Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia

1. Rule of Reason dan Per se

Secara garis besar perumusan pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-undang No.5/1999 adalah menggunakan perumusan Rule of Reason dan Per Se. Yang dimaksudkan dengan Rule of Reason adalah untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, penegak hukum harus mempertimbangkan keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penegak hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang

secara nyata terhadap persaingan. 29 Dengan demikian dapat dikatakan, Rule of Reason lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan

barulah pasal yang menggunakan rumusan secara Rule of Reason ini dapat diterapkan. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Merupakan salah satu pasal yang menggunakan perumusan Rule of Reason.

29 Daniel V., et.all., comprehensive business law: principles and cases., Kent publishing Company., 1987., hal 1042. yang dikutif dari hukum persaingan usaha elips

Sedangkan yang dimaksud dengan Per Se adalah rumusan pasal mengenai perbuatan tertentu yang dilarang untuk dilakukan, dimana perbuatan tersebut sudah dapat terbukti dilakukan dan dapat di proses secara hukum tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau

kerugian yang secara nyata terhadap persaingan. 30

Pasal 6 Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjianyang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama.” Merupakan salah satu pasal yang mempergunakan perumusan Per Se. Sehingga ketika pelaku usaha melakukan perbuatan yang dilarang oleh pasal tersebut, pelaku usaha tersebut sudah dapat diproses secara hukum tampa harus menunggu adanya bukti-bukti bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.

2. Pendekatan Struktur Pasar dan Tingkah Laku

Pendekatan dalam penyusunan Undang-undang Persaingan Usaha secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pendekatan struktur pasar dan pendekatan perilaku. Dalam pendekatan struktur penguasaan pasar oleh pelaku usaha menjadi bahan analisis utama apakah pelaku usaha melakukan pelanggaran hukum persaingan dengan menilai struktur pasar setiap produk oleh suatu pelaku usaha. Sedangkan pendekatan perilaku adalah pelaku usaha tidak dilarang menjadi “besar” sepanjang posisinya tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

3. Definisi

Dalam penyusunan suatu peraturan perundangan, perumusan suatu defenisi merupakan suatu hal yang sangat penting, karena setiap kata terkadang memiliki banyak defenisi. Terlebih penyusunan peraturan perundangan yang sebagian besar ketentuannya merupakan hasil adopsi dari ketentuan hukum asing, dimana kebanyakan istilah-istilah yang ada menggunakan bahasa asing, yang terkadang untuk pengaturan tertentu dalam bahasa asing sulit untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Dan hal ini sangat dirasakan dalam penyusunan pengaturan persaingan usaha dimana sebagian ketentuannya mengadopsi dari ketentuan hukum asing.

30 ibid

Meskipun harus diakui bahwa ketidak jelasan akan selalu ada pada setiap peraturan perundangan, namun dengan berusaha memberikan defenisi yang jelas dan tidak mempunyai arti ganda akan memperkecil kemungkinan perbedaan pendapat yang tidak perlu. Selain itu harus dihindarkan sedemikian rupa untuk menunjuk arti suatu kata pada rumusan ketentuan lain. Sebagaimana kit a ketahui, bahwa para penegak hukum, apalagi masyarakat tidak menguasai semua bidang, mereka hanya menguasai satu atau lebih bidang tertentu, namun mereka harus memutus atau menangani perkara yang dihadapinya. Dengan perumusan yang jelas dan mudah dimengerti akan memudahkan

penerapan hukum secara efektif. 31

Mengenai penempatan definisi ini dalam suatu perundang-undangan ada beberapa kemungkinan. Pertama ditempatkan dibagian ketentuan umum yaitu pada bagian awal dari suatu ketentuan. Kemungkinan kedua diletakkan dibagian belakang dari suatu peraturan dan kemungkinan ketiga diletakkan sebagai satu kesatuan didalam pasal- pasal mengenai materi dari peraturan tersebut. Dimana diletakkan ketentuan definisi ini tergantung pada pertimbangan para pembuat undang-undang, dimana tempat yang dianggap efektif untuk menuntun masyarakat termasuk para penegak hukum dapat

memahami arti dari suatu ketentuan. 32

Di dalam Model Law on Competition yang disusun UNCTAD ditetapkan beberapa definisi istilah-istilah yang berkaitan langsung dengan hukum persaingan usaha seperti definisi (pengertian) pelaku usaha, posisi dominan, merger dan akuisisi dan pasar bersangkutan (relevant market). Dahulu definisi istilah-istilah tersebut hanya ditemukan di literature-literatur. Tetapi di dalam perkembangannya pengertian-pengertian istilah tersebut dapat banyak ditemukan di dalam hukum persaingan usaha beberapa negara, paling tidak dijelaskan di dalam suatu pedoman tertentu, misalnya di dalam pedoman

merger dan akuisisi tertentu, ditetapkan definisi pasar bersangkutan (relevant market). 33

31 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Draft Best Practice Undang-undang No.5/1999”, Tahun 2003. hal 11

32 Ibid. hal 12. 33 Ibid.

Demikian juga di dalam UU No. 5/1999 ditetapkan definisi istilah-istilah hukum persaingan usaha di dalam ketentuan umum pasal 1. Di dalam pasal 1 tersebut terdapat

17 (tujuh belas) istilah yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha. Apabila kita teliti, maka terdapat beberapa definisi yang tidak jelas dan saling bertentangan, antara lain:

1. Penggunaan beberapa istilah yang hampir sama, namun tidak jelas apa artinya: seperti kata pelaku usaha, pelaku usaha lain, pelaku usaha pesaing dan pihak lain, seperti terdapat dalam Pasal 4, 5, 15 ayat 2.

