Pemilihan Kepala Daerah Pilkada dan Tant

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

Politik Indonesia
Indonesian Political Science Review
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
Suyatno1, 2
1
2

Universitas Kanjuruhan, Malang, Indonesia
Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

Info Artikel

Abstrak

Sejarah Artikel:
Diterima 12 Juni 2016
Disetujui 15 Juni 2016

Dipublikasi 15 Juli 2016

Pilkada langsung pada akhirnya menggantikan pilkada tidak langsung didasari oleh
semangat pemberdayaan masyarakat dalam berpartisipasi memilih kepala daerah secara
lebih demokratis. Selain partisipasi terdapat unsur penting lainnya yang bisa
menggambarkan berlangsungnya proses demokrasi lokal, yaitu responsivitas. Dua unsur
tersebut dapat menentukan proses pilkada secara lebih substanstif daripada sekedar
prosedur demokrasi lokal. Tulisan ini menggunakan metodologi kualitatif untuk
menganalisa data partisipasi dan responsivitas pilkada sebagai variabel penting dalam
demokrasi lokal. Partisipasi masyarakat dalam pilkada memang tidak setinggi partisipasi
dalam pemilu di masa Orde Baru. Namun begitu partisipasinya bersifat substantif karena
disertai penilaian terhadap kadar responsivitas pemimpin lokal. Petahana yang sukses
menjalankan responsivitas lokal akan mendapatkan sukses lanjutan dalam wujud
kemenangan pilkada berikutnya. Sebaliknya, petahana yang gagal dalam pelaksanaan
responsivitas akan memperoleh kekalahan. Kemenangan dan kekalahan petahana dalam
pilkada dapat dinyatakan bahwa keterkaitan partisipasi dan responsivitas menjadi amat
penting dalam proses demokrasi lokal secara menyeluruh.

Keywords:
Pilkada; Participation;

Responsiveness; Local
Democracy

Abstract
Direct local leader elections (Pilkada) had replaced indirect local elections. It based on
the spirit of people empowerment to participate choosing local leaders more democratic.
Responsiveness is an important element besides participation which represent local
democracy. These two variables will decide the local elections that can enhance the
quality of local democracy. This paper uses qualitative methodology to analyze the data of
participation and responsiveness of Pilkada as an important variables in local democracy.
People participation in Pilkada is not as high as the participation in New Order elections.
Their participation are more substantive because accompanied assessment of the level of
responsiveness of a local leader. Incumbent successful running of local responsiveness
will get continued success as the next local elections victory. In contrast, incumbent who
failed in the implementation of responsiveness will obtain defeat. Victory and defeat
incumbent in the election can be stated that the relevance of participation and
responsiveness become very important in the local democratic process as a whole.
Alamat

korespondensi:

Jl. Sudancho Supriyadi No.48 Malang 65148 Indonesia.
Jl. Airlangga 4-6, Surabaya 60286 Indonesia.
Email: yatno.ladiqi@gmail.com

212

© 2016 Universitas Negeri Semaran
ISSN 2477 – 8060

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

Pada

Pendahuluan

perjalanannya

mekanisme

Pemilihan kepala daerah (pilkada) di


pilkada mengalami perubahan dari pemilihan

Indonesia merupakan amanah langsung dari

tidak langsung menjadi pemilihan langsung.

gerakan reformasi tahun 1998. Menimbang

Dinamika ini dilatar belakangi oleh berbagai

perlunya partisipasi yang kuat dari masyarakat

alasan seperti ‘perselingkuhan’ wakil rakyat

untuk ikut terlibat langsung dalam pemilihan

(DPRD) dengan calon Bupati/ Walikota/

pemimpinnya, maka pemilihan kepala daerah


Gubernur yang berimbas kepada korupsi

menjadi momentum demokrasi yang paling

politik dan akuntabilitas yang buram karena

penting dalam kehidupan berbangsa dan

persekongkolan

bernegara

wujud

transparansi tetapi justru menyemarakkan

pilkada

politik uang. Hal ini dimungkinkan karena


dimaksudkan tidak saja untuk memenuhi

DPRD lah yang memilih kepala daerah.

hasrat mengganti mekanisme lama pemilihan

Alasan tersebut menjadi puncak ketidak

pemimpin dan wakil rakyat gaya otoriterisme,

puasan terhadap pelaksanaan pilkada tidak

tetapi juga secara filosofis ingin menggapai

langsung. Dengan begitu terjadi perubahan

pelaksanaan

yang


dari UU No. 22/1999 digantikan dengan UU

mengembangkan

No. 32/2004 yang mengatur pilkada secara

Indonesia.

implementasi

demokrasi,

nilai-nilai

berkelanjutan,
partisipasi

Sebagai


demokrasi

yaitu
dan

responsivitas

serta

masa

Orde

Baru

politik

meniadakan

langsung.


akuntabilitas secara menyeluruh.
Pada

elit

Tulisan ini hendak membahas proses
praktis

pilkada

sebagai

wujud

implementasi

implementasi otoriterisme lebih dominan

demokrasi lokal yang sarat dengan gambaran


untuk memilih kepala daerah di wilayah

betapa

propinsi maupun kabupaten/kotamadya. Pola-

menjadi tolok ukur nyata demokrasi. Namun

pola top down dan patrimonial begitu

begitu

mendominasi politik Indonesia, sehingga

pemimpin daerah yang terpilih kurang begitu

sangat wajar tuntutan reformasi yang paling

disoroti sehingga seolah-olah setelah pilkada,


esensial adalah mengganti praktek-praktek

proses

otoriterisme dengan mekanisme yang lebih

Padahal pesta demokrasi sejatinya tidak

demokratis, yaitu mekanisme pilkada. Hal ini

berhenti kepada titik pemilihan pemimpin saja

sesuai dengan UUD 1945, Pasal 18 ayat (4)

tetapi

yang menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati,

bentuk komitmen nyata pemimpin daerah

dan Walikota masing-masing sebagai kepala

yang

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan

mensejahterakan rakyat yang kerap kali

kota dipilih secara demokratis.

diusung dalam janji kampanyenya. Inilah
bentuk

partisipasi

seringkali

demokrasi

lebih

terpilih

langsung

sisi

tanggung

sudah

subtstantif

untuk

responsivitas

masyarakat

jawab

dianggap

usai.

mempertanyakan

memenuhi

yang

hasrat

acapkali

213

Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia

menentukaan dinamika pilkada berikutnya,

peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah

yaitu petahana yang sukses menjalankan

(KPUD) di Kota Malang yang memiliki

program-programnya

peranan

dapat

mendulang

penting

dalam

memperkuat

kemenangan dengan telak pada pilkada

demokrasi lokal berkat peran krusialnya

berikutnya.

sebagai penyelenggara pilkada (Hijri, 2008).

