Pemilihan Kepala Daerah Pilkada dan Tant
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
Politik Indonesia
Indonesian Political Science Review
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
Suyatno1, 2
1
2
Universitas Kanjuruhan, Malang, Indonesia
Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel:
Diterima 12 Juni 2016
Disetujui 15 Juni 2016
Dipublikasi 15 Juli 2016
Pilkada langsung pada akhirnya menggantikan pilkada tidak langsung didasari oleh
semangat pemberdayaan masyarakat dalam berpartisipasi memilih kepala daerah secara
lebih demokratis. Selain partisipasi terdapat unsur penting lainnya yang bisa
menggambarkan berlangsungnya proses demokrasi lokal, yaitu responsivitas. Dua unsur
tersebut dapat menentukan proses pilkada secara lebih substanstif daripada sekedar
prosedur demokrasi lokal. Tulisan ini menggunakan metodologi kualitatif untuk
menganalisa data partisipasi dan responsivitas pilkada sebagai variabel penting dalam
demokrasi lokal. Partisipasi masyarakat dalam pilkada memang tidak setinggi partisipasi
dalam pemilu di masa Orde Baru. Namun begitu partisipasinya bersifat substantif karena
disertai penilaian terhadap kadar responsivitas pemimpin lokal. Petahana yang sukses
menjalankan responsivitas lokal akan mendapatkan sukses lanjutan dalam wujud
kemenangan pilkada berikutnya. Sebaliknya, petahana yang gagal dalam pelaksanaan
responsivitas akan memperoleh kekalahan. Kemenangan dan kekalahan petahana dalam
pilkada dapat dinyatakan bahwa keterkaitan partisipasi dan responsivitas menjadi amat
penting dalam proses demokrasi lokal secara menyeluruh.
Keywords:
Pilkada; Participation;
Responsiveness; Local
Democracy
Abstract
Direct local leader elections (Pilkada) had replaced indirect local elections. It based on
the spirit of people empowerment to participate choosing local leaders more democratic.
Responsiveness is an important element besides participation which represent local
democracy. These two variables will decide the local elections that can enhance the
quality of local democracy. This paper uses qualitative methodology to analyze the data of
participation and responsiveness of Pilkada as an important variables in local democracy.
People participation in Pilkada is not as high as the participation in New Order elections.
Their participation are more substantive because accompanied assessment of the level of
responsiveness of a local leader. Incumbent successful running of local responsiveness
will get continued success as the next local elections victory. In contrast, incumbent who
failed in the implementation of responsiveness will obtain defeat. Victory and defeat
incumbent in the election can be stated that the relevance of participation and
responsiveness become very important in the local democratic process as a whole.
Alamat
korespondensi:
Jl. Sudancho Supriyadi No.48 Malang 65148 Indonesia.
Jl. Airlangga 4-6, Surabaya 60286 Indonesia.
Email: yatno.ladiqi@gmail.com
212
© 2016 Universitas Negeri Semaran
ISSN 2477 – 8060
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
Pada
Pendahuluan
perjalanannya
mekanisme
Pemilihan kepala daerah (pilkada) di
pilkada mengalami perubahan dari pemilihan
Indonesia merupakan amanah langsung dari
tidak langsung menjadi pemilihan langsung.
gerakan reformasi tahun 1998. Menimbang
Dinamika ini dilatar belakangi oleh berbagai
perlunya partisipasi yang kuat dari masyarakat
alasan seperti ‘perselingkuhan’ wakil rakyat
untuk ikut terlibat langsung dalam pemilihan
(DPRD) dengan calon Bupati/ Walikota/
pemimpinnya, maka pemilihan kepala daerah
Gubernur yang berimbas kepada korupsi
menjadi momentum demokrasi yang paling
politik dan akuntabilitas yang buram karena
penting dalam kehidupan berbangsa dan
persekongkolan
bernegara
wujud
transparansi tetapi justru menyemarakkan
pilkada
politik uang. Hal ini dimungkinkan karena
dimaksudkan tidak saja untuk memenuhi
DPRD lah yang memilih kepala daerah.
hasrat mengganti mekanisme lama pemilihan
Alasan tersebut menjadi puncak ketidak
pemimpin dan wakil rakyat gaya otoriterisme,
puasan terhadap pelaksanaan pilkada tidak
tetapi juga secara filosofis ingin menggapai
langsung. Dengan begitu terjadi perubahan
pelaksanaan
yang
dari UU No. 22/1999 digantikan dengan UU
mengembangkan
No. 32/2004 yang mengatur pilkada secara
Indonesia.
implementasi
demokrasi,
nilai-nilai
berkelanjutan,
partisipasi
Sebagai
demokrasi
yaitu
dan
responsivitas
serta
masa
Orde
Baru
politik
meniadakan
langsung.
akuntabilitas secara menyeluruh.
Pada
elit
Tulisan ini hendak membahas proses
praktis
pilkada
sebagai
wujud
implementasi
implementasi otoriterisme lebih dominan
demokrasi lokal yang sarat dengan gambaran
untuk memilih kepala daerah di wilayah
betapa
propinsi maupun kabupaten/kotamadya. Pola-
menjadi tolok ukur nyata demokrasi. Namun
pola top down dan patrimonial begitu
begitu
mendominasi politik Indonesia, sehingga
pemimpin daerah yang terpilih kurang begitu
sangat wajar tuntutan reformasi yang paling
disoroti sehingga seolah-olah setelah pilkada,
esensial adalah mengganti praktek-praktek
proses
otoriterisme dengan mekanisme yang lebih
Padahal pesta demokrasi sejatinya tidak
demokratis, yaitu mekanisme pilkada. Hal ini
berhenti kepada titik pemilihan pemimpin saja
sesuai dengan UUD 1945, Pasal 18 ayat (4)
tetapi
yang menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati,
bentuk komitmen nyata pemimpin daerah
dan Walikota masing-masing sebagai kepala
yang
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan
mensejahterakan rakyat yang kerap kali
kota dipilih secara demokratis.
diusung dalam janji kampanyenya. Inilah
bentuk
partisipasi
seringkali
demokrasi
lebih
terpilih
langsung
sisi
tanggung
sudah
subtstantif
untuk
responsivitas
masyarakat
jawab
dianggap
usai.
mempertanyakan
memenuhi
yang
hasrat
acapkali
213
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
menentukaan dinamika pilkada berikutnya,
peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah
yaitu petahana yang sukses menjalankan
(KPUD) di Kota Malang yang memiliki
program-programnya
peranan
dapat
mendulang
penting
dalam
memperkuat
kemenangan dengan telak pada pilkada
demokrasi lokal berkat peran krusialnya
berikutnya.
sebagai penyelenggara pilkada (Hijri, 2008).
Ada banyak tulisan tentang pilkada di
Indonesia
dalam
ilmiah
ada yang membahas pilkada dan demokrasi
sebelumnya, tetapi yang khusus membahas
lokal dari sisi partisipasi dan responsivitas.
pilkada
belum
Oleh karena itu diharapkan tulisan ini mampu
banyak. Fitriyah (2011) lebih memfokuskan
mengisi kekosongan studi demokrasi lokal
diri kepada studi proses pilkada langsung
dan pilkada di Indonesia.
dengan
karya-karya
Dari rangkaian Kajian Pustaka tersebut belum
demokrasi
lokal
yang diyakininya dapat memberikan ruang
Untuk lebih jauh membahas pilkada
kepada demokratisasi di Indonesia (Fitriyah,
dalam kaitannya dengan proses demokrasi
2011) Secara diametral pendapatnya berbeda
lokal, sebagai landasan pemahaman yang utuh
dengan
yang
maka penjelasan konseptualisasi menjadi asas
beragumen bahwa pilkada langsung justru
pembahasan pilkada dan demokrasi lokal.
tidak mendatangkan kesejahteraan rakyat
Penting
karena problem yang dihasilkan jauh dari
konsepsional karena diharapkan tulisan ini
unsur-unsur demokrasi. Pelaksanaan pilkada
dapat menganalisa pilkada dalam konteks
langsung juga dipertanyakan efektifitasnya
pelaksanaan demokrasi lokal secara lebih
oleh Iza Rumesten RS (2014), karena pada
argumentatif.
Sebagai
kenyataanya banyak melahirkan koruptor-
pembahasan
demokrasi
koruptor
kemukakan dibawah ini.
Retno
baru.
demokrasi
Fatkhrohman
kelemahan
Saraswati
Studi
lokal
pikada
pilkada
juga
(2010)
(2014)
dengan
dibahas
yang
menyoroti
langsung
sehingga
memerosotkan
mengemukakan
landasan
permulaan
lokal
maka
penulis
oleh
memunculkan serangkaian korupsi yang pada
gilirannya
untuk
Kajian Pustaka
Demokrasi Lokal di Indonesia
Memahami demokrasi lokal memang
demokrasi
tak dapat memisahkan diri dari perbincangan
(Fatkhurohman, 2010). Janpatar Simamora
tentang kebijakan desentralisasi. Mengingat
(2011) lebih optimis melihat pilkada langsung
kebijakan ini merupakan pintu awal bagi
sebagai proses pematangan demokrasi di
terciptanya demokrasi lokal. Bahkan sejumlah
tingkat daerah, kendati dalam pelaksanaannya
ilmuwan
banyak menimbulkan masalah (Simamora,
sesungguhnya dari desentralisasi tidak lain
2011). Dalam kaitan dengan demokrasi lokal,
Yana Syafriana Hijri (2008), membahas
214
meyakini
bahwa
tujuan
yang
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
lokal.93
Keyakinan bahwa desentralisasi akan
Dalam konteks ini salah satu bentuk kebijakan
menumbuhkan demokrasi lokal juga dianut
desentralisasi
oleh
adalah
menumbuhkan
yang
kelangsungan
demokrasi
sangat
Menurutnya
desentralisasi menumbuhkan partisipasi dan
kekuasaan,
tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi
kewenangan, tanggung jawab dan sumberdaya
demokratis warga telah melahirkan komitmen
dari negara ke pemerintah lokal. Devolusi
warga yang luas maupun hubungan-hubungan
juga sering disebut dengan desentralisasi
horisontal: kepercayaan (trust), toleransi,
demokratis
decentralization),
kerjasama, dan solidaritas yang membentuk
pengembangan
apa yang disebut Putnam komunitas sipil
hubungan sinergis antara pemerintah pusat
(civic community). Indikator-indikator civic
dengan
engagement
yakni
yakni
transfer
(democratic
sebagai
lokal
Putnam.94
Robert
adalah
devolusi,
demokrasi
penting bagi
bentuk
pemerintah
daerah
dan
antara
--
solidaritas
–
partisipasi
Desentralisasi demokratis hendak mengelola
terhadap kinerja pembangunan sebagai contoh
kekuasaan
dan
kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas
mengimplementasikan kebijakan, perluasan
kehidupan demokratis. Selama seperempat
proses demokrasi pada level pemerintahan
abad terakhir, desentralisasi politik di Itali
lokal, dan mengembangkan standar (ukuran)
telah secara luas mentransformasikan kultur
yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung
politik
secara berkelanjutan (Manor, 1997). Adapun
demokratis.
kebijakan desentralisasi yang lain adalah
regional,
dekosentrasi,
sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan
mengembangkan
yang
mengacu
pada
elite
dalam
dapat
dan
pemerintah daerah dengan warga masyarakat.
untuk
massal
sosial
suatu
Pembentukan
yang
yang
pemerintahan
kemudian
mendapatkan
dan
making) dalam negara, dan delegasi tugas-
menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang
tugas tertentu sementara pemerintah pusat
secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi,
masih
jawab
lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih
keseluruhan. Sementara itu privatisasi adalah
fleksibel dan suatu 'penerimaan mutual yang
merupakan bentuk desentralisasi yang paling
lebih besar di antara hampir semua partai'.
jauh jangkauannya (Freks dan Otto, 1996).
Secara
tanggung
atas
arah
penggeseran pembuatan keputusan (decision-
menguasai
kontrol
berpengaruh
sumber-sumber
berangsur-angsur
mengidentifikasi
diri
daya,
warga
mulai
dengan
level
94
93
Brian C. Smith, Decentralization: Territory
Dimension of the State (London: MacMillan, 1985);
Dennis Rondinelli, "What is Decentralization?" Note
prepared for the PREM Knowledge Management
System, World Bank, Washington, DC, 1998; dan Larry
Diamond, Developing Democracy (Baltimore and
London: The Johns Hopkins University Press, 1999),
bab 4.
Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic
Tradition in Moden Italy (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 1993). Ide Putnam tentang
civic community ini sangat dipengaruhi oleh aliran
republikanisme dan pemikiran Tocqueville tentang
kehidupan asosiasional sebagai basis demokrasi di
Amerika Serikat. Lihat Alexis de Tocqueville,
Democracy in America , ed. J.P. Mayer (Garden City,
NY: Anchor Books, 1969
215
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
pemerintahan
lokal
menghargainya
dan
bahkan
ketimbang
lebih
pemerintahan
dan
menerima
antarkelompok-
kelompok kepentingan dalam masyarakat
tentang keputusan-keputusan terpenting dan
nasional.
detail
memberi
Kajian demokrasi lokal secara lebih
tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan
diberikan
tanggung
oleh
organisasi
non-
bersama-sama.
(3)
Pendidikan
pemerintah global yatu International IDEA.95
politik.
