Penampilan Sifat Ketahanan Penyakit Layu

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang banyak digemari masyarakat. Oleh karena itu, salah satu spesies
cabai yang banyak dibudidayakan adalah cabai merah (Capsicum annuum L.).
Bosland dan Votava (2000) menyatakan bahwa dalam buah cabai mengandung
zat-zat gizi diantaranya protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin (A, C dan
B1) dan senyawa alkaloid seperti capsaicin, plavonoid dan minyak esensial. Pada
saat tertentu, kebutuhan cabai sangat tinggi sehingga produksi nasional tidak
mencukupi permintaan yang selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Luas panen tanaman cabai pada tahun 2010-2012 berturut-turut adalah
122.755 ha, 121.063 ha dan 120.275 ha, sedangkan produksinya mencapai
807.160 ton, 888.852 ton dan 954.363 ton. Dari data tersebut, produktivitas cabai
berturut-turut 6,58 ton/ha, 7,34 ton/ha dan 7,93 ton/ha (Anonymousa, 2015).
Produktivitas tanaman cabai tergolong sangat rendah karena menurut (Agustin,
Ilyas, Anas dan Suwarno, 2010) menyatakan bahwa potensi produktivitas tanaman
cabai bisa mencapai 20-40 ton ha-1.
Rendahnya produktivitas cabai antara lain disebabkan oleh serangan hama

dan penyakit serta kurang tersedianya benih yang berkualitas. Salah satu penyakit
yang menyerang tanaman cabai ialah penyakit layu bakteri. Penyakit ini cukup
berbahaya karena pada tingkat serangan berat penyakit ini dapat menyebabkan
kematian pada tanaman dan kegagalan panen sehingga menimbulkan kerugian
atau penurunan hasil yang relatif besar (Semangun, 1994). Penyakit ini, biasanya
menyerang tanaman cabai pada saat musim hujan sehingga dapat menurunkan
hasil produksi cabai. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk menggunakan
varietas yang resisten.
Dalam upaya mendapatkan varietas cabai merah yang tahan terhadap
penyakit layu bakteri, maka perlu dilakukan kajian tentang ketahanan alami cabai
terhadap penyakit layu bakteri karena lebih ekonomis, aplikatif dan bersifat ramah
lingkungan dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi. Tanaman yang
tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang mampu menghambat perkembangan

2

patogen, sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang dan menyebar.
Sebaliknya, tanaman yang rentan yaitu tanaman tidak mampu menghambat
perkembangan patogen penyebab penyakit. Respon tanaman terhadap patogen
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Suatu varietas disebut tahan

apabila varietas tersebut memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu
pulih kembali dari serangan penyakit pada keadaan yang mengakibatkan
kerusakan. Ketahanan terhadap suatu penyakit masing-masing genotip cabai
merah berbeda-beda (Muhuria, 2003).
Pada umumnya masyarakat menggunakan cabai sebagai bahan masakan
yang memberi rasa pedas. Selain digunakan sebagai bahan masakan tanaman
cabai juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan herbal dan obatobatan. Rasa pedas yang terdapat pada tanaman cabai dipengaruhi oleh kadar
capsaicin pada tanaman cabai tersebut. Kadar capsaicin yang terkandung pada
buah cabai memiliki kadar yang berbeda-beda tergantung dari varietas cabai. Oleh
karena itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan tanaman cabai yang tahan
terhadap penyakit layu bakteri, memiliki produktivitas dan kadar capsaicin yang
tinggi.
Pada penelitian ini, tetua yang digunakan adalah TW 2, PBC 473 dan
Jatilaba. TW 2 yaitu varietas lokal Brebes yang memiliki sifat tahan tungau, tahan
rebah semai, produksi tinggi dan cenderung pedas. Sedangkan PBC 473 yaitu
hasil introduksi dari AVRDC yang memiliki sifat tahan layu bakteri dan
mempunyai rasayang pedas serta Jatilaba yaitu varietas yang dikeluarkan oleh PT.
East West Seed Indonesia yang memiliki sifat tahan layu bakteri, produksi tinggi,
bentuk buah besardan rentan terhadap penyakit antraknosa.
1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan cabai merah
(Capsicum annuum L.) terhadap serangan penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum) dan kadar capsaicin yang terkandung dalam cabai merah
(Capsicum annum L.) pada 30 famili F5.

3

1.3 Hipotesis
Terdapat famili F5 cabai merah (Capsicum annuum L.) yang tahan terhadap
serangan layu bakteri (Ralstonia solanacearum), produksi tinggi dan memiliki
kadar capsaicin yang tinggi.

4

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Cabai
Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistem tumbuhan) tanaman cabai
termasuk kedalam Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas
Dicotyledoneae, Ordo Solanales, Famili Solanaceae, Genus Capsicum, dan
Spesies Capsicum annuum L.

