PELAKSANAAN EKSEKUSI OBYEK HAK TANGGUNGA
PELAKSANAAN EKSEKUSI OBYEK HAK TANGGUNGAN BERDASAR
PASAL 6 UUHT TIDAK SAH MENURUT HUKUM
Eksekusi obyek HT oleh UUHT diatur secara sistematis dan terpadu. Dilihat dari segi
prosedur ada tiga jenis eksekusi obyek HT, yaitu
1. E ksekusi parat [Pasal 20 (11.a) jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT],
2. Eksekusi pertolongan hakim [Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT],
3. Eksekusi di bawah tanggan [Pasal 20 (2) dan (3) UUHT].
Ketentuan tentang eksekusi tersebut menurut Pasal 26 dan Penjelasan Umum Nomo 9 UUHT
dinyatakan belum berlaku selama belum ada peraturan pelaksanaannya, untuk mencegah
terjadinya kekosongan hukum maka diberlakukan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Menurut Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, bentuk peraturan pelaksanaan yang dimaksud Pasal 26 UUHT adalah peraturan
pemerintah.
UUHT adalah ketentuan Hukum Materiil Perdata, sedangkan HIR/ RBg adalah ketentuan
Hukum Acara Perdata, ini berarti ketentuan tentang eksekusi dalam Hukum Acara Perdata
dipinjam oleh Hukum Materiil Perdata. Akibat hukum dari hal ini adalah pelaksanaan eksekusi
obyek HT hanya sah apabila didasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sedangkan seluruh
ketentuan UUHT tentang eksekusi (termasuk Pasal 6 UUHT) belum berlaku. Dengan demikian
pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan berdasar Pasal 6 UUHT adalah tanpa dasar hukum,
akibatnya pelaksanaan eksekusi tersebut tidak sah.
Sehubungan dengan tidak sahnya pelaksanaan eksekusi menurut Pasal 6 UUHT, maka
bagi debitor dan/ atau pihak ketiga yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya hokum. Jenis
upaya hukum yang dapat diajukan verzet melawan eksekusiatau gugat perlawanan. Verzet
diajukan saat pelaksanaan eksekusi masih berlangsung, sedangkan gugat perlawanan diajukan
apabila pelaksanaan eksekusi sudah selesai.
A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA UUHT
Ketentuan tentang hak tanggungan dalam UUHT merupakan pengganti ketentuan tentang
hipotik dan crediet verband sejauh tentang tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Penggantian ini selain diamanatkan oleh ketentuan dalam UUPA (Pasal 51)
juga untuk mengatasi persoalan tentang pelaksanaan eksekusi hipotik. Di dalam
Penjelasan Umum Nomor 2 UUHT antara lain dikatakan, bahwa ketentuan tentang crediet
verband dan hipotik berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang
berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya
tercantum dalam UUPA, dimaksudkan berlaku untuk sementara waktu sambil menunggu
undang-undang yang dimaksud Pasal 51 UUPA. Ketentuan-ketentuan tersebut jelas tidak sesuai
dengan asas-asas yang tercantum dalam Hukum Tanah Nasional, akibatnya tidak dapat
menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari
kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya timbul berbagai perbedaan pandangan dan
penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan Hukum Jaminanatas Tanah, misalnya
tentang pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga
peraturan tersebut dirasa kurang memberikanjaminan kepastian hukum dalam kegiatan
perkreditan.
Menurut J Satrio, penyebab kekacauan dan ketidakpuasan dalam hak jaminan atas tanah
sebagian besar bukan pada ketentuan Hukum Materiil hipotik/ crediet verband, melainkan pada
penafsiran pihak tertentu atas pelaksanaan ketentuan hak jaminan hipotik dan crediet verband
dan pada pelaksanaannya di pengadilan. Bukan pada ketentuan hipotik/ crediet verbandnya yang
tidak jelas, tetapi ketika kreditor-pemegang hipotik akan melaksanakan pengambilan pelunasan
berdasarkan grosse akta hipotik, menghadapi persoalan apakah yang mempunyai kekuatan
eksekutorial itu grosse akta hipotiknya (sesuai dengan Pasal 224 HIR) atau sertifikat hipotiknya
sesuai PMA 215/1961. Dalam ketentuan tentang hipotik/ crediet verband dan dalam Hukum
Acara- baik HIR, RBg maupunRV- tidak dikenal lembaga “sertifikat hipotik”, apalagi sebagai
grosse. Ini memicu masalah.
Untuk memahami akar permasalahan eksekusi obyek jaminan hipotik, perlu melihat ke
belakang. Menurut KUH Perdata, pengaturan perjanjian jaminan dikelompokkan menjadi dua,
yaitu jaminan dengan obyek benda bergerak dan tetap. Ketentuan tentang jaminan benda
bergerak nama perjanjian jaminannya adalah gadai, sedang untuk benda tetap nama
perjanjiannya adalah hipotik. Perjanjian gadai diatur dalam Pasal 1150 – Pasal 1161 KUH
Perdata, sedang hipotik dalam Pasal 1162 – Pasal 1232 KUH Perdata. Eksekusi obyek gadai
diatur dalam Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUH Perdata.
Pasal 1155 KUH Perdata berbunyi:
”Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, jika debitor wanprestasi, setelah
tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu,
setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, maka kreditor berhak menyuruh
menjual di muka umum obyek gadai menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syaratsyarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya
beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan itu.”
Menurut ketentuan tersebut, apabila tidak ditentukan prosedur eksekusi obyekgadai,
maka apabila debitor wanprestasi pihak kreditor oleh undang-undang diberi hak untuk langsung
menjual obyek gadai dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dari
sini terlihat, bahwa begitu debitor wanprestasi, maka seketika itu pula pihak kreditor memiliki
hak untuk langsung menjalankan eksekusi tanpa harus menumpuh prosedur litigasi.
Oleh karena itulah maka menurut ilmu hukum, eksekusi ini dinamakan eksekusi parat
(eksekusi langsung), yaitu langsung mengubah obyek gadai yang semula secara phisik berupa
benda bergerak diubah menjadi sejumlah uang melalui eksekusi. Menurut para sarjana, istilah
penjualan di muka umum dalam pasal tersebut adalah penjualan melalui lelang, yaitu suatu tata
cara penjualan dengan penawaran harga semakin tinggi atau semakin rendah. Tujuan penjualan
obyek gadai melalui lelang adalah agar dalam penjualan tersebut dicapai harga tinggi, sehingga
tidak merugikan pihak debitor pemberi gadai.
Selain dilakukan dengan cara eksekusi parat, eksekusi obyek gadai juga dapat dilakukan
menurut perjanjian. Biasanya perjanjian yang dipilih untuk tata cara penjualan gadai adalah
penjualan di bawah tangan. Pelaksanaan eksekusi penjualan di bawah tangan lebih sederhana
daripada eksekusi parat.
Menurut Pasal 1156 KUH Perdata, penjualan obyek gadai atas izin hakim. Penjualan
secara demikian ini diperlukan untuk benda-benda tertentu yang apabila dijual secara lelang
tidak akan mendapatkan hasil optimal, misalnya benda antik atau benda seni dengan penetapan
hakim dapat dilakukan penjualan dengan cara penawaran melalui internet dan sebagainya.
Sedangkan eksekusi obyek hipotik dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu eksekusi
berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg dan berdasarkan Pasal 1178 (2) jo. Pasal 1211 KUH
Perdata
1.
