TEORI KONFLIK MENURUT PARA AHLI

Nama

: Angel Priscilla

NIM

: 1321405026

Jurusan

: Ilmu Komunikasi

TEORI KONFLIK MENURUT PARA AHLI
1. Karl Marx (1818-1883)
Marx adalah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai sangat jelas dalam
perkembangan ilmu social. Pemikiran Marx berangkat dari flsaaat dialektika Hegel.
Hanya saja ia menggantikan dialektika ideal menjadi dialektika material, yang diambil
dari flsaaat Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus menerus
secara material.
Marx menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke 19 di Eropa dimana
dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin (proletar)

sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkhis,
borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis.
Eksploitasi ini terus berjalan karena masih tengaknya kesadaran semu, false
consiousness, dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan
dan berharap balasan akhirat. Dengan ini Marx menjadi orang yang tidak tertarik pada
agama karena menurutnya itu candu yang mengantar manusia pada halusinasi kosong dan
menipu, untuk itulah komunisme selalu lekat dengan anti Tuhan (atheisme).
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas
borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi.
Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi
borjuis terhadap mereka. Ciri yang menonjol dari Marx adalah pemikirannya sangat
radikal dan dia melihat bahwa perubahan sosial harus menyeluruh/total, cepat dan
kohesia/kekerasan serta tiba-tiba (Iebih dikenal dengan revolusi). Menurut Marx,

kebanyakan flosoa hanya menaasirkan apa yang terjadi, seharusnya yang perlu dilakukan
adalah merombak masyarakat lama menjadi masyarakat baru yang berbeda dalam banyak
hal. Sumber dari segala kebobrokan masyarakat adalah liberalisme dan kapitalisme serta
demokrasi. Dengan kata lain, Liberalisme menghasilkan Kapitalisme di bidang ekonomi
dan Demokrasi dibidang politik. Dalam paham liberal, rakyatlah yang menentukan
segalanya. Dan dalam sistem kapitalisme, untuk bisa membawa masyarakat menuju

kemajuan dibutuhkan pemodal (pemilik uang) yang haus akan kekayaan.
Ciri konkrit kemakmuran: tersedianya barang atau komoditas dalam jumlah besar
dan terjangkau dari segi harga beli. Tujuan kapitalis adalah keuntungan bukan amal.
Marx menyalahkan semua proses ini. Dalam proses ini, Marx melihat adanya penindasan
kaum borjuis terhadap kaum buruh dalam rangka memperbesar modalnya. Materilisme
sejarah merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa sejarah umat manusia
ditentukan oleh materi (benda). Material di sini adalah benda yang mempunyai arti
penting dalam masyarakat yaitu alat produksi (means of production). Hal penting pada
masa tersebut adalah siapa yang menguasai alat produksi maka merekalah yang akan
menguasai masyarakat. Alat produksi adalah setiap alat yang menghasilkan produk
komoditas. Para pemilik alat produksi adalah orang kaya dan yang tidak memiliki alat
produksi adalah orang yang ditindas dan dipaksa bekerja. Dalam materialisme sejarahnya Marx mengungkapkan selalu adanya konfik antara pemilik dan bukan pemilik alat
produksi yang tiada henti-hentinya.
Garis besar teori Marx tentang konfik mencakup beberapa pokok bahasan: penyebab
konfik, siapa yang konfik, intensitas konfik dan penyelesaian konfik.
1. Apa penyebab terjadinya konfik.
Menurut Marx, sejarah umat manusia ditentukan oleh materi/benda dalam bentuk alat
produksi. Alat produksi ini untuk menguasai masyarakat. Alat produksi adalah setiap alat
yang menghasilkan komoditas. Komoditas diperlukan oleh masyarakat secara sukarela.
Bagi Marx aakta terpenting adalah materi Ekonomi. Konfik terjadi karena aaktor


ekonomi (determinasi ekonomi ). Yang dimaksud dengan aaktor ekonomi disini adalah
penguasaan terhadap alat produksi
Berdasarkan alat produksi Marx membagi perkembangan masyarakat menjadi 5
tahap:
a. Tahap 1: Masyarakat Agraris/primitia . Dalam masyarakat Agraris alat produksi berupa
tanah. Dalam masyarakat seperti ini penindasan akan terjadi antara pemilik alat produksi
yaitu pemilik tanah dengan penggarap tanah.
b. Tahap 2 : Masyarakat budak. Dalam masyarakat budak, tidak memiliki alat produksi.
Penindasan terjadi antara majikan dan budak.
c. Tahap 3 : Dalam masyarakat aeudal, ditentukan oleh kepemilikan tanah.
d. Tahap 4 : Masyarakat boduis. Alat Produksi sebagai industri. Konfik terjadi antara
kelas borjuis dengan buruh. Perjuangan kelas adalah perjuangan antara borjuis dan
proletar.
e. Tahap 5: Masyarakat komunis. Dalam masyarakat ini kelas proletar akan menang.
2

