PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI KEKERASAN FISIK TERHADAP ANAK Taufik Hidayat
PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI KEKERASAN FISIK TERHADAP ANAK
Taufik Hidayat
Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang Jl. M. Yunus Lubuk Lintah e-mail: taufiiq_hidaayah@yahoo.com
Abstract: In order to provide solutions concerning with physical abuses toward children, Indonesia has issued
special regulation, namely UU No. 35 tahun 2014 about Perubahan (amendment) UU No. 23 Tahun 2002 about Child Protection. In line with this regulation, a study was carried out to figure out perspectives of Islamic civil law toward children’s physical abuses. This study belonged to normative yuridis through library study and employing yuridis normative analysis technique. The study showed that prohibitions agai nst children’s physical abuses were supported by the second Islamic civil law, namely hifzhan-nafs. However, using physical punishments are tolerated for reasons which have pointed out by the law. In addition, death penalty, imprison, and fine payment are similar to Islamic civil law with minor differences in implementation.
Kata kunci : hukum pidana Islam, kekerasan fisik, anak
PENDAHULUAN
alah satu nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya adalah nikmat anak.
Anak adalah karunia Allah Swt sebagai hasil perkawinan ayah dan ibu. Dalam kondisi normal ia adalah belahan jantung tempat bergantung di hari tua penerus cita-cita bangsa. Diakui bahwa dalam masa pertumbuhan baik secara fisik maupun mental anak membutuhkan perawatan, pembinaan agama, pendidikan, perlindungan khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah lahir. Di samping itu, diakui dan disadari bahwa keluarga dan masyarakat merupakan lingkungan alami bagi tumbuh kembang anak. Dalam perkembangan kepribadian anak secara utuh dan serasi akan membutuhkan lingkungan yang penuh kasih sayang dan diharapkan anak menghormati dan menjunjung tinggi norma agama, norma hukum serta norma- norma lainnya agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab.
Ada salah satu masalah dalam kriminalitas yang terus terjadi yaitu kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak dalam hukum positif negara Indonesia merupakan suatu tindak pidana. Barker (1987: 23) mendefenisikan child abuse : “the recurrent infliction of physical or emotional injury on a deependet minor, trogh intentional beatings, uncontroled corporal punishment, persitent redicule and degradation, or sexual abose, usually comit.th.ed by parents or other in carge of the child’s care” (kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai berulang-ulang baik secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tidak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan pada orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak).
Tindak kekerasan terhadap anak seringkali tidak mudah diungkap, karena kekerasan terhadap anak, khususnya di dalam keluarga,
116 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016
pada hakekatnya bersifat pribadi. Hal ini
didukung pula oleh persepsi masyarakat bahwa
persoalan-persoalan yang terjadi dalam keluarga
adalah persoalan interen keluarga dan tidak layak Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini untuk dicampuri. Persepsi ini menimbulkan (Mekah). Dan kamu (Muhammad) bertempat sikap diam atau pasif dari masyarakat sekitar di kota Mekah ini. Dan demi bapak dan anak, sehingga budaya kekerasan fisik terhadap anaknya. (Q.S. al-Balad [90]: 1-3). anak tetap berlangsung dan kelangsungan hidup
anak menjadi lebih terancam. Dalam ayat di atas Allah Swt telah Kekerasan terhadap anak seringkali
bersumpah dengan anak sebagai bukti kecintaan diidentikan dengan kekerasan kasat mata, seperti
Tuhan terhadap anak. Pelajaran yang diberitahu kekerasan fisikal dan seksual. Padahal, kekerasan
oleh Allah Swt melalui sumpah-Nya, bahwa yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga
Allah Swt memenuhi janji-Nya untuk membawa dampak buruk dan permanen
penaklukan kota Mekkah dari tangan kafir terhadap anak. Karenannya, istilah child abouse
Quraiys , menyelamatkan manusia dan juga anak- atau perlakuan salah terhadap anak bisa
anak.
terentang mulai dari yang bersifat fisik (phsycal abuse ) hingga seksual (sexsual abuse); dari yang
METODE PENELITIAN bermakna psikis (mental abuse) hingga sosial
(social abuse) yang berdimensi kekerasan Penelitian ini adalah penelitian hukum struktural (Abu Huraerah, 2006: 22).
normatif melalui penelitian perpustakaan. Untuk menanggulanginya telah terjadi dua
Adapun sumber data yang dipergunakan adalah kali perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang
sumber data sekunder yang mencakup: Perlindungan Anak. Perubahan pertama yaitu
1. Bahan hukum primer yaitu UU No. 35 Tahun UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU
2014 tentang perubahan UU No. 23 tahun No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2002 tentang Perlindungan Anak, Alquran dan perubahan kedua dikeluarkannya PERPPU
dan Hadis.
No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU
2. Bahan hukum sekunder yaitu penjelasan No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
undang-undang, hasil penelitian hukum, Kasus kekerasan terhadap anak sulit diungkap
kitab-kitab tafsir, ushûl fiqh dan fiqh. kepermukaan atau merupakan fenomena
3. Bahan hukum tersier yakni kamus hukum gunung es meskipun kasusnya sering
dan ensikplopedi hukum. teridentifikasi.
Dalam pengolahan data yang penulis Perlu dikemukakan di sini bahwa
peroleh, penulis akan menggunakan teknik perhatian syariat Islam terhadap perlindungan
analisis yuridis normatif sesuai dengan metode anak sudah dimulai sejak kurang lebih 1398
penelitian yang penulis gunakan yaitu penelitian tahun yang lalu. Islam selalu memelihara
hukum normatif, yang meliputi tahap-tahap kepentingan anak bukan hanya setelah lahir,
sebagai berikut :
melainkan semenjak ia masih berada dalam
1. Identifikasi bahan hukum tertulis yaitu kandungan. Islam secara khusus telah
identifikasi kekerasan fisik yang terdapat menggariskan hak-hak yang harus diberikan
dalam UU No. 35 Tahun 2014; pada anak.
