Hukum Persaingan Usaha (2) Persaingan Usaha

HUKUM PERSAINGAN USAHA
SEKSI A
Ujian Akhir Semester

Elsa Monica Sara 2012-050-163
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
JAKARTA
2015

1. a). perbedaan-perbedaan mendasar antara isi Peraturan KPPU Nomor 1 tahun 2009
tentang Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan dengan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
Isi dari Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 tahun 2009 tentang
Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau
Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan hampirlah sama.
Hal-hal yang dibahas mencakup mengenai Peleburan, Penggabungan dan

Pengambilalihan oleh badan usaha. Tetapi dalam Peraturan KPPU No.1 tahun 2009
terdapat kata Pra-Notifikasi yang artinya adalah, pemberitahuan yang bersifat
sukarela oleh pelaku usaha yang akan melakukan penggabungan atau peleburan
badan usaha atau pengambilalihan saham untuk mendapatkan pendapat Komisi
mengenai dampak yang ditimbulkan dari rencana penggabungan atau peleburan
badan usaha atau pengambilalihan (Pasal 1 angka 6 Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 1 tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan,
Peleburan dan Pengambilalihan). Secara cepat orang dapat membedakan aturan
tersebut dengan melihat judul atau aturan tersebut bahwa mengenai hal yang berbeda
karena terdapat kata “pra-notifikasi”. Dalam pasal 3 Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 1 tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan,
Peleburan dan Pengambilalihan disebutkan bahwa pelaku usaha dapat melakukan pranotifikasi apabila penggabungan badan usaha memenuhi ketentuan salah satunya
ialah angka 1 (c), mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% pada pasar
bersangkutan. Artinya, pelaku usaha dapat melakukan pra-notifikasi apabila terjadi
penguasaan pasar lebih dari 50% pada pasar bersangkutan tersebut. Sedangkan dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan
tidak disebutkan hal yang demikian bahwa tidak ada ketentuan yang menyebutkan
untuk melakukan wajib pemberitahuan secara tertulis kepada Komisi atas penguasaan
pasar lebih dari 50% pada pasar bersangkutan. Pada pasal 3 angka 2 (a), (b) dan (c),

disebutkan bahwa industri jasa keuangan baik bank ataupun non-bank berlaku

ketentuan yaitu nilai aset pada badan usaha hasil penggabungan atau peleburan
melebihi Rp 10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau nilai penjualan
(omzet) melebihi Rp 15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) atau
mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 % pada pasar bersangkutan
wajib untuk melakukan pra-notifikasi. Sedangkan pada pasal 5 angka 3 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau
Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan terdapat perbedaan
ketentuan untuk melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Komisi yaitu bahwa
pelaku usaha dibidang perbankan berkewajiban menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis apabila nilai aset melebihi Rp 20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah). Selanjutnya pada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1
tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan
terdapat ketentuan bagi pra-notifikasi pengambilalihan oleh pelaku usaha apabila
memenuhi ketentuan yang terdapat dalam pasal 4 tersebut, sedangkat dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau
Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan tidak adanya
ketentuan tersebut. Untuk tata cara penyampaian pemberitahuan terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang

Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan
sedangkan pada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 tahun 2009
tentang Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan tidak terdapat
tata cara penyampaian pra-notifikasi tersebut tetapi tercantum dalam lampiran yang
merupakan petunjuk pelaksanaan pra-notifikasi penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan.
adanya perbedaan dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan
Pengambilalihan Saham Perusahaan
b. Perubahan yang timbul dengan adanya PP Nomor 57 tahun 2010 terhadap pasal 28 dan
29 UU nomor 5 tahun 1999 ialah sebagai berikut;



Untuk melaksanakan ketentuan pasal 28 ayat (3) dan pasal 29 ayat (2) UndangUndang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat maka perlu menetapkan PP Nomor 57 tahun 2010 tentang Penggabungan
atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat
Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Perubahan yang ditimbulkan dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) diatas
terhadap pasal 28 dan pasal 29 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yaitu, dalam pasal