Ada banyak tulisan tentang pilkada di
Indonesia

dalam

ilmiah

ada yang membahas pilkada dan demokrasi

sebelumnya, tetapi yang khusus membahas

lokal dari sisi partisipasi dan responsivitas.

pilkada

belum

Oleh karena itu diharapkan tulisan ini mampu

banyak. Fitriyah (2011) lebih memfokuskan

mengisi kekosongan studi demokrasi lokal

diri kepada studi proses pilkada langsung

dan pilkada di Indonesia.

dengan

karya-karya

Dari rangkaian Kajian Pustaka tersebut belum

demokrasi

lokal

yang diyakininya dapat memberikan ruang

Untuk lebih jauh membahas pilkada

kepada demokratisasi di Indonesia (Fitriyah,

dalam kaitannya dengan proses demokrasi

2011) Secara diametral pendapatnya berbeda

lokal, sebagai landasan pemahaman yang utuh

dengan

yang

maka penjelasan konseptualisasi menjadi asas

beragumen bahwa pilkada langsung justru

pembahasan pilkada dan demokrasi lokal.

tidak mendatangkan kesejahteraan rakyat

Penting

karena problem yang dihasilkan jauh dari

konsepsional karena diharapkan tulisan ini

unsur-unsur demokrasi. Pelaksanaan pilkada

dapat menganalisa pilkada dalam konteks

langsung juga dipertanyakan efektifitasnya

pelaksanaan demokrasi lokal secara lebih

oleh Iza Rumesten RS (2014), karena pada

argumentatif.

Sebagai

kenyataanya banyak melahirkan koruptor-

pembahasan

demokrasi

koruptor

kemukakan dibawah ini.

Retno

baru.

demokrasi
Fatkhrohman
kelemahan

Saraswati

Studi

lokal

pikada

pilkada

juga

(2010)

(2014)

dengan

dibahas
yang

menyoroti

langsung

sehingga

memerosotkan

mengemukakan

landasan

permulaan
lokal

maka
penulis

oleh

memunculkan serangkaian korupsi yang pada
gilirannya

untuk

Kajian Pustaka
Demokrasi Lokal di Indonesia

Memahami demokrasi lokal memang

demokrasi

tak dapat memisahkan diri dari perbincangan

(Fatkhurohman, 2010). Janpatar Simamora

tentang kebijakan desentralisasi. Mengingat

(2011) lebih optimis melihat pilkada langsung

kebijakan ini merupakan pintu awal bagi

sebagai proses pematangan demokrasi di

terciptanya demokrasi lokal. Bahkan sejumlah

tingkat daerah, kendati dalam pelaksanaannya

ilmuwan

banyak menimbulkan masalah (Simamora,

sesungguhnya dari desentralisasi tidak lain

2011). Dalam kaitan dengan demokrasi lokal,
Yana Syafriana Hijri (2008), membahas

214

meyakini

bahwa

tujuan

yang

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

lokal.93

Keyakinan bahwa desentralisasi akan

Dalam konteks ini salah satu bentuk kebijakan

menumbuhkan demokrasi lokal juga dianut

desentralisasi

oleh

adalah

menumbuhkan

yang

kelangsungan

demokrasi

sangat

Menurutnya

desentralisasi menumbuhkan partisipasi dan

kekuasaan,

tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi

kewenangan, tanggung jawab dan sumberdaya

demokratis warga telah melahirkan komitmen

dari negara ke pemerintah lokal. Devolusi

warga yang luas maupun hubungan-hubungan

juga sering disebut dengan desentralisasi

horisontal: kepercayaan (trust), toleransi,

demokratis

decentralization),

kerjasama, dan solidaritas yang membentuk

pengembangan

apa yang disebut Putnam komunitas sipil

hubungan sinergis antara pemerintah pusat

(civic community). Indikator-indikator civic

dengan

engagement

yakni

yakni

transfer

(democratic

sebagai

lokal

Putnam.94

Robert

adalah

devolusi,

demokrasi

penting bagi

bentuk

pemerintah

daerah

dan

antara

--

solidaritas


partisipasi

Desentralisasi demokratis hendak mengelola

terhadap kinerja pembangunan sebagai contoh

kekuasaan

dan

kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas

mengimplementasikan kebijakan, perluasan

kehidupan demokratis. Selama seperempat

proses demokrasi pada level pemerintahan

abad terakhir, desentralisasi politik di Itali

lokal, dan mengembangkan standar (ukuran)

telah secara luas mentransformasikan kultur

yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung

politik

secara berkelanjutan (Manor, 1997). Adapun

demokratis.

kebijakan desentralisasi yang lain adalah

regional,

dekosentrasi,

sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan

mengembangkan

yang

mengacu

pada

elite

dalam

dapat

dan

pemerintah daerah dengan warga masyarakat.

untuk

massal

sosial

suatu

Pembentukan
yang

yang

pemerintahan

kemudian

mendapatkan

dan

making) dalam negara, dan delegasi tugas-

menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang

tugas tertentu sementara pemerintah pusat

secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi,

masih

jawab

lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih

keseluruhan. Sementara itu privatisasi adalah

fleksibel dan suatu 'penerimaan mutual yang

merupakan bentuk desentralisasi yang paling

lebih besar di antara hampir semua partai'.

jauh jangkauannya (Freks dan Otto, 1996).

Secara

tanggung

atas

arah

penggeseran pembuatan keputusan (decision-

menguasai

kontrol

berpengaruh

sumber-sumber

berangsur-angsur

mengidentifikasi

diri

daya,

warga

mulai

dengan

level

94
93

Brian C. Smith, Decentralization: Territory
Dimension of the State (London: MacMillan, 1985);
Dennis Rondinelli, "What is Decentralization?" Note
prepared for the PREM Knowledge Management
System, World Bank, Washington, DC, 1998; dan Larry
Diamond, Developing Democracy (Baltimore and
London: The Johns Hopkins University Press, 1999),
bab 4.

Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic
Tradition in Moden Italy (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 1993). Ide Putnam tentang
civic community ini sangat dipengaruhi oleh aliran
republikanisme dan pemikiran Tocqueville tentang
kehidupan asosiasional sebagai basis demokrasi di
Amerika Serikat. Lihat Alexis de Tocqueville,
Democracy in America , ed. J.P. Mayer (Garden City,
NY: Anchor Books, 1969

215

Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia

pemerintahan

lokal

menghargainya

dan

bahkan

ketimbang

lebih

pemerintahan

dan

menerima

antarkelompok-

kelompok kepentingan dalam masyarakat
tentang keputusan-keputusan terpenting dan

nasional.

detail

memberi

Kajian demokrasi lokal secara lebih

tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan

diberikan

tanggung

oleh

organisasi

non-

bersama-sama.

(3)

Pendidikan

pemerintah global yatu International IDEA.95

politik.