Sebagai organisasi yang bergerak di bidang
fasilitas bagi proses pendidikan politik. Peran
penelitian
pemberadaayan
serta warga masyarakat memungkinkan setiap
IDEA
banyak
individu memperoleh informasi mengenai
membantu memberikan analisa dan penjelasan
semua urusan dan masalah di masyarakat,
tentang
dengan
yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat
menekankan kepada konspesi penting sebagai
terpilih atau para profesional pemerintahan di
berikut:
kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan
dan
demokrasi,
advokasi
International
demokrasi
(1)
lokal
yaitu
Demokrasi
lokal
akan
memberi
memiliki
informasi
masyarakat. Peran serta masyarakat lokal
demokrasi
-yang
sesungguhnya adalah fondasi utama dalam
keputusan oleh rakyat- semakin mungkin dan
gagasan modern mengenai kewarganegaraan,
efektif.
sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada
mengurangi jurang pemisah antara para elite
beserta
politik
Kewarganegaraan
segala
proses
dan
pengambilan
Peran
dan
akan
menciptakan
berarti
pengambilan
serta
anggota
masyarakat
berarti
masyarakat.
(4)
keputusannya memungkinkan terwujudnya
Pemerintah yang baik dan kesejahteraan
praktik demokrasi yang lebih langsung,
sosial. John Stuart Mill dan para pendukung
dimana suara individu dapat didengar dengan
paham demokrasi partisipatoris di tingkat
lebih mudah. (2) Musyawarah. Demokrasi
lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi
bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya
kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan
terkandung
mendukung terciptanya pemerintahan yang
unsur-unsur
penting
seperti
dialog, debat, dan diskusi yang bermakna
baik
guna
mencari solusi bagi segala masalah
kesejahteraan
yang
timbul
masyarakat.
cenderung meningkatkan hubungan yang baik
Perundingan atau musyawarah juga bukan
antarwarga, membangun masyarakat yang
sekadar mendengar dan menampung keluhan
mandiri dan memiliki semangat sosial (Sisk,
warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti
et al., 2002).
melibatkan
di
dialog
dalam
yang
bersifat
saling
serta
mendukung
sosial.
Artinya,
tercapainya
demokrasi
Kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia yang diawali dengan
95
International IDEA adalah sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Internasional yang menumpukan
perhatian kepada penelitian bidang ilmu kemasyarakatan
dan pemberdayaan demokrasi. Situsnya dapat dapat
dilayari di : http:// www.idea.int.
216
dikeluarkannya UU No. 32/1999 dan direvisi
dengan UU baru yaitu UU No.32/2004 adalah
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
wujud
keseriusan
pemerintah
untuk
mengembangkan demokrasi pada level lokal.
dalam
konteks
hubungan
negara
dan
masyarakat.
Sebagaimana diyakini bersama bahwa
Usaha ini tidak lain adalah wujud pemenuhan
ingin
filsafat demokrasi yang paling mendasar, yang
luas.
dipopulerkan oleh Abraham Lincoln, tidak
Semangatnya lebih tertuju kepada ingin
lain adalah “dari rakyat”, “oleh rakyat” dan
melepaskan diri dari bayang-bayang warisan
“untuk rakyat”. Karena masih bersifat nlai-
otoriterisme yang membelenggu partisipasi
nilai falsafah maka hal ini memerlukan alat
dan pengembangan demokrasi di level lokal.
yang sukses meletakkan filsafat tersebut agar
amanah
reformasi
mengembangkan
yang
demokrasi
lebih
menunjukkan
bisa
lokal
masih
menggunakan sistem politik “Easton” untuk
tergolong berserakan. Maka di bawah ini
menampung filsafat agar bisa dijalankan
penulis
sebuah
dalam sebuah sistem politik. Terdiri dari tiga
membantu
bagian yang mampu menampung nilai-nilai
menjelaskan teorisasi demokrasi lokal yang
filsafat, yaitu input, proses dan output.
mencukupi.
Uraian
bahwa
diatas
teorisasi
demokrasi
akan
pemahaman
jelas
merangkaikan
yang
dapat
dijalankan
lebih
nyata.
Suyatno
sebuah
disertasinya,
Melalui sistem ini dimana “input”, yang
mencoba
memberikan
menerjemahkan nilai filsafat “dari rakyat”,
alternatif penjelas dalam sebuah model yang
akan menghasilkan apa yang dinamakan
menggabungkan filsafat demokrasi, sistem
dengan keterwakilan dan partisipasi. “Proses”
politik
faktor-faktor
yang menerjemahkan filsafat “oleh rakyat”,
implementasi demokrasi yang lebih terperinci.
akan menghasilkan institusi yang disebut
Model ini oleh Suyatno disebut sebagai Model
dengan
Implementasi Demokrasi, yang diharapkan
kebertanggungjawaban. Sedangkan
bisa memperjelas pelaksanaan demokrasi
“output”, yang menerjemahkan filsafat “untuk
Suyatno
Dalam
(2011)
“Easton”
96
dan
rakyat”
David Easton, “An Approach to the Analysis of
Poitical Systems”, dalam World Politics IX, No. 3 (April
1957). Easton mengusulkan suatu metode untuk
menganalisis berbagai jenis sistem politik, yaitu dengan
mengkaji sistem-sistem politik yang berdasarkan ciri-ciri
utama: (1) kesatuan-kesatuan yang membentuk sistem
itu dan luasnya batas-batas pengaruh sistem itu, (2)
“input” dan “output” dari sistem yang tercermin dalam
keputusan-keputusan yang dibuat (output) dan proses
pembuatan keputusan (input) di dalam sistem tersebut,
(3) jenis dan tingkat perbedaan (diferensiasi) dalam
sistem tersebut, dan (4) tingkat integrasi sistem politik
yang mencerminkan tingkat efisiensinya. Dengan
menganalisis berbagai bagian ini, Easton menawarkan
sebuah metode untuk memahami dan membandingkan
berbagai sistem politik. Lihat Mochtar Mas’oed dan
Collin McAndrews, Perbandingan Sistem Politik
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001).
96
kemitraan,
akan
transparansi
memunculkan
dan
bagian
institusi
responsivitas (Suyatno, 2011).
Untuk keperluan tulisan ini, penulis
akan membatasi diri dengan menggunakan
konsepsi partisipasi dan responsivitas dengan
argumen bahwa pilkada memiliki pesan kuat
untuk merefleksikan bentuk partisipasi warga
dalam
memilih
pemimpinnya,
sehingga
menjadi wajar jika melihat proses pilkada
begitu semarak dan gempita di berbagai
daerah karena antusiasme pemilih begitu
217
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
besar. Sementara itu, kadar responsivitas
dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi
menunjukkan betapa pentingnya fase setelah
adalah jembatan penghubung antara negara
pilkada bisa dapat dijadikan tolok ukur bagi
dan masyarakat agar pengelolaan barang-
berjalannya
barang
demokrasi
lokal.
Beberapa
petahana sukses mendulang kemenangannya
publik
melahirkan
kesejahteraan
manusia (human well being) (Suyatno, 2011).
dalam pilkada, sesungguhnya tidak lain
Dari
sudut
pandangan
negara,
ditentukan oleh salah satu faktor yaitu kadar
demokrasi mengajarkan bahawa partisipasi
responsivitas yang teruji dan terbukti selama
sangat
kepemimpinannya.
adalah
pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan
terbatasnya ruang yang tersedia dalam tulisan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
kali ini untuk menggunakan konsepsi lain,
Tiadanya partisipasi hanya akan menabur
seperti keterwakilan, kemitraan, transparansi
pemerintahan
dan kebertanggungjawaban, untuk membahas
Sementara itu dari sisi masyarakat, partisipasi
pilkada dan demokrasi lokal. Oleh karena itu
adalah kunci pemberdayaan (empowerment).
pembahasan partisipasi akan menjadi diskusi
Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas
yang menarik jika dikaitkan dengan pilkada
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan
yang dijalankan selama ini.
hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan
Alasan
lain
diperlukan
inisiatif
untuk
yang
lokal,
otoriter
membangun
dan
mengaktifkan
korup.
peranan
Temuan dan Diskusi
masyarakat serta membangun masyarakat
Demokrasi Lokal dan Partisipasi
yang mandiri.
Filsafat demokrasi “dari rakyat” jika
Dalam konteks hubungan tersebut,
diletakkan dalam sistem politik Easton maka
partisipasi meletakkan masyarakat kepada
masuk
dan
posisi yang sebenarnya. Pertama , masyarakat
implementasinya akan melahirkan konsep
bukanlah sebagai budak (client) melainkan
partisipasi
sebagai
dalam
dan
kategori
“input”,
keterwakilan.
Partisipasi
warga
(citizen).
Jika
budak
adalah persoalan hubungan kekuasaaan, atau
memperlihatkan kepatuhan secara total, tetapi
hubungan ekonomi-politik, yang dianjurkan
kalau konsep warga menganggap bahwa
oleh demokrasi. Partisipasi rakyat berada
setiap individu adalah pribadi yang utuh dan
dalam konteks
negara
mempunyai hak penuh untuk memiliki.
(pemerintah) dan rakyat (masyarakat). Negara
Kedua , masyarakat bukan dalam kedudukan
adalah pusat kekuasaan, kedaulatan dan
yang diperintah tetapi sebagai mitra (partner )
serangkaian hukum yang mengatur peredaran
pemerintah dalam mengurus pemerintahan
barang-barang publik di masyarakat. Di dalam
dan
masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan hal
bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai
politik, kekuatan kelompok, kebutuhan hidup,
hak warga masyarakat itu sendiri. Keempat,
218
hubungan
antara
pembangunan.
Ketiga ,
partisipasi
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
pasif
kepada cara mana sesuatu yang diberikan oleh
penerima manfaat kebijakank pemerintah,
pengambil keputusan -baik umum ataupun
tetapi sebagai aktor atau subyek yang aktif
perseorangan-- dalam merespons keperluan
masyarakat
bukan
menentukan
sekadar
kebijakan.
obyek
97
Ini
yang
dan
menjalankannya
menjelaskan kenapa pilkada diselenggarakan
kelompoknya,
secara
misalnya.98
merata
Kesadaran
di
wilayah
demokratis
Indonesia.
menempatkan
ke
seperti
dalam tuntutan
kasus
kemiskinan
Karena merupakan hasil implementasi
dalam
“untuk rakyat”, maka responsiviti dapat
kedudukan yang sebenarnya dalam proses
dipahami secara lekat dengan hasil pelayanan
pemilihan pemimpin. Ada kuasa politik dari
publik atau masyarakat, melalui serangkaian
rakyat untuk ikut menentukan pilihan terbaik
kebijakan yang ditempuh. Dalam kaitan ini
pemimpinnya dalam mekanisme pemilihan
responsivitas diartikan sebagai kemampuan
umum.
birokrasi
pentingnya
partisipasi
Namun
begitu
masyarakat
lain
mengenali
kebutuhan
dari
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
demokrasi yang tak kalah pentingnya adalah
pelayanan, serta mengembangkan rancangan-
Responsivitas (Responsiveness). Menjadi jelas
rancangan
bahwa apakah demokrasi sudah dijalankan
keperluan dan aspirasi masyarakat. Secara
sebagaimana mestinya memenuhi kebutuhan
singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas
rakyat guna mencapai keinginan membangun
ini mengukur kualitas responsif birokrasi
kesejahteraan bersama, maka responsivitas
terhadap harapan, keinginan dan aspirasi,
menjadi argumen pamungkas dari proses
serta tuntutan layanan pengguna (service
pilkada secara menyeluruh. Untuk itu dibawah
user ). Responisivitas sangat diperlukan dalam
ini akan dijelaskan penjeasan repsonsivitas
pelayanan
untuk
merupakan
melengkapi
fase
untuk
pembahasan
tentang
Pilkada secara lebih lengkap.
perkhidmatan
sesuai
publik karena
bukti
dengan
hal
kemampuan
tersebut
organisasi
untuk mengetahui kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan
serta
Demokrasi Lokal dan Responsivitas
Implementasi falsafah “untuk rakyat”
mengembangkan
rencana-rencana
pelayanan publik sesuai dengan keperluan
yang didalam sistem politik dapat diketahui
aspirasi
dalam bentuk output. Dalam demokrasi,
memiliki responsivitas yang rendah dengan
masyarakat.
Organisasi
yang
output ini yang menginstitusikan apa yang
dikenal
dengan
(responsiveness).
97
sebutan
responsivitas
Responsivitas
merujuk
Sutoro Eko, Voice, Akses, dan Kawalan Masyarakat,
makalah dalam www.ireyogya.org/sutoro/voice_dan_
akses_masyarakat.pdf. (2 Februari 2006)
98
Siri Gloppen, Lise Rakner and Arne Tostensen,
Responsiveness to the Concerns of the Poor and
Accountability to the Commitment to Poverty
Reduction, dalam http://www.undp.org/oslocentre/
PAR_Bergen_2002/concerns-poor-issues-paper.pdf. (20
Januari 2015).