2. Pengetian Monopoli Pasal 1 angka 1: kurang jelas, karena monopoli berhubungan dengan posisi dominan dan besarnya pangsa pasar yaitu satu pelaku usaha menguasai lebih dari 50 %( monopoli ) dan dua atau lebih pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % ( oligopoli ).

3. Pasal 1 angka 5 merumuskan pelaku usaha sebagai setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi, dengan rumusan seperti ini, dianggap belum memasukan mengenai subyek hukum badan usaha milik negara, sehingga apabila badan usaha mulik negara melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan usaha dapat tidak terkena hukuman.

4. Pasal 1 angka 6 merumuskan mengenai persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan secara tidak jujur, padahal tidak ada pasal yang merumuskan hal tersebut pada bagian substansi.

5. Pasal 1 angka 7; yang merumuskan perjanjian sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis, mungkin dapat diperbaiki menjadi perjanjian adalah suatu bentuk perbuatan dari dua atau lebih pelaku usaha untuk saling mengikatkan diri dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.

6. Pasal 1 angka 8; persekongkolan tidak harus mempunyai tujuan menguasai pasar bersangkutan. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 22 yang hanya mengatur mengenai tender.

7. Pasal 1 angka 14: harga pasar didefenisikan sebagai harga yang dibayar dalam transaksi barang dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan, padahal kesepakatan harga dilarang oleh undang-undang.

8. Perlu ditambahkan beberapa definisi, misalnya apa yang dimaksud dengan penelitian dalam Pasal 36 b, kata keberatan dalam Pasal 44 ayat 2, dan arti perbuatan dalam Pasal 50 a serta peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 50 a.

9. Pasal 2 perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum.

10. Pasal 3; Praktek monopoli tidak selalu jahat, karenanya perlu ditambahkan bentuk dan praktek monopoli yang dilarang.

11. Pasal 4 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha lain;

12. Pasl 5 juga tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaingnya.

13. Pasal 6 tidak jelas dengan siapa pelaku usaha mengadakan perjanjian.

14. Pasal 11 Pengertian kartel terlampau sempit karena hanya menyangkut perjanjian untuk menguasai jumlah produksi atau pemasaran barang atau jasa.

15. Pasal 15 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pihak lain,

16. Pasal 22; harus diperjelas siapa yang dimaksud dengan pihak lain. 34

Dari ketujuh belas definisi tersebut diatas, definisi persaingan usaha tidak sehat perlu mendapatkan perhatian utama, karena definisi tersebut menjelaskan bagaimana suatu pasar dapat dinyatakan tidak sehat, dan sekaligus definisi tersebut menjelaskan tujuan UU No. 5/1999 seperti disebutkan di atas sebelumnya. Sementara definisi persaingan usaha tidak sehat tidak kita temukan di berbagai hukum persaingan usaha negara lain, bahkan di dalam literature pun tidak ditemukan. Yang dapat ditemukan adalah pengertian persaingan usaha, itupun para ahli hukum kartel tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi tersebut. Karena jika disepekati pembuatan suatu definisi persaingan usaha akan mempersulit penerapan hukum persaingan usaha, karena berbicara mengenai persaingan usaha mempun yai fenomena yang beragam. Fenomena tersebut berinteraksi antara struktur pasar, perilaku pasar dan menjadi hasil pasar. Di dalam proses interaksi tersebut terdapat kebebasan. Kebebasan merupakan syarat utama bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usahanya, baik untuk masuk ke pasar atau mengakses suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu, apabila

34 Ibid.

kebebasan pelaku usaha tersebut terhambat, itu berarti pasar terdistorsi. Terdistorsinya suatu pasar disebabkan oleh banyak hal. Oleh karena sulitnya menetapkan suatu definisi persaingan usaha, maka ditetapkan ketentuan-ketentuan normatif di dalam hukum persaingan usaha untuk membatasi perilaku atau tindakan pelaku usaha yang mendistorsi pasar tersebut. Jadi, secara sederhana suatu pasar dapat dinyatakan tidak

sehat, apabila pasar bersangkutan terdistorsi. 35

Pasal 1 angka 6 menetapkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dari ketentuan pasal 1 no. 6 tersebut dapat disimpulkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah hubungan antara pelaku usaha yang satu dengan yang lain, yang dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum atau dengan menghambat persaingan usaha. Hanya saja definisi ketentuan pasal 1 angka 6 mencampur adukkan persaingan yang tidak sehat yang dilakukan secara tidak jujur dengan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Seperti sudah disebut di atas, sementara ketentuan persaingan usaha yang dilakukan dengan cara

tidak jujur tidak diatur di dalam UU Antimonopoli. 36

Perbuatan tidak jujur adalah suatu tindakan penipuan yang subjektif, yang dapat dilakukan oleh suatu pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses produksi suatu barang, atau dalam memasarkan barang tertentu. Misalnya kualitas barang dan mereknya tidak sesuai dengan harganya, kualitas barang tidak sesuai dengan yang diiklankan, atau harga barang yang dibayar tidak sesuai dengan harga yang tertera pada barang tersebut. Oleh karena itu suatu tindakan penipuan yang dilakukan secara tidak jujur, yang pembuktiannya mensyaratkan pembuktian yang subjektif. Akibat dari perbuatan tersebut dirasakan langsung oleh konsumen, dan secara tidak langsung oleh pesaingnya. Hal-hal seperti ini diatur di dalam pasal 382 bis KUHP, pasal 1365 KUHPerdata dan UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen. Jadi, hal

