,7% dan serat detergen asam
sebesar 55,6% (Alimon dan Hair-Bejo, 1996). Relatif sebanding dengan zat nutrisi
rumput, meskipun kandungan protein kasar pelepah kelapa sawit (3,44%) lebih
rendah dibandingkan dengan protein kasar rumput (7-14%), namun nilai
kecernaan bahan kering pelepah sawit adalah 45% (Pond et al., 1995). Dengan
kandungan zat nutrisi dan nilai kecernaan pelepah kelapa sawit tersebut, maka
enegi pelepah kelapa sawit diperkirakan hanya mampu memenuhi kebutuhan
hidup poko, sehingga untuk pertumbuhan, bunting dan laktasi di perlukan pakan
tambahan untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi.
Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan
dengan penambahan produk ikutan lainnya dari kelapa sawit. Namun demikian,
dalam perlakuan pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan hijauan memiliki
kekurangan dalam penyediaan. Hal ini disebabkan adanya lidi daun yang dapat

menyulitkan ternak untuk mengkonsumsinya. Pencacahan yang dilanjutkan
dengan pengeringan dan digiling, dapat diberikan dalam bentuk pakan komplit
(Wan Zahari et al., 2003).

Susunan daun tanaman kelapa sawit mirip dengan tanaman kelapa
yaitu membentuk susunan daun mejemuk. Daun-daun tersebut akan membentuk
suatu pelepah daun yang panjangnya dapat mencapai kurang lebih 7,5 – 9 m.
jumlah anak daun pada tiap pelepah berkisar antara 250 – 400 helai (Hanafi,
2004).
Tabel 2. Kandungan nutrisi pelepah kelapa sawit
Pelepah Kelapa
Sawit
Fisik
Kimia
Biologis
Kimia + Biologis

BK
(%)
8,88
9,63
10,29
9,82

Abu
(%)
4,05
6,59
12,63
8,01

PK
(%)
5,56
6,25
4,19
6,31

Zat Nutrisi
LK
(%)
1,12
1,09
1,07
0,89

SK
(%)
49,21
43,07
36,52
39,22

GE (K.cal/g)
4,4274
4,4851
3,9733
3,4623

Keterangan: BK (Bahan Kering); PK (Protein Kasar); LK (Lemak Kasar); SK (Serat Kasar); GE
(Gross Energy).
Sumber: Laboratorium Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih (2014)

Tingkat kecernaan bahan kering pelepah dan daun kelapa sawit pada sapi
mencapai 45%. Namun adanya lidi pada pelepah daun kelapa sawit akan
menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi
dengan cara pencacahan, kemudian penggilingan. Untuk meningkatkan konsumsi
dan kecernaan pelepah daun sawit, dapat ditambahkan produk samping lain dari
kelapa sawit. Pemberian pelepah daun sawit sebagai bahan pakan dalam jangka
panjang, dapat menghasilkan kualitas karkas yang baik (Balai Penelitian Ternak,
2003).
Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa daun sawit tersusun dari 70%
serat kasar dan 22% karbohidrat (berdasarkan bahan kering). Karakteristik ini juga

menunjukkan bahwa daun sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah
diperkirakan bahwa kecernaan bahan kering dapat meningkat 45% dengan
pembuatan silase daun kelapa sawit (Hassan dan Ishida, 1992). Menurut
Mathius (2003), menyatakan bahwa pemberian pakan daun kelapa sawit kepada
sapi jantan dapat meningkatkan bobot badan sebesar 930 g/ekor/hari.
Pengolahan Bahan Pakan Pelepah Kelapa Sawit
Dengan melakukan pengolahan secara amoniasi dan silase, dapat
memberikan keuntungan dan lebih aman serta meningkatkan nilai nutrisi yang
lebih baik serta mengawetkan limbah pertanian. Kandugan bahan kering, protein
kasar dan kecernaan pelepah kelapa sawit yang telah diamoniasi dan disilase
dengan penambahan urea menjadi lebih meningkat dibandingkan tanpa pemakaian
urea dan kecernaan bahan kering akan meningkat 45% terutama jika diberikan
pada sapi (Hassan dan Ishida, 1992).
Tabel 3. Kandungan senyawa kimia penyusun serat kasar pada pelepah kelapa
sawit
Unsur kimiawi
Pelepah kelapa sawit (%)
Selulosa
31,7
Hemiselulosa
33,9
Lignin
17,4
Silika
0,6
Total
83,6
Sumber: Ginting dan Elizabeth (2013)
Beberapa pengolahan yang dapat meningkatkan kecernaan serat kasar.
Peningkatan kuantitas bagian yang dapat dicerna pada kualitas rendah dapat
dilakuakan melalui proses fisik (pencacahan), kimia (amoniasi), dan biologis
(fermentasi).