Menurut Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg pada saat debitor wanprestasi, kreditor
pemegang grosse akta hipotik menghadap KPN, untuk mengajukan permohonan
agargrosse akta hipotik tersebut dieksekusi, dengan mengatakan: “Pak Hakim
sehubungan dengan wanprestasinya debitor, saya minta tolong grosse akta hipotik ini
dieksekusi.” Selanjutnya KPN akan melaksanakan eksekusi seperti halnya mengeksekusi
putusan hakim biasa yang dijatuhkan tanpa adanya sita jaminan, yaitu eksekusi
berdasarkan Pasal 195-Pasal 200 HIR). Prosedur eksekusinya adalah KPN memanggil
debitor/ pemberi hipotik untuk ditegur (aanmaning). Pada kesempatan ini KPN
melakujkan beberapa hal. Pertama, KPN menergur pihak debitor/ pemberi hipotik selain
ditegur dengan mengatakan “mengapa dirinya tidak memenuhi kewajiban membayar
utang kepada kreditor sesuai dengan perjanjian”. Kedua, KPN memberi penjelasan akibat
hukum yang muncul sehubungan dengan wanprestasi tersebut, yaitu akibat hukum
terhadap obyek hiptek berupa penjatuhan sita eksekutorial, dilanjutkan dengan
pengumuman dan pelaksanaan lelang. Pada kesempatan ini perlu juga dijelaskan
tentangakibat finansial yang harus ditanggung oleh debitor/ pemberi hipotek apabila
penyelesaian piiutang dilakukan melalui lelang eksekusi. Ketiga, KPN masih memberi
kesempatan kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya secara sukarela dalam jangka
waktu tertentu. Bilamana jangka saktu tersebut habis dan pihak debitor/ pemberi hiportik
tidak memenuhi secara suka rela kewajibannya, maka KPN membuat penetapan untuk
menyita eksekusi obyek hipotik yang bersangkutan, dilanjutkan dengan penjualan lelang
melalui kantor lelang negara. Sehubungan dengan hal ini, maka eksekusi obyek hipotik
berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg disebut eksekusi dengan pertolongan hakim.
2.
Prosedur kedua eksekusi obyek hipotik diatur dalam Pasal 1178 (2) jo. Pasal 1211 KUH
Perdata. Menurut pasal tersebut, apabila debitor wanprestasi, maka kreditor pemegang
hipotik pertama secara mutlak dikuasakan untuk menjual obyek hipotik untuk mengambil
pelunasan piutangnya. Di dalam praktek, istilah “secara mutlak dikuasakan untuk
menjual” dalam pasal tersebutterkenal dengan istilah janji menjual atas kekuasaan sendiri
(beding van eigenmachtig verkoop). Prosedur eksekusi di sini adalah, apabila debitor
wanprestasi, maka kreditordapat langsung menghadap pimpinan kantor lelang untuk
mohon lelang atas obyek hipotik, dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari
pendapatan lelang tersebut. Jadi dalam hal ini kreditor tidak perlu menghadap KPN untuk
minta fiat eksekusi, atau mohon agar KPN mengeksekusi obyek hipotik, apalagi
menempuh jalur litigasi. Sama dengan eksekusi obyek gadai, eksekusi obyek hipotik di
sini dinamakan eksekusi parat (eksekusi langsung)
Pada mulanya pelaksanaan eksekusi obyek hipotik melalui eksekusi parat berjalan lancar.
Namun dalam perkembangannya pelaksanaan eksekusi ini terhambat, sehubungan dengan
dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3210K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986
yang mensyaratkan adanya fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri. Dalam
perkembangannya, kewajiban fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri tersebut berubah
menjadi pelaksanaan eksekusi oleh ketua pengadilan negeri. Hal ini berarti terjadi pergeseran
dari eksekusi parat menjadi eksekusi dengan pertolongan hakim, atau dengan kata lain tidak
berlakunya lagi ketentuantentang eksekusi parat.
Kekacauan tentang prosedur eksekusi tersebut menjadi lebih parahdengandikeluarkannya
“pendapat Mahkamah Agung” sebagaimana tertuang dalam tiga suratnya, masing-masing
tertanggal 16 April 1985 Nomor: 213/229/85/II/Um-Tu/Pdt ditujukan kepada Soetarno Soedja
dari Kantor Pengacara Gani Djemat & Partner, tanggal 18 Maret 1986 Nomor 133/154/86/II/UmTu/Pdt kepada Direksi Bank Negara 1946, dan tanggal 1 April 1986 Nomor: 147/168/86/UmTu/Pdt kepada Pimpinan BKPH Perbanas. Menurut Pendapat MA tersebut, grosse akta (grosse
surat utang notariil, de grossen van notariëele schuldbriëven) yang mempunya kekuatan
eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah:
1.
2.
Grosse akta pengakuan utang;
Berkepala seperti putusan hakim (berkepala: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”);
3.
Isinya pengakuan utang membayar/ melunaskan suatu jumlah uang tertentu (pasti), bukan
4.
jumlah utang yang dapat dipastikan;
Bersifat murni, artinya dalam pengakuan utang itu tidak ditambahkan persyaratanpersyaratan lain, terlebih lagi persyaratan-persyaratan yang berbentuk perjanjian
5.
(terutama perjanjian kuasa memasang hipotik dan kuasa untuk menjual); dan
Mengandung sifat eksepsional terhadap asas bahwa seseorang hanya
dapat
menyelesaikan sengketa melalui gugatan.
Pendapat MA tersebut lebih memperkeruh suasana pelaksanaan eksekusi obyek hipotik.
Penyebab utama hal ini adalah adanya ketidaksamaan pandangan ketua pengadilan negeri
tentang syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/
Pasal 258 RBg. Ketidaksamaan pandangan tersebut terjadi di antara ketua pengadilan negeri
yang satu dengan yang lain, baik dari pengailan- pengadilan negeri yang berbeda maupun dari
satu pengadilan negeri.
Ketua pengadilan negeri adalah figur sentral dalam pelaksanaan eksekusi berdasarkan
Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sehingga pandangannya tentang persyaratan yang harus dipenuhi
untuk dapat dilaksanakannya eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah
menentukan. Hal ini berarti bahwa ketidaksamaan pandangan di antara mereka mengakibatkan
tidak adanya kepastian hukum tentang eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Mengingat pada umumnya pengguna eksekusi Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah
dunia perbankan, maka kekacauan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg
menimbulkan akibat terhadap roda perekonomian, yang oleh pembentuk UUHT disebut sebagai:
“tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai
akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi.”
Untuk mengatasi hal tersebut, dibentuklah undang-undang sebagai realisasi dari amanat
Pasal 51 UUPA, yaitu UUHT. Dalam UUHT permasalahan yang muncul tersebut diatasi dengan
pengaturan tentang jumah utang yang dapat dieksekusi (Pasal 3 UUHT) titel eksekutorial
besertaprosedur eksekusinya.
B. PENGERTIAN EKSEKUSI
Para sarjana pada umumnya mengartikan eksekusi sebagai pelaksanaan putusan pengadilan
(hakim). Rumusan demikian ini tidak tepat. Dipandang dari segi obyeknya, eksekusi tidak hanya
berobyekkan putusan hakim, misalnya eksekusi obyek hak tanggungan sebagaimana yang kita
bicarakan kali ini. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan definisi baru tentang eksekusi.
Istilah eksekusi menurut Hukum Eksekusi diartikan sebagai upaya paksa untuk
merealisasihak kreditor karena pihak debitor/terhukum tidak mau secara suka rela memenuhi
kewajibannya atau upaya paksa untuk merealisasi sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Secara singkat,menurutHukum Eksekusi, istilah eksekusi mengandung makna sebagai suatu
upaya paksa untuk merealisasi hak dan/atau sanksi.
Berdasar pengertian tersebut dapat ditarik beberapa unsur dari eksekusi, yaitu upaya paksa,
untuk merealisasi,hak, atau sanksi.
