Sejarah Filsafat Hukum Yunani dan Filsaf

Sejarah Filsafat Hukum Yunani dan Filsafat Hukum pada Zaman
Pertengahan
Oleh :
Nama : Totoh Wildan Tohari
NIM : 1143050162
Kelas : Ilmu Hukum-D Semester 7
A. Pendahuluan
Sejarah merupakan kajian keilmuan yang mempelajari tentang kejadian pada masa
lampau. Kajian ini mempelajari segala hal yang sudah terjadi, mulai dari zaman pra-sejarah
sampai era modern sekarang. Salah satu kajian dalam sejarah berkaitan dengan ilmu hukum dan
filsafat.
Ilmu hukum sendiri adalah ilmu tentang hukum. Objeknya adalah hukum, dengan
demikian konsep ilmu melekat pada ilmu hukum.1Apabila ilmu hukum dipandang sebagai ilmu
yang khas, maka ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu tentang kaidah, Van Appeldorn
memasukan ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan hukum dogmatis atau sistematis. Sedangkan
Utrecht menyebutnya ilmu hukum hanya sebagai ilmu hukum positif.
Setelah ilmu hukum, hal lain yang perlu dipelajari adalah filsafat. Makna filsafat sendiri
adalah upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan pengembangan manusia di dunia menuju
akherat secara mendasar. Ilmu Hukum termasuk objek material yang dapat dipelajari oleh
filsafat. Tujuan filsafat sendiri adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin,
mengajukan kritik dan menilai pengetahuan, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta

mengatur semuanya kedalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kepada pemahaman,
dan pemahaman membawa kepada tindakan yang lebih layakSedangkan pengertian hukum
1 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
hlm 13.

sendiri, umumnya dalam dipahami oleh masyarakat bahwa hukum adalah suatu perangkat aturan
yang dibuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi
sebagai pemaksa untuk menegakan hukumnya.

2

Hal lain yang harus dipahami adalah keterkaitan antara filsafat hukum dan ilmu hukum
dengan hukum adalah filsafat hukum dan ilmu hukum dapat menjadi satu sumber hukum
walaupun tidak semuanya hasil filsafat hukum dan ilmu hukum menjadi sumber hukum. Seperti
kita tahu, sumber hukum terbagi 2 yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materil. Jika
filsafat hukum dan ilmu hukum dimasukan kedalam sumber hukum, maka filsafat hukum
merupakan sumber hukum materil, dan ilmu merupakan sumber hukum formal. (ilmu hukum dan
filsafat hukum, teguh prasetyo dan abdul halim barkatullah, hal. 13, 2006, pustaka pelajar ;
Yogyakarta)


2. Sejarah Filsafat Hukum Yunani
Yunani boleh disebut sebagai sumber kancah pemikiran-pemikiran tentang hukum sampai
akar-akar filsafatnya, sehingga masalah-masalah utama yang sekarang ini bisa dikaitkan ke
belakang kepada bangsa tersebut. Masalah-masalah utama yang sekarang di bicarakan dalam
teori-teori hukum telah mendapat perumusannya pada masa itu. Dibandingkan Yunani, maka
Romawai maka Romawi tidak banyak memberikan membangun pada pemikiran teori ini. Bangsa
yang disebut belakangan ini lebih menyumbangkan pemikirannya pada pada konsep-konsep dan
teknik-teknik yang berhubungan dengan hukum positif, seperti bidang-bidang kontrak,
kebendaan dan ajaran-ajaran tentang kesalahan. Ada 2 hal yang menyebaban pemikiran filsafat
hukum itu begitu subur di Yunani.3
Pertama, kecenderungan-kecenderungan untuk berfikir spekulatif serta persepsi
intelektualnya untuk menyadari adanya tragedy kehidupan manusia serta konflik-konflik dalam
kehidupan dunia ini, seperti yang terlihat pada karya-karya filsafat dan kesusasteraannya,
2.Jujun Sumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Muliasari, Jakarta, 1996, hlm. 19
3 Satjipto Rahardjo, , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 261.

