Folklor dan Hantu hantu Pemaknaan Orang
Pemaknaan Orang Minang terhadap Palasik, Bunian, dan Inyiak Harimau
Oleh Febi Rizki Ramadhan, 1206204720
Pendahuluan
Kepercayaan rakyat ialah salah satu bentuk folklore sebagian lisan yang terdapat di tiap
masyarakat. Kepercayaan rakyat sering juga disebut sebagai takhayul, meski akademisi
cenderung memilih terminologi kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat dapat dikategorikan
sebagai folklore karena memenuhi kesembilan ciri folklore. Terdapat ragam macam kepercayaan
rakyat, mulai dari kepercayaan rakyat mengenai lingkaran hidup manusia, kepercayaan rakyat
terhadap alam gaib, kepercayaan rakyat mengenai terciptanya alam semesta dan dunia, serta
kepercayaan rakyat yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kategori-kategori yang telah saya
jabarkan. Dalam makalah ini, saya akan berfokus pada kepercayaan rakyat pada alam gaib.
Menurut Wyland D. Hand, kepercayaan rakyat pada alam gaib memuat kepercayaan rakyat
terhadap para dewa, roh-roh, makhluk-makhluk gaib, kekuatan sakti, dan alam gaib. Menurut
saya, kepercayaan rakyat menarik untuk diperbincangkan karena kepercayaan rakyat merupakan
folklore yang dapat dengan amat jujur memproyeksikan keinginan dan gagasan terpendam
masyarakat. Dalam makalah ini, saya akan membahas mengenai kepercayaan rakyat
Minangkabau terhadap makhluk halus.
Minangkabau, yang selanjutnya akan saya sebut sebagai Minang, merupakan sebuah
kelompok etnik yang mendiami wilayah Sumatra. Secara geografis dan administratif, orang
Minang bertempat di wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya. Minang sebagai suatu kesatuan
etnik memiliki sejumlah nilai budaya yang khas yang menjadi identitasnya, antara lain nilai
budaya terkait merantau dan religi. Mengenai religi, Minang memiliki keterkaitan yang amat erat
dengan Islam. Islam sebagai suatu agama telah masuk ke dalam kebudayaan Minang, bahkan
termanifestasi dalam filosofi dasar orang Minang, yakni adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah yang berarti adat bersendikan hukum dan hukum bersendikan kitabullah. Filosofi ini
merupakan bukti nyata bahwa orang Minang memiliki hubungan yang erat dengan Islam, bahkan
Islam telah menjadi dasar kebudayaan mereka. Setidaknya begitu pada tataran idealnya.
Bagi saya, menarik untuk membahas bagaimana orang Minang memaknai kepercayaan
mereka terhadap makhluk halus karena kepercayaan terhadap makhluk halus bertentangan
dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Islam sebagai agama memang memiliki sejumlah ajaran,
termasuk di dalamnya percaya bahwa ada alam lain selain alam manusia. Akan tetapi, Islam
sebagai agama tidak mengatur fungsi makhluk halus dalam semesta. Dalam Islam, makhluk
halus tinggal di alam, namun tidak memiliki fungsi-fungsi pengaturan alam. Kepercayaan
Minang terhadap makhluk halus, setidaknya pada tiga makhluk halus yang akan saya bahas,
seolah menegasikan ajaran tersebut. Pemaknaan orang Minang terhadap kepercayaan mereka
mengenai makhluk halus menyebabkan adanya tindakan-tindakan sosial yang mereka lakukan.
Tindakan-tindakan itu dapat dikategorikan sebagai signifikansi sosial yang timbul dari folklore
yang ada.
1
Dalam makalah ini, saya akan membahas tiga makhluk halus Minang, yakni bunian,
palasik, dan inyiak harimau. Data mengenai ketiga makhluk halus tersebut saya dapatkan dari
naskah-naskah folklore yang saya tulis berdasarkan hasil turun lapangan pada sejumlah orang
Minang. Fokus penulisan saya dalam makalah ini ialah melihat bagaimana orang Minang
memaknai kepercayaan mereka terhadap makhluk halus, yakni bunian, palasik, dan inyiak
harimau dan bagaimana pengetahuan orang Minang termanifestasi dalam kepercayaan mereka
terhadap ketiga makhluk tersebut.
Bunian, Sang Penculik Selepas Senja
Mengacu pada beberapa informan, bunian adalah makhluk halus yang berasal dari
kepercayaan Minang. Bunian berbentuk layaknya manusia biasa yang berjeniskelamin
perempuan. Ia memiliki organ tubuh lengkap seperti manusia. Bunian juga berpakaian lengkap
seperti manusia biasa. Jadi, cukup sulit untuk mengidentifikasi bunian apabila ia berada di dunia
manusia.
Bunian biasanya tinggal di daerah yang sepi dari manusia seperti perkampungan sepi,
rumah yang tidak lagi ditinggali, atau pinggir hutan. Bunian biasanya datang ke pemukiman
manusia pada saat senja turun. Bunian akan menculik orang yang masih berkeliaran di luar
rumah saat senja turun, misalnya anak-anak yang masih bermain atau pemuda-pemudi yang
masih bercumbu. Orang yang diculik oleh bunian akan dibawa ke alam bunian yang terletak di
dimensi yang berbeda.
Meski dibawa ke alam bunian, bukan berarti orang yang diculik dibawa ke tempat tinggal
bunian (perkampungan sepi, rumah kosong, atau pinggir hutan). Alam bunian merupakan alam
yang berada di dimensi yang berbeda, berbentuk seperti hutan yang berisi pohon-pohon lebat dan
rimbun. Di alam tersebut, terdapat rumah bunian. Orang yang diculik akan dibawa ke rumah
tersebut dan mendapat jamuan dari bunian. Jamuan dari bunian umumnya berupa mie dan bubur
yang ternyata ialah cacing dan makanan busuk. Terdapat beberapa varian folklore pada bagian
ini, ada informan yang menyatakan bahwa orang yang diculik tidak tahu bahwa yang ia makan
merupakan cacing dan makanan busuk. Di sisi lain, terdapat pula informan yang menyatakan
bahwa orang yang diculik tahu bahwa yang ia makan ialah cacing dan makanan busuk namun ia
tidak memiliki kuasa untuk menolak memakan makanan tersebut.
Ketika berada di alam bunian, orang yang diculik dapat melihat apabila ada orang yang
mencarinya. Pada sejumlah kasus, dinyatakan bahwa orang yang diculik dapat melihat para
pencarinya memanggil-manggilnya. Akan tetapi, orang yang diculik tidak dapat mengeluarkan
suara atau suara yang ia keluarkan tidak terdengar oleh para pencarinya. Para pencarinya,
nantinya, juga akan mengatakan bahwa mereka tidak mendengar suara panggilan.
Setelah bunian merasa cukup, orang yang diculik akan dikembalikan lagi ke alam
manusia. Biasanya, orang yang diculik dapat ditemukan di tempat-tempat yang sebenarnya
mudah terlihat seperti di bawah meja atau di atas pohon.
2
Palasik, Sang Penghisap Darah Bayi
Palasik adalah makhluk halus yang dapat dikategorikan sebagai bilih atau setan dalam
kepercayaan rakyat Minangkabau. Palasik ialah perempuan yang mempelajari ilmu hitam dan
harus menghisap darah bayi agar kemampuan ilmu hitamnya dapat mencapai tingkat tinggi.