2. Merumuskan pengertian-pengertian hukum Dalam Alquran surat al-Balad ayat 1, 2, dan
yaitu penulis akan merumuskan pengertian 3:
Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik terhadap Anak ║ 117
kekerasan fisik dalam konsep hukum pidana digambarkan oleh Alquran dalam bentuk Islam.
do’a-do’a orang tua. Allah berfirman:
3. Pembentukan standar-standar
hukum
dengan memperhatikan pengertian tindak
pidana dan unsur-unsur tindak pidana dalam Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau hukum pidana Islam.
seorang anak yang baik (Q.S. Ali ‘Imrân
4. Perumusan kaidah-kaidah hukum.
Dalam menetukan hukum kekerasan fisik Do’a setiap muslim hendaklah terhadap anak menurut pandangan hukum
menginginkan anak yang baik atau dzurriyyatan Islam, pertama penulis akan berpedoman
thayyibatan . Kata dzurriyyatan thayyibatan (anak kepada sumber hukum Islam yang tertulis
yang baik) menurut berbagai ulama tafsir (nushûs) yaitu Alquran dan Hadis yang juga
diartikan dengan anak yang shaleh. Diantaranya merupakan dalil hukum Islam yang disepakati
dalam tafsir al-Kasyfu wa al-Bayân dijelaskan (‘adillah mutthfaq ‘alaihâ). Penggalian hukum Islam
bahwa dzurriyyatan thayyibatan (anak yang baik) dari Alquran dan hadis ini juga sesuai dengan asas
adalah keturunan yang shaleh, bertakwa, legalitas dalam fiqh jinâyah yaitu:
menyenangkan dan diberkahi (Tafsir al-Kasyfu
صن لاب ةبوقع لاو ةيمرج ا wa al-Bayan, t.th.: 59). Tafsir yang senada juga
ل terdapat dalam Tafsîr Tsa’labî bahwa anak yang baik adalah keturunan yang bertakwa lagi shaleh
Tidak ada tindak pidana dan tidak ada (al Tsa’labi t.th., 416). Sedangkan dalam tafsir- hukuman tanpa adanya aturan
tafsir lain, anak yang baik ditafsirkan sebagai Setelah itu penulis akan berpedoman
anak yang shaleh.
kepada ijmâ ’ dan qiyâs karena juga merupakan Kehadiran anak yang shaleh sangat dalil hukum Islam yang disepakati (‘adillah diidam-idamkan oleh pasangan suami istri mutth afaq ’alaihâ). karena selain dapat berbakti kepada kedua orang
tua, do’a anak yang shaleh juga diijabah oleh
PEMBAHASAN
Allah Swt.
Karena begitu pentingnya arti anak bagi Anak mempunyai arti yang sangat penting
hidup manusia, anak digambarkan sebagai dalam kehidupan manusia. Ia merupakan mata perhiasan kehidupan dunia Allah berfirman: rantai dan proses pelanjut keberadaan manusia
dari generasi ke generasi. Ia adalah manusia masa
depan. Dalam konteks yang lebih khusus Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan (konteks keluarga) anak merupakan penerus dunia (Q.S. al-Kahfi [18]: 46)
keturunan. Selain itu, telah menjadi naluri manusia bahwa mereka mendambakan anak-
Perhiasan kehidupan ini merupakan hal anak mereka sebagai penyambung keturunan
yang dinanti-nanti oleh pasangan suami istri, ia yang baik dan menyenangkan hati. merupakan berita yang menggembirakan bagi
kedua orang tuanya.
Kehadiran anak dinanti-nantikan oleh setiap keluarga baru, sebagai penerus keturunan
mereka. Tangisan bayi yang baru lahir akan
disambut dengan penuh gembira dan harapan Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar oleh kedua orang tuanya. Secara indah hal ini
gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang bernama Yahya. (Q.S. Maryam [19]: 7)
118 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016
Kedudukan anak sebagai perhiasan berbagai kewajiban orang tua yang harus kehidupan dunia bagi orang tua kadang-kadang
dipenuhi.
hanya untuk dibangga-banggakannya. Oleh Pertama , kewajiban memberi nafkah. Islam sebab itu Allah juga menjelaskan dalam Alquran
memerintahkan setiap orang untuk memberikan bahwa anak juga merupakan cobaan. Allah
nafkah kepada keluarga terdekatnya termasuk berfirman:
anak-anaknya. Allah berfirman:
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar . (Q.S. at-Taghâbun [64] : 15) Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya , (Q.S. al Isrâ’ [17]: 26)
Dalam kedudukannya sebagai cobaan, kehadiran anak menguji orang tua mereka,
Kedua , kewajiban untuk memelihara anak, apakah mereka mampu merawat, mengasuh
terutama dalam bentuk pendidikan dan dan mendidiknya, sehingga anak tersebut
bimbingan, agar mereka terlindung dari hal-hal tumbuh dan berkembang sebagai pelanjut
mereka kepada keturunan yang baik atau lebih khusus lagi
yang
menjerumuskan
kemungkaran. Allah berfirman : menjadi anak yang shaleh yang selalu
mendo’akan orang tuanya meskipun mereka
sudah meninggal dunia. Kehidupan adalah anugerah Allah Swt
oleh sebab itu setiap jiwa harus dihormati dan
karena itu tidak seorangpun boleh merampas Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu hak hidup seorang anak apapun alasanya. dan keluargamu dari api neraka yang bahan
Sehubungan dengan hak hidup, Allah Swt juga bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya melarang pembunuhan terhadap anak. Sampai
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak Allah Swt menyatakan bahwa ia telah menjamin
mendurhakai Allah terhadap apa yang rezeki anak dan orang tuanya.
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu Allah berfirman:
mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-
َّنِإ ْمُكاَّيِإَو ْمُهُ قُزْرَ ن ُنَْنَ ق َلاْمِإ َةَيْشَخ ْمُكَد َلاْوَأ اوُلُ تْقَ ت َلا Tahrîm [66]: 6) َو
Dalam rangka memelihara diri dan
keluarga yang dimaksud oleh ayat di atas, Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
tentulah tercakup tentang kewajiban Karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberikan pendidikan jasmani maupun memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
rohani. Hal itu bisa kita pahami dari sabda Nabi Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu
Muhammad Saw.:
dosa yang besar. (Q.S. al- Isrâ’ [17]: 31).
Ayat di atas menegaskan tentang hak kelangsungan hidup bagi setiap anak yang lahir.
Dalam rangka menunjang kelangsungan hidup tersebut, agama Islam menggariskan tentang
Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik terhadap Anak ║ 119
Rasulullah Saw. bersabda : “Muliakanlah anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang anakmu dan baguskanlah pendidikanya” (H.R. Ibn
dengan wajar.