memberikan saham yang besar kea rah hukum yang bersifat teoritis. Dengan kecenderungan
kecenderungan pemikiran seperti itu, orang Yunani melihat bagaimana timbul dan perkembangan
polis, Negara kota di masa itu. Kekacauan-kekacauan sosial, konflik-konflik yang ada
didalamnya, pergantian pemerintah yang begitu sering, masa-masa tiranik dan kesewenangwenangan, yang terjadi pada masa itu, memberikan bahan banyak sekali bagi pemikiran yang

bersifat spekulatif mengenai persoalan-persoalan hukum yang ada di masyarakat. Demikian
orang pun didorong untuk memikirkan problem yang abadi mengenai hubungan hubungan antara
hukum positif dengan keadilan yang abadi itu, sehingga memberikan sumbangan pemikiran
Yunani ke dalam dunia teori hukum (Friedman, 1953; 5).
Plato, yang sendirinya adalah seorang filsuf, namun demikian, ia pun mengembangkan
teorinya sendiri mengenai keadilan dan hal itu merupakan bagian yang penting dari keseluruhan
bangunan filsafatnya (Bodenheimer, 1974 : 6-9). Menurut Plato keadilan adalah “apabila seorang
itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini sesuai dengan kemampuan yang ada padanya”.
Setiap anggota masyarakat mempunyai tugas-tugasnya tersendiri yang khusus dan hendaknya
membatasi pekerjaannya kepada pelaksanaan dari tugas-tugas tersebut. Dengan demikian, Plato
hendak mengatakanm bahwa masyarakat yang adil adalah yang anggota-anggotanya bisa
menjalankan kegiatannya secara demikian itu. “Mengurusi pekerjaan sendiri dan tidak
mencampuri orang lain, itulah keadilan”. Plato mempunyai idealnya sendiri mengenai
masyarakat yang sejahtera.
Dalam masyarakat yang demikian itu memang tidak dapat dihindari timbulnya
pertentangan-pertentangan dan ini harus diselesaikan oleh kekuasaan di situ. Dalam The
Republic , Plato menyerahkan penyelesaian itu kepada para hakim. Ia tidak menghendaki agar
dalam menyelesaikan perkara-perkara itu para hakim diikat oleh peraturan-peraturan yang pasti
yang terdapat dalam hukum positif. The Republic adalah suatu Negara yang dipimpin oleh orangorang yang cerdik cendekiawan, yang bebas dan bukannya orang-orang yang terikat kepada
hukum. Keadilan itu hendaknya diciptakan dan dijalankan dalam masyarakat “tanpa

menggunakan hukum”. 4
Pada masa-masa menjelang akhir hidupnya, Plato mulai mengakui , bahwa tidak mudah
untuk menemukan orang-orang dengan kualitas yang demikian itu dan oleh karenanya ia
4Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
hlm 83.

mengusulkan “Negara hukum” sebagai alternative yang paling baik bagi pemerintahan oleh
manusia itu. Pikiran-pikirannya itu dituangkan dalam karyanya The Laws. Dalam karyanya ini
tidak lagi menerima konsep Negara yang diperintah oleh kekuasaaan serta orang-orang yang
bebas, melainkan keadilan harus dijalankan atas dasar norma-norma tertulis. Para penguasa harus
menjadi hamba hukum yang tidak membeda-bedakan orang.
Aristoteles adalah murid Plato dan sangat terkesan oleh ide-ide gurunya itu. Sekalipun
demikian, ia mengembangkan pemikirannya sendiri dan terutama banyak mengoreksi terhadap
pikiran edealistis dari gurunya. Menurut Aristoteles, Negara yang didasarkan pada hukum bukan
alternative yang paling baik dari Negara yang dipimpin oleh orang-orang cerdik cendekiawan,
melainkan satu-satunya cara yang paling praktis untuk mencapai kehidupan yang baik dan
sejahtera dalam masyarakat. Dalam pikiran Aristoteles, hukum itu merupakan pembadanan yang
bebas dari napsu-napsu. Hanya Tuhan dan akal saja yang boleh memerintah. Rupa-rupanya
dalam ajaran Aristoteles ini, hukum merupakan jaminan, bahwa akal itulah yang memerintah dan
bukanlah napsu-napsu dari orang-orang yang menjalankan perintah tersebut. Namun, Aristoteles

