Makalah Kepemimpinan Etis dan Relevansin
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Bangsa kita pernah mengalami pergantian presiden sebanyak tiga kali dalam kurun
waktu kurang lebih enam tahun (1998-2004). Pada masa ini masyarakat mengalami krisis
kepercayaan terhadap pemimpin. Demonstrasi massa marak diberitakan mengkritisi para
pemimpin yang dianggap ‘tidak becus’ dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Dewasa ini krisis kepercayaan terhadap pemimpin atau para aparat pemerintahan,
semakin meningkat. Salah satu indikator penyebabnya adalah kasus suap atau korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) yang terjadi di kalangan para pemimpin itu sendiri. Akhir-akhir ini
image partai Demokrat, partai yang diayomi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), tercoreng oleh beberapa kadernya yang terlibat kasus suap pembangunan wisma atlet
Palembang (bdk., “Badai Demokrat (Tak) Pasti Berlalu,” http://www.gatra.com, 20 Juni
2012).
Kasus suap, dan KKN beragam bentuknya dan tidak hanya populer di kalangan
pemimpin pemerintahan dan aparat-aparatnya, melainkan telah mewabah sampai di dunia
pendidikan. Berita kepala sekolah menyalahgunakan dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) untuk kepentingan pribadi sering bergema di media massa (bdk., “Hargai Proses
Hukum Kasus Dana BOS”, http://tribunnews.com, Kamis, 15 Maret 2012). Sementara itu
“pungli” (pungutan liar) di sekolah-sekolah semakin marak terjadi. Tes masuk sekolah,
akademi bahkan perguruan tinggi, tak jarang dijadikan ajang untuk meraup keuntungan
tambahan dari oknum-oknum tertentu (bdk.,”Maraknya Pungli di Sekolah Kemendikbud
bentuk Tim Investigasi”, http://www.wartakotalive.com, Rabu, 29 Februari 2012).
Selain masalah KKN, terdapat juga masalah etika-moral, seperti perselingkuhan,
tindak kekerasan, narkoba, video porno, dan lain-lain (bdk., “Penghentian Kasus Pornografi,
Kritik Keras Hantam BK DPR”, http://www.suarakarya-online.com, Rabu, 13 Juni 2012).
Persoalan-persoalan di atas tidak hanya menyebabkan krisis kepercayaan terhadap
kredibilitas pemimpin/pemerintah, tetapi menyebabkan pula “krisis keteladanan”. Kedua
faktor ini akan menurunkan atau mengurangi kekuasaan dan pengaruh pemimpin terhadap
masyarakat yang dipimpinnya. Jika demikian, maka cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan
makmur semakin jauh dari jangkauan.
1
B. Pembatasan masalah
Di tengah sekelumit persoalan moral yang terjadi di masyarakat, khususnya
pemerintah, muncul upaya-upaya konstruktif seperti kebijakan pendidikan karakter bangsa
yang diintegrasikan ke dalam kurikulum pembelajaran di sekolah. Persoalannya adalah
pendidikan karakter tidak cukup sekedar “diajarkan” secara teori, tetapi perlu didukung oleh
contoh atau teladan dari pengajar itu sendiri. Dalam konteks ini, pengambil kebijakan
(pemimpin) haruslah terlebih dahulu memberikan teladan, sehingga dapat menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Untuk itu pembahasan dalam
tulisan ini mengambil fokus “Kepemimpinan Etis dan Relevansinya Bagi Pendidikan
Karakter.”
C. Rumusan masalah
Masalah pokok makalah ini terungkap dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apakah model “kepemimpinan etis” itu?
Bagaimanakah relevansi dari “kepemimpinan etis” untuk pendidikan karakter?
D. Tujuan penulisan
Pembahasan dalam tulisan bertujuan untuk:
Mendapatkan pemahaman tentang model “kepemimpinan etis”.
Mengetahui relevansi model “kepemimpinan etis” untuk pendidikan karakter.
2
BAB 1
MODEL KEPEMIMPINAN ETIS
1.1.
Konsepsi Umum dari “Kepemimpinan Etis”
“Kepemimpinan Etis” terdiri dari dua kata, yakni “kepemimpinan” dan “Etis”. Secara
umum “kepemimpinan” dipahami sebagai “kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh
seseorang untuk dapat mempengaruhi dan menuntun seorang atau sekelompok orang untuk
mencapai tujuan bersama.”1 Sedangkan kata “Etis” merupakan bentuk kata sifat dari “Etika”.
Webster’s Student Dictionary merumuskan pengertian “Etika” sebagai “The study and
philosophy of human conduct, with emphasis on the determination of right and wrong. The
basic principles of right action. A work or treatise on morals”2 (Etika adalah studi dan filsafat
tentang tingkah laku manusia, dengan penekanan pada determinasi benar dan salah. Prinsip
dasar dari tindakan yang benar. Suatu tindakan atau risalah moral). Jadi, kepemimpinan etis
dapat berarti “kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi dan menuntun
seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama dengan menekankan
pentingnya nilai-nilai moral”.
Kepemimpinan etis merupakan jenis perilaku kepemimpinan. Sementara pemimpin
yang etis menunjuk pada kualitas pribadi pemimpin itu sendiri. Keduanya saling terintegrasi.
Kepemimpinan etis menunjukkan pemimpin yang etis. Sebaliknya pemimpin yang etis
menunjukkan model kepemimpinan etis. Standar pengukuran atau evaluasi kepemimpinan
etis terdapat dalam diri pemimpin itu sendiri. Yukl menyebutkan contoh standar moral yang
digunakan untuk mengevaluasi meliputi “batasan di mana perilaku pemimpin melanggar UU
dasar masyarakat, menyangkal hak orang lain, membahayakan kesehatan dan kehidupan dari
orang lain, atau melibatkan upaya untuk menipu dan mengeksploitasi orang lain demi
keuntungan pribadi”.3
Bdk., Taty Rosmiati dan Dedy Achmad, “Kepemimpinan Pendidikan”, dalam Tim
Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011),
hllm. 125.