Tanaman cabai memiliki akar tunggang yang terdiri atas akar utama dan
akar samping yang berupa serabut-serabut akar. Batang tanaman cabai berkayu
dan berwarna cokelat kehijauan. Tunas baru akan tumbuh pada setiap ketiak daun
tinggi batang cabai pada umumnya mencapai 50-90 cm. Tanaman cabai memiliki
helaian daun dengan tangkai yang panjang. Daun merupakan daun tunggal
berbentuk oval atau 4 lonjong dengan tepi daun yang rata dan warna daun hijau
sampai hijau tua (Ashari, 1995).
Batang utama cabai menurut (Hewindati, 2006) tegak dan pangkalnya
berkayu dengan panjang 20-28 cm dengan diameter 1,5-2,5cm. Batang
percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm, diameter batang
percabangan mencapai 0,5-1 cm. Percabangan bersifat dikotomi atau menggarpu,
tumbuhnya cabang beraturan secara berkesinambungan.
Menurut Hewindati (2006), daun cabai berbentuk memanjang oval dengan
ujung meruncing atau diistilahkan dengan oblongus acutus, tulang daun berbentuk
menyirip dilengkapi urat daun. Bagian permukaan daun bagian atas berwarna
hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda atau hijau
terang. Panjang daun berkisar 9-15 cm dengan lebar 3,5-5 cm. Selain itu daun
cabai merupakan daun tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5-2,5 cm), letak
tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal
meruncing, tepi rata, petulangan menyirip, panjang 1,5-12 cm, lebar 1-5 cm,

berwarna hijau.
Menurut Henwindati (2006), bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil,
umumnya bunga cabai berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna ungu. Cabai
berbunga sempurna dengan benang sari yang lepas tidak berlekatan. Disebut
berbunga sempurna karena terdiri atas tangkai bunga, dasar bunga, kelopak bunga,

5

mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Bunga cabai disebut
juga berkelamin dua atau hermaphrodite karena alat kelamin jantan dan betina
dalam satu bunga. Sedangkan menurut Kusundriani (1996) menyebutkan bahwa
bunga cabai merupakan bunga sempurna (hermaphrodite), bunga jantan dan
bunga betina terletak pada satu bunga yang biasanya menggantung dan keluar dari
ketiak daun. Setiap bunga memiliki satu kepala putik (stigma) berbentuk bulat,
lima sampai enam helai benang sari dengan bentuk lonjong. Posisi benang sari
dan putik dalam bunga sangat mempengaruhi penyerbukan. Apabila posisi kepala
putik lebih tinggi dari benang sari maka akan terjadi penyerbukan silang dan
sebaliknya, apabila kepala putik lebih rendah dari benang sari maka akan terjadi
penyerbukan sendiri.
Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok, meruncing

pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan licin mengkilap, diameter 1-2
cm, panjang 4-17 cm, bertangkai pendek, rasanya pedas. Buah muda berwarna
hijau tua, setelah masak menjadi merah cerah. Sedangkan untuk bijinya, biji yang
masih muda berwarna kuning, setelah tua menjadi cokelat, berbentuk pipih,
berdiameter sekitar 4 mm. Rasa buahnya yang pedas dapat mengeluarkan air mata
orang yang menciumnya, tetapi orang tetap membutuhkannya untuk menambah
nafsu makan.
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Cabai
Syarat tumbuh tanaman cabai dalam budidaya tanaman cabai meliputi
ketinggian tempat, iklim dan tanah. Ketinggian tempat untuk penanaman cabai
adalah adalah di bawah 1400 m dpl. Berarti cabai dapat ditanam pada dataran
rendah sampai dataran tinggi (1400 m dpl). Di daerah dataran tinggi tanaman
cabai dapat tumbuh, tetapi tidak mampu berproduksi secara maksimal.
Tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asal drainase dan
aerasi tanah cukup baik. Bila diharapkan panen yang lebih cepat, cabai merah
(Capsicum annuum L.) sebaiknya ditanam pada tanah lempung berpasir dan bila
diharapkan panen lebih lambat cabai merah lebih sesuai ditanam pada tanah liat.
Tanah juga harus mengandung cukup bahan organik, unsur hara dan air serta
bebas dari gulma, nematoda dan bakteri layu. Kisaran pH yang ideal adalah antara


6

5,5 – 6,8 karena pada pH di bawah 5,5 atau di atas 6,8 hanya akan menghasilkan
produksi yang sedikit (Sumarni, 1996).
Perkecambahan biji cabai memerlukan suhu optimum sekitar 30 o C,
sedangkan untuk pertumbuhan optimum tanaman diperlukan suhu rata-rata harian
20-30o C. pada suhu kurang dari 15o C atau lebih dari 32o C, perkecambahan benih
dan pertumbuhan tanaman umumnya terhambat. Tanaman cabai dapat tumbuh di
dataran rendah maupun tinggi hingga 3000 m diatas permukaan laut dan dapat
tumbuh pada berbagai tipe tanah (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
2.3 Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Cabai
Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum yang
sebelumnya bernama Psedomonas solanacearum (Yabuuchi, Kosaka, Yano, Hotta,
Nishiuchi, 1995). Tanaman dari famili Solanaceae seperti tomat dan cabai
merupakan inang yang rentan terhadap serangan bakteri ini (Machmud, 1985).
Ralstonia solanacearum memiliki sifat aerob, bisa bergerak dengan satu atau
beberapa bulu cambuk (flagella), berbentuk batang dengan lebar 0.5 mikron,
panjangnya 1.5 mikron (Pracaya, 1993). Bakteri ini mempunyai bentuk koloni
yang bervariasi, untuk membedakan antara strain avirulen dengan strain virulen
dapat digunakan medium 2,3,5 triphenyl tetrazolium chloride (TTC). Koloni