11 (4) PP Nomor 57 tahun 2010 dikatakan bahwa,
(1) Berdasarkan formulir dan dokumen yang diterima oleh Komisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Komisi melakukan penilaian.
(2)

Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi

memberikan saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis mengenai rencana
Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan
saham perusahaan lain kepada Pelaku Usaha.
(3) Saran, bimbingan, dan/atau pendapat tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya formulir dan dokumen secara lengkap oleh
Komisi.
(4)Penilaian yang diberikan oleh Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) bukan merupakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana
Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan
saham perusahaan lain yang akan dilakukan oleh Pelaku Usaha, dan tidak
menghapuskan kewenangan Komisi untuk melakukan penilaian setelah
Penggabungan Badan Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan

saham perusahaan lain yang bersangkutan berlaku efektif secara yuridis.
Perubahan yang ditimbulkan adalah dalam pasal 28 Undang-Undang No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat jelas dinyatakan
bahwa pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan, pengambil alihan saham atau

peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat tetapi dalam pasal 11 (4) PP Nomor 57 tahun 2010 seperti
disebutkan diatas maka penilaian yang diberikan oleh komisi bukan berarti menolak
perencana dalam penggabungan atau peleburan tersebut sehingga apabila dalam
perencanaan tersebut dilihat mengandung unsur persaingan usaha tidak sehat maka bukan
merupakan penolakan ataupun persetujuan terhadap perencanaan penggabungan,
peleburan atau pengambilalihan tersebut, tetapi komisi memberikan saran, bimbingan dan
atau pendapat tertulis. Maka ketika penggabungan, peleburan atau pengambilalihan
tersebut telah dibentuk dan berlaku, komisi dapat melakukan penilain kembali yang
kemudian harus berdasarkan ketentuan yang ada dan tidak adanya unsur monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
c. Dampak yang dialami oleh pelaku-pelaku usaha dengan adanya Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan
Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini adalah, pelaku usaha yang akan

melakukan penggabungan, peleburan dan atau pengambialihan saham harus lebih
memperhatikan perencanaannya tersebut. Karena dalam PP ini telah diatur secara rinci
mengenai hal-hal apa saja yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat. Selain itu adanya komisi penilaian disini membuat para pelaku usaha
lebih memperhatikan usaha yang dilakukannya tersebut dalam pengontrolan usahanya
tersebut sehingga komisi tidak menemukan hal-hal yang melanggar ketentuan dalam
penilaian komisi tersebut.

2. a. Posisi Dominan (dominant position) adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak
mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di
antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan
untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. (Pasal 1

angka 4 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat).
Posisi Dominan adalah pelaku usaha menjadi lebih unggul (market leader) pada
pasar yang bersangkutan atau memiliki pangsa pasar terbesar.1
Posisi Dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha menjadi pemimpin dan

menguasai pasar tersebut sehingga tidak mempunyai pesaing yang dapat
mengalahkannya. Maka posisi pelaku usaha tertinggi diantara pesaing lainnya
dalam pasar yang bersangkutan.
Contoh: Di Indonesia terdapat beberapa produk baterai yang dihasilkan oleh
beberapa perusahaan yang berbeda. Akan tetapi pangsa pasar baterai nasional di
Indonesia masih di dominasi oleh produk ABC (PT. Arta Boga Cemerlang).
Produk baterai ABC ditetapkan menyalahgunakan posisi dominannya dengan
melakukan program geser competitor. Kebanyakan dari masyarakat Indonesia
menggunakan produk tersebut dibandingkan dengan produk baterai lainnya. Oleh
karena itu produk baterai ABC ini menjadi lebih unggul dan mempunyai posisi
tertinggi di antara pesaing lainnya di pasar bersangkutan.
Penyalahgunaan posisi dominan adalah dalam posisi dominan pelaku usaha
mempunyai hal-hal yang tidak dilarang oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan
ketentuan pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha
yang sehat, maka dengan adanya hal-hal yang tidak dilarang tersebut
memungkinkan suatu pelaku usaha dapat melakukan penyalahgunaan terhadap
apa yang diperbolehkan dalam hal posisi dominan ini. Sehingga bentuk-bentuk
penyalahgunaan posisi dominan atau hambatan persaingan usaha lainnya yang
dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan telah

