Problematika Berfikir Kritis dan Kreatif

PROBLEMA KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DAN KREATIF
DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Essay
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Problematika Pembelajaran Sejarah
yang diampu oleh
Dosen:
Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M. Pd.
Tarunasena, M. Pd.

oleh
Masyithoh Nurul Haq
1407264

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2016

Berfikir Kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam sejarah adalah kemampuan mencari sumber informasi

yang valid, mengumpulkannya, mengelompokkan / mengklasifikasikan sumber tersebut,
menentukan dan melihat hubungan antar sumber dan informasi itu, memberikan makna
terhadap hubungan itu, sampai pada kemampuan membangun cerita darinya (Harris,
dalam Hasan, tt, hlm. 34). Bahkan lebih jauh dari itu adalah kemampuan mencerna
berbagai pengalaman sejarah yang berhubungan dengan kehidupannya saat itu hingga
menghasilkan solusi yang berarti untuk itu.
Masalah Pembelajaran Kritis
Banyak terjadi kesimpangsiuran informasi yang diperoleh siswa mengenai kebenaran
sejarah yang sedang dipelajarinya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan penyajian
informasi dari penulis dan penerbit buku yang berbeda padahal tema yang diangkat
adalah pokok yang sama, karena ini siswa sering menganggap sebelah mata informasi
sejarah karena kebenaran informasi tersebut bisa selalu berubah sekehandak penyusun
buku (Febriyanti, 2013). Maka di sini kekritisan pendidik dan peserta didik diuji untuk bisa
melihat keragaman bentuk interpretasi sejarawan dalam menulis historiografi mereka
masing-masing, juga keragaman pengambilan sumber dari penulis buku tersebut.
Masalah lain yang berkaitan dengan cara fikir kritis adalah akibat penerapan pendekatan
interdisipliner dalam pembelajaran yang membuat kemampuan berfikir kritis justru
menjadikan peserta didik tidak bisa menghubungkan materi pendidikan sejarahnya
dengan kehidupan sehari-hari, pembelajaran kritis sebatas pada materi di kelas saja, dan
dengan menggunakan pendekatan interdisipliner ini justru berakhir pada hafalan peserta

didik akan hubungan pengalaman sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu lainnya tanpa
betul-betul paham seperti apa manfaat dibuatnya hubungan itu dalam pemecahan
masalah kehidupan sehari-hari. (Hasan, tt, hlm. 30)
Ideal Pembelajaran Kritis dalam Sejarah

Idealnya pendidikan sejarah mampu mencetak generasi peserta didik yang memiliki
kualifikasi seperti tujuan ideal pengembang pendidikan di negeri ini, yaitu lahirnya
manusia-manusia yang cerdas. Karena memang pendidikan sejarah berpotensi untuk
melakukan itu, seperti yang diungkapkan Hasan (2008a dalam Hasan, tt, hlm. 5) bahwa
pendidikan sejarah memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritis,
rasa ingin tahu, berfikir kreatif, sikap kepahlawanan, kepemimpinan, kebangsaan,
kepedulian sosial, mengolah, dan mengomunikasikan informasi. Potensi-potensi tersebut
adalah potensi yang juga dimiliki manusia cerdas yang dituju. Kemampuan / sikap kritis
sendiri merupakan dasar dalam berfikir keilmuan ataupun lebihnya berfikir di masyarakat
yang sangat komperhensif.
Terlebih jika pembelajaran itu sudah pada jenjang SMA dimana pendekatan berfikir
disiplin ilmu menjadi kepedulian yang tinggi maka kemampuan berfikir haruslah sangat
tinggi. Kemampuan berfikir yang tinggi pada jenjang ini menjadi syarat utama untuk hidup
lebih baik di masyarakat dan keberhasilan pendidikan di perguruan tinggi. Dalam
melakukan pembelajaran sejarah yang bersifat interdisipliner maka peserta didik akan

memerlukan kemampuan berfikir yang cukup tinggi, yaitu cara berfikir disiplin-disiplin
ilmu lain dengan menjadikan sejarah sebagai ‘organizing element’. (Hasan, 2008, hlm. 30)
Berkenaan dengan tujuan pendidikan kita dalam mencetak manusia cerdas, maka ada
memori dalam diri tiap individu yang paling berperan dalam hal ini, yaitu yang sering
diistilahkan dengan memori cerdas. Memori ini dapat berkembang sebagai hasil proses
pendidikan yang panjang dan terus menerus mengenai berfikir kritis. Sementara
kemampuan berfikir kritis adalah suatu habit (kebiasaan) yang harus dikembangkan
melalui