strain virulen bentuknya tidak beraturan seperti berair, berwarna putih dengan
pusat merah muda. Koloni strain avirulen berbentuk bundar, ukurannya lebih
kecil, warnanya mula-mula merah kemudian menjadi merah gelap sesuai umurnya
(Hayward, 1985).
Bakteri Rolstania solanacearum umumnya masuk ke dalam jaringan
tanaman inang melalui luka yang terjadi pada waktu bercocok tanam, melalui
lubang-lubang alami (lentisel), melalui pertumbuhan akar sekunder, melalui akar
yang luka akibat tusukan nematode. Setelah masuk ke tanaman, bergerak secara
sistematik mengikuti aliran cairan dalam pembuluh xylem ke bagian tanaman lain
(Anonymousb, 2015).
Gejala penyakit layu bakteri dapat dilihat pada setiap fase pertumbuhan
tanaaman. Menurut Semangun (1994), jenis dan parahnya gejala penyakit sangat
dipengaruhi oleh virulensi bakteri, ketahanan varietas, waktu terjadinya infeksi

7

dan kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman. Gejala serangan biasanya terlihat
dengan terjadinya kelayuan. Kadang-kadang kelayuan tidak berkembang tetapi
terjadi pengkerdilan pada tanaman muda terutama pada varietas yang tahan
(Wang, 1998). Gejala pertama kali terlihat pada umur 6-8 minggu. Daun-daun

layu biasanya dimulai dari daun-daun muda dan masih sekulen. Apabila batang
tanaman yang sakit dipotong, akan terlihat berkas pembuluh yang berwarna
coklat. Apabila batang ditekan akan keluar eksudat berupa lendir yang berwarna
putih susu (Hayward, 1983). Potongan batang yang sakit dimasukkan ke dalam
tabung yang berisi air steril, kemudian akan terlihat aliran massa bakteri yang
berwarna putih yang keluar dari berkas pembuluh. Aliran massa ini merupakan
salah satu ciri khas layu bakteri yang membedakannya dengan layu yang
disebabkan oleh cendawan (Semangun, 1994).
Menurut Semangun (1994) intensitas penyakit sangat dipengaruhi oleh
tanaman sebelumnya. Pupuk kandang yang baru (belum masak) dapat membawa
bakteri layu ke ladang. Meskipun bakteri dapat hidup pada pH yang luas, namun
bakteri berkembang lebih baik pada tanah alkalis. Bakteri dapat berkembang
dengan baik di tanah yang suhunya agak tinggi, di waktu banyak hujan.
Sedangkan menurut Yadi dan Sri (2009) menyatakan bahwa perkembangan
penyakit layu bakteri dibantu oleh suhu dan kelembaban yang tinggi. Suhu
optimum bagi perkembangan bakteri ini adalah 27-37oC, sedangkan pada suhu
15oC bakteri tidak berkembang.
2.4 Ketahanan Penyakit
Menurut Semangun (2000), penyakit hanya akan terjadi jika pada satu waktu
di satu tempat terdapat: 1) tumbuhan yang rentan, 2) patogen yang virulen, dan 3)

lingkungan yang sesuai. Penyakit tidak akan terjadi jika patogen yang virulen
bertemu dengan bagian tumbuhan yang rentan, tetapi lingkungan tidak membantu
perkembangan patogen dan tidak meningkatkan kerentanan tumbuhan. Patogen
mengadakan interaksi dengan tumbuhan inang. Patogen akan melakukan aksi,
sedang tumbuhan inang mengadakan reaksi. Lingkungan, seperti kelembapan,
suhu, sinar matahari, dan hara tanah mempengaruhi tumbuhan inang maupun
patogen. Interaksi ini sering digambarkan sebagai segitiga penyakit.

8

Seterusnya manusia sebagai petani atau penanam berusaha mempengaruhi
ketiganya agar terjadi interaksi yang menguntungkan baginya. Manusia
mempengaruhi tumbuhan dengan memilih jenis yang sesuai atau memilih varietas
yang tahan. Dengan melakukan penyemprotan fungisida manusia mempengaruhi
patogen. Secara terbatas manusia mempengaruhi lingkungan, misalnya dengan
mengadakan drainase, mengatur jarak tanam, dan sebagainya. Dengan demikian
dari segitiga penyakit terjadi “limas penyakit” (Latief, 2003).
Umumnya tanaman bertahan terhadap serangan patogen karena kombinasi
dua penghalang yaitu sifat struktural yang bertindak sebagai penghalang fisik
yang menghambat masuknya dan berkembangnya patogen dalam tanaman, adanya