1.
Upaya paksa; unsur ini mengandung makna bahwa dalam eksekusi selalu terkandung
unsur paksaan, dengan kata lain dalam eksekusi selalu terdapat paksaan atau kekerasan,
yaitu paksaan atau kekerasan menurut hukum. Apabila dalam merealisasi hak atau
sanksitidak ada unsur paksaan atau kekerasan,maka hal tersebut bukan eksekusi,
melainkan pelaksanaan secara sukarela.
2.
Untuk merealisasi; hal ini berarti tujuan eksekusi adalah untuk merealisasi hak atau
sanksi, Jadi berbeda dengan ketentuan hukum materiilyang diadakan dengan tujuan untuk
memberikan pedomantentang siapa yang berhak dan sanksi yang mengikutinya apabila
terjadi pelanggaran hak. Tujuan eksekusi tersebut juga berbeda dengan tujuan berperkara
di muka hakim yang prosedurnya diatur dalam hukum acara. Putusan hakim berguna
untuk memberikan kepastian hak serta jenis dan beratnya sanksi.
Berdasar uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut hukum materiil,
seseorang mempunyai hak, selanjutnyaapabila haknya dilanggar oleh orang lain maka
disediakan ketentuan hukum acara yang mengatur tata cara penegakan hak yang
dilanggar tersebut. Menurut hukum acara orang yang merasa haknya dilanggar tersebut
dapat menuntut di pengadilan supaya haknya dikuatkan dan si pelanggar dijatuhi sanksi.
Putusan hakim yang mengabulkan gugatan dalam perkara ini tidak lain daripada
memperkuat hak orang yang bersangkutan dan sekaligus menjatuhkan sanksi terhadap si
pelanggar hak.Namun hak yang ditetapkan oleh hukum materiil dan kemudian dikuatkan
oleh hukum acara (melalui putusan hakim) tersebut tidak ada artinya apabila hak tersebut
tidak dapat direalisasi. Ketentuan mengenai realisasi paksa hak atau sanksi ini ditemukan
pengaturannya dalam hukum eksekusi.
Hak; Hak di sini diartikan sebagai kewenangan yang dimiliki seseorang yang
3.
mewajibkan orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap dirinya.
Pengertian hak di sini dibatasi pada hak menurut hukum atau hak yang mendapat
perlindungan hukum, baik menurut hukum materiil maupun hukum acara (berdasar
putusan hakim).
4.
Sanksi; Istilah sanksi diartikan sebagai (ancaman) penderitaanyang dikenakan terhadap
seseorang yang tidak memenuhi kewajiban hukumnya.Sanksi yang direalisasi dalam
eksekusi bersumber pada ketentuan hukum materiil (perdata, pidana, tata negara maupun
adminitrasi negara), putusan hakim dan/ atau perjanjian.
C. PENGATURAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI DALAM UUHT
UUHT mengatur tentang eksekusi obyek hak tanggungan secara sistematis dan terpadu.
Ketentuan tentang jenis eksekusi obyek hak tanggungan secara menyeluruh diatur dalam Pasal
20 UUHT yang berbunyi:
(1)Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud
Pasal 14 (2).
Obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutangpemegang hak tanggungan
dengan mendahulu daripadakreditor-kreditor lainnya.
(2)Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Ketentuan tersebut mengatur eksekusi menurut prosedur. Di dalam ketentuan tersebut,
diatur tiga jenis eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu: eksekusi parat (eksekusi langsung),
eksekusi dengan pertolongan hakim, dan eksekusi penjualan di bawah tangan.
1.
Eksekusi parat (eksekusi langsung) obyek hak tanggungan
Eksekusi parat obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) a UUHT jis. Pasal 6 dan Pasal 11
(2) e UUHT. Menurut Pasal 20 (1) a jo. Pasal 6 UUHT, apabila debitor wanprestasi maka
kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak
tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan itu.
Prosedur eksekusi parat yang dimaksud oleh Pasal 20 (1) a UUHT jo. Pasal 6 UUHT tersebut
mensyaratkan adanya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi (beding van
eigenmachtig verkoop) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (2) e UUHT.
Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri dilakukan melalui
prosedur eksekusi parat. Tindakan atau pelaksanaan eksekusi parat dilakukan apabila debitor
wanprestasi. Begitu debitor wanprestasi, maka kreditor pemegang hak tanggungan diberi hak
oleh UUHT untuk langsung mohon lelang kepada kantor lelang negara (sekarang permohonan
diajukan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Jadi walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal
debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan
sendiri”, namun pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditor
pemegang hak tanggungan, melainkan harus dilakukan oleh pejabat lelang pada KPKNL, karena
pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan lelang eksekusi.
Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut, selanjutnya pejabat lelang memroses pelaksanaan
lelang, diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan lelang
dan pembagian hasil lelang. Apabila hasil lelang setelah dikurangi selulruh biaya dan pelunasan
utang kepada para kreditor masih ada sisa, maka sisa tersebut harus diserahkan kepada pemberi
hak tanggungan.
2.Eksekusi dengan pertolongan hakim obyek hak tanggungan
Eksekusi dengan pertolongan hakim obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) b UUHT
jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT.
Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakimyang dimaksud Pasal 20 (1) b UUHTberupa
permohonan eksekusi oleh kreditor kepada Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya Pengadilan
Negeri melaksanakan eksekusi sebagaimana melaksanakan eksekusi putusan hakim biasa yang
sudah mencapai kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde). Eksekusi dilakukan terhadap
sertifikat hak tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata: DEMI
KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Sertifikat hak tanggungan
yang demikian mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan, demikian
diatur dalam Pasal 14 UUHT dan penjelasannya.
Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakim tersebut adalah prosedur eksekusi yang ada
dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Penggunaan prosedur ini dengan tegas dapat dibaca dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT,
seperti berikut ini:
Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan
eksekusinya. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum
Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan
tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate
executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Sehubungan dengan itu, pada sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surattanda-bukti adanya hak tanggungan, (yang pada bagian atasnya) dibubuhkan irah-irah dengan
kata-kata: “DEMI KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,”untuk
memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap.Selain itu, sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan
sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan
sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Dari Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT ini diketahui bahwa UUHT tidak secara khusus
mengatur tentang prosedur eksekusi obyek hak tanggungan, melainkan memasukkan ketentuan
tentang eksekusi yang ada di dalam Hukum Acara Perdata sebagai ketentuan pelaksanaan
eksekusi. Ketentuan UUHT merupakan ketentuan Hukum Materiil Perdata, yang mengatur
perihal hukum jaminan. Di dalam setiap Hukum Jaminan, selalu ditemukan ketentuan tentang
eksekusi obyek jaminan apabila debitor wanprestasi. Prosedur eksekusi obyek jaminan yang
diatur di dalam Hukum Jaminan selalu sederhana, singkat dan mudah, yaitu begitu debitor
wanprestasi kreditor langsung bertindak dalam tahap eksekusi tanpa harus menempuh jalur
litigasi. Di lain pihak, ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg tentang eksekusi dengan
pertolongan hakim, berada dalam ranah Hukum Acara Perdata.
Ketentuan Hukum Acara Perdata diberlakukan dalam hal penyelesaian perkara dilakukan
melalui litigasi. Berdasarkan hal tersebut diketahui, istilah “memasukkan secara khusus”ke
dalam UUHT, ketentuan tentang eksekusi yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata (Pasal 224
HIR/ Pasal 258 RBg) sebagaimana dituangkan dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT, harus
dibaca sebagai “meminjam”. Peminjaman ketentuan Hukum Acara Perdata tentang eksekusi
berdasar Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBgoleh UUHTdiperlukan sehubungan dengan belum adanya
peraturan pelaksanaan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UUHT. Belum adanya
peraturan pelaksanaan tersebut mengakibatkan ketentuantentang eksekusi parat, eksekusi dengan
pertolongan hakim dan eksekusi penjualan di bawah tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20
UUHT belum dapat dilaksanakan.