Sebagai organisasi yang bergerak di bidang

fasilitas bagi proses pendidikan politik. Peran

penelitian

pemberadaayan

serta warga masyarakat memungkinkan setiap

IDEA

banyak

individu memperoleh informasi mengenai

membantu memberikan analisa dan penjelasan

semua urusan dan masalah di masyarakat,

tentang

dengan

yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat

menekankan kepada konspesi penting sebagai

terpilih atau para profesional pemerintahan di

berikut:

kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan

dan

demokrasi,

advokasi

International

demokrasi

(1)

lokal

yaitu

Demokrasi

lokal

akan

memberi

memiliki

informasi

masyarakat. Peran serta masyarakat lokal

demokrasi

-yang

sesungguhnya adalah fondasi utama dalam

keputusan oleh rakyat- semakin mungkin dan

gagasan modern mengenai kewarganegaraan,

efektif.

sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada

mengurangi jurang pemisah antara para elite

beserta

politik

Kewarganegaraan

segala

proses

dan

pengambilan

Peran

dan

akan

menciptakan

berarti

pengambilan

serta

anggota

masyarakat

berarti

masyarakat.

(4)

keputusannya memungkinkan terwujudnya

Pemerintah yang baik dan kesejahteraan

praktik demokrasi yang lebih langsung,

sosial. John Stuart Mill dan para pendukung

dimana suara individu dapat didengar dengan

paham demokrasi partisipatoris di tingkat

lebih mudah. (2) Musyawarah. Demokrasi

lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi

bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya

kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan

terkandung

mendukung terciptanya pemerintahan yang

unsur-unsur

penting

seperti

dialog, debat, dan diskusi yang bermakna

baik

guna

mencari solusi bagi segala masalah

kesejahteraan

yang

timbul

masyarakat.

cenderung meningkatkan hubungan yang baik

Perundingan atau musyawarah juga bukan

antarwarga, membangun masyarakat yang

sekadar mendengar dan menampung keluhan

mandiri dan memiliki semangat sosial (Sisk,

warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti

et al., 2002).

melibatkan

di

dialog

dalam

yang

bersifat

saling

serta

mendukung
sosial.

Artinya,

tercapainya
demokrasi

Kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia yang diawali dengan

95

International IDEA adalah sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Internasional yang menumpukan
perhatian kepada penelitian bidang ilmu kemasyarakatan
dan pemberdayaan demokrasi. Situsnya dapat dapat
dilayari di : http:// www.idea.int.

216

dikeluarkannya UU No. 32/1999 dan direvisi
dengan UU baru yaitu UU No.32/2004 adalah

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

wujud

keseriusan

pemerintah

untuk

mengembangkan demokrasi pada level lokal.

dalam

konteks

hubungan

negara

dan

masyarakat.
Sebagaimana diyakini bersama bahwa

Usaha ini tidak lain adalah wujud pemenuhan
ingin

filsafat demokrasi yang paling mendasar, yang

luas.

dipopulerkan oleh Abraham Lincoln, tidak

Semangatnya lebih tertuju kepada ingin

lain adalah “dari rakyat”, “oleh rakyat” dan

melepaskan diri dari bayang-bayang warisan

“untuk rakyat”. Karena masih bersifat nlai-

otoriterisme yang membelenggu partisipasi

nilai falsafah maka hal ini memerlukan alat

dan pengembangan demokrasi di level lokal.

yang sukses meletakkan filsafat tersebut agar

amanah

reformasi

mengembangkan

yang

demokrasi

lebih

menunjukkan

bisa

lokal

masih

menggunakan sistem politik “Easton” untuk

tergolong berserakan. Maka di bawah ini

menampung filsafat agar bisa dijalankan

penulis

sebuah

dalam sebuah sistem politik. Terdiri dari tiga

membantu

bagian yang mampu menampung nilai-nilai

menjelaskan teorisasi demokrasi lokal yang

filsafat, yaitu input, proses dan output.

mencukupi.

Uraian
bahwa

diatas

teorisasi

demokrasi

akan

pemahaman

jelas

merangkaikan
yang

dapat

dijalankan

lebih

nyata.

Suyatno

sebuah

disertasinya,

Melalui sistem ini dimana “input”, yang

mencoba

memberikan

menerjemahkan nilai filsafat “dari rakyat”,

alternatif penjelas dalam sebuah model yang

akan menghasilkan apa yang dinamakan

menggabungkan filsafat demokrasi, sistem

dengan keterwakilan dan partisipasi. “Proses”

politik

faktor-faktor

yang menerjemahkan filsafat “oleh rakyat”,

implementasi demokrasi yang lebih terperinci.

akan menghasilkan institusi yang disebut

Model ini oleh Suyatno disebut sebagai Model

dengan

Implementasi Demokrasi, yang diharapkan

kebertanggungjawaban. Sedangkan

bisa memperjelas pelaksanaan demokrasi

“output”, yang menerjemahkan filsafat “untuk

Suyatno

Dalam

(2011)

“Easton”

96

dan

rakyat”
David Easton, “An Approach to the Analysis of
Poitical Systems”, dalam World Politics IX, No. 3 (April
1957). Easton mengusulkan suatu metode untuk
menganalisis berbagai jenis sistem politik, yaitu dengan
mengkaji sistem-sistem politik yang berdasarkan ciri-ciri
utama: (1) kesatuan-kesatuan yang membentuk sistem
itu dan luasnya batas-batas pengaruh sistem itu, (2)
“input” dan “output” dari sistem yang tercermin dalam
keputusan-keputusan yang dibuat (output) dan proses
pembuatan keputusan (input) di dalam sistem tersebut,
(3) jenis dan tingkat perbedaan (diferensiasi) dalam
sistem tersebut, dan (4) tingkat integrasi sistem politik
yang mencerminkan tingkat efisiensinya. Dengan
menganalisis berbagai bagian ini, Easton menawarkan
sebuah metode untuk memahami dan membandingkan
berbagai sistem politik. Lihat Mochtar Mas’oed dan
Collin McAndrews, Perbandingan Sistem Politik
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001).
96

kemitraan,

akan

transparansi

memunculkan

dan
bagian

institusi

responsivitas (Suyatno, 2011).

Untuk keperluan tulisan ini, penulis
akan membatasi diri dengan menggunakan
konsepsi partisipasi dan responsivitas dengan
argumen bahwa pilkada memiliki pesan kuat
untuk merefleksikan bentuk partisipasi warga
dalam

memilih

pemimpinnya,

sehingga

menjadi wajar jika melihat proses pilkada
begitu semarak dan gempita di berbagai
daerah karena antusiasme pemilih begitu

217

Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia

besar. Sementara itu, kadar responsivitas

dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi

menunjukkan betapa pentingnya fase setelah

adalah jembatan penghubung antara negara

pilkada bisa dapat dijadikan tolok ukur bagi

dan masyarakat agar pengelolaan barang-

berjalannya

barang

demokrasi

lokal.