1
2
“Ethic”, dalam Webster’s Student Dictionary, (USA: Trident Press International,
1999).
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima, (Jakarta: Indeks, 2001),
hlm. 480-481.
3
3
1.2.
Pandangan Para Pakar tentang Kepemimpinan Etis
Pandangan para pakar tentang kepemimpin etis datang dari Burns, Heifets, Greenleaf4
dan Bush5. Intisari pandangan mereka adalah sebagai berikut:
Burns
Burns tidak memberikan definisi eksplisit tentang kepemimpinan etis. Tetapi ia
meunjukkan pentingnya suatu fungsi kepemimpinan dalam meningkatkan kesadaran
mengenai masalah etis dan membantu orang menyelesaikan nilai-nilai yang berkonflik.
Menurutnya kepemimpinan adalah suatu saling meninggikan tingkat moralitas dan motivasi
di antara para pemimpin dan pengikutnya. Di pihak pemimpin, idealisme dan nilai moral
seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan, kedamaian, humanitarisme, harus terus-menerus
ditingkatkan sehingga ketakutan, kerakusan, kecemburuan atau kebencian perlahan-lahan
dapat disingkirkan. Sementara di pihak para pengikut, mereka dikembangkan dari keadaan
dirinya sehari-hari menjadi diri mereka yang lebih baik.
Heifetz
Heifetz menekankan peran utama pemimpin. Menurutnya pemimpin berperan untuk
membantu orang-orang yang dipimpinnya untuk mampu menghadapi konflik dan
menemukan cara-cara yang produktif untuk menghadapinya. Seorang pemimpin harus
mampu melibatkan pengikutnya dalam menghadapi tantangan, perspektif yang berubah, dan
belajar mengenai cara-cara baru untuk bekerja bersama secara efektif.
Greenleaf
Greenleaf menambahkan unsur baru dalam pengertian tentang kepemimpinan etis.
Menurutnya salah satu esensi dari kepemimpinan etis adalah “pelayanan”. Pendapatnya ini
dilatarbelakangi oleh konsep “kepemimpinan pelayan” yang diusulkannya. Pemimpin pada
intinya adalah pelayan yang bertanggungjawab memberikan pelayanan kepada para
pengikutnya. Pemimpin membantu para pengikutnya agar menjadi lebih sehat, bijaksana dan
lebih bersedia untuk menerima tanggungjawab.
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima, (Jakarta: Indeks, 2001),
hlm. 481-483.
5
Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, edisi 3, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), 374.
4
4
Bush
Konsep senada tentang kepemimpinan etis dikemukakan pula oleh Bush. Ia
menggunakan istilah “kepemimpinan moral”. Bush berpendapat bahwa kepemimpinan moral
adalah suatu model kepemimpinan yang berfokus pada nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan
dan etika. Kepemimpinan moral berdasarkan rasional normatif, yakni berdasarkan
pertimbangan benar atau salah atas suatu tindakan yang akan atau telah diambil.
Dari pandangan tentang kepemimpinan etis dari para pakar di atas, dapat disimpulkan
beberapa prinsip kepemimpinan etis sebagai berikut: pertama, fungsi kepemimpinan etis
adalah meninggikan tingkat moralitas dan motivasi di antara para pemimpin dan pengikutnya.
Kedua, kepemimpinan etis berperan membantu orang untuk mampu menghadapi konflik dan
menemukan cara-cara yang produktif untuk menghadapinya. Ketiga, esensi dari
kepemimpinan etis adalah pelayanan. Dan keempat, kepemimpinan etis berfokus pada nilainilai, kepercayaan-kepercayaan dan etika.
1.3.
Integritas Pribadi dan “Kepemimpinan Etis”
Salah satu atribut yang dapat membantu menjelaskan efektivitas kepemimpinan
adalah “integritas pribadi” yang secara harafiah berarti keutuhan, kejujuran atau ketulusan
hati. Pemimpin yang memiliki integritas pribadi adalah pemimpin yang perilakunya konsisten
dengan sekumpulan prinsip moral yang dapat dibenarkan. Indikatornya antara lain
“mengikuti peraturan dan standar yang sama yang berlaku bagi orang lain, jujur dan terus
terang saat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan, menepati janji dan komitmen,
dan mengakui tanggungjawab untuk kesalahan sambil berusaha memperbaiki”.6
Mengukur integritas pribadi seorang pemimpin tidaklah gampang. Sebab, kepribadian
merupakan “karakteristik psikologis dan perilaku dari individu yang sifatnya relatif permanen
karena telah terbentuk sejak lahir yang membedakannya dengan individu yang lain”.
Sementara perilaku merupakan “perwujudan tingkah laku dari individu yang ditentukan oleh
kepribadiannya masing-masing”.7 Untuk itu seorang pemimpin dengan integritas pribadi
perlu dipersiapkan, dibina dan dibentuk secara matang. Kesadaran tentang pentingnya
integritas pribadi inilah yang barangkali mendorong para pemimpin bangsa kita untuk
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima, (Jakarta: Indeks, 2001),
hlm. 483-484.
6
Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, edisi
pertama, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 219.
7
5
menonjolkan pendidikan nilai dan karakter. Kualitas seseorang tidak hanya dinilai dari aspek
intelektualnya, tetapi juga dari karakter yang dimilikinya. Dalam konteks ini kepemimpinan
etis dan pendidikan karakter saling mempengaruhi.