Terdapat ragam varian folklore mengenai bentuk palasik. Ada informan yang menyatakan bahwa
palasik hanya berupa kepala yang melayang-layang. Di sisi lain, terdapat pula informan yang
menyatakan bahwa palasik berbentuk seperti manusia biasa. Ia dapat merupa wujud ibu-ibu pada
umumnya. Akan tetapi, di balik pakaiannya hanya ada usus yang menjuntai.
Yang diincar oleh palasik biasanya bayi atau balita. Palasik biasanya mendatangi rumah
korbannya dan dapat dilihat oleh orang lain. Palasik dapat menghisap darah dengan beberapa
cara, yaitu: (1)Menghisap darah bayi atau balita dari ubun-ubunnya. Dengan cara ini, darah bayi
atau balita tersebut akan mengalir dari kepala dan dapat langsung ditelan oleh palasik;
(2)Mencucuk bayi di bagian leher atau lengannya. Dengan cara ini, darah bayi atau balita akan
mengalir melalui lubang gigitan; atau (3)Menghisap janin bayi dari vagina perempuan yang
sedang hamil tua.
Ada cara yang dapat dilakukan orang Minang untuk menangkal palasik. Cara ini biasanya
digunakan oleh ibu-ibu untuk melindungi anak-anak mereka dari palasik. Penangkalan ini
dilakukan dengan memasang kalung beruntai kantung dari kain hitam. Kantung dari kain hitam
ini berisi beberapa benda yang diyakini dapat menolak palasik. Contoh dari benda yang biasa
digunakan ialah ayat Quran yang ditulis di sehelai kertas dan bawang putih.
Selanjutnya, apabila palasik telah datang dan ditemukan sedang mencoba menghampiri
bayi atau balita, atau sedang menghisap darah bayi, ada cara yang dapat digunakan untuk
melawan palasik tersebut. Cara yang dapat digunakan ialah menusuk palasik menggunakan
benda tajam, biasanya pisau atau gunting. Dengan cara itu, palasik akan mati dan musnah
sendirinya.
Inyiak Harimau, Sang Pelindung
Berbeda dengan dua makhluk halus sebelumnya yang bersifat destruktif, inyiak harimau
memiliki fungsi manifes yang memang positif bagi orang Minang. Inyiak harimau dapat
diartikan menjadi dua definisi. Pertama ialah inyiak harimau sebagai penjaga hutan yang
memiliki beberapa fungsi sosial, kultural, dan ekologi. Kedua ialah inyiak harimau sebagai
pelindung orang Minang yang sedang merantau.
Sebagai penjaga hutan, inyiak harimau adalah makhluk setengah manusia setengah
harimau. Ada beberapa varian folklore mengenai identitas inyiak harimau ini. Ada informan
yang menyatakan bahwa inyiak harimau merupakan manusia yang mempelajari magi putih
sehingga dapat bertransformasi menjadi harimau. Di sisi lain, ada informan lain yang
menyatakan bahwa sejak awal inyiak harimau memang siluman harimau yang dapat berubah
menjadi manusia, harimau, atau manusia harimau.
Inyiak harimau sebagai makhluk yang dapat berkomunikasi dengan kedua makhluk pada
suatu masa di masa lampau pernah menjembatani kontrak sosial antara manusia dan harimau
3
untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Inyiak harimau merupakan sosok yang tepat untuk
menjembatani kontrak tersebut karena ia dapat berdialog baik dengan manusia ataupun dengan
harimau. Identitas diri yang cair ini menyebabkan inyiak harimau dapat diterima di dua
kelompok yang berbeda tersebut.
Inyiak harimau juga kerapkali digambarkan sebagai harimau jadi-jadian yang menjaga
hutan. Inyiak tinggal di hutan dan menjaga keseimbangan hutan tersebut agar tidak diganggu
oleh manusia. Banyak orang Minang yang percaya bahwa inyiak harimau gemar memakan
durian. Oleh karena itu, apabila terdapat durian yang jatuh di hutan, durian tersebut tidak boleh
disentuh karena durian tersebut ialah jatah inyiak harimau.
Menurut beberapa informan, inyiak harimau dapat mengontrol perubahan dirinya kecuali
pada saat tertentu, yaitu ketika ia sedang berada di dekat sungai atau perairan terbuka. Saat
berada di dekat sungai atau perairan terbuka, inyiak harimau akan menjelma kembali menjadi
harimau. Akan tetapi, selain itu inyiak harimau dapat mengontrol perubahan dirinya. Saat
menjadi manusia, ada tanda-tanda inyiak harimau yang dapat dilihat, yakni panjang tangannya
melebihi panjang tangan manusia biasa dan di antara hidung dan mulutnya tidak ada cekungan
yang terdapat pada manusia biasa. Jadi, apabila seseorang memiliki panjang tangan yang tidak
normal dan tidak memiliki cekungan di antara hidung dan mulutnya, maka ia dapat dikira
sebagai inyiak harimau.
Definisi inyiak harimau yang kedua ialah penjaga orang Minang yang sedang merantau.
Apabila seorang Minang sedang merantau dan sedang berada di daerah rantau, akan dilindungi
oleh inyiaknya. Tiap orang Minang sebenarnya memiliki inyiak yang menjaganya, namun tidak
setiap orang Minang memiliki kemampuan untuk melihat dan mengenali inyiaknya. Hanya
sejumlah orang Minang yang dapat melihat dan mengenali inyiaknya karena telah diajarkan oleh
keluarganya.
Inyiak dapat melindungi seseorang dengan beberapa cara, di antaranya ialah memberi
dorongan spiritual agar orang tersebut dapat menjalani tugas-tugas kesehariannya dengan baik.
Selain itu, orang Minang yang telah dapat melihat dan mengenali inyiaknya biasanya dapat
masuk ke kondisi trance sehingga sang inyiak masuk ke dalam tubuhnya. Saat sang inyiak
masuk ke dalam tubuh seseorang, tubuh orang tersebut akan dapat digerakkan oleh inyiaknya.
Jadi, ketika menghadapi bahaya dan ancaman fisik, inyiak dapat mengambilalih tubuh dan
melindungi sang pemilik tubuh tersebut.
Makhlus Halus Minang dan Ciri Folklor
Menurut James Danandjaja, kepercayaan rakyat dapat dikategorikan sebagai folklore,
tepatnya folklore sebagian lisan. Pada bagian ini, saya akan mencoba menganalisis ketiga
kepercayaan rakyat yaitu bunian, palasik, dan inyiak harimau menggunakan ciri-ciri folklore
sebelum nantinya membahas mengenai pemaknaan. Dengan menganalisis ciri-ciri folklore pada
ketiga kepercayaan rakyat Minang ini, kita dapat mengetahui bagaimana kepercayaan rakyat
Minang dapat dikategorikan sebagai suatu folklore.
Ciri pertama ialah penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.
Danandjaja menjelaskan bahwa ciri ini berarti folklore disebarkan melalui tutur kata dari mulut
4
ke mulut atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu
pengingat dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pada kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus, dapat dilihat bahwa penyebaran dan pewarisan kepercayaan tersebut dilakukan
secara turun temurun secara lisan. Baik dari orangtua ke anaknya atau dari lingkar pertemanan ke
anggota-anggota kelompoknya. Penyebaran folklore mengenai bunian, misalnya, seringkali
disampaikan oleh orangtua pada anak agar sang anak tidak bermain selepas senja. Penyampaian
ini dilakukan secara lisan.
Ciri kedua ialah bersifat tradisional atau disebarkan dalam bentuk relative tetap dan
minimal dua generasi. Hal ini tentu terlihat jelas pada kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus, terdapat informan yang telah melakukan pewarisan folklore mengenai
kepercayaan ini terhadap anak dan cucunya. Jadi, pewarisan berjalan relative tetap dan lebih dari
dua generasi.