reaksi biokimia dalam sel dan jaringan yang menghasilkan senyawa racun yang
akan

meracuni

patogen

atau

menimbulkan

kondisi

yang

menghambat

pertumbuhan patogen dalam tanaman (Latief, 2003).
Menurut (Latief, 2003), tipe ketahanan penyakit dibagi menjadi tiga yaitu
ketahanan bukan-inang, ketahanan sejati dan ketahanan semu.
a. Ketahanan bukan-inang
Tanaman tahan terhadap patogen tertentu karena mempunyai kelompok
taksonomi yang berada di luar kisaran inang dari patogen (ketahanan bukaninang) atau karena tanaman mempunyai gen ketahanan (R gen). Setiap jenis
tanaman adalah inang dari beberapa patogen atau sejumlah patogen yang
berbeda yang hanya sedikit dari jumlah patogen tanaman yang telah diketahui
selama ini. Tanaman bukan-inang mempunyai sifat sangat tahan terhadap
patogen tanaman lain walaupun di bawah kondisi yang sangat mendukung
untuk perkembangan penyakit yang disebut ketahanan bukan-inang. Variasi
kerentanan terhadap patogen diantara varietas tanaman disebabkan adanya
gen ketahanan yang berbeda. Besarnya pengaruh gen terhadap ketahanan
individu tanaman bervariasi tergantung pada pentingnya fungsi yang
dikendalikan oleh gen tersebut.
b. Ketahanan sejati
Ketahanan sejati ialah ketahanan penyakit yang dikendalikan secara
genetik oleh satu, beberapa atau banyak gen ketahanan dalam tanaman.
Terdapat dua macam ketahanan sejati yaitu ketahanan horizontal dan

9

ketahanan vertikal. Ketahanan horizontal ialah tanaman yang mempunyai
tingkat ketahanan tidak khusus yang efektif melawan setiap patogen yang
menyerangnya. Ketahanan horizontal dikendalikan oleh banyak gen yang
sering disebut ketahanan multigen. Ketahanan horizontal dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan yang berbeda dan dapat sangat bervariasi dibandingkan
ketahanan vertikal. Umumnya, ketahanan horizontal tidak dapat melindungi
tanaman terhadap infeksi tetapi ketahanan ini menyebabkan titik infeksi
berkembang lambat yang mengakibatkan penyebaran penyakit juga lambat.
Ketahanan vertikal yaitu tanaman yang tampak sangat tahan terhadap satu ras
patogen dan rentan terhadap ras lain pada berbagai kondisi lingkungan.
Ketahanan semacam ini sangat berbeda diantara ras patogen karena efektif
melawan ras patogen tertentu tetapi tidak efektif melawan ras lainnya.
Ketahanan vertikal selalu dikendalikan oleh satu atau beberapa gen saja.
Ketahanan vertikal menghambat awal keberdaan patogen yang datang
kelahan dari tanaman inang yang tidak mempunyai gen utama ketahanan.
Ketahanan vertikal menghambat perkembangan epidemi dengan membatasi
inokulum awal atau membatasi reproduksi patogen setelah terjadinya infeksi.
Ketahan vertikal maupun ketahanan horizontal pada ketahanan sejati
umumnya dikendalikan oleh gen yang berlokasi dalam kromosom tanaman
yang ada dalam nucleus sel.
c. Ketahanan semu
Ketahanan semu terhadap penyakit dari tanaman yang diketahui rentan
umumnya dihasilkan dari lolos penyakit atau toleran terhadap penyakit. Lolos
penyakit terjadi bilamana tanaman yang rentan secara genetik menjadi tidak
terinfeksi. Tanaman dapat lolos penyakit karena serangan patogen tanah
sebagai contoh, karena bijinya berkecambah lebih cepat atau bibitnya
mengeras lebih awal. Selain itu, beberapa tanaman menjadi lolos penyakit
karena mereka rentan terhadap patogen hanya pada stadia pertumbuhan saja
dan untuk itu apabila patogen tidak ada atau inaktif pada saat-saat tersebut
maka tanaman menjadi terhindar dari adanya infeksi. Lolos dari penyakit
tergantung pada kondisi lingkungan sebagaimana juga yang pada karakter
yang dapat diwariskan dalam tanaman inang dan patogen.

10

Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang mampu
menghambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut tidak dapat
berkembang dan menyebar. Sebaliknya, tanaman rentan yaitu tanaman yang
tidak mampu menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit (Black,
Green, Hartman dan Poulos, 1996).

2.5 Capsaicin Pada Tanaman Cabai
Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga
melakukan metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang
akan menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit
sekunder. Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah cabai salah satunya
adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung
jawab terhadap rasa pedas dari cabai (Sukrasno et al., 1997). Zat ini tidak larut
dalam air tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi.
Capsaisin memiliki rumus molekul C18H27NO3 (gambar 1) dengan nama IUPAC
8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide, terdiri dari unit vanillamin dengan asam
dekanoat, yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai lurus bagian asam.

Gambar 1. Struktur kimia capsaicin (Laras, 2013)
Umumnya cabai segar mengandung 0.1-1.0% capsaisin. Capsaisin terdapat
pada biji, kulit, dan daging buah cabai. Zat ini banyak digunakan sebagai
biological pesticide dalam melawan serangga dan rodent. Sebagai pestisida,
capsaisin digunakan di dalam ruangan (karpet dan furniture) dan juga di luar
ruangan (lahan buah dan sayur). Selain itu capsaisin digunakan dalam pembuatan
gas air mata. Derajat kepedasan cabai dinyatakan dalam ppm atau ppb. Di dalam
dunia industri, ukuran standar untuk mengukur kekuatan cabai yaitu Scouville
Unit. Capsaisin murni memiliki Scouville Unit 16 juta. EOA menetapkan standar
minimum kepedasan oleoresin dalam perdagangan adalah sebesar 480.000.
Tingkat kepedasan pada cabai dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat
kematangan saat pemanenan, cuaca, penanganan pasaca panen dan kultivar cabai