Istilah meminjam tersebut mengandung makna bahwa eksekusi obyek HT hanya
berdasarkan ketentuanPasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Dengan kata lain tidak ada sat pasal pun
ketentuan UUHT tentang eksekusi yang berlaku. Selanjutnya istilah “meminjam” mengandung
makna sementara, tidak permanen. Makna ini juga terkandung di dalam pemberlakuan ketentuan
Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg bagi pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu
ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg diberlakukan sampai dengan adanya peraturan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 26 UUHT.
3.Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan
Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (2) dan (3) UUHT.
Prosedur eksekusi penjualan di bawah tangan dapat dilakukan bilamana dipenuhi
persyaratan yang diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3). Persyaratan ini adalah adanya kesepakatan
antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek hak
tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dengan kata
lain penjualan di bawah tangan dilakukan bilamana diperkirakan bahwa penjualan melalui
pelelangan atau penjualan di muka umum melalui eksekusi parat atau eksekusi dengan
pertolongan hakim yang dimaksudPasal 20 (1) a dan b UUHT tidak akan mencapai harga
tertinggi.Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulisoleh pemberi dan/ atau pemegang hak tanggungan kepada pihakpihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar pada daerah
yang bersangkutan dan/ atau media masa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan
keberatan.
D. KETENTUAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN YANG BERLAKU
Berdasarkan hal tersebut di atas diketahui, bahwa UUHT mengatur eksekusi obyek hak
tanggungan secara sistematis dan terpadu. Kerangka pikir pembentuk UUHT dalam mengatur
eksekusi adalah bertitik tolak pada jenis eksekusi obyek hak tanggungan menurut prosedurnya
sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 UUHT. Di dalam pasal ini diatur ada 3 (jenis) eksekusi
obyek hak tanggungan, yaitu eksekusi parat (eksekusi langsung), eksekusi dengan pertolongan
hakim, dan eksekusi penjualan di bawah tangan. Selanjutnya berdasarkan pemikiran terpadu,
maka masing-masing ketentuan tentang jenis eksekusi tersebut harus dikaitkan dengan
ketentuan-ketentuan laindalam UUHT yang mengatur hal yang sama atau mengatur pelaksanaan
lebih lanjut. Eksekusi parat yang diatur dalam Pasal 20 (1) a UUHT harus dihubungkan dengan
ketentuan Pasal6 dan Pasal 11 (2) e UUHT. Ketentuan tentang eksekusi dengan pertolongan
hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 20 (1) b UUHT harus dihubungkan dengan ketentuan
dalam penjelasan umum angka 9 dan Pasal 14 serta Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, serta
ketentuantentang eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur dalam Pasal 20 (2) UUHT
harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 20 (3) UUHT.
Menurut pembentuk UUHT, keberlakuan ketentuan tentang eksekusi yang diatur dalam
Pasal 20 UUHT memerlukan peraturan pelaksanaan, suatu peraturan yang mengatur lebih lanjut
tentang prosedur eksekusi dari masing-masing jenis eksekusi yang ada. Hal ini dengan tegas
diatur dalam Pasal 26 UUHT yang berbunyi:
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan
memerhatikan ketentuan Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada pada mulai
berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan.
Ketentuan Pasal 26 tersebut dipertegas oleh bunyi Penjelasannya dan Penjelasan Umum
Nomor 9.Di dalam penjelasan Pasal 26 UUHT dikatakan:
Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada dalam pasal ini, adalah
ketentuan yang ada dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Ketentuan Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse akta hipotik yang
berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hipotik, dalam hal hak tanggungan adalah sertifikat
hak tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah
peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi hak tanggungan, sebagai
pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hipotik hak atas tanah yang disebut di atas.
Sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam
pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut,ketentuan Hukum Acara
tersebut di atas berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, dengan penyerahan sertifikat hak hak
tanggungan sebagai dasar pelaksanaanya.
Penjelasan Umum angka 9 antara lain menyatakan:
Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara
Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang
eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate
executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan peraturan-peraturan
tersebut (Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg-pen.) ditegaskan lebih lanjut dalam undang-undang ini,
bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai
eksekusi hipotik yang diatur di dalam kedua reglement tersebut, berlaku terhadap eksekusi hak
tanggungan.
Dari bunyi ketentuan-ketentuan tersebut diketahui, bahwa ketentuan tentang eksekusi hak
tanggungan yang diatur dalam UUHT memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan
pelaksanaan yang dibutuhkan di sini adalah yang mengatur tentang prosedur atau tata cara
eksekusi obyek hak tanggungan.
Beberapa pasal dalam UUHT yang mengatur tentang tiap-tiap jenis eksekusi [Pasal 20 (1)
a UUHT jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT untuk eksekusi parat; Pasal 20 (1) b UUHT jo.
Pasal 14 (2) dan (3) UUHT untuk eksekusi dengan pertolongan hakim; dan Pasal 20 (2) dan (3)
UUHT untuk eksekusi penjualan di bawah tangan] dirasa belum memadai.
Berdasarkan hal tersebut diketahui, bahwa menurut pembentuk UUHT ketiga jenis
eksekusi tersebut belum dapat dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Sambil
menunggu terbentuknya peraturan pelaksanaan, maka pembentuk UUHTmemberlakukan atau
“meminjam” ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sehingga dapat mewujudkan ciri hak
tanggungan yang kuat yaitu berupa mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.
Sehubungan dengan belum adanya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal
26 UUHT, maka prosedur eksekusi parat dan eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur
adalam Pasal 20 (1) a jis. Pasal 11 (2) dan Pasal 6 UUHT, serta eksekusi penjualan di bawah
tangan yang diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3) UUHT sampai saat ini belum berlaku.
Persoalan berikutnya adalah, apa bentuk hukum peraturan pelaksanaan ketentuan tentang
eksekusi yang dimaksud Pasal26 UUHT?
Menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan undang-undang diatur dalam
Pasal 8.b, Pasal 9-13adalah undang-undang/ peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan daerah dan peraturan desa/ yang setingkat.
Undang-undang digunakan untuk melaksanakan undang-undang apabila suatu undangundang dengan tegas memerintahkan diatur lebih lanjut dengan undang-undang (Pasal 8.b UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Hal demikian
berlaku pula bagi peraturan presiden (Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan). Dalam Pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan ditentukan peraturan daerah digunakan untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengaturan demikian juga dilakukan untuk
peraturan desa/ yang setingkat (Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan). Penggunaan anak kalimat: “penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi” menjadikan peraturan tersebut tidak jelas. Peraturan perundangundangan yang lebih tinggi daripada peraturan desa dapat berupa peraturan daerah kabupaten/
kota, peraturan daerah prvinsi sampai dengan UUD1945. Apakah hal ini berarti suatu peraturan
desa dapat langsung digunakan untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan dalam UUD1945?
Peraturan yang dengan tegas ditentukan untuk mengatur lebih lanjut undang-undang
tanpa harus secara tegas ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan, adalah peraturan
pemerintah (Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan).
Dalam Pasal 26 UUHT tidak ditentukan dengan tegas bentuk peraturan perundangundangan sebagai peraturan pelaksaan UUHT tentang eksekusi. Istilah yang dipergunakan Pasal
26 UUHT digunakan istilah “peraturan perundang-undangan yang mengaturnya”.
Dengan demikian menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangansatu-satunya bentuk peraturan pelaksanaan UUHT tentang eksekusi adalah
peraturan pemerintah.