masih menambahkan, bahwa hukum itu bisa keras dan oleh karena itu mengandung
kemungkinan untuk tidak mendatangkan keadilan. Oleh karena itu ia harus dilunakan dan
didekatkan kepada keadilan dengan cara equity, suatu cara yang kemudian diterapkan secara
sistematis dalam system hukum Common lawa di Inggris.
Menurut Aristoteles, equity adalah “meluruskan jalannya hukum yang telah menjadi
salah disebabkan oleh sifat keumumnannya”. Hukum berbicara dalam bahasa yang umum, tetapi
tidak semua perkara bisa dimasukan ke dalam pengaturan yang bersifat umum itu, tanpa resiko
menimbulkan

ketidakadilan.

Dalam

keadaan

yang

demikian

ini,


hakim

hendaknya

memperlakukannya sebagai kasus yang unik dan ia akan memberikan keputusan yang seperti
apabila ia berada pada kursi pembuat hukum.
Sumbangan Aristoteles yang lain, yang dipandang sangat besar pemikirannya tentang
hukum dan keadilan sampai sekarang, adalah pembedaannya dalam keadilan distributive dan
keadilan korektif (Friedman, 1953 : 9). Keadilan yang pertama menyangkut soal pembagian
barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam
masyarakat. Ia menghendaki agar orang –orang yang mempunyai kedudukan yang sama
memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum.

Keadilan ini menjadi model dari rumusan Romawi yang klasik sebagaimana dibuat oleh
Ulpian, yaitu “Honeste Vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere “ (“ Hidup secara
terhormat, tidak menggangu orang lain disekelilingmu, memberikan kepada setiap orang
bagiannya”). Keadilan yang kedua memberikan ukuran bagi menjalankan hukum sehari-hari.
Dalam menjalankan hukum sehari-hari. Dalam menjalankan hukum sehari-hari kita harus
mempunyai standar yang umum guna memperbaiki (memulihkan) konsekuensi-konsekuensi dari

suatu tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Pidana memperbaiki
yang telah dilakukan oleh kejahatan, pemulihan memperbaiki kesalahan perdata, ganti rugi
mengembalikan keuntungan yang diperoleh secara salah. Standar tersebut harus diterapkan tanpa
melihat orang dan untuk semuanya tunduk kepada standar yang objektif (Friedmen, 1953 :10).5
Secara singkatnya sumbangan yang paling dari pemikiran Aristoteles terhadap terori hukum
adalah:




Formulasi tentang problema esensial dari keadilan
Formulasi tentang perbedaan antara keadilan yang abstrak dengan equity
Uraian tentang perbedan keadilan hukum dan keadilan alamiah (seperti hukum positif
dan hukum alam).
Pemikiran lain zaman Yunani yang cukup penting adalah datang dari kaum Stoa, aliran
ini ditemukan pada Abad keempat sebelum masehi, pemikiran-pemikiran terwakili oleh
tulisan Zeno (320-250 BC). Inti ajarannya adalah :
1. Alam ini diperintah oleh pikiran yang rasional ]
2. Kerasionalan alam dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan
penalarannya memungkinkan menciptakan suatu “natural life” yang didasarkan pada

“reasonable living”.
3. Hukum Alam dapat diidentifikasikan dengan moralitas tinggi
4. Basis hukum adalah aturan Tuhan dan keadaan manusiawi.
5. Penalaran manusia dimaksudkan agar ia dapat membedakan yang benar dari yang
salah dan hukum didasarkan pada konsep-konsep manusia tentang hak dan
kewajiban.