219
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
sendirinya memiliki kinerja yang buruk juga
publik dengan sasaran kesejahteraan rakyat
(Dwiyanto, dkk, 2011).
sebagai tujuan akhir. Bentuk responsivitas
Kebijakan
yang
responsif
adalah
sangat menentukan kualitas demokrasi lokal
sebagai
respons
karena menggambarkan dinamika kesuksesan
dasar
pemimpin terpilih dan masyarakt memilih
masyarakat. Memberantas kemiskinan dan
dalam komunikasi dan aksi politik yang
buta
kebijakan
yang
dibuat
terhadap
aspirasi
atau
huruf,
kebutuhan
meningkatkan
taraf
hidup,
menguntungkan. Ini yang menjelaskan ketika
kesehatan,
menyediakan
masyarakat puas hati dengan kepemimpinan
pendidikan yang terjangkau, memberikan
lokal yang dianggap responsif terhadap
pinjaman usaha kecil dan sebagainya, adalah
kebutuhan masyarakat, maka menjadi amat
contoh
dengan
wajar jika pada pilakda berikutnya akan
sebutan kebijakan yang berpihak kepada
dipilih kembali dengan suara yang amat
masyarakat miskin (pro poor policy). Juga
meyakinkan, mutlak. Kasus terpilihnya Azwar
kebijakan
respons
Anas di Banyuwangi dan Tri Rismaharini di
terhadap kebutuhan peningkatan kapasitas
Surabaya untuk kedua kalinya sebagai kepala
ekonomi
lapangan
daerah menjadi salah satu kisah sukses
pekerjaan yang lebih luas (pro jobs) dan
pemimpin yang responsif dengan pilkada
mendorong laju perekonomian lebih cepat
yang partisipatif.
menjamin
kebijakan
yang
yang
diambil
dengan
dikenal
kerana
memberikan
(pro growth) agar peringkat kesejahteraan
masyarakat semakin tercapai. Ini adalah
Pilkada, Partisipasi dan Responsivitas
selaras dengan implementasi falsafah “untuk
ra kyat”
bukan
untuk
langsung
pada
akhirnya
elit
menggantikan pilkada tidak langsung didasari
penguasa, dimana masyarakat tetap miskin
oleh semangat pemberdayaan masyarakat
tetapi para penguasanya kaya raya (pro elit).
dalam berpartisipasi memilih kepala daerah
Capaian ini tentunya bergantung kepada
secara lebih demokratis. Namun harus diakui
kapasitas
pemilihan langsung sesungguhnya merupakan
pencapaian
sekumpulan
Pilkada
yang
diawali
dari
falsafah “dari rakyat” dan “oleh rakyat”
tindak
melalui pengolahan kepada sistem politik dari
demokrasi secara normatif yakni jaminan atas
implementasi “input” menuju “proses” yang
bekerjanya prinsip kebebasan individu dan
kepada
kualitas
persamaan, khususnya dalam hak politik
“output” yang dilahirkan dalam bentuk
(Pratikno, 2005). Maswadi Rauf (2005)
responsivitas (Suyatno, 2011).
menyebutkan ada empat alasan mengapa
gilirannya
menentukan
lanjut
realisasi
prinsip-prinsip
Pilkada banyak melahirkan pemimpin
pilkada langsung perlu digelar menggantikan
baru yang memiliki serangkaian janji program
pilkada tidak langsung. Pertama, untuk
yang nantinya dijalankan dalam kebijakan
membangun daerah; kedua menumbuhkan
220
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
kepemimpinan lokal; ketiga , meningkatkan
akuntabilitas
publik
dan
pemerintah; dan keempat
transparansi
adalah proses
beberapa
Pengawas
begitu
Pemilihan
temuan
Umum
Badan
(Bawaslu)
Republik Indonesia dalam pernyataan persnya
memberikan keterangan yang mengejutkan
legitimasi rakyat yang kuat.
Ada
Namun
implikasi
yang
tentang partisipasi pemilih dalam pilkada.
menguntungkan pemilih dan pemimpin yang
Bawaslu
dipilih karena partisipasi langsung dalam
pelaksanaan Pemilu/Pemilihan Kepala Daerah
pemilihan
sudah semakin demokratis, yakni ditandai
berikut:
karena
pertama ,
menyiratkan
kepala
tiga
daerah
hal
punya
dengan
menyatakan
semakin
bahwa
meskipun
transparannya
proses
legitimasi kuat untuk memerintah. Kedua ,
(predictable process) dan hasilnya tidak bisa
pilkada langsung lebih menjamin stabilitas
diprediksi (unpredictable result) tetapi dari
pemerintahan daerah, karena masa kerja
pelaksanaan pemilu ke pemilu, partisipasi
kepala daerah pasti yang tidak bisa dijatuhkan
masyarakat cenderung menurun. Bisa jadi ini
oleh DPRD. Ketiga , probabilitas aspirasi
merupakan
publik yang terserap lebih tinggi karena
terhadap
keterpilihannya
memberikan perubahan yang signifikan bagi
ditentukan
suara
pemilih
(Fitriyah, 2011). Dengan begitu pilkada
bentuk
pemilu,
apatisme
yang
masyarakat
dinilai
tidak
kesehjateraan mereka.99
menggambarkan
Ketika masyarakat terlibat langsung
pelaksanaan partisipasi yang kuat. Tidak saja
dalam menentukan pilihan politiknya untuk
pemerintah lokal yang dibentuk menjadi kuat
pemimpin di daerahnya, maka wajar jika
karena legitimasi politik yang didapat melalui
mucul bentuk respon terhadap program-
pemilihan langsung, sehingga tidak lagi begitu
program secara langsung. Tindakan yang
mudah digoyang oleh DPRD, tetapi juga
dilakukan oleh pemilih tidak lain berwujud
pemerintah lokal memiliki modal politik yang
‘stick and carrot’ dalam pilkada berikutnya.
kuat untuk membangun daerahnya. Dari sisi
Jikalau pemimpin lokal yang terpilih mampu
masyarakat, partisipasinya dalam pilkada
memberikan responsivitas sebagaimana yang
langsung
ruang
diharapkan masyarakat, maka respon positif
pemberdayaan politik secara signifikan. Tidak
(carrot) akan diberikan dalam bentuk suara
saja masyarakat ikut menentukan pemimpin
dalam
lokal melalui suara pemilih tetapi juga terlibat
dianggap tidak responsif dengan kebutuhan
dalam proses partisipasi politik melalui
masyarakat, maka “hukuman” (stick) akan
langsung
memang
mendorong
persetujuannya
terhadap
adanya
pilkada.
Namun
sebaliknya
jika
program-program
calon pemimpin yang disetujuinya dalam
bentuk keputusan pilihan suaranya.
99
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia, Pilkada Semakin Demokratis Tapi Partisipasi
Cenderung Menurun, Selasa, 10 November 2015, dalam
http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-semakindemokratis-tapi-partisipasi-cenderung-menurun .
Di
unduh pada 1 Mei 2016.
221
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
diberikan dalam wujud tidak memilih atau
bisa berlangsung secara sempurna dengan
apatis (golput) dalam pilkada.
menyertakan variabel responsivitas pemimpin
Kemenangan
dianggap
mampu
petahana
menjalankan
yang
kebijakan
lokal.
Pengalaman
pilkada
menunjukkan
betapa tingginya angka partisipasi di masa
publik dengan baik, menjadi pertanda bahwa
Orde
partisipasi masyarakat diberikan secara penuh
reformasi, tetapi sesungguhnya menunjukkan
dalam pilkada. Perhimpunan untuk Pemilu
adanya partisipasi semu, karena partisipasinya
dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan dari
didorong oleh mobilisasi pemerintah.
Baru
berbanding
dengan
masa
538 calon kepala dan calon wakil kepala
Hal ini seiring dengan pernyataan
daerah yang maju dalam pilkada serentak
bahwa mobilisasi masyarakat secara top-down
2015 ini, 278 orang atau lebih dari separuh di
bukanlah bentuk partisipasi yang sejati.
antara mereka merupakan mantan gubernur,
Soebagio menyatakan bahwa beberapa studi
bupati dan wali kota ataupun wakilnya. Dalam
secara eksplisit tidak menganggap tindakan
hitung cepat yang dilakukan Lembaga Survey
yang
Indonesia (LSI) dan sejumlah lembaga,
dimanipulasikan sebagai partisipasi politik,
sejumlah
yaitu lebih menekankan sifat sukarela dari
pasangan
mendapatkan
petahana
perolehan
tampak
suara
terbanyak,
dimobilisasikan
partisipasi
dengan
atau
yang
argumentasi
bahwa
bahkan di beberapa daerah mereka menang
menjadi anggota organisasi atau menghadiri
telak. Antara lain pasangan calon wali kota
rapat-rapat umum atas perintah pemerintah
dan
Tri
tidak termasuk partisipasi politik (Soebagio,
Rismaharini-Wisnu Sakti Surya. Lalu, di
2008). Di masa Orde Baru partisipasi politik
Banyuwangi,
Bupati
yang dimobilisasikan merupakan kontribusi
Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko
hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh
memperoleh
jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde
wakil
wali
kota
pasangan
suara
Surabaya,
mantan
sampai
88,78%,
berdasarkan survei LSI.100
Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh
Ini semakin memperkuat argumen
para
tokoh-tokoh
masyarakat
karismatik
bahwa tingginya angka partisipasi belumlah
sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh
menjamin
birokrasi pemerintahan sebagai wasit, namun
bahwa
mengimplementasikan
pilkada
prinsip
sukses
demokrasi.
Substansinya tidak lain adalah sejauh mana
rangkaian
proses
pilkada
ikut bermain politik sebagai orang Golkar.
Dengan begitu perilaku golput dalam
yang
hemat penulis juga merupakan partisipasi
direpresentasikan dalam bentuk partisipasi
politik karena merefleksikan sikap bukan
sebagai budak (client) melainkan sebagai
100
BBC Indonesia, Pilkada serentak, sejumlah calon
petahana
unggul,
dalam
http://www.bbc.com/
indonesia/berita_indonesia/2015/12/151210_indonesia_
pilkada_petahana. Di unduh pada 1 Mei 2016.
222
warga (citizen) dan menganggap partisipasi
bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
hak warga masyarakat itu sendiri, baik
intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram
berpartisipasi
dan meluas (Soebagio, 2008).
untuk
memilih
dan
berpartisipasi untuk tidak memilih. Justru
dengan
meningkatnya
jumlah
Dari uraian diatas nampak jelas
golput
betapa unsur responsivitas menjadi salah satu
menandakan keberanian masyarakat bersuara
unsur terpenting kelangsungan partisipasi
(voice) untuk merespon tindakan pemimpin
masyarakat untuk melanjutkan pilihannya
yang dipilih dalam pilkada sebelumnya. Ini
terhadap petahana. Jika peningkatan jumlah
adalah manifestasi demokrasi juga.
gotput dari
masa Orde Baru (rata-rata
Secara empirik peningkatan angka
dibawah 10 persen) ke masa reformasi (rata-
Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas
rata antara 30-40 persen) menjadi pertanda
sebagai berikut: (1). Pemilu dan Pilkada
melemahnya partisipasi aktif pemilih untuk
langsung
belum
mampu
menghasilkan
menentukan pilihannya, dalam konteks ini
bagi
peningkatan
bisa dikatakan justru ada keberanian pemilih
kesejahteraan masyarakat; (2). Menurunnya
untuk tidak memilih karena alasan tertentu.
kinerja partai politik yang tidak memiliki
Dengan kata lain merupakan respon terhadap
platform politik yang realistis dan kader
responsivitas pemimpin lokal.
perubahan
berarti
politik yang berkualitas serta komitmen
Fenomena lain selain golput yang
politik yang berpihak kepada kepentingan
menunjukkan adanya penurunan partisipasi
publik,
mengutamakan
aktif dan dengan sendirinya menunjukkan
kepentingan kelompok atau golongannya; (3).
keberanian untuk berpartisipasi pasif (golput)
Merosotnya
aktor-aktor
dari masyarakat, yaitu kemenangan petahana
politik (elit politik) yang berperilaku koruptif
dalam pilkada 2015 yang mencapai lebih dari
dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan
50% pilkada di seluruh Indonesia. Dari
daripada memperjuangkan aspirasi publik; (4)
pilkada yang diselenggarakan di 269 daerah,
Tidak
yang
ternyata lebih banyak calon petahana yang
dikampanyekan oleh elit politik kepada publik
memenangkan pilkada daripada yang kalah,
yang
dengan perbandingan 57,9 persen dan 42,1
melainkan
lebih
integritas
terealisasikannya
mendukungnnya;
moral
janji-janji
(5).
Kejenuhan
pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada
persen.
yang dipandang sebagai kegiatan seremonial
mempertahankan
berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi
posisinya sebagai kepala daerah lebih banyak
para elit politik; (6). Kurang netralnya
terjadi di wilayah kota daripada kabupaten. Di
penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih
kota, walikota yang berhasil mempertahankan
berpotensi melakukan keberpihakan kepada
posisinya mencapai 47,1 persen, sementara di
kontestan tertentu, di samping juga kurangnya
kabupaten hanya 28,1 persen bupati yang
kembali
Petahana
meraih
atau
posisi
yang
berhasil
meraih
kembali
sebagai
kepala
223
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
daerah.101
Data
argumentasi
peluang
ini
seolah
bahwa
menang
menguatkan
petahana
lebih
Dharmawijay
a-I.G.N. Jaya
Negara
memiliki
besar
daripada
7.
Tanah
Bumbu
Mardani H
MamingSudian Noor
81,50
8.
Mojokerto
Mustafa
Kamal PasaPungkasiadi
78,65
9.
Bolmong
Selatan
Herson
MayuluIskandar
Kamaru
77,35
10.
Medan
Dzulmi EdinAkhyar
Nasution
71,68
pesaingnya. Pada pilkada sebelumnya dari
data yang dihimpun, selama kurun waktu
tahun
2011
saja,
dari
sekitar
211-an
pelaksanaan pilkada di berbagai daerah di
Indonesia,
124
daerah
atau
59,05%
dimenangkan kembali oleh calon incumbent
(petahana), sementara 87 daerah lainnya atau
sekitar 40,05 % calon incumbent mengalami
kekalahan.
Tabel
Sumber: Data KPU, dalam JPNN, Ibu Risma dibawah
dibawah
ini
menjelaskan
mbak Rita, http://www.jpnn.com/read/2015/12/13/3443
kemenangan yang diraih petahan dengan
71/Ibu-Risma-di-Bawah-Mbak-Rita-/page3.
suara yang cukup telak.
pada 5 Mei 2016
Diunduh
Tabel 1.0
Banyak faktor yang menyebabkan
10 Besar Petahana Menang Pilkada 2015
No
.
Daerah
Nama
Pasangan
Petahana
Persentase
Kemenanga
n
1.
Kota Blitar
Samanhudi
AnwarSantoso
92,04
Kutai
Kartanegar
a
Rita
WidyasariEdi
Damansyah
89,40
Banyuwan
gi
A Azwar
Anas-Yusuf
W
88,96
4.
Bandar
Lampung
Herman H.NMuhammad
Yusuf Kohar
86,66
5.