ditetapkan dalam pasal 25 ayat 1 dan pasal 19 Undang-Undang No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Contoh: Carrefour merupakan salah satu dari supermarket terbesar di Indonesia.
Dibandingkan dengan supermarket lainnya Carrefour mempunyai market power
dikarenalan mempunyai gerai terbanyak. Dengan market power tersebut
1 Lubis, Andi Fahmi et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks,
Jakarta:ROV Creative Media, 2009, hlm. 165

menimbulkan ketergantungan bagi pemasok barang untuk memasukkan barang
atau produknya agar dapat dijual di Carrefour. Oleh karena itu adanya
pemberlakuan minus margin yang mengakibatkan salah satu pemasok barang
harus menghentikan pasokan barangnya tersebut kepada pesaing Carrefour yang
menjual dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga jual di
Carrefour untuk produk yang sama. Maka Carrefour melanggar pasal 19 huruf a
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b. Suatu merger bisa saja terjadi penyalahgunaan posisi dominan dikarenakan
penggabungan perusahaan yang menjadikan perusahaan tersebut menjadi kuat
tetapi hal tersebut dilarang dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Merger berdiri

berdasarkan proses penggabungan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan
aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum
kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan
hukum

Perseroan

yang

menggabungkan

diri

berakhir

karena

hukum.


Penyalahgunaan posisi dominan tersebut terjadi apabila perseroan tersebut
menguasai 50 % atau menguasai 75 % atau lebih pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu sebagaimana disebutkan dalam pasal 25 ayat 2 Undang-Undang
No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat). Sehingga apabila perseroan yang bergabung tersebut menjadi lebih
kuat dapat menimbulkan posisi dominan yaitu menguasai pasar.
Contoh merger: Perusahaan yang melakukan merger adalah antara bank Lippo
dengan bank Niaga pada tahun 2008. Kedua perusahaan tersebut bergabung untuk
memperkuat posisinya di persaingan global sebagaimana hal tersebut merupakan
sifat dan tujuan merger. Setelah proses penggabungam tersebut terjadi kedua bank
menyetujui mengubah nama mereka menjadi bank CIMB Niaga. Disini bukan
berarti membentuk perusahaan yang baru tetapi hanya mengubah nama
perusahaan dari bank Lippo yang bergabung dengan Bank Niaga dan sepakat
bank Niaga untuk mengubah namanya menjadi Bank CIMB Niaga. Dalam hal ini

penggabungan tersebut menjadikan bank CIMB Niaga merupakan salah satu bank
yang terkuat dan dapat bersaing dengan bank-bank lainnya. Sehingga apabila
suatu penggabungan perseroan yang menyebabkan perseroan tersebut semakin
kuat dan menguasai pasar hal tersebut dilarang oleh Undang-Undang No. 5 tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Untuk itu suatu merger yang menjadi lebih kuat dalam persaingan usaha untuk
tidak memiliki posisi dominan yang melebihi aturan yang telah ditetapkan dalam
pasal 19, pasal 25, pasal 26, pasal 27 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Contoh lainnya yaitu, Flexi dan Esia yang akan melakukan merger. Flexi
merupakan operator CDMA terbesar di Indonesia dengan jumlah pelanggan
kurang lebih 15 juta, sedangkan esia adalah operator CDMA kedua terbesar di
Indonesia dengan 10 juta pelanggan. Apabila flexi dan esia melakukan merger
maka dapat dikatakan bahwa merger tersebut akan menguasai pasar industry
telekomunikasi CDMA ini. Sehingga dapat mempengaruhi para pelaku usaha
pesaing lainnya dalam hal operator telekomunikasi CDMA.
c. Suatu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang memiliki posisi dominan
terhadap suatu pasar dilingkup nasional tidak dapat melakukan penyalahgunaan
posisi dominan tersebut. Dikarenakan BUMN bergerak dalam sektor business to
customer bukan business to business sehingga yang diutamakan yaitu konsumen
bukan dari segi bisnis yang dilakukan. Tetapi yang terjadi sekarang adanya
kebijakan bagi BUMN dalam Peraturan Menteri BUMN No. Per-15/MBU/2012
yang membuat perusahaan swasta nasional akan terhambat memperoleh
kesempatan dipengadaan barang dan jasa dilingkungan BUMN.2 Dan juga
mekanisme dari kebijakan tersebut menghasilkan barang dan jasa yang tidak
efisien dari sisi harga dan atau kualitas, khususnya untuk industri yang
terkonsentrasi. Selain itu BUMN menjadi meningkatkan kekuatan dalam posisi
dominan