PASAL 6 UUHT TIDAK SAH MENURUT HUKUM
Eksekusi obyek HT oleh UUHT diatur secara sistematis dan terpadu. Dilihat dari segi
prosedur ada tiga jenis eksekusi obyek HT, yaitu
1. E ksekusi parat [Pasal 20 (11.a) jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT],
2. Eksekusi pertolongan hakim [Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT],
3. Eksekusi di bawah tanggan [Pasal 20 (2) dan (3) UUHT].
Ketentuan tentang eksekusi tersebut menurut Pasal 26 dan Penjelasan Umum Nomo 9 UUHT
dinyatakan belum berlaku selama belum ada peraturan pelaksanaannya, untuk mencegah
terjadinya kekosongan hukum maka diberlakukan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Menurut Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, bentuk peraturan pelaksanaan yang dimaksud Pasal 26 UUHT adalah peraturan
pemerintah.
UUHT adalah ketentuan Hukum Materiil Perdata, sedangkan HIR/ RBg adalah ketentuan
Hukum Acara Perdata, ini berarti ketentuan tentang eksekusi dalam Hukum Acara Perdata
dipinjam oleh Hukum Materiil Perdata. Akibat hukum dari hal ini adalah pelaksanaan eksekusi
obyek HT hanya sah apabila didasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sedangkan seluruh
ketentuan UUHT tentang eksekusi (termasuk Pasal 6 UUHT) belum berlaku. Dengan demikian
pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan berdasar Pasal 6 UUHT adalah tanpa dasar hukum,
akibatnya pelaksanaan eksekusi tersebut tidak sah.
Sehubungan dengan tidak sahnya pelaksanaan eksekusi menurut Pasal 6 UUHT, maka
bagi debitor dan/ atau pihak ketiga yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya hokum. Jenis
upaya hukum yang dapat diajukan verzet melawan eksekusiatau gugat perlawanan. Verzet
diajukan saat pelaksanaan eksekusi masih berlangsung, sedangkan gugat perlawanan diajukan
apabila pelaksanaan eksekusi sudah selesai.
A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA UUHT
Ketentuan tentang hak tanggungan dalam UUHT merupakan pengganti ketentuan tentang
hipotik dan crediet verband sejauh tentang tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Penggantian ini selain diamanatkan oleh ketentuan dalam UUPA (Pasal 51)
juga untuk mengatasi persoalan tentang pelaksanaan eksekusi hipotik. Di dalam
Penjelasan Umum Nomor 2 UUHT antara lain dikatakan, bahwa ketentuan tentang crediet
verband dan hipotik berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang
berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya
tercantum dalam UUPA, dimaksudkan berlaku untuk sementara waktu sambil menunggu
undang-undang yang dimaksud Pasal 51 UUPA. Ketentuan-ketentuan tersebut jelas tidak sesuai
dengan asas-asas yang tercantum dalam Hukum Tanah Nasional, akibatnya tidak dapat
menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari
kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya timbul berbagai perbedaan pandangan dan
penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan Hukum Jaminanatas Tanah, misalnya
tentang pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga
peraturan tersebut dirasa kurang memberikanjaminan kepastian hukum dalam kegiatan
perkreditan.
Menurut J Satrio, penyebab kekacauan dan ketidakpuasan dalam hak jaminan atas tanah
sebagian besar bukan pada ketentuan Hukum Materiil hipotik/ crediet verband, melainkan pada
penafsiran pihak tertentu atas pelaksanaan ketentuan hak jaminan hipotik dan crediet verband
dan pada pelaksanaannya di pengadilan. Bukan pada ketentuan hipotik/ crediet verbandnya yang
tidak jelas, tetapi ketika kreditor-pemegang hipotik akan melaksanakan pengambilan pelunasan
berdasarkan grosse akta hipotik, menghadapi persoalan apakah yang mempunyai kekuatan
eksekutorial itu grosse akta hipotiknya (sesuai dengan Pasal 224 HIR) atau sertifikat hipotiknya
sesuai PMA 215/1961. Dalam ketentuan tentang hipotik/ crediet verband dan dalam Hukum
Acara- baik HIR, RBg maupunRV- tidak dikenal lembaga “sertifikat hipotik”, apalagi sebagai
grosse. Ini memicu masalah.
Untuk memahami akar permasalahan eksekusi obyek jaminan hipotik, perlu melihat ke
belakang. Menurut KUH Perdata, pengaturan perjanjian jaminan dikelompokkan menjadi dua,
yaitu jaminan dengan obyek benda bergerak dan tetap. Ketentuan tentang jaminan benda
bergerak nama perjanjian jaminannya adalah gadai, sedang untuk benda tetap nama
perjanjiannya adalah hipotik. Perjanjian gadai diatur dalam Pasal 1150 – Pasal 1161 KUH
Perdata, sedang hipotik dalam Pasal 1162 – Pasal 1232 KUH Perdata. Eksekusi obyek gadai
diatur dalam Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUH Perdata.
Pasal 1155 KUH Perdata berbunyi:
”Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, jika debitor wanprestasi, setelah
tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu,
setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, maka kreditor berhak menyuruh
menjual di muka umum obyek gadai menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syaratsyarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya
beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan itu.”
Menurut ketentuan tersebut, apabila tidak ditentukan prosedur eksekusi obyekgadai,
maka apabila debitor wanprestasi pihak kreditor oleh undang-undang diberi hak untuk langsung
menjual obyek gadai dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dari
sini terlihat, bahwa begitu debitor wanprestasi, maka seketika itu pula pihak kreditor memiliki
hak untuk langsung menjalankan eksekusi tanpa harus menumpuh prosedur litigasi.
Oleh karena itulah maka menurut ilmu hukum, eksekusi ini dinamakan eksekusi parat
(eksekusi langsung), yaitu langsung mengubah obyek gadai yang semula secara phisik berupa
benda bergerak diubah menjadi sejumlah uang melalui eksekusi. Menurut para sarjana, istilah
penjualan di muka umum dalam pasal tersebut adalah penjualan melalui lelang, yaitu suatu tata
cara penjualan dengan penawaran harga semakin tinggi atau semakin rendah. Tujuan penjualan
obyek gadai melalui lelang adalah agar dalam penjualan tersebut dicapai harga tinggi, sehingga
tidak merugikan pihak debitor pemberi gadai.
Selain dilakukan dengan cara eksekusi parat, eksekusi obyek gadai juga dapat dilakukan
menurut perjanjian. Biasanya perjanjian yang dipilih untuk tata cara penjualan gadai adalah
penjualan di bawah tangan. Pelaksanaan eksekusi penjualan di bawah tangan lebih sederhana
daripada eksekusi parat.
Menurut Pasal 1156 KUH Perdata, penjualan obyek gadai atas izin hakim. Penjualan
secara demikian ini diperlukan untuk benda-benda tertentu yang apabila dijual secara lelang
tidak akan mendapatkan hasil optimal, misalnya benda antik atau benda seni dengan penetapan
hakim dapat dilakukan penjualan dengan cara penawaran melalui internet dan sebagainya.
Sedangkan eksekusi obyek hipotik dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu eksekusi
berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg dan berdasarkan Pasal 1178 (2) jo. Pasal 1211 KUH
Perdata
1.