pendidikan

dalam

suatu

proses

yang

panjang,


terus

menerus,

dan

berkesinambungan sebagaimana halnya dengan pendidikan yang mengembangkan
katerampilan, nilai, dan sikap. Disamping memerlukan proses panjang kemampuan berfikir
kritis ini juga butuh penguatan sehingga nantinya bisa menjadi kebiasaan yang

mengkarakter (characterization) yang menjadi bagian dari jati diri peserta didik. (Hasan,
2008, hlm. 31)
Manusia cerdas adalah manusia yang belajar dari pengalaman dirinya untuk suatu
keputusan, tindakan, sikap, dan prestasi yang lebih baik di masa depan. Untuk itu ia
memerlukan pengalaman, perhatian pada pengalaman tersebut, pertimbangan tentang
yang dialaminya berdasarkan bukti-bukti (bukan emosi), serta kemampuan analisis
tentang apa yang salah dan yang perlu diperbaiki dari bukti-bukti pengalaman itu sehingga
dapat memilih dan mempertimbangkan apa yang masih relevan dan bisa dikembangkan di
masa kini dan masa mendatang. (Hasan, 2008, hlm. 33)

Solusi Problema Berfikir Kritis dalam Sejarah
Sehingga solusi yang bisa dilakukan oleh seorang guru guna membentuk kecerdasan kritis
pada peserta didik ini adalah dengan berupaya memberikan kesempatan belajar peserta
didik dari pengalaman-pengalaman hidup manusia yang tercatat dalam sejarah (bukan
dengan menghafalnya).
Untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritis sehingga mengkarakter maka peserta
didik yang belajar sejarah juga harus berlatih sejak awal, alternatif yang paling mudah
adalah dengan mengikiti pelajaran sejarah di sekolah dari SD, SMP, SMA, bahkan
perguruan tinggi. Jika tidak seperti ini maka pendidikan sejarah hanya akan menjadi beban
hafalan peserta didik, tidak menjadikan peserta didik cerdas melainkan hanya banyak tahu,
dan tidak pula mampu mengembangkan semangat kebangsaan yang penuh daya saing
positif. Bahkan mungkin bukan hanya dengan mempelajari sejarah di setiap jenjang,
pembentukan berfikir kritis juga harus dikembangkan melalui setiap pokok bahasan
sehingga terbentuk suatu kesinambungan dan melalui berbagai mata pelajaran sehingga
terjadi proses penguatan kebiasaan dalam setiap bidang, dan ini semua kemudian menjadi
tugas para penyusun dan penerap kurikulum yang ada. (Hasan, 2008, hlm. 31-32)
Pemilihan model pembelajaran yang tepat dan baik juga dapat merangsang daya kritis

peserta didik. Model pembelajaran adalah bentuk kegiatan yang digunakan untuk
menyampaikan bahan ajar dari guru kepada siswa, berikut beberapa model pembelajaran

yang dapat digunakan guna mencapai tujuan tersebut:
1. Model Pembelajaran Example Non Example
Yaitu model pembelajaran menggunakan media gambar dalam penyampaian materi
pembelajarannya, hal ini bisa mendorong peserta didik untuk belajar berfikir kritis dengan
memanfaatkan kemampuan imajinasinya, ia dituntut untuk mampu memecahkan
permasalahan-permasalahan yang terkandung dalam contoh-contoh gambar yang
disajikan, model inipun memberi kesempatan peserta didik untuk mengemukakan
pendapatnya. Hanya masalahnya mungkin, tak semua materi dapat disajikan dalam
bentuk gambar. (Daruisama, 2014)
2. Model Pembelajaran Picture Picture
Hampir sama dengan model sebelumnya, di mana model ini juga menggunakan media
gambar sebagaimana namanya, hanya saja model ini tidak hanya menampilkan satu
gambar saja tapi lebih dari itu, di mana peserta didik nanti akan diminta untuk menyusun /
mengurutkan banyak gambar itu hingga membentuk cerita / urutan yang kronologis dan
logis, tentu ini bisa meningkatkan daya nalar dan fikir peserta didik dalam menganalisa
masing-masing gambar. Sajian gambar bisa dalam bentuk kartu atau tampilan visual yang
diproyeksikan. Kendalanya mungkin sama dengan model sebelumnya di mana tidak semua
meteri mampu direpresentsikan dalam bentuk gambar. (Istarani, 2011, hlm. 8)
Banyak lagi model yang bisa meningkatkan daya kritis peserta didik tinggal kembali pada
guru yang bersangkutan hendak memilih yang mana berdasarkan kesanggupan, efektivitas