. Siapa yang konfikk

Konfik terjadi antara dua kelas (Borjuis dan Proretar ). Konfik ini bersiaat mendalam

dan sulit diselesaikan. Perbedaannya bukan dalam cara hidup melainkan perbedaan dalam
kesadaran kelas. Dalam teori Marx eksistensi sosial menentukan kesadaran dan
perbedaan kelas (kaya miskin) .Perbedaan ini mencakup dalam materi dan psikologi.
Perbedaan antara kelas borjuis dan kelas proletar tidak hanya terdapat pada cara hidup
melainkan juga cara berfkir. Orang komunis menganggap penting kesadaran, makanya
mereka mementingkan sosialisasi, indoktrinasi dan Brainwashing.
3. Sejauh mana intensitas konfik tersebutk
Intensitas konfik mengakibatkan adanya kelas yang ditindas (proletar ditindas oleh
borjuis).
4. Bagaimana penyelesaian konfik tersebutk

Konfik akan mengakibatkan kesadaran para kaum proletar nantinya berada dalam
kondisi yang sama. Penindasan akan mengakibatkan arustrasi, dan arustrasi akan
mengakibatkan revolusi. Revolusi proletarlah nantinya yang akan menyelesaikan konfik.
Pola Konfik : Kelas sosial  Konfik  Revolusi.
Dalam konfik sosial kaum proletar tidak mau dan tidak bisa melepaskan diri .
Mereka terpaksa dan ditindas. Dalam paksaan dan penindasan ini hukum tidak dapat
dijatuhkan kepada majikan.

Asumsi

Asumsi yang dipakai dalam mengembangkan teori sosial konfik adalah bertolak
belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-aungsionalisme (Megawangi,
2005), yaitu :
a. Walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola relasi yang
ada sebenarnya penuh dengan kepentingan-kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini
membuktikan bahwa sistem sosial secara sistematis menghasilkan konfik.
b, Maka konfik adalah suatu yang tak terhindarkan dalam semua sistem sosial. Konfik
akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan.
c. Konfik adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat.

2. Ralf Dahrendorf
Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi
pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas
dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx
karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah
kapitalisme atau sosialisme).

Jika Marx bersandar pada pemilikan alat produksi, maka

Dahrendorf bersandar pada kontrol atas alat produksi.


Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat
produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi,
diluar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa
sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang
struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori konflik antar kelas sosial.
Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan
dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi disamping tentu saja berusaha melakukan
berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga
intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa
ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap (statis), namun senantiasa
berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah
dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang
legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan
oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat didalamnya.
Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas
sosial lainnya. Ralp Dahrendorf membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok
terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu
tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan

buruh (Me Quarie, 1995: 66). Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih
menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan: Wajah masyarakat menurutnya
tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain
yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia
kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana istilah-istilah
dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini
dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai
kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan
kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu
dapat dilihat sebagai hubungan "authority", dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif
untuk menentukan atau memperlakukan yang lain (Turner, 1991: 144). Sehingga tatanan sosial

menurut Dahrendorf, dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam
bermacam-macam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial.
Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling
bersaing. Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan,
atau wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem
sosial. Selanjutnya sekelompok peran baru memegang kunci kekuasaaan dan wewenang dan
yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang

merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus
peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang
akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi
kondisi yang bisa berbeda. Sehinga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya
konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan
kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk
wewenang dan kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan.
Asumsi
Pendekatan teoritis Dahendrof adalah teori pemaksaan yang berasumsi bahwa dimana pun bisa
terjadi perubahan sosial, konflik sosial, pemaksaan dan kontribusi tiap-tiap elemen itu terhadap
perubahan dan disintegrasi masyarakat. Asumsi itu merupakan dasar paradigma konflik
masyarakat. Dengan menerima model realitas sosial ini, Dahendrof berasumsi bahwa
kelompok dalam masyarakat perlu dikoordinasikan (seperti hubungan antar anggota
masyarakat) dan dibentuk oleh dua agregat posisi dominasi dan kepatuhan.