Menurut Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg pada saat debitor wanprestasi, kreditor
pemegang grosse akta hipotik menghadap KPN, untuk mengajukan permohonan
agargrosse akta hipotik tersebut dieksekusi, dengan mengatakan: “Pak Hakim
sehubungan dengan wanprestasinya debitor, saya minta tolong grosse akta hipotik ini
dieksekusi.” Selanjutnya KPN akan melaksanakan eksekusi seperti halnya mengeksekusi
putusan hakim biasa yang dijatuhkan tanpa adanya sita jaminan, yaitu eksekusi
berdasarkan Pasal 195-Pasal 200 HIR). Prosedur eksekusinya adalah KPN memanggil
debitor/ pemberi hipotik untuk ditegur (aanmaning). Pada kesempatan ini KPN
melakujkan beberapa hal. Pertama, KPN menergur pihak debitor/ pemberi hipotik selain
ditegur dengan mengatakan “mengapa dirinya tidak memenuhi kewajiban membayar
utang kepada kreditor sesuai dengan perjanjian”. Kedua, KPN memberi penjelasan akibat
hukum yang muncul sehubungan dengan wanprestasi tersebut, yaitu akibat hukum
terhadap obyek hiptek berupa penjatuhan sita eksekutorial, dilanjutkan dengan
pengumuman dan pelaksanaan lelang. Pada kesempatan ini perlu juga dijelaskan
tentangakibat finansial yang harus ditanggung oleh debitor/ pemberi hipotek apabila
penyelesaian piiutang dilakukan melalui lelang eksekusi. Ketiga, KPN masih memberi
kesempatan kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya secara sukarela dalam jangka
waktu tertentu. Bilamana jangka saktu tersebut habis dan pihak debitor/ pemberi hiportik
tidak memenuhi secara suka rela kewajibannya, maka KPN membuat penetapan untuk
menyita eksekusi obyek hipotik yang bersangkutan, dilanjutkan dengan penjualan lelang
melalui kantor lelang negara. Sehubungan dengan hal ini, maka eksekusi obyek hipotik
berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg disebut eksekusi dengan pertolongan hakim.
2.
Prosedur kedua eksekusi obyek hipotik diatur dalam Pasal 1178 (2) jo. Pasal 1211 KUH
Perdata. Menurut pasal tersebut, apabila debitor wanprestasi, maka kreditor pemegang
hipotik pertama secara mutlak dikuasakan untuk menjual obyek hipotik untuk mengambil
pelunasan piutangnya. Di dalam praktek, istilah “secara mutlak dikuasakan untuk
menjual” dalam pasal tersebutterkenal dengan istilah janji menjual atas kekuasaan sendiri
(beding van eigenmachtig verkoop). Prosedur eksekusi di sini adalah, apabila debitor
wanprestasi, maka kreditordapat langsung menghadap pimpinan kantor lelang untuk
mohon lelang atas obyek hipotik, dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari
pendapatan lelang tersebut. Jadi dalam hal ini kreditor tidak perlu menghadap KPN untuk
minta fiat eksekusi, atau mohon agar KPN mengeksekusi obyek hipotik, apalagi
menempuh jalur litigasi. Sama dengan eksekusi obyek gadai, eksekusi obyek hipotik di
sini dinamakan eksekusi parat (eksekusi langsung)
Pada mulanya pelaksanaan eksekusi obyek hipotik melalui eksekusi parat berjalan lancar.
Namun dalam perkembangannya pelaksanaan eksekusi ini terhambat, sehubungan dengan
dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3210K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986
yang mensyaratkan adanya fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri. Dalam
perkembangannya, kewajiban fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri tersebut berubah
menjadi pelaksanaan eksekusi oleh ketua pengadilan negeri. Hal ini berarti terjadi pergeseran
dari eksekusi parat menjadi eksekusi dengan pertolongan hakim, atau dengan kata lain tidak
berlakunya lagi ketentuantentang eksekusi parat.
Kekacauan tentang prosedur eksekusi tersebut menjadi lebih parahdengandikeluarkannya
“pendapat Mahkamah Agung” sebagaimana tertuang dalam tiga suratnya, masing-masing
tertanggal 16 April 1985 Nomor: 213/229/85/II/Um-Tu/Pdt ditujukan kepada Soetarno Soedja
dari Kantor Pengacara Gani Djemat & Partner, tanggal 18 Maret 1986 Nomor 133/154/86/II/UmTu/Pdt kepada Direksi Bank Negara 1946, dan tanggal 1 April 1986 Nomor: 147/168/86/UmTu/Pdt kepada Pimpinan BKPH Perbanas. Menurut Pendapat MA tersebut, grosse akta (grosse
surat utang notariil, de grossen van notariëele schuldbriëven) yang mempunya kekuatan
eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah:
1.
2.
Grosse akta pengakuan utang;
Berkepala seperti putusan hakim (berkepala: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”);
3.
Isinya pengakuan utang membayar/ melunaskan suatu jumlah uang tertentu (pasti), bukan
4.
jumlah utang yang dapat dipastikan;
Bersifat murni, artinya dalam pengakuan utang itu tidak ditambahkan persyaratanpersyaratan lain, terlebih lagi persyaratan-persyaratan yang berbentuk perjanjian
5.
(terutama perjanjian kuasa memasang hipotik dan kuasa untuk menjual); dan
Mengandung sifat eksepsional terhadap asas bahwa seseorang hanya
dapat
menyelesaikan sengketa melalui gugatan.
Pendapat MA tersebut lebih memperkeruh suasana pelaksanaan eksekusi obyek hipotik.
Penyebab utama hal ini adalah adanya ketidaksamaan pandangan ketua pengadilan negeri
tentang syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/
Pasal 258 RBg. Ketidaksamaan pandangan tersebut terjadi di antara ketua pengadilan negeri
yang satu dengan yang lain, baik dari pengailan- pengadilan negeri yang berbeda maupun dari
satu pengadilan negeri.
Ketua pengadilan negeri adalah figur sentral dalam pelaksanaan eksekusi berdasarkan
Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sehingga pandangannya tentang persyaratan yang harus dipenuhi
untuk dapat dilaksanakannya eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah
menentukan. Hal ini berarti bahwa ketidaksamaan pandangan di antara mereka mengakibatkan
tidak adanya kepastian hukum tentang eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Mengingat pada umumnya pengguna eksekusi Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg adalah
dunia perbankan, maka kekacauan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg
menimbulkan akibat terhadap roda perekonomian, yang oleh pembentuk UUHT disebut sebagai:
“tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai
akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi.”
Untuk mengatasi hal tersebut, dibentuklah undang-undang sebagai realisasi dari amanat
Pasal 51 UUPA, yaitu UUHT. Dalam UUHT permasalahan yang muncul tersebut diatasi dengan
pengaturan tentang jumah utang yang dapat dieksekusi (Pasal 3 UUHT) titel eksekutorial
besertaprosedur eksekusinya.
B. PENGERTIAN EKSEKUSI
Para sarjana pada umumnya mengartikan eksekusi sebagai pelaksanaan putusan pengadilan
(hakim). Rumusan demikian ini tidak tepat. Dipandang dari segi obyeknya, eksekusi tidak hanya
berobyekkan putusan hakim, misalnya eksekusi obyek hak tanggungan sebagaimana yang kita
bicarakan kali ini. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan definisi baru tentang eksekusi.
Istilah eksekusi menurut Hukum Eksekusi diartikan sebagai upaya paksa untuk
merealisasihak kreditor karena pihak debitor/terhukum tidak mau secara suka rela memenuhi
kewajibannya atau upaya paksa untuk merealisasi sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Secara singkat,menurutHukum Eksekusi, istilah eksekusi mengandung makna sebagai suatu
upaya paksa untuk merealisasi hak dan/atau sanksi.
Berdasar pengertian tersebut dapat ditarik beberapa unsur dari eksekusi, yaitu upaya paksa,
untuk merealisasi,hak, atau sanksi.
1.