5 Satjipto Rahardjo, , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 264.

3. Sejarah Filsafat Hukum Zaman Pertengahan
Abad Pertengahan atau Zaman Pertengahan dalam sejarah Eropa, berlangsung dari abad ke-5
sampai abad ke-15. Abad Pertengahan bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan
berlangsung sampai dengan Abad Pembaharuan dan Abad Penjelajahan. Sejarah Dunia Barat
secara tradisional dibagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Zaman Antik Klasik, Zaman
Pertengahan, dan Zaman Modern. Dengan kata lain, Abad Pertengahan merupakan kurun waktu
peralihan dari Zaman Antik Klasik ke Zaman Modern. Abad Pertengahan terbagi lagi menjadi
Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan.6
Berkaitan dengan sejarah Ilmu Hukum, sesungguhnya Ilmu Hukum adalah ilmu modern
pertama yang lahir dari di Dunia Barat, demikian dikatakan Harold J. Berman berdasarkan
penelusuran historis yang luas dan mendalam. Ilmu Hukum sebagaimana yang kita kenal pada

masa kini timbul pada abad 12/13 bersamaan dengan lahirnya universitas. Dapat dikatakan
bahwa pada abad 12 “scholarship”, diskusi kefilsafatan dan teologikal mengalami
perkembangan

yang

dapat

dikatakan

eksepsional.

Penyebabnya

adalah

diseminasi

(penyebarluasan) tulisan-tulisan Aristoteles dan bangkitnya minat pada hukum Romawi.
Pada abad 11 dan 12, di Eropa berlangsung perubahan sosial. Pada waktu munculnya pusatpusat kekuasaan yang kuat yang membawa ketertiban dalam masyarakat, dan dengan itu

pengaturan dan penataan kehidupan masyarakat secara politik. Pada waktu yang bersamaan,
dinamika perdagangan lintas kota di Eropa yang untuk pengamanan masing-masing dilindungi
benteng di sekelilingnya. Dengan itu pula timbul kelas baru pula dimasyarakat, yakni kelas para
yuria professional, yakni para hakim professional dan para penasihat hukum atau pengacara
professional. Pada masa itu juga orang mulai melakukan penulisan “ legal treatises”dan
kompilasi serta sistematisasi warisan “ legal treatises” dari zaman Romawi, yang mendorong
perkembangan konsep hukum sebagai perangkat asas-asas hukum dan prosedur-prosedur yang
mandiri dan terintegrasi. 7
Perkembangan politik, sosial dan ekonomi di Eropa Barat pada abad 11, 12 dan 13
menyebabkan munculnya :

6 https://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Pertengahan, diunduh pada 2 September 2017 pukul 19.00 WIB.
7 Antonius Cahyadi, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007, hlm 41.

1. Sistem Hukum Kanonik , yang terdiri atas Ius Novum dan Ius Antiquum. Ius Novum
adalah keseluruhan perundang-undangan (aturan tertulis) yang dibuat oleh Paus dan
Dewan Gereja sejak abad 11. Ius Antiquum adalah hukum kanonik sebelum abad 11
2.
3.
4.

5.

yang dikompilasi dan disistematisasi oleh Gratianus pada tahun 1140.
Sistem Hukum Sekuler yang diciptakan oleh raja-raja.
Sistem hukum Kota (Urban Law) yang diciptakan kota-kota bebas.
Sistem hukum feudal dan manorial.
Sistem hukum dagang baru untuk memenuhi kebutuhan para pedagang dalam kegiatan
perdagangan antar-kota (intercity), antar-regional dan inter-nasional.