Beberapa

petahana sukses mendulang kemenangannya

publik

melahirkan

kesejahteraan

manusia (human well being) (Suyatno, 2011).

dalam pilkada, sesungguhnya tidak lain

Dari

sudut

pandangan

negara,

ditentukan oleh salah satu faktor yaitu kadar

demokrasi mengajarkan bahawa partisipasi

responsivitas yang teruji dan terbukti selama

sangat

kepemimpinannya.

adalah

pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan

terbatasnya ruang yang tersedia dalam tulisan

responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

kali ini untuk menggunakan konsepsi lain,

Tiadanya partisipasi hanya akan menabur

seperti keterwakilan, kemitraan, transparansi

pemerintahan

dan kebertanggungjawaban, untuk membahas

Sementara itu dari sisi masyarakat, partisipasi

pilkada dan demokrasi lokal. Oleh karena itu

adalah kunci pemberdayaan (empowerment).

pembahasan partisipasi akan menjadi diskusi

Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas

yang menarik jika dikaitkan dengan pilkada

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan

yang dijalankan selama ini.

hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan

Alasan

lain

diperlukan

inisiatif

untuk

yang

lokal,

otoriter

membangun

dan

mengaktifkan

korup.

peranan

Temuan dan Diskusi

masyarakat serta membangun masyarakat

Demokrasi Lokal dan Partisipasi

yang mandiri.

Filsafat demokrasi “dari rakyat” jika

Dalam konteks hubungan tersebut,

diletakkan dalam sistem politik Easton maka

partisipasi meletakkan masyarakat kepada

masuk

dan

posisi yang sebenarnya. Pertama , masyarakat

implementasinya akan melahirkan konsep

bukanlah sebagai budak (client) melainkan

partisipasi

sebagai

dalam
dan

kategori

“input”,

keterwakilan.

Partisipasi

warga

(citizen).

Jika

budak

adalah persoalan hubungan kekuasaaan, atau

memperlihatkan kepatuhan secara total, tetapi

hubungan ekonomi-politik, yang dianjurkan

kalau konsep warga menganggap bahwa

oleh demokrasi. Partisipasi rakyat berada

setiap individu adalah pribadi yang utuh dan

dalam konteks

negara

mempunyai hak penuh untuk memiliki.

(pemerintah) dan rakyat (masyarakat). Negara

Kedua , masyarakat bukan dalam kedudukan

adalah pusat kekuasaan, kedaulatan dan

yang diperintah tetapi sebagai mitra (partner )

serangkaian hukum yang mengatur peredaran

pemerintah dalam mengurus pemerintahan

barang-barang publik di masyarakat. Di dalam

dan

masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan hal

bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai

politik, kekuatan kelompok, kebutuhan hidup,

hak warga masyarakat itu sendiri. Keempat,

218

hubungan

antara

pembangunan.

Ketiga ,

partisipasi

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

pasif

kepada cara mana sesuatu yang diberikan oleh

penerima manfaat kebijakank pemerintah,

pengambil keputusan -baik umum ataupun

tetapi sebagai aktor atau subyek yang aktif

perseorangan-- dalam merespons keperluan

masyarakat

bukan

menentukan

sekadar

kebijakan.

obyek

97

Ini

yang

dan

menjalankannya

menjelaskan kenapa pilkada diselenggarakan

kelompoknya,

secara

misalnya.98

merata

Kesadaran

di

wilayah

demokratis

Indonesia.

menempatkan

ke

seperti

dalam tuntutan

kasus

kemiskinan

Karena merupakan hasil implementasi

dalam

“untuk rakyat”, maka responsiviti dapat

kedudukan yang sebenarnya dalam proses

dipahami secara lekat dengan hasil pelayanan

pemilihan pemimpin. Ada kuasa politik dari

publik atau masyarakat, melalui serangkaian

rakyat untuk ikut menentukan pilihan terbaik

kebijakan yang ditempuh. Dalam kaitan ini

pemimpinnya dalam mekanisme pemilihan

responsivitas diartikan sebagai kemampuan

umum.

birokrasi

pentingnya

partisipasi

Namun

begitu

masyarakat

lain

mengenali

kebutuhan

dari

masyarakat, menyusun agenda dan prioritas

demokrasi yang tak kalah pentingnya adalah

pelayanan, serta mengembangkan rancangan-

Responsivitas (Responsiveness). Menjadi jelas

rancangan

bahwa apakah demokrasi sudah dijalankan

keperluan dan aspirasi masyarakat. Secara

sebagaimana mestinya memenuhi kebutuhan

singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas

rakyat guna mencapai keinginan membangun

ini mengukur kualitas responsif birokrasi

kesejahteraan bersama, maka responsivitas

terhadap harapan, keinginan dan aspirasi,

menjadi argumen pamungkas dari proses

serta tuntutan layanan pengguna (service

pilkada secara menyeluruh. Untuk itu dibawah

user ). Responisivitas sangat diperlukan dalam

ini akan dijelaskan penjeasan repsonsivitas

pelayanan

untuk

merupakan

melengkapi

fase

untuk

pembahasan

tentang

Pilkada secara lebih lengkap.

perkhidmatan

sesuai

publik karena
bukti

dengan

hal

kemampuan

tersebut
organisasi

untuk mengetahui kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan
serta

Demokrasi Lokal dan Responsivitas

Implementasi falsafah “untuk rakyat”

mengembangkan

rencana-rencana

pelayanan publik sesuai dengan keperluan

yang didalam sistem politik dapat diketahui

aspirasi

dalam bentuk output. Dalam demokrasi,

memiliki responsivitas yang rendah dengan

masyarakat.

Organisasi

yang

output ini yang menginstitusikan apa yang

dikenal

dengan

(responsiveness).
97

sebutan

responsivitas

Responsivitas

merujuk

Sutoro Eko, Voice, Akses, dan Kawalan Masyarakat,
makalah dalam www.ireyogya.org/sutoro/voice_dan_
akses_masyarakat.pdf. (2 Februari 2006)

98

Siri Gloppen, Lise Rakner and Arne Tostensen,
Responsiveness to the Concerns of the Poor and
Accountability to the Commitment to Poverty
Reduction, dalam http://www.undp.org/oslocentre/
PAR_Bergen_2002/concerns-poor-issues-paper.pdf. (20
Januari 2015).

219

Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia

sendirinya memiliki kinerja yang buruk juga

publik dengan sasaran kesejahteraan rakyat

(Dwiyanto, dkk, 2011).

sebagai tujuan akhir. Bentuk responsivitas

Kebijakan

yang

responsif

adalah

sangat menentukan kualitas demokrasi lokal

sebagai

respons

karena menggambarkan dinamika kesuksesan

dasar

pemimpin terpilih dan masyarakt memilih

masyarakat. Memberantas kemiskinan dan

dalam komunikasi dan aksi politik yang

buta

kebijakan

yang

dibuat

terhadap

aspirasi

atau

huruf,

kebutuhan

meningkatkan

taraf

hidup,

menguntungkan. Ini yang menjelaskan ketika

kesehatan,

menyediakan

masyarakat puas hati dengan kepemimpinan

pendidikan yang terjangkau, memberikan

lokal yang dianggap responsif terhadap

pinjaman usaha kecil dan sebagainya, adalah

kebutuhan masyarakat, maka menjadi amat

contoh

dengan

wajar jika pada pilakda berikutnya akan

sebutan kebijakan yang berpihak kepada

dipilih kembali dengan suara yang amat

masyarakat miskin (pro poor policy). Juga

meyakinkan, mutlak. Kasus terpilihnya Azwar

kebijakan

respons

Anas di Banyuwangi dan Tri Rismaharini di

terhadap kebutuhan peningkatan kapasitas

Surabaya untuk kedua kalinya sebagai kepala

ekonomi

lapangan

daerah menjadi salah satu kisah sukses

pekerjaan yang lebih luas (pro jobs) dan

pemimpin yang responsif dengan pilkada

mendorong laju perekonomian lebih cepat

yang partisipatif.