35 Ibid. hal.13. 36 Ibid . hal.14.

ini tidak berhubungan dengan persaingan usaha antara pelaku usaha yang sat u dengan pelaku usaha pesaingnya. 37

Persaingan usaha yang melawan hukum adalah segala kegiatan usaha yang melanggar larangan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan larangan undang-undang adalah yang melarang perilaku tertentu dan secara imperatif. Larangan imperatif biasanya diikuti dengan kata-kata „dilarang atau tidak boleh“ di dalam suatu ketentuan perundang- undangan. Contohnya ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jika ketentuan-ketentuan tersebut dilanggar langsung dijatuhkan hukuman tertentu. Misalnya seseorang dijatuhi hukuman penjara lima tahun, karena mencuri

barang milik orang lain. 38

Di dalam ketentuan UU Antimonopoli ada juga ketentuan-ketentuan yang menggunakan kata-kata „dilarang“ tetapi ini tidak bararti suatu pelaku usaha otomatis dijatuhkan hukuman, - perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha yang langsung dijatuhi hukuman atau denda adalah yang melanggar ketentuan-ketentuan yang bersifat per se. Misalnya kalau pelaku usaha dengan pesaingnya mengadakan perjanjian harga (price fixing) atas suatu barang tertentu. Selain itu ada ketentuan UU Antimonopoli dalam penerapananya dengan pendekatan rule of reason, yang penerapannya mempertimbangkan dari aspek keuntungan ekonomisnya baik bagi pelaku usaha maupun bagi masyarakat. Jadi, ketentuan UU Antimonopoli lebih banyak mengatur hubungan perilaku antara pelaku usaha dalam menjalankan usahanya di wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian definisi persaingan usaha tidak sehat

yang dilakukan dengan tidak jujur sebaiknya dihilangkan saja. 39 Sehingga defenisi dari persaingan usaha tidak sehat menjadi persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang an atau jasa yang dilakukan dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan.

37 Ibid. 38 Ibid 39 Ibid .

Perjanjian yang Dilarang

Pada bagian ini secara khusus akan dibahas mengenai pengaturan perjanjian yang dilarang menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No.5/1999, perjanjian didefinisikan sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” Sedangkan menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perjanjian hanya didefinisikan : “Suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.”

Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang -undang No.5/1999, dapat diartikan bahwa perjanjian yang tidak tertulispun dapat diakui atau digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dimana sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya sulit untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan, karena biasanya pengadilan hanya mau menerima suatu perjanjian sebagai alat bukti jika perjanjian tersebut dibuat secara tertulis saja.

Seandainya pengadilan hanya mau menerima perjanjian tertulis saja sebagai alat bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan, mungkin perkara-perkara pelanggaran terhadap Undang-Undang Persaingan Usaha sulit untuk ditindak karena biasanya sangat sulit untuk menemukan bukti tertulis mengenai suatu perjanjian yang dikategorikan melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha. Undang-undang Nomor 5/1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

1) Oligopoli (Pasal 4 UU No.5/1999);

2) Penetapan harga

a. price fixing (Pasal 5 UU No.5/1999);

b. Diskriminasi harga / price discrimination (Pasal 6 UU No.5/1999);

c. Predatory Pricing (Pasal 7 UU No.5/1999);

d. Resale Price Maintenance (Pasal 8 UU No.5/1999);

3) Pembagian wilayah / market division (Pasal 9 UU No.5/1999);

4) Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999);

5) Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999);

6) Trust (Pasal 12 UU No.5/1999);

7) Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ;

8) Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);

9) Perjanjian Tertutup

a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999);

b. tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);

c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);

10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.

1) Oligopoli

Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar, dimana di dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan. Sedikitnya jumlah perusahaan yang beroperasi di pasar disebabkan oleh adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pemain baru untuk masuk ke dalam pasar. Sedikitnya jumlah pemain ini juga menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdependence) antar pelaku usaha dan faktor inilah yang membedakan struktur pasar oligopoli deng an struktur pasar yang lain. Ada beberapa model strategi ketergantungan antar pelaku usaha oligopoli yaitu kolusi (collusion), kepemimpinan harga (price leadership), dan kurva permintaan patah (kinked demand curve).

Dalam pasar yang berstruktur oligopoli sangat mungkin terjadi perusahaan-perusahaan yang ada akan saling mempengaruhi untuk menentukan harga pasar, yang kemudian dapat mempengaruhi perusahaan lainnya, baik yang sudah ada ( existing firms) maupun yang masih diluar pasar (potential firms). Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk kedalam pasar, dan juga perusahaan-perusahaan melakukan praktek oligopoli sebagai salah satu usaha untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas ( limiting prices), sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada.