Upaya paksa; unsur ini mengandung makna bahwa dalam eksekusi selalu terkandung
unsur paksaan, dengan kata lain dalam eksekusi selalu terdapat paksaan atau kekerasan,
yaitu paksaan atau kekerasan menurut hukum. Apabila dalam merealisasi hak atau
sanksitidak ada unsur paksaan atau kekerasan,maka hal tersebut bukan eksekusi,
melainkan pelaksanaan secara sukarela.
2.
Untuk merealisasi; hal ini berarti tujuan eksekusi adalah untuk merealisasi hak atau
sanksi, Jadi berbeda dengan ketentuan hukum materiilyang diadakan dengan tujuan untuk
memberikan pedomantentang siapa yang berhak dan sanksi yang mengikutinya apabila
terjadi pelanggaran hak. Tujuan eksekusi tersebut juga berbeda dengan tujuan berperkara
di muka hakim yang prosedurnya diatur dalam hukum acara. Putusan hakim berguna
untuk memberikan kepastian hak serta jenis dan beratnya sanksi.
Berdasar uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut hukum materiil,
seseorang mempunyai hak, selanjutnyaapabila haknya dilanggar oleh orang lain maka
disediakan ketentuan hukum acara yang mengatur tata cara penegakan hak yang
dilanggar tersebut. Menurut hukum acara orang yang merasa haknya dilanggar tersebut
dapat menuntut di pengadilan supaya haknya dikuatkan dan si pelanggar dijatuhi sanksi.
Putusan hakim yang mengabulkan gugatan dalam perkara ini tidak lain daripada
memperkuat hak orang yang bersangkutan dan sekaligus menjatuhkan sanksi terhadap si
pelanggar hak.Namun hak yang ditetapkan oleh hukum materiil dan kemudian dikuatkan
oleh hukum acara (melalui putusan hakim) tersebut tidak ada artinya apabila hak tersebut
tidak dapat direalisasi. Ketentuan mengenai realisasi paksa hak atau sanksi ini ditemukan
pengaturannya dalam hukum eksekusi.
Hak; Hak di sini diartikan sebagai kewenangan yang dimiliki seseorang yang
3.
mewajibkan orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap dirinya.
Pengertian hak di sini dibatasi pada hak menurut hukum atau hak yang mendapat
perlindungan hukum, baik menurut hukum materiil maupun hukum acara (berdasar
putusan hakim).
4.
Sanksi; Istilah sanksi diartikan sebagai (ancaman) penderitaanyang dikenakan terhadap
seseorang yang tidak memenuhi kewajiban hukumnya.Sanksi yang direalisasi dalam
eksekusi bersumber pada ketentuan hukum materiil (perdata, pidana, tata negara maupun
adminitrasi negara), putusan hakim dan/ atau perjanjian.
C. PENGATURAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI DALAM UUHT
UUHT mengatur tentang eksekusi obyek hak tanggungan secara sistematis dan terpadu.
Ketentuan tentang jenis eksekusi obyek hak tanggungan secara menyeluruh diatur dalam Pasal
20 UUHT yang berbunyi:
(1)Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud
Pasal 14 (2).
Obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutangpemegang hak tanggungan
dengan mendahulu daripadakreditor-kreditor lainnya.
(2)Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Ketentuan tersebut mengatur eksekusi menurut prosedur. Di dalam ketentuan tersebut,
diatur tiga jenis eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu: eksekusi parat (eksekusi langsung),
eksekusi dengan pertolongan hakim, dan eksekusi penjualan di bawah tangan.
1.
Eksekusi parat (eksekusi langsung) obyek hak tanggungan
Eksekusi parat obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) a UUHT jis. Pasal 6 dan Pasal 11
(2) e UUHT. Menurut Pasal 20 (1) a jo. Pasal 6 UUHT, apabila debitor wanprestasi maka
kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak
tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan itu.
Prosedur eksekusi parat yang dimaksud oleh Pasal 20 (1) a UUHT jo. Pasal 6 UUHT tersebut
mensyaratkan adanya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi (beding van
eigenmachtig verkoop) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 (2) e UUHT.
Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri dilakukan melalui
prosedur eksekusi parat. Tindakan atau pelaksanaan eksekusi parat dilakukan apabila debitor
wanprestasi. Begitu debitor wanprestasi, maka kreditor pemegang hak tanggungan diberi hak
oleh UUHT untuk langsung mohon lelang kepada kantor lelang negara (sekarang permohonan
diajukan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Jadi walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal
debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan
sendiri”, namun pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditor
pemegang hak tanggungan, melainkan harus dilakukan oleh pejabat lelang pada KPKNL, karena
pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan lelang eksekusi.
Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut, selanjutnya pejabat lelang memroses pelaksanaan
lelang, diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan lelang
dan pembagian hasil lelang. Apabila hasil lelang setelah dikurangi selulruh biaya dan pelunasan
utang kepada para kreditor masih ada sisa, maka sisa tersebut harus diserahkan kepada pemberi
hak tanggungan.
2.Eksekusi dengan pertolongan hakim obyek hak tanggungan
Eksekusi dengan pertolongan hakim obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) b UUHT
jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT.
Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakimyang dimaksud Pasal 20 (1) b UUHTberupa
permohonan eksekusi oleh kreditor kepada Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya Pengadilan
Negeri melaksanakan eksekusi sebagaimana melaksanakan eksekusi putusan hakim biasa yang
sudah mencapai kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde). Eksekusi dilakukan terhadap
sertifikat hak tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata: DEMI
KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Sertifikat hak tanggungan
yang demikian mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan, demikian
diatur dalam Pasal 14 UUHT dan penjelasannya.
Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakim tersebut adalah prosedur eksekusi yang ada
dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Penggunaan prosedur ini dengan tegas dapat dibaca dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT,
seperti berikut ini:
Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan
eksekusinya. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum
Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan
tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate
executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Sehubungan dengan itu, pada sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surattanda-bukti adanya hak tanggungan, (yang pada bagian atasnya) dibubuhkan irah-irah dengan
kata-kata: “DEMI KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,”untuk
memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap.Selain itu, sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan
sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan
sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Dari Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT ini diketahui bahwa UUHT tidak secara khusus
mengatur tentang prosedur eksekusi obyek hak tanggungan, melainkan memasukkan ketentuan
tentang eksekusi yang ada di dalam Hukum Acara Perdata sebagai ketentuan pelaksanaan
eksekusi. Ketentuan UUHT merupakan ketentuan Hukum Materiil Perdata, yang mengatur
perihal hukum jaminan. Di dalam setiap Hukum Jaminan, selalu ditemukan ketentuan tentang
eksekusi obyek jaminan apabila debitor wanprestasi. Prosedur eksekusi obyek jaminan yang
diatur di dalam Hukum Jaminan selalu sederhana, singkat dan mudah, yaitu begitu debitor
wanprestasi kreditor langsung bertindak dalam tahap eksekusi tanpa harus menempuh jalur
litigasi. Di lain pihak, ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg tentang eksekusi dengan
pertolongan hakim, berada dalam ranah Hukum Acara Perdata.
Ketentuan Hukum Acara Perdata diberlakukan dalam hal penyelesaian perkara dilakukan
melalui litigasi. Berdasarkan hal tersebut diketahui, istilah “memasukkan secara khusus”ke
dalam UUHT, ketentuan tentang eksekusi yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata (Pasal 224
HIR/ Pasal 258 RBg) sebagaimana dituangkan dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT, harus
dibaca sebagai “meminjam”. Peminjaman ketentuan Hukum Acara Perdata tentang eksekusi
berdasar Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBgoleh UUHTdiperlukan sehubungan dengan belum adanya
peraturan pelaksanaan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UUHT. Belum adanya
peraturan pelaksanaan tersebut mengakibatkan ketentuantentang eksekusi parat, eksekusi dengan
pertolongan hakim dan eksekusi penjualan di bawah tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20
UUHT belum dapat dilaksanakan.