tersebut

dipasar

lain

(melalui

penutupan

pasar/foreclousure).

2 KPPU, “KPPU lewati Semester Pertama 2014 dengan Lima Saran Kebijakan: Kebijakan
Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang dan Jasa,
http://www.kppu.go.id/id/blog/2014/06/kppu-lewati-semester-pertama-2014-denganlima-saran-kebijakan/, diakses 26 Mei 2015

Penunjukkan yang dilakukan tersebut juga tidak termasuk dalam pengecualian
pasal 50 huruf a Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dikarenakan tidak terdapatnya pasal
tersebut di Undang-Undang No.19 tahun 2003 tentang BUMN yang menetapkan
peraturan terkait penunjukkan langsung ataupun pengadaan barang dan jasa
khusus BUMN. Oleh karena itu KPPU memberikan saran kepada menteri BUMN
untuk mencabut atau mendesain ulang kebijakan sinergi BUMN dalam pengadaan
barang dan jasa di lingkungan BUMN dengan disesuaikan dengan prinsip
persaingan usaha yang sehat. Maka inti dari jawabannya yaitu, BUMN tidak dapat
melakukan penyalahgunaan posisi dominan dikarenakan hal tersebut telah
dilarang oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dan dalam pasal 51 UndangUndang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat merupakan pedoman yang merupakan petunjuk pelaksanaan
untuk memahami, mengerti dan mensosialisasikan persaingan usaha yang sehat
khususnya yang berkaitan dengan monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang
berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa yang
menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi
negara.
3. Perkara No. 12/KPPU-I/2014
Penggugat:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI)

Tergugat:

1. PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) selanjutnya disebut dengan PT
Pelindo II
2. PT Multi Terminal Indonesia

Jenis Larangan: Perjanjian Tertutup dan Monopoli. Dengan dugaan Pelanggaran Pasal 17
dan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Sektor Pelabuhan tentang Kewajiban
Penggunaan Gantry Lufting Crane untuk Kegiatan Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung
Priok
Penyebabnya: kegiatan usaha bongkar muat barang dan kegiatan penyediaan alat bongkar
muatan di Pelabuhan Tanjuk Priok tidak adanya kebebasan bagi pelaku usaha untuk

bersaing dalam menyediakan pengadaan alat kegiatan bongkar muatan tersebut.
Dikarenakan Pelabuhan Tanjut Priok telah menyediakan crane darat Gantry Luffing
Crane dan juga PT. Multi Terminal Indonesia mengeluarkan surat pemberitahuan yang
mensyaratkan bagi seluruh pengguna untuk menggunakan jasa dermaga sandar kapal di
Pelabuhan Tanjung Priok menggunakan Grantry Luffing Crane (GLC).
Prosedur persidangan:
a.
b.
c.
d.
e.

tahan pengumpulan indikasi
tahap pemeriksaan pendahuluan
tahan pemeriksaan lanjutan
tahap penjatuhan putusan
tahap eksekusi putusan