6
BAB 2
RELEVANSI “KEPEMIMPINAN ETIS”
UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER
2.1.
Pendidikan Karakter
2.1.1. Pemahaman Umum tentang Istilah Karakter
Dalam percakapan sehari-hari istilah “karakter” sering diasosiasikan sebagi
“temperamen” atau “watak” dan “tabiat”. Dari sudut pandang behavioral atau perilaku,
“karakter” dihubungkan dengan “pengaruh unsur psikis dalam fisik manusia yang
diwarisinya sejak lahir”. Dalam arti ini “karakter” sering dianggap sebagai “kepribadian”,
yakni “ciri atau karakteristik seseorang, yang diterima, baik sebagai faktor genetikal atau
bawaan sejak lahir atau sebagai hasil dari proses interaksi dengan lingkungan sekitar.8
2.1.2. Etimologi dan Interpretasi atas Karakter
Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso yang berarti
“cetak biru” atau “format dasar”. Sehingga secara harafiah “karakter” berarti “format atau
bentuk dasar” dari sesuatu/seseorang.
Istilah karakter mendapatkan berbagai interpretasi. Para tua-tua bangsa Yahudi
menafsirkan “karakter” sebagai “sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusia,
seperti gelombang laut”. Pedagog Perancis Emmanuel Mounier memberikan dua interpretasi,
yakni pertama, karakter adalah “sekumpulan kondisi atau situasi pribadi yang telah ada dan
diberikan begitu saja”. Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan melalui mana seorang
individu mampu mengatasi kondisi tersebut”. Di pihak lain Doni Koesoema menjelaskan
karakter sebagai: “sebagaimana yang dilihat”, dan karakter sebagai “sebagaimana dialami”.
Karakter yang dilihat menyangkut determinasi natural yang dimiliki setiap individu secara
genetik. Sedangkan karakter yang dialami adalah unsur kebebasan dalam diri setiap individu
untuk mengembangkan, menyesuaikan diri, melatih diri, atau membina diri melalui
pendidikan dan pembinaan.9
Khan menyatakan ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan
dalam proses pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan karakter berbasis nilai religious yang
merupakan kebenaran wahyu Tuhan. Kedua, pendidikan karakter berbasis nilai budaya,
Bdk., Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer, (Jakarta:
Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 178-179.
8
9
Ibid.
7
antara lain budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para
pemimpin bangsa. Ketiga, pendidikan karakter berbasis lingkungan dan keempat, pendidikan
berbasis kompetensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi
diri yang diarahkan meningkatkan kualitas pendidikan.10
2.1.3. Pendapat para Ahli tentang Pendidikan Karakter
F.W. Foerster
F.W. Foerster adalah seorang pedagog Jerman. Ia dikenal sebagai pencetus pertama
konsep pendidikan karakter. Menurut Foerster pendidikan karakter menekankan dimensi etisspiritual dalam proses pembentukan pribadi. Tujuan pendidikan karakter terwujud dalam
kesatuan hakiki antara individu dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Dalam
artian ini karakter merupakan kaulifikasi seorang pribadi yang memberikan integritas dan
otonomi atas keputusan-keputusan yang diambilnya dalam keseluruhan pengalaman hidup.
Karakter adalah identitas yang dapat diukur dari empat komponen, yaitu: pertama,
keteraturan interior, yang diukur berdasarkan hierarki nilai. Kedua, koherensi, memiliki
prinsip yang teguh, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko.
Ketiga, otonomi, kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan, yakni daya tahan
seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik dan penghormatan atas komitmen yang
dipilih.11
Ki Hajar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara sosok yang dikenal sebagai “Bapak Pendidikan Indonesia” telah
berpikir tentang masalah pendidikan karakter pada jamannya. Menurutnya, kecerdasan budi
itu perlu diasah dengan baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh,
hingga dapat mewujudkan kepribadian dan karakter. Jika ini terjadi, maka nafsu dan tabiattabiat asli seperti bengis, murka, pemarah, kikir dan lain-lain dapat dikalahkan. Melalui
pendidikan karakter terjadi transformasi nilai-nilai. Dengan demikian dalam pendidikan
terjadi dua hal sekaligus, transformasi ilmu dan transformasi nilai.12
10
Khan, Y. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi, 2010),
hlm. 2.
Bdk., Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer, (Jakarta:
Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 181-182.
11
Bdk., Haryanto, Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam
http://staff.uny.ac.id, diakses Rabu, 21 Juni 2012.
12
8
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
Pendidikan pada hakikatnya adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara” (Bab 1 Pasal 1). Selanjutnya pada pasal 3 dirumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Dari kutipan undang-undang di atas, jelaslah bahwa pendidikan karakter merupakan
dasar dan tujuan dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan karakter adalah upaya
penanaman nilai dan sikap religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
tanggungjawab.13
2.2.
Relevansi “Kepemimpinan Etis” Untuk Pendidikan Karakter
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa inti dari kepemimpinan etis adalah
perwujudan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan moral oleh pemimpin itu sendiri.
Sementara inti dari pendidikan karakter adalah ‘keteladanan’. Apa yang diteladankan? Tentu
yang diteladankan adalah sikap, perilaku, gaya hidup yang sesuai dengan kaidah-kaidah
moral yang berlaku atau sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan baik-buruk, benar-salah,
atau boleh-tidaknya suatu sikap atau tindakan yang diambil. Untuk itu relevansi
kepemimpinan etis untuk pendidikan karakter menantang para pemimpin dan calon
pemimpin agar dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dapat berorientasi pada
penghayatan dan perwujudan nilai-nilai moral.
Penyadaran nilai
Bdk., Pendidikan Karakter dalam http://perpustakaan.kemdiknas.go.id, diakses
Rabu, 13 20 Juni 2012.