3. Jonathan Turner
Teori konflik dari Jonathan Turner, dia mengemukan 3 persoalan utama dalam teori konflik
yaitu,
a. Tidak ada definisi yang jelas mengenai konflik atau apa yang bukan konflik.

b. Teori konflik dilihat mengambang karena tidak menjelaskan unit analisis secara jelas,
apakah itu konflik individu, kelompok, institusi, organisasi atau konflik antar bangsa.

c. Teori konflik ini merupakan reaksi dari teori fungsionalisme struktural maka sulit
dipisahkan dari teori tersebut.
Turner memusatkan pada konflik sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa atau
fenomena yang mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih dan
Turner juga menjelaskan konflik yang terbuka, singkatnya adalah system sosial terdiri dari unitunit yang saling berhubungan satu sama lainnya dan didalamnya terdapat ketidakkeseimbangan
atas pembagian kekuasan dan kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasan mulai
mempertanyakan legistimasi, pertanyaan tersebut mengubah kesadaran untuk mengubah sistem
alokasi kekuasan.

4. Lewis Coser (1913 - 2003)
Sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada
konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara
keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal
yang melulu merusak system sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan
pada masyarakat luas dimana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka
peluang integrasi antar kelompok. Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan
sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam

masyarakat. Pandangan teori Coser pada dasamya usaha menjembatani teori fungsional
dan teori konflik, hal itu terlihat dari fokus perhatiannya terhadap fungsi integratif konflik
dalam sistem sosial. Coser sepakat pada fungsi konflik sosial dalam sistem sosial, lebih
khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, dan
produktivitas, dan kemudian konsen pada hubungan antara konflik dan perubahan sosial.
Coser memberikan perhatian terhadap asal mula konflik soslal bahwa ada keagresifan
atau bermusuhan dalam diri orang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim
dan tertutup, antara cinta dan rasa benci hadir. Sehingga masyarakat akan selalu
mengalami situasi konflik. Karena itu Coser membedakan dua tipe dasar konflik
(Wallace&Wolf, 1986: 124), yang realistik dan non realistik. Coser sendiri banyak
dipengaruhi oleh George Simmel. Simmel dan Coser adalah orang realis yang melihat
konflik dan integrasi sebagai dua sisi saling memperkuat atau memperlemah satu sama
lain.
Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti
sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa
itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan
baik. Konflik nonrealistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung
bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antaretnis, dan konflik antar
kepercayaan lairmya. Antara konflik yang pertama dan kedua, konflik yang
nonrealistiklah yang cenderung sulit untuk menemukan solusi konflik atau sulitnya

mencapai konsensus dan perdamaian. Bagi Coser sangat memungkinkan bahwa konflik
melahirkan kedua tipe ini sekaligus dalam situasi konflik yang sama.

Asumsi
Kinloch (2005) menyebutkan asumsi dari teori Coser adalah :
a. Asumsi awal Coser adalah konflik akan cenderung meningkatkan daripada
menurunkan penyesuaian sosial adaptasi dan memelihara batas kelompok. Konflik
bersifat fungsional dan non fungsional.
b. Konflik menurut Coser muncul ketika ada akses dari penuntut untuk memperoleh
imbalan sesuai dengan kerjanya. Konsekuensinya kemudian ditegaskan oleh tipe
dalam struktur sosial dan tipe perhatian masalah (isue consered), semua yang
mempengaruhi fungsi proses ini dalam masyarakat umum.
c. Tipe persoalan yang menyebabkan konflik adalah persoalan yang memperhatikan
legitimasi masyarakat dan melibatkan ketidaksetujuan asumsi dasar yang cenderung
menimbulkan konflik tingkat.
d. Secara umum, konflik fungsional akan memberikan dampak bagi sistem sosial
sebagai berikut : menstabilkan hubungan, memfungsikan kembali keberadaan
keseimbangan, menambah munculnya norma-norma baru, menyediakan mekanisme
bagi penyesuaian diri yang terus menerus dari keseimbangan kekuasaan,
mengembangkan koalisi dan asosiasi baru, menurunkan isolasi sosial, dan
menyumbangkan untuk pemeliharaan garis batas kelompok.
e. Selanjutnya di bawah kondisi khusus, konflik akan menghasilkan keadaan yang lebih
stabil, fleksibel dan sistem sosiai yang terpadu. Ringkasnya, konflik atas persoalan
realistis dalam struktur sosial yang terbuka memberikan kontribusi penyesuaian
struktur yang lebih hebat, fleksibilitas dan integrasi. Sebaliknya, konflik yang tidak
realistis dalam lingkungan yang fleksibel dan tertutup akan menimbulkan kekerasan
dan disintegrasi.

