Clausewitz Trinity of War dan Political

Clausewitz Trinity of War dan Political Objective Amerika Serikat dalam Perang
Vietnam
Rany Purnama Hadi, S.IP
Magister Hubungan Internasional
Universitas Airlangga

Abstrak:
Dalam bukunya yang berjudul On War, Carl von Clausewitz menjabarkan mengenai
strategi=strategi perang modern yang terinspirasi berdasarkan peperangan pada jaman
Napolean. Menurut Clausewitz perang merupakan kepanjangan dari politik, dimana tujuan
dari perang tersebut adalah untuk meraih kepentingan atau tujuan politik dari aktor yang
melakukan perang. Menurut Clausewitz pula, keputusan untuk berperang sangat bergantung
pada kesinambungan tiga komponen dalam perang ,atau yang biasa disebut dengan the
Trinity of War, yaitu pemerintah, militer/jendral, dan rakyat. Ketiga komponen inilah yang
menentukan berhasil atau tidaknya strategi perang. Dalam perang Vietnam yang terjadi antara
Komunisme Vietnam Utara dan Vietnam Selatan-Amerika Serikat, trinitas perang milik
Clausewitz menjadi bukti pentingnya kesinambungan antara ketiga komponan tersebut yang
ditunjukkan dengan kekalahan Amerika Serikat. Akan tetapi kondisi ini kemudian
memunculkan perdebatan jika dilihat dari makna perang sebagai media untuk mencapai
tujuan politik. Beberapa argument berpendapat, bahwa meski kalah dalam medan perang,
Amerika Serikat tidak sepenuhnya “kalah” karena tujuan politik dari peperangan itu telah

tercapai. Dalam tulisan ini akan penulis kaji lebih dalam bagaimana teori strategi perang
Clausewitz memaknai kekalahan Amerika Serikat dalam perang Viertnam.
Keywords : Clausewitz, Trinity of War, Strategi Perang, Perang Vietnam, Amerika Serikat,
politik.
Pendahuluan
Perang Vietnam yang terjadi pada tahun 1965 hingga 1973 yang terjadi antara
Komunisme Vietnam Utara melawan Vietnam Selatan-Amerika Serikat, merupakan awal
dimana kajian strategi perang yang diusung oleh Carl Von Clausewitz mulai berkembang
dalam kajian militer di Amerika Serikat baik doctrinal, teoritical, maupun secara historical
(Bassford, 1994). Perkembangan strategi perang milik Clausewitz ini dilatarbelakangi oleh

kegagalan pimpinan militer Amerika Serikat dalam perang Vietnam yang kemudian menurut
para scholars hanya dapat dianalisa melalui teori perang milik Clausewitz, yang mana
menghubungkan antara perang dan politik.
Clausewitz sendiri yang terkenal melalui bukunya On War, berasumsi bahwa perang
merupakan kepanjangan dari politik sebuah negara, yang dengan kata lain, perang hanya
merupakan sebuah instrument untuk mencapai kepentingan politik (political objective) dari
suatu negara. Perang merupakan duel antar kepentingan yang bertujuan untuk bagaimana
membuat pihak lawan mau melakukan apa yang kita inginkan (Gray, 1999). Ada tiga doktrin
yang kemudian dijabarkan oleh Clausewitz terkait perang (Smith, 1990). Pertama, perang