penyelenggaraan dan pertimbangan lain sesuai kondisi pengajaran yang ada. (Uno, 2008,
hlm. 2)
Pembelajaran kritis juga bisa diupayakan lewat pemilihan metode pembelajarannya,

karena upaya peningkatan daya kritis peserta didik tidak bisa hanya terus dengan ceramah
di kelas, pendidik perlu inovasi lebih yang harus ia lakukan.
Pemilihan metode diskusi sebagai implementasi rencana kegiatan yang nyata dan praktis
juga bagus dalam upaya ini. Karena lewat metode ini peserta didik dihadapkan pada
masalah (yang bisa berupa pertanyaan ataupun pernyataan) yang bersifat problematis
untuk dibahas dan dipecahkan bersama. (Daruisama, 2014)
Dalam metode ini akan lahir interaksi antar individu yang terlibat tukar menukar
pengalaman dan informasi secara aktif, di mana sifat kritis peserta didik dipaksa untuk
keluar guna menyelesaikan masalah-masalah itu. Hanya saja kelemahan metode ini
membuat peserta didik tidak bisa melakukan pencarian informasi lebih untuk tema di luar
yang ditugaskan pada kelompoknya, juga tidak bisa diberikan pada kelompok besar karena
dipandang akan kurannya pengontrolan dan efektivitas.
Solusi lainnya bisa dengan mengikuti pendapat Harris (2010 dalam Hasan, tt, hlm. 32)
yaitu dengan menguasai dan memiliki empat atribut pemikiran kritis itu sendiri yaitu
analisis (analysis), perhatian (attention), kesadaran (awareness), dan pemberian
pertimbangan yang independen.

Pembelajaran Kreatif: Masalah dan Bentuk yang Seharusnya
Pembelajaran sejarah di sekolah dirasa membosankan karena dianggap memaksakan
siswa untuk menghafal nama-nama tokoh, peristiwa, dan tahun-tahun berlangsungnya
suatu peristiwa. Terlebih, menjadi suatu yang sangat membosankan ketika pengajarannya
guru terasa seperti dongeng pengantar tidur yang membuat siswa mendengarkan sambil
terkantuk-kantuk.
Pembelajaran sejarah menjadi yang ditinggu-tunggu oleh siswa karana pengejaran yang
menyentuh pengelaman siswa dan tersaji secara menarik tanpa menjadikan sejarah
seperti tuntutan / beban materi yang cepat-cepat harus dituntaskan pada siswa.

Pembelajaran yang tidak monoton, sehingga betul-betul menerapkan metode
pembelajaran sesuai perencanaan dalam RPP yang ada.
Solusi Masalah Guna Membentuk Pembelajaran Sejarah Kreatif
Berikut ada 10 pembelajaran kreatif yang coba diusulkan Febriyanti (2013), yaitu:
1. Pendidik dapat memasukkan tayangan-tayangan visual berupa video, gambar, peta,
atau poster yang berkaitan dengan materi yang ada. Misalnya, menampilkan tayangan
keadaan peradaban sungai indus dan keadaan sungai tersebut hari ini saat menjelaskan
materi peradaban asia kuno, ini akan meningkatkan semangat peserta didik untuk lebih
menghargai sejarah.
2. Bisa juga lewat lagu, guru sejarah bisa bekerja sama dengan guru seni musik untuk

mengaransemen lagu bertema sejarah / mengambil lagu berlatar sejarah yang sudah ada.
3. Model pembelajaran role playing atau drama bisa juga digunakan guru untuk membuat
materi sejarah lebih hidup bagi peserta didik, kelemahan menyita waktu bisa ditangani
guru dengan memberi tambahan waktu di luar jam pelajaran, atau membebaskan latihan
di luar dan menempatkan pentasnya saja yang diselenggarakan di kelas, atau juga bisa
dengan meminta tugas proyeksinya (berupa video) saja yang dikumpulkan, sehingga tidak
perlu menyita waktu pembalajaran dan diskusi di kelas.
4. Ada juga model Make a Match (memasangkan pertanyaan dan jawaban) yang menarik
dilakukan, di sini guru membuat potongan-potongan kertas kecil yang berisi pertanyaan
dan jawaban yang ditebar di lapangan / di ruang kelas yang luas, kemudian peserta didik
berebut mencari pasangannya.
5. Membuat presentasi power point yang menarik dengan animasi, video, musik, mind
map, dan dengan warna yang menarik, tapi tentu saja masih jelas untuk dibaca peserta
didik.