menjamin

kebijakan

yang

yang

diambil

dengan

dikenal

kerana

memberikan

(pro growth) agar peringkat kesejahteraan
masyarakat semakin tercapai. Ini adalah

Pilkada, Partisipasi dan Responsivitas

selaras dengan implementasi falsafah “untuk
ra kyat”

bukan

untuk

langsung

pada

akhirnya

elit

menggantikan pilkada tidak langsung didasari

penguasa, dimana masyarakat tetap miskin

oleh semangat pemberdayaan masyarakat

tetapi para penguasanya kaya raya (pro elit).

dalam berpartisipasi memilih kepala daerah

Capaian ini tentunya bergantung kepada

secara lebih demokratis. Namun harus diakui

kapasitas

pemilihan langsung sesungguhnya merupakan

pencapaian

sekumpulan

Pilkada

yang

diawali

dari

falsafah “dari rakyat” dan “oleh rakyat”

tindak

melalui pengolahan kepada sistem politik dari

demokrasi secara normatif yakni jaminan atas

implementasi “input” menuju “proses” yang

bekerjanya prinsip kebebasan individu dan

kepada

kualitas

persamaan, khususnya dalam hak politik

“output” yang dilahirkan dalam bentuk

(Pratikno, 2005). Maswadi Rauf (2005)

responsivitas (Suyatno, 2011).

menyebutkan ada empat alasan mengapa

gilirannya

menentukan

lanjut

realisasi

prinsip-prinsip

Pilkada banyak melahirkan pemimpin

pilkada langsung perlu digelar menggantikan

baru yang memiliki serangkaian janji program

pilkada tidak langsung. Pertama, untuk

yang nantinya dijalankan dalam kebijakan

membangun daerah; kedua menumbuhkan

220

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

kepemimpinan lokal; ketiga , meningkatkan
akuntabilitas

publik

dan

pemerintah; dan keempat

transparansi
adalah proses

beberapa

Pengawas

begitu

Pemilihan

temuan
Umum

Badan

(Bawaslu)

Republik Indonesia dalam pernyataan persnya
memberikan keterangan yang mengejutkan

legitimasi rakyat yang kuat.
Ada

Namun

implikasi

yang

tentang partisipasi pemilih dalam pilkada.

menguntungkan pemilih dan pemimpin yang

Bawaslu

dipilih karena partisipasi langsung dalam

pelaksanaan Pemilu/Pemilihan Kepala Daerah

pemilihan

sudah semakin demokratis, yakni ditandai

berikut:

karena
pertama ,

menyiratkan
kepala

tiga

daerah

hal

punya

dengan

menyatakan

semakin

bahwa

meskipun

transparannya

proses

legitimasi kuat untuk memerintah. Kedua ,

(predictable process) dan hasilnya tidak bisa

pilkada langsung lebih menjamin stabilitas

diprediksi (unpredictable result) tetapi dari

pemerintahan daerah, karena masa kerja

pelaksanaan pemilu ke pemilu, partisipasi

kepala daerah pasti yang tidak bisa dijatuhkan

masyarakat cenderung menurun. Bisa jadi ini

oleh DPRD. Ketiga , probabilitas aspirasi

merupakan

publik yang terserap lebih tinggi karena

terhadap

keterpilihannya

memberikan perubahan yang signifikan bagi

ditentukan

suara

pemilih

(Fitriyah, 2011). Dengan begitu pilkada

bentuk
pemilu,

apatisme
yang

masyarakat

dinilai

tidak

kesehjateraan mereka.99

menggambarkan

Ketika masyarakat terlibat langsung

pelaksanaan partisipasi yang kuat. Tidak saja

dalam menentukan pilihan politiknya untuk

pemerintah lokal yang dibentuk menjadi kuat

pemimpin di daerahnya, maka wajar jika

karena legitimasi politik yang didapat melalui

mucul bentuk respon terhadap program-

pemilihan langsung, sehingga tidak lagi begitu

program secara langsung. Tindakan yang

mudah digoyang oleh DPRD, tetapi juga

dilakukan oleh pemilih tidak lain berwujud

pemerintah lokal memiliki modal politik yang

‘stick and carrot’ dalam pilkada berikutnya.

kuat untuk membangun daerahnya. Dari sisi

Jikalau pemimpin lokal yang terpilih mampu

masyarakat, partisipasinya dalam pilkada

memberikan responsivitas sebagaimana yang

langsung

ruang

diharapkan masyarakat, maka respon positif

pemberdayaan politik secara signifikan. Tidak

(carrot) akan diberikan dalam bentuk suara

saja masyarakat ikut menentukan pemimpin

dalam

lokal melalui suara pemilih tetapi juga terlibat

dianggap tidak responsif dengan kebutuhan

dalam proses partisipasi politik melalui

masyarakat, maka “hukuman” (stick) akan

langsung

memang

mendorong

persetujuannya

terhadap

adanya

pilkada.

Namun

sebaliknya

jika

program-program

calon pemimpin yang disetujuinya dalam
bentuk keputusan pilihan suaranya.

99

Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia, Pilkada Semakin Demokratis Tapi Partisipasi
Cenderung Menurun, Selasa, 10 November 2015, dalam
http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-semakindemokratis-tapi-partisipasi-cenderung-menurun .
Di
unduh pada 1 Mei 2016.

221

Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia

diberikan dalam wujud tidak memilih atau

bisa berlangsung secara sempurna dengan

apatis (golput) dalam pilkada.

menyertakan variabel responsivitas pemimpin

Kemenangan
dianggap

mampu

petahana

menjalankan

yang
kebijakan

lokal.

Pengalaman

pilkada

menunjukkan

betapa tingginya angka partisipasi di masa

publik dengan baik, menjadi pertanda bahwa

Orde

partisipasi masyarakat diberikan secara penuh

reformasi, tetapi sesungguhnya menunjukkan

dalam pilkada. Perhimpunan untuk Pemilu

adanya partisipasi semu, karena partisipasinya

dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan dari

didorong oleh mobilisasi pemerintah.