Ciri ketiga ialah folklore ada dalam varian yang berbeda. Adanya varian ini disebabkan
karena adanya penambahan atau pengurangan yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar
oleh penutur. Pada kepercayaan rakyat Minang mengenai inyiak harimau, misalnya, terdapat
pula varian ini. Varian ini terlihat nyata pada pandangan mengenai asal mula inyiak harimau.
Ada yang menyatakan bahwa inyiak harimau memang setengah harimau dan setengah manusia
sejak ia ada, namun ada pula yang menyatakan bahwa inyiak harimau merupakan manusia yang
mempelajari magi dan dapat berubah menjadi harimau. Perbedaan-perbedaan semacam inilah
yang disebut varian dalam folklore dan terdapat dalam kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus. Interpolasi juga cenderung terjadi pada proses penyebaran folklorenya.
Ciri keempat ialah anonim. Pembuat folklore cenderung tidak diketahui siapa dan
bagaimana awalnya. Sama halnya dengan kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus,
orang Minang umumnya tidak mengetahui siapa orang yang pada mulanya menggagas konsep
palasik, bunian, maupun inyiak harimau. Yang orang Minang tahu hanyalah bahwa ada
makhluk-makhluk tersebut dalam kepercayaan Minang dan tiap makhluk memiliki fungsi
masing-masing. Biasanya, pengetahuan orang Minang hanya sedalam itu.
Ciri kelima ialah memiliki bentuk berpola. Dalam hal kepercayaan rakyat Minang
terhadap makhluk halus, pola-pola seperti ulangan-ulangan terlihat dalam kepercayaan orang
Minang terhadap bunian. Bunian tidak hanya sekali dua kali datang ke dunia manusia dan
menculik orang yang masih berada di luar rumah selepas senja. Bunian seringkali dianggap
datang berkali-kali tiap ada orang berada di luar rumah selepas senja. Saya pikir inilah pola
bentuk yang dapat dilihat dalam kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus.
Ciri keenam ialah memiliki fungsi. Masing-masing kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus tentunya memiliki fungsi sosialnya tersendiri. Bunian, misalnya, memiliki fungsi
kontrol sosial agar orang tidak berada di luar rumah setelah senja turun. Hal ini dikarenakan
tempat di luar rumah dapat berbahaya ketika telah gelap. Kepercayaan seperti bunian inilah yang
melegitimasi aturan tidak keluar rumah selepas senja. Selanjutnya palasik, adanya kepercayaan
terhadap palasik berfungsi kontrol sosial pula, yakni agar bayi dan balita selalu dijaga oleh
orangtua. Terakhir, Inyiak harimau juga memiliki fungsi proyeksi keinginan terpendam. Salah
satu informan menyatakan bahwa kegunaan dari kepercayaan inyiak harimau ialah agar tiap
5
orang Minang, yang meski melihat keturunan dan kekerabatan dari garis ibu, tetap menghormati
leluhur dan keluarganya yang laki-laki.
Ciri ketujuh ialah dimiliki oleh kolektif tertentu. kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus ini tentunya dimiliki oleh satu kolektif yang sama, yaitu kolektif Minang. Minang
sebagai sebuah kesatuan etnik memiliki sejumlah sistem kebudayaan, salah satu di antaranya
ialah religi yang termasuk di dalamnya kepercayaan rakyat. Kecuali inyiak harimau yang folknya
ialah orang Minang di luar Padang, seluruh orang Minang mengetahui dan memiliki lor bunian
dan palasik.
Ciri kedelapan ialah bersifat pralogis. Pralogis artinya tidak sesuai dengan logika umum.
Hal ini tentunya dapat dilihat dari rasionalitas kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk
halus yang ada. Bunian tentunya telah melanggar logika umum karena dapat membawa manusia
ke alam yang berada di dimensi yang berbeda. Palasik melanggar logika umum karena kepala
dapat melayang tanpa tubuh. Kemudian inyiak harimau melanggar logika umum karena ia dapat
berubah sosok antara manusia dan harimau serta dapat berkomunikasi dengan keduanya.
Ciri terakhir ialah bersifat polos dan lugu. Menurut saya, kepercayaan terhadap inyiak
harimau merupakan bentuk folklore yang polos dan lugu karena merupakan proyeksi kejujuran
orang Minang mengenai sistem kekerabatan dan keturunan.
Dikarenakan melengkapi kesembilan ciri di atas, kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus yakni palasik, bunian, dan inyiak harimau dapat dikategorikan sebagai folklore.
Pembahasan yang menarik selanjutnya ialah bagaimana orang Minang memaknai folklore
mereka sendiri, yang akan saya bahas pada bagian selanjutnya.
Pemaknaan Orang Minang terhadap Makhluk Halus
Wallace menyatakan bahwa mitologi dan folklore adalah cerita-cerita yang memiliki plot
atau karakter yang antropomorfis. Pernyataan Wallace ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
melihat bagaimana pemaknaan orang Minang terhadap kepercayaan mereka mengenai makhluk
halus. Pada dasarnya, pemaknaan dapat dilihat dari bagaimana tindakan sosial yang dilakukan
oleh folk, dalam hal ini orang Minang, setelah mengetahui dan memahami fenomena atau lor
mereka, dalam hal ini kepercayaan mereka terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau. Selain
itu, proses memaknai kepercayaan rakyat juga dapat dilihat sebagai bagaimana orang Minang
memanifestasikan pengetahuan mereka.
Pada bagian ini, saya akan membahas dua hal. Pertama, bagaimana tindakan sosial yang
dilakukan oleh orang Minang setelah mereka memahami kepercayaan mereka sendiri mengenai
palasik, bunian, dan inyiak harimau. Kedua, bagaimana orang Minang memanifestasikan
pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan tersebut. Dalam dua pembahasan ini, tentunya
tema mengenai Islam akan menyentuh proses pemaknaan karena, seperti yang telah saya tuliskan
di bagian pendahuluan, Islam memiliki posisi yang kuat dalam kebudayaan Minang dan sedikit
banyak tentunya berpengaruh pada proses pemaknaan mereka terhadap kepercayaan pada
makhluk halus yang cenderung bertentangan dengan ajaran Islam.
Pertama ialah bagaimana tindakan sosial yang mereka lakukan. Pada dasarnya, tindakan
sosial yang dilakukan oleh orang Minang terbagi menjadi tiga, yaitu bagaimana mereka
6
mencegah datangnya makhluk halus, bagaimana mereka melawan makhluk halus yang telah ada,
dan bagaimana mereka mempertahankan hubungan baik dengan makhluk halus. Ketiga bentuk
tindakan sosial ini bukanlah merupakan reaksi pada satu makhluk halus, melainkan pada
makhluk halus yang berbeda-beda. Tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk mencegah
datangnya bunian dan palasik, tindakan perlawanan dapat dilakukan untuk melawan palasik, dan
tindakan mempertahankan hubungan baik dapat dilakukan pada inyiak harimau.