11

tersebut (Purseglove et al, 1985). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
(Laras, 2013) didapatkan hasil tingkat kepedasan pada beberapa jenis cabai (tabel
1).
Tabel 1. Tingkat Kepedasan (Scoville Heat Unit)
Jenis Cabai
Cabai Merah
Cabai Keriting
Cabai Rawit

Pencucian satu
kali
360.000
360.000
720.000

Pencucian dua kali Pencucian tiga kali
240.000
480.000
720.000

360.000
600.000
720.000
(Laras, 2013)

2.6 Seleksi Pedigree Tanaman Cabai
Metode pedigree merupakan salah satu seleksi pada populasi bersegregasi.
Pencatatan setiap anggota populasi bersegregasi hasil persilangan merupakan ciriciri dari seleksi pedigree (Syukur, Sujiprihati, Yunianti, 2012). Tujuan dari seleksi
pedigree yaitu untuk mendapatkan varietas baru dengan mengkombinasikan gengen yang diinginkan yang ditemukan pada kedua genotipe atau lebih. Tetua yang
digunakan pada seleksi pedigree F5 yaitu tanaman cabai varietas lokal Brebes dan
AVRDC, dimana tetua tersebut disilangkan terlebih dahulu sehingga mendapatkan
generasi pertama atau F1. Banyak tanaman F1 sejumlah 6 atau 8 dapat
menghasilkan 1000 biji. Hasil dari F1 akan disilangkan dengan F1 sendiri, dimana
akan menghasilkan F2 yang bersegregasi. Pada generasi F2 ditumbuhkan hanya
500 tanaman dan diseleksi hanya 10% atau 50 tanaman untuk generasi F3.
Pencatatan terhadap individu tanaman dimulai pada generasi F2. Seleksi
dilaksanakan secara ketat dengan hanya meninggalkan tanaman yang dinilai
terbaik, dengan alasan agar tidak terlalu banyak ditangani pada generasi
berikutnya. Untuk F2 ke F3 biasanya perbandingan seleksinya 10 : 1 bisa juga
100 : 1, maksudnya dari 5000 tanaman F2 diambil 50 tanaman atau galur saja
untuk F3. Tetua yang banyak berbeda sifat akan memperoleh perbandingan yang
lebih tinggi, sehingga galur segregasi mempunyai keragaman yang lebih tinggi
(Poespodarsono S, 1988). Hasil dari F3, kemudian ditanam satu baris per galur
dengan jumlah 60 tanaman per galur untuk generasi F4. Hasil seleksi dari generasi
keempat atau F4, kemudian ditanam satu baris per galur dan setiap baris akan
dipilih tanaman yang terbaik dan dipanen per individu untuk generasi F5.

12

Tujuan seleksi pedigree untuk mendapatkan tanaman yang homozigot tetapi
pengaruh heterosigot setiap generasi harus diperhatikan. Pada tanaman F2 mulai
terjadinya segregasi maka perlu diperhatikan pengaruh heterosotitasnya, karena
pada galur heterosigot dapat menampakkan sifat lebih menonjol. Jadi untuk
pemilihan galur generasi selanjutnya cenderung dipilih yang homosigot. Pada
generasi F4 dilakukan sama seperti generasi F3, dimana seleksi dilakukan pada
individu terbaik dari famili terbaik generasi F3. Karena keragaman didalamnya
cenderung lebih homozigot dari F3 maka seleksi diantara famili akan lebih efisien
dilakukan. Selanjutnya pada generasi F5, F6, F7 tanaman ditanam dengan 3 baris
per petaknya. Dan untuk generasi F8 dilakukan pengujian multilokasi, dimana
ditanam pada beberapa lokasi dan beberapa musim. Pada generasi F9 akan
didapatkan galur-galur harapan untuk dilepas menjadi varietas unggul yang baru
(Poespodarsono S, 1988).

13

3. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian akan dilaksanakan di Desa Patok, Kecamatan Pujon, Kabupaten
Malang dengan ketingggian tempat ± 1.100 m dpl. Dengan suhu rata-rata harian
20oC-27oC, serta memiliki curah hujan 713 mm/bln. Penelitian akan di mulai pada
bulan Januari – bulan Juni 2015.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: rak tray, plastik semai,
gembor, cangkul, meteran, alat pelubang mulsa, ajir bambu, tali rafia, timbangan
analitik, papan penelitian, bambu, kamera dan alat tulis.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah cocopeat, pupuk kompos,
pupuk urea, pupuk SP-36, pupuk KCl dan 25 famili cabai merah generasi F5 hasil
persilangan TW2 X PBC473 dan TW2 X Jatilaba, yaitu:
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Famili
PBC 473
TW 2
Jatilaba
A1 31 12
A1 16 18
A1 26 2
A1 33 19
A1 8 12
A1 55 4
A1 17 5
A1 15 6
A2 8 2
A3 13 14
A3 8 14
A4 92 19
A5 17 4
A6 3 14
A7 39 13
A1 13 11
B2 58 9
B5 27 20

Tetua
PBC 473
TW 2
Jatilaba
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X PBC 473
TW 2 X Jatilaba
TW 2 X Jatilaba