Surabaya
Tri
RismahariniWhisnu Sakti
Buana
86,22
I.B.R.
82,19
2.
3.
6.
Denpasar
224
Sopa mengatakan, setidaknya ada lima faktor
yang
membuat
memenangi
calon
pilkada
petahana
serentak
mampu
tahun
ini.
Pertama adalah karena masyarakat merasa
puas atas kinerja kepemimpinannya selama
menjabat. Kedua , pasangan petahana sudah
lebih dikenal oleh masyarakat. Para pasangan
incumbent biasanya sudah lebih populer, itu
juga bisa menjadi faktor kemenangannya.
Ketiga , pasangan petahana dianggap telah
menguasai dan mampu menjangkau semua
segmen pemilih. Keempat, pasangan petahana
mampu
menggerakkan
tokoh
informal
maupun formal. Kelima, pasangan petahana
Kompas, “Petahana Tetap Kuat di Pilkada 2015”,
dalam
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/07
/02205431/Petahana.Tetap.Kuat.di.Pilkada.2015 .
Di
unduh pada 5 Mei 2016.
101
kemenangan petahana. Peneliti LSI, Ardian
dianggap lebih siap secara finansial. Selama
menjabat, biaya hidup petahana ditanggung
oleh negara, maka wajar jika mamapu
mengumpulkan dari hasil selama menjabat
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
kepala daerah untuk menghadapi pilkada
keberhasilannya
sehingga
diadopsi
oleh
tahun ini.102
daerah-daerah lain di Indonesia. Kemampuan
Tri
Risma membangun citranya di media massa
Rismaharini sebagai walikota Surabaya dan
juga menjadi salah satu penentu karena
Azwar Anas sebagai bupati Banyuwangi
popularitas akan memudahkan pemilih untuk
menjadi contoh betapa masyarakat di kedua
memilihnya kembali. Salah satu kebijakannya
daerah
kesempatan
yang sensasional adalah penutupan lokalisasi
kepada petahana untuk memimpin daerahnya
Dolly, sebagai area pelacuran terbesar di Asia
kedua kali. Risma mampu merebut suara
Tenggara, menambah popularitasnya semakin
86,22 persen dari pemilihnya, sedangkan
tinggi.
Kisah
sukses
tersebut
kepemimpinan
memberikan
Azwar Anas sukses mendulang 87,88 persen.
Sementara itu, Azwar Anas selama
Kedua petahana ini sebelumnya memang
menjadi bupati di wilayah paling timur di
tergolong sangat populer di media masa
propinsi
karena kebijakan publiknya yang dianggap
mempopulerkan daerahnya melalui program-
inovatif dan menyentuh masyarakat langsung.
program
Jawa
Timur
inovatifnya.
itu
Kini
mampu
banyuwangi
kebijakan
menjadi tujuan pariwisata terpopuler selain
publik yang membawa Surabaya sukses
Batu Malang dan Gunung Bromo di Jawa
meraih Piala Adipura selama 4 tahun berturut-
Timur. Semua itu berkat kegigihan Azwar
turut. Audit BPK pada tahun 2013 juga
membangun
memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian
Klimaksnya ketika kabupaten yang berjuluk
(WTP)
“The Sunrise of Java” ini, berhasil meraih
Risma
dikenal
terhadap
dengan
Laporan
Keuangan
dunia
penghargaan
Anggaran 2013. Opini WTP merupakan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (The
penilaian tertinggi yang diberikan oleh auditor
Nations
terhadap hasil auditnya yang berarti bahwa
Organization/UNWTO) dalam ajang "12th
Pemkot
mengelola
UNWTO Awards Forum" di Madrid, Spanyol.
keuangannya secara wajar, baik, transparan
Kabupaten Banyuwangi menyabet UNWTO
dan akuntabel. Selain itu Walikota Surabaya
Awards for Excellence and Innovation in
tersebut
Tourism untuk kategori ”Inovasi Kebijakan
mampu
mengeluarkan
kebijakan
Badan
daerahnya.
Pemerintah Daerah Kota Surabaya Tahun
Surabaya
dari
pariwisata
World
Pariwisata
United
Tourism
dalam
Publik dan Tata Kelola” dengan mengalahkan
pengelolaan APBD Kota Surabaya. Sistem e-
nominator lainnya dari Kolombia, Kenya, dan
budgeting
Puerto Rico.Tentu ini menambah kekuatan
penggunanaan
sistem
Pemkot
e-budgeting
Surabaya
ini
diakui
petahana di Banyuwangi untuk meyakinkan
102
Dedy Priatmojo, Lima Faktor Calon Petahana Unggul
di Pilkada Serentak, dalam http://politik.news.viva.
co.id/news/read/709835-lima-faktor-calon-petahanaunggul-di-pilkada-serentak. Diunduh pada 5 Mei 2016.
pemilihnya untuk memberikan eluang kedua
kali memimpin daerahnya.
225
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
Kebijakan publik yang dilakukan
terhadap
petahana selama menjabat, menjadi salah satu
ekonomi.
ukuran yang menentukan kemenangannya
daerah terkaya di Riau yang memiliki APBD
dalam
konsep
mencapai Rp. 5 triliun. Namun program
responsivitas menyatakan bahwa kebijakan
pembangunan infrastruktur dan ekonomi tidak
yang responsif adalah kebijakan yang dibuat
menyentuh
sebagai
atau
Belum lagi petani karet yang sudah lima tahun
poor
lamanya terpuruk lantaran harga murah.
sukses
Masih banyak desa yang tidak dialiri listrik di
mendulang kemenangan pilkada, seperti yang
Rupat, begitu pula akses jalan yang tidak
diraih Risma dan Azwar, adalah tidak lain
beraspal di desa-desa.103
pilkada.
Sebagaimana
respons
kebutuhan
policy),
terhadap
dasar
maka
aspirasi
masyarakat
petahana
(pro
yang
pembangunan
Padahal
Bengkalis
kalangan
Jauh
karena nilai responsivitas sebagai wujud
infrastruktur
merupakan
masyarakat
sebelum
dan
pilkada
bawah.
2015
amalan filsafat “untuk rakyat” memang
diselenggarakan,
dirasakan masyarakat langsung. Amat lumrah
menjelaskan
jika petahana yang demikian mampu meraih
menyebabkan petahana mengalami kekalahan
kemenangan
pilkada.
adalah sebagai berikut: Pertama , Tingkat
Sebaliknya, jika responsivitas jauh dari
popularitas calon petahana ternyata tidak
harapan masyarakat, maka “hukuman” (stick)
berbanding lurus dengan tingkat ke disukai-
akan diberikan dalam bentuk kekalahan yang
nya dan keterpilihannya (elektabilitasnya) di
telak sekalipun.
mata
mutlak
dalam
rakyat.
Heru
bahwa
Hal
ini
Kundhimiarso
hal-hal
bisa
yang
diakibatkan
Kisah Bupati petahana Bengkalis,
melekatnya persepsi negatif dalam diri sang
Herlyan Saleh kalah telak dalam pemilihan
petahana, baik dari sisi moralitas, karakter
kepala daerah serentak 2015 Bengkalis adalah
pribadi, maupun gaya kepemimpinannya.
salah satunya. Herlyan yang berpasangan
Tingkat
dengan Riza Pahlevi justru menduduki posisi
karakter personal dan gaya kepemimpinan
paling buncit dari dua pasangan calon bupati
seorang petahana akan membentuk politik
lainnya.
Menuut
Forum
persepsi yang sedemikian kuat di mata publik,
Indonesia
untuk
Anggaran
seperti kesan arogan, sok pintar, sok kuasa,
Koordinator
Transparansi
(Fitra) Riau Usman menyebutkan, status
ketidaksukaan
rakyat
terhadap
pemarah, berjarak dengan rakyat dll.
tersangka korupsi yang disandang Herlyan
Kedua , Kekalahan petahana tersebut
Saleh sangat mempengaruhi merosotnya suara
bisa dibaca sebagai bentuk protes langsung
bupati
rakyat atas kepemimpinan sang petahana atau
inkumben
itu.
Selain
itu
ketidakpercayaan masyarakat juga tampak
dari 5 tahun masa kepemimpinan Herlyan
Saleh tidak memberikan dampak signifikan
226
103 Tempo, “Ini Penyebab Kekalahan Bupati Petahana
Bengkalis Riau”, dalam https://m.tempo.co/read/news
/2015/12/18/058728852/ini-penyebab-kekalahan-bupatipetahana-bengkalis-riau. Diunduh [ada 5 Mei 2016.
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
pejabat politik di daerah tersebut. Petahana
DKI Jakarta contoh paling dekat dan paling
dianggap mengingkari janji-janji kampanye
tepat dengan sosok Jokowi nya. 104
Maka menjadi hal yang lumrah jika
pada saat pertama maju mencalonkan diri.
Petahana
dinilai
kesejahteraan,
gagal
gagal
dalam
mewujudkan
petahana gagal dalam pilkada tidak lain
menjalankan
dikarenakan faktor-faktor tersebut. Tingkat
kepemimpinannya. Sehingga rakyat yang
melek
tidak puas melampiaskan ketidakpuasannya
reformasi ini memang meningkat pesat. Tidak
tersebut
saja apatisme dalam bentuk golput disuarakan
dengan
cara
menghukum
sang
petahana dengan tidak memilihnya kembali.
Ketiga ,
Masyarakat
memiliki
politik
masyarakat
sejak
masa
dalam pilkada tetapi juga “hukuman” untuk
petahana
yang
tidak
responsif
terhadap
keinginan kuat untuk melakukan perubahan
kesejahteraan masyarakat menjadi taruhan
dan mereka melakukan gerakan penolakan
yang penting.
terhadap status quo yang dibangun petahana,
hal ini terjadi karena masyarakat telah melihat
Kesimpulan
kepemimpinan petahana yang tidak mampu
Proses pilkada di Indonesia sejak
dan tidak berhasil melakukan perubahan
reformasi
dalam masa kepemimpinannya. Semangat
masyarakat menjadi aktor penting dalam
perubahan yang diinginkan masyarakat, akan
proses pemilihan. Berbeda dengan masa Orde
membangun persepsi politik yang seolah-olah
Baru dimana mayoritas masyarakat mengikuti
vis a vis antara pro status quo dengan pro
pemilihan umum di level nasional, karena di
perubahan.
level daerah semua kepala daerah ditunjuk
menandakan
era
baru,
ketika
Keempat, Kondisi masyarakat saat ini
oleh Soeharto, adalah berdasarkan mobilitas
yang mulai otonom dan rasional dalam
pusat, sehingga amat wajar jika tingkat
menentukan pilihannya, masyarakat tidak lagi
partisipasinya rata-rata diatas 85 persen.
tergantung
yang
Namun begitu partisipasinya dianggap semu,
mengusung calon, masyarakat tak mau lagi
karena tidak disertai dengan keterwakilan,
terbuai dengan money politik yang diberikan
transparansi dan akuntabilitas, apatah lagi
oleh sang kandidat. Masyarakat kini lebih
responsivitas
melihat berdasarkan pada visi, misi, dan
reformasi partisipasi aktif masyarakat dalam
program kerja konkret yang ditawarkan calon.
pilkada disertai dengan pemantauan sepanjang
Lebih tertarik dengan sosok figur calon yang
periode pemimpin daerah ketika menjabat,
pada
bendera
parpol
yang
memadai.
Di
masa
mencerminkan kesederhanaan, dekat dengan
rakyat, jujur, ramah, dan low profile. Pilkada
Puskapik, “Musim Bergugurannya Calon Incumbent
(Petahana) dalam Pilkada, bagaimana dengan Pemalang
?”
dalam
http://www.puskapik.com/musimbergugurannya-calon-petahana-incumbent-dalampilkada-bagaimana-dengan-pemalang/. Diunduh pada 5
Mei 2016.
104
227
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
sehingga amatlah wajar unsur responsivitas
http://www.rti.org/pubs/Democr_Dec
menjadi
en.PDF. Diakses 10 Januari 2008.
variabel
penting
dalam
proses
Dedy
berdemokrasi secara menyeluruh.
Partisipasi yang aktif secara ideal
Priatmojo,
“Lima
Faktor
Petahana
Unggul
di
memang harus disertai dengan responsivitas
Serentak”,
yang
tinggi.
diberikan
Kepercayaan
pemilih
dalam
Calon
Pilkada
dalam
politik
yang
http://politik.news.viva.co.id/news/rea
pilkada
agar
d/709835-lima-faktor-calon-
penyelenggara negara menjalankan kebijakan-
petahana-unggul-di-pilkada-serentak.
kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan
Diunduh pada 5 Mei 2016.
masyarakat, dewasa ini semakin mengemuka.
De Tocqueville, A. (2003). Democracy in
(Vol.
Kemenangan dan kekalahan petahana dalam
america
pilkada dapat dinyatakan bahwa keterkaitan
Publishing.
10).
Regnery
partisipasi dan responsivitas menjadi amat
Diamond, L. (1999). Developing democracy:
penting dalam proses demokrasi lokal secara
Toward consolidation. JHU Press.
menyeluruh.
Dwiyanto,
A.
(2006).
Reformasi
birokrasi publik di Indonesia . Gadjah
Mada University Press.
Daftar Pustaka
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia,
“Pilkada
Demokratis
Tapi
Semakin
Partisipasi
Cenderung Menurun”, Selasa, 10
November
2015,
dalam
analysis of political systems. World
politics, 9(03), 383-400.
Fatkhurohman, F. (2010). Pilkada Dan Masa
Depan
Penguatan
Demokrasi
di
http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-
Daerah. Jurnal Konstitusi, 3(2).
semakin-demokratis-tapi-partisipasi-
Fitriyah, F. (2013). Meninjau Ulang Sistem
cenderung-menurun. Diunduh pada 1
Pilkada Langsung: Masukan Untuk
Mei 2016.