Mâjah)
Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai
Ketiga , kewajiban berlaku adil terhadap
Kekerasan Fisik terhadap Anak
anak. Orang tua wajib berlaku adil bagi anak- anaknya. Sebab setiap anak mempunyai
Kekerasan fisik terhadap anak merupakan kedudukan yang sama. Nabi bersabda:
terminologi baru dalam hukum pidana Indonesia yang tidak dijumpai dalam KUHP, hal ) ملس لما ُور ( مكد لاوا ينب اول دعاو اللهوقتاا ini baru muncul dalam UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak namun belum Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah di
ditemukan defenisi tentang kekerasan terhadap antara anak-anakmu ( H.R. Muslim)
anak tersebut. Defenisi kekerasan terhadap anak Perlakuan yang tidak adil akan
ini baru ditemukan setelah terjadi perubahan menimbulkan perasaan dianakemaskan dan
terhadap UU No. 23 tahun 2002 menjadi UU No. dianaktirikan di antara anak-anak. Kedua-
35 tahun 2014 tentang perubahan UU No. 23 duanya membawa pengaruh yang negatif
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. terhadap kehidupan keluarga dan khususnya
Dalam Pasal 1 angka 15 (a) UU No. 35 terhadap perkembangan anak-anak.
tahun 2014 dijelaskan bahwa “kekerasan adalah Dalam muzakarah MUI yang bekerjasama
setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat dengan UNICEF (1988) menyebutkan bahwa
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara hak-hak anak yaitu:
fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
1. Hak untuk hidup; termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, Hal ini berarti mereka harus memperoleh
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan perlindungan dari segala macam yang dapat
secara melawan hukum”.
mengancam kehidupanya. Dalam tindak pidana kekerasan fisik yang
2. Hak untuk memperoleh nafkah; terdapat dalam Pasal 1 angka 15 (a) di atas Hal ini berarti orang tua, keluarga,
terdapat beberapa unsur yaitu: masyarakat dan pemerintah tidak boleh
1. Setiap perbuatan terhadap anak. membiarkan anak-anak hidup terlantar dan
2. Berakibat timbulnya kesengsaraan atau tidak terurus.
penderitaan fisik.
3. Hak untuk memperoleh pemeliharaan; Melihat kedua unsur yang terdapat dalam Hal ini berarti bahwa anak harus dapat
tindak pidana kekerasan fisik terhadap anak di perawatan dan pendidikan sebaik-baiknya
atas, maka kekerasan fisik terhadap anak dilarang agar mereka tumbuh secara wajar dan
dalam hukum pidana Islam karena hal tersebut mampu menjawab tantangan yang akan
bertentangan dengan konsep pemeliharaan diri dihadapinya.
(hifz an-nafs). Larangan ini sejalan dengan
4. Hak untuk memperoleh perlakuan adil; maqâshid syarî’ah yaitu untuk kemaslahatan Hak untuk mendapat perlakuan adil
dunia dan akhirat dengan memelihara lima hal ini berarti orang tua tidak boleh bersikap
unsur pokok dalam kehidupan manusia yaitu: pilih kasih terhadap anak-anaknya.
agama, diri, akal, keturunan, dan harta. Pemenuhan terhadap hak-hak itu merupakan
Pada dasarnya, perbuatan-perbuatan yang salah satu faktor untuk kelangsungan hidup anak
dilarang dalam hukum pidana Islam diharamkan kepada semua orang secara umum.
120 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016
Meski demikian hukum pidana Islam melihat Dari ‘Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari adanya pengecualian atas dasar ini, yaitu
kakeknya berkata : Rasulullah SAW telah pembolehan sebagian perbuatan yang dilarang
bersabda : “Suruhlah anak kalian shalat sejak bagi orang-orang yang memiliki karakter khusus
usia 7 tahun dan pukullah ia apabila sebab kondisi seseorang dan keadaan
meninggalkan shalat bila telah berusia 10 tahun masyarakat menuntut pembolehan ini. Juga
dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara karena orang-orang yang diperkenankan untuk
laki-laki dan perempuan) masing- masing”. melakukan perbuatan yang dilarang sebenarnya
(H.R. Abu Dawud).
melakukannya untuk mencapai suatu tujuan dan
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam beberapa tujuan Islam ( ‘Abdul Qâdir ‘Audah,
Turmidzî, Ibnu Khuzaimah dan Darâmî 2002: 406), artinya perbuatan yang dikerjakan
sebagai berikut :
tetap dilarang tetapi tidak dijatuhi hukuman (Ahmad Hanafi, 1993: 209).
Adapun bentuk-bentuk keadaan yang dikecualikan dan membolehkan melakukan
perbuatan yang terlarang bagi orang-orang yang
memiliki karakter khusus sebab kondisi
seseorang atau keadaan masyarakat yang
menuntut adanya pembolehan ini sebagai Dari ibunya ‘Abdul Mâlik bin Rabî’ bin berikut ( ‘Abdul Qâdir ‘Audah, 2002: 406): Sabrah dari Ayahnya dari Kakeknya ia
1. Dalam pembelaan syar’i. berkata, Telah bersabda Rasulullah Saw:
2. Dalam mendidik. “Ajarilah anak kalian shalat waktu berusia 7
3. Dalam pengobatan. tahun dan pukullah mereka apabila
4. Dalam permainan kesatriaan. meninggalkan shalat sewaktu berusia 10
5. Dalam halalnya jiwa, anggota badan dan tahun. ” (H.R. Turmidzî, Ibn Khuzaimah). harta seseorang.
6. Dalam hak dan kewajiban penguasa. Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal, sebagai berikut : Hukum Islam melarang semua bentuk
kekerasan fisik terhadap anak, akan tetapi dalam
permasalahan tertentu dan dalam aturan tertentu
diperbolehkan menggunakan tindakan ta’dib (pengajaran) demi kemaslahatan anak untuk
masa depan. Terdapat beberapa hadis mengenai
hal ini yaitu:
1. Dari Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abû kakeknya berkata: Rasulullah Saw telah
Dawud Rasulullah menyampaikan: bersabda : “Apabila usianya telah sampai
tujuh tahun suruhlah anak-anak kalian shalat
مهو ةلاصلاب مك dan pukullah mereka apabila meninggalkan دلاوأ اورم ملسو هيلع الله ىلص للَّا
shalat bila telah berusia 10 tahun dan
يننس رشع ءانبأ مهو اهيلع مهوبرضاو يننس عبس ءانبأ pisahkanlah mereka (antara laki-laki dan
perempuan) di tempat tidurnya masing-
)دود وبا ُور( عجاضلما فى مهنيب اوقرفو masing”. (H.R. Ahmad).
Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik terhadap Anak ║ 121
4. Hadis yang diriwayatkan oleh Dâruqutnî dan
Baihaqî, sebagai berikut :
Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila
yang akalnya tertutup sampai sembuh orang yang tidur sehingga bangun dan anak kecil sehingga
Telah mengabarkan kepada kami Umar bin baligh Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Hakim).