Keterangan
20 Tanaman
20 Tanaman
20 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman

14

22
23
24
25
26
27
28

B6 42 13
B2 40 20
B2 46 6
B3 6 4
B1 5 6
B2 46 9
B2 40 15

TW 2 X Jatilaba
TW 2 X Jatilaba
TW 2 X Jatilaba
TW 2 X Jatilaba
TW 2 X Jatilaba
TW 2 X Jatilaba
TW 2 X Jatilaba

60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman
60 Tanaman

3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode single plot yang terdiri
dari 25 famili cabai merah generasi F5 hasil persilangan TW2 X 473 dan TW2 X
jatilaba. Dalam setiap famili ditanam sebanyak 60 tanaman. Pengamatan
dilakukan pada seluruh tanaman dengan jarak tanam 40 cm x 60 cm.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pembibitan
Benih cabai merah disemaikan dalam media cocopeat dan tambahan pupuk
kompos dengan perbandingan 2:1, tempat persemaian di lakukan di polibag
plastik yang berukuran kecil dengan panjang ± 7 cm. Selama pembibitan harus
terjaga kelembapannya sehingga dilakukan penyiraman tiap hari pada pagi dan
sore hari. Kebutuhan bibit cabai merah dalam satu petak adalah 20 bibit.

3.4.2 Persiapan Lahan
Lahan yang digunakan untuk penelitian yaitu lahan yang endemik dimana
lahan tersebut sebelumnya ditanam tanaman cabai merah dan tanaman tersebut
terserang oleh serangan penyakit layu bakteri. Pengolahan lahan dilakukan 2
minggu sebelum tanam. Lahan yang akan ditanami diolah sebanyak dua kali,
kemudian tanah dihaluskan. Pengolahan tanah dilanjutkan dengan pembuatan
petak berbentuk persegi panjang dengan panjang 4 m, lebar bedengan 1 m dan
jarak antar blok 50 cm. Kemudian dilakukan pemasangan mulsa plastik hitam
perak (MPHP). Dalam setiap petak dibuat lubang sebanyak 20 lubang tanam

15

dengan jarak tanam 40 cm x 60 cm untuk diameter lubang 10 cm dan kedalaman
10 cm.
3.4.3 Penanaman
Tanaman cabai merah akan ditransplanting saat umur 25-30 hari setelah
semai. Penanaman dilakukan dengan mengunakan jarak tanam 40 cm x 60 cm.
Untuk menanggulangi stress saat pindah tanam, penanaman dilakukan pada sore
hari atau pagi hari sekali. Sebelum penanaman, kantong semai disobek terlebih
dahulu tanpa merusak media tanahnya untuk mencegah kemungkinan akar
tanaman tidak dapat berkembang dan tanaman menjadi layu. Setelah bibit cabai
ditanam kemudian disiram air untuk menjaga kelembaban dalam tanah dan
kelembaban tanaman.
3.4.4 Pemupukan
Pemupukan pada tanaman cabai merah dilaksanakan sebanyak tiga kali
yaitu, pemupukan dasar, pemupukan susulan pertama dan pemupukan susulan
kedua. Untuk pemupukan dasar dilakukan pemberian pupuk kotoran ayam dengan
cara ditebarkan secara merata pada lahan yang akan ditanami tanaman cabai,
bersamaan dengan pengolahan tanah. Setelah itu tanah dibiarkan bero selama dua
minggu. Pemupukan susulan pertama dilakukan pada umur 30 hari setelah tanam.
Pupuk yang diberikan adalah Urea dengan dosis 150 Kg/Ha, SP-36 dengan dosis
150 Kg/Ha, KCl dengan dosis 50 Kg/Ha. Cara pemberian dengan diletakkan di
dekat tanaman namun tidak menempel pada tanaman, jaraknya 10 cm dari
tanaman kemudian ditimbun dengan tanah kembali. Pemupukan susulan kedua
diberikan pada saat tanaman berumur

45 hari setelah tanam. Pupuk yang

diberikan yaitu SP-36 dengan dosis 150 Kg/Ha, KCl dengan dosis 100 Kg/Ha.
Cara pemberian atau aplikasi sama dengan pemupukan susulan pertama.
3.4.5 Perawatan Tanaman
a. Pengairan
Pemberian air pada tanaman atau penyiraman dilakukan ketika kondisi tanah
sudah menunjukkan tanda-tanda adanya kekeringan. Untuk kebutuhan air
pada fase vegetatif tanaman cabai sangat diperlukan