Dapat dikatakan bahwa penciptaan Sistem Hukum Modern abad 11, 12 dan 13 itu merupakan
respons terhadap proses perubahan sosial dan ekonomi yang dipengaruhi faktor-faktor
keagamaan, yakni perubahan revolusioner dalam Gereja serta hubungan antara Gereja dan
otoritas sekuler. Jadi, hingga derajat tertentu, tradisi hukum barat modern ditimbulkan oleh
separasi eksplosif kekuasaan gereja dan kekuasaan sekuler.
Kehadiran tradisi hukum modern yang mengikat dan memang dibutuhkan masyarakat
menyebabkan banyak orang ingin dan membutuhkan memperoleh pemahaman tentang hukum.
Masyarakat pada waktu memang membutuhkan orang-orang yang memahami hukum secara
berkeahlian dan mampu menggunakan keahlian hukumnya untuk menemukan penyelesaian
terhadap masalah hukum yang timbul dalam interaksi kemasyarakatan . Hal ini menyebabkan
orang muda tertarik untuk belajar secara sistematis agar memperoleh pengetahuan dan
pemahaman tentang hukum yang diperlukan itu.
Sekolah hukum pada abad pertengahan tidak dimaksudkan untuk calon pengemban pada
profesi hukum , baik hukum maupun advokat. Untuk memasuki dunia profesi hukum , orang
setelah mempelajari masa magang harus menempuh ujian khusus, yang mulai diinstrusikan di
Italia. Pendidikan Universitas pada waktu itu lebih dimaksudkan untuk mendidik calon dosen
universitas ; system pendidikan dan pengajaran ditata sesuai dengan tujuan itu. Sistem
pengajaran hukum yang dikembangkan di Bologna itu kemudian menyebar di seluruh Eropa,
ketika pada abad 13 di masing-masing Negara Eropa didirikan universitas dengan fakultas
hukumnya. Model pengajaran hukum Bologna sepenuhnya dilaksanakan di semua universitas,
termasuk metode pengajaran, system ujian dan teks yang digunakan, yakni Corpus Iuris, Glossa

Ordinarius yang disiapkan di Bologna khusus untuk pengajaran hukum di berbagai universita,
dan “Summa” yang ditulis Azo. Bologna dipandang sebagai “alma mater”.
Penggunaan system pengajaran hukum model Bologna itu bukan hanya karena kebetulan
para dosennya lulusan Sekolah Hukum Bologna, tetapi juga karena sering dalam Charter
pembentukan universitas dari pihak berwenang ( raja atau uskup setempat) disebutkan secara
eksplisit keharusan menggunakan system pengajaran itu.
Selain menyebarkan telaah hukum secara ilmiah, diadopsinya model pengajaran hukum
Bologna menimbulkan dampak sosiologis, yakni terbentuknya profesi yuris terdidik pada abad
13. Para yuris ini bekerja sebagai pejabat di berbagai pengadilan, menjadi penasehat para
bangsawan dan dewan pemerintahan kota. Mereka berusaha menerapkan hukum yang dipelajari
di universitas, antara lain berdasarkan teori tentang “IUS COMMUNE” yang terkandung dalam
Hukum Romawi.8
Menurut teori ini, karena sifatnya sebagai “ratio scripta” , hukum akal budi yang tertulis,
maka hukum Romawi dapat berlaku untuk masalah hukum yang terhadapnya hukum local tidak
menyediakan penyelesaian. “Ius Commune” ini kemudian dikembangkan dan diadaptasi pada
perubahan kebutuhan zaman lewat interpretasi hingga terbentuk “communis opinion doctorum”,
yang di dalam praktek memperoleh kekuatan otoritatif. Jadi meskipun bukan hukum positif yang
berlaku dalam pengertian sekarang, namun Hukum Romawi bagi para yuris pada masa itu
dipandang sebagai hukum ideal, sebagai perangkat gagasan hukum yang terpadu secara
sistematik.
Dengan sendirinya , di dalam praktik, Hukum Romawi itu memberikan perspektif dalam
menganalisa dan menilai berbagai masalah hukum konkret dan hukum yang berlaku. Dengan
cara demikian Ilmu Hukum yang diajarkan di universitas, lewat para yuris terdidik itu,
mempenetrasi praktek hukum dan mempengaruhi proses pembentukan tata hukum nasional pada
seluruh Negara-negara di Eropa.