Mengenai tindakan pencegahan, setelah memahami bagaimana karakteristik bunian dan
palasik, orang Minang dapat melakukan sejumlah tindakan yang dapat menghalau datangnya
kedua makhluk halus tersebut. Pada dasarnya, kedua makhluk halus tersebut dianggap memiliki
sifat yang sama, yakni sifat destruktif yang dapat merugikan. Pada kasus bunian, tindakan
destruktif yang ditimbulkan ialah penculikan, sedangkan pada palasik, tindakan destruktif yang
ditimbulkan ialah penghisapan darah bayi. Untuk menghindari hal-hal tersebut, orang Minang
membentuk kepercayaan lain untuk tindak pencegahan. Untuk bunian, tindak pencegahannya
ialah pulang ke rumah ketika senja turun dan untuk palasik, tindak pencegahannya ialah
memakai jimat yang terdiri dari ayat Quran dan bawang putih. Keduanya pada dasarnya
memiliki warna yang sama, yakni keislaman. Palasik dapat dicegah kedatangannya dengan
menggunakan ayat Quran. Hal ini menunjukkan adanya kultifikasi ayat Quran. Bunian dapat
dicegah kedatangannya dengan pulang ke rumah saat azan magrib berkumandang. Satuan waktu
yang digunakan dalam kepercayaan terhadap bunian sebenarnya ialah waktu magrib.
Selanjutnya ialah mengenai tindak perlawanan. Tindak perlawanan dapat dilakukan untuk
melawan palasik. Palasik, seperti telah saya tuliskan di atas, dapat dilawan dengan menggunakan
benda tajam seperti gunting atau pisau.
Terakhir ialah tindak menjaga hubungan baik. Tindak menjaga hubungan baik ini
dilakukan ketika orang Minang telah paham bagaimana hubungan sosial seharusnya terjalin
antara manusia dan inyiak harimau. Dengan pemaknaan bahwa inyiak harimau merupakan sosok
representasi alam yang harus dihormati, orang Minang cenderung menghormati inyiak harimau.
Selain itu, apabila menggunakan definisi kedua inyiak harimau, orang Minang akan cenderung
menghargai silsilah keluarganya, baik dari garis ibu seperti yang memang merupakan sistem
kekerabatannya dan laki-laki dalam keluarga karena inyiak merupakan laki-laki.
Pembahasan kedua ialah mengenai bagaimana orang Minang memanifestasikan
pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan kepercayaan mereka terhadap makhluk halus.
Danandjaja menyatakan bahwa disadari atau tidak, folklore dapat menjelaskan bagaimana
folknya berpikir. Selain itu, folklore juga mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting oleh
folk pendukungnya. Oleh karena itu, kita dapat melihat bagaimana keterkaitan simbol-simbol
dalam kepercayaan orang Minang terhadap makhluk halus dengan sistem pengetahuan mereka.
Pada dasarnya, pembahasan ini akan terkait dengan bagaimana suatu folklore muncul.
Pada bagian ini saya akan sedikit menggunakan pendekatan Geertz yang menyatakan bahwa
kebudayaan, termasuk di dalamnya kepercayaan terhadap makhluk halus, merupakan suatu
sistem simbol. Tiap simbol dalam kepercayaan terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau
dapat berbeda.
7
Pertama ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam
proses pemaknaan bunian. Bunian pada dasarnya merupakan suatu alat kontrol sosial berupa
kepercayaan yang digunakan agar orang Minang patuh pada aturan waktu. Mereka yang
melanggar aturan waktu dan ruang akan mendapatkan hukuman magis dari bunian. Saya dapat
mengatakan bahwa kepercayaan terhadap bunian pada dasarnya berasal dari, atau setidaknya
pada proses kepercayaannya berpengaruh pada, aturan-aturan budaya orang Minang yang
melarang seseorang berada di luar rumah setelah magrib. Tentunya terdapat beberapa alasan
logis yang mendasari larangan ini, di antaranya anak-anak harus berhenti bermain dan kembali
ke rumah agar dapat melakukan shalat magrib dan mengaji dan/atau daerah di luar rumah akan
berbahaya saat malam hari. Aturan-aturan ini kemudian dilegitimasi dengan kepercayaan karena
disadari atau tidak kepercayaan mengenai suatu hal yang mistik dapat menjadi kontrol sosial
yang dibangun dari ketakutan.
Kedua ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam
proses pemaknaan palasik. Pada dasarnya, kepercayaan terhadap palasik memunculkan
signifikansi sosial yang mengharuskan anak, baik bayi maupun balita, selalu dalam pengawasan
orangtua. Pengawasan ini terkait dengan pola-pola pengasuhan anak di Minang yang
mengharuskan orangtua (termasuk di dalamnya juga orangtua kultural, yaitu ninik mamak) selalu
menjaga dan mengawasi anak-anaknya. Aturan ini dilegitimasi dengan kepercayaan bahwa
apabila anak tidak dijaga, maka ia dapat diserang oleh palasik. Pada dasarnya legitimasi aturan
ini cukup mirip dengan legitimasi dan kontrol sosial menggunakan kepercayaan terhadap bunian,
kontrol sosial dibangun dari ketakutan.
Terakhir ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam
proses pemaknaan inyiak harimau. Berbeda dengan dua makhluk halus lainnya, inyiak harimau
memiliki fungsi-fungsi ekologis dan aturan mengenai ruang. Apabila aturan mengenai waktu
yang dilegitimasi dengan kepercayaan pada bunian dan aturan mengenai pengawasan anak yang
dilegitimasi dengan kepercayaan pada palasik dibangun dari ketakutan, aturan mengenai ruang
dan lingkungan dibangun atas dasar menjaga hubungan baik, dalam tanda kutip tentunya karena
hubungan baik ini sebenarnya dilakukan dengan tokoh fiktif. Pada dasarnya, inyiak harimau juga
memiliki fungsi kontrol sosial, namun dasar pembangunnya berbeda dengan palasik atau bunian.
Pengetahuan orang Minang mengenai keseimbangan alam dan penghargaan terhadap lingkungan
termanifestasi dalam kepercayaan terhadap inyiak harimau. Dengan menjaga hubungan baik
dengan inyiak harimau dan mempertahankan kontrak sosial yang telah dibangun, orang Minang
berarti telah menjaga hubungan baik dengan alam dan melestarikan alam. Pemaknaan terhadap
inyiak harimau dapat dilihat sebagai bagaimana orang Minang memanifestasikan
pengetahuannya terhadap ruang dan lingkungan.
Kesimpulan
Kepercayaan rakyat Minang terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau merupakan
salah satu bentuk folklore, tepatnya folklore sebagian lisan karena merupakan gabungan dari
unsur-unsur lisan dan unsur-unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat Minang terhadap ketiga
8
macam makhluk halus ini dapat dilihat proses pemaknaannya sebagai tindakan sosial yang
dilakukan oleh orang Minang setelah memahami kepercayaan tersebut dan bagaimana
pengetahuan orang Minang termanifestasi dalam kepercayaan tersebut.
Dalam kepercayaan terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau, pada dasarnya orang
Minang melegitimasi aturan-aturan sosial dan kultural mereka mengenai ruang, waktu,
pengasuhan anak, dan lingkungan menggunakan kepercayaan terhadap makhluk halus.
Kepercayaan ini dapat menguatkan aturan-aturan sosial karena menggunakan ketakutan, pada
bunian dan palasik, serta keinginan menjaga hubungan baik yang dilakukan pada inyiak harimau.
Orang Minang cenderung memaknai kepercayaan-kepercayaan ini sebagai legitimasi dari aturan
sosial dan kultural yang mereka miliki.
Daftar Pustaka
Danandjaja, James
2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Pandian, Jacob
1991. Culture, Religion, and The Sacred Self: A Critical Introduction. New Jersey:
Prentice Hall, Inc.
Syariffudin, Amir.