Rasulullah Saw telah bersabda : “Suruhlah Pengajaran dalam bentuk pemukulan anak kalian shalat di usia 7 tahun dan
terhadap anak merupakan kewajiban dari para pukullah ia apabila meninggalkan shalat di
wali artinya pemukulan ini adalah pemukulan usia 10 tahun dan pisahkan mereka di tempat
dalam konteks pendidikan bukan penyiksaan. tidurnya masing- masing”. (H.R. Dâruqutnî
Pemukulan ini adalah hukuman yang bersifat dan Baihaqî).
mendidik bagi anak yang tidak mau
5. Hadis yang diriwayatkan oleh Dâruqutnî : melaksanakan kewajibannya. Kewajiban anak ini
: ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر لاق لاق سنأ نع diatur dalam Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2002,
bahwa anak berkewajiban untuk:
ثلاثل اهيلع مهوبرضاو يننس عبسل ةلاصلاب مهورم 1. Menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan
menyayangi teman;
Dari Anas yang telah berkata, Rasulullah Saw
3. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara; bersabda: “Suruhlah mereka shalat di umur 7 tahun
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran dan pukullah mereka apabila meninggalkan shalat
agamanya; dan
di umur 13 Tahun. (H.R. Dâruqutnî).
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Syekh Jalaludin al-Mahali (t.th.: 121)
Praktisi hukum Hasan al- ‘Asymâwî menyampaikan, apabila anak telah berumur 7
mengatakan: pengunaan hukuman itu tahun maka orang tua sudah boleh
diperbolehkan ketika anak-anak kita tidak peduli memerintahkan anaknya shalat dan dipukul
dan tidak respon terhadap perasaan dan hak-hak apabila ia berumur 10 tahun (apabila
orang lain. Jika hukuman memang diperlukan, meninggalkannya). Memukul adalah kewajiban
hendaknya kita ketahui bahwa dalam pemberian bagi para wali (ayah atau kakek atau orang yang
hukuman itu ada tahap-tahapannya, tidak boleh telah diberi wasiat atau penanggung jawab)
menempuh hukuman yang lain kecuali (Jalaluddîn al-Mahalî, t.th.: 121). Shalat merupakan
hukuman yang kita diberikan benar-benar sesuai. kewajiban yang telah menjadi beban taklif bagi
Terkadang melihat anak dengan rasa tidak manusia yang telah dewasa (akil baligh), usia itu
senang, bagi anak (bahasa tubuh) sudah cukup, penulis perkirakan umur 10 tahun sesuai dengan
atau penolakan terhadap sikap mereka mungkin Hadis, karena tidak mungkin hukum diterapkan
sudah cukup dan terakhir dengan cara memukul pada anak yang belum dewasa. Rasulullah Saw
mereka. Memukul anak merupakan hal yang bersabda:
perlu jika semua hukuman tidak digubris dan semuanya telah berlalu tanpa memberikan efek jera. Memukul anak sebagai sebuah hukuman harus diletakkan dalam konteks seperti
122 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016
larangan-larangan yang lain. Menggunakannya bertanggung jawab selama pemukulan tersebut boleh ditempuh jika itu perlu (darûrî), yaitu
pantas dianggap sebagai pendidikan dan berada dengan cara hati-hati dan penuh kesabaran
dalam batas-batas yang dibolehkan. Adapun jika (Muhammad Nabîl Kâdzim, 2009: 20).
pemukulan tersebut dengan keras dan tidak Oleh karena itu, menghukum anak
dianggap sebagai pendidikan, orang yang bertujuan untuk mendidik anak. Adapun syarat-
memukul harus mempertanggungjawabkan syarat dalam mendidik anak sebagaimana yang
perbuatannya tersebut secara pidana. (‘Abdul dijelaskan oleh ‘Abdul Qâdir ‘Audah (t.th.: 446):
Qâdir ‘Audah, t.th.: 446).
1. Pendidikan wajib diberikan kepada anak kecil Imâm Syâfi’î berpendapat bahwa pendidik atas kesalahan yang telah dilakukannya,
bertanggung jawab atas kerusakan tubuh anak bukan atas kesalahan yang dikhawatirkan
dan kerusakan sebahagian anggota tubuhnya dilakukannya,
pada semua keadaan karena pendidikan adalah
2. Pemukulan terhadap anak kecil juga tidak haknya, bukan kewajibannya. Karena ia berhak sampai melukainya, namun disesuaikan pada
membiarkan atau melakukannya. Jika dia keadaan dan usianya,
menggunakan hak tersebut, ia harus
3. Tidak pada muka dan tempat-tempat yang bertanggung jawab atas akibat dari tindakannya. dikhawatirkan rawan seperti perut dan
(‘Abdul Qâdir ‘Audah, t.th.: 447). kepala,
Adapun Imâm Abû Hanîfah secara pribadi
4. Harus dengan maksud pendidikan dan tidak berpendapat bahwa ayah, kakek dan orang yang berlebih-lebihan,
diserahi wasiat atas anak kecil bertanggung
5. Harus dianggap sebagai pendidikan untuk jawab atas kerusakan tubuh anak atau kerusakan anak-anak.
sebagian anggota tubuhnya, sebagaimana suami bertanggung jawab pada istrinya. (‘Abdul Qâdir
Memukul anak dalam hukum pidana
‘Audah, t.th.: 447).
Islam merupakan hal yang dilegalkan dalam Jelaslah bahwa Imam Mujtahid yang
konteks mendidik. Dalam buku as-syibhan empat telah bersepakat bahwa setiap orang yang
karangan Syaikh Syamsuddîn al-Ambâbî melakukan pengajaran yang bersifat menganiaya
menyebutkan tentang tata cara memukul anak (kekerasan fisik) harus mempertanggung
yang benar (syarat-syarat memukul): jawabkan perbuatannya secara hukum.
1. Memukul harus dilakukan berselang-seling Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa
2. Harus diberikan jarak antara dua pukulan, hukum pidana Islam membenarkan pengajaran sedangkan jeda waktu itu sekiranya efek
walaupun dalam bentuk pemukulan asalkan pukulan pertama telah berkurang,
tidak dalam konteks penganiayaan yang
3. Dalam memukul tidak boleh mengangkat berakibat kesengsaraan atau penderitaan bagi siku, supaya efek sakit yang ditimbulkan tidak
anak. Akan tetapi jika terlepas dari ketentuan berbahaya,
yang telah diuraikan di atas maka kekerasan
4. Seorang pengasuh tidak boleh memukul tersebut termasuk tindak pidana penganiayaan
ketika ia sedang marah, dalam hukum pidana Islam. Hal inilah yang
5. Urungkan niat untuk memukul anak ketika disebutkan dalam UU No. 35 Tahun 2014 Pasal
dia menyebut nama Allah,
6. Tidak boleh memukul anak kecuali ia tersebut (1) Anak di dalam dan di lingkungan berusia 10 tahun.
satuan pendidikan wajib mendapatkan Menurut pendapat Imâm Mâlik dan Imâm
perlindungan dari tindak kekerasan fisik, Ahmad bin Hambal orang yang memukul tidak
psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan
Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik terhadap Anak ║ 123
lainnya yang dilakukan oleh pendidik, (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan tenaga kependidikan, sesama peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 C, didik, dan/atau pihak lain.
dipidana dengan pidana penjara paling (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada
lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga
dan/atau denda paling banyak Rp. kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta Masyarakat.
rupiah).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan Dalam hal anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) luka berat, maka pelaku bahwa tindak pidana kekerasan terhadap anak
dipidana dengan pidana penjara paling merupakan tindak pidana dan dilarang dalam
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda hukum pidana Islam. Akan tetapi pertanggung
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus jawaban pidana hapus jika ada sebuah
juta rupiah).
kemaslahatan yang lebih penting. Seperti halnya
dalam mendidik. Ajaran Islam memperbolehkan Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana memukul dalam mendidik tentunya
dengan pidana penjara paling lama 15 berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan.