Apabila perusahaan yang dominan di dalam pasar oligopoli melakukan kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan laba dengan cara berlaku secara kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli. Tetapi kemungkinan gabungan perusahaan yang melakukan kolusi akan mengalami kesulitan tetap ada, karena masing-masing perusahaan memiliki struktur biaya yang berbeda, sedangkan mereka harus menetapkan tingkat harga yang sama. Selain itu, semakin banyak perusahaan yang masuk dalam kolusi maka kemampuan untuk mencapai kesepakatan akan semakin sulit, dan masing-masing anggota akan memiliki kecenderungan untuk berlaku curang. Cheating atau kecurangan yang dilakukan oleh anggota kartel akan semakin tinggi apabila laba yang dijanjikan oleh kegiatan kolusi lebih kecil dibandingkan laba yang akan mereka dapatkan, misalnya dengan menjual di bawah harga kesepakatan sehingga pasar mereka akan semakin luas.

Hal tersebut di atas menyebabkan pembahasan mengenai struktur pasar oligopoli merupakan salah satu pembahasan yang cukup penting dalam hukum persaingan usaha, karena sebagian besar pelaku usaha yang memiliki kedudukan sebagai penguasa di dalam pasar tersebut akan dapat memanfaatkan posisi dominannya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal seperti layaknya pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli.

Struktur pasar oligopoli sebenarnya memiliki kesamaan dengan struktur pasar monopoli dalam hal kurva permintaan dan kurva penerimaan marjinalnya yang berslope negatif. Hanya saja jika dalam pasar monopoli hanya ada satu perusahaan, sedangkan dalam pasar oligopoli ada beberapa pelaku pasar yang memiliki posisi yang dominan. Misalnya dalam UU No. 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dua atau tiga pelakunya memiliki share 75% atau lebih. Beberapa perusahaan tersebut dipandang memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga atau memiliki market power. Salah satu cara untuk dapat mengendalikan harga adalah melalui kebijakan diferensiasi produk dimana perusahaan menciptakan produk yang berbeda dengan produk kompetitornya sehingga struktur permintaan produk menjadi lebih inelastis.

Dalam kenyataannya, struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki capital intensive yang tinggi, seperti industri mobil, semen, kertas dan Dalam kenyataannya, struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki capital intensive yang tinggi, seperti industri mobil, semen, kertas dan

Dalam UU No. 5/1999, Oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan re aksi, khususnya pada barang-barang yang bersifat homogen atau identik. Apabila oligopoli dimasukkan ke dalam kelompok perjanjian maka hal ini identik dengan kartel, sehingga ketentuan yang mengatur mengenai oligopoli ini akan lebih baik jika digabungkan saja dengan pengaturan mengenai kartel.

Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 juga memberikan petunjuk bahwa ketentuan tersebut hanya memperhatikan oligopoli sempit yang hanya melibatkan sejumlah kecil pesaing yang mempunyai posisi yang kuat di pasar, dalam hal ini 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai lebih dari 75% pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa tertentu. Padahal menurut pengertian umum, jumlah pelaku usaha dalam praktek oligopoli sebenarnya dapat lebih banyak. Namun memang semakin besar jumlah pelaku usaha, terkadang semakin berkurang keterkaitan reaksi pelaku usaha di dalam pasar yang oligopoli.

Kemudian, besaran pasar yang ditentukan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 yang merupakan ukuran struktural, dalam prakteknya dapat menyulitkan dalam menindak praktek oligopoli, karena adakalanya penguasaan pasar di bawah 50% dapat mengatur pelaku usaha lainnya di dalam pasar bersangkutan, sehingga sebaiknya Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 dihilangkan saja.

2) Penetapan Harga

Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 diatur di dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang No.5/1999, yaitu:

1. Perjanjian penetapan harga / Price Fixing Agreement;

2. Diskriminasi harga / Price Discrimination;

3. Harga pemangsa / Predatory Pricing;

4. Resale Price Maintenance.

ad. 1 Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)

Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan salah satu strategi yang dilakukan di antara pelaku usaha yang tujuannya adalah untuk menghasilkan laba yang setingi-tingginya, dimana dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau penjual) telah meniadakan persaingan dari segi harga terhadap produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat berakibat kepada consumer’s surplus yang dimiliki oleh konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual.

Dengan adanya perjanjian penetapan harga, pelaku -pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian penetapan harga kemungkinan dapat mendiktekan at au memaksakan harga yang diinginkan secara sepihak kepada konsumen, dimana biasanya harga yang didiktekan kepada konsumen merupakan harga yang berada di atas kewajaran. Bila hal tersebut dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang berada di dalam pasar yang bersangkutan, hal ini dapat membuat konsumen tidak memiliki alternatif yang lain kecuali harus menerima harga yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian penetapan harga tersebut.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 berbunyi bahwa: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.” Apabila dilihat dari rumusnya, pasal yang mengatur mengenai price fixing ini dirumuskan secara Per Se, sehingga penegak hukum dapat langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian price fixing tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut.

Tetapi jika dibandingkan dengan Model Law on Competition yang disusun oleh UNCTAD terlihat bahwa perumusan yang dilakukan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang -Undang No.5/1999 berbeda dengan perumusan yang dilakukan oleh UNCTAD, dimana didalam Model Law perjanjian penetapan harga ini tidak hanya mengatur dari sisi penjual atau Tetapi jika dibandingkan dengan Model Law on Competition yang disusun oleh UNCTAD terlihat bahwa perumusan yang dilakukan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang -Undang No.5/1999 berbeda dengan perumusan yang dilakukan oleh UNCTAD, dimana didalam Model Law perjanjian penetapan harga ini tidak hanya mengatur dari sisi penjual atau

meskipun dalam pasal yang berbeda .