maka pada fase

tersebut dilakukan penyiraman setiap hari. Sedangkan pada fase

16

generatifnya penyiraman dapat dilakukan hanya setiap 2 hari sekali dengan
melihat kondisi tanah yang kering. karena cabai tidak menginginkan tanah
kering dan terlalu basah.
b. Penyiangan gulma
Penyiangan gulma dilakukan secara manual pada saat umur 30 hari setelah
tanam dan dilakukan setiap 14 hari sekali sesuai dengan hari pengamatan.
c. Pengendalian hama dan penyakit tanaman
Pengendalian dilakukan dengan pestisida untuk serangan hama yang
menyerang tanaman cabai merah. Sedangkan untuk pengendalian penyakit
dilakukan dengan fungisida dan selain bahan aktif dari layu bakteri.
Penyemprotan dilakukan sebelum pukul 06.00 WIB dan pada saat aplikasi
pestisida tidak dilakukan penyiraman, hal ini bertujuan agar pestisida yang
telah diaplikasikan tidak tercuci.
3.4.6 Panen
Pemanenan dilakukan setelah buah mencapai kematangan 80% sampai
matang penuh. Pemanenan dilakukan satu kali seminggu selama enam minggu.
Periode panen merupakan waktu yang dibutuhkan untuk memanen buah cabai
merah mulai panen pertama sampai habis dipanen. Waktunya sulit ditentukan
secara pasti sebab sangat tergantung dari lingkungan tumbuh, tingkat
pertumbuhan tanaman, perawatan dan kesehatan tanaman. Panen pertama
mulainya agak lambat yaitu pada waktu tanaman berumur 90-100 hari setelah
tanam dengan interval 5-7 hari sekali. Secara umum periode panen buah cabai
merah berlangsung selama 1,5-2 bulan.
3.4.7 Pasca Panen
Metode pelaksanaan penelitian setelah panen atau pasca panen yaitu
menghitung kadar capsaicin (%) yang terkandung pada buah cabai merah.
Langkah-langkah untuk mendapatkan kadar capsaicin (%) yaitu:
1. 25 gram buah cabai segar dihaluskan dengan blender
2. Cabai yang sudah halus dimasukkan kedalam Erlenmeyer yang berisi 200
ml etanol kadar 95%, dipanaskan dengan suhu 70OC selama 4 jam
3. Setelah agak dingin, disaring dengan kertas whatman

17

4. Filtrat

hasil

saringan

siap

digunakan

untuk

pengukuran

pada

spektrofotometer UV
5. Sebelum melakukan pengukuran pada sampel, maka harus dibuat kurva
standard dan larutan standard capsaicin dengan konsentrasi 0, 25, 50, 75,
100 dan 125 ppm pada λ 281 nm.
3.5 Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada seluruh individu tanaman cabai yang ditanam.
Pengamatan yang diamati meliputi:
1. Tinggi Tanaman (cm): tinggi tanaman diukur mulai pangkal batang hingga
bagian titik tumbuh tanaman dengan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi
tanaman dilakukan pada panen kedua.
2. Bobot per buah (g): rata-rata bobot buah dari lima buah masak dengan
menggunakan timbangan analitik.
3. Diameter buah (cm): rata-rata diameter (pangkal, tengah, ujung) buah dari lima
buah masak. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.
4. Panjang buah (cm): rata-rata panjang buah dari lima buah masak. Diukur dari
pangkal buah sampai ujung buah.
5. Jumlah buah per tanaman: jumlah buah per tanaman pada panen pertama
sampai panen terakhir.
6. Intensitas serangan penyakit layu bakteri: pengamatan intensitas serangan
penyakit layu bakteri dilakukan saat tanaman mulai terserang atau
menunjukkan gejala terserangnya layu bakteri.
7. Masa inkubasi: masa atau waktu saat penyakit menyerang tanaman mulai dari
gejala sampai penularan pada tanaman yang lain.
8. Kadar capsaicin: pengukuran kadar capsaicin pada cabai merah dilakukan pada
buah yang sudah masak. Sampel yang diambil untuk diuji kadar capsaicinnya
ialah famili yang mempunyai produksi yang tinggi dan tahan terhadap serangan
layu bakteri.
3.6 Analisa Data

18

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendugaan nilai
koefisien keragaman genetik (KKG) dan koefisien keragaman fenotip (KKF).
Perhitungan Koefisien Keragaman Gentik (KKG) dan Koefisien Keragaman
Fenotip (KKF) adalah sebagai berikut:
N

1
´ )2
σ = ∑ ( Xi− X
N i =1
2

Keterangan:
σ2 = ragam
N = jumlah observasi dalam populasi
Xi = nilai observasi


= rata-rata populasi

KKG (Koefisien Keragaman Genetik) =
KKF (Koefisien Keragaman Fenotipe) =

√σ 2 g
xx

√σ 2 p
xx

x 100%
x 100%

Keterangan:
KKG = Koefisien Keragaman Genetik
KKF = Koefisiean Keragaman Fenotipe
σ2g
= Ragam Genetik
2
σp
= Ragam Fenotipe
xx

= Nilai rata-rata

Suatu karakter sifat dapat dikatakan mempunyai keragaman genetik yang
luas jika nilai koefisien keragaman genotip dan fenotipnya tergolong tinggi yaitu
lebih besar dari 50%, dikatakan rendah apabila nilai koefisien keragaman genotip
dan fenotipnya lebih kecil dari 50%. Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994)
kriteria nilai KKF dan KKG :
0% ≤ KKF atau KKG ≤ 25% = Rendah
25% ≤ KKF atau KKG ≤ 50% = Agak Rendah
50% ≤ KKF atau KKG ≤75% = Cukup Tinggi
75% ≤ KKF atau KKG ≤100% = Tinggi
Nilai koefisien keragaman rendah sampai agak rendah dapat dikatagorikan
dalam keragaman sempit, sedangkan nilai keragaman cukup tinggi hingga tinggi
dapat dikatagorikan dalam keragaman luas.