Politik Indonesia
Indonesian Political Science Review
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
Suyatno1, 2
1
2
Universitas Kanjuruhan, Malang, Indonesia
Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel:
Diterima 12 Juni 2016
Disetujui 15 Juni 2016
Dipublikasi 15 Juli 2016
Pilkada langsung pada akhirnya menggantikan pilkada tidak langsung didasari oleh
semangat pemberdayaan masyarakat dalam berpartisipasi memilih kepala daerah secara
lebih demokratis. Selain partisipasi terdapat unsur penting lainnya yang bisa
menggambarkan berlangsungnya proses demokrasi lokal, yaitu responsivitas. Dua unsur
tersebut dapat menentukan proses pilkada secara lebih substanstif daripada sekedar
prosedur demokrasi lokal. Tulisan ini menggunakan metodologi kualitatif untuk
menganalisa data partisipasi dan responsivitas pilkada sebagai variabel penting dalam
demokrasi lokal. Partisipasi masyarakat dalam pilkada memang tidak setinggi partisipasi
dalam pemilu di masa Orde Baru. Namun begitu partisipasinya bersifat substantif karena
disertai penilaian terhadap kadar responsivitas pemimpin lokal. Petahana yang sukses
menjalankan responsivitas lokal akan mendapatkan sukses lanjutan dalam wujud
kemenangan pilkada berikutnya. Sebaliknya, petahana yang gagal dalam pelaksanaan
responsivitas akan memperoleh kekalahan. Kemenangan dan kekalahan petahana dalam
pilkada dapat dinyatakan bahwa keterkaitan partisipasi dan responsivitas menjadi amat
penting dalam proses demokrasi lokal secara menyeluruh.
Keywords:
Pilkada; Participation;
Responsiveness; Local
Democracy
Abstract
Direct local leader elections (Pilkada) had replaced indirect local elections. It based on
the spirit of people empowerment to participate choosing local leaders more democratic.
Responsiveness is an important element besides participation which represent local
democracy. These two variables will decide the local elections that can enhance the
quality of local democracy. This paper uses qualitative methodology to analyze the data of
participation and responsiveness of Pilkada as an important variables in local democracy.
People participation in Pilkada is not as high as the participation in New Order elections.
Their participation are more substantive because accompanied assessment of the level of
responsiveness of a local leader. Incumbent successful running of local responsiveness
will get continued success as the next local elections victory. In contrast, incumbent who
failed in the implementation of responsiveness will obtain defeat. Victory and defeat
incumbent in the election can be stated that the relevance of participation and
responsiveness become very important in the local democratic process as a whole.
Alamat
korespondensi:
Jl. Sudancho Supriyadi No.48 Malang 65148 Indonesia.
Jl. Airlangga 4-6, Surabaya 60286 Indonesia.
Email: yatno.ladiqi@gmail.com
212
© 2016 Universitas Negeri Semaran
ISSN 2477 – 8060
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
Pada
Pendahuluan
perjalanannya
mekanisme
Pemilihan kepala daerah (pilkada) di
pilkada mengalami perubahan dari pemilihan
Indonesia merupakan amanah langsung dari
tidak langsung menjadi pemilihan langsung.
gerakan reformasi tahun 1998. Menimbang
Dinamika ini dilatar belakangi oleh berbagai
perlunya partisipasi yang kuat dari masyarakat
alasan seperti ‘perselingkuhan’ wakil rakyat
untuk ikut terlibat langsung dalam pemilihan
(DPRD) dengan calon Bupati/ Walikota/
pemimpinnya, maka pemilihan kepala daerah
Gubernur yang berimbas kepada korupsi
menjadi momentum demokrasi yang paling
politik dan akuntabilitas yang buram karena
penting dalam kehidupan berbangsa dan
persekongkolan
bernegara
wujud
transparansi tetapi justru menyemarakkan
pilkada
politik uang. Hal ini dimungkinkan karena
dimaksudkan tidak saja untuk memenuhi
DPRD lah yang memilih kepala daerah.
hasrat mengganti mekanisme lama pemilihan
Alasan tersebut menjadi puncak ketidak
pemimpin dan wakil rakyat gaya otoriterisme,
puasan terhadap pelaksanaan pilkada tidak
tetapi juga secara filosofis ingin menggapai
langsung. Dengan begitu terjadi perubahan
pelaksanaan
yang
dari UU No. 22/1999 digantikan dengan UU
mengembangkan
No. 32/2004 yang mengatur pilkada secara
Indonesia.
implementasi
demokrasi,
nilai-nilai
berkelanjutan,
partisipasi
Sebagai
demokrasi
yaitu
dan
responsivitas
serta
masa
Orde
Baru
politik
meniadakan
langsung.
akuntabilitas secara menyeluruh.
Pada
elit
Tulisan ini hendak membahas proses
praktis
pilkada
sebagai
wujud
implementasi
implementasi otoriterisme lebih dominan
demokrasi lokal yang sarat dengan gambaran
untuk memilih kepala daerah di wilayah
betapa
propinsi maupun kabupaten/kotamadya. Pola-
menjadi tolok ukur nyata demokrasi. Namun
pola top down dan patrimonial begitu
begitu
mendominasi politik Indonesia, sehingga
pemimpin daerah yang terpilih kurang begitu
sangat wajar tuntutan reformasi yang paling
disoroti sehingga seolah-olah setelah pilkada,
esensial adalah mengganti praktek-praktek
proses
otoriterisme dengan mekanisme yang lebih
Padahal pesta demokrasi sejatinya tidak
demokratis, yaitu mekanisme pilkada. Hal ini
berhenti kepada titik pemilihan pemimpin saja
sesuai dengan UUD 1945, Pasal 18 ayat (4)
tetapi
yang menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati,
bentuk komitmen nyata pemimpin daerah
dan Walikota masing-masing sebagai kepala
yang
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan
mensejahterakan rakyat yang kerap kali
kota dipilih secara demokratis.
diusung dalam janji kampanyenya. Inilah
bentuk
partisipasi
seringkali
demokrasi
lebih
terpilih
langsung
sisi
tanggung
sudah
subtstantif
untuk
responsivitas
masyarakat
jawab
dianggap
usai.
mempertanyakan
memenuhi
yang
hasrat
acapkali
213
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
menentukaan dinamika pilkada berikutnya,
peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah
yaitu petahana yang sukses menjalankan
(KPUD) di Kota Malang yang memiliki
program-programnya
peranan
dapat
mendulang
penting
dalam
memperkuat
kemenangan dengan telak pada pilkada
demokrasi lokal berkat peran krusialnya
berikutnya.
sebagai penyelenggara pilkada (Hijri, 2008).
Ada banyak tulisan tentang pilkada di
Indonesia
dalam
ilmiah
ada yang membahas pilkada dan demokrasi
sebelumnya, tetapi yang khusus membahas
lokal dari sisi partisipasi dan responsivitas.
pilkada
belum
Oleh karena itu diharapkan tulisan ini mampu
banyak. Fitriyah (2011) lebih memfokuskan
mengisi kekosongan studi demokrasi lokal
diri kepada studi proses pilkada langsung
dan pilkada di Indonesia.
dengan
karya-karya
Dari rangkaian Kajian Pustaka tersebut belum
demokrasi
lokal
yang diyakininya dapat memberikan ruang
Untuk lebih jauh membahas pilkada
kepada demokratisasi di Indonesia (Fitriyah,
dalam kaitannya dengan proses demokrasi
2011) Secara diametral pendapatnya berbeda
lokal, sebagai landasan pemahaman yang utuh
dengan
yang
maka penjelasan konseptualisasi menjadi asas
beragumen bahwa pilkada langsung justru
pembahasan pilkada dan demokrasi lokal.
tidak mendatangkan kesejahteraan rakyat
Penting
karena problem yang dihasilkan jauh dari
konsepsional karena diharapkan tulisan ini
unsur-unsur demokrasi. Pelaksanaan pilkada
dapat menganalisa pilkada dalam konteks
langsung juga dipertanyakan efektifitasnya
pelaksanaan demokrasi lokal secara lebih
oleh Iza Rumesten RS (2014), karena pada
argumentatif.
Sebagai
kenyataanya banyak melahirkan koruptor-
pembahasan
demokrasi
koruptor
kemukakan dibawah ini.
Retno
baru.
demokrasi
Fatkhrohman
kelemahan
Saraswati
Studi
lokal
pikada
pilkada
juga
(2010)
(2014)
dengan
dibahas
yang
menyoroti
langsung
sehingga
memerosotkan
mengemukakan
landasan
permulaan
lokal
maka
penulis
oleh
memunculkan serangkaian korupsi yang pada
gilirannya
untuk
Kajian Pustaka
Demokrasi Lokal di Indonesia
Memahami demokrasi lokal memang
demokrasi
tak dapat memisahkan diri dari perbincangan
(Fatkhurohman, 2010). Janpatar Simamora
tentang kebijakan desentralisasi. Mengingat
(2011) lebih optimis melihat pilkada langsung
kebijakan ini merupakan pintu awal bagi
sebagai proses pematangan demokrasi di
terciptanya demokrasi lokal. Bahkan sejumlah
tingkat daerah, kendati dalam pelaksanaannya
ilmuwan
banyak menimbulkan masalah (Simamora,
sesungguhnya dari desentralisasi tidak lain
2011). Dalam kaitan dengan demokrasi lokal,
Yana Syafriana Hijri (2008), membahas
214
meyakini
bahwa
tujuan
yang
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
lokal.93
Keyakinan bahwa desentralisasi akan
Dalam konteks ini salah satu bentuk kebijakan
menumbuhkan demokrasi lokal juga dianut
desentralisasi
oleh
adalah
menumbuhkan
yang
kelangsungan
demokrasi
sangat
Menurutnya
desentralisasi menumbuhkan partisipasi dan
kekuasaan,
tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi
kewenangan, tanggung jawab dan sumberdaya
demokratis warga telah melahirkan komitmen
dari negara ke pemerintah lokal. Devolusi
warga yang luas maupun hubungan-hubungan
juga sering disebut dengan desentralisasi
horisontal: kepercayaan (trust), toleransi,
demokratis
decentralization),
kerjasama, dan solidaritas yang membentuk
pengembangan
apa yang disebut Putnam komunitas sipil
hubungan sinergis antara pemerintah pusat
(civic community). Indikator-indikator civic
dengan
engagement
yakni
yakni
transfer
(democratic
sebagai
lokal
Putnam.94
Robert
adalah
devolusi,
demokrasi
penting bagi
bentuk
pemerintah
daerah
dan
antara
--
solidaritas
–
partisipasi
Desentralisasi demokratis hendak mengelola
terhadap kinerja pembangunan sebagai contoh
kekuasaan
dan
kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas
mengimplementasikan kebijakan, perluasan
kehidupan demokratis. Selama seperempat
proses demokrasi pada level pemerintahan
abad terakhir, desentralisasi politik di Itali
lokal, dan mengembangkan standar (ukuran)
telah secara luas mentransformasikan kultur
yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung
politik
secara berkelanjutan (Manor, 1997). Adapun
demokratis.
kebijakan desentralisasi yang lain adalah
regional,
dekosentrasi,
sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan
mengembangkan
yang
mengacu
pada
elite
dalam
dapat
dan
pemerintah daerah dengan warga masyarakat.
untuk
massal
sosial
suatu
Pembentukan
yang
yang
pemerintahan
kemudian
mendapatkan
dan
making) dalam negara, dan delegasi tugas-
menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang
tugas tertentu sementara pemerintah pusat
secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi,
masih
jawab
lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih
keseluruhan. Sementara itu privatisasi adalah
fleksibel dan suatu 'penerimaan mutual yang
merupakan bentuk desentralisasi yang paling
lebih besar di antara hampir semua partai'.
jauh jangkauannya (Freks dan Otto, 1996).
Secara
tanggung
atas
arah
penggeseran pembuatan keputusan (decision-
menguasai
kontrol
berpengaruh
sumber-sumber
berangsur-angsur
mengidentifikasi
diri
daya,
warga
mulai
dengan
level
94
93
Brian C. Smith, Decentralization: Territory
Dimension of the State (London: MacMillan, 1985);
Dennis Rondinelli, "What is Decentralization?" Note
prepared for the PREM Knowledge Management
System, World Bank, Washington, DC, 1998; dan Larry
Diamond, Developing Democracy (Baltimore and
London: The Johns Hopkins University Press, 1999),
bab 4.
Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic
Tradition in Moden Italy (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 1993). Ide Putnam tentang
civic community ini sangat dipengaruhi oleh aliran
republikanisme dan pemikiran Tocqueville tentang
kehidupan asosiasional sebagai basis demokrasi di
Amerika Serikat. Lihat Alexis de Tocqueville,
Democracy in America , ed. J.P. Mayer (Garden City,
NY: Anchor Books, 1969
215
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
pemerintahan
lokal
menghargainya
dan
bahkan
ketimbang
lebih
pemerintahan
dan
menerima
antarkelompok-
kelompok kepentingan dalam masyarakat
tentang keputusan-keputusan terpenting dan
nasional.
detail
memberi
Kajian demokrasi lokal secara lebih
tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan
diberikan
tanggung
oleh
organisasi
non-
bersama-sama.
(3)
Pendidikan
pemerintah global yatu International IDEA.95
politik.