Baru

berbanding

dengan

masa

538 calon kepala dan calon wakil kepala

Hal ini seiring dengan pernyataan

daerah yang maju dalam pilkada serentak

bahwa mobilisasi masyarakat secara top-down

2015 ini, 278 orang atau lebih dari separuh di

bukanlah bentuk partisipasi yang sejati.

antara mereka merupakan mantan gubernur,

Soebagio menyatakan bahwa beberapa studi

bupati dan wali kota ataupun wakilnya. Dalam

secara eksplisit tidak menganggap tindakan

hitung cepat yang dilakukan Lembaga Survey

yang

Indonesia (LSI) dan sejumlah lembaga,

dimanipulasikan sebagai partisipasi politik,

sejumlah

yaitu lebih menekankan sifat sukarela dari

pasangan

mendapatkan

petahana

perolehan

tampak

suara

terbanyak,

dimobilisasikan

partisipasi

dengan

atau

yang

argumentasi

bahwa

bahkan di beberapa daerah mereka menang

menjadi anggota organisasi atau menghadiri

telak. Antara lain pasangan calon wali kota

rapat-rapat umum atas perintah pemerintah

dan

Tri

tidak termasuk partisipasi politik (Soebagio,

Rismaharini-Wisnu Sakti Surya. Lalu, di

2008). Di masa Orde Baru partisipasi politik

Banyuwangi,

Bupati

yang dimobilisasikan merupakan kontribusi

Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko

hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh

memperoleh

jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde

wakil

wali

kota

pasangan

suara

Surabaya,

mantan

sampai

88,78%,

berdasarkan survei LSI.100

Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh

Ini semakin memperkuat argumen

para

tokoh-tokoh

masyarakat

karismatik

bahwa tingginya angka partisipasi belumlah

sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh

menjamin

birokrasi pemerintahan sebagai wasit, namun

bahwa

mengimplementasikan

pilkada
prinsip

sukses
demokrasi.

Substansinya tidak lain adalah sejauh mana
rangkaian

proses

pilkada

ikut bermain politik sebagai orang Golkar.
Dengan begitu perilaku golput dalam

yang

hemat penulis juga merupakan partisipasi

direpresentasikan dalam bentuk partisipasi

politik karena merefleksikan sikap bukan
sebagai budak (client) melainkan sebagai

100

BBC Indonesia, Pilkada serentak, sejumlah calon
petahana
unggul,
dalam
http://www.bbc.com/
indonesia/berita_indonesia/2015/12/151210_indonesia_
pilkada_petahana. Di unduh pada 1 Mei 2016.

222

warga (citizen) dan menganggap partisipasi
bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

hak warga masyarakat itu sendiri, baik

intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram

berpartisipasi

dan meluas (Soebagio, 2008).

untuk

memilih

dan

berpartisipasi untuk tidak memilih. Justru
dengan

meningkatnya

jumlah

Dari uraian diatas nampak jelas

golput

betapa unsur responsivitas menjadi salah satu

menandakan keberanian masyarakat bersuara

unsur terpenting kelangsungan partisipasi

(voice) untuk merespon tindakan pemimpin

masyarakat untuk melanjutkan pilihannya

yang dipilih dalam pilkada sebelumnya. Ini

terhadap petahana. Jika peningkatan jumlah

adalah manifestasi demokrasi juga.

gotput dari

masa Orde Baru (rata-rata

Secara empirik peningkatan angka

dibawah 10 persen) ke masa reformasi (rata-

Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas

rata antara 30-40 persen) menjadi pertanda

sebagai berikut: (1). Pemilu dan Pilkada

melemahnya partisipasi aktif pemilih untuk

langsung

belum

mampu

menghasilkan

menentukan pilihannya, dalam konteks ini

bagi

peningkatan

bisa dikatakan justru ada keberanian pemilih

kesejahteraan masyarakat; (2). Menurunnya

untuk tidak memilih karena alasan tertentu.

kinerja partai politik yang tidak memiliki

Dengan kata lain merupakan respon terhadap

platform politik yang realistis dan kader

responsivitas pemimpin lokal.

perubahan

berarti

politik yang berkualitas serta komitmen

Fenomena lain selain golput yang

politik yang berpihak kepada kepentingan

menunjukkan adanya penurunan partisipasi

publik,

mengutamakan

aktif dan dengan sendirinya menunjukkan

kepentingan kelompok atau golongannya; (3).

keberanian untuk berpartisipasi pasif (golput)

Merosotnya

aktor-aktor

dari masyarakat, yaitu kemenangan petahana

politik (elit politik) yang berperilaku koruptif

dalam pilkada 2015 yang mencapai lebih dari

dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan

50% pilkada di seluruh Indonesia. Dari

daripada memperjuangkan aspirasi publik; (4)

pilkada yang diselenggarakan di 269 daerah,

Tidak

yang

ternyata lebih banyak calon petahana yang

dikampanyekan oleh elit politik kepada publik

memenangkan pilkada daripada yang kalah,

yang

dengan perbandingan 57,9 persen dan 42,1

melainkan

lebih

integritas

terealisasikannya

mendukungnnya;

moral

janji-janji

(5).

Kejenuhan

pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada

persen.

yang dipandang sebagai kegiatan seremonial

mempertahankan

berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi

posisinya sebagai kepala daerah lebih banyak

para elit politik; (6). Kurang netralnya

terjadi di wilayah kota daripada kabupaten. Di

penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih

kota, walikota yang berhasil mempertahankan

berpotensi melakukan keberpihakan kepada

posisinya mencapai 47,1 persen, sementara di

kontestan tertentu, di samping juga kurangnya

kabupaten hanya 28,1 persen bupati yang
kembali

Petahana

meraih

atau

posisi

yang

berhasil

meraih

kembali

sebagai

kepala

223

Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia

daerah.101

Data

argumentasi
peluang

ini

seolah

bahwa

menang

menguatkan

petahana

lebih

Dharmawijay
a-I.G.N. Jaya
Negara

memiliki

besar

daripada

7.

Tanah
Bumbu

Mardani H
MamingSudian Noor

81,50

8.

Mojokerto

Mustafa
Kamal PasaPungkasiadi

78,65

9.

Bolmong
Selatan

Herson
MayuluIskandar
Kamaru

77,35

10.

Medan

Dzulmi EdinAkhyar
Nasution

71,68

pesaingnya. Pada pilkada sebelumnya dari
data yang dihimpun, selama kurun waktu
tahun

2011

saja,

dari

sekitar

211-an

pelaksanaan pilkada di berbagai daerah di
Indonesia,

124

daerah

atau

59,05%

dimenangkan kembali oleh calon incumbent
(petahana), sementara 87 daerah lainnya atau
sekitar 40,05 % calon incumbent mengalami
kekalahan.
Tabel

Sumber: Data KPU, dalam JPNN, Ibu Risma dibawah

dibawah

ini

menjelaskan

mbak Rita, http://www.jpnn.com/read/2015/12/13/3443

kemenangan yang diraih petahan dengan

71/Ibu-Risma-di-Bawah-Mbak-Rita-/page3.

suara yang cukup telak.

pada 5 Mei 2016

Diunduh

Tabel 1.0
Banyak faktor yang menyebabkan

10 Besar Petahana Menang Pilkada 2015
No
.

Daerah

Nama
Pasangan
Petahana

Persentase
Kemenanga
n

1.

Kota Blitar

Samanhudi
AnwarSantoso

92,04

Kutai
Kartanegar
a

Rita
WidyasariEdi
Damansyah

89,40

Banyuwan
gi

A Azwar
Anas-Yusuf
W

88,96

4.

Bandar
Lampung

Herman H.NMuhammad
Yusuf Kohar

86,66

5.