merupakan bisnis atau urusan dari negara dan pemerintahnya. Dalam hal ini, Clausewitz
melihat bahwa keputusan untuk berperang merupakan kepentingan dari pemerintah dan
hanya pemerintah yang memiliki kekuasaan utama untuk mengambil keputusan berperang,
meskipun ada unit lain yang juga mempengaruhi proses pegambilan kebijakan untuk
berperang yakni militer dan masyarakat. Dalam menjelaskan ketiga unit ini, Clausewitz
kategorikan mereka sebagai the Trinity of War yang perlu berjalan berkesinambungan demi
terciptanya tujuan dalam perang. Perang hanya dapat terjadi jika ada kombinasi yang sesuai
dari ketiga unit tersebut dimana masyarakat sebagai faktor pendukung, militer merupakan
agen pengeksekusi, dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Doktrin kedua adalah mengenai perang sebagai alat atau instrument dari kebijakan
dan bukan tujuan itu sendiri. Dalam hal ini, perang merupakan salah satu usaha negara untuk
mencapai tujuan politiknya. Kebijakan-kebijakan politik lah yang kemudian dapat melahirkan
keputusan untuk berperang. Meski demikian, bukan berarti bahwa perang merupakan cara
satu-satunya dalam mencapai kepentingan. Perang dilakukan sebagai jalan terakhir dalam
pembuatan kebijakan. Ketiga, perang dianggap sebagai cara yang paling sesuai untuk
mengakhiri perselisihan antar negara. Oleh karenanya, merupakan hal yang normal bagi
sebuah negara untuk menyelesaikan konflik melalui perang atau cara militer (Smith, 1990).
Selanjutnya, meskipun perang merupakan sesuatu hal yang normal dan dapat
diterima sebagai sebuah alat kepentingan politik, namun Clausewitz berasumsi bahwa
penting untuk mengetahui terlebih dahulu motif atau tujuan dari perang itu sendiri sebelum

akhirnya melakukan perang. Menurut Clausewitz, tidak ada negara yang memulai perang
tanpa terlebih dahulu memikirkan dengan baik apa yang menjadi tujuan dari dilakukannya
perang itu, dan bagaimana cara untuk mencapainya (Smith, 1990).

Salah satu peperangan yang cukup mendapatkan perhatian dari kelompok penstudi
strategi adalah perang Vietnam, dimana Amerika Serikat sebagai negara yang belum pernah
gagal sebelumnya dalam menjalankan strateginya disetiap perang, nyatanya justru dapat
dipukul mundur oleh tentara komunis Vietnam. Peristiwa ini cukup memberikan dampak
yang besar bagi tentara-tentara Amerika Serikat yang berperang di Vietnam (Jacobson,
2011). Dalam perang Vietnam, kegagalan yang dialami oleh Amerika Serikat dan Vietnam
Selatan sebagai sekutu diakibatkan oleh adanya ketidaksinambungan antara trinitas perang
yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Sebagaimanayang dipaparkan oleh Clausewitz,
keberlangsungan dari perang bergantung pada efektifas kinerja pemerintah, militer, dan
dukungan rakyat. Hal inilah yang tidak terjadi pada perang Vietnam. Sebelum mengkaji lebih
jauh permasalahan dalam strategi AS di perang Vietnam, terlebih dahulu akan dijabarkan
mengenai Trinity of War milik Carl von Clausewitz.
The Trinity of War
Trinitas perang yang dikemukakan oleh Clausewitz merupakan sebuah komposisi
dalam perang yang menjelaskan hubungan antara pemerintah, militer, dan rakyat, sebagai
faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dari peperangan (Papaj, 2008). Ketiga variabel ini

merupakan variabel dependen yang dapat mempengaruhi satu dengan lainnya. Apabila ada
ketidaksesuaian pada salah satu variabel, maka akan berdampak pada kedua variabel lainnya
yang kemudian memberikan efek pada keberhasilan dari peperangan.
Dalam Papaj 2008, Christopher Bassford dan Edward J. Villacres menjelaskan lebih
mendalam mengenai apa yang dimaksud Clausewitz dengan trinitas tersebut (Papaj, 2008).
Pada tulisan tersebut dijelaskan bahwa trinitas Clausewitz menunjukkan tiga kategori
kekuatan yang penting dalam peperangan, yaitu irrational forces (violent emotion), nonrational forces, dan rationality. Irrational forces atau emosi yang berhubungan dengan
kekerasan, kebencian, rasa permusuhan, merupakan perasaan yang dimiliki oleh rakyat.
Dengan kata lain, hasrat untuk melakukan peperangan itu ada pada diri rakyat. Kedua,
rational forces diidentikkan dengan militer/jendral dan pasukan. Militer memiliki peran untuk
memainkan segala kesempatan dan kemungkinan yang disertai dengan keahlian tertentu
untuk selanjutnya menentukan keberhasilan dari strategi yang dilakukan. Sedangkan
rationality dihubungkan dengan sikap rasional dari pemerintah untuk menyelenggarakan
peperangan. Pemerintah merupakan kunci utama dari dilaksanakannya strategi untuk
berperang. Hal ini dikarenakan tujuan politik yang menjadi landasan atau alasan untuk