19

Untuk analisis data pada pengamatan intensitas serangan layu bakteri
menggunakan rumus:
IP ¿

n
N

x 100%

Di mana:
IP = intensitas tanaman layu
n = jumlah tanaman yang sakit
N = jumlah seluruh tanaman yang diamati.
Kriteria ketahanan tanaman terhadap penyakit layu bakteri didasarkan atas
pedoman yang dikemukakan Machmud (1985) yaitu persentase tanaman layu 020% = tahan, 21-30% = agak tahan, 31-40% = rentan, dan >40% = sangat rentan.
Untuk menghitung kadar capsaicin (%) yang terkandung pada tanaman
cabai dapat dilakukan dengan rumus:
(C x F )
x 100
(W x V )
Keterangan:
C = konsentrasi pada ppm kurva
F = faktor pengenceran
W = berat sampel
V = volume pengekstrak

20

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Widi., S. Ilyas, S.W. Budi, I. Anas, dan F.C. Suwarno. 2010. Inokulasi
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan pemupukan P untuk meningkatkan
hasil dan mutu benih cabai (Capsicum annuum L.). J. Agron. Indonesia 38 :
218 – 224.
Anonymousa. 2015. Badan Pusat Statistik (BPS). Luas Panen, Produksi, dan
Produktivitas Cabai, 2009. www.bps.go.id. Diakses tanggal 2 Januari 2015.
Anonymousb. 2015. Bacterial wilt. AVRDC Publication.
Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI-Press, Jakarta.
Austi, I. R. 2013. Keragaman dan Kekerabatan Pada Proses Penggaluran Kacang
Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdc) Jenis Lokal. Skripsi Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. p.19-20.
Black, L. L, S. K. Green, G. Hartman, and J. M. Poulos. 1991. Pepper Diseases, A
Field Guide.
Bosland, P.W., E.J. Votava. 2000. Peppers: Vegetable and Spice Capsicum. CABI
Pub. New York. 204 p.
Hayward AC. 1983. Pseudomonas: The Non-Fluorescent Pseudomonas. Di dalam:
Fahy PC, Persley GJ. editor. Plant Bacterial Disease: A Diagnostic Guide.
Sydney: Academy Press. 107-140
Hayward AC. 1985. Bacterial Wilt Caused by Pseudomonas solanacearum in Asia
and Australia: an overview. Di dalam Persley GJ. Editor. Bacterial Wilt
Disease in Asia and the South Pasific. Proc. International Workshop Held at
PCARRD, Los Banos, 8-10 Okt 1985. Canberra: PCARRD, CIP,
SAPPRAD, ACIAR. 15-24
Hewindati, Yuni Tri dkk. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.
Kusandriani, Y. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian
Tanaman Sayuran.
Laras, W. S. 2103. Ekstraksi Oleoresin Capsaicin Dari Cabai Merah, Cabai
Keriting, dan Cabai Rawit. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Latief, A. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayumedia Publishing. Malang

21

Machmud M. 1985. Bacterial Wilt in Indonesia. Di dalam Persley GJ. Editor.
Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. Proc. International
Workshop Held at PCARRD, Los Banos, 8-10 Okt 1985. Canberra:
PCARRD, CIP, SAPPRAD, ACIAR. 30-34
Moedjiono dan M. J. Mejaya. 1994. Keragaman Genetik beberapa karakter
Plasma Nutfah jagung koleksi BALITTAN Malang. Zuriat 5(2): 27 – 32.
Moekasan, T.K., L. Prabaningrum, dan Meitha L. 2000. Penerapan PHT pada
Sistem Tanaman Tumpang Gilir. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura . Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Muhuria,

L.,

2003.

Strategi

Perakitan

Gen-Gen

Ketahanan

Terhadap

Hama.Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana/S3 Institut
Pertanian

Bogor

November

2003.

Diakses

dari

http://tumoutou.net/702_0713/la_muhira.pdf. Pada tanggal 27 Desember
2014.
Poespadarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. p. 169
Pracaya. 1993. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya: Jakarta. p. 382
Purseglove, J. W., E.G. Brown, C.L. Green dan S.R J. Robins. 1985. Spices. Vol I.
Longman Inc., New York.
Rubatzky, V.E dan Yamaguchi, M. 1997. World Vegetable: Principles, Production
and Nutritive Values. USA. p. 843
S. Yadi dan S. A. Rais. 2009. Respon Beberapa Genotipe Kacang Tanah terhadap
Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) di Rumah Kaca. Buletin
Plasma Nutfah.15(1): 20-26
Semangun, H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sukrasno, S. Kusmardiyani, S. Tarini, dan N.C. Sugiarso. 1997. Kandungan
Kapsaisin dan Dihidrokapsaisin pada Berbagai Buah Capsicum. JMS Vol. 2
Sumarni, N. 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertaian

22

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman.
Penebar Swadaya: Jakarta.
Yabuuchi E, Kosaka Y, Yano I, Hotta H, Nishiuchi Y. 1995. Transfer of Two
Burkholderia and an Alcaligenes Spesies to Ralstonia Gen : Proposal of
Ralstonia picketii (Ralston, Palleroni and Doudoroff. 1973). Com nov. and
Ralstonia eutropha (Davis, 1996) comb nov. J. Microbiol. Immunol. 39 (11):
897-904.