Surabaya

Tri
RismahariniWhisnu Sakti
Buana

86,22

I.B.R.

82,19

2.

3.

6.

Denpasar

224

Sopa mengatakan, setidaknya ada lima faktor
yang

membuat

memenangi

calon

pilkada

petahana

serentak

mampu

tahun

ini.

Pertama adalah karena masyarakat merasa

puas atas kinerja kepemimpinannya selama
menjabat. Kedua , pasangan petahana sudah
lebih dikenal oleh masyarakat. Para pasangan
incumbent biasanya sudah lebih populer, itu
juga bisa menjadi faktor kemenangannya.
Ketiga , pasangan petahana dianggap telah

menguasai dan mampu menjangkau semua
segmen pemilih. Keempat, pasangan petahana
mampu

menggerakkan

tokoh

informal

maupun formal. Kelima, pasangan petahana

Kompas, “Petahana Tetap Kuat di Pilkada 2015”,
dalam
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/07
/02205431/Petahana.Tetap.Kuat.di.Pilkada.2015 .
Di
unduh pada 5 Mei 2016.
101

kemenangan petahana. Peneliti LSI, Ardian

dianggap lebih siap secara finansial. Selama
menjabat, biaya hidup petahana ditanggung
oleh negara, maka wajar jika mamapu
mengumpulkan dari hasil selama menjabat

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

kepala daerah untuk menghadapi pilkada

keberhasilannya

sehingga

diadopsi

oleh

tahun ini.102

daerah-daerah lain di Indonesia. Kemampuan
Tri

Risma membangun citranya di media massa

Rismaharini sebagai walikota Surabaya dan

juga menjadi salah satu penentu karena

Azwar Anas sebagai bupati Banyuwangi

popularitas akan memudahkan pemilih untuk

menjadi contoh betapa masyarakat di kedua

memilihnya kembali. Salah satu kebijakannya

daerah

kesempatan

yang sensasional adalah penutupan lokalisasi

kepada petahana untuk memimpin daerahnya

Dolly, sebagai area pelacuran terbesar di Asia

kedua kali. Risma mampu merebut suara

Tenggara, menambah popularitasnya semakin

86,22 persen dari pemilihnya, sedangkan

tinggi.

Kisah

sukses

tersebut

kepemimpinan

memberikan

Azwar Anas sukses mendulang 87,88 persen.

Sementara itu, Azwar Anas selama

Kedua petahana ini sebelumnya memang

menjadi bupati di wilayah paling timur di

tergolong sangat populer di media masa

propinsi

karena kebijakan publiknya yang dianggap

mempopulerkan daerahnya melalui program-

inovatif dan menyentuh masyarakat langsung.

program

Jawa

Timur

inovatifnya.

itu

Kini

mampu

banyuwangi

kebijakan

menjadi tujuan pariwisata terpopuler selain

publik yang membawa Surabaya sukses

Batu Malang dan Gunung Bromo di Jawa

meraih Piala Adipura selama 4 tahun berturut-

Timur. Semua itu berkat kegigihan Azwar

turut. Audit BPK pada tahun 2013 juga

membangun

memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian

Klimaksnya ketika kabupaten yang berjuluk

(WTP)

“The Sunrise of Java” ini, berhasil meraih

Risma

dikenal

terhadap

dengan

Laporan

Keuangan

dunia

penghargaan

Anggaran 2013. Opini WTP merupakan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (The

penilaian tertinggi yang diberikan oleh auditor

Nations

terhadap hasil auditnya yang berarti bahwa

Organization/UNWTO) dalam ajang "12th

Pemkot

mengelola

UNWTO Awards Forum" di Madrid, Spanyol.

keuangannya secara wajar, baik, transparan

Kabupaten Banyuwangi menyabet UNWTO

dan akuntabel. Selain itu Walikota Surabaya

Awards for Excellence and Innovation in

tersebut

Tourism untuk kategori ”Inovasi Kebijakan

mampu

mengeluarkan

kebijakan

Badan

daerahnya.

Pemerintah Daerah Kota Surabaya Tahun

Surabaya

dari

pariwisata

World

Pariwisata
United
Tourism

dalam

Publik dan Tata Kelola” dengan mengalahkan

pengelolaan APBD Kota Surabaya. Sistem e-

nominator lainnya dari Kolombia, Kenya, dan

budgeting

Puerto Rico.Tentu ini menambah kekuatan

penggunanaan

sistem

Pemkot

e-budgeting

Surabaya

ini

diakui

petahana di Banyuwangi untuk meyakinkan
102

Dedy Priatmojo, Lima Faktor Calon Petahana Unggul
di Pilkada Serentak, dalam http://politik.news.viva.
co.id/news/read/709835-lima-faktor-calon-petahanaunggul-di-pilkada-serentak. Diunduh pada 5 Mei 2016.

pemilihnya untuk memberikan eluang kedua
kali memimpin daerahnya.

225

Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia

Kebijakan publik yang dilakukan

terhadap

petahana selama menjabat, menjadi salah satu

ekonomi.

ukuran yang menentukan kemenangannya

daerah terkaya di Riau yang memiliki APBD

dalam

konsep

mencapai Rp. 5 triliun. Namun program

responsivitas menyatakan bahwa kebijakan

pembangunan infrastruktur dan ekonomi tidak

yang responsif adalah kebijakan yang dibuat

menyentuh

sebagai

atau

Belum lagi petani karet yang sudah lima tahun

poor

lamanya terpuruk lantaran harga murah.

sukses

Masih banyak desa yang tidak dialiri listrik di

mendulang kemenangan pilkada, seperti yang

Rupat, begitu pula akses jalan yang tidak

diraih Risma dan Azwar, adalah tidak lain

beraspal di desa-desa.103

pilkada.

Sebagaimana

respons

kebutuhan
policy),

terhadap

dasar
maka

aspirasi

masyarakat
petahana

(pro

yang

pembangunan
Padahal

Bengkalis

kalangan

Jauh

karena nilai responsivitas sebagai wujud

infrastruktur

merupakan

masyarakat

sebelum

dan

pilkada

bawah.

2015

amalan filsafat “untuk rakyat” memang

diselenggarakan,

dirasakan masyarakat langsung. Amat lumrah

menjelaskan

jika petahana yang demikian mampu meraih

menyebabkan petahana mengalami kekalahan

kemenangan

pilkada.

adalah sebagai berikut: Pertama , Tingkat

Sebaliknya, jika responsivitas jauh dari

popularitas calon petahana ternyata tidak

harapan masyarakat, maka “hukuman” (stick)

berbanding lurus dengan tingkat ke disukai-

akan diberikan dalam bentuk kekalahan yang

nya dan keterpilihannya (elektabilitasnya) di

telak sekalipun.

mata

mutlak

dalam

rakyat.