(lima belas) tahun dan/atau denda paling Jika kekerasan fisik terhadap anak keluar dari
banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum
rupiah).
Islam, maka hal ini tergolong kepada tindak
pidana penganiayaan terhadap anak. Adapun Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat hukuman bagi pelaku tindak pidana kekerasan
(2), dan ayat (3) apabila yang melakukan terhadap anak ini sama halnya dengan
penganiayaan tersebut Orang Tuanya. hukuman bagi pelaku tindak pidana
penganiayaan dalam hukum pidana Islam. Undang-Undang di atas menyebutkan bahwa hukuman bagi pelaku kekerasan fisik
Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai
terhadap anak adalah hukuman penjara dan
Sanksi bagi Pelaku Tindak Pidana Kekerasan
denda.
Fisik terhadap Anak
Dalam pidana hukum Islam, tindak Sebelum melihat bagaimana pandangan
pidana kekerasan fisik terhadap anak ini bisa hukum Islam mengenai sanksi bagi pelaku
tergolong pada tindak pidana penganiayaan kekerasan fisik terhadap anak terlebih dahulu
karena mengakibatkan kerusakan bagi tubuh akan diuraikan Undang-undang yang mengatur
anak juga bisa tergolong tindak pidana sanksi hukum bagi pelaku tindak kekerasan
pembunuhan jika kekerasan tersebut terhadap anak.
mengakibatkan hilangnya nyawa anak. Terdapat dalam UU No. 35 Tahun 2014
Menurut para fuqahâ’ tindak pidana diatur dalam Pasal 76 C, yaitu:
penganiayaan adalah setiap perbuatan yang
1. Pasal 76 C; menyakitkan mengenai badan seseorang namun Setiap orang dilarang menempatkan,
tidak mengakibatkan kematian. Ini pendapat membiarkan, melakukan, menyuruh
yang sangat teliti dan mampu memuat setiap melakukan, atau turut serta melakukan
bentuk melawan hukum dan kejahatan yang bisa kekerasan terhadap Anak
digambarkan, sehingga masuk di dalamnya:
2. melukai, memukul, mendorong, menarik,
Pasal 80; memeras, menekan, memotong rambut,
124 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016
mencabut rambut dan lain-lain. ( ‘Abdul Qâdir sampai menghilangkan nyawa anak maka ‘Audah, t.th.: 180).
pelaku juga harus dibunuh.
Tindak pidana penganiayaan ini terbagi Adapun sumber hukum Islam mengenai menjadi tindak pidana penganiayaan sengaja
qisâsh sebagai hukuman pokok tindak pidana dan tidak sengaja. Penganiayaan sengaja adalah
penganiayaan sengaja adalah Alquran surat al- perbuatan yang dilakukan pelaku secara sengaja
Baqarah ayat 178-179, sebagai berikut: dengan maksud melawan hukum. Misalnya: seorang guru yang memukul muridnya dengan
tujuan menganiaya muridnya. Adapun tindak pidana penganiayaan yang tidak sengaja yaitu
perbuatan yang dilakukan pelaku tanpa ada niat
untuk melawan hukum. Misalnya : seorang melempar batu tanpa ia sadari batu tersebut
mengenai anak kecil. Adapun hukuman bagi tindak
penganiayaan sengaja dibagi menjadi dua yaitu
hukuman pokok dan hukuman pengganti. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
Adapun hukuman pokoknya adalah qisâsh dan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
hukuman penggantinya adalah diyat dan takzîr. orang yang dibunuh; orang merdeka dengan Qisâsh adalah hukuman pokok untuk
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan tindak pidana penganiayaan disengaja sedangkan
wanita dengan wanita. Maka Barang siapa diyat dan takzîr adalah hukuman pengganti
yang mendapat suatu pema'afan dari yang menempati posisi qisâsh. (Ahmad Wardi
saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) Muslich, 2005: 185). Untuk tindak pidana
mengikuti dengan cara yang baik, dan penganiayaan tidak sengaja hukuman pokoknya
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar adalah diyat atau denda, yaitu satu-satunya
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara hukuman pokok dan tidak ada hukuman
yang baik (pula). yang demikian itu adalah pengganti yang sesuai untuk diyat. Akan tetapi
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu apabila lembaga peradilan menghendaki untuk
rahmat. Barang siapa yang melampaui batas menjadikan hukuman tindak pidana ini dengan
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat takzîr sebagai hukuman pokok ataupun
pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan pengganti tidak ada nash agama yang
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang- melarangnya. (Ahmad Wardi Muslich, 2005:
orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. 225).
(Q.S. al-Baqarah [2]: 178-179) Hukum Islam menjatuhkan hukuman
Ayat ini menjelaskan tentang keharusan qisâsh bagi pelaku tindak pidana penganiayaan.
bagi penguasa memberlakukan hukuman qisâsh Adapun qisâsh itu sendiri adalah menghukum
atas para pelaku tindak pembunuhan. Yaitu pelaku sama seperti apa yang telah ia lakukan
apabila seseorang melakukan tindak terhadap korban. Jika pelaku melakukan
pembunuhan terhadap orang lain maka ia harus kekerasan fisik terhadap anak hingga anak
dibunuh pula. Ungkapan لتقلا يف dalam ayat ini tersebut luka atau patah tulang maka pelaku juga
tidaklah menunjukkan kepada kekhususan. harus dilukai atau dipatahkan tulangnya.