13
9
Upaya penyadaran nilai ternyata mulai dipandang penting oleh pemimpin bangsa
kita.
Belakangan
ini
marak
digalakkan
pendidikan
karakter,
yakni
dengan
mengintegrasikannya ke dalam setiap mata pelajaran. Namun, usaha penyadaran ini tidak
semudah yang dibayangkan. Penyadaran nilai perlu dilakukan terlebih dahulu dari dalam diri
sendiri dengan tahu dan mau, agar tidak menjadi ‘batu sandungan’ bagi orang lain atau ‘tong
kosong berbunyi nyaring’. Artinya adalah penyadaran nilai tidak sekedar di bibir saja, tetapi
meresap sampai ke lubuk hati yang paling dalam dan mendasari setiap tindakan yang hendak
dilaksanakan. Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan menuntun, mengarahkan dan
mengamalkan nilai-nilai moral bersama orang-orang yang dipimpin.
Membangun konsistensi penghayatan nilai
Penyadaran dan internalisasi nilai-nilai moral, seperti kejujuran, disiplin, bersih,
sopan, dll sudah semestinya dibangun secara konsisten, tidak berubah-ubah seperti Bunglon.
Kalaupun berubah, maka yang berubah adalah tingkatan-tingkatan, seperti dari yang jujur
(sedang) menjadi jujur (luar biasa). Konsistensi penghayatan nilai ini dipandang penting,
sebab banyak penyimpangan moral terjadi, karena adanya inkonsistensi penghayatan nilai
akibat pengaruh subyektivitas atas relasi tertentu.
Konsekuen terhadap perwujudan nilai
Konsekuen berarti bersedia menerima atau menanggung resiko dari suatu pilihan
yang sudah diambil. Sering terjadi persoalan etis di mana pemimpin memilih diam, tidak
mengklarifikasi sesuatu hal yang ditanyakan untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Sebagai contoh ketika seorang pemimpin bersaksi di persidangan. Demi menjaga
nama baik, maka keterangan-keterangan yang diberikan ‘mengambang’, tidak jelas dan
berbelit-belit.
Pemimpin Etis sebagai teladan
Saddler mengidentifikasikan beberapa atribut atau sifat yang dimiliki oleh pemimpin
yang berkualitas. Salah satu di antaranya adalah “karakter”.14 Artinya pemimpin yang
Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, edisi 3, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 377.
14
10
berkualitas adalah pemimpin yang berkarakter. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, inti
dari pendidikan karakter adalah keteladanan, jadi pemimpin yang etis merupakan teladan
untuk masyarakat yang dipimpinnya. Pendidikan karakter tidak sekedar teori yang
didengungkan di mana-mana, tetapi mengambil bentuk “kesaksian hidup”, sehingga orang
bisa dengan mudahnya menginternalisasi dan mengadopsi nilai-nilai menjadi miliknya atau
terintegrasi dengan kepribadiannya. Ketika seseorang bertanya apa itu pendidikan karakter?,
jawaban yang muncul bukan lagi konsep pendidikan karakter dari berbagai pihak, tetapi
langsung bisa menunjuk figur pemimpin berkarakter.
11
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan yang menekankan pada penghayatan nilainilai moral. Kepemimpinan etis adalah perwujudan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan
moral oleh pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan etis menuntun, mengarahkan dan
mengamalkan nilai-nilai moral bersama orang-orang yang dipimpin. Untuk itu dibutuhkan
integritas pribadi yang kokoh dan karakter yang kuat dari seorang pemimpin, agar dapat
menjadi teladan, sehingga darinya orang dipengaruhi dan didorong untuk menginternalisasi
dan mewujudkan karakter pribadi yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh situasi dan
mampu untuk mengambil keputusan sendiri atas hidup yang dijalaninya.
B. Saran
Di tengah-tengah maraknya krisis kepercayaan terhadap kredibilitas dan keteladanan
pemimpin di kalangan masyarakat, kebijakan Pendidikan Karakter diangkat sebagai upaya
untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya
moralitas hidup suatu bangsa.
Kepemimpinan etis menantang pemimpin itu sendiri untuk memberi contoh yang benar
kepada masyarakat yang dipimpinnya. Banyak orang bisa berbicara tentang pentingnya nilainilai
moral,
pentingnya
karakter
dan
sebagainya,
tetapi
sedikit
yang
mampu
melaksanakannya. Untuk itu karakter pemimpin perlu dibina, dibentuk agar dapat
mempengaruhi, mengarahkan dan menuntun masyarakat ke arah yang lebih baik.
12
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Khan, Y. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi, 2010.
Lintong, Marcel M. Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer. Jakarta: Cahaya Pineleng,
2011.
Rosmiati, Taty dan Achmad Dedy, “Kepemimpinan Pendidikan”, dalam Tim Dosen
Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2011.
Tisnawati Sule, Ernie dan Saefullah, Kurniawan. Pengantar Manajemen, edisi pertama.
Jakarta: Kencana, 2010.
Usman, Husaini, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, edisi 3. Jakarta: Bumi
Aksara, 2011.
Yukl, Gary. Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima. Jakarta: Indeks, 2001.
Artikel di Internet
Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam http://staff.uny.ac.id,
diakses Rabu, 21 Juni 2012.
Pendidikan Karakter dalam http://perpustakaan.kemdiknas.go.id, diakses Rabu, 13 20 Juni
2012.
Undang-Undang
Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, dalam buku kumpulan
Undang-undang. Bandung: Umbara, 2010.
Kamus
Webster’s Student Dictionary. USA: Trident Press International, 1999.