Sebagai organisasi yang bergerak di bidang
fasilitas bagi proses pendidikan politik. Peran
penelitian
pemberadaayan
serta warga masyarakat memungkinkan setiap
IDEA
banyak
individu memperoleh informasi mengenai
membantu memberikan analisa dan penjelasan
semua urusan dan masalah di masyarakat,
tentang
dengan
yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat
menekankan kepada konspesi penting sebagai
terpilih atau para profesional pemerintahan di
berikut:
kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan
dan
demokrasi,
advokasi
International
demokrasi
(1)
lokal
yaitu
Demokrasi
lokal
akan
memberi
memiliki
informasi
masyarakat. Peran serta masyarakat lokal
demokrasi
-yang
sesungguhnya adalah fondasi utama dalam
keputusan oleh rakyat- semakin mungkin dan
gagasan modern mengenai kewarganegaraan,
efektif.
sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada
mengurangi jurang pemisah antara para elite
beserta
politik
Kewarganegaraan
segala
proses
dan
pengambilan
Peran
dan
akan
menciptakan
berarti
pengambilan
serta
anggota
masyarakat
berarti
masyarakat.
(4)
keputusannya memungkinkan terwujudnya
Pemerintah yang baik dan kesejahteraan
praktik demokrasi yang lebih langsung,
sosial. John Stuart Mill dan para pendukung
dimana suara individu dapat didengar dengan
paham demokrasi partisipatoris di tingkat
lebih mudah. (2) Musyawarah. Demokrasi
lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi
bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya
kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan
terkandung
mendukung terciptanya pemerintahan yang
unsur-unsur
penting
seperti
dialog, debat, dan diskusi yang bermakna
baik
guna
mencari solusi bagi segala masalah
kesejahteraan
yang
timbul
masyarakat.
cenderung meningkatkan hubungan yang baik
Perundingan atau musyawarah juga bukan
antarwarga, membangun masyarakat yang
sekadar mendengar dan menampung keluhan
mandiri dan memiliki semangat sosial (Sisk,
warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti
et al., 2002).
melibatkan
di
dialog
dalam
yang
bersifat
saling
serta
mendukung
sosial.
Artinya,
tercapainya
demokrasi
Kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia yang diawali dengan
95
International IDEA adalah sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Internasional yang menumpukan
perhatian kepada penelitian bidang ilmu kemasyarakatan
dan pemberdayaan demokrasi. Situsnya dapat dapat
dilayari di : http:// www.idea.int.
216
dikeluarkannya UU No. 32/1999 dan direvisi
dengan UU baru yaitu UU No.32/2004 adalah
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
wujud
keseriusan
pemerintah
untuk
mengembangkan demokrasi pada level lokal.
dalam
konteks
hubungan
negara
dan
masyarakat.
Sebagaimana diyakini bersama bahwa
Usaha ini tidak lain adalah wujud pemenuhan
ingin
filsafat demokrasi yang paling mendasar, yang
luas.
dipopulerkan oleh Abraham Lincoln, tidak
Semangatnya lebih tertuju kepada ingin
lain adalah “dari rakyat”, “oleh rakyat” dan
melepaskan diri dari bayang-bayang warisan
“untuk rakyat”. Karena masih bersifat nlai-
otoriterisme yang membelenggu partisipasi
nilai falsafah maka hal ini memerlukan alat
dan pengembangan demokrasi di level lokal.
yang sukses meletakkan filsafat tersebut agar
amanah
reformasi
mengembangkan
yang
demokrasi
lebih
menunjukkan
bisa
lokal
masih
menggunakan sistem politik “Easton” untuk
tergolong berserakan. Maka di bawah ini
menampung filsafat agar bisa dijalankan
penulis
sebuah
dalam sebuah sistem politik. Terdiri dari tiga
membantu
bagian yang mampu menampung nilai-nilai
menjelaskan teorisasi demokrasi lokal yang
filsafat, yaitu input, proses dan output.
mencukupi.
Uraian
bahwa
diatas
teorisasi
demokrasi
akan
pemahaman
jelas
merangkaikan
yang
dapat
dijalankan
lebih
nyata.
Suyatno
sebuah
disertasinya,
Melalui sistem ini dimana “input”, yang
mencoba
memberikan
menerjemahkan nilai filsafat “dari rakyat”,
alternatif penjelas dalam sebuah model yang
akan menghasilkan apa yang dinamakan
menggabungkan filsafat demokrasi, sistem
dengan keterwakilan dan partisipasi. “Proses”
politik
faktor-faktor
yang menerjemahkan filsafat “oleh rakyat”,
implementasi demokrasi yang lebih terperinci.
akan menghasilkan institusi yang disebut
Model ini oleh Suyatno disebut sebagai Model
dengan
Implementasi Demokrasi, yang diharapkan
kebertanggungjawaban. Sedangkan
bisa memperjelas pelaksanaan demokrasi
“output”, yang menerjemahkan filsafat “untuk
Suyatno
Dalam
(2011)
“Easton”
96
dan
rakyat”
David Easton, “An Approach to the Analysis of
Poitical Systems”, dalam World Politics IX, No. 3 (April
1957). Easton mengusulkan suatu metode untuk
menganalisis berbagai jenis sistem politik, yaitu dengan
mengkaji sistem-sistem politik yang berdasarkan ciri-ciri
utama: (1) kesatuan-kesatuan yang membentuk sistem
itu dan luasnya batas-batas pengaruh sistem itu, (2)
“input” dan “output” dari sistem yang tercermin dalam
keputusan-keputusan yang dibuat (output) dan proses
pembuatan keputusan (input) di dalam sistem tersebut,
(3) jenis dan tingkat perbedaan (diferensiasi) dalam
sistem tersebut, dan (4) tingkat integrasi sistem politik
yang mencerminkan tingkat efisiensinya. Dengan
menganalisis berbagai bagian ini, Easton menawarkan
sebuah metode untuk memahami dan membandingkan
berbagai sistem politik. Lihat Mochtar Mas’oed dan
Collin McAndrews, Perbandingan Sistem Politik
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001).
96
kemitraan,
akan
transparansi
memunculkan
dan
bagian
institusi
responsivitas (Suyatno, 2011).
Untuk keperluan tulisan ini, penulis
akan membatasi diri dengan menggunakan
konsepsi partisipasi dan responsivitas dengan
argumen bahwa pilkada memiliki pesan kuat
untuk merefleksikan bentuk partisipasi warga
dalam
memilih
pemimpinnya,
sehingga
menjadi wajar jika melihat proses pilkada
begitu semarak dan gempita di berbagai
daerah karena antusiasme pemilih begitu
217
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
besar. Sementara itu, kadar responsivitas
dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi
menunjukkan betapa pentingnya fase setelah
adalah jembatan penghubung antara negara
pilkada bisa dapat dijadikan tolok ukur bagi
dan masyarakat agar pengelolaan barang-
berjalannya
barang
demokrasi
lokal.
Beberapa
petahana sukses mendulang kemenangannya
publik
melahirkan
kesejahteraan
manusia (human well being) (Suyatno, 2011).
dalam pilkada, sesungguhnya tidak lain
Dari
sudut
pandangan
negara,
ditentukan oleh salah satu faktor yaitu kadar
demokrasi mengajarkan bahawa partisipasi
responsivitas yang teruji dan terbukti selama
sangat
kepemimpinannya.
adalah
pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan
terbatasnya ruang yang tersedia dalam tulisan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
kali ini untuk menggunakan konsepsi lain,
Tiadanya partisipasi hanya akan menabur
seperti keterwakilan, kemitraan, transparansi
pemerintahan
dan kebertanggungjawaban, untuk membahas
Sementara itu dari sisi masyarakat, partisipasi
pilkada dan demokrasi lokal. Oleh karena itu
adalah kunci pemberdayaan (empowerment).
pembahasan partisipasi akan menjadi diskusi
Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas
yang menarik jika dikaitkan dengan pilkada
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan
yang dijalankan selama ini.
hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan
Alasan
lain
diperlukan
inisiatif
untuk
yang
lokal,
otoriter
membangun
dan
mengaktifkan
korup.
peranan
Temuan dan Diskusi
masyarakat serta membangun masyarakat
Demokrasi Lokal dan Partisipasi
yang mandiri.
Filsafat demokrasi “dari rakyat” jika
Dalam konteks hubungan tersebut,
diletakkan dalam sistem politik Easton maka
partisipasi meletakkan masyarakat kepada
masuk
dan
posisi yang sebenarnya. Pertama , masyarakat
implementasinya akan melahirkan konsep
bukanlah sebagai budak (client) melainkan
partisipasi
sebagai
dalam
dan
kategori
“input”,
keterwakilan.
Partisipasi
warga
(citizen).
Jika
budak
adalah persoalan hubungan kekuasaaan, atau
memperlihatkan kepatuhan secara total, tetapi
hubungan ekonomi-politik, yang dianjurkan
kalau konsep warga menganggap bahwa
oleh demokrasi. Partisipasi rakyat berada
setiap individu adalah pribadi yang utuh dan
dalam konteks
negara
mempunyai hak penuh untuk memiliki.
(pemerintah) dan rakyat (masyarakat). Negara
Kedua , masyarakat bukan dalam kedudukan
adalah pusat kekuasaan, kedaulatan dan
yang diperintah tetapi sebagai mitra (partner )
serangkaian hukum yang mengatur peredaran
pemerintah dalam mengurus pemerintahan
barang-barang publik di masyarakat. Di dalam
dan
masyarakat sendiri terdapat hak sipil dan hal
bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai
politik, kekuatan kelompok, kebutuhan hidup,
hak warga masyarakat itu sendiri. Keempat,
218
hubungan
antara
pembangunan.
Ketiga ,
partisipasi
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
pasif
kepada cara mana sesuatu yang diberikan oleh
penerima manfaat kebijakank pemerintah,
pengambil keputusan -baik umum ataupun
tetapi sebagai aktor atau subyek yang aktif
perseorangan-- dalam merespons keperluan
masyarakat
bukan
menentukan
sekadar
kebijakan.
obyek
97
Ini
yang
dan
menjalankannya
menjelaskan kenapa pilkada diselenggarakan
kelompoknya,
secara
misalnya.98
merata
Kesadaran
di
wilayah
demokratis
Indonesia.
menempatkan
ke
seperti
dalam tuntutan
kasus
kemiskinan
Karena merupakan hasil implementasi
dalam
“untuk rakyat”, maka responsiviti dapat
kedudukan yang sebenarnya dalam proses
dipahami secara lekat dengan hasil pelayanan
pemilihan pemimpin. Ada kuasa politik dari
publik atau masyarakat, melalui serangkaian
rakyat untuk ikut menentukan pilihan terbaik
kebijakan yang ditempuh. Dalam kaitan ini
pemimpinnya dalam mekanisme pemilihan
responsivitas diartikan sebagai kemampuan
umum.
birokrasi
pentingnya
partisipasi
Namun
begitu
masyarakat
lain
mengenali
kebutuhan
dari
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
demokrasi yang tak kalah pentingnya adalah
pelayanan, serta mengembangkan rancangan-
Responsivitas (Responsiveness). Menjadi jelas
rancangan
bahwa apakah demokrasi sudah dijalankan
keperluan dan aspirasi masyarakat. Secara
sebagaimana mestinya memenuhi kebutuhan
singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas
rakyat guna mencapai keinginan membangun
ini mengukur kualitas responsif birokrasi
kesejahteraan bersama, maka responsivitas
terhadap harapan, keinginan dan aspirasi,
menjadi argumen pamungkas dari proses
serta tuntutan layanan pengguna (service
pilkada secara menyeluruh. Untuk itu dibawah
user ). Responisivitas sangat diperlukan dalam
ini akan dijelaskan penjeasan repsonsivitas
pelayanan
untuk
merupakan
melengkapi
fase
untuk
pembahasan
tentang
Pilkada secara lebih lengkap.
perkhidmatan
sesuai
publik karena
bukti
dengan
hal
kemampuan
tersebut
organisasi
untuk mengetahui kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan
serta
Demokrasi Lokal dan Responsivitas
Implementasi falsafah “untuk rakyat”
mengembangkan
rencana-rencana
pelayanan publik sesuai dengan keperluan
yang didalam sistem politik dapat diketahui
aspirasi
dalam bentuk output. Dalam demokrasi,
memiliki responsivitas yang rendah dengan
masyarakat.
Organisasi
yang
output ini yang menginstitusikan apa yang
dikenal
dengan
(responsiveness).
97
sebutan
responsivitas
Responsivitas
merujuk
Sutoro Eko, Voice, Akses, dan Kawalan Masyarakat,
makalah dalam www.ireyogya.org/sutoro/voice_dan_
akses_masyarakat.pdf. (2 Februari 2006)
98
Siri Gloppen, Lise Rakner and Arne Tostensen,
Responsiveness to the Concerns of the Poor and
Accountability to the Commitment to Poverty
Reduction, dalam http://www.undp.org/oslocentre/
PAR_Bergen_2002/concerns-poor-issues-paper.pdf. (20
Januari 2015).