8 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
hlm 65.

Perubahan cara pengajaran hukum mulai terjadi pada abad ke-17, dengan dimasukannya hukum
positif yang berlaku di dalam kurikulum . Perubahan ini dipengaruhi oleh perubahan sosial yang
fundamental yang ditimbulkan oleh Reinassance

yang langsung menerobos ke inti tradisi

hukum.
Dalam dunia intelektual, perubahan dimulai dengan munculnya kritik terhadap logika
Aristotelian oleh Piere de la Ramee dalam buku DIALEXTICA dan RHETORIC . Otoritas
sejarah, dengan itu otoritas Hukum Romawi dan Hukum Kanonik, dipersoalkan, untuk kemudian
diganti dengan otoritas akal budi. Telaah hukum secara ilmiah ( legal scholarship) melepaskan
diri dari keterkaitannya pada teks individual Corpus Iuris dan dengan itu Teori Hukum
memusatkan perhatiannya pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum (Domat, Potheir,
Heinneccius) . Pengajaran hukum kini lebih diarahkan pada pemaparan system dan berfikir
berdasarkan asas-asas. Pandangan Abad Pertengahan yang mengakui otoritas Hukum Romawi
sebagai yang mewadahi “ratio scripta” , kini berubah menjadi pandangan bahwa Hukum
Romawi adalah hukum yang valid bukan karena mewadahi hukum akal budi, melainkan Hukum
Romawi itu valid sejauh ia konsisten dengan akal budi.

4. Kesimpulan
-

Yunani boleh disebut sebagai sumber kancah pemikiran-pemikiran tentang hukum
sampai akar-akar filsafatnya, sehingga masalah-masalah utama yang sekarang ini bisa
dikaitkan ke belakang kepada bangsa tersebut. Salah dua filusuf yang membidangi filsafat
hukum adalah Plato dan Aristoteles.

-

Plato,

yang

sendirinya

adalah

seorang

filsuf,

namun

demikian,

ia

pun

mengembangkan teorinya sendiri mengenai keadilan dan hal itu merupakan bagian
yang penting dari keseluruhan bangunan filsafatnya. Menurut Plato keadilan adalah
“apabila seorang itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya”. Setiap anggota masyarakat mempunyai tugastugasnya tersendiri yang khusus dan hendaknya membatasi pekerjaannya kepada
-

pelaksanaan dari tugas-tugas tersebut.
Aristoteles memberikan sumbangan yang dipandang sangat besar pemikirannya tentang
hukum dan keadilan sampai sekarang, adalah pembedaannya dalam keadilan
distributive dan keadilan korektif. Keadilan yang pertama menyangkut soal
pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai
dengan tempatnya dalam masyarakat. Ia menghendaki agar orang –orang yang
mempunyai kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan

-

hukum.
Dapat dikatakan bahwa penciptaan Sistem Hukum Modern abad 11, 12 dan 13 itu
merupakan respons terhadap proses perubahan sosial dan ekonomi yang dipengaruhi
faktor-faktor keagamaan, yakni perubahan revolusioner dalam Gereja serta hubungan
antara Gereja dan otoritas sekuler. Jadi, hingga derajat tertentu, tradisi hukum barat
modern ditimbulkan oleh separasi eksplosif kekuasaan gereja dan kekuasaan sekuler.

Daftar Pustaka
1. Buku
-

-

Cahyadi, Antonius, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media ,
2007.
Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum,
Yogyakarta ,Pustaka Pelajar, 2006.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, , Bandung , Citra Aditya Bakti, 2006.

-

Sumantri, Jujun. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Muliasari, 1996.

-

2. Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Pertengahan, diunduh pada 2 September 2017 pukul 19.00
WIB.