13
A. Latar belakang masalah
Bangsa kita pernah mengalami pergantian presiden sebanyak tiga kali dalam kurun
waktu kurang lebih enam tahun (1998-2004). Pada masa ini masyarakat mengalami krisis
kepercayaan terhadap pemimpin. Demonstrasi massa marak diberitakan mengkritisi para
pemimpin yang dianggap ‘tidak becus’ dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Dewasa ini krisis kepercayaan terhadap pemimpin atau para aparat pemerintahan,
semakin meningkat. Salah satu indikator penyebabnya adalah kasus suap atau korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) yang terjadi di kalangan para pemimpin itu sendiri. Akhir-akhir ini
image partai Demokrat, partai yang diayomi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), tercoreng oleh beberapa kadernya yang terlibat kasus suap pembangunan wisma atlet
Palembang (bdk., “Badai Demokrat (Tak) Pasti Berlalu,” http://www.gatra.com, 20 Juni
2012).
Kasus suap, dan KKN beragam bentuknya dan tidak hanya populer di kalangan
pemimpin pemerintahan dan aparat-aparatnya, melainkan telah mewabah sampai di dunia
pendidikan. Berita kepala sekolah menyalahgunakan dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) untuk kepentingan pribadi sering bergema di media massa (bdk., “Hargai Proses
Hukum Kasus Dana BOS”, http://tribunnews.com, Kamis, 15 Maret 2012). Sementara itu
“pungli” (pungutan liar) di sekolah-sekolah semakin marak terjadi. Tes masuk sekolah,
akademi bahkan perguruan tinggi, tak jarang dijadikan ajang untuk meraup keuntungan
tambahan dari oknum-oknum tertentu (bdk.,”Maraknya Pungli di Sekolah Kemendikbud
bentuk Tim Investigasi”, http://www.wartakotalive.com, Rabu, 29 Februari 2012).
Selain masalah KKN, terdapat juga masalah etika-moral, seperti perselingkuhan,
tindak kekerasan, narkoba, video porno, dan lain-lain (bdk., “Penghentian Kasus Pornografi,
Kritik Keras Hantam BK DPR”, http://www.suarakarya-online.com, Rabu, 13 Juni 2012).
Persoalan-persoalan di atas tidak hanya menyebabkan krisis kepercayaan terhadap
kredibilitas pemimpin/pemerintah, tetapi menyebabkan pula “krisis keteladanan”. Kedua
faktor ini akan menurunkan atau mengurangi kekuasaan dan pengaruh pemimpin terhadap
masyarakat yang dipimpinnya. Jika demikian, maka cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan
makmur semakin jauh dari jangkauan.
1
B. Pembatasan masalah
Di tengah sekelumit persoalan moral yang terjadi di masyarakat, khususnya
pemerintah, muncul upaya-upaya konstruktif seperti kebijakan pendidikan karakter bangsa
yang diintegrasikan ke dalam kurikulum pembelajaran di sekolah. Persoalannya adalah
pendidikan karakter tidak cukup sekedar “diajarkan” secara teori, tetapi perlu didukung oleh
contoh atau teladan dari pengajar itu sendiri. Dalam konteks ini, pengambil kebijakan
(pemimpin) haruslah terlebih dahulu memberikan teladan, sehingga dapat menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Untuk itu pembahasan dalam
tulisan ini mengambil fokus “Kepemimpinan Etis dan Relevansinya Bagi Pendidikan
Karakter.”
C. Rumusan masalah
Masalah pokok makalah ini terungkap dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apakah model “kepemimpinan etis” itu?
Bagaimanakah relevansi dari “kepemimpinan etis” untuk pendidikan karakter?
D. Tujuan penulisan
Pembahasan dalam tulisan bertujuan untuk:
Mendapatkan pemahaman tentang model “kepemimpinan etis”.
Mengetahui relevansi model “kepemimpinan etis” untuk pendidikan karakter.
2
BAB 1
MODEL KEPEMIMPINAN ETIS
1.1.
Konsepsi Umum dari “Kepemimpinan Etis”
“Kepemimpinan Etis” terdiri dari dua kata, yakni “kepemimpinan” dan “Etis”. Secara
umum “kepemimpinan” dipahami sebagai “kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh
seseorang untuk dapat mempengaruhi dan menuntun seorang atau sekelompok orang untuk
mencapai tujuan bersama.”1 Sedangkan kata “Etis” merupakan bentuk kata sifat dari “Etika”.
Webster’s Student Dictionary merumuskan pengertian “Etika” sebagai “The study and
philosophy of human conduct, with emphasis on the determination of right and wrong. The
basic principles of right action. A work or treatise on morals”2 (Etika adalah studi dan filsafat
tentang tingkah laku manusia, dengan penekanan pada determinasi benar dan salah. Prinsip
dasar dari tindakan yang benar. Suatu tindakan atau risalah moral). Jadi, kepemimpinan etis
dapat berarti “kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi dan menuntun
seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama dengan menekankan
pentingnya nilai-nilai moral”.
Kepemimpinan etis merupakan jenis perilaku kepemimpinan. Sementara pemimpin
yang etis menunjuk pada kualitas pribadi pemimpin itu sendiri. Keduanya saling terintegrasi.
Kepemimpinan etis menunjukkan pemimpin yang etis. Sebaliknya pemimpin yang etis
menunjukkan model kepemimpinan etis. Standar pengukuran atau evaluasi kepemimpinan
etis terdapat dalam diri pemimpin itu sendiri. Yukl menyebutkan contoh standar moral yang
digunakan untuk mengevaluasi meliputi “batasan di mana perilaku pemimpin melanggar UU
dasar masyarakat, menyangkal hak orang lain, membahayakan kesehatan dan kehidupan dari
orang lain, atau melibatkan upaya untuk menipu dan mengeksploitasi orang lain demi
keuntungan pribadi”.3
Bdk., Taty Rosmiati dan Dedy Achmad, “Kepemimpinan Pendidikan”, dalam Tim
Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011),
hllm. 125.