Terolah Fisik
Merupakan proses yang diberikan pada bahan pakan sumber energi
alternatif. Seperti memotong, mencincang, menggiling atau membuat pelet untuk
meningkatkan daya cerna bahan pakan tersebut. Proses fisik yang dilakukan
disesuaikan dengan spesies hewan ternak

dan jumlah yang akan diberikan

(Piliang, 1997).
Perlakuan fisik yang dilakukan pada pelepah kelapa sawit adalah
pencacahan dengan menggunakan mesin chopper hingga mencapai ukuran
1-2 cm. Pencacahan dilakukan dengan mencacah semua bagian pelepah kelapa
sawit (Hanafi, 2004).
Peternak dikalangan masyarakat, memanfaatkan pelepah sebagai pakan
ternak dengan cara memisahkan daun dari lidi yang kemudian diberikan pada
ternak. Sedangkan lidi dan kulit pelepah luar yang mengeras dijadikan menjadi
sebuah kerajinan.

Terolah Amoniasi
Ada tiga sumber amoniak yang dapat dipergunakan dalam proses amoniasi
yaitu : NH3 dalam bentuk gas cair, NH4OH dalam bentuk larutan, dan urea dalam
bentuk padat. Penggunaan NH3 gas yang dicairkan biasanya relative mahal. Selain
harganya mahal juga memerlukan tangki khusus yang tahan tekanan tinggi
minimum (Minimum 10 bar). Demikian pula hal nya dengan larutan amoniak
NH4OH selain harganya relatif mahal juga sukar diperoleh, sehingga pemakaian
NH4OH terbatas dilaboratorium (Hanafi, 2004).
Satu-satunya sumber NH3 yang murah dan mudah diperoleh adalah
urea. Urea yang banyak beredar untuk pupuk tanaman pangan. Menurut Siregar

(1995) urea dengan rumus molekul CO (NH2)2 banyak digunakan dalam ransum
ternak ruminansia karena mudah diperoleh, harga murah dan sedikit keracunan
yang diakibatkannya. Secara fisik urea berbentuk kristal padat berwarnaputih dan
higroskopis. Urea mengandung nitrogen sebanyak 42 – 45% atau setara dengan
potein kasar antara 262 – 281%.
Kandungan bahan kering pelepah kelapa sawit segar yaitu 27,07%
sedangkan kandungan bahan kering pelepah kelapa sawit yang telah diamoniasi
meningkat sebesar 64,08%. Kandungan bahan organik pelepah kelapa sawit segar
yaitu 89,13% sedangkan kandungan bahan organik pelepah kelapa sawit yang
telah diamoniasi meningkat sebesar 93,20% (Hanafi, 2004).
Perlakuan amoniasi dengan urea telah terbukti mempunyai
pengaruh yang baik terhadap pakan. Proses amoniasi lebih lajut akan memberikan
keuntungan yaitu meningkatkan kecernaan pakan. Setelah terurai menjadi NH3
akan mengalami hidrolis menjadi NH4+ dan OH. NH3 mempunyai pKa = 9,26,
berarti bahwa dalam suasana netral (pH=7) akan lebih banyak terdapat sebagai
NH+ (Hanafi, 2004).

Terolah Fermentasi
Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan
enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan
reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik
dengan menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan
sifat bahan tersebut (Winarno et al., 1980).
Fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan bahan mengandung
mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen

non simbiotik (contohnya: starbio, starbioplus, EM-4, dan lain-lain) (Yunilas,
2009).
Pada proses fermentasi peristiwa yang terjadi adalah suatu rangkaian kerja
enzim yang dibantu oleh energi-energi metabolit yang khas berada dalam sistem
biologis hidup. Menurut Hanafi (2004), kandungan bahan kering pelepah kelapa
sawit segar yaitu 27,07% sedangkan kandungan bahan kering pelepah kelapa
sawit yang telah difermentasi meningkat sebesar 56,26%.

Lama daya simpan produk fermentasi ditentukan oleh kadar air produk
fermentasi, sempurna tidaknya proses fermentasi, jenis kemasan dan suhu ruang
penyimpanan produk fermentasi tersebut. Lokasi yang memiliki kelembaban yang
tinggi, maka jenis kemasan merupakan faktor yang harus diperhatikan karena
dapat mempengaruhi fisik produk, berdampak terhadap performan ternak yang
mengkonsumsinya (Pasaribu et al., 2001).
Keberhasilan suatu produk fermentasi secara nyata dapat ditentukan
melalui kecernaan. Prinsip penentuan kecernaan zat-zat makanan adalah
menghitung banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan
banyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses. Upaya fermentasi akan
bernilai guna apabila diketahui nilai kecernaannya (Sukaryana et al., 2011).