Makalah Muh Yamin Penggagas Dasar Negara

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muhammad Yamin lahir pada tanggal 24 Agustus 1903 di
Sawahlunto, Sumatera Barat. Yamin merupakan pahlawan nasional,
budayawan, dan aktivis hukum terkenal di Indonesia. M. Yamin memiliki
pendidikan yang lengkap. Pendidikannya dimulai ketika ia bersekolah di
Hollands Indlandsche School (HIS). Ia juga mendapat pendidikan di
sekolah guru. M. Yamin juga mengenyam pendidikan di Sekolah
Menengah Pertanian Bogor, Sekolah Dokter Hewan Bogor, AMS, hingga
sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta.
Karir M. Yamin dalam dunia politik dimulai ketika ia diangkat
sebagai ketua Jong Sumatera Bond pada tahun 1926 sampai 1928. Ketika
menjadi ketua Jong Sumatera Bond, M. Yamin mulai menampakkan
kemampuan pemikirannya yang sudah matang dengan diterimanya usulan
draft yang saat ini menjadi “Sumpah Pemuda”.
Menggagas konsep Sumpah Pemuda, M. Yamin terlibat aktif
dalam Kongres Pemuda I (30 April – 2 Mei 1926). Dalam pertemuan
pertama itu pun ia mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa persatuan. M. Yamin memang gandrung pada persatuan dan

kebesaran Indonesia, obsesi yang juga dipendam Soekarno.
Tak sekadar menggagas wilayah Indonesia dan mengusulkan
Sumpah Pemuda, M. Yamin memiliki andil dalam pembuatan lambang
Garuda Pancasila dan syair “Indonesia Raya”, juga dipercaya menemukan
kata “Pancasila” itu sendiri.
Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, yang saat ini ditetapkan
sebagai Hari Lahir Pancasila, mengatakan istilah Pancasila diperoleh dari
petunjuk seorang teman yang ahli bahasa. Selain itu, karya M. Yamin
lainnya yang tercatat hingga kini adalah semboyan polisi militer, “Satya

1

Wira Wicaksana” yang berarti “taat, kesatria, bijaksana”. Wajah Gadja
Mada dalam simbol itu juga merupakan penemuan M. Yamin.
Perihal wajah Gadja Mada pernah menimbulkan kontroversi. Ada
yang menuding raut Gadja Mada diciptakan M. Yamin dengan Mengacu
pada wajahnya sendiri. Selain itu, yang juga menjadi kontroversial adalah
buku M. Yamin berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam buku tersebut, M. Yamin menyatakan pada 29 Mei 1945 ia telah
menyampaikan Rancangan UUD yang sistematik dan bab-babnya mirip

dengan UUD 1945, yang baru disusun pasca-kemerdekaan. Oleh Orde
Baru, Naskah Persiapan dijadikan rujukan penulisan sejarah lahirnya
Pancasila yang dapat menjadi upaya mendelegtimasi peran Soekarno.
Sejumlah Sejarawan menyangkal keberadaan pidato 29 Mei 1945. Bung
Hatta mengkritik keras buku itu. Ia mengatakan bahwa Yamin adalah
seorang yang licik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kami mengambil pembahasan
masalah tentang peran serta kontroversi M. Yamin sebagai seorang
penggagas negara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kontroversi yang muncul terhadap Muhammad Yamin ?
2. Bagaimanakah peran Muhammad Yamin dalam membangun bangsa ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi salah satu tugas pada mata pelajaran Sejarah Wajib.
2. Untuk mengetahui lebih jauh peran Muhammad Yamin dalam
membangun bangsa
3. Untuk mengetahui bagaimana kontroversi terhadap tindakan-tindakan
yang dilakukan Muhammad Yamin.

2


D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat bagi penulis:
Manfaat bagi penulis adalah melatih dan membiasakan penulis
dalam membuat suatu karya tulis yang bersifat ilmiah dan sistematis.
2. Manfaat bagi pembaca:
Manfaat bagi pembaca adalah untuk menyampaikan informasi dan
fakta-fakta yang masih jarang diketahui oleh orang awam mengenai
perjuangan dan kontroversi Muhammad Yamin.
3. Manfaat bagi pengajar
Manfaat bagi pengajar adalah sebagai materi tambahan dan
menjadi referensi ilmu dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.

3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kontroversi yang Muncul Terhadap Tindakan Muhammad Yamin
Muhammad Yamin adalah seorang negarawan dengan latar

belakang dunia sastra yang berhasil masuk dan memiliki andil dalam
bidang politik serta memberikan kontribusi besar bagi negara. Namun, di
sisi lain Muhammad Yamin pernah melakukan beberapa tindakan yang
kontroversial dan dianggap sebagai penyimpangan oleh sebagian besar.
Foto Muhammad Yamin (terlampir)

a. Kontroversi Bapak Perumus Pancasila
Peran Muhammad Yamin sebagai perumus dasar negara terus
diselimuti kontroversi. Tak sedikit yang menuduhnya curang. Rapat
yang dilaksanakan di rumah Mohammad Hatta pagi, 11 Februari 1975,
dibuka tanpa banyak basa-basi. Peserta rapat langsung terpancing
pertanyaan retoris sang Proklamator. “Oh, ya, saya ingin bertanya apa
masih ingat, di sini ditulis pidato Yamin 29 Mei, apa benar itu?”
Sebelum peserta rapat lain menimpali, Bung Hatta lalu menjawab
sendiri pertanyaan yang dia lontarkan. Hatta menuturkan Muhammad
Yamin berpidato pada hari pertama sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) itu. Adapun dia berpidato pada hari kedua. Pada hari
keempat, 1 Juni 1945, giliran Bung Karno yang berpidato.
“Setahu saya pidato Pancasila yang pertama kali Bung Karno,

bukan Yamin. Kalau dia (Yamin) lebih dulu, tentu saya ingat bahwa
(pidato Bung Karno) itu ulangan,” ujar Hatta seperti tertulis dalam
notulen rapat ketiga Panitia Lima itu.
Panatia Lima ditunjuk Presiden Soekarno untuk memberi
penafsiran otentik atas sila-sila Pancaila. Bersama Hatta, bergabung
dalam panitia itu Achmad Subardjo, Soenario, A.A. Maramis, dan A.G.

4

Pringgodigdo. Namun, sampai pertemuan hari itu, A.A. Maramis belum
bergabung. Dia sedang berada di Swiss.
Pagi itu, di kediaman Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta, para
pendiri negara yang masih tersisa tersebut “menggunjingkan” ulah
mendiang Yamin. Yamin memang sudah meninggal. Pria ini meninggal
pada 17 Oktober 1962 karena penyakit komplikasi. Dia dituduh
memanipulasi sejarah lewat bukunya, Naskah Persiapan UUD 1945.
Buku itu dicetak pada 1959, ketika Yamin menjabat menteri negara
dalam Kabinet Karya.
Dalam bukunya, Yamin menyebut tiga tokoh yang memenuhi
permintaan Ketua BPUPKI, KRT Radjiman Wedyodiningrat, untuk

memaparkan dasar negara Indonesia merdeka. Mereka adalah Yamin
sendiri, Sukarno, dan Soepomo. Padahal ada puluhan tokoh yang
berpidato dalam forum itu. “Itulah kelicikan Yamin dimasukkan di
sini,” ujar Hatta.
Hatta tampaknya begitu jengkel terhadap sepak terjang Yamin di
BPUPKI. Dalam notulen rapat Panitia Lima yang termuat dalam
lampiran buku Uroran Pancasila terbitan Mutiara, Jakarta, 1977. Hatta
yang dikenal santun itu sampai tiga kali menyebut Yamin “licik”.
Meski irit komentar, Pringgodigdo pun tak urung menimpali. “Pak
Yamin itu pinter nyulap, kokl”
Toh, “gerundelan” Panitia Lima itu tak langsung memancing
perdebatan di kalangan masyarakat luas. Kontroversi baru muncul enam
tahun kemudian, sekitar Juli 1981. Hal itu dipicu oleh penerbitan buku
Proses Peramusan Pancasila Dasar Negara karangan Nugroho
Notosusanto. Dijual seharga Rp 500, buku yang pertama kali dicetak
sejumlah 13.500 eksemplar oleh Balai Pustaka itu laris manis. Dalam
buku setebal 68 halaman itu, Nugroho menyimpulkan: 1 Juni hanyalah
hari kelahiran Pancasila-nya Bung Karno. Sedangkan Pancasila Dasar
Negara baru dilahirkan pada 18 Agustus 1945, ketika Pembukaan UUD
1945 disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).


5

Menurut Nugroho, Bung Karno pun bukan satu-satunya penggali
Pancasila. Katanya, masih ada Yamin dan Soepomo, yang juga
menyodorkan konsepsi dasar negara sewaktu berpidato pada putaran
pertama sidang BPUPKI itu.
Foto kondisi sidang BPUPKI (terlampir)

Kesimpulan Nugroho itu semakin melukai para pendukung
Soekarno. Maklum, sejak 1970, pemerintah Orde Baru melarang
peringatan hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni. Menurut sejarawan
Lembaga IImu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, larangan
memperingati itu datang dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban (KOPKAMTIB),lembaga yang dipakai Orde Baru untuk
membungkam lawan-lawan politiknya.
Untuk membangun kesimpulannya, Nugroho menjadikan buku
Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 jilid 1, sebagai sumber primer.
Di samping ditulis langsung oleh pelaku sejarah, menurut Kepala Pusat
Sejarah ABRI itu, buku Yamin meyakinkan karena dilengkapi tulisan

tangan Bung Karno sebagai kata pengantar. Apalagi Bung Karno pun
mengaku menggunakan naskah Yamin itu untuk membuat pidatonya
yang penting ialah “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica”. “Buku itu
di-endorse oleh Bung Karno,” ujar Nugroho Notosusanto dalam
wawancara dengan Tempo (“Di Celah-celah Ingatan '4g”,Ternpo, edisi
29 Agustus 198l).
Untuk memperkuat kredibilitas sumbernya, Nugroho mengutip
pembicaraan dengan A.G. Pringgodigdo. Wakil Kepala Tata Usaha
BPUPKI itu menyebut isi buku Yamin otentik. Soalnya, buku itu
merupakan cetakan dari laporan stenografls sidang. Buku Yamin,
menurut Pringgodigdo, kata demi kata (woordelijk) sama dengan
laporan stenografis yang dipinjam Yamin tapi tak pernah dikembalikan.
Kesaksian Pringgodigdo kepada Nugroho ini terdengar aneh bukan
hanya karena dia pernah menyebut Yamin “tukang sulap”. Penilaian
Pringgodigdo pun susah diuji karena stenografis yang dipinjam Yamin

6

belum ditemukan versi aslinya. Tak mengherankan bila buku Nugroho
pun segera menuai kritik. “Dari sudut sejarah, buku itu mempunyai

beberapa kelemahan metodologis,” kata Abdurrachman Surjomihardjo,
ahli dan peneliti perkembangan masyarakat dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Ada juga yang menyorot kejanggalan lain pidato Yamin itu.
Misalnya Ruben Nalenan dari Lembaga Penelitian Sejarah Nasional
Universitas 17 Agustus. Dalam tulisannya pada 9 Agustus 1981, Ruben
menyoroti Rancangan UUD yang dilampirkan Yamin dalam bukunya.
Yamin mengklaim rancangan itu sebagai lampiran pidatonya di sidang
BPUPKI pada 29 Mei 1945.
Yang membuat Ruben tak habis pikir, lampiran itu terdiri atas XVI
bab, 37 pasal, aturan peralihan, dan aturan tambahan Keseluruhan
struktur dan isi rancangan UUD versi Yamin nyaris sama persis dengan
UUD 1945. Padahal isi UUD 1945 baru diputuskan melalui perdebatan
bahkan pemungutan suara dalam rangkaian sidang mulai Juli sampai 18
Agustus 1945.
Ananda B. Kusuma, peneliti senior di Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, termasuk yang gigih menentang
kesimpulan bahwa Yamin yang pertama kali memunculkan rumusan
dasar negara. “Tulisan seperti itu merupakan upaya de-Sukarnoisasi,”
kata Ananda dalam diskusi di kantor Tempo, pertengahan Juli 2014'

Untuk mematahkan kesimpulan Nugroho, tulisan Bung Hatta pun
kembali dikutip banyak kalangan. Kebetulan komentar Hatta tentang
hal itu menyebar dalam berbagai buku, memoar, surat wasiat, sampai
surat untuk sahabat pena dia.
Misalnya surat Bung Hatta untuk N. Soeroso, warga

Jalan

Tongkol, Tanjung Priok, pada z5 Februari 1974. Dalam surat itu, Hatta
menulis bahwa pidato Yamin dalam buku Naskah Persiapan UUD
1945 bukanlah pidato di depan sidang BPUPKI. Pidato Yamin juga tak
ada hubungannya dengan pidato Bung Karno pada 1. Juni 1945.

7

Sewaktu Panitia Sembilan selesai membuat rumusan baru tentang
Pancasila, demikian tulis Hatta, Bung Karno meminta persetujuan
supaya Yamin membuat keterangan tentang Pancasila. Hasilnya,
keterangan itu terlalu panjang, sehingga ditolak Panitia Sembilan.
Sebagai gantinya diambillah Preambule UUD yang sudah ada. Adapun

“naskah keterangan” itu dimasukkan Yamin ke bukunya, seolah-olah
pernah dibacakan pada sidang BPUPKI. “Di sinilah letak Iiciknya
Yamin,” kata Hatta.
Dituduh licik dan cenderung menonjolkan diri, Yamin tak pernah
terang-terangan mengklaim sebagai perumus Pancasila. Dalam pidato
pada 5 Juni 1958, Yamin bahkan menegaskan bahwa pada “1 Juni 1945
diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila oleh Bung Karno”.
Sebaliknya, dalam beberapa kesempatan, Sukarno pun menolak
disebut sebagai pencipta Pancasila. Bung Karno mengaku menggali
nilai-nilai dasar itu dari budaya luhur masyarakat Indonesia. Bahkan,
untuk istilah Pancasila, Sukarno mengaku mendapat bisikan dari
seorang teman yang ahli bahasa.
Menurut Restu Gunawan, penulis biografi Muhammad Yamin dan
Cita-cita Persatuan, dalam suatu kesempatan pada 1966, Sukarno
membuka bahwa “ahli bahasa” itu adalah Yamin.
Ceritanya, pada malam sebelum Sukarno menyampaikan pidatonya
yang monumental itu, KH Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan KH
Masjkur menginap di rumah Yamin. Malam itu Sukarno datang ke
rumah Yamin untuk meminta persetujuan para tokoh atas pidato yang
dia anggap sebagai kompromi antara golongan Islam dan nasionalis
sekuler tersebut.
Rupanya, malam itu Sukarno tak hanya melobi para tokoh untuk
menyetujui materi pidato “philosophische grondslog” itu. Sukarno pun
meminta saran mengenai penamaan lima dasar negara yang bakal dia
paparkan. “Yamin yang menyumbangkan kata'sila'. Sedangkan kata
'panca' berasal dari Sukarno,”.

8

Kalaupun ada andil Yamin, sejarawan Asvi Warman Adam tetap
melihat Sukarno pencetus pertama Pancasila. “Itu disampaikan pada 1
Juni,” kata Asvi. Adapun para pendiri bangsa yang lain, menurut Asvi,
juga berperan dalam merumuskan butir-butir Pancasila seperti yang
dilafalkan saat ini.
b. Penamaan Naskah Preambule sebagai Piagam Jakarta
Sembilan orang itu bekerja siang malam hingga akhir Juni 1945.
Dilantik sebelum sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) usai, mereka rnendapat
tugas yang berat: merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan
menjadikannya sebagai teks proklamasi. Muhammad Yamin termasuk
dalam tim sembilan tersebut.
Tujuh anggota Iain tim yang dikomandoi Sukarno itu adalah
Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul
Kahar Muzakkir, Achmad Subardjo, H Agus Salim, dan Wahid
Hasyim. Tak ada catatan mengenai kerja tim sembilan. Tak ada
notulensi ataupun catatan steno perihal rapat-rapat yang mereka gelar.
Pembentukan tim sembiian dilakukan menyusul perdebatan antara
golongan Islam dan nasionalis dalam penentuan dasar negara pada rapat
BPUPKI pertama, terutama soal menentukan hubungan antara negara
dan agama.
Golongan Islam, yang dimotori oleh Abdul Kahar Muzakkir,
Wahid

Hasyim,

Agus

Salim,

dan

Abikusno

Tjokrosujoso,

menginginkan agar Islam menjadi dasar negara. Sedangkan golongan
nasionalisasi, yang dimotori Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad
Yamin, Maramis, dan Subardjo, menolak usul ini.
Perdebatan

ini

sendiri

akhirnya

dapat

ditengahi

dengan

memasukkan sila “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan tim sembilan yang
belakangan disebut Piagam Jakarta itu. Namun konsep ini kembali
mendapat protes dalam sidang BPUPKI kedua.

9

Protes keras tercatat dilayangkan oleh Johanes Latuharhary. Dia
berpendat pernberlakuan syariat Islam bagi pemeluknya dapat
menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat. Alasannya, banyak
nilai budaya dan adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Sedangkan kelompok Islam, yang dimotori Ki Bagus Hadikusumo,
ngotot menuntut Islam menjadi dasar negara. Soekarno dan Yamin
berupaya menengahi pertikaian tersebut. Mereka mengatakan hasil
Piagam Jakarta adalah kompromi antara kelompok Islam dan nasionalis
yang berada di tim sembilan.
Namun pada akhirnya kalimat itu pun dihilangkan setelah Hatta
mengaku ditemui seorang utusan dari Indonesia timur yang mengancam
akan memisahkan diri jika kata itu tak dihapus. Hatta kemudian melobi
Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo. Keduanya akhirnya
mnerima usul sila pertama itu diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang
Maha Esa”
Menurut Hatta, Yamin memiliki peran cukup penting dalam
penyelesaian akhir yang dilakukan tim sembilan. Dia diminta Sukarno
membuat preambule atau kata pembuka yang di dalamnya nanti
terdapat butir-butir Pancasila.
Hubungan Yamin dan Soekarno memang dikenal cukup dekat.
Sejarawan Restu Gunawan mengatakan, keduanya memiliki banyak
kesamaan soal cara pandangan nasionalisme. Yamin dan Soekarno, kata
Restu, juga dikenal sama-sama menyukai hal berbau “mistis”.
Namun tugas Yamin membuat preambule tampaknya tak
memuaskan sejumlah anggota lain. Hatta mengatakan preambule yang
dibuat Yamin terlampau panjang untuk dibacakan sebagai naskah
proklamasi. Akhirnya tim sembilan kembali menyusun naskah
preambule. Dan Yamin memberinya “sentuhan” akhir menamainya
Piagam Jakarta.
Foto Muhammad Yamin Bersama Soekarno (Terlampir)

10

c. Notulen Sidang yang Hilang
Di salah satu sidang BPUPKI yang otentik mengungkap pidato
Muhammad Yamin yang kontroversial. Notulen penting itu masih
hilang.
Tepat pukul 11.00 pada Selasa terakhir Mei 1945, sekitar 60
anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menduduki kursi
masing-masing di ruang Gedung Tyuoo Sangi-In (kini Gedung
Pancasila) di Jalan Pejambon Nomor 6, Jakarta. Kanjeng Raden
Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, selaku ketua, membuka
sidang. Ia lalu menyilahkan Muhammad Yamin sebagai pembicara
pertama di Sidang BPUPKI hari itu.
Yamin, anggota nomor urut 2 pun berpidato dengan judul “Asas
dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. Panjangnya sekitar
20 halaman. Butuh lebih dari satu jam untuk tuntas membacanya. Wakil
ketua sidang, Raden Pandji Soeroso, tiga kali menginterupsi agar
Yamin menyampaikan pemikiran sesuai dengan tema dasar negara.
Yamin bergeming. “Saya turut, tapi tidak takluk,” ujar Yamin
menanggapi Soeroso, yang meminta anggota takluk kepada pimpinan.
Cuplikan pidato itu termuat utuh di buku Yamin, Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasor 1945, yang terbit pada 22 April
1959. Lebih dari tiga dasawarsa buku ini menjadi rujukan tunggal untuk
memperlihatkan suasana pergumulan pemikiran para pendiri bangsa
dalam melahirkan Undang-Undang Dasar 1945. Presiden Sukarno
memberi kata pengantar di buku itu.
Nugroho Notosusanto menjadikan buku itu sebagai sumber primer
untuk bukunya, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1981). Ia
menyebut Yamin, Supomo, dan Sukarno yang melahirkan Pancasila.
Bahkan Orde Baru mengukuhkannya sebagai rujukan utama untuk buku

11

Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
terbitan Sekretariat Negara (1922).
Buku Yamin yang juga menjadi referensi buku Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI menuai polemik. Panitia Lima yang dibentuk pada
1975 atas anjuran Presiden Soeharto dan terdiri atas Mohammad Hatta,
Achmad Subardjo, A.A. Maramis, Soenario, serta Abdul Gaffar
Pringgodigdo menganggapnya tidak otentik. Terkesan jelas Yamin
ingin menonjolkan perannya. Di buku Uraian Pancasila (1977) yang
dibuat Panitia Lima, Hatta mengatakan Yamin agak licik, sedangkan
Gaffar Pringgodigdo menyebut Yamin pinter nyulap.
Menurut Hatta, seperti diungkap RM Ananda B. Kusuma, 79 tahun,
dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (2004), Yamin
memang berpidato, tapi pidatonya pendek. Peneliti senior pada Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu
sejak 1965 hingga 1980 bertugas di Departemen Perguruan Tinggi dan
Ilmu Pengetahuan khusus menangani pendidikan kewarganegaraan.
Menurut dia, banyak dosen yang mempermasalahkan, tapi tak berani
mengemukakan.
“Pemerintah Orde Baru melakukan kebijakan de-Sukarnoisasi.
Sejak 1968, lahirnya Pancasila tak lagi dirayakan. Pemerintah
menyatakan yang pertama melahirkan Pancasila adalah Yamin,” ujar
Ananda pada pertengahan Juli 2014.
Upaya mengungkap fakta mulai terbuka setelah terbit disertasi
J.C.T. Simorangkir, pakar hukum yang juga pendiri harian Sinar
Harapon. Sewaktu menyusun disertasi doktor ilmu hukum pada
Universitas Andalas (1983), ia melakukan riset ke Algemeen
Rijksarchief (kini Nationaal Archief, NA) di Den Haag, Belanda, dan
menemukan data mengenai Sidang BPUPKI. Berdasarkan informasi itu,
Ananda pada 1991 pergi ke Belanda dengan biaya sendiri untuk
memastikannya.

12

“Saya sampai di sana ternyata hanya ada salinan. Yang asli sudah
dikembalikan ke Indonesia,” ucap Ananda.
Di NA, arsip itu dinamai “Archivalia van Raden Mas Mr AK
Pringgodigdo” atau “Pringgodigdo Archief”
Ada dua dokumen dalam “Pringgodigdo Archief yang penting
dalam mengungkap keotentikan pidato Yamin. Pertama, koleksi nomor
5646 berupa notulen tulisan tangan Karim di atas kertas berkop
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Isinya pidato Yamin yang panjangnya
sekitar tiga lembar.
Foto naskah (salinan) notulen sidang BPUPKI (terlampir)

Dokumen lain adalah penjadwalan pidato anggota pada sidang 29
Mei 1945. Yang berpidato di sesi pertama adalah Yamin selama 20
menit, Sumitro (5 menit), Margono (20 menit), Sanusi (45 menit),
Sosrodiningrat (5 menit), dan Wiranatakusuma (15 menit). Jika
dijumlahkan, ditambah waktu pergantian pembicara dan pengantar dari
Ketua, cocok dengan lama sidang yang 130 menit.
Sayangnya, dokumen-dokumen dari “Pringgodigdo Archief itu kini
tak ada di Arsip Nasional Republik indonesia (ANRI). Padahal
dokumen asli telah dikembalikan NA kepada ANRI. “Dokumen aslinya
dikirim ke ANRI pada November 1987. Salinannya disimpan di NA,
sesuai dengan perjanjian budaya Indonesia-Belanda,” ujar anggota staf
senior NA,Iris Heidebrink.
Kepala ANRI Mustari Irawan berbeda pemahaman tentang muasal
arsip ini. Menurut dia, ANRI menyimpan arsip asli dan menamainya
“Koleksi Pringgodigdo” dan “Koleksi Muhammad Yamin”, yang
merupakan koleksi vital sehingga ditempatkan di lemari besi ruang
khusus di Gedung O kompleks ANRI di Jalan Ampera Raya, Jakarta
Selatan.
“ANRI memiliki tugas mengakuisisi dokumen yang ada di semua
departemen dan lembaga,” tuturnya. “Koleksi Pringgodigdo' kami
peroleh dari Sekretariat Negara. Pak Pringgodigdo adalah Sekretaris

13

Negara yang pertama. “Yang kami miliki adalah yang asli, sementara
yang di Belanda adalah salinan,” katanya.
Soal penyerahan “Pringgodigdo Archief' dari NA ke ANRI,
Mustari tak mengetahui pasti. “Mungkin saja karena Ibu Soemartini
(Kepala ANRI periode 1971-1992) memiliki hubungan baik dengan
Arsip Nasional Belanda. Beliau juga berhubungan baik dengan Pura
Mangkunegaran dan kenal baik dengan Rahadian Yamin dan istrinya,”
ujarnya.
Arsip Yamin yang terkait dengan Sidang BPUPKI itu semula
tercampur

dengan

koleksi

pribadi

Yamin

yang

disimpan

di

Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran. Rupanya, Gusti Raden
Ayu Retno Satuti, istri Rahadian, mengirimkan koleksi buku dan
dokumen yang ada di rumah Jalan Diponegoro 10 ke perpustakaan
setelah suaminya wafat pada 1979. Pada 1990, Satuti meminta bantuan
Suhartono dari Arsip Nasional Daerah di Semarang untuk menata
koleksi perpustakaan dan menemukan notulen resmi itu.
“Koleksi Muhammad Yamin” inilah dokumen yang oleh Orde Baru
dinyatakan hilang. Dokumen ini merupakan stenogram yang dibuat oleh
anggota staf Gaffar Pringgodigdo yang menjabat Wakil Kepala Tata
Usaha Tyoosakai. Menurut Saafroedin Bahar, penanggung jawab dan
penyunting penyelia buku Risalah Sidang, transkrip itu kompilasi dari
stenogram yang dibuat dua stenografer pada sidang BPUPKI tersebut,
yakni

Netty

Karundeng

dan

Sunarti

Simatupang

(istri

T.B.

Simatupang). Saafroedin berhasil menemui keduanya dan menanyakan
keberadaan stenogram itu.
“Mereka mengatakan, setelah mengetikkan transkrip, stenogram itu
langsung dibakar. Tapi keduanya membuat surat pengakuan setelah
membaca arsip yang tersimpan di ANRI itu adalah sama dengan yang
asli,” Saafroedin, TT tahun, menjelaskan. Bundel “Koleksi Muhammad
Yamin” berisi sekitar 10 nomor arsip. Tapi tidak ada arsip pidato
Yamin pada 29 Mei 1945. Begitu pula dalam bundel “Koleksi

14

Pringgodigdo” yang berisi 38 nomor arsip. Kini arsip pidato Yamin
baik berupa transkrip maupun tulisan tangan Karim di kertas berkop
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu tak diketahui keberadaannya.
“Yang kami terima dan simpan seperti inilah adanya, Semua
berupa ketikan, tidak ada tulisan tangan,” ujar Mustari sambil menunjuk
dua bundel koleksi penting itu.
d. Sang Pemecah Belah Abadi
Politik nonkooperatif alias menolak kerja sama dengan pemerintah
Belanda, sejatinya merupakan jalan panjang yang telah ditempuh
Muhammad Yamin. Karena itu, ketika Yamin menyatakan bosan
menjadi “politikus jalanan” pada 1937, dua karibnya, Chaerul Saleh dan
Djamaloeddin Adinegoro, sempat terheran-heran.
Kawan-kawan pergerakan yang kurang dekat denganYamin juga
tak sedikit yang mengkritik rencana Yamin masuk Volksraad alias
Dewan Rakyat. Mereka menganggap perubahan pilihan sikap Yamin
takhanya terlalu cepat, tapi juga mencurigakan.
Kecurigaan teman-teman seperjuangan Yamin tak berlebihan.
Volksraad adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda.
Dewan itu dibentuk pada 16 Desember 1916 oleh pemerintah Hindia
Belanda. Pembentukan Dewan diprakarsai Gubernur Jenderal J.P. van
Limburg Stirum bersama Menteri Urusan Koloni Belanda Thomas
Bastiaan Plelte.
Semula Volksraad hanya memiliki kewenangan sebagai penasihat.
Baru pada 1927, Volksraad memiliki kewenangan

ko-legislatif

bersama gubernur jenderal yang ditunjuk Belanda. Itu pun, karena
gubernur jenderal memiliki hak veto, kewenangan Volksraad tetap
terbatas. Wajar bila banyak tokoh pergerakan sangsi perjuangan melalui
Volksraad bakal membawa perubahan.
Beberapa bulan sebelum menyatakan ingin masuk Volksraad,
Yamin masih menolak keras petisi sejumlah anggota Volksraad yang
menuntut otonomi khusus untuk Indonesia. Dimotori Sutardjo

15

Kartohadikusumo, tuntutan itu dikenal sebagai Petisi Sutardjo.
Pendukung petisi pada 15 Juli 1936 itu antara lain Kasimo, Dt.
Tumenggung, Ratulangie, Ko Kwat Tiong, dan Soeroso.
Petisi itu meminta diselenggarakan suatu konferensi untuk
mengatur otonomi Indonesia di dalam wadah uni Indonesia-Belanda
selama kurun sepuluh tahun. Bentuk otonomi yang sama diberikan
Amerika Serikat kepada Filipina pada 1933. Lewat pemberian otonomi
itu, pemerintahan persemakmuran Filipina akhirnya terbentuk pada
1935.
Sebenarnya yang diusulkan dalam Petisi Sutardjo sudah diatur
dalam aturan Belanda. Hanya, dalam praktiknya, orang Indonesia tak
ditempatkan pada posisi pertama dalam setiap kesempatan. Karena itu,
Sutardjo dan kawan-kawan melihat perlunya tekanan kepada Kerajaan
Belanda untuk melaksanakan aturan tersebut.
Yamin menentang secara terbuka petisi Sutardjo dalam tulisannya
di surat kabar Kebangoenan, 11 Agustus 1936. Menurut Yamin,
pembicaraan di Volksraad sering mengemengecewakan karena kerap
keluar dari cita-cita rakyat Indonesia. Katanya, “Sering udara yang
dikeluarkan Dewan Rakyat sudah basi dan dingin.”
Menurut Yamin, yang harus dituntut orang pribumi bukan otonomi
khusus atau dominion status. Alasannya, status khusus itu masih dalam
kungkungan hubungan tanah jajahan dengan ibu negeri, sepert iyang
terjadi di Inggris. Padahal dominion status tak ada dalam hukum dasar
Belanda dan tak menjadi cita-cita rakyat Indonesia. “Untuk itu
janganlah minta barang yang sudah ada dan barang yang tidak ada
perlunya.” Yamin menambahkan, “Dalam berpolitik, kita harus awas
dengan taktik tawar-menawar. Kalau sudah ada dominion status, maka
mintalah status yang lebih tinggi lagi.”
Gara-gara tulisan Yamin yang mendapat banyak dukungan di luar
Volksraad, suara Fraksi Nasional (orang pribumi) di Volksraad pun
pecah. Setelah melalui perdebatan selama dua termin, Petisi Sutardjo

16

diputuskan lewat pemungutan suara pada 28 September 1936. Hasilnya,
26 suara menerima lawan 20 suara menolak. Anggota Fraksi National
yang menerima petisi antara lain Oetomo Oetoyo, Soangkoepon,
Iskandar Dinata, Jahja, dan Abdul Rasjid. Sedangkan yang menolak
antara lain Tadjuddin Noor dan Wiwoho.
Tak mendapat dukungan total di Volksraad, pada 16 November
1938, Petisi Sutardjo akhirnya ditolak pemerintah Kerajaan Belanda.
Foto pada salah satu sidang Volksraad (terlampir)

Restu Gunawan, penulis buku biografi Muhammad Yamin dan
Cita-cita Persatuan, mengungkapkan bahwa selama menjadi anggota
Volksraad, Yamin dijuluki sebagai “pemecah belah abadi”. Dia
dipandang sebagai biang keladi perpecahan dalam Fraksi Nasional yang
didirikan Muhammad Husni Thamrin. Setahun masuk Volksraad, pada
masa sidang 1939, Yamin langsung mengkritik Fraksi Nasional dari
dalam. Menurut Restu Gunawan, Fraksi Nasional jangan bekerja hanya
untuk Jawa. Fraksi juga harus memperhatikan kepentingan luar Jawa.
Karena usulnya tak disambut hangat Fraksi Nasional, pada 10 Juli
1939, Yamin mendirikan kelompok Golongan Nasional Indonesia
(GNI). GNI bukan gabungan wakil partai. GNI merupakan wadah
penampung wakil utusan daerah. Kebetulan Yamin masuk ke Volksraad
bukan atas nama partai, melainkan sebagai wakil distrik Sumatra Barat.
Penulis biografi Yamin lainnya, Sutrisno Kutoyo, menyebutkan
Yamin kerap dijuluki “perusak aturan permainan” oleh lawan-lawan
politiknya. Julukan itu, misalnya, dilekatkan sejumlah tokoh Gabungan
politik Indonesia (Gapi). Alasan mereka, karena Yamin pernah
mengajukan petisi untuk membentuk suatu parlemen di luar kemauan
partai-partai yang berhimpun dalam Gapi.
Perbedaan pandangan politik baru satu hal. Hal lain adalah
kepribadian Yamin. Menurut Sutrisno, Yamin memiliki banyak lawan
politik karena “kata-katanya yang tajam dan penanya yang runcing”.
Ketika berdebat, umpamanya, Yamin kerap menunjukkan sikap

17

meremehkan pendapat orang lain. “Itu mungkin karena dia percaya
sekali pada kemampuan sendiri,” tulis Sutrisno.
Meski sering berseberangan dengan sesama anggota Volksraad,
Yamin dalam isu-isu pokok kerap berpandangan sama dengan tokoh
lain. Misalnya ketika Kerajaan Belanda bertekuk lutut di depan bala
tentara Jerman pada 10 Mei 1940. Yamin dan Thamrin kontan
menggugat keabsahan pemerintahan Belanda yang pusatnya kala itu
dipindahkan ke London.
Kedua tokoh juga punya pandangan mirip soal pentingnya
mempromosikan bahasa Indonesia. Yamin dan Thamrin mengusulkan
agar dalam setiap sidang Volksraad digunakan bahasa pemersatu itu.
Akhirnya, cara pandang pada cabang kasus boleh saja berbeda. Tapi,
ketika sampai pada pokok perkara, yakni Indonesia merdeka, “Mereka
selalu satu kata,” ujar Restu.
e. Mondar-Mandir Di Debat Dasar Negara
Peran Muhammad Yamin ketika menyusun dasar negara menuai
kontroversi. Namun kerap dibela Sukarno.
Debat hangat itu berlangsung di pengujung sidang Dokuritzu
Zyunbi Tyoosakai selepas asar, 11 Juli 1945, di Gedung Tyuoo SangiIn, Pejambon, kini kompleks Kementerian Luar Negeri. Sang ketua, Dr
Radjiman Wedyodiningrat, baru saja membagi anggota menjadi tiga
panitia (bunkakai) yaitu perancang hukum dasar, keuangan, dan
pembelaan tanah air. Muhammad Yamin, yang semula diperkirakan
masuk ke panitia hukum dasar negara, justru “dibuang” ke panitia
keuangan.
Sukarno, ketua panitia hukum dasar, mendadak sontak memprotes.
“Mohon hormat supaya Tuan Yamin diberikan kepada kami. Sebab,
kami anggap beliau salah satu ahli hukum yang pikirannya perlu kami
pakai,” kata Sukarno. Seorang anggota, Abikusno, meminta Yamin
masuk ke panitia pembelaan. Radjiman teguh pendirian.

18

Yamin berang dan menolak bergabung dengan panitia keuangan.
Alasannya, “Karena kurang pengetahuan apa-apa, jadi saya tak ada
sumbangan buat panitia.” Radjiman berkukuh. Keputusan tak bisa
diubah lagi. “Sudah selesai,” ujar Radjiman. Yamin menyergah, “Saya
tidak terima!”
Sejarawan Ananda B. Kusuma menduga Radjiman mangkel. Dia
bertahan pada keputusannya karena Yamin terlampau eksentrik.
“Yamin itu pintar, tapi banyak omong dan sering menambah-nambah,”
kata Kusuma saat berdiskusi pertengahan Juli 2014.
Masalah Yamin rupanya tak selesai. Dalam rapat panitia hukum
dasar, Sukarno menyampaikan penyesalan tak mampu menarik Yamin.
Dia lalu meminta persetujuan agar Yamin tetap bisa bergabung. Ide ini
disepakati oleh panitia perancang hukum dasar. Mereka pun menugasi
Latuharhary membuat surat ke perwakilan Jepang. Tapi permintaan ini
pun tetap ditolak.
Kejadian itu juga mungkin yang menyebabkankan Yamin tidak
berdiri ketika ketua sidang besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Radjiman pada 16 Juli
1945 meminta peserta sidang untuk menyetujui rancangan UndangUndang Dasar. Mengamati respons hadirin, Radjiman berkata,
“Sekalian anggota, kecuali Tuan Yamin berdiri. Dengan suara
terbanyak diterima Undang-Undang Dasar ini.”
Meski masuk panitia keuangan pimpinan Mohammad Hatta, Yamin
membandel. Risalah Sidang BPUPKI menunjukkan Yamin tetap
berperan dalam berbagai diskusi dasar negara. Penulis buku
Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Restu Gunawan, heran
mengapa Yamin bisa memberi banyak gagasan tentang sistem
pemerintahan dan bentuk negara.
Dokuritsu Junbi Cosakai (Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai) atau Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk
pada 29 April 1945. Badan ini berdiri sebagai janji penguasa militer

19

Jepang dengan tujuan mempelajari kemerdekaan Indonesia. Tyoosakai
memiliki 62 anggota, termasuk pimpinan ditambah enam anggota
tambahan. Pada era pendudukan Jepang, hampir semua tokoh republik
mesti bekerja sama dengan Jepang. Yamin sehari-hari menjadi pegawai
tinggi pada Sendenbu, yaitu Djawatan Penerangan dan Propaganda
Pemerintah Jepang.
Untuk menarik hati tokoh republik, Jepang membentuk Pusat
Tenaga Ralcyat atau Putera pada 1 Maret 1943. Di organisasi ini,
Yamin duduk sebagai

anggota Dewan Penasihat.

Dia kerap

memberikan ceramah mengenai upaya kemerdekaan untuk pemuda.
Namun

pendiri

republik

justru

menggunakan

Putera

untuk

menyongsong kemerdekaan.
Jepang

sadar

gagasan

dilencengkan

sehingga

memilih

membubarkan Putera. Mereka kemudian membentuk Jawa Hokokai
atau Himpunan Kebaktian Jawa. Agar tak ditelikung tokoh republik,
Jepang memilih orang-orangnya sebagai pimpinan organisasi. Tapi
dinamika politik berubah terlalu cepat. Pada 7 Juli 1943, Perdana
Menteri Jepang Hideki Tojo datang ke Jakarta. Dia menjanjikan peran
tokoh Indonesia di pemerintahan.
Pada Septembet 1943, Yamin diserahi jabatan sanyo atau penasihat
di Sendenbu. Itu berarti Yamin menjadi salah satu dari tujuh pejabat
tertinggi berkebangsaan Indonesia di zaman Jepang. Pada 1944, Jepang
makin terdesak. Untuk merebut simpati Indonesia, pemimpin Jepang
memberi janji kemerdekaan. Karena itulah akhirnya Jepang membentuk
BPUPKI. Awalnya badan ini hanya dimaksudkan sebagai badan riset
gagasan Indonesia merdeka. Tapi BPUPKI justru berhasil merancang
sebuah hukum dasar republik.
Anggota BPUPKI dilantik pada 25 Mei 1945. Yamin duduk
sebagai anggota nomor urut 2 setelah Sukarno. Dalam sidang lembaga
inilah sikap Yamin menuai kontroversi. Pada sidang pertama, 29 Mei
1945, Yamin menguraikan gagasannya tentang dasar negara. Pimpinan

20

sidang menganggap apa yang disampaikan Yamin bukanlah dasar
negara, melainkan tentang terbentuknya Indonesia merdeka. Dalam
pidatonya, ia juga menyebut melampirkan rancangan undang-undang
dasar, yang ternyata tidak tercatat dalam notulen rapat.
Mohammad Hatta jengkel terhadap sikap Yamin. Ketika terjadi
perdebatan panas antara kelompok Islam dan nasionalis mengenai dasar
negara, Hatta mengatakan, “Yamin hanya mondar-mandir.” Ada lagi
pangkal kekesalan Hatta. Dalam sidang pertama, sebenarnya ada 30
orang yang berpidato. Namun Yamin hanya memasukkan tiga nama
dalam bukunya. Karena itulah Hatta menyebut koleganya tersebut
memalsukan sejarah. “Dia menghilangkan banyak orang yang ngomong
dalam sidang,” kata Restu.
Meskipun menyisakan kontroversi, sumbangan Yamin terhadap
masuknya gagasan hak asasi manusia ke konstitusi tak bisa dipandang
sebelah mata. Dalam sidang BPUPKI pada 11 Juli 1945, misalnya,
Yamin mengusulkan agar rancangan konstitusi perlu memasukkan
declaration of human rights and independence.
Rujukannya adalah naskah konstitusi Amerika Serikat. Yamin
mengingatkan konstitusi yang sedang mereka susun adalah konstitusi
yang penduduknya mendekati 100 juta jiwa. “Negara yang kita susun
bukan negara kecil, melainkan negara sehebat-hebatnya,” ujar Yamin.
Dalam soal pemerintahan, Yamin memimpikan negara yang
dipimpin kepala negara yang bertanggung jawab kepada majelis
musyawarah. Majelis ini, kata dia, menjadi majelis permusyawaratan
dan pemegang kekuasaan setinggi tingginya bagi republik. Yamin
menegaskan, majelis ini dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat
berdasarkan suara terbanyak.
Peran Yamin yang lain adalah memasukkan luas wilayah
Indonesia. Dalam konteks ini, gagasan Yamin senapas dengan Sukarno.
Yamin dan Sukarno mengajukan ide bahwa rumpun Bangsa Indonesia,
di samping bekas jajahan Belanda, juga Semenanjung Melayu,

21

Kalimantan bekas jajahan Inggris, Timor bekas jajahan Portugis, dan
Papua.
Gagasan ini ditentang Hatta. Menurut dia, wilayah Indonesia
adalah jajahan Hindia Belanda tidak termasuk Papua, Pulau Timor, dan
Semenanjung Malaka. Namun, Hatta menggaris bawahi, Papua
bergabung jika dikehendaki oleh rakyatnya. Dia lebih suka jika Malaka
menjadi negara merdeka sendiri. “Tetapi, kalau sekiranya rakyat
Malaka ingin bersatu dengan kita, saya tak melarang,” ucap Hatta.
Sejarawan Taufik Abdullah menilai Sukarno dan Yamin punya
kesamaan dalam memandang kegemilangan masa lalu. “Saya
menyambungkan keduanya sebagai romantic historian,” kata Tauflk.
Toh, gagasan Indonesia ala Yamin dan Sukarno ini tak diterima oleh
BPUPKI. Sang ketua, Dr Radjiman, memutuskan wilayah Indonesia
hanyalah bekas jajahan Hindia Belanda, Indonesia hari ini.
f. Terpidana Pertama Perkara Makar
Muhammad Yamin divonis bersalah dan dipenjarakan oleh
Mahkamah Tentara Agung di Yogyakarta. Dia salah satu pelaku kudeta
pertama dalam sejarah Indonesia merdeka pada 3 Juli 1946. Grasi
Preesiden Soekarno membuatnya kemudian bisa menduduki jabaran
menteri, bahkan lebih dari sekali. Yaman meninggalkan banyak jejeak,
termasuk yang kontroversial, dalam birokrasi pemerintahan.
Maklumat yang dibuat Yamin dianggap sebagai kudeta. Dua tahun
hidup di 26 tempat penahanan.
Rumah krem di Jalan Gambir 15, Baciro, Yograkarta itu adalah
“tempat kejadian perkara” untuk mengajukan Muhammad Yamin ke
pengadilan. Enam puluh delapan tahun silam, di bangunan yang dulu
milik Mr R. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo itu, ia dituduh
merencanakan makar.
Yamin dalam pembelaan di persidangan, yang kemudian
dibukukan dalam Sapta Darma pada 1950, menyebutkan ia dituduh
membuat empat lembar maklumat yang diserahkan kepada Presiden

22

Sukarno pada 3 Juli 1946. Bersama para tertuduh lain, pria kelahiran
Talawi, Sumatra Barat, 22 Agustus 1903, ini disidang di Mahkamah
Tentara Agung Yograkarta.
Inilah persidangan kasus kudeta pertama setelah Indonesia
merdeka. Tuduhannya, antara lain, “Pada tanggal 29 Djuni 1946 atau
kira-kira pada masa itu di rumah Batjiro Djalan Gambir 15
(Djogjakarta) atau di tempat lain dalam daerah Istimewa Djogjakarta
dan Surakarta telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum dalam
Bahasa Belanda pasal 107 dengan niat merobohkan pemerintahan
dengan menjerahkan empat lembar surat kepada Panglima Besar
Sudirman.”
Tuduhan lain dengan tempat kejadian perkara masih di Jalan
Gambir 15, Baciro, adalah Yamin bersama tertuduh lain pada 27 Juni
1946 membahas situasi politik mutakhir” Hasil diskusi itu, menurut
tuduhan, Mayor A.K. Jusuf, Kepala Batalion 63, Divisi III Yogyakarta,
menculik Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
“Penculikan perdana menteri merupakan peristiwa besar,” kata
Didi Kartasasmita, salah satu hakim tentara yang menangani Peristiwa 3
Juli 1946. Total ada 14 orang yang disidang. Sidang dimulai pada
Februari 1948 dengan ketua dewan hakim Dr Mr Kusumah Atmadja
(Ketua Mahkamah Agung RI) dan jaksa Mr Tirtawinata (JaksaAgung
RI).
Empat lembar surat yang dituduhkan jaksa adalah Maklumat
Nomor 2, 3, 4, dan 5. Maklumat dimulai dengan nomor 2 karena
sebelumnya Presiden Sukarno mengeluarkan Makiumat Nomor 1 pada
29 Juni 1946, yang berisi pernyataan “pengambil alihan kekuasaan
pemerintah sepenuhnya sehubungan dengan terjadinya kejadiankejadian yang membahayakan keselamatan negara.”
Maklumat Nomor 2 berisi ihwal pemberhentian semua kementerian
negara Sutan Sjahrir. Maklumat Nomor 3 tentang pembentukan Dewan
Pimpinan Politik dan Kementerian yang baru. Maklumat Nomor 4

23

tentang pengangkatan ro anggota Dewan Pimpinan Politik. Maklumat
Nomor 5 tentang pengangkatan 19 anggota Kementerian Negara. Selain
duduk dalam Dewan Pimpinan Politik, sesuai dengan maklumat itu,
Yamin menjabat Menteri Penerangan dan Penyiaran.
Penyerahan maklumat kepada Presiden Sukarno di Gedung Agung,
Yograkarta, dilakukan Yamin pada 3 Juli bersama para tokoh lain,
termasuk Jenderal Mayor Sudarsono, Panglima Divisi III Yogyakarta.
Sudarsono menyebutkan penyerahan empat surat itu atas perintah
Panglima Besar Sudirman. Namun bukan persetujuan presiden yang
didapat. Hari itu juga mereka ditangkap dengan tuduhan kudeta.
Bukti telah ada di tangan dan para tersangka telah diketahui,
langkah praktis yang harus diambil ialah menahan Jendral Sudarsono.
Yamin tak menerima semua tuduhan itu. Dalam Sapta Danna, yang
dimaknai sebagai tujuh dalil mempertahankan patriotisme Indonesia,
lulusan Rechts Hoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta itu
menguraikan panjang-lebar pembelaannya. Ihwal pertemuan pada 27
Juni di Baciro, ia menyatakan berada di Surakarta pada hari itu. Dengan
begitu, ia mengatakan tak benar terlibat pertemuan yang berbuah
dengan penculikan Sjahrir pada 27 Juni 1946 malam.
Pertemuan pada 29 Juni, menurut Yamin, bukan rapat untuk
merencanakan, merundingkan, dan bermufakat seperti dituduhkan
jaksa. Apalagi, pada 22 Juni, surat-surat itu sudah sampai ke tangan
Sudirman, seperti disampaikan sang Jenderal dalam kesaksian di
persidangan. “Tuduhan itu absurd,” kata Yamin, penggerak organisasi
Persatuan Perjuangan yang menolak jalan diplomasi oleh Perdana
Menteri Sjahrir dan memilih jalan revolusi bersenjata.
Setelah menghadirkan sejumlah saksi, persidangan usai pada 27
Mei 1948. Vonis pun diketuk. Pembelaan Yaminditolak. Ia bersama
enam orang lain dinyatakan terbukti bersalah melakukan kudeta.
Bersama Sudarsono, Yamin diganjar hukuman penjara paling tinggi,

24

yakni empat tahun. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo, pemilik rumah
di Jalan Gambir 15, Baciro, dihukum tiga setengah tahun.
Hukuman Yamin paling berat, menurut pemerhati sejarah Rushdy
Hoesein, karena ia dianggap sebagai pembuat konsep surat yang
mengusulkan pemberhentian kabinet Sjahrir. Meski divonis empat
tahun, Yamin hanya menjalani hukuman sekitar dua tahun. Sebab,
bertepatan dengan peringatan Proklamasi 17 Agustus 1948, Presiden
Sukarno memberikan grasi dan membebaskan semua terpidana,
termasuk Yamin.
Sejak ditangkap pada 3 Juli 1946 hingga mendapat grasi, ia
menghuni 26 tempat penahanan. Selain di penjara Wirogunan,
Yograkarta, Yamin ditahan di Mojokerto, Pacet, Ponorogo, Madiun
(semuanya di Jawa Timur), Sentul (Yograkarta), dan penjara Magelang
(Jawa Tengah).
Rumah di Baciro, yang disebut sebaegai tempat perencanaan
makar, sekarang telah berpindah kepemilikan.
B. Gagasan Bernegara Yamin
Transisi dari pendudukan Jepang ke era Indonesia merdeka merupakan
salah satu periode penting munculnya ide-ide besar perkembangan sejarah
ketatanegaraan Indonesia. Pada periode ini, para pendiri negara tak hanya
sebatas memikirkan dasar negara Indonesia merdeka, tapi juga hukum dasar
sebagai grand design hidup bernegara.
Selama pergulatan pemikiran yang berawal dari Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan berlanjut ke
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, gagasan bernas tak pernah
berhenti sekalipun Sukarno mengingatkan agar tak terjebak ke dalam masalah
yang zwaarwichting atau njelimet. Dan Mr. Muhammad yamin merupakan
salah satu figur sentral di tengah pusaran perdebatan dalam sidang-sidang
BPUPKI itu.

25

Bentuk pemerintahan dan susunan negara menjadi salah satu tema
sentral selama proses persiapan Indonesia merdeka dan sekaligus pembahasan
naskah konstitusi (hukum dasar). Dalam hal ini, Mr Muhammad Yamin di
antara sosok yang secara eksplisit menyatakan keberatan dengan bentuk
pemerintahan monarki. Dari lima alasan yang dikemukakan, keberatan utama
Yamin, monarki tidak memberikan kepastian kuat untuk memerintah negara.
Tidak hanya itu, baginya, memilih monarki sama saja dengan menolak
datangnya Indonesia merdeka.
Karena proklamasi merupakan pernyataan kehendak rakyat, menurut
Yamin, bentuk pemerintahan pun harus pula mampu mencerminkan kehendak
rakyat dan bukan kehendak monarki. Karena itu, bagi Yamin, yang paling
cocok adalah berbentuk republik. Dalam logika Yamin, hanya negara dengan
bentuk republiklah yang memungkinkan terjadinya pembagian kekuasaan
dengan rakyat yang di antaranya bisa dijalankan secara syuriah atau
perundingan. Perkembangan selanjutnya, gagasan ini tersambung dengan
penegasan daulat rakyat dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Tidak berhenti sampai bentuk pemerintahan, Yamin juga menghendaki
Republik yang berada dalam bingkai negara kesatuan dan secara tegas
menolak pola hubungan pemerintah pusat dan daerah berbentuk negara
serikat. Ia menyatakan alasan utamanya, “Kita tidak mempunyai kekuatan
untuk membentuk beberapa negara.” Selain itu, dia menunjuk kekayaan dan
sebaran penduduk Indonesia yang tidak merata berpotensi menghadirkan
kekacauan dengan memilih bentuk negara serikat. Apalagi gagasan negara
kesatuan memang ide dasar mewujudkan persatuan Indonesia selama hampir
40 tahun menuju Indonesia merdeka.
Yamin memiliki dasar argumentasi yang sulit dimentahkan. Paling
tidah ia memiliki andil besar dalam merumuskan Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928. Dengan balutan ikrar “mengakoe bertoempah darah satoe,
berbangsa jang satoe, dan mendjoendjoeng bahasa persatoean Indonesia”,
Yamin berupaya keras mencari titik temu di antara bentangan kebinekaan kita
dengan gagasan persatuan.

26

Namun, meski memilih unitary state, Yamin tidak menghendaki pola
hubungan yang serba-pusat alias sentralistis. Baginya, pola hubungan pusatdaerah dibangun dengan menjaga kepentingan daerah. Pembagian kekuasaan
antara badan pusat dan badan daerah haruslah diatur dengan keadilan dan
kebijaksana sehingga tetap menjaga keistimewaan.
Gagasan Yamin ini sama dengan gagasan pendiri bangsa lain, misalnya
Soepomo. Soepomo menyatakan daerah-daerah kecil yang mempunyai
susunan rakyat asli seperti desa (Jawa), nagari (Minangkabau), dusun dan
marga (Palembang), huta dan kuria (Tapanuli), serta gampong (Aceh) tetap
dipertahankan posisi keistimewaannya. Para pendiri bangsa, termasuk Yamin,
dengan tegas menolak dilakukan penyeragaman seperti praktik yang, dua
puluhan tahun kemudian, dilakukan Orde Baru. Fakta tersebut membuktikan
ketajaman visi bernegara mereka ketika menawarkan berbagai pilihan design
hubungan pusat-daerah. Secara substansial, ide ini menunjukkan Yamin
adalah figur yang mampu berpikir melewati zamannya.
Selain bentuk pemerintahan dan bentuk negara, Yamin juga
mengemukakan gagasan organ atau lembaga negara di tingkat pusat. Ia
mengemukakan enam lembaga (the six powers of the Repubkc of Indonesia),
yaitu

Presiden

dan

Wakil

Presiden,

Dewan

Perwakilan,

Majelis

Permusyawaratan Kementerian, Majelis Pertimbangan, dan Balai Agung atau
Mahkamah Agung. Pemaparan organisasi ini memicu perdebatan dengan
Soepomo.
Perdebatan pertama berkisar pada soal pemosisian kementerian. Yamin
mengusulkan agar kementerian (satu per satu atau secara keseluruhan)
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan. Soepomo menggugat cara
berpikir Yamin yang tidak konsisten. Pada satu sisi, menolak sistem
pemerintahan parlementer (parlementair stelsel), di sisi lain menghendaki
menteri bertanggung jawab kepada dewan perwakilan rakyat. Dengan
gagasan itu, sekiranya menteri mengalami krisis kepercayaan (mosi tidak
percaya), maka harus meletakkan jabatan. “Tuan Yamin yang tidak menyukai

27

sistem parlementarisme menganjurkan sistem parlementarisme,” kata
Soepomo.
Sekalipun mengatakan maksudnya tidak begitu, secara teoretis gagasan
posisi menteri yang dikemukakan Yamin memang mengandung karakter pola
sistem pemerintahan parlementer. Namun inkonsistensi seputar ihwal sistem
pemerintahan tidak hanya menjadi monopoli Yamin. Soepomo yang tidak
hendak memilih di antara kedua sistem pemerintahan tersebut dan akan
menyusun sistem sendiri pada akhirnya sulit keluar dari karakter kedua sistem
tersebut. Paling tidak, sebagai pihak yang memiliki andil besar menyusun dan
menempatkan Penjelasan UUD 1945. Desain sistem pemerintahan negara
yang dihasilkan Soepomo adalah penggabungan antara karakter parlementer
dan karakter presidensial.
Perdebatan berikutnya berkisar pada gagasan Yamin yang menghendaki
Mahkamah Agung diberi kewenangan membanding atau menguji undangundang

terhadap

undang-undang

dasar

(judicial

review).

Dengan

menggunakan alasan konstitusi yang akan dibentuk tidak membedakan secara
prinsipiil (separation of power) di antara tiga cabang kekuasaan negara
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif), Soepomo menolak gagasan pengujian
yang diajukan Yamin. Secara teknis, penolakan Soepomo didasarkan pada
asumsi bahwa para ahli hukum Indonesia sama sekali tak mempunyai
pengalaman mengenai pengujian undang-undang terhadap undang-undang
dasar.
Meski gagasan ini ditolak dan gagal menjadi substansi UUD 1945 yang
dihasilkan para pendiri bangsa, Yamin kembali membuktikan bahwa ia
merupakan pemikir kenegaraan yang mampu berpikir melampaui zamannya.
Buktinya, gagasan bernasnya yang tertolak pada awal kemerdekaan
menemukan momentumnya saat perubahan UUD 1945. Memang benar
kewenangan tersebut tidak berada di tangan Mahkamah Agung, tapi menjadi
wilayah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Secara substansial, hasil
perubahan menampung gagasan Yamin dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945

28

dengan memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji
undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Bukan

itu

saja,

Yamin

sekaligus

membuktikan

kedalaman

pemahamannya mengenai pentingnya judicial review sebagai mekanisme
checks and balances dalam penyelenggaraan negara. Bagaimanapun, seperti
dinukilkan John Agresto, ketersediaan peranti berupa pengujian ini menjadi
sebuah kebutuhan karena kalkulasi politik dan kepentingan sesaat para
pembentuk undang-undang memberi peluang hadirnya undang-undang yang
oppressiue atau despotic. Pengalaman dalam beberapa tahun ter