1
2
“Ethic”, dalam Webster’s Student Dictionary, (USA: Trident Press International,
1999).
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima, (Jakarta: Indeks, 2001),
hlm. 480-481.
3
3
1.2.
Pandangan Para Pakar tentang Kepemimpinan Etis
Pandangan para pakar tentang kepemimpin etis datang dari Burns, Heifets, Greenleaf4
dan Bush5. Intisari pandangan mereka adalah sebagai berikut:
Burns
Burns tidak memberikan definisi eksplisit tentang kepemimpinan etis. Tetapi ia
meunjukkan pentingnya suatu fungsi kepemimpinan dalam meningkatkan kesadaran
mengenai masalah etis dan membantu orang menyelesaikan nilai-nilai yang berkonflik.
Menurutnya kepemimpinan adalah suatu saling meninggikan tingkat moralitas dan motivasi
di antara para pemimpin dan pengikutnya. Di pihak pemimpin, idealisme dan nilai moral
seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan, kedamaian, humanitarisme, harus terus-menerus
ditingkatkan sehingga ketakutan, kerakusan, kecemburuan atau kebencian perlahan-lahan
dapat disingkirkan. Sementara di pihak para pengikut, mereka dikembangkan dari keadaan
dirinya sehari-hari menjadi diri mereka yang lebih baik.
Heifetz
Heifetz menekankan peran utama pemimpin. Menurutnya pemimpin berperan untuk
membantu orang-orang yang dipimpinnya untuk mampu menghadapi konflik dan
menemukan cara-cara yang produktif untuk menghadapinya. Seorang pemimpin harus
mampu melibatkan pengikutnya dalam menghadapi tantangan, perspektif yang berubah, dan
belajar mengenai cara-cara baru untuk bekerja bersama secara efektif.
Greenleaf
Greenleaf menambahkan unsur baru dalam pengertian tentang kepemimpinan etis.
Menurutnya salah satu esensi dari kepemimpinan etis adalah “pelayanan”. Pendapatnya ini
dilatarbelakangi oleh konsep “kepemimpinan pelayan” yang diusulkannya. Pemimpin pada
intinya adalah pelayan yang bertanggungjawab memberikan pelayanan kepada para
pengikutnya. Pemimpin membantu para pengikutnya agar menjadi lebih sehat, bijaksana dan
lebih bersedia untuk menerima tanggungjawab.
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima, (Jakarta: Indeks, 2001),
hlm. 481-483.
5
Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, edisi 3, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), 374.
4
4
Bush
Konsep senada tentang kepemimpinan etis dikemukakan pula oleh Bush. Ia
menggunakan istilah “kepemimpinan moral”. Bush berpendapat bahwa kepemimpinan moral
adalah suatu model kepemimpinan yang berfokus pada nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan
dan etika. Kepemimpinan moral berdasarkan rasional normatif, yakni berdasarkan
pertimbangan benar atau salah atas suatu tindakan yang akan atau telah diambil.
Dari pandangan tentang kepemimpinan etis dari para pakar di atas, dapat disimpulkan
beberapa prinsip kepemimpinan etis sebagai berikut: pertama, fungsi kepemimpinan etis
adalah meninggikan tingkat moralitas dan motivasi di antara para pemimpin dan pengikutnya.
Kedua, kepemimpinan etis berperan membantu orang untuk mampu menghadapi konflik dan
menemukan cara-cara yang produktif untuk menghadapinya. Ketiga, esensi dari
kepemimpinan etis adalah pelayanan. Dan keempat, kepemimpinan etis berfokus pada nilainilai, kepercayaan-kepercayaan dan etika.
1.3.
Integritas Pribadi dan “Kepemimpinan Etis”
Salah satu atribut yang dapat membantu menjelaskan efektivitas kepemimpinan
adalah “integritas pribadi” yang secara harafiah berarti keutuhan, kejujuran atau ketulusan
hati. Pemimpin yang memiliki integritas pribadi adalah pemimpin yang perilakunya konsisten
dengan sekumpulan prinsip moral yang dapat dibenarkan. Indikatornya antara lain
“mengikuti peraturan dan standar yang sama yang berlaku bagi orang lain, jujur dan terus
terang saat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan, menepati janji dan komitmen,
dan mengakui tanggungjawab untuk kesalahan sambil berusaha memperbaiki”.6
Mengukur integritas pribadi seorang pemimpin tidaklah gampang. Sebab, kepribadian
merupakan “karakteristik psikologis dan perilaku dari individu yang sifatnya relatif permanen
karena telah terbentuk sejak lahir yang membedakannya dengan individu yang lain”.
Sementara perilaku merupakan “perwujudan tingkah laku dari individu yang ditentukan oleh
kepribadiannya masing-masing”.7 Untuk itu seorang pemimpin dengan integritas pribadi
perlu dipersiapkan, dibina dan dibentuk secara matang. Kesadaran tentang pentingnya
integritas pribadi inilah yang barangkali mendorong para pemimpin bangsa kita untuk
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima, (Jakarta: Indeks, 2001),
hlm. 483-484.
6
Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, edisi
pertama, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 219.
7
5
menonjolkan pendidikan nilai dan karakter. Kualitas seseorang tidak hanya dinilai dari aspek
intelektualnya, tetapi juga dari karakter yang dimilikinya. Dalam konteks ini kepemimpinan
etis dan pendidikan karakter saling mempengaruhi.
6
BAB 2
RELEVANSI “KEPEMIMPINAN ETIS”
UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER
2.1.