berperang merupakan urusan dari pemerintah. Perang tidak akan terlaksana jika pemerintah
tidak memutuskannya. Meski demikian, sukses atau tidaknya peperangan juga dipegaruhi
oleh reaksi dari rakyat dan militer sebagai faktor pendukung.
Ketiga komponen ini harus mampu bekerja bersama-sama untuk mewujudkan

peperangan. Sebagai pembuat kebijakan, pemerintah dituntut untuk mampu mengatur strategi
dan kebijakan yang sesuai dalam melakukan peperangan. Militer dan Jenderal sebagai pihak
yang melakukan eksekusi, harus dapat menjalan kewajiban mereka untuk melaksanakan dan
menciptakan tujuan dari kebijakan yang telah dibentuk oleh pemerintah di medan
peperangan. Karena militerlah yang memiliki kapasitas untuk dapat mengaplikasikan strategi
dan kebijakan yang telah dibuat. Sedangkan rakyat, merupakan komponen pendorong yang
memberikan dukungan moral baik kepada pemerintah maupun pasukan militer yang sedang
berperang untuk dapat secara maksimal memperoleh kemenangan dalam perang. Jika salah
satu dari ketiga komponen ini kemudian terdapat cacat atau ketidak effektifan, maka akan
mempengaruhi hasil yang diperoleh dalam perang. Relevansi dari trinity of war inilah yang
selanjutnya ditunjukkan oleh pihak Amerika Serikat dalam perang Vietnam melawan
komunisme. Dalam perang itu, ditunjukkan bagaimana ketidakstabilan yang terjadi pada
hubungan antara tiga komponen ini mampu menyebabkan kekalahan sebuah negara dalam
berperang.
Vietnam War
Vietnam war sesunguhnya merupakan sebutan yang digunakan oleh pasukan
Amerika Serikat untuk menjelaskan intervensi militer yang mereka lakukan di Vietnam guna
membantu pasukan Vietnam Selatan melawan komunis Vietnam Utara (Viet chong) pada
tahun 1965-1973. Perang yang oleh masyarakat Vietnam disebut degan “American War” ini
merupakan perang dimana pasukan Amerika Serikat gagal dalam membantu Vietnam Selatan

merebut kekuasan dari Vietnam Utara, yang kemudian menyebabkan berkuasanya
komunisme di Vietnam (BBC News, -). Keterlibatan AS pada perang internal Vietnam
tersebut dimulai pada masa pemerintahan Presiden Eisenhower diakhir tahun 1950an. Pada
saat itu yang menjadi perhatian AS adalah komunisme Vietnam yang dikhawatirkan akan
menyebar ke wilayah Asia Tenggara. Oleh karenanya, AS merasa perlu untuk memberikan
bantuan pasukan kepada pihak Vietnam Selatan, yang selanjutnya dikeluarkan kebijakannya
pada pemerintahan Presiden John F. Kennedy di tahun 1961, sebagai salah satu bentuk
containment terhadap komunisme dan mencegah jatuhnya Vietnam Selatan.

Kemudian pada tahun 1965, pihak Amerika Serikat meluncurkan Operation Rolling
Thunder dengan target Vietnam Utara yang diikuti dengan peluncuran pasukan militer
sebanyak 100ribu prajurit (BBC News, -). Strategi yang dibentuk oleh Amerika Serikat
bukanlah strategi untuk menduduki wilayah Vietnam, tetapi strategi perang yang ditujukan
untuk menghancurkan kapasitas berperang dari komunis Vietnam. Oleh karena itu
pemerintah AS tidak menurunkan banyak pasukannya. Akan tetapi, munculnya serangan
gerilya dari pasukan Vietnam Utara yang melebur ditengah masyarakat sipil menggagalkan
strategi AS yang berakibat pada penambahan jumlah pasukan di tahun 1967 menjadi total
485ribu pasukan (BBC News, -). Karena semakin banyaknya korban jiwa dan tidak
menentunya jumlah yang harus dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam perang
ini, kemudian memunculkan protes keras dari masyarakat Amerika Serikat yang menuntut