2011. Minangkabau. Jakarta: PT Gria Media Prima
9
Oleh Febi Rizki Ramadhan, 1206204720
Pendahuluan
Kepercayaan rakyat ialah salah satu bentuk folklore sebagian lisan yang terdapat di tiap
masyarakat. Kepercayaan rakyat sering juga disebut sebagai takhayul, meski akademisi
cenderung memilih terminologi kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat dapat dikategorikan
sebagai folklore karena memenuhi kesembilan ciri folklore. Terdapat ragam macam kepercayaan
rakyat, mulai dari kepercayaan rakyat mengenai lingkaran hidup manusia, kepercayaan rakyat
terhadap alam gaib, kepercayaan rakyat mengenai terciptanya alam semesta dan dunia, serta
kepercayaan rakyat yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kategori-kategori yang telah saya
jabarkan. Dalam makalah ini, saya akan berfokus pada kepercayaan rakyat pada alam gaib.
Menurut Wyland D. Hand, kepercayaan rakyat pada alam gaib memuat kepercayaan rakyat
terhadap para dewa, roh-roh, makhluk-makhluk gaib, kekuatan sakti, dan alam gaib. Menurut
saya, kepercayaan rakyat menarik untuk diperbincangkan karena kepercayaan rakyat merupakan
folklore yang dapat dengan amat jujur memproyeksikan keinginan dan gagasan terpendam
masyarakat. Dalam makalah ini, saya akan membahas mengenai kepercayaan rakyat
Minangkabau terhadap makhluk halus.
Minangkabau, yang selanjutnya akan saya sebut sebagai Minang, merupakan sebuah
kelompok etnik yang mendiami wilayah Sumatra. Secara geografis dan administratif, orang
Minang bertempat di wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya. Minang sebagai suatu kesatuan
etnik memiliki sejumlah nilai budaya yang khas yang menjadi identitasnya, antara lain nilai
budaya terkait merantau dan religi. Mengenai religi, Minang memiliki keterkaitan yang amat erat
dengan Islam. Islam sebagai suatu agama telah masuk ke dalam kebudayaan Minang, bahkan
termanifestasi dalam filosofi dasar orang Minang, yakni adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah yang berarti adat bersendikan hukum dan hukum bersendikan kitabullah. Filosofi ini
merupakan bukti nyata bahwa orang Minang memiliki hubungan yang erat dengan Islam, bahkan
Islam telah menjadi dasar kebudayaan mereka. Setidaknya begitu pada tataran idealnya.
Bagi saya, menarik untuk membahas bagaimana orang Minang memaknai kepercayaan
mereka terhadap makhluk halus karena kepercayaan terhadap makhluk halus bertentangan
dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Islam sebagai agama memang memiliki sejumlah ajaran,
termasuk di dalamnya percaya bahwa ada alam lain selain alam manusia. Akan tetapi, Islam
sebagai agama tidak mengatur fungsi makhluk halus dalam semesta. Dalam Islam, makhluk
halus tinggal di alam, namun tidak memiliki fungsi-fungsi pengaturan alam. Kepercayaan
Minang terhadap makhluk halus, setidaknya pada tiga makhluk halus yang akan saya bahas,
seolah menegasikan ajaran tersebut. Pemaknaan orang Minang terhadap kepercayaan mereka
mengenai makhluk halus menyebabkan adanya tindakan-tindakan sosial yang mereka lakukan.
Tindakan-tindakan itu dapat dikategorikan sebagai signifikansi sosial yang timbul dari folklore
yang ada.
1
Dalam makalah ini, saya akan membahas tiga makhluk halus Minang, yakni bunian,
palasik, dan inyiak harimau. Data mengenai ketiga makhluk halus tersebut saya dapatkan dari
naskah-naskah folklore yang saya tulis berdasarkan hasil turun lapangan pada sejumlah orang
Minang. Fokus penulisan saya dalam makalah ini ialah melihat bagaimana orang Minang
memaknai kepercayaan mereka terhadap makhluk halus, yakni bunian, palasik, dan inyiak
harimau dan bagaimana pengetahuan orang Minang termanifestasi dalam kepercayaan mereka
terhadap ketiga makhluk tersebut.
Bunian, Sang Penculik Selepas Senja
Mengacu pada beberapa informan, bunian adalah makhluk halus yang berasal dari
kepercayaan Minang. Bunian berbentuk layaknya manusia biasa yang berjeniskelamin
perempuan. Ia memiliki organ tubuh lengkap seperti manusia. Bunian juga berpakaian lengkap
seperti manusia biasa. Jadi, cukup sulit untuk mengidentifikasi bunian apabila ia berada di dunia
manusia.
Bunian biasanya tinggal di daerah yang sepi dari manusia seperti perkampungan sepi,
rumah yang tidak lagi ditinggali, atau pinggir hutan. Bunian biasanya datang ke pemukiman
manusia pada saat senja turun. Bunian akan menculik orang yang masih berkeliaran di luar
rumah saat senja turun, misalnya anak-anak yang masih bermain atau pemuda-pemudi yang
masih bercumbu. Orang yang diculik oleh bunian akan dibawa ke alam bunian yang terletak di
dimensi yang berbeda.
Meski dibawa ke alam bunian, bukan berarti orang yang diculik dibawa ke tempat tinggal
bunian (perkampungan sepi, rumah kosong, atau pinggir hutan). Alam bunian merupakan alam
yang berada di dimensi yang berbeda, berbentuk seperti hutan yang berisi pohon-pohon lebat dan
rimbun. Di alam tersebut, terdapat rumah bunian. Orang yang diculik akan dibawa ke rumah
tersebut dan mendapat jamuan dari bunian. Jamuan dari bunian umumnya berupa mie dan bubur
yang ternyata ialah cacing dan makanan busuk. Terdapat beberapa varian folklore pada bagian
ini, ada informan yang menyatakan bahwa orang yang diculik tidak tahu bahwa yang ia makan
merupakan cacing dan makanan busuk. Di sisi lain, terdapat pula informan yang menyatakan
bahwa orang yang diculik tahu bahwa yang ia makan ialah cacing dan makanan busuk namun ia
tidak memiliki kuasa untuk menolak memakan makanan tersebut.
Ketika berada di alam bunian, orang yang diculik dapat melihat apabila ada orang yang
mencarinya. Pada sejumlah kasus, dinyatakan bahwa orang yang diculik dapat melihat para
pencarinya memanggil-manggilnya. Akan tetapi, orang yang diculik tidak dapat mengeluarkan
suara atau suara yang ia keluarkan tidak terdengar oleh para pencarinya. Para pencarinya,
nantinya, juga akan mengatakan bahwa mereka tidak mendengar suara panggilan.
Setelah bunian merasa cukup, orang yang diculik akan dikembalikan lagi ke alam
manusia. Biasanya, orang yang diculik dapat ditemukan di tempat-tempat yang sebenarnya
mudah terlihat seperti di bawah meja atau di atas pohon.
2
Palasik, Sang Penghisap Darah Bayi
Palasik adalah makhluk halus yang dapat dikategorikan sebagai bilih atau setan dalam
kepercayaan rakyat Minangkabau. Palasik ialah perempuan yang mempelajari ilmu hitam dan
harus menghisap darah bayi agar kemampuan ilmu hitamnya dapat mencapai tingkat tinggi.
Terdapat ragam varian folklore mengenai bentuk palasik. Ada informan yang menyatakan bahwa
palasik hanya berupa kepala yang melayang-layang. Di sisi lain, terdapat pula informan yang
menyatakan bahwa palasik berbentuk seperti manusia biasa. Ia dapat merupa wujud ibu-ibu pada
umumnya. Akan tetapi, di balik pakaiannya hanya ada usus yang menjuntai.