Pendidikan Karakter
2.1.1. Pemahaman Umum tentang Istilah Karakter
Dalam percakapan sehari-hari istilah “karakter” sering diasosiasikan sebagi
“temperamen” atau “watak” dan “tabiat”. Dari sudut pandang behavioral atau perilaku,
“karakter” dihubungkan dengan “pengaruh unsur psikis dalam fisik manusia yang
diwarisinya sejak lahir”. Dalam arti ini “karakter” sering dianggap sebagai “kepribadian”,
yakni “ciri atau karakteristik seseorang, yang diterima, baik sebagai faktor genetikal atau
bawaan sejak lahir atau sebagai hasil dari proses interaksi dengan lingkungan sekitar.8
2.1.2. Etimologi dan Interpretasi atas Karakter
Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso yang berarti
“cetak biru” atau “format dasar”. Sehingga secara harafiah “karakter” berarti “format atau
bentuk dasar” dari sesuatu/seseorang.
Istilah karakter mendapatkan berbagai interpretasi. Para tua-tua bangsa Yahudi
menafsirkan “karakter” sebagai “sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusia,
seperti gelombang laut”. Pedagog Perancis Emmanuel Mounier memberikan dua interpretasi,
yakni pertama, karakter adalah “sekumpulan kondisi atau situasi pribadi yang telah ada dan
diberikan begitu saja”. Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan melalui mana seorang
individu mampu mengatasi kondisi tersebut”. Di pihak lain Doni Koesoema menjelaskan
karakter sebagai: “sebagaimana yang dilihat”, dan karakter sebagai “sebagaimana dialami”.
Karakter yang dilihat menyangkut determinasi natural yang dimiliki setiap individu secara
genetik. Sedangkan karakter yang dialami adalah unsur kebebasan dalam diri setiap individu
untuk mengembangkan, menyesuaikan diri, melatih diri, atau membina diri melalui
pendidikan dan pembinaan.9
Khan menyatakan ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan
dalam proses pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan karakter berbasis nilai religious yang
merupakan kebenaran wahyu Tuhan. Kedua, pendidikan karakter berbasis nilai budaya,
Bdk., Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer, (Jakarta:
Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 178-179.
8
9
Ibid.
7
antara lain budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para
pemimpin bangsa. Ketiga, pendidikan karakter berbasis lingkungan dan keempat, pendidikan
berbasis kompetensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi
diri yang diarahkan meningkatkan kualitas pendidikan.10
2.1.3. Pendapat para Ahli tentang Pendidikan Karakter
F.W. Foerster
F.W. Foerster adalah seorang pedagog Jerman. Ia dikenal sebagai pencetus pertama
konsep pendidikan karakter. Menurut Foerster pendidikan karakter menekankan dimensi etisspiritual dalam proses pembentukan pribadi. Tujuan pendidikan karakter terwujud dalam
kesatuan hakiki antara individu dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Dalam
artian ini karakter merupakan kaulifikasi seorang pribadi yang memberikan integritas dan
otonomi atas keputusan-keputusan yang diambilnya dalam keseluruhan pengalaman hidup.
Karakter adalah identitas yang dapat diukur dari empat komponen, yaitu: pertama,
keteraturan interior, yang diukur berdasarkan hierarki nilai. Kedua, koherensi, memiliki
prinsip yang teguh, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko.
Ketiga, otonomi, kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan, yakni daya tahan
seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik dan penghormatan atas komitmen yang
dipilih.11
Ki Hajar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara sosok yang dikenal sebagai “Bapak Pendidikan Indonesia” telah
berpikir tentang masalah pendidikan karakter pada jamannya. Menurutnya, kecerdasan budi
itu perlu diasah dengan baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh,
hingga dapat mewujudkan kepribadian dan karakter. Jika ini terjadi, maka nafsu dan tabiattabiat asli seperti bengis, murka, pemarah, kikir dan lain-lain dapat dikalahkan. Melalui
pendidikan karakter terjadi transformasi nilai-nilai. Dengan demikian dalam pendidikan
terjadi dua hal sekaligus, transformasi ilmu dan transformasi nilai.12
10
Khan, Y. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi, 2010),
hlm. 2.
Bdk., Marcel M. Lintong, Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer, (Jakarta:
Cahaya Pineleng, 2011), hlm. 181-182.
11
Bdk., Haryanto, Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam
http://staff.uny.ac.id, diakses Rabu, 21 Juni 2012.
12
8
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
Pendidikan pada hakikatnya adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara” (Bab 1 Pasal 1). Selanjutnya pada pasal 3 dirumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Dari kutipan undang-undang di atas, jelaslah bahwa pendidikan karakter merupakan
dasar dan tujuan dari sistem pendidikan nasional. Pendidikan karakter adalah upaya
penanaman nilai dan sikap religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
tanggungjawab.13
2.2.
Relevansi “Kepemimpinan Etis” Untuk Pendidikan Karakter
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa inti dari kepemimpinan etis adalah
perwujudan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan moral oleh pemimpin itu sendiri.
Sementara inti dari pendidikan karakter adalah ‘keteladanan’. Apa yang diteladankan? Tentu
yang diteladankan adalah sikap, perilaku, gaya hidup yang sesuai dengan kaidah-kaidah
moral yang berlaku atau sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan baik-buruk, benar-salah,
atau boleh-tidaknya suatu sikap atau tindakan yang diambil. Untuk itu relevansi
kepemimpinan etis untuk pendidikan karakter menantang para pemimpin dan calon
pemimpin agar dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dapat berorientasi pada
penghayatan dan perwujudan nilai-nilai moral.
Penyadaran nilai
Bdk., Pendidikan Karakter dalam http://perpustakaan.kemdiknas.go.id, diakses
Rabu, 13 20 Juni 2012.