Putusan KPPU:
1. Terlapor 1 terbukti secara sah melanggar pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat pada dermaga Pelabuha Tanjung Priok 101, 101 utara dan 102.
2. Terlapor II terbukti secara sah melanggar pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat pada pasar yang bersangkutan yaitu melakukan pengadaan barang berupa
menyediakan crane darat Gantry Luffing Crane untuk bongkar muatan tersebut di
dermaga 114 dan 155 Pelabuhan Tanjung Priok
3. Terlapor 1 dan Terlapor II tidak terbukti melanggar pasal 17 Undang-Undang No.
5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat yaitu berkaitan dengan monopoli bahwa Terlapor 1 dan II hanya
menyediakan barang berupa Gantry Luffing Crane.
4. Membatalkan Surat Direksi PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Nomor
TM.15/3/15/PI.II-11 tanggal 8 November 2011 mengenai pemanfaatan alat
bongkar muat baru, Surat Direksi PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Nomor
TM.15/2/7/PI.II-12 tanggal 9 Mei 2012 mengenai Pengoperasian Gantry Luffing
Crane, Surat Nomor FP.003/103/10/CPTK-12 tanggal 21 September 2012 perihal
Surat Pemberitahuan, dan surat-surat atau kesepakatan lainnya yang mengatur
mengenai kewajiban penggunaan alat bongkar muat crane darat Gantry Luffing
Crane di dermaga 101, 101 utara dan 102

5.

Membatalkan

Surat

Edaran

PT

Multi

Terminal

Indonesia

Nomor

HM.498/8/17/MTI-2011 tanggal 30 November 2011 perihal penggunaan peralatan
bongkar muat, Kesepakatan Bersama antara PT Multi Terminal Indonesia (PT
MTI) dengan Mitra Kerja PT Multi Terminal Indonesia tentang Pemakaian Crane
Darat (GLC) Untuk Kegiatan Bongkar Muat berdasarkan Berita Acara Nomor
UM.268/4/2C/MTI-2012 tanggal 21 Mei 2012, Surat Pemberitahuan Nomor
TH.12/1/12/MTI-2012 tanggal 27 Agustus 2012 perihal penggunaan alat bongkar
muat/Gantry Luffing Crane (GLC) dan surat-surat atau kesepakatan lainnya yang
mengatur mengenai kewajiban penggunaan alat bongkar muat crane darat Gantry
Luffing Crane di dermaga 114 dan 115
6. Memerintahkan Terlapor I untuk mengumumkan pembatalan surat-surat dan
kesepakatan sebagaimana tersebut pada diktum 4 dan diktum 5 di atas pada 2
(dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional selama
1 (satu) hari kerja dengan ketentuan pengumuman tersebut dimuat pada halaman
khusus berita ekonomi dengan ukuran sepatutnya.
7. Memerintahkan Terlapor I untuk menyerahkan bukti pengumuman sebagaimana
dimaksud pada diktum 6 di atas kepada KPPU;
8. Memerintahkan Terlapor II untuk menyerahkan salinan bukti pembayaran denda
ke KPPU, setelah melakukan pembayaran denda.
Sanksi:
1. Menghukum Terlapor II, membayar denda sebesar Rp 5.332.500.000,00 (lima
milyar tiga ratus tiga puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) yang harus disetor ke
Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan
usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah
Analisis Perkara:
Pasal 15 terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dalam pasal tersebut
menyatakan bahwa,

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang

memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Maka terkait dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan Kewajiban Penggunaan GLC
oleh PT Pelindo II (Persero) Nomor FP.003/103/10/2012 yaitu pada tanggal 21
September 2012 bukan kualifkasi perjanjian pengikatan (tying agreement) karena tidak
mencantumkan sanksi yang bersifat paksaan. Jika dibaca dengan cermat tidak ada satu
katapun yang berbunyi sanksi larangan tambat di dermaga 101, 101 utara dan 102 yang
bersifat paksaan agar menggunakan GLC pada surat tersebut. Tetapi dalam hal ini PT
Pelindo II (Persero) telah menerbitkan surat pemberitahuan kepada pihak kapal untuk
wajib menggunakan jasa yang disediakan oleh pihak pelabuhan tersebut sehingga mau
tidak mau jasa yang disediakan oleh pihak pelabuhan tersebut harus dipakai atau
digunakan. Dan perjanjian terebut dilakukan oleh pihak terlapor dengan pelaku usaha
untuk mengharuskan pihak yang menerima jasa tersebut menggunakan atau membeli jasa
Gantry Luffing Crane. Maka terbuktilah Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pasal 17 tidak terbukti terjadinya pelanggaran. Dikarenakan dalam pasal 17 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat menyatakan bahwa,
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berkaitan ayat 2 (a), fakta bahwa adanya tindakan atau perilaku terlapor I dan terlapor II
dalam mengadakan penggunaan Gantry Luffing Crane bagi kapal yang ingin bersandar
dan membongkar muatannya di Pelabuhan Tanjung Priok benar adanya. Yang
menyebabkan pelayanan jasa bongkar muat dimasing-masing dermaga tersebut hanya
dilayani oleh GLC dan menjadikan satu-satunya alat yang harus dipakai oleh para pihak
kapal. Namun GLC bukanlah alat bongkar muat yang tidak memiliki substansi.
Dikarenakan adanya pengumuman dari Terlapor I di dermaga 101, 101 utara dan 102, dan
perjanjian kerja sama Terlapor II di dermaga 114 dan 115 yang dikuatkan dengan surat
pemberitahuan Terlapor II tentang kewajiban penggunaan alat bongkar muat GLC
menyebabkan penggunaan crane kapal dan crane darat lainnya menjadi tidak boleh
digunakan sehingga di masing- masing dermaga tersebut hanya dapat menggunakan alat
bongkar muat GLC. Artinya, GLC bukanlah satu-satunya alat bongkar muat yang tidak
memiliki subtitusi di masing-masing dermaga perkara a quo sehingga unsur Pasal 17 ayat
(2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Lubis, Andi Fahmi et al., Hukum Persaingan
Usaha Antara Teks & Konteks, Jakarta:ROV Creative Media, 2009

Internet:
KPPU, “KPPU lewati Semester Pertama 2014 dengan Lima Saran Kebijakan:
Kebijakan Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang dan Jasa, diakses 26 Mei 2015,
http://www.kppu.go.id/id/blog/2014/06/kppu-lewati-semester-pertama-2014dengan-lima-saran-kebijakan/,

Dokumen yang terkait

Hukum Konsumsi Tembakau (Merokok)

0 30 6

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Strategi Meningkatkan Nasabah Pada Bmt Usaha Mulya Pondok Indah

10 95 68

Sistem Pendukung Keputusan Prioritas Kelayakan Kenaikan Pangkat Jabatan di Koperasi Serba Usaha Persada Madani Menggunakan Metode AHP

6 32 19

Implementasi Kebijakan Sistem Informasi Manajemen Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (SIMYANDU-PPTSP) (Studi Kasus Dalam Pembuatan Izin Usaha (ITU) Pada Kantor PPTSP Kabupaten Garut)

1 55 179

Sistem Informasi Pengolahan Data Pinjaman Pada Koperasi Serba Usaha Bersama di Ciroyom Provinsi Jawa Barat

4 39 117

Penolakan Terhadap Permohonan Pendaftaran Merk Yang Ditangani Oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Jawa Barat

1 23 1

Pengaruh Kemampuan Manajerial Dan Perilaku Kewirausahaan Terhadap Keberhasilan Usaha Di Unit Agro Bisnis Pada Yayasan Al-Anshor Bandung (survey pada petani unit Agro Bisnis Yayasan Al-Anshor Bandung)

5 61 1

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Atas Eksploitasi Dan Tindak Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 15 79

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22