Artinya hukuman qisâsh tidak hanya dijatuhkan Apabila kekerasan terhadap anak tersebut
pada pelaku tindak pidana pembunuhan saja,
Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik terhadap Anak ║ 125
tetapi juga diberlakukan pada pelaku tindak apalagi perlawanan yang setimpal. Contoh, pidana penganiayaan lainnya secara fisik, seperti
apabila seseorang akan melakukan kekerasan melukai atau memotong anggora tubuh. (Kadar
fisik terhadap anak kecil dengan pisau ternyata M. Yusuf, 2011: 318). Dalam alquran surat al-
anak tersebut juga memiliki pisau yang Maidah ayat 45 ditegaskan:
akan membalas, maka ia tentunya akan mengurungkan niatnya karena ia tahu bahwa anak kecil itu juga akan melukai, menyayat
ِْينَعْلاِب َْينَعْلاَو ِسْفَّ نلاِب َسْفَّ نلا َّنَأ اَهيِف ْمِهْيَلَع اَنْ بَتَكَو َحوُرُْلْاَو ِ نِ سلاِب َّنِ سلاَو ِنُذُْلْاِب َنُذُْلْاَو ِفْنَْلْاِب َفْنَْلْاَو bahkan membunuh dirinya.
Qisâsh sebagai hukuman pokok ini bisa
اَِبِ ْمُك terhalang dan akhirnya hukuman inipun tidak َْي َْلَ ْنَمَو ُهَل ٌةَراَّفَك َوُهَ ف ِهِب َقَّدَصَت ْنَمَف ٌصاَصِق diterapkan karena beberapa sebab. Sebab َنوُمِلاَِّلا ُمُه َكِئَلوُأَف َُّللَّا َلَزْ نَأ
terhalang qisâsh ini terbagi menjadi dua yaitu Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di
sebab umum dan sebab khusus (Ibnu Rusyd, dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
t.th.: 304). Adapun sebab umum qisash menjadi (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,
terhalang yaitu pertama, korban bagian dari hidung dengan hidung, telinga dengan
pelaku, jika korban bagian dari pelaku maka telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun)
qisash terhalang, korban termasuk bagian dari ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan
pelaku jika korban adalah anak dari pelaku. (hak kisas)-nya, Maka melepaskan hak itu
Kedua, tidak ada kesetaraan antara korban dan (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa
pelaku sehingga tidak ada hukuman qisash. tidak memutuskan perkara menurut apa yang
Ketiga, perbuatan harus menyerupai disengaja. diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
Keempat, tindak pidana terjadi di Dar al-Harb orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Maidah [5]:
(negara non muslim). Kelima, perbuatan 45).
dilakukan secara tidak langsung. Keenam, qisash Qisâsh adalah hukuman yang paling adil
tidak mungkin dilaksanakan. (Ahmad Wardi dalam penjatuhan hukuman di atas muka bumi
Muchlis, 2005: 186-188).
ini, baik masa dahulu maupun masa sekarang. Qisâsh pada tindak pidana penganiayaan Karena pelaku dihukum sesuai dengan apa yang
bisa gugur oleh tiga faktor yang pertama yaitu, dilakukannya. Qisash adalah hukuman terbaik
hilangnya tempat qisâsh, kedua, adanya untuk melindungi masyarakat dari tindakan-
pengampunan dan ketiga, adanya akad damai. tindakan kriminal, karena pelaku kriminal sendiri
(‘Abdul Qâdir ‘Audah, t.th.: 226). akan berpikir ke belakang artinya apabila ia
Dalam hukuman qisâsh korban diberi melakukan kejahatan pada diri orang lain ia akan
wewenang untuk mengampuni hukuman menanggung akibat yang serupa bagi dirinya
qisâsh , dengan memaafkan, maka gugurlah sendiri.
hukuman qisâsh tersebut. Korban memiliki hak Pada dasarnya seseorang dengan berani
untuk meminta ganti rugi berupa diyat kepada melakukan kekerasan fisik terhadap anak karena
pelaku. Apabila pemaafan ini secara cuma-cuma ia menganggap anak kecil tersebut tidak akan
maka pelaku tetap dikenai hukuman yaitu memberikan balasan kepadanya. Akibat dari hal
berupa hukuman takzîr dari pemerintah. ini ia tidak akan takut dan segan-segan untuk
Kedua hukuman diyat. Hukuman diyat melakukan tindak kekerasan fisik terhadap anak.
merupakan hukuman pengganti pada tindak Sebaliknya pelaku akan takut bila seandainya ia
pidana pembunuhan dan penganiayaan sengaja akan mendapat perlawanan dari anak kecil
serta hukuman pokok pada tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan tidak sengaja.
126 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016
Adapun dalil Alquran mengenai diyat sebagai Barang siapa membunuh seorang mukmin hukuman pengganti adalah surat al-Baqarah
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan ayat 178 :
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
ُّرُْلْا ىَلْ تَقْلا ِفي ُصاَصِقْلا ُمُكْيَلَع َبِتُك اوُنَماَء َنيِذَّلا اَهُّ يَأاَي ْنِم ُهَل َيِفُع ْنَمَف ىَثْ نُْلْاِب ىَثْ نُْلْاَو ِدْبَعْلاِب ُدْبَعْلاَو ِ رُْلْاِب mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia
(si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
َكِلَذ ناَسْحِإِب ِهْيَلِإ ٌءاَدَأَو ِفوُرْعَمْلاِب ٌعاَبِ تاَف ٌءْيَش ِهيِخَأ Perjanjian (damai) antara mereka dengan
ُهَلَ ف َكِلَذ َدْعَ ب ىَدَتْعا ِنَمَف ٌةَْحمَرَو ْمُكِ بَر ْنِم ٌفيِفَْت .ٌميِلَأ ٌباَذَع terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa atas kamu qishash berkenaan dengan orang-
dua bulan berturut-turut untuk penerimaan orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
taubat dari pada Allah dan adalah Allah Maha orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. an- wanita dengan wanita. Maka Barang siapa
Nisa’ [4]: 92)
yang mendapat suatu pema'afan dari Diyat baik sebagai hukuman pokok saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
maupun hukuman pengganti, jika dimutlakan mengikuti dengan cara yang baik, dan
berarti diyat sempurna yaitu seratus ekor unta. hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
Adapun diyat yang kurang dari diyat sempurna (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara
disebut dengan arsy atau denda. Akan tetapi yang baik (pula). yang demikian itu adalah banyak fuqahâ’ yang memakai kata diyat pada suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu arsy . Arsy ini terbagi kepada dua macam yaitu, rahmat. Barang siapa yang melampaui batas arsy yang telah ditentukan dan arsy yang belum sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat ditentukan. Arsy yang telah ditentukan adalah pedih. (Q.S. al-Baqarah [2]: 178) arsy yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah,
Diyat merupakan hukuman pokok pada seperti tangan dan kaki. Adapun arsy yang tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan
belum ditentukan adalah arsy yang tidak ada tidak disengaja. Adapun dasar penetapan hal ini
nash dan ketentuannya diserahkan kepada adalah Alquran surat an- Nisa’ ayat 92 :
hakim ini yang disebut arsy hukum atau
kebijakan. ( اًنِم ‘Abdul Qâdir ‘Audah, t.th.: 1, 230). ْؤُم َلَتَ ق ْنَمَو ًأَطَخ َّلاِإ اًنِمْؤُم َلُتْقَ ي ْنَأ نِمْؤُمِل َناَك اَمَو
Ketiga hukum takzîr. Imam Malik
ْنَأ َّلاِإ ِهِلْهَأ َلَِإ ٌةَمَّلَسُم ٌةَيِدَو ةَنِمْؤُم ةَبَ قَر ُريِرْحَتَ ف ًأَطَخ meletakkan hukuman takzîr sebagai hukuman
ُريِرْحَتَ ف ٌنِمْؤُم َوُهَو ْمُكَل وُدَع مْوَ ق ْنِم َناَك ْنِإَف اوُقَّدَّصَي ٌةَي pidana penganiayaan secara disengaja berhak ِدَف ٌقاَثيِم ْمُهَ نْ يَ بَو ْمُكَنْ يَ ب مْوَ ق ْنِم َناَك ْنِإَو ةَنِمْؤُم ةَبَ قَر
pokok pada tindak penganiayaan disengaja. Imam Malik berpendapat bahwa pelaku tindak
ditakzîr, baik ia berhak diqisâsh maupun tidak, karena adanya penghalang qisâsh syubhat,
ampunan atau akad damai. Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal Dan tidak layak bagi seorang mukmin
berpendapat tidak ada takzîr bersama dengan membunuh seorang mukmin (yang lain),
qisâsh . Karena Allah berfirman, dan luka-luka kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik terhadap Anak ║ 127
pun ada qisâshnya ( ‘Abdul Qâdir ‘Audah, t.th.: itu penjatuhan sanksinya berbentuk penjara dan 229).