pemerintah Amerika Serikat yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Richard Nixon, untuk
menarik mundur tentara Amerika dari Vietnam.
Protes keras dari rakyat Amerika Serikat yang menentang perang Vietnam ini
memberikan dampak psikologis bagi tentara Amerika Serikat yang ada di medan perang.
Terlebih lagi dengan adanya pengurangan anggaran militer menyebabkan para pasukan
kekurangan pasokan makanan dan perlengkapan perang yang selanjutnya berakibat fatal pada
kapasitas militer yang dimiliki oleh tentara Amerika. Akhirnya pada tahun 1973, Amerika
Serikat dinyatakan kalah dalam peperangan dan Vietnam berhak untuk menentukan nasib
negara mereka sendiri.
Sebagaimana yang dilansir oleh BBC, pada perang tersebut, sekitar 1.1 juta pejuang
komunis Vietnam menjadi korban baik di Vietnam utara maupun selatan. 200-250ribu tentara
Vietnam Selatan tewas, serta sekitar 58.200 dari ratusan ribu pasukan Amerika Serikat yang
dikirim ke Vietnam dinyatakan hilang (BBC News, -). Peristiwa yang menjadi catatan hitam
bagi sejarah militer Amerika Serikat tersebut menimbulkan berbagai perdebatan terkait
strategi dan kebijakan perang Amerika yang akhirnya menyebabkan kekalahan Amerika
Serikat terhadap pasukan Vietnam.
Analisis
Jika dilihat dari sejarah, penyebab kegagalan Amerika Serikat dalam perang
Vietnam adalah adanya kesalahan kalkulasi dalam pembuatan kebijakan strategi perang
Amerika Serikat di Vietnam juga menjadi faktor yang penting dalam kekalahan Amerika


Serikat. AS yang pada saat itu melakukan kebijakan containment yang bertujuan untuk
membendung pengaruh komunisme Uni Soviet, juga turut melakukan containment di
Vietnam dengan tujuan agar komunisme tidak smemberikan efek domino dan menyebar ke
kawasa Indocina dan Asia Tenggara. Dalam pengaplikasian containment policy di Vietnam
ini, pemerintah AS salah mempertimbangkan kondisi dinamika internal dari konflik yang
terjadi di wilayah tersebut. Amerika Serikat menempatkan diri mereka pada arena perang
dimana mereka tidak memahami karakter dari local forces Vietnam, yang menyebabkan
kurang maksimalnya penurunan pasukan militer AS. Presiden Johnson beranggapan dengan
serangan terus-menerus di awal, akan membuat pihak Vietnam menyerah dengan cepat. Akan
tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini dikarenakan, Amerika tidak memahami tujuan
dari lawan, dimana Vietnam hanya melakukan limited aims war untuk bertahan (Herring,
1991).
Terlebih lagi, Amerika Serikat memang tidak terlalu memfokuskan kekuatan
militernya untuk menyerang Vietnam dalam jumlah pasukan yang besar. Hal ini karenakan,
tujuan awal dari keterlibatan Amerika Serikat ini hanya untuk mengahalau pasukan
komunisme, bukan untuk menduduki atau merebut wilayah Vietnam. Pasukan yang terbatas
dan ketidaktahuan akan medan peperangan menyebabkan pasukan Amerika Serikat terkejut
dengan serangan gerilya dari tentara komunis Vietnam yang berbaur dengan rapi dengan
masyarakat sipil.

Kondisi semakin diperparah dengan munculnya pergerakan anti-Vietnam War
dikalangan masyarakat Amerika Serikat, yang menuntut pemerintah untuk menarik mundur
pasukan pada detik-detik terakhir. Banyaknya jumlah korban dari perang Vietnam yang bocor
melalui siaran televisi kepada publik di Amerika, telah memunculkan berbagai pertentangan
terhadap perang Vietnam yang turut mempengaruhi moral dari pasukan Amerika Serikat di
Vietnam. Kurangnya dukungan dari public Amerika Serikat ini kemudian memberikan
pengaruh pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah AS pada masa pemerintahan Presiden
Lyndon Johnson dan Nixon. Dampaknya adalah pengurangan jumlah pasukan, pemotongan
anggaran perang, serta pembatasan bala bantuan dan persenjataan pasukan AS di Vietnam.
Jika dilihat dari fakta-fakta tersebut diatas, maka dapat dianalisa bagaimana trinity of
war yang diusung oleh Clausewitz bukanlah sebuah teori. Adanya kesinambungan antara
pemerintah, militer, dan publik turut memberikan pengaruh penting dalam keberhasilan
sebuah peperangan. Dalam kasus Amerika Serikat di perang Vietnam, publik di AS tidak