Sebenarnya apabila mengikuti ketentuan yang ada dalam Model Law UNCTAD, khususnya pengaturan mengenai penetapan harga ini, dapat membuat pasal-pasal yang ada dalam undang-undang persaingan kita tidak terlalu memiliki banyak pasal dan lebih efesien.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya kurang memberikan penjelasan mengenai seperti apa penetapan harga yang dimaksudkan oleh undang-undang, apakah penetapan harga maksimum atau penetapan harga minimum? Atau termasuk syarat-syarat pembayaran yang lain? Karena yang biasanya yang menjadi permasalahan dalam praktek usaha sehari-hari adalah penetapan harga minimum. Karena terkadang penetapan harga maksimum, yang biasanya sering dilakukan pemerintah, tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, bukan bertujuan untuk menghindari persaingan diantara pelaku usaha.

Kemudian bagaimana seandainya apabila dalam proses tender terjadi perjanjian penetapan harga yang dilakukan oleh para peserta tender, apakah Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 dapat dikenakan untuk praktek tersebut, karena di dalam undang-undang No.5/1999 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang No.5/1999 ketentuan yang mengatur mengenai tender hanya mengatur mengenai penentuan pemenang tender, tidak mengatur mengani perjanjian penetapan harga dalam proses tender.

Lebih lanjut menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya tidak semua price fixing agreement dilarang, untuk suatu perjanjian price fixing yang dibuat dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku, price fixing tidak dilarang.

40 lihat penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) Model Law on Competition UNCTAD.

Mengenai pengecualian pemberlakuan ketentuan penetapan harga terhadap suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku tidak menjadi permasalahan karena sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ketentuan dari suatu undang- undang dapat mengecualikan pemberlakuan undang-undang persaingan usaha, tetapi yang jadi permsalahan adalah pengecualian pemberlakuan ketentuan mengenai penetapan harga terhadap suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan.

Di dalam ketentuan yang ada pada beberapa negara seperti ketentuan pada Masyarakat Economi Eropa (The EC Treaty) memang dimungkinkan untuk mengijinkan praktek penetapan harga dilakukan oleh suatu usaha patungan ( joint venture) asalkan berperan besar mendorong perkembangan ekonomi dan teknologi. Dan apabila peruhsaan joint venture tersebut tidak berperan besar dalam mendorong perkembangan ekonomi dan teknologi maka perusahaan joint venture tersebut mendapatkan perlakuan yang sama dengan penggabungan usaha biasa.

Apakah maksud pengecualian pemberlakuan perjanjian penetapan harga terhadap suatu usaha patungan dalam Undang -undang No.5/1999 senada dengan pengaturan yang diberikan pada The EC Treaty, dalam penjelasan Undang-undang tidak sedikitpun diberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Sehingga apabila ketentuan ini dipertahankan dan tanpa ada penjelasan yang cukup jelas ketentuan ini dapat menghambat penegakkan undang-undang persaingan usaha.

Mengenai perumusan aturan price fixing di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999 yang dirumuskan secara Per se dapat dikatakan sudah tepat, karena memang hampir sebagian besar Undang-Undang Persaingan Usaha di beberapa negara merumuskan price fixing secara Per se, namun walaupun begitu terkadang hak im dalam menggunakan ketentuan ini pun menerapkan secara rule of reason.

ad. 2 Perjanjian diskriminasi harga (price discrimantion agreement)

Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Dimana tujuan yang ingin dicapai dari perjanjian ini sebenarnya juga sama dengan price fixing yaitu mempunyai motif untuk Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Dimana tujuan yang ingin dicapai dari perjanjian ini sebenarnya juga sama dengan price fixing yaitu mempunyai motif untuk

Diskriminasi harga ini biasanya dapat terjadi karena produsen atau penjual telah dapat memastikan bahwa setiap konsumen yang ada mau untuk membayar dengan harga yang berbeda terhadap produk yang sama, misalnya seperti harga karcis bioskop Grup

21 (Twenty One) untuk film yang sama dan pada waktu yang sama di Cilandak Town Square sekitar Rp 35.000,00 sedangkan harga karcis bioskop Grup 21 juga di Plaza Indonesia Rp 60.000,00. Hal di atas dapat terjadi karena si penjual, dalam hal ini pengelola bioskop telah dapat memastikan bahwa konsumen yang akan menonton bioskop di Plaza Indonesia mau membayar dengan harga yang lebih mahal dengan dibandingkan apabila menonton di bioskop Cilandak Town Square.

Dasar diskriminasi harga yang banyak diterapkan oleh pelaku usaha adalah dengan cara melihat kepada siapa konsumennya (elastisitas permintaannya). Permintaan yang lebih elastis akan dibebankan harga yang lebih rendah dibandingkan permintaan yang inelastis, contohnya untuk barang-barang yang sama, bila di jual di Plaza Indonesia akan lebih mahal dibandingkan yang dijual di Plaza Depok, karena permintaan barang yang dijual di Plaza Indonesia lebih inelastis dibandingkan permintaan barang yang dijual di Plaza Depok. Atau dengan kata lain, diskriminasi harga dapat terjadi bila sifat permintaan dan elastisitas permintaan di masing-masing pasar haruslah sangat berbeda.

Diskriminasi harga juga dapat terjadi bila: (1) barang tidak dapat dipindahkan dari s atu pasar ke pasar lain, (2) sifat barang atau jasa tersebut memungkinkan dilakukan pembedaan harga, (3) praktek diskriminasi harga tidak memakan ongkos yang melebihi keuntungan dari kebijkan tersebut, (4) pelaku usaha dapat mengeksploitasi beberapa sikap tidak rasional konsumen.

Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan

Dengan adanya praktek yang seperti disebutkan Pasal 6 Undang-undang No.5/1999 dapat menyebabkan pembeli tertentu (dimana pembeli tersebut merupakan pelaku usaha juga) yang terkena kewajiban harus membayar dengan harga yang lebih mahal dibandingkan pembeli lain (yang juga merupakan pelaku usaha) yang sama-sama berada dalam pasar yang sama, dapat menyebabkan pembeli yang mengalami diskrimisasi tersebut tersingkir dari pasar.

Memasukkannya ketentuan mengenai diskriminasi harga ke dalam kelompok perjanjian sulit dicarikan dasar argumentasinya, bahkan dalam praktek pun ketentuan ini jarang terjadi, karena biasanya tindakan diskriminasi harga merupakan tindakan yang sepihak dari seorang pelaku usaha (penjual), dan sangat jarang dilakukan berdasarkan atau melalui suatu perjanjian. dan hal ini dapat menjadi kendala bagi penegak hukum untuk menegakkan ketentuan diskriminasi harga ini karena sebagian besar praktek diskriminasi harga yang terjadi tidak berdasarkan perjanjian. Jadi lebih mudah apabila ketentuan ini tidak dimasukan dalam kelompok perjanjian yang dilarang.

Bila melihat kepada rumusan Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999, ketentuan yang mengatur mengenai diskriminasi harga ini, diatur secara Per Se, sehingga berakibat pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 6 tersebut dapat dijatuhi sanksi hukum oleh penegak hukum tanpa terlebih dahulu melihat bahwa yang dilakukan tersebut menimbulkan akibat tertentu atau tidak. Dalam praktek, Pasal 6 UU No.5/1999 tidak mudah untuk dibuktikan, karena menurut teori, diskriminasi harga selalu dimungkinkan jika ada perbedaan volume pembelian, waktu, dan jarak antara penjual dengan pembeli. Dan di dalam pasal tersebut juga tidak di jelaskan dengan siapa pelaku usaha membuat perjanjian, apakah dengan sesama pelaku usaha ataukah dengan pembeli?.

ad. 3 Harga Pemangsa / Predatory Pricing

Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk

Literatur ekonomi mengenai alasan dan keampuhan strategi predatory pricing masih menjadi kontroversi. Banyak ahli ekonomi yang mempertanyakan strategi predatory pricing atas dasar bahwa: itu bisa sama mahalnya bagi si pelaku usaha yang melakukan predatory pricing dan bagi korbannya; sasaran predatory pricing tidak akan mudah diusir, dengan asumsi pasar relatif efisien; dan masuknya pendatang baru atau masuknya kembali principles dengan tidak adanya rintangan akan mengurangi kesempatan pemangsa untuk mendapatkan kembali kerugian yang terjadi selama pelaku usaha tersebut melakukan praktek predatory pricing.

Untuk sementara waktu atau jangka pendek praktek predatory pricing memang menguntungkan bagi konsumen karena harga produk yang dijual oleh pelaku usaha menjadi jauh lebih murah, tetapi belum tentu di masa depan, ketika pelaku usaha sukses dalam menjalankan strategi predatory pricing dan menyebabkan dia tidak memiliki pesaing yang berarti lagi, pelaku usaha tersebut akan menaikan harga kembali bahkan mungkin setinggi-tingginya untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya agar pengorbanan yang pernah dikeluarkan selama pelaku usaha tersebut melakukan praktek predatory pricing terbayarkan.

Menurut R. Shyam Khemani dalam a framework for the design and implementation of competition law and policy yang diterbitkan oleh World Bank dan OECD sebenarnya Predatory pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan datang pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan harga. Oleh karena itu bila pelaku usaha yang melakukan praktek predatory pricing di masa depan dia tidak akan mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga, mungkin predatory pricing tidak dilarang.

Praktek predatory pricing sebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh pelaku usaha untuk mengusir pesaing-pesaingnya dari pasar yang sama sebenarnya sangat sulit untuk dilakukan pada ekonomi pasar yang sehat ( healty market economy), dimana tidak ada hambatan untuk masuk (entry barrier) ke pasar bagi pelaku usaha, sehingga pada awalnya (jika berhasil) predatory pricing memang akan mengusir pelaku usaha pesaingnya dari pasar, namun ketika si pelaku usaha yang menjalankan strategi predatory pricing-nya berhenti dan kemudian menaikan harga lagi untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada saat itulah pelaku-pelaku usaha pesaingnya akan berusaha masuk kembali ke pasar. jadi kesimpulannya si pelaku usaha yang melakukan predatory pricing tidak akan mempunyai cukup waktu untuk mengembalikan pengorbannannya selama dia melakukan praktek predatory pricing tersebut, karena pelaku usaha pesaingnya mungkin sudah kembali ke pasar dan bila si pelaku usaha tersebut tetap ongtot terus menaikan harga, konsekwensi yang mungkin didapatkan adalah produk dia tidak akan laku di pasar dan akan menderita kerugian yang lebih besar.