219
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
sendirinya memiliki kinerja yang buruk juga
publik dengan sasaran kesejahteraan rakyat
(Dwiyanto, dkk, 2011).
sebagai tujuan akhir. Bentuk responsivitas
Kebijakan
yang
responsif
adalah
sangat menentukan kualitas demokrasi lokal
sebagai
respons
karena menggambarkan dinamika kesuksesan
dasar
pemimpin terpilih dan masyarakt memilih
masyarakat. Memberantas kemiskinan dan
dalam komunikasi dan aksi politik yang
buta
kebijakan
yang
dibuat
terhadap
aspirasi
atau
huruf,
kebutuhan
meningkatkan
taraf
hidup,
menguntungkan. Ini yang menjelaskan ketika
kesehatan,
menyediakan
masyarakat puas hati dengan kepemimpinan
pendidikan yang terjangkau, memberikan
lokal yang dianggap responsif terhadap
pinjaman usaha kecil dan sebagainya, adalah
kebutuhan masyarakat, maka menjadi amat
contoh
dengan
wajar jika pada pilakda berikutnya akan
sebutan kebijakan yang berpihak kepada
dipilih kembali dengan suara yang amat
masyarakat miskin (pro poor policy). Juga
meyakinkan, mutlak. Kasus terpilihnya Azwar
kebijakan
respons
Anas di Banyuwangi dan Tri Rismaharini di
terhadap kebutuhan peningkatan kapasitas
Surabaya untuk kedua kalinya sebagai kepala
ekonomi
lapangan
daerah menjadi salah satu kisah sukses
pekerjaan yang lebih luas (pro jobs) dan
pemimpin yang responsif dengan pilkada
mendorong laju perekonomian lebih cepat
yang partisipatif.
menjamin
kebijakan
yang
yang
diambil
dengan
dikenal
kerana
memberikan
(pro growth) agar peringkat kesejahteraan
masyarakat semakin tercapai. Ini adalah
Pilkada, Partisipasi dan Responsivitas
selaras dengan implementasi falsafah “untuk
ra kyat”
bukan
untuk
langsung
pada
akhirnya
elit
menggantikan pilkada tidak langsung didasari
penguasa, dimana masyarakat tetap miskin
oleh semangat pemberdayaan masyarakat
tetapi para penguasanya kaya raya (pro elit).
dalam berpartisipasi memilih kepala daerah
Capaian ini tentunya bergantung kepada
secara lebih demokratis. Namun harus diakui
kapasitas
pemilihan langsung sesungguhnya merupakan
pencapaian
sekumpulan
Pilkada
yang
diawali
dari
falsafah “dari rakyat” dan “oleh rakyat”
tindak
melalui pengolahan kepada sistem politik dari
demokrasi secara normatif yakni jaminan atas
implementasi “input” menuju “proses” yang
bekerjanya prinsip kebebasan individu dan
kepada
kualitas
persamaan, khususnya dalam hak politik
“output” yang dilahirkan dalam bentuk
(Pratikno, 2005). Maswadi Rauf (2005)
responsivitas (Suyatno, 2011).
menyebutkan ada empat alasan mengapa
gilirannya
menentukan
lanjut
realisasi
prinsip-prinsip
Pilkada banyak melahirkan pemimpin
pilkada langsung perlu digelar menggantikan
baru yang memiliki serangkaian janji program
pilkada tidak langsung. Pertama, untuk
yang nantinya dijalankan dalam kebijakan
membangun daerah; kedua menumbuhkan
220
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
kepemimpinan lokal; ketiga , meningkatkan
akuntabilitas
publik
dan
pemerintah; dan keempat
transparansi
adalah proses
beberapa
Pengawas
begitu
Pemilihan
temuan
Umum
Badan
(Bawaslu)
Republik Indonesia dalam pernyataan persnya
memberikan keterangan yang mengejutkan
legitimasi rakyat yang kuat.
Ada
Namun
implikasi
yang
tentang partisipasi pemilih dalam pilkada.
menguntungkan pemilih dan pemimpin yang
Bawaslu
dipilih karena partisipasi langsung dalam
pelaksanaan Pemilu/Pemilihan Kepala Daerah
pemilihan
sudah semakin demokratis, yakni ditandai
berikut:
karena
pertama ,
menyiratkan
kepala
tiga
daerah
hal
punya
dengan
menyatakan
semakin
bahwa
meskipun
transparannya
proses
legitimasi kuat untuk memerintah. Kedua ,
(predictable process) dan hasilnya tidak bisa
pilkada langsung lebih menjamin stabilitas
diprediksi (unpredictable result) tetapi dari
pemerintahan daerah, karena masa kerja
pelaksanaan pemilu ke pemilu, partisipasi
kepala daerah pasti yang tidak bisa dijatuhkan
masyarakat cenderung menurun. Bisa jadi ini
oleh DPRD. Ketiga , probabilitas aspirasi
merupakan
publik yang terserap lebih tinggi karena
terhadap
keterpilihannya
memberikan perubahan yang signifikan bagi
ditentukan
suara
pemilih
(Fitriyah, 2011). Dengan begitu pilkada
bentuk
pemilu,
apatisme
yang
masyarakat
dinilai
tidak
kesehjateraan mereka.99
menggambarkan
Ketika masyarakat terlibat langsung
pelaksanaan partisipasi yang kuat. Tidak saja
dalam menentukan pilihan politiknya untuk
pemerintah lokal yang dibentuk menjadi kuat
pemimpin di daerahnya, maka wajar jika
karena legitimasi politik yang didapat melalui
mucul bentuk respon terhadap program-
pemilihan langsung, sehingga tidak lagi begitu
program secara langsung. Tindakan yang
mudah digoyang oleh DPRD, tetapi juga
dilakukan oleh pemilih tidak lain berwujud
pemerintah lokal memiliki modal politik yang
‘stick and carrot’ dalam pilkada berikutnya.
kuat untuk membangun daerahnya. Dari sisi
Jikalau pemimpin lokal yang terpilih mampu
masyarakat, partisipasinya dalam pilkada
memberikan responsivitas sebagaimana yang
langsung
ruang
diharapkan masyarakat, maka respon positif
pemberdayaan politik secara signifikan. Tidak
(carrot) akan diberikan dalam bentuk suara
saja masyarakat ikut menentukan pemimpin
dalam
lokal melalui suara pemilih tetapi juga terlibat
dianggap tidak responsif dengan kebutuhan
dalam proses partisipasi politik melalui
masyarakat, maka “hukuman” (stick) akan
langsung
memang
mendorong
persetujuannya
terhadap
adanya
pilkada.
Namun
sebaliknya
jika
program-program
calon pemimpin yang disetujuinya dalam
bentuk keputusan pilihan suaranya.
99
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia, Pilkada Semakin Demokratis Tapi Partisipasi
Cenderung Menurun, Selasa, 10 November 2015, dalam
http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-semakindemokratis-tapi-partisipasi-cenderung-menurun .
Di
unduh pada 1 Mei 2016.
221
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
diberikan dalam wujud tidak memilih atau
bisa berlangsung secara sempurna dengan
apatis (golput) dalam pilkada.
menyertakan variabel responsivitas pemimpin
Kemenangan
dianggap
mampu
petahana
menjalankan
yang
kebijakan
lokal.
Pengalaman
pilkada
menunjukkan
betapa tingginya angka partisipasi di masa
publik dengan baik, menjadi pertanda bahwa
Orde
partisipasi masyarakat diberikan secara penuh
reformasi, tetapi sesungguhnya menunjukkan
dalam pilkada. Perhimpunan untuk Pemilu
adanya partisipasi semu, karena partisipasinya
dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan dari
didorong oleh mobilisasi pemerintah.
Baru
berbanding
dengan
masa
538 calon kepala dan calon wakil kepala
Hal ini seiring dengan pernyataan
daerah yang maju dalam pilkada serentak
bahwa mobilisasi masyarakat secara top-down
2015 ini, 278 orang atau lebih dari separuh di
bukanlah bentuk partisipasi yang sejati.
antara mereka merupakan mantan gubernur,
Soebagio menyatakan bahwa beberapa studi
bupati dan wali kota ataupun wakilnya. Dalam
secara eksplisit tidak menganggap tindakan
hitung cepat yang dilakukan Lembaga Survey
yang
Indonesia (LSI) dan sejumlah lembaga,
dimanipulasikan sebagai partisipasi politik,
sejumlah
yaitu lebih menekankan sifat sukarela dari
pasangan
mendapatkan
petahana
perolehan
tampak
suara
terbanyak,
dimobilisasikan
partisipasi
dengan
atau
yang
argumentasi
bahwa
bahkan di beberapa daerah mereka menang
menjadi anggota organisasi atau menghadiri
telak. Antara lain pasangan calon wali kota
rapat-rapat umum atas perintah pemerintah
dan
Tri
tidak termasuk partisipasi politik (Soebagio,
Rismaharini-Wisnu Sakti Surya. Lalu, di
2008). Di masa Orde Baru partisipasi politik
Banyuwangi,
Bupati
yang dimobilisasikan merupakan kontribusi
Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko
hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh
memperoleh
jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde
wakil
wali
kota
pasangan
suara
Surabaya,
mantan
sampai
88,78%,
berdasarkan survei LSI.100
Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh
Ini semakin memperkuat argumen
para
tokoh-tokoh
masyarakat
karismatik
bahwa tingginya angka partisipasi belumlah
sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh
menjamin
birokrasi pemerintahan sebagai wasit, namun
bahwa
mengimplementasikan
pilkada
prinsip
sukses
demokrasi.
Substansinya tidak lain adalah sejauh mana
rangkaian
proses
pilkada
ikut bermain politik sebagai orang Golkar.
Dengan begitu perilaku golput dalam
yang
hemat penulis juga merupakan partisipasi
direpresentasikan dalam bentuk partisipasi
politik karena merefleksikan sikap bukan
sebagai budak (client) melainkan sebagai
100
BBC Indonesia, Pilkada serentak, sejumlah calon
petahana
unggul,
dalam
http://www.bbc.com/
indonesia/berita_indonesia/2015/12/151210_indonesia_
pilkada_petahana. Di unduh pada 1 Mei 2016.
222
warga (citizen) dan menganggap partisipasi
bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
hak warga masyarakat itu sendiri, baik
intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram
berpartisipasi
dan meluas (Soebagio, 2008).
untuk
memilih
dan
berpartisipasi untuk tidak memilih. Justru
dengan
meningkatnya
jumlah
Dari uraian diatas nampak jelas
golput
betapa unsur responsivitas menjadi salah satu
menandakan keberanian masyarakat bersuara
unsur terpenting kelangsungan partisipasi
(voice) untuk merespon tindakan pemimpin
masyarakat untuk melanjutkan pilihannya
yang dipilih dalam pilkada sebelumnya. Ini
terhadap petahana. Jika peningkatan jumlah
adalah manifestasi demokrasi juga.
gotput dari
masa Orde Baru (rata-rata
Secara empirik peningkatan angka
dibawah 10 persen) ke masa reformasi (rata-
Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas
rata antara 30-40 persen) menjadi pertanda
sebagai berikut: (1). Pemilu dan Pilkada
melemahnya partisipasi aktif pemilih untuk
langsung
belum
mampu
menghasilkan
menentukan pilihannya, dalam konteks ini
bagi
peningkatan
bisa dikatakan justru ada keberanian pemilih
kesejahteraan masyarakat; (2). Menurunnya
untuk tidak memilih karena alasan tertentu.
kinerja partai politik yang tidak memiliki
Dengan kata lain merupakan respon terhadap
platform politik yang realistis dan kader
responsivitas pemimpin lokal.
perubahan
berarti
politik yang berkualitas serta komitmen
Fenomena lain selain golput yang
politik yang berpihak kepada kepentingan
menunjukkan adanya penurunan partisipasi
publik,
mengutamakan
aktif dan dengan sendirinya menunjukkan
kepentingan kelompok atau golongannya; (3).
keberanian untuk berpartisipasi pasif (golput)
Merosotnya
aktor-aktor
dari masyarakat, yaitu kemenangan petahana
politik (elit politik) yang berperilaku koruptif
dalam pilkada 2015 yang mencapai lebih dari
dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan
50% pilkada di seluruh Indonesia. Dari
daripada memperjuangkan aspirasi publik; (4)
pilkada yang diselenggarakan di 269 daerah,
Tidak
yang
ternyata lebih banyak calon petahana yang
dikampanyekan oleh elit politik kepada publik
memenangkan pilkada daripada yang kalah,
yang
dengan perbandingan 57,9 persen dan 42,1
melainkan
lebih
integritas
terealisasikannya
mendukungnnya;
moral
janji-janji
(5).
Kejenuhan
pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada
persen.
yang dipandang sebagai kegiatan seremonial
mempertahankan
berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi
posisinya sebagai kepala daerah lebih banyak
para elit politik; (6). Kurang netralnya
terjadi di wilayah kota daripada kabupaten. Di
penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih
kota, walikota yang berhasil mempertahankan
berpotensi melakukan keberpihakan kepada
posisinya mencapai 47,1 persen, sementara di
kontestan tertentu, di samping juga kurangnya
kabupaten hanya 28,1 persen bupati yang
kembali
Petahana
meraih
atau
posisi
yang
berhasil
meraih
kembali
sebagai
kepala
223
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
daerah.101
Data
argumentasi
peluang
ini
seolah
bahwa
menang
menguatkan
petahana
lebih
Dharmawijay
a-I.G.N. Jaya
Negara
memiliki
besar
daripada
7.
Tanah
Bumbu
Mardani H
MamingSudian Noor
81,50
8.
Mojokerto
Mustafa
Kamal PasaPungkasiadi
78,65
9.
Bolmong
Selatan
Herson
MayuluIskandar
Kamaru
77,35
10.
Medan
Dzulmi EdinAkhyar
Nasution
71,68
pesaingnya. Pada pilkada sebelumnya dari
data yang dihimpun, selama kurun waktu
tahun
2011
saja,
dari
sekitar
211-an
pelaksanaan pilkada di berbagai daerah di
Indonesia,
124
daerah
atau
59,05%
dimenangkan kembali oleh calon incumbent
(petahana), sementara 87 daerah lainnya atau
sekitar 40,05 % calon incumbent mengalami
kekalahan.
Tabel
Sumber: Data KPU, dalam JPNN, Ibu Risma dibawah
dibawah
ini
menjelaskan
mbak Rita, http://www.jpnn.com/read/2015/12/13/3443
kemenangan yang diraih petahan dengan
71/Ibu-Risma-di-Bawah-Mbak-Rita-/page3.
suara yang cukup telak.
pada 5 Mei 2016
Diunduh
Tabel 1.0
Banyak faktor yang menyebabkan
10 Besar Petahana Menang Pilkada 2015
No
.
Daerah
Nama
Pasangan
Petahana
Persentase
Kemenanga
n
1.
Kota Blitar
Samanhudi
AnwarSantoso
92,04
Kutai
Kartanegar
a
Rita
WidyasariEdi
Damansyah
89,40
Banyuwan
gi
A Azwar
Anas-Yusuf
W
88,96
4.
Bandar
Lampung
Herman H.NMuhammad
Yusuf Kohar
86,66
5.