memberikan dukungan kepada pemerintah dan militer untuk terus terlibat dalam perang.
Dengan adanya protes dan kecaman-kecaman yang diberikan, kemudian mempengaruhi
kebijakan pemerintah AS untuk menarik mundur pasukan AS yang berakibat pada
kemenangan komunis Vietnam yang sekaligus dianggap sebagai kekalahan AS. Perang yang
pada saat itu disinyalir sudah begitu dekat dengan kemenangan, terpaksa harus dihentikan
oleh Presiden Nixon dengan menarik mundur sejumlah pasukan militer AS yang ada di

Vietnam. Jika melihat dari fakta yang telah dipaparkan, maka benar kemudian jika Amerika
Serikat dinyatakan kalah, dan pengaruh kesinambungan dari trinitas Clausewitz dapat
terbukti.
Akan tetapi, hal yang kemudian menjadi penting dalam melihat strategi AS pula
adalah mengenai political objective pemerintah AS dalam perang Vietnam. Sebagaimana
pernyataan Clausewitz, perang hanyalah sebuah alat yang digunakan oleh pemerintah suatu
negara untuk mencapai kepentingan politiknya. Dengan demikian, maka berhasil atau
tidaknya peperangan tidak bisa dilihat sebelah mata hanya dari menang atau kalahnya
pasukan militer dalam medan pertempuran. Melainkan dapat dilihat dari tercapai atau
tidaknya tujuan politik yang menjadi landasan utama dari perang itu sendiri.
Jika kita menilik pada pernyataan yang dilansir oleh Sekretaris Pertahanan AS,
Robert S. McNamara, tujuan utama dari objective Amerika Serikat pada saat itu adalah
pertama, untuk melakukan containment terhadap persebaran komunisme di Asia Tenggara.
Peran AS dalam konflik Vietnam hanyalah untuk membantu Vietnam Selatan yang meminta
dukungan kepada AS. Dimana dalam bantuan itu, Amerika juga tetap mengedepankan
kepentingan nasionalnya sendiri. Kedua, AS melihat wilayah Asia Tenggara merupakan
strategi yang baik bagi pertahanan Amerika Serikat. Sehingga, AS harus melindungi kawasan
itu dari pengaruh komunisme Uni Soviet dan China. Oleh karenanya, sebagai upaya
melindungi Asia Tenggara, maka secara tidak langsung AS juga harus berurusan dengan
permasalahan di Vietnam. Ketiga, Vietnam Selatan merupakan test case untuk strategi

komunisme yang baru (McNamara, 1964). Tujuan dari containment policy AS yang utama
adalah bukan untuk mengerahkan kekuatan militer melawan komunisme. Tetapi hanya untuk
membendung agar ideologi komunisme tidak sampai menyebar. Dan dengan tidak
memperbesar pasukan militer di Vietnam, pemerintah AS juga menghindari intervensi dari
Cina dan Uni Soviet yang barangkali bila terjadi, justru akan melemahkan tujuan containment
itu sendiri.