Namun terkadang bagi pelaku usaha, terutama yang baru masuk ke dalam pasar dan ingin mendapatkan tempat di pasar, dan kemudian merebut simpati konsumen agar konsumen mau mencoba produknya, pelaku usaha biasanya mengenakan harga yang sangat rendah untuk produknya tersebut, bahkan terkadang untuk sementara waktu mereka rela rugi agar konsumen mau mencoba produk mereka. Sebagai contoh warnet (warung internet) M-WEB di kampus Universitas Indonesia ketika pertama kali berdiri, mereka mengratiskan biaya sewa internet agar konsumen mau mencoba warnet mereka, sehingga sempat mengundang kontroversi terutama dari pengelol a warnet di sekitar kampus UI yang merasa dirugikan atas strategi usaha yang dilakukan oleh warnet M-WEB tersebut. Untunglah M-WEB menerapkan strategi dagangnya tidak terlalu lama (ketika itu hanya seminggu) sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar bagi warnet-warnet yang terdapat disekitar lingkungan kampus UI.

Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 melarang sesama pelaku usaha untuk membuat perjanjian di antara pelaku usaha untuk menetapkan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Namun di dalam pasal tersebut defenisi harga pasar akan sangat kabur bila diterapkan, Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 melarang sesama pelaku usaha untuk membuat perjanjian di antara pelaku usaha untuk menetapkan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Namun di dalam pasal tersebut defenisi harga pasar akan sangat kabur bila diterapkan,

Kemudian jika pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan harga, dalam hal ini menetapkan harga di bawah harga pasar, Pasal 5 sudah menegaskan hal tersebut adalah per se illegal. Keberadaan Pasal 7 UU No.5/1999 dapat menimbulkan interprestasi yang berbeda dengan Pasal 5 UU No.5/1999, dimana keduanya mengandung substansi penetapan harga, Jadi untuk menghindari ketumpang-tindihan, dimana substansi dari Pasal 7 sebenarnya sudah diatur oleh Pasal 5, maka lebih baik substansi pengaturan dari Pasal 7 UU No.5/1999 digabungkan saja dengan pengaturan yang ada pada pasal 5.

Sedangkan apabila Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 dihubungkan dengan ketentuan yang ada pada Pasal 20 Undang-undang No.5/1999 adalah Pasal 7 mengatur mengenai predatory pricing yang didasarkan kepada perjanjian sedangkan Pasal 20 mengatur mengenai predatory pricing yang didasarkan kepada tindakan sepihak dari pelaku usaha.

ad. 4 Resale Price Maintenance

Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Prof. Lawrence Anthony Sullivan dalam bukunya Handbook of the Law Antitrust menyebutkan bahwa dengan adanya perjanjian di antara pelaku usaha, umumnya perusahaan manufaktur dengan para perusahaan penyalurnya, yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang diperjanjikan (resale price maintenance), sehingga membuat persaingan di tingkat perusahaan penyalur menjadi hilang.

Adanya perjanjian resale price maintenance yang telah dibuat sebelumnya oleh perusahaan manufaktur dengan perusahaan penyalurnya mengakibatkan perusahaan penyaluran tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan perusahaan penyalur lainnya. Karena biasanya bila tidak ada perjanjian resale price maintenance, perusahaan penyaluran dalam usaha agar lebih disukai oleh konsumen biasanya dalam menjual produk yang disalurkannya akan selalu menetapkan harga yang lebih murah dibandingkan harga yang ditawarkan oleh perusahaan penyalur lainnya, karena harga merupakan salah satu faktor penting yang di pertimbangkan dan memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen ketika mereka hendak membeli suatu produk tertentu.

Bila para perusahaan penyaluran dibiarkan menentukan sendiri harga produk yang mereka salurkan, tidak ditentukan sebelumnya oleh perusahaan manufakturnya, biasanya akan melahirkan persaingan diantara perusahaan penyaluran dimana mereka akan berlomba-lomba untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya, dengan cara menerapkan harga produk yang mereka salurkan semurah-murahnya (mungkin dengan menekan marjin keuntungan) dan peningkatan kualitas pelayanan yang setinggi- tingginya.

Dengan adanya perjanjian Resale Price Maintenance juga dapat membatasi marjin dan harga konsumen. Sedangkan ditingkat pedagang akibatnya seperti kartel harga, dan mengakibatkan hilangnya persaingan harga. Maka oleh karena itu dalam ketentuan hukum persaingan usaha Internasional, perjanjian Resale Price Maintenance termasuk kedalam perjanjian yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Ketentuan yang mengatur mengenai Resale Price Maintenance oleh Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga dapat diartikan pelaku usaha diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Padahal apabila diperhatikan dalam UU No.5/1999, ketentuan Resale Price Maintenance sebenarnya dapat dimasukan ke dalam Pasal 5 ayat (1) yang mana sudah melarang perjanjian penetapan harga diantara pelaku usaha. Karena larangan yang disebutkan oleh Pasal 5 ayat (1) juga seharusnya sudah mencakup mengenai larangan menentukan harga jual yang dibayar penjual kembali, maupun penetapan harga minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Maka sesungguhnya pasal 8 ini dapat dikatakan tidak diperlukan lagi. Karena Pasal 5 ayat (1) bisa di tafsirkan atau dianggap perjanjian yang diatur tersebut merupakan perjanjian horizontal ataupun vertikal. Meskipun memang interprestasi dari Pasal 8 UU No.5/1999 sebagai larangan perjanjian vertikal telah sesuai dengan standar hukum persaingan usaha internasional (Pasal 5 ayat (1) dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code UNTACD tahun 1994) yang mana menetapkan harga penjualan kembali atau tingkat harga tertentu adalah dilarang.