Yang diincar oleh palasik biasanya bayi atau balita. Palasik biasanya mendatangi rumah
korbannya dan dapat dilihat oleh orang lain. Palasik dapat menghisap darah dengan beberapa
cara, yaitu: (1)Menghisap darah bayi atau balita dari ubun-ubunnya. Dengan cara ini, darah bayi
atau balita tersebut akan mengalir dari kepala dan dapat langsung ditelan oleh palasik;
(2)Mencucuk bayi di bagian leher atau lengannya. Dengan cara ini, darah bayi atau balita akan
mengalir melalui lubang gigitan; atau (3)Menghisap janin bayi dari vagina perempuan yang
sedang hamil tua.
Ada cara yang dapat dilakukan orang Minang untuk menangkal palasik. Cara ini biasanya
digunakan oleh ibu-ibu untuk melindungi anak-anak mereka dari palasik. Penangkalan ini
dilakukan dengan memasang kalung beruntai kantung dari kain hitam. Kantung dari kain hitam
ini berisi beberapa benda yang diyakini dapat menolak palasik. Contoh dari benda yang biasa
digunakan ialah ayat Quran yang ditulis di sehelai kertas dan bawang putih.
Selanjutnya, apabila palasik telah datang dan ditemukan sedang mencoba menghampiri
bayi atau balita, atau sedang menghisap darah bayi, ada cara yang dapat digunakan untuk
melawan palasik tersebut. Cara yang dapat digunakan ialah menusuk palasik menggunakan
benda tajam, biasanya pisau atau gunting. Dengan cara itu, palasik akan mati dan musnah
sendirinya.
Inyiak Harimau, Sang Pelindung
Berbeda dengan dua makhluk halus sebelumnya yang bersifat destruktif, inyiak harimau
memiliki fungsi manifes yang memang positif bagi orang Minang. Inyiak harimau dapat
diartikan menjadi dua definisi. Pertama ialah inyiak harimau sebagai penjaga hutan yang
memiliki beberapa fungsi sosial, kultural, dan ekologi. Kedua ialah inyiak harimau sebagai
pelindung orang Minang yang sedang merantau.
Sebagai penjaga hutan, inyiak harimau adalah makhluk setengah manusia setengah
harimau. Ada beberapa varian folklore mengenai identitas inyiak harimau ini. Ada informan
yang menyatakan bahwa inyiak harimau merupakan manusia yang mempelajari magi putih
sehingga dapat bertransformasi menjadi harimau. Di sisi lain, ada informan lain yang
menyatakan bahwa sejak awal inyiak harimau memang siluman harimau yang dapat berubah
menjadi manusia, harimau, atau manusia harimau.
Inyiak harimau sebagai makhluk yang dapat berkomunikasi dengan kedua makhluk pada
suatu masa di masa lampau pernah menjembatani kontrak sosial antara manusia dan harimau
3
untuk tidak saling menyerang satu sama lain. Inyiak harimau merupakan sosok yang tepat untuk
menjembatani kontrak tersebut karena ia dapat berdialog baik dengan manusia ataupun dengan
harimau. Identitas diri yang cair ini menyebabkan inyiak harimau dapat diterima di dua
kelompok yang berbeda tersebut.
Inyiak harimau juga kerapkali digambarkan sebagai harimau jadi-jadian yang menjaga
hutan. Inyiak tinggal di hutan dan menjaga keseimbangan hutan tersebut agar tidak diganggu
oleh manusia. Banyak orang Minang yang percaya bahwa inyiak harimau gemar memakan
durian. Oleh karena itu, apabila terdapat durian yang jatuh di hutan, durian tersebut tidak boleh
disentuh karena durian tersebut ialah jatah inyiak harimau.
Menurut beberapa informan, inyiak harimau dapat mengontrol perubahan dirinya kecuali
pada saat tertentu, yaitu ketika ia sedang berada di dekat sungai atau perairan terbuka. Saat
berada di dekat sungai atau perairan terbuka, inyiak harimau akan menjelma kembali menjadi
harimau. Akan tetapi, selain itu inyiak harimau dapat mengontrol perubahan dirinya. Saat
menjadi manusia, ada tanda-tanda inyiak harimau yang dapat dilihat, yakni panjang tangannya
melebihi panjang tangan manusia biasa dan di antara hidung dan mulutnya tidak ada cekungan
yang terdapat pada manusia biasa. Jadi, apabila seseorang memiliki panjang tangan yang tidak
normal dan tidak memiliki cekungan di antara hidung dan mulutnya, maka ia dapat dikira
sebagai inyiak harimau.
Definisi inyiak harimau yang kedua ialah penjaga orang Minang yang sedang merantau.
Apabila seorang Minang sedang merantau dan sedang berada di daerah rantau, akan dilindungi
oleh inyiaknya. Tiap orang Minang sebenarnya memiliki inyiak yang menjaganya, namun tidak
setiap orang Minang memiliki kemampuan untuk melihat dan mengenali inyiaknya. Hanya
sejumlah orang Minang yang dapat melihat dan mengenali inyiaknya karena telah diajarkan oleh
keluarganya.
Inyiak dapat melindungi seseorang dengan beberapa cara, di antaranya ialah memberi
dorongan spiritual agar orang tersebut dapat menjalani tugas-tugas kesehariannya dengan baik.
Selain itu, orang Minang yang telah dapat melihat dan mengenali inyiaknya biasanya dapat
masuk ke kondisi trance sehingga sang inyiak masuk ke dalam tubuhnya. Saat sang inyiak
masuk ke dalam tubuh seseorang, tubuh orang tersebut akan dapat digerakkan oleh inyiaknya.
Jadi, ketika menghadapi bahaya dan ancaman fisik, inyiak dapat mengambilalih tubuh dan
melindungi sang pemilik tubuh tersebut.
Makhlus Halus Minang dan Ciri Folklor
Menurut James Danandjaja, kepercayaan rakyat dapat dikategorikan sebagai folklore,
tepatnya folklore sebagian lisan. Pada bagian ini, saya akan mencoba menganalisis ketiga
kepercayaan rakyat yaitu bunian, palasik, dan inyiak harimau menggunakan ciri-ciri folklore
sebelum nantinya membahas mengenai pemaknaan. Dengan menganalisis ciri-ciri folklore pada
ketiga kepercayaan rakyat Minang ini, kita dapat mengetahui bagaimana kepercayaan rakyat
Minang dapat dikategorikan sebagai suatu folklore.
Ciri pertama ialah penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.
Danandjaja menjelaskan bahwa ciri ini berarti folklore disebarkan melalui tutur kata dari mulut
4
ke mulut atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu
pengingat dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pada kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus, dapat dilihat bahwa penyebaran dan pewarisan kepercayaan tersebut dilakukan
secara turun temurun secara lisan. Baik dari orangtua ke anaknya atau dari lingkar pertemanan ke
anggota-anggota kelompoknya. Penyebaran folklore mengenai bunian, misalnya, seringkali
disampaikan oleh orangtua pada anak agar sang anak tidak bermain selepas senja. Penyampaian
ini dilakukan secara lisan.
Ciri kedua ialah bersifat tradisional atau disebarkan dalam bentuk relative tetap dan
minimal dua generasi. Hal ini tentu terlihat jelas pada kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus, terdapat informan yang telah melakukan pewarisan folklore mengenai
kepercayaan ini terhadap anak dan cucunya. Jadi, pewarisan berjalan relative tetap dan lebih dari
dua generasi.