denda seperti yang terdapat dalam Pasal 80 UU Jika ketiga Imam tidak sepakat menjadikan
No. 35 Tahun 2014.
takzîr sebagai hukuman pokok, bukan berarti Penjatuhan hukuman penjara ini dalam mereka menghalangi takzîr sebagai hukuman
hukum Islam merupakan sebuah bentuk pengganti ketika qisâsh gugur atau terhambat
hukuman t a’zîr. Akan tetapi ta’zîr dalam hukum berbagai sebab jika wali melihat itu perlu. Karena
Islam mengenai tindak pidana kekerasan fisik itu pelaku berhak di takzîr, baik posisi qisâsh telah
hanya menempati hukuman pengganti. diganti diyat maupun diyatnya sudah diampuni.
Imam Malik menyatakan bahwa ta’zîr Adapun ketentuan takzîr dan macamnya
menempati hukuman pokok maka harus diserahkan kepada pemerintah yang akan
dibarengi dengan hukuman pokok lainnya. memilih jenis hukuman dan kadarnya atau
Adapun hukuman denda yang terdapat diserahkan kepada hakim untuk memilih
dalam UU No. 35 Tahun 2014 juga terdapat hukuman di antara jenis hukuman takzîr yang
dalam hukum pidana Islam dikenal dengan telah ditentukan.
istilah diyat. Akan tetapi hukuman denda ini Sebagaimana yang terdapat dalam UU No.
menempati hukuman pokok pada tindak pidana
35 Tahun 2014 pelaku tindak pidana kekerasan penganiayaan tidak sengaja dan menempati fisik terhadap anak akan dijatuhi hukuman
hukuman pengganti pada tindak pidana penjara. Dalam hukum Islam penjara termasuk
penganiayaan sengaja.
hukuman t a’zîr. Maksud utama sanksi ta’zîr Dalam masalah denda hukum Islam adalah sebagai preventif dan represif serta kuratif
menyerahkan denda yang didapat dari pelaku dan edukatif. Yang dimaksud dengan fungsi
kepada korban bukan kepada negara seperti preventif adalah bahwa sanksi t a’zîr harus
halnya hukum positif. Dari sini terlihat jelas memberikan dampak positif bagi orang lain
bahwa Islam sangat mengutamakan asas (orang yang tidak dikenai hukuman t a’zîr),
kemanfaatan hukum, karena denda tersebut sehingga orang lain tidak melakukan perbuatan
berhak didapat oleh korban sebagai ganti rugi yang sama dengan terhukum. Yang dimaksud
atas pengerusakan yang telah dilakukan pelaku. dengan fungsi represif adalah bahwa sanksi t a’zîr
Selain memperhatikan asas kemanfaatan harus membawa dampak positif bagi si
hukum, Islam juga memperhatikan asas terhukum, sehingga ia tidak melakukan
keadilan. Asas keadilan akan didapat melalui perbuatan yang menyebabkan dirinya dijatuhi
hukuman qisash, karena qisash merupakan bentuk hukuman t a’zîr (Djazuli, 1997: 186-187).
hukuman yang setimpal. Selain asas keadilan Yang dimaksud dengan fungsi kuratif
dan kemanfaatan hukum, Islam adalah bahwa t a’zîr itu mampu membawa
menyempurnakannya dengan memperhatikan perbaikan sikap dan perilaku terhukum
asas kepastian hukum. Kepastian hukum dikemudian hari. Yang dimaksud fungsi edukatif
didapat dari adanya hukuman pokok, pengganti ialah sanksi t a’zîr harus mampu menumbuhkan
dan tambahan dalam Islam. Berbeda halnya hasrat terhukum untuk mengobah pola
dengan hukum positif, jika hukum positif hidupnya sehingga ia akan menjahui perbuatan
menyerahkan sepenuhnya penentuan hukuman maksiat bukan karena takut hukuman melainkan
oleh hakim melalui Undang-undang tetapi semata-mata karena tidak senang pada kejahatan
hukum Islam menyerahkan sepenuhnya (Djazuli, 1997: 186-187).
penentuan hukuman oleh pihak korban agar Dalam UU No. 35 Tahun 2014 tidak
kepastian hukum terlaksana. ditemukan sanksi hukuman qisâsh, oleh sebab
128 ║ Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016
Melalui penentuan hukum oleh pihak tujuan penghukuman untuk menjerakan dan korban maka di sana akan bergabung ketiga asas
mendidik pelaku ini sama halnya dengan tujuan sekaligus yaitu asas kepastian hukum, asas
hukum Islam.
keadilan dan asas kemanfaatan. Dalam pasal 80 ayat 4 UU No. 35 tahun
PENUTUP
2014, terdapat penambahan hukum sepertiga apabila yang melakukan kekerasan tersebut
Berdasarkan uraian di atas, penulis adalah orang tua anak. Penambahan hukuman
mengambil kesimpulan bahwa sebagai larangan ini berbeda halnya dengan hukum Islam karena
kekerasan fisik terhadap anak yang terdapat hukum Islam justru meringankan hukuman bagi
dalam UU No. 35 Tahun 2014 dengan hukum orang tua apabila melakukan kekerasan terhadap
pidana Islam demi terwujudnya pemeliharaan anaknya.