Bila memperhatikan bunyi Pasal 8 UU No.5/1999, pihak -pihak yang dimaksudkan oleh Pasal 8 haruslah pelaku usaha, dan membuat suatu perjanjian. pihak-pihak yang terlibat juga harus berada ditingkat pasar yang berlainan. Pasal 8 ditujukan bagi kepada perjanjian yang dibuat oleh pemasok dengan perantara, sedangkan perjanjian harga yang dibuat pelaku usaha dengan konsumen akhir tidak dapat dikenak an oleh pasal 8 UU No.5/1999.

Perumusan pasal mengenai Resale Price Maintenance dalam Pasal 8 UU No.5/1999 yang dirumuskan secara Rule of Reason dapat dikatakan menyimpang dari standar Internasional yang ada. Baik menurut sistem hukum Eropa maupaun Pasal 5 ayat (1) dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code menggolongkan semua perjanjian Resale Price Maintenance sebagai hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat. Dibandingkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999, maka pembatasan di Pasal 8 UU No.5/1999 patut diragukan. Apabila ingin ditekankan perlindungan tambahan terhadap penetapan harga seperti yang dirumuskan oleh Pasal 8, maka alangkah lebih baik apabila perjanjian penetapan harga yang dalam hal ini secara vertikal dilarang secara mutlak (per-se).

Kemudian Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 sebenarnya juga telah membatasi pemberlakuan ketentuan Resale Price Maintenance hanya kepada penerapan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan saja, bagaimana seandainya Resale Price Maintenance dengan kondisi pelaku usaha membuat perjanjian RPM dengan ketentuan tidak boleh menerapkan harga lebih tinggi daripada harga yang diperjanjikan?. Apakah Pasal 8 masih dapat diterapkan?

3) Pembagian Wilayah / market division

Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar merupakan salah satu strategi yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka, sehingga pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus melalui persaingan.

Menurut Stephen F. Ross dalam bukunya Principles of Antitrust Law menyatakan bahwa hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha dengan cara melakukan pembagian wilayah bisa membuat pelaku usaha untuk melakukan tindakan pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efesien, kemudian mereka juga dapat melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikan harga produk, dan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenan g-wenang terhadap

konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya. 41

Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif bila konsumen mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk membeli kebutuhannya. Misalkan pemilik Departemen store Matahari dan Ramayana bersepakat untuk melakukan pembagian pasar di antara mereka, Departemen store Ramayana hanya beroperasi dan menjalankan usahanya di wilayah Depok saja, sedangkan Departemen store Matahari akan beroperasi melayani wilayah Ibu kota Jakarta, andaikan konsumen di wilayah Depok ketika berbelanja di Ramayana merasa tidak puas, kemudian konsumen masih memiliki kemampuan untuk berbelanja di Departemen store Matahari Jakarta, meskipun lebih jauh dari tempat tinggalnya.

41 Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”. Westbury New York: The Foundation Press, Inc., 1993. p.147

Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi melalui bentuk pelaku usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas barang atau jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi usaha yang berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha yang terlibat di dalam praktek ini akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan aktifitas usahanya. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap konsumen. Tetapi di dalam ketentuan persaingan usaha di Amerika Serikat disebutkan bahwa sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi pelaku usaha itu sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam mengembangkan usaha mereka dan

hilangnya kesempatan mereka untuk meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya. 42

Secara garis besar perjanjian diantara pelaku usaha untuk membagi wilayah pemasaran pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap konsumen sehingga Undang-undang No.5/1999 Pasal 9 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian pembagian wilayah oleh oleh Undang- undang No.5/1999 khususnya Pasal 9 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga sebelum mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, pelaku usaha belum bisa dijatuhi hukuman berdasarkan pasal ini. Berbeda dengan pengaturan di banyak negara, dimana kegiatan perjanjian pembagian wilayah dikatagorikan sebagai tindakan yang pasti menghambat persaingan usaha dirumuskan secara per see. Seperti Hukum Persaingan Usaha di Amerika Serikat menyebutkan bahwa: “suatu jenis perjanjian yang selalu atau hampir memiliki kecenderungan untuk menaikan harga atau menurunkan jumlah produksi merupakan per see illegal (secara

42 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, Sections 1.2, 2.2, 3.1, 3.3, 3.31, 3.31(a).

mutlak dilarang) seperti perjanjian diantara pelaku usaha yang bertujuan untuk saling membagi atau mengalokasi pasar melalui alokasi pembali, pemasok, daerah atau sektor

perdagangan”. 43

4) Pemboikotan

Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk strategi yang dilakukan di antara pelaku usaha untuk mengusir pelaku usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan

pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut. 44

Dengan terusirnya pelaku usaha pesaing dan tidak bisa masuknya pelaku usaha yang berpotensial menjadi pesaing ke dalam pasar yang sama, berakibat terhadap semakin menurunnya tingkat persaingan, dan kemudian membuat pelaku usaha yang ada di dalam pasar melakukan praktek-praktek yang anti persaingan seperti melakukan praktek price fixing, pembagian wilayah, kartel dan sebagainya.

Agar praktek pemboikotan yang dilakukan para pelaku usaha yang berada di pasar dapat berjalan sukses, diperlukan partisipasi yang seluas mungkin dari pelaku usaha yang ada di dalam pasar yang bersangkutan, karena apabila tidak adanya dukungan atau keterlibatan secara luas para pelaku usaha yang ada di dalam pasar biasanya pemboikotan akan sulit untuk berhasil.