Ciri ketiga ialah folklore ada dalam varian yang berbeda. Adanya varian ini disebabkan
karena adanya penambahan atau pengurangan yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar
oleh penutur. Pada kepercayaan rakyat Minang mengenai inyiak harimau, misalnya, terdapat
pula varian ini. Varian ini terlihat nyata pada pandangan mengenai asal mula inyiak harimau.
Ada yang menyatakan bahwa inyiak harimau memang setengah harimau dan setengah manusia
sejak ia ada, namun ada pula yang menyatakan bahwa inyiak harimau merupakan manusia yang
mempelajari magi dan dapat berubah menjadi harimau. Perbedaan-perbedaan semacam inilah
yang disebut varian dalam folklore dan terdapat dalam kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus. Interpolasi juga cenderung terjadi pada proses penyebaran folklorenya.
Ciri keempat ialah anonim. Pembuat folklore cenderung tidak diketahui siapa dan
bagaimana awalnya. Sama halnya dengan kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus,
orang Minang umumnya tidak mengetahui siapa orang yang pada mulanya menggagas konsep
palasik, bunian, maupun inyiak harimau. Yang orang Minang tahu hanyalah bahwa ada
makhluk-makhluk tersebut dalam kepercayaan Minang dan tiap makhluk memiliki fungsi
masing-masing. Biasanya, pengetahuan orang Minang hanya sedalam itu.
Ciri kelima ialah memiliki bentuk berpola. Dalam hal kepercayaan rakyat Minang
terhadap makhluk halus, pola-pola seperti ulangan-ulangan terlihat dalam kepercayaan orang
Minang terhadap bunian. Bunian tidak hanya sekali dua kali datang ke dunia manusia dan
menculik orang yang masih berada di luar rumah selepas senja. Bunian seringkali dianggap
datang berkali-kali tiap ada orang berada di luar rumah selepas senja. Saya pikir inilah pola
bentuk yang dapat dilihat dalam kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk halus.
Ciri keenam ialah memiliki fungsi. Masing-masing kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus tentunya memiliki fungsi sosialnya tersendiri. Bunian, misalnya, memiliki fungsi
kontrol sosial agar orang tidak berada di luar rumah setelah senja turun. Hal ini dikarenakan
tempat di luar rumah dapat berbahaya ketika telah gelap. Kepercayaan seperti bunian inilah yang
melegitimasi aturan tidak keluar rumah selepas senja. Selanjutnya palasik, adanya kepercayaan
terhadap palasik berfungsi kontrol sosial pula, yakni agar bayi dan balita selalu dijaga oleh
orangtua. Terakhir, Inyiak harimau juga memiliki fungsi proyeksi keinginan terpendam. Salah
satu informan menyatakan bahwa kegunaan dari kepercayaan inyiak harimau ialah agar tiap
5
orang Minang, yang meski melihat keturunan dan kekerabatan dari garis ibu, tetap menghormati
leluhur dan keluarganya yang laki-laki.
Ciri ketujuh ialah dimiliki oleh kolektif tertentu. kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus ini tentunya dimiliki oleh satu kolektif yang sama, yaitu kolektif Minang. Minang
sebagai sebuah kesatuan etnik memiliki sejumlah sistem kebudayaan, salah satu di antaranya
ialah religi yang termasuk di dalamnya kepercayaan rakyat. Kecuali inyiak harimau yang folknya
ialah orang Minang di luar Padang, seluruh orang Minang mengetahui dan memiliki lor bunian
dan palasik.
Ciri kedelapan ialah bersifat pralogis. Pralogis artinya tidak sesuai dengan logika umum.
Hal ini tentunya dapat dilihat dari rasionalitas kepercayaan rakyat Minang terhadap makhluk
halus yang ada. Bunian tentunya telah melanggar logika umum karena dapat membawa manusia
ke alam yang berada di dimensi yang berbeda. Palasik melanggar logika umum karena kepala
dapat melayang tanpa tubuh. Kemudian inyiak harimau melanggar logika umum karena ia dapat
berubah sosok antara manusia dan harimau serta dapat berkomunikasi dengan keduanya.
Ciri terakhir ialah bersifat polos dan lugu. Menurut saya, kepercayaan terhadap inyiak
harimau merupakan bentuk folklore yang polos dan lugu karena merupakan proyeksi kejujuran
orang Minang mengenai sistem kekerabatan dan keturunan.
Dikarenakan melengkapi kesembilan ciri di atas, kepercayaan rakyat Minang terhadap
makhluk halus yakni palasik, bunian, dan inyiak harimau dapat dikategorikan sebagai folklore.
Pembahasan yang menarik selanjutnya ialah bagaimana orang Minang memaknai folklore
mereka sendiri, yang akan saya bahas pada bagian selanjutnya.
Pemaknaan Orang Minang terhadap Makhluk Halus
Wallace menyatakan bahwa mitologi dan folklore adalah cerita-cerita yang memiliki plot
atau karakter yang antropomorfis. Pernyataan Wallace ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
melihat bagaimana pemaknaan orang Minang terhadap kepercayaan mereka mengenai makhluk
halus. Pada dasarnya, pemaknaan dapat dilihat dari bagaimana tindakan sosial yang dilakukan
oleh folk, dalam hal ini orang Minang, setelah mengetahui dan memahami fenomena atau lor
mereka, dalam hal ini kepercayaan mereka terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau. Selain
itu, proses memaknai kepercayaan rakyat juga dapat dilihat sebagai bagaimana orang Minang
memanifestasikan pengetahuan mereka.
Pada bagian ini, saya akan membahas dua hal. Pertama, bagaimana tindakan sosial yang
dilakukan oleh orang Minang setelah mereka memahami kepercayaan mereka sendiri mengenai
palasik, bunian, dan inyiak harimau. Kedua, bagaimana orang Minang memanifestasikan
pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan tersebut. Dalam dua pembahasan ini, tentunya
tema mengenai Islam akan menyentuh proses pemaknaan karena, seperti yang telah saya tuliskan
di bagian pendahuluan, Islam memiliki posisi yang kuat dalam kebudayaan Minang dan sedikit
banyak tentunya berpengaruh pada proses pemaknaan mereka terhadap kepercayaan pada
makhluk halus yang cenderung bertentangan dengan ajaran Islam.
Pertama ialah bagaimana tindakan sosial yang mereka lakukan. Pada dasarnya, tindakan
sosial yang dilakukan oleh orang Minang terbagi menjadi tiga, yaitu bagaimana mereka
6
mencegah datangnya makhluk halus, bagaimana mereka melawan makhluk halus yang telah ada,
dan bagaimana mereka mempertahankan hubungan baik dengan makhluk halus. Ketiga bentuk
tindakan sosial ini bukanlah merupakan reaksi pada satu makhluk halus, melainkan pada
makhluk halus yang berbeda-beda. Tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk mencegah
datangnya bunian dan palasik, tindakan perlawanan dapat dilakukan untuk melawan palasik, dan
tindakan mempertahankan hubungan baik dapat dilakukan pada inyiak harimau.