Heru
bahwa

Hal

ini

Kundhimiarso
hal-hal

bisa

yang

diakibatkan

Kisah Bupati petahana Bengkalis,

melekatnya persepsi negatif dalam diri sang

Herlyan Saleh kalah telak dalam pemilihan

petahana, baik dari sisi moralitas, karakter

kepala daerah serentak 2015 Bengkalis adalah

pribadi, maupun gaya kepemimpinannya.

salah satunya. Herlyan yang berpasangan

Tingkat

dengan Riza Pahlevi justru menduduki posisi

karakter personal dan gaya kepemimpinan

paling buncit dari dua pasangan calon bupati

seorang petahana akan membentuk politik

lainnya.

Menuut

Forum

persepsi yang sedemikian kuat di mata publik,

Indonesia

untuk

Anggaran

seperti kesan arogan, sok pintar, sok kuasa,

Koordinator
Transparansi

(Fitra) Riau Usman menyebutkan, status

ketidaksukaan

rakyat

terhadap

pemarah, berjarak dengan rakyat dll.

tersangka korupsi yang disandang Herlyan

Kedua , Kekalahan petahana tersebut

Saleh sangat mempengaruhi merosotnya suara

bisa dibaca sebagai bentuk protes langsung

bupati

rakyat atas kepemimpinan sang petahana atau

inkumben

itu.

Selain

itu

ketidakpercayaan masyarakat juga tampak
dari 5 tahun masa kepemimpinan Herlyan
Saleh tidak memberikan dampak signifikan

226

103 Tempo, “Ini Penyebab Kekalahan Bupati Petahana
Bengkalis Riau”, dalam https://m.tempo.co/read/news
/2015/12/18/058728852/ini-penyebab-kekalahan-bupatipetahana-bengkalis-riau. Diunduh [ada 5 Mei 2016.

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230

pejabat politik di daerah tersebut. Petahana

DKI Jakarta contoh paling dekat dan paling

dianggap mengingkari janji-janji kampanye

tepat dengan sosok Jokowi nya. 104
Maka menjadi hal yang lumrah jika

pada saat pertama maju mencalonkan diri.
Petahana

dinilai

kesejahteraan,

gagal

gagal

dalam

mewujudkan

petahana gagal dalam pilkada tidak lain

menjalankan

dikarenakan faktor-faktor tersebut. Tingkat

kepemimpinannya. Sehingga rakyat yang

melek

tidak puas melampiaskan ketidakpuasannya

reformasi ini memang meningkat pesat. Tidak

tersebut

saja apatisme dalam bentuk golput disuarakan

dengan

cara

menghukum

sang

petahana dengan tidak memilihnya kembali.
Ketiga ,

Masyarakat

memiliki

politik

masyarakat

sejak

masa

dalam pilkada tetapi juga “hukuman” untuk
petahana

yang

tidak

responsif

terhadap

keinginan kuat untuk melakukan perubahan

kesejahteraan masyarakat menjadi taruhan

dan mereka melakukan gerakan penolakan

yang penting.

terhadap status quo yang dibangun petahana,
hal ini terjadi karena masyarakat telah melihat

Kesimpulan

kepemimpinan petahana yang tidak mampu

Proses pilkada di Indonesia sejak

dan tidak berhasil melakukan perubahan

reformasi

dalam masa kepemimpinannya. Semangat

masyarakat menjadi aktor penting dalam

perubahan yang diinginkan masyarakat, akan

proses pemilihan. Berbeda dengan masa Orde

membangun persepsi politik yang seolah-olah

Baru dimana mayoritas masyarakat mengikuti

vis a vis antara pro status quo dengan pro

pemilihan umum di level nasional, karena di

perubahan.

level daerah semua kepala daerah ditunjuk

menandakan

era

baru,

ketika

Keempat, Kondisi masyarakat saat ini

oleh Soeharto, adalah berdasarkan mobilitas

yang mulai otonom dan rasional dalam

pusat, sehingga amat wajar jika tingkat

menentukan pilihannya, masyarakat tidak lagi

partisipasinya rata-rata diatas 85 persen.

tergantung

yang

Namun begitu partisipasinya dianggap semu,

mengusung calon, masyarakat tak mau lagi

karena tidak disertai dengan keterwakilan,

terbuai dengan money politik yang diberikan

transparansi dan akuntabilitas, apatah lagi

oleh sang kandidat. Masyarakat kini lebih

responsivitas

melihat berdasarkan pada visi, misi, dan

reformasi partisipasi aktif masyarakat dalam

program kerja konkret yang ditawarkan calon.

pilkada disertai dengan pemantauan sepanjang

Lebih tertarik dengan sosok figur calon yang

periode pemimpin daerah ketika menjabat,

pada

bendera

parpol

yang

memadai.

Di

masa

mencerminkan kesederhanaan, dekat dengan
rakyat, jujur, ramah, dan low profile. Pilkada

Puskapik, “Musim Bergugurannya Calon Incumbent
(Petahana) dalam Pilkada, bagaimana dengan Pemalang
?”
dalam
http://www.puskapik.com/musimbergugurannya-calon-petahana-incumbent-dalampilkada-bagaimana-dengan-pemalang/. Diunduh pada 5
Mei 2016.

104

227

Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia

sehingga amatlah wajar unsur responsivitas

http://www.rti.org/pubs/Democr_Dec

menjadi

en.PDF. Diakses 10 Januari 2008.

variabel

penting

dalam

proses
Dedy

berdemokrasi secara menyeluruh.
Partisipasi yang aktif secara ideal

Priatmojo,

“Lima

Faktor

Petahana

Unggul

di

memang harus disertai dengan responsivitas

Serentak”,

yang

tinggi.

diberikan

Kepercayaan

pemilih

dalam

Calon
Pilkada
dalam

politik

yang

http://politik.news.viva.co.id/news/rea

pilkada

agar

d/709835-lima-faktor-calon-

penyelenggara negara menjalankan kebijakan-

petahana-unggul-di-pilkada-serentak.

kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan

Diunduh pada 5 Mei 2016.

masyarakat, dewasa ini semakin mengemuka.

De Tocqueville, A. (2003). Democracy in
(Vol.

Kemenangan dan kekalahan petahana dalam

america

pilkada dapat dinyatakan bahwa keterkaitan

Publishing.

10).

Regnery

partisipasi dan responsivitas menjadi amat

Diamond, L. (1999). Developing democracy:

penting dalam proses demokrasi lokal secara

Toward consolidation. JHU Press.

menyeluruh.

Dwiyanto,

A.

(2006).

Reformasi

birokrasi publik di Indonesia . Gadjah

Mada University Press.

Daftar Pustaka
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia,

“Pilkada

Demokratis

Tapi

Semakin
Partisipasi

Cenderung Menurun”, Selasa, 10
November

2015,

dalam

analysis of political systems. World
politics, 9(03), 383-400.

Fatkhurohman, F. (2010). Pilkada Dan Masa
Depan

Penguatan

Demokrasi

di

http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-

Daerah. Jurnal Konstitusi, 3(2).

semakin-demokratis-tapi-partisipasi-

Fitriyah, F. (2013). Meninjau Ulang Sistem

cenderung-menurun. Diunduh pada 1

Pilkada Langsung: Masukan Untuk

Mei 2016.