Surabaya
Tri
RismahariniWhisnu Sakti
Buana
86,22
I.B.R.
82,19
2.
3.
6.
Denpasar
224
Sopa mengatakan, setidaknya ada lima faktor
yang
membuat
memenangi
calon
pilkada
petahana
serentak
mampu
tahun
ini.
Pertama adalah karena masyarakat merasa
puas atas kinerja kepemimpinannya selama
menjabat. Kedua , pasangan petahana sudah
lebih dikenal oleh masyarakat. Para pasangan
incumbent biasanya sudah lebih populer, itu
juga bisa menjadi faktor kemenangannya.
Ketiga , pasangan petahana dianggap telah
menguasai dan mampu menjangkau semua
segmen pemilih. Keempat, pasangan petahana
mampu
menggerakkan
tokoh
informal
maupun formal. Kelima, pasangan petahana
Kompas, “Petahana Tetap Kuat di Pilkada 2015”,
dalam
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/07
/02205431/Petahana.Tetap.Kuat.di.Pilkada.2015 .
Di
unduh pada 5 Mei 2016.
101
kemenangan petahana. Peneliti LSI, Ardian
dianggap lebih siap secara finansial. Selama
menjabat, biaya hidup petahana ditanggung
oleh negara, maka wajar jika mamapu
mengumpulkan dari hasil selama menjabat
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
kepala daerah untuk menghadapi pilkada
keberhasilannya
sehingga
diadopsi
oleh
tahun ini.102
daerah-daerah lain di Indonesia. Kemampuan
Tri
Risma membangun citranya di media massa
Rismaharini sebagai walikota Surabaya dan
juga menjadi salah satu penentu karena
Azwar Anas sebagai bupati Banyuwangi
popularitas akan memudahkan pemilih untuk
menjadi contoh betapa masyarakat di kedua
memilihnya kembali. Salah satu kebijakannya
daerah
kesempatan
yang sensasional adalah penutupan lokalisasi
kepada petahana untuk memimpin daerahnya
Dolly, sebagai area pelacuran terbesar di Asia
kedua kali. Risma mampu merebut suara
Tenggara, menambah popularitasnya semakin
86,22 persen dari pemilihnya, sedangkan
tinggi.
Kisah
sukses
tersebut
kepemimpinan
memberikan
Azwar Anas sukses mendulang 87,88 persen.
Sementara itu, Azwar Anas selama
Kedua petahana ini sebelumnya memang
menjadi bupati di wilayah paling timur di
tergolong sangat populer di media masa
propinsi
karena kebijakan publiknya yang dianggap
mempopulerkan daerahnya melalui program-
inovatif dan menyentuh masyarakat langsung.
program
Jawa
Timur
inovatifnya.
itu
Kini
mampu
banyuwangi
kebijakan
menjadi tujuan pariwisata terpopuler selain
publik yang membawa Surabaya sukses
Batu Malang dan Gunung Bromo di Jawa
meraih Piala Adipura selama 4 tahun berturut-
Timur. Semua itu berkat kegigihan Azwar
turut. Audit BPK pada tahun 2013 juga
membangun
memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian
Klimaksnya ketika kabupaten yang berjuluk
(WTP)
“The Sunrise of Java” ini, berhasil meraih
Risma
dikenal
terhadap
dengan
Laporan
Keuangan
dunia
penghargaan
Anggaran 2013. Opini WTP merupakan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (The
penilaian tertinggi yang diberikan oleh auditor
Nations
terhadap hasil auditnya yang berarti bahwa
Organization/UNWTO) dalam ajang "12th
Pemkot
mengelola
UNWTO Awards Forum" di Madrid, Spanyol.
keuangannya secara wajar, baik, transparan
Kabupaten Banyuwangi menyabet UNWTO
dan akuntabel. Selain itu Walikota Surabaya
Awards for Excellence and Innovation in
tersebut
Tourism untuk kategori ”Inovasi Kebijakan
mampu
mengeluarkan
kebijakan
Badan
daerahnya.
Pemerintah Daerah Kota Surabaya Tahun
Surabaya
dari
pariwisata
World
Pariwisata
United
Tourism
dalam
Publik dan Tata Kelola” dengan mengalahkan
pengelolaan APBD Kota Surabaya. Sistem e-
nominator lainnya dari Kolombia, Kenya, dan
budgeting
Puerto Rico.Tentu ini menambah kekuatan
penggunanaan
sistem
Pemkot
e-budgeting
Surabaya
ini
diakui
petahana di Banyuwangi untuk meyakinkan
102
Dedy Priatmojo, Lima Faktor Calon Petahana Unggul
di Pilkada Serentak, dalam http://politik.news.viva.
co.id/news/read/709835-lima-faktor-calon-petahanaunggul-di-pilkada-serentak. Diunduh pada 5 Mei 2016.
pemilihnya untuk memberikan eluang kedua
kali memimpin daerahnya.
225
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
Kebijakan publik yang dilakukan
terhadap
petahana selama menjabat, menjadi salah satu
ekonomi.
ukuran yang menentukan kemenangannya
daerah terkaya di Riau yang memiliki APBD
dalam
konsep
mencapai Rp. 5 triliun. Namun program
responsivitas menyatakan bahwa kebijakan
pembangunan infrastruktur dan ekonomi tidak
yang responsif adalah kebijakan yang dibuat
menyentuh
sebagai
atau
Belum lagi petani karet yang sudah lima tahun
poor
lamanya terpuruk lantaran harga murah.
sukses
Masih banyak desa yang tidak dialiri listrik di
mendulang kemenangan pilkada, seperti yang
Rupat, begitu pula akses jalan yang tidak
diraih Risma dan Azwar, adalah tidak lain
beraspal di desa-desa.103
pilkada.
Sebagaimana
respons
kebutuhan
policy),
terhadap
dasar
maka
aspirasi
masyarakat
petahana
(pro
yang
pembangunan
Padahal
Bengkalis
kalangan
Jauh
karena nilai responsivitas sebagai wujud
infrastruktur
merupakan
masyarakat
sebelum
dan
pilkada
bawah.
2015
amalan filsafat “untuk rakyat” memang
diselenggarakan,
dirasakan masyarakat langsung. Amat lumrah
menjelaskan
jika petahana yang demikian mampu meraih
menyebabkan petahana mengalami kekalahan
kemenangan
pilkada.
adalah sebagai berikut: Pertama , Tingkat
Sebaliknya, jika responsivitas jauh dari
popularitas calon petahana ternyata tidak
harapan masyarakat, maka “hukuman” (stick)
berbanding lurus dengan tingkat ke disukai-
akan diberikan dalam bentuk kekalahan yang
nya dan keterpilihannya (elektabilitasnya) di
telak sekalipun.
mata
mutlak
dalam
rakyat.
Heru
bahwa
Hal
ini
Kundhimiarso
hal-hal
bisa
yang
diakibatkan
Kisah Bupati petahana Bengkalis,
melekatnya persepsi negatif dalam diri sang
Herlyan Saleh kalah telak dalam pemilihan
petahana, baik dari sisi moralitas, karakter
kepala daerah serentak 2015 Bengkalis adalah
pribadi, maupun gaya kepemimpinannya.
salah satunya. Herlyan yang berpasangan
Tingkat
dengan Riza Pahlevi justru menduduki posisi
karakter personal dan gaya kepemimpinan
paling buncit dari dua pasangan calon bupati
seorang petahana akan membentuk politik
lainnya.
Menuut
Forum
persepsi yang sedemikian kuat di mata publik,
Indonesia
untuk
Anggaran
seperti kesan arogan, sok pintar, sok kuasa,
Koordinator
Transparansi
(Fitra) Riau Usman menyebutkan, status
ketidaksukaan
rakyat
terhadap
pemarah, berjarak dengan rakyat dll.
tersangka korupsi yang disandang Herlyan
Kedua , Kekalahan petahana tersebut
Saleh sangat mempengaruhi merosotnya suara
bisa dibaca sebagai bentuk protes langsung
bupati
rakyat atas kepemimpinan sang petahana atau
inkumben
itu.
Selain
itu
ketidakpercayaan masyarakat juga tampak
dari 5 tahun masa kepemimpinan Herlyan
Saleh tidak memberikan dampak signifikan
226
103 Tempo, “Ini Penyebab Kekalahan Bupati Petahana
Bengkalis Riau”, dalam https://m.tempo.co/read/news
/2015/12/18/058728852/ini-penyebab-kekalahan-bupatipetahana-bengkalis-riau. Diunduh [ada 5 Mei 2016.
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 212-230
pejabat politik di daerah tersebut. Petahana
DKI Jakarta contoh paling dekat dan paling
dianggap mengingkari janji-janji kampanye
tepat dengan sosok Jokowi nya. 104
Maka menjadi hal yang lumrah jika
pada saat pertama maju mencalonkan diri.
Petahana
dinilai
kesejahteraan,
gagal
gagal
dalam
mewujudkan
petahana gagal dalam pilkada tidak lain
menjalankan
dikarenakan faktor-faktor tersebut. Tingkat
kepemimpinannya. Sehingga rakyat yang
melek
tidak puas melampiaskan ketidakpuasannya
reformasi ini memang meningkat pesat. Tidak
tersebut
saja apatisme dalam bentuk golput disuarakan
dengan
cara
menghukum
sang
petahana dengan tidak memilihnya kembali.
Ketiga ,
Masyarakat
memiliki
politik
masyarakat
sejak
masa
dalam pilkada tetapi juga “hukuman” untuk
petahana
yang
tidak
responsif
terhadap
keinginan kuat untuk melakukan perubahan
kesejahteraan masyarakat menjadi taruhan
dan mereka melakukan gerakan penolakan
yang penting.
terhadap status quo yang dibangun petahana,
hal ini terjadi karena masyarakat telah melihat
Kesimpulan
kepemimpinan petahana yang tidak mampu
Proses pilkada di Indonesia sejak
dan tidak berhasil melakukan perubahan
reformasi
dalam masa kepemimpinannya. Semangat
masyarakat menjadi aktor penting dalam
perubahan yang diinginkan masyarakat, akan
proses pemilihan. Berbeda dengan masa Orde
membangun persepsi politik yang seolah-olah
Baru dimana mayoritas masyarakat mengikuti
vis a vis antara pro status quo dengan pro
pemilihan umum di level nasional, karena di
perubahan.
level daerah semua kepala daerah ditunjuk
menandakan
era
baru,
ketika
Keempat, Kondisi masyarakat saat ini
oleh Soeharto, adalah berdasarkan mobilitas
yang mulai otonom dan rasional dalam
pusat, sehingga amat wajar jika tingkat
menentukan pilihannya, masyarakat tidak lagi
partisipasinya rata-rata diatas 85 persen.
tergantung
yang
Namun begitu partisipasinya dianggap semu,
mengusung calon, masyarakat tak mau lagi
karena tidak disertai dengan keterwakilan,
terbuai dengan money politik yang diberikan
transparansi dan akuntabilitas, apatah lagi
oleh sang kandidat. Masyarakat kini lebih
responsivitas
melihat berdasarkan pada visi, misi, dan
reformasi partisipasi aktif masyarakat dalam
program kerja konkret yang ditawarkan calon.
pilkada disertai dengan pemantauan sepanjang
Lebih tertarik dengan sosok figur calon yang
periode pemimpin daerah ketika menjabat,
pada
bendera
parpol
yang
memadai.
Di
masa
mencerminkan kesederhanaan, dekat dengan
rakyat, jujur, ramah, dan low profile. Pilkada
Puskapik, “Musim Bergugurannya Calon Incumbent
(Petahana) dalam Pilkada, bagaimana dengan Pemalang
?”
dalam
http://www.puskapik.com/musimbergugurannya-calon-petahana-incumbent-dalampilkada-bagaimana-dengan-pemalang/. Diunduh pada 5
Mei 2016.
104
227
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
sehingga amatlah wajar unsur responsivitas
http://www.rti.org/pubs/Democr_Dec
menjadi
en.PDF. Diakses 10 Januari 2008.
variabel
penting
dalam
proses
Dedy
berdemokrasi secara menyeluruh.
Partisipasi yang aktif secara ideal
Priatmojo,
“Lima
Faktor
Petahana
Unggul
di
memang harus disertai dengan responsivitas
Serentak”,
yang
tinggi.
diberikan
Kepercayaan
pemilih
dalam
Calon
Pilkada
dalam
politik
yang
http://politik.news.viva.co.id/news/rea
pilkada
agar
d/709835-lima-faktor-calon-
penyelenggara negara menjalankan kebijakan-
petahana-unggul-di-pilkada-serentak.
kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan
Diunduh pada 5 Mei 2016.
masyarakat, dewasa ini semakin mengemuka.
De Tocqueville, A. (2003). Democracy in
(Vol.
Kemenangan dan kekalahan petahana dalam
america
pilkada dapat dinyatakan bahwa keterkaitan
Publishing.
10).
Regnery
partisipasi dan responsivitas menjadi amat
Diamond, L. (1999). Developing democracy:
penting dalam proses demokrasi lokal secara
Toward consolidation. JHU Press.
menyeluruh.
Dwiyanto,
A.
(2006).
Reformasi
birokrasi publik di Indonesia . Gadjah
Mada University Press.
Daftar Pustaka
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia,
“Pilkada
Demokratis
Tapi
Semakin
Partisipasi
Cenderung Menurun”, Selasa, 10
November
2015,
dalam
analysis of political systems. World
politics, 9(03), 383-400.
Fatkhurohman, F. (2010). Pilkada Dan Masa
Depan
Penguatan
Demokrasi
di
http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-
Daerah. Jurnal Konstitusi, 3(2).
semakin-demokratis-tapi-partisipasi-
Fitriyah, F. (2013). Meninjau Ulang Sistem
cenderung-menurun. Diunduh pada 1
Pilkada Langsung: Masukan Untuk
Mei 2016.