Mengenai tindakan pencegahan, setelah memahami bagaimana karakteristik bunian dan
palasik, orang Minang dapat melakukan sejumlah tindakan yang dapat menghalau datangnya
kedua makhluk halus tersebut. Pada dasarnya, kedua makhluk halus tersebut dianggap memiliki
sifat yang sama, yakni sifat destruktif yang dapat merugikan. Pada kasus bunian, tindakan
destruktif yang ditimbulkan ialah penculikan, sedangkan pada palasik, tindakan destruktif yang
ditimbulkan ialah penghisapan darah bayi. Untuk menghindari hal-hal tersebut, orang Minang
membentuk kepercayaan lain untuk tindak pencegahan. Untuk bunian, tindak pencegahannya
ialah pulang ke rumah ketika senja turun dan untuk palasik, tindak pencegahannya ialah
memakai jimat yang terdiri dari ayat Quran dan bawang putih. Keduanya pada dasarnya
memiliki warna yang sama, yakni keislaman. Palasik dapat dicegah kedatangannya dengan
menggunakan ayat Quran. Hal ini menunjukkan adanya kultifikasi ayat Quran. Bunian dapat
dicegah kedatangannya dengan pulang ke rumah saat azan magrib berkumandang. Satuan waktu
yang digunakan dalam kepercayaan terhadap bunian sebenarnya ialah waktu magrib.
Selanjutnya ialah mengenai tindak perlawanan. Tindak perlawanan dapat dilakukan untuk
melawan palasik. Palasik, seperti telah saya tuliskan di atas, dapat dilawan dengan menggunakan
benda tajam seperti gunting atau pisau.
Terakhir ialah tindak menjaga hubungan baik. Tindak menjaga hubungan baik ini
dilakukan ketika orang Minang telah paham bagaimana hubungan sosial seharusnya terjalin
antara manusia dan inyiak harimau. Dengan pemaknaan bahwa inyiak harimau merupakan sosok
representasi alam yang harus dihormati, orang Minang cenderung menghormati inyiak harimau.
Selain itu, apabila menggunakan definisi kedua inyiak harimau, orang Minang akan cenderung
menghargai silsilah keluarganya, baik dari garis ibu seperti yang memang merupakan sistem
kekerabatannya dan laki-laki dalam keluarga karena inyiak merupakan laki-laki.
Pembahasan kedua ialah mengenai bagaimana orang Minang memanifestasikan
pengetahuan mereka dalam proses pemaknaan kepercayaan mereka terhadap makhluk halus.
Danandjaja menyatakan bahwa disadari atau tidak, folklore dapat menjelaskan bagaimana
folknya berpikir. Selain itu, folklore juga mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting oleh
folk pendukungnya. Oleh karena itu, kita dapat melihat bagaimana keterkaitan simbol-simbol
dalam kepercayaan orang Minang terhadap makhluk halus dengan sistem pengetahuan mereka.
Pada dasarnya, pembahasan ini akan terkait dengan bagaimana suatu folklore muncul.
Pada bagian ini saya akan sedikit menggunakan pendekatan Geertz yang menyatakan bahwa
kebudayaan, termasuk di dalamnya kepercayaan terhadap makhluk halus, merupakan suatu
sistem simbol. Tiap simbol dalam kepercayaan terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau
dapat berbeda.
7
Pertama ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam
proses pemaknaan bunian. Bunian pada dasarnya merupakan suatu alat kontrol sosial berupa
kepercayaan yang digunakan agar orang Minang patuh pada aturan waktu. Mereka yang
melanggar aturan waktu dan ruang akan mendapatkan hukuman magis dari bunian. Saya dapat
mengatakan bahwa kepercayaan terhadap bunian pada dasarnya berasal dari, atau setidaknya
pada proses kepercayaannya berpengaruh pada, aturan-aturan budaya orang Minang yang
melarang seseorang berada di luar rumah setelah magrib. Tentunya terdapat beberapa alasan
logis yang mendasari larangan ini, di antaranya anak-anak harus berhenti bermain dan kembali
ke rumah agar dapat melakukan shalat magrib dan mengaji dan/atau daerah di luar rumah akan
berbahaya saat malam hari. Aturan-aturan ini kemudian dilegitimasi dengan kepercayaan karena
disadari atau tidak kepercayaan mengenai suatu hal yang mistik dapat menjadi kontrol sosial
yang dibangun dari ketakutan.
Kedua ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam
proses pemaknaan palasik. Pada dasarnya, kepercayaan terhadap palasik memunculkan
signifikansi sosial yang mengharuskan anak, baik bayi maupun balita, selalu dalam pengawasan
orangtua. Pengawasan ini terkait dengan pola-pola pengasuhan anak di Minang yang
mengharuskan orangtua (termasuk di dalamnya juga orangtua kultural, yaitu ninik mamak) selalu
menjaga dan mengawasi anak-anaknya. Aturan ini dilegitimasi dengan kepercayaan bahwa
apabila anak tidak dijaga, maka ia dapat diserang oleh palasik. Pada dasarnya legitimasi aturan
ini cukup mirip dengan legitimasi dan kontrol sosial menggunakan kepercayaan terhadap bunian,
kontrol sosial dibangun dari ketakutan.
Terakhir ialah bagaimana orang Minang memanifestasikan pengetahuan mereka dalam
proses pemaknaan inyiak harimau. Berbeda dengan dua makhluk halus lainnya, inyiak harimau
memiliki fungsi-fungsi ekologis dan aturan mengenai ruang. Apabila aturan mengenai waktu
yang dilegitimasi dengan kepercayaan pada bunian dan aturan mengenai pengawasan anak yang
dilegitimasi dengan kepercayaan pada palasik dibangun dari ketakutan, aturan mengenai ruang
dan lingkungan dibangun atas dasar menjaga hubungan baik, dalam tanda kutip tentunya karena
hubungan baik ini sebenarnya dilakukan dengan tokoh fiktif. Pada dasarnya, inyiak harimau juga
memiliki fungsi kontrol sosial, namun dasar pembangunnya berbeda dengan palasik atau bunian.
Pengetahuan orang Minang mengenai keseimbangan alam dan penghargaan terhadap lingkungan
termanifestasi dalam kepercayaan terhadap inyiak harimau. Dengan menjaga hubungan baik
dengan inyiak harimau dan mempertahankan kontrak sosial yang telah dibangun, orang Minang
berarti telah menjaga hubungan baik dengan alam dan melestarikan alam. Pemaknaan terhadap
inyiak harimau dapat dilihat sebagai bagaimana orang Minang memanifestasikan
pengetahuannya terhadap ruang dan lingkungan.
Kesimpulan
Kepercayaan rakyat Minang terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau merupakan
salah satu bentuk folklore, tepatnya folklore sebagian lisan karena merupakan gabungan dari
unsur-unsur lisan dan unsur-unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat Minang terhadap ketiga
8
macam makhluk halus ini dapat dilihat proses pemaknaannya sebagai tindakan sosial yang
dilakukan oleh orang Minang setelah memahami kepercayaan tersebut dan bagaimana
pengetahuan orang Minang termanifestasi dalam kepercayaan tersebut.
Dalam kepercayaan terhadap palasik, bunian, dan inyiak harimau, pada dasarnya orang
Minang melegitimasi aturan-aturan sosial dan kultural mereka mengenai ruang, waktu,
pengasuhan anak, dan lingkungan menggunakan kepercayaan terhadap makhluk halus.
Kepercayaan ini dapat menguatkan aturan-aturan sosial karena menggunakan ketakutan, pada
bunian dan palasik, serta keinginan menjaga hubungan baik yang dilakukan pada inyiak harimau.
Orang Minang cenderung memaknai kepercayaan-kepercayaan ini sebagai legitimasi dari aturan
sosial dan kultural yang mereka miliki.
Daftar Pustaka
Danandjaja, James
2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Pandian, Jacob
1991. Culture, Religion, and The Sacred Self: A Critical Introduction. New Jersey:
Prentice Hall, Inc.
Syariffudin, Amir.
2011. Minangkabau. Jakarta: PT Gria Media Prima
9