Pemaparan-pemaran tujuan dari pemerintah Amerika Serikat serta maksud dari
keterlibatannya di perang Vietnam tersebut telah menunjukkan bahwa yang menjadi
perhatian utama dari pemerintah bukanlah untuk memenangkan perang dengan Komunis
Vietnam. Melainkan hanya untuk mengahalau kekuatan komunisme, atau yang biasa disebut
dengan containment policy, yang ada di Vietnam agar tidak menyebar dan mempengaruhi
negara-negara lain di kawasan regional. Perang Vietnam hanya sebagai bentuk mencegahan
dan perlindungan yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap kekuatan komunisme yang
berkembang di wilayah Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara. Demi tujuan tersebut, mau
tidak mau Amerika memang harus berurusan dengan komunisme Vietnam.
Pada perang Vietnam, pemerintah Amerika Serikat memang tidak mengerahkan
pasukan dalam jumlah besar atau total war, karena dikhawatirkan justru akan menarik
perhatian Uni Soviet dan Cina di Asia Tenggara yang dapat menggagalkan grand strategy
dari Amerika Serikat. Dan tujuan containment Amerika Serikat telah tercapai dengan tidak
menyebarnya komunisme di ke wilayah Asia dan runtuhnya Uni Soviet yang juga
menandakan berakhirnya perang dingin. Tujuan inilah yang kemudian memunculkan asumsi
bahwa sebenarnya, Amerika memang bukan pemenang dari perang, akan tetapi mereka juga
tidak kalah.
Kesimpulan
Jika dilihat berdasarkan trinity of war Clausewitz, maka dapat dibuktikan bagaimana
kemudian kesinambungan antara pemerintah, militer, dan publik memberikan pengaruh
terhadap peperangan. Akan tetapi, sukses atau tidaknya perang sebagai sebuah instrument
kebijakan juga dapat dilihat dari tercapainya political objective sebagaimana yang terjadi di
Perang Vietnam antara Viet cong dan Amerika Serikat. Perang bukanlah tujuan itu sendiri,
melainkan semata-mata hanya sebagai alat bagi pemerintah untuk mencapai tujuan politknya.
AS mengalami kekalahan dalam pertempuran, akan tetapi mereka “tidak kalah” dalam
pencapaian kepentingan politiknya melalui perang.

Referensi
Bassford, C., 1994. Clausewitz in English: The Reception of Clausewitz in Britain and
America. New York: Oxford University Press.

BBC

News,

-.

Vietnam

War

:

History.

[Online]

Available

at:

http://news.bbc.co.uk/2/shared/spl/hi/asia_pac/05/vietnam_war/html/introduction.stm
[Accessed 15 October 2015].
CADRE, 1997. Three Level of War. Air and Space Power Mentoring Guide. Air University
Press.
Clausewitz, C.V., 1989. On War. NewJersey: Princeton University Press.
CNN, 2014. Regions : US -The Vietnam War: 5 things you might not know. [Online]
Available

at:

http://edition.cnn.com/2014/06/20/us/vietnam-war-five-things/

[Accessed 15 October 2015].
Gray, C.S., 1999. Carl Von Clausewitz and the Theory of War. In War, Peace and
International Relations: an Introduction to Strategic History. New York: Routledge.
pp.15-30.
Gray, C.S., 2002. Defining and Achieving Decisive Victory. U.S. Army War College.
Handel, M.I., 1991. Sun Tzu and Clausewitz: The Art of War and On War Compared.
Professional Readings in Military Strategy. Pnnsylvania: U.S. Army War College
Strategic Studies Institute.
Herberg-Rothe, A., 2009. Clausewitz’s “Wondrous Trinity” as a Coordinate System of War
and Violent Conflict. International Journal of COnflict and Violence, Vol 3.(2),
pp.204-19.
Herring, G.C., 1991. America and Vietnam: The Unending War. [Online] Foreign Affairs
Available at: https://www.foreignaffairs.com/articles/vietnam/1991-12-01/americaand-vietnam-unending-war [Accessed 10 October 2015].
Holmes, T.M., 2007. Planning versus Chaos in Clausewitz's On War. The Journal of
Strategic Studies, Vol.30, No.1, pp.129-51.
Jacobson, L., 2011. Politic Fact: Barack Obama says U.S. never lost a major battle in
Vietnam.

[Online]

Available

at:

http://www.politifact.com/truth-o-

meter/statements/2011/sep/05/barack-obama/barack-obama-says-us-never-lost-majorbattle-vietn [Accessed 15 October 2015].
McNamara, R.S., 1964. United States Policy in Vietnam. The Pentagon Papers, Gravel
Edition, volume 3, pp.712-15.

Neiberg, M.S., 2011. The Evolution of Strategic Thinking in World War I: A Case Study of
the Second Battle of the Marne. Journal of Military and Strategic Studies, Volume
13(4), pp.1-19.
Papaj, C.J., 2008. Clausewitz 21st Century Warfare. Strategy Research Project. Pennsylvania:
U.S. Army War College U.S. Army War College.
Smith, H., 1990. The Womb of War: Clausewitz and International Politics. Review of
International Studies, Vol 16.(1), pp.39-58.
Waldman, T., 2009. War, Clausewitz, and the Trinity. PhD Thesis. Coventry: University of
Warwick Department of Politics and International Studies.