6. Membuat kuis dalam bentuk swf yang bisa dikerjakan langsung di komputer yang ada di
lab komputer, di sini berarti guru sejarah bisa bekerja sama dengan guru TIK.
7. Bisa juga menggunakan model permainan 'Talking Stick', permainan ini menggunakan
tongkat yang digilir ke semua peserta didik dengan bantuan lagu / musik, jika lagu
berhenti maka tongkat berhenti, maka peserta didik yang memegang tongkat terakhir ia

harus menjawab pertanyaan dari guru, tongkat bisa diganti dengan benda apapun
tergantung dari pengembangan guru itu sendiri.
8. Sesekali guru bisa meminta peserta didik untuk membuat puisi kemerdakaan yang
menghadirkan suasana heroik dalam kelas
9. Pergi / melakukan studi sesekali di museum juga sangat baik untuk mendorong mereka
mengikuti komunitas pencinta sejarah, menggunakan museum sebagai lokasi latar foto
buku akhir tahun juga bisa menjadi kenangan bagi siswa yang sulit dilupakan.
10. Mengundang narasumber (tokoh pelaku / saksi) sejarah juga layak jadi pilihan
pengembangan pembelajran yang kreatif, di mana siswa dapat merasa terbawa dan ikut
bertanggung jawab atas peristiwa sejarah yang didengarnya langsung dari sang narasuber,
belum lagi jika mereka diminta membuat tulian dari pengalama sang narasumber dan
ditantang untuk membuat yang terbaik karena akan dilombakan dengan tulisan terbaik
nanti akan dipajang di mading sekolah dan mendapat penghargaan dari sekolah, misalnya.
11. Kreativitas dalam pembelajaran sejarah juga dapat dilakukan dengan menerapkan ‘if
history’ sehingga peserta didik dapat melakukan kajian mengenai konsekuensi dari sebuah
peristiwa sejarah yang dibuat dalam bentuk ‘if history’. (Hasan, tt, hlm. 6)

Sumber:
Daruisama, Naru. (2014). Model dan Metode dalam Pembelajaran Sejarah [online].
Diakses


dari:

http://www.idsejarah.net/2014/11/model-dan-metode-dalam-pembelajaran.html.
[04 Maret 2016].
Febriyanti, Rosiana. (2013). Pembelajaran Sejarah yang Kreatif [online]. Diakses dari:
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/03/18/mjqfjl-pemb
elajaran-sejarah-yang-kreatif#. [04 Maret 2016]
Hasan, S. Hamid. (2008). Pengembangan Kompetensi Berfikir Kritis dalam Pembelajaran
Sejarah [online]. Makalah disajikan pada Seminar IKAHIMSI UPI Bandung. Diakses dari:
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/194403101967101-SAID_H
AMID_HASAN/Makalah/Beberapa_Problematik_Dalam_Pendidikan_Sejarah.pdf, [05
Januari 2016]
Hasan, S. Hamid. (tt). Problematika Pendidikan Sejarah [online]. Diakses dari:
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/194403101967101-SAID_H
AMID_HASAN/Makalah/Beberapa_Problematik_Dalam_Pendidikan_Sejarah.pdf. [05
Januari 2016]
Istarani. (2011). 58 Model Pembelajaran Inovatif Referensi Guru dalam Menentukan
Model Pembelajaran.. Medan: Media Persada.
Universitas Pendidikan Indonesia. (2014). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas
Pendidikan

Indonesia

Tahun

2014

[online].

Diakses

dari

http://www.academia.edu/9805012/Pedoman_Penulisan_Karya_Ilmiah_Universitas_
Pendidikan_Indonesia_Tahun_2014. [1 Maret 2015]
Uno, Hamzah. B. (2008). Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara