Pilkada dan Redistricting Dinamika Polit

MMONG PHA-IA
PROSES KEBIJAKAN PENDIDIKAN MELALUI PEMAHAMAN
KETERKAITAN ANTARA PEMERINTAHAN, POLITIK
DAN ADMINISTRASI PUBLIK

Sudirman
PILKADA DAN RED BTilCTING: DINAMIKA POLITIK LOKAL
DALAM POLITIK INDONESIA YANG TERDEMOKRASI

Leo

Agustino

POTRET PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
DI LINGKUNGAN BIROKRASI PEMERINTAHAN

Hyronimus Rowa
EFEKTIVITAS DEWAN KELURAHAN DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN KELURAHAN DI PROVINSI DKI JAKARTA

Suratmi

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP EKSISTENSI
PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Keberadaan Pedagang Kaki Lima
!

Jalan Kapasari Kota Surabaya)

HariaTuan Bihnmding
IMPEACHMENT DALAM SISTEM PRESIDENSIL
DAN KOALISI PARTAI POLITIK

Prayudi
ETIKA BIROKRASI DAN ETIKA KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN
DALAM MEWUJUDKAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
DI INDONESIA

Muhamad Mu'iz Raharjo

Penda

Pe:


disingl

PILKADA DAN REDISTRICTING:I
DINAMIKA POLITIK LOKAL
DALAM POTITIK INDONESIA
YANG TERDEMOKRASI

karan
(demol
karena

transfo
bagi

semaki
kebeba
Ebqties

pemifil

gubem

Oleh : Leo Agustino2

*lalu
Abstract: This article

discusses the process of democratization at the local leael in lndonesia
by looking at the mechanism of electing heads of local district (Pilkada) and the ueation of
nan districts. Pilknda is seen as the best solution to