5. Wright Mills (1916-1962)
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh
karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright
Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit
kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasamya
menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling
besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya
sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan
mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu
contoh proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi
paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur
organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki
kekuasaan politik.
Mills melakukan riset terhadap struktur kekuasan Amerika yang dari penelitian itu
diperoleh suatu hubungan dominatif, dimana stukrur sosial dikuasi elit dan rakyat adalah
pihak ada di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul karena elit-elit
berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal
mereka secara ekonomi dan politik. Elit-elit itu adalah militer, politisi, dan para
pengusaha (ekonomi). Mills menemukan bahwa mereka, para elit kekuasaan, mempunyai
kecederungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi atau duduk dalam posisi
eksekutif. Satu hal penting lagi, mereka yang termasuk dalam elit kekuasaan sering kali
pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang yang lain.
Kasus Amerika, Mills memberi contoh Jenderal Eisenhower yang kemudian
menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mills, seperti seorang
laksmana yang juga seorang bankir, seorang direktur, dan menjadi pimpinan perusahaan
ekonomi terkemuka. Elit-elit kekuasaan mempunyai keinginan besar terhadap
perkembangan diri mereka dan tentu saja secara politis mereka membutuhkan dukungan
dari rakyat. Media massa yang mempunyai posisi dan peran strategis dalam
menyampaikan isu-isu nasional merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih
dukungan itu, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Proses
itu merupakan bagian dari doktrinisasi dan persuasi elit-elit kekuasaan. Masyarakat hanya

bersifat pasif sebagai penadah informasi-informasi elit kekuasan. Satu hal penting
lainnya, rakyat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu mudah
menjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media
massa. Mills nenyebut mereka sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat
massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan
kesadaran yang sejati tentang isi dari informasi atau isu-isu para elit.
Kita bisa menyaksikan di Indonesia elit-elit kekuasaan yang disebutkan Mills,
dari golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi mempunyai karakter dan gerakan
yang serupa. Elit-elit kekuasaan di Indonesia menciptakan hubungan dominatif antara
mereka dan rakyat. Mereka juga bergerak mencapai posisi yang tinggi ke posisi (lebih)
tinggi lainnya. Pada pemilihan presiden tahun 2004 dapat ditemukan dua orang elit dari
militer berusaha mencapai posisi yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, yaitu presiden
atau wakil presiden. Ada dua orang calon wakil presiden yang sebelumnya merupakan
elit pengusaha dan pejabat pemerintahan. Ada juga yang dulunya hanya aktifis politik
dan bersuami pengusaha bahkan tetah menjadi presiden. Tampaknya jelas sekali bahwa
para elit kekuasaan pada saat ini tengah melakukan pergerakan mendapatkan posisi yang
lebih tinggi dari sebelumnya untuk mobilitas vertikal secara ekonomi maupun politik.
Analisis kritis Mills sesungguhnya tidak langsung disebutkan sebagai bangunan
teori konflik. Tetapi ciri-ciri penting dalam analisisnya menunjukkan hubungan dominatif
dalam stuktur sosial antara kelompok-kelompok elit yang berusaha menambah
kekayaannya dengan masyarakat. Sampai di sini, secara singkat, dapat ditemukan bahwa
teori Mills tentang elit adalah pembuktian terhadap teorinya sebagai bagian dari teori
konflik beraliran kritis. Menurut C. Wright Mills (1959) keluarga struktural
fungsionalisme (Parsonian), justru telah menimbulkan konflik peran karena kedudukan
para wanita dianggap sebagai "budak kecil tercinta".