Istilah meminjam tersebut mengandung makna bahwa eksekusi obyek HT hanya
berdasarkan ketentuanPasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Dengan kata lain tidak ada sat pasal pun
ketentuan UUHT tentang eksekusi yang berlaku. Selanjutnya istilah “meminjam” mengandung
makna sementara, tidak permanen. Makna ini juga terkandung di dalam pemberlakuan ketentuan
Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg bagi pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu
ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg diberlakukan sampai dengan adanya peraturan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 26 UUHT.
3.Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan
Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (2) dan (3) UUHT.
Prosedur eksekusi penjualan di bawah tangan dapat dilakukan bilamana dipenuhi
persyaratan yang diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3). Persyaratan ini adalah adanya kesepakatan
antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek hak
tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dengan kata
lain penjualan di bawah tangan dilakukan bilamana diperkirakan bahwa penjualan melalui
pelelangan atau penjualan di muka umum melalui eksekusi parat atau eksekusi dengan
pertolongan hakim yang dimaksudPasal 20 (1) a dan b UUHT tidak akan mencapai harga
tertinggi.Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulisoleh pemberi dan/ atau pemegang hak tanggungan kepada pihakpihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar pada daerah
yang bersangkutan dan/ atau media masa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan
keberatan.
D. KETENTUAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN YANG BERLAKU
Berdasarkan hal tersebut di atas diketahui, bahwa UUHT mengatur eksekusi obyek hak
tanggungan secara sistematis dan terpadu. Kerangka pikir pembentuk UUHT dalam mengatur
eksekusi adalah bertitik tolak pada jenis eksekusi obyek hak tanggungan menurut prosedurnya
sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 UUHT. Di dalam pasal ini diatur ada 3 (jenis) eksekusi
obyek hak tanggungan, yaitu eksekusi parat (eksekusi langsung), eksekusi dengan pertolongan
hakim, dan eksekusi penjualan di bawah tangan. Selanjutnya berdasarkan pemikiran terpadu,
maka masing-masing ketentuan tentang jenis eksekusi tersebut harus dikaitkan dengan
ketentuan-ketentuan laindalam UUHT yang mengatur hal yang sama atau mengatur pelaksanaan
lebih lanjut. Eksekusi parat yang diatur dalam Pasal 20 (1) a UUHT harus dihubungkan dengan
ketentuan Pasal6 dan Pasal 11 (2) e UUHT. Ketentuan tentang eksekusi dengan pertolongan
hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 20 (1) b UUHT harus dihubungkan dengan ketentuan
dalam penjelasan umum angka 9 dan Pasal 14 serta Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, serta
ketentuantentang eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur dalam Pasal 20 (2) UUHT
harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 20 (3) UUHT.
Menurut pembentuk UUHT, keberlakuan ketentuan tentang eksekusi yang diatur dalam
Pasal 20 UUHT memerlukan peraturan pelaksanaan, suatu peraturan yang mengatur lebih lanjut
tentang prosedur eksekusi dari masing-masing jenis eksekusi yang ada. Hal ini dengan tegas
diatur dalam Pasal 26 UUHT yang berbunyi:
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan
memerhatikan ketentuan Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada pada mulai
berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan.
Ketentuan Pasal 26 tersebut dipertegas oleh bunyi Penjelasannya dan Penjelasan Umum
Nomor 9.Di dalam penjelasan Pasal 26 UUHT dikatakan:
Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hipotik yang ada dalam pasal ini, adalah
ketentuan yang ada dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Ketentuan Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse akta hipotik yang
berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hipotik, dalam hal hak tanggungan adalah sertifikat
hak tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah
peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi hak tanggungan, sebagai
pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hipotik hak atas tanah yang disebut di atas.
Sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam
pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut,ketentuan Hukum Acara
tersebut di atas berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan, dengan penyerahan sertifikat hak hak
tanggungan sebagai dasar pelaksanaanya.
Penjelasan Umum angka 9 antara lain menyatakan:
Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara
Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang
eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate
executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan peraturan-peraturan
tersebut (Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg-pen.) ditegaskan lebih lanjut dalam undang-undang ini,
bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai
eksekusi hipotik yang diatur di dalam kedua reglement tersebut, berlaku terhadap eksekusi hak
tanggungan.
Dari bunyi ketentuan-ketentuan tersebut diketahui, bahwa ketentuan tentang eksekusi hak
tanggungan yang diatur dalam UUHT memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan
pelaksanaan yang dibutuhkan di sini adalah yang mengatur tentang prosedur atau tata cara
eksekusi obyek hak tanggungan.
Beberapa pasal dalam UUHT yang mengatur tentang tiap-tiap jenis eksekusi [Pasal 20 (1)
a UUHT jis. Pasal 6 dan Pasal 11 (2) e UUHT untuk eksekusi parat; Pasal 20 (1) b UUHT jo.
Pasal 14 (2) dan (3) UUHT untuk eksekusi dengan pertolongan hakim; dan Pasal 20 (2) dan (3)
UUHT untuk eksekusi penjualan di bawah tangan] dirasa belum memadai.
Berdasarkan hal tersebut diketahui, bahwa menurut pembentuk UUHT ketiga jenis
eksekusi tersebut belum dapat dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Sambil
menunggu terbentuknya peraturan pelaksanaan, maka pembentuk UUHTmemberlakukan atau
“meminjam” ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, sehingga dapat mewujudkan ciri hak
tanggungan yang kuat yaitu berupa mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.
Sehubungan dengan belum adanya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal
26 UUHT, maka prosedur eksekusi parat dan eksekusi penjualan di bawah tangan yang diatur
adalam Pasal 20 (1) a jis. Pasal 11 (2) dan Pasal 6 UUHT, serta eksekusi penjualan di bawah
tangan yang diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3) UUHT sampai saat ini belum berlaku.
Persoalan berikutnya adalah, apa bentuk hukum peraturan pelaksanaan ketentuan tentang
eksekusi yang dimaksud Pasal26 UUHT?
Menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan undang-undang diatur dalam
Pasal 8.b, Pasal 9-13adalah undang-undang/ peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan daerah dan peraturan desa/ yang setingkat.
Undang-undang digunakan untuk melaksanakan undang-undang apabila suatu undangundang dengan tegas memerintahkan diatur lebih lanjut dengan undang-undang (Pasal 8.b UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Hal demikian
berlaku pula bagi peraturan presiden (Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan). Dalam Pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan ditentukan peraturan daerah digunakan untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengaturan demikian juga dilakukan untuk
peraturan desa/ yang setingkat (Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan). Penggunaan anak kalimat: “penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi” menjadikan peraturan tersebut tidak jelas. Peraturan perundangundangan yang lebih tinggi daripada peraturan desa dapat berupa peraturan daerah kabupaten/
kota, peraturan daerah prvinsi sampai dengan UUD1945. Apakah hal ini berarti suatu peraturan
desa dapat langsung digunakan untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan dalam UUD1945?
Peraturan yang dengan tegas ditentukan untuk mengatur lebih lanjut undang-undang
tanpa harus secara tegas ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan, adalah peraturan
pemerintah (Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan).
Dalam Pasal 26 UUHT tidak ditentukan dengan tegas bentuk peraturan perundangundangan sebagai peraturan pelaksaan UUHT tentang eksekusi. Istilah yang dipergunakan Pasal
26 UUHT digunakan istilah “peraturan perundang-undangan yang mengaturnya”.
Dengan demikian menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangansatu-satunya bentuk peraturan pelaksanaan UUHT tentang eksekusi adalah
peraturan pemerintah.