diri. Akan tetapi kekerasan fisik yang terdapat Keringanan hukuman ini berpatokan dari
dalam pengajaran diperbolehkan dalam hukum dalil aqli maupun naqli. Secara rasional apabila
Islam, tentunya sesuai dengan ketentuan yang orang tua diperberat hukumannya menjadi
telah ditetapkan. Adapun mengenai sanksi bagi sepertiga maka yang akan menderita kerugian
pelaku tindak kekerasan fisik terhadap anak yang itu sendiri adalah anak. Selain alasan tersebut
terdapat dalam UU No. 35 tahun 2014 yaitu secara rasional juga tidak akan mungkin dengan
hukuman penjara dan denda dibenarkan dalam sengaja orang tua mau menyakiti atau
hukum pidana Islam. Penjara dan denda sama membunuh anaknya sendiri.
halnya dengan sanksi ta’zîr dan diyat yang Dalam Hadis Rasulullah Saw bersabda :
dipakai dalam tindak pidana penganiayaan dan
نب جاجلْا نع رحملْا انثدح جشلْا ديعس وبأ انثدح pembunuhan. Akan tetapi aplikasinya masih
berbeda dengan hukum Islam. Dalam tindak
نب رمع نع هيبا نع بيعش نب ورمع نع ةأطرأ pidana kekerasan fisik yang disengaja, hukum
Islam memakai sanksi penjara dan denda sebagai
hukuman pengganti sedangkan pada tindak pidana kekerasan fisik yang tidak disengaja
penjara dan denda merupakan hukuman pokok. Mengabarkan pad a kami Abu Sa’id al-Asyaj mengabarkan pada kami Ahmar dari Hujaj
bin Arith’ah dari ‘Umar bin Syu’aib dari
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ayahnya dati Umar bin Khathab berkata : aku ‘Audah. Abdul Qâdir, t.th. at-Tasyî’ al-Jinâî bi mendengan Rasulullah Saw. bersabda : “Tidak
al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn al- diqishash orang tua yang membunuh
Wadh’î, Beirût : Dâr al-Kitâb al-‘Arabî,. anaknya” berkata syekh al-Abani Hadis
shahih. (H.R. Turmidzi) Abû ‘Abdillâh al-Quzwînî. Muhammad bin
Yazîd, t.th. Sunan Ibn Mâjah, Beirût : Akhirnya penulis berpendapat bahwa
Dâr al-Fikr.
sanksi hukuman bagi pelaku tindak kekerasan fisik terhadap anak yang terdapat dalam UU No.
Abû ‘Abdillâh as-Syaibanî. Ahmad bin
35 tahun 2014, dari segi hukumannya ada yang Hambal, t.th. Musnad Ahmad bin dibenarkan dalam hukum Islam yaitu hukuman
Hambal, Kairo : Mu’sasah Qurtubah. ta’zîr dan diyat akan tetapi aplikasinya masih
Abû al-Husein Muslim bin Hujâj bin Muslim berbeda dengan hukum Islam. Adapun dari segi
al-Qusyarî al-Naisâbûrî selanjutnya
Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik terhadap Anak ║ 129
dikenal dengan Imam Muslim, t.th. al- Ibnu Rusyd al-Hâfid. Abû al-Walîd Muhammad Jâmi’ as-Shahîh al-Musamma Shahîh
bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Muslim, Beirût : Dâr al-Faq al-Jadîdah.
bin Rusyd al-Qurtubî bin, 1995. Bidayatul Mujtahid, Abu ‘Îsya at-Turmidzî as-Salmî. Muhammad Libanon: Dâr al- bin ‘îsya, t.th. Sunan Turmidzî, Beirût :
Fikr.
Dâr ihyâ’ at-Turâs al-‘Arabî. Jalâluddîin as-Suyûtî, t.th. Jâmi’ al-Hadîs, Abû Dawud Sulaimân. Ibn al-Sajtânî. Imâm
Jalâl ad-Dîn Muhammad bin Ahmad al- Hâfiz, 2005 M/ 1426H. Sunan Abî
Mahalî dan Jalâl ad-Dî n ‘Abdur ar- Dâwud, Beirût: Dâr al Kitâb al- ‘Arabî.
Rahman bin Abî Bakr as-Syuyûtî. t.th.. Tafsîr al-Jalâlain. Kairo : Dâr al-Hadîs.
Bahnasi. Ahmad Fathî, t.th. Madkhul al-Fiqh
al- Jina’iy al-Islâmiy, Kairo: Dâr as-Syurûq. Majelis Umum PBB, Convention On The Rigts
t.th..
Al-Baihaqî. Abû Bakar Ahmad bin Husain Of The Child bin ‘Alî, 1344 H. as-Sunan al-Kubrâ Li , Diselenggarakan di New
al-Baihaqî , Majlis Dâr al-
Ma’ârif. York 1990
Barker, Robert. 1987. The Sosial Work Muhammad Nabîl Kâdzim. 2009. Mendidik Dictionary, Maryland: Silver Spring.
Tanpa Memukul . Solo: Abyan Solo. Ad-Dâramî. Abdullah bin Abdurrahman
Muslich. Ahmad Wardi, 2005. Hukum Pidana Abû Muhammad, t.th. Sunan ad-
Islam , Jakarta: Sinar Grafika. Dâramî, Beirût : Dâr al-Kitâb al- ‘Arabî.
Muzakarah Ulama Kerjasama Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia, dan
Ad-Dâruquthnî al- Baqhdâdî. ‘Alî bin ‘Umar UNICEF Jakarta, Memelihara Kelangsungan
Abû Husain, 1966M/ 1386H. Sunan ad- Hidup Anak Menurut Ajaran Islam ,
Darâquthnî, Beirut: Dâr Ma’rifah. Jakarta: Panitia Muzakarah Ulama,
Djazuli, 2000. Fiqh Jinayah, Jakarta: PT Raja
1988
Grafindo. An-Naysaburî, Abû Ishâq Ahmad bin
Hanafi. Ahmad, 1993. Asas-Asas Hukum Muhammad bin Ibrâhîm as- Tsa’labî. Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
200M/1422H. al-Kasyfu wa al-Bayân, Hurairah, Abu. 2005. Kekerasan Terhadap
Beirût: Dâr at-Turâst al- ‘Arabî. Anak , Bandung: Nuansa.
Tafsîr as- Tsa’labî, t.th.,
Ibn Khuzaimah Abû Bakar as-Silmî an- UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Naisabûrî. Muhammad bin Ishâk, 1390
Anak.
H/ 1970M. Shahîh Ibnu Khuzaimah, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Beirût : Maktab al-Islâmî. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.