13
9
Upaya penyadaran nilai ternyata mulai dipandang penting oleh pemimpin bangsa
kita.
Belakangan
ini
marak
digalakkan
pendidikan
karakter,
yakni
dengan
mengintegrasikannya ke dalam setiap mata pelajaran. Namun, usaha penyadaran ini tidak
semudah yang dibayangkan. Penyadaran nilai perlu dilakukan terlebih dahulu dari dalam diri
sendiri dengan tahu dan mau, agar tidak menjadi ‘batu sandungan’ bagi orang lain atau ‘tong
kosong berbunyi nyaring’. Artinya adalah penyadaran nilai tidak sekedar di bibir saja, tetapi
meresap sampai ke lubuk hati yang paling dalam dan mendasari setiap tindakan yang hendak
dilaksanakan. Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan menuntun, mengarahkan dan
mengamalkan nilai-nilai moral bersama orang-orang yang dipimpin.
Membangun konsistensi penghayatan nilai
Penyadaran dan internalisasi nilai-nilai moral, seperti kejujuran, disiplin, bersih,
sopan, dll sudah semestinya dibangun secara konsisten, tidak berubah-ubah seperti Bunglon.
Kalaupun berubah, maka yang berubah adalah tingkatan-tingkatan, seperti dari yang jujur
(sedang) menjadi jujur (luar biasa). Konsistensi penghayatan nilai ini dipandang penting,
sebab banyak penyimpangan moral terjadi, karena adanya inkonsistensi penghayatan nilai
akibat pengaruh subyektivitas atas relasi tertentu.
Konsekuen terhadap perwujudan nilai
Konsekuen berarti bersedia menerima atau menanggung resiko dari suatu pilihan
yang sudah diambil. Sering terjadi persoalan etis di mana pemimpin memilih diam, tidak
mengklarifikasi sesuatu hal yang ditanyakan untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Sebagai contoh ketika seorang pemimpin bersaksi di persidangan. Demi menjaga
nama baik, maka keterangan-keterangan yang diberikan ‘mengambang’, tidak jelas dan
berbelit-belit.
Pemimpin Etis sebagai teladan
Saddler mengidentifikasikan beberapa atribut atau sifat yang dimiliki oleh pemimpin
yang berkualitas. Salah satu di antaranya adalah “karakter”.14 Artinya pemimpin yang
Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, edisi 3, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 377.
14
10
berkualitas adalah pemimpin yang berkarakter. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, inti
dari pendidikan karakter adalah keteladanan, jadi pemimpin yang etis merupakan teladan
untuk masyarakat yang dipimpinnya. Pendidikan karakter tidak sekedar teori yang
didengungkan di mana-mana, tetapi mengambil bentuk “kesaksian hidup”, sehingga orang
bisa dengan mudahnya menginternalisasi dan mengadopsi nilai-nilai menjadi miliknya atau
terintegrasi dengan kepribadiannya. Ketika seseorang bertanya apa itu pendidikan karakter?,
jawaban yang muncul bukan lagi konsep pendidikan karakter dari berbagai pihak, tetapi
langsung bisa menunjuk figur pemimpin berkarakter.
11
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepemimpinan etis adalah kepemimpinan yang menekankan pada penghayatan nilainilai moral. Kepemimpinan etis adalah perwujudan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan
moral oleh pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan etis menuntun, mengarahkan dan
mengamalkan nilai-nilai moral bersama orang-orang yang dipimpin. Untuk itu dibutuhkan
integritas pribadi yang kokoh dan karakter yang kuat dari seorang pemimpin, agar dapat
menjadi teladan, sehingga darinya orang dipengaruhi dan didorong untuk menginternalisasi
dan mewujudkan karakter pribadi yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh situasi dan
mampu untuk mengambil keputusan sendiri atas hidup yang dijalaninya.
B. Saran
Di tengah-tengah maraknya krisis kepercayaan terhadap kredibilitas dan keteladanan
pemimpin di kalangan masyarakat, kebijakan Pendidikan Karakter diangkat sebagai upaya
untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya
moralitas hidup suatu bangsa.
Kepemimpinan etis menantang pemimpin itu sendiri untuk memberi contoh yang benar
kepada masyarakat yang dipimpinnya. Banyak orang bisa berbicara tentang pentingnya nilainilai
moral,
pentingnya
karakter
dan
sebagainya,
tetapi
sedikit
yang
mampu
melaksanakannya. Untuk itu karakter pemimpin perlu dibina, dibentuk agar dapat
mempengaruhi, mengarahkan dan menuntun masyarakat ke arah yang lebih baik.
12
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Khan, Y. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi, 2010.
Lintong, Marcel M. Gagasan-Gagasan Pendidikan Kontemporer. Jakarta: Cahaya Pineleng,
2011.
Rosmiati, Taty dan Achmad Dedy, “Kepemimpinan Pendidikan”, dalam Tim Dosen
Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2011.
Tisnawati Sule, Ernie dan Saefullah, Kurniawan. Pengantar Manajemen, edisi pertama.
Jakarta: Kencana, 2010.
Usman, Husaini, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, edisi 3. Jakarta: Bumi
Aksara, 2011.
Yukl, Gary. Kepemimpinan Dalam Organisasi, edisi kelima. Jakarta: Indeks, 2001.
Artikel di Internet
Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam http://staff.uny.ac.id,
diakses Rabu, 21 Juni 2012.
Pendidikan Karakter dalam http://perpustakaan.kemdiknas.go.id, diakses Rabu, 13 20 Juni
2012.
Undang-Undang
Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, dalam buku kumpulan
Undang-undang. Bandung: Umbara, 2010.
Kamus
Webster’s Student Dictionary. USA: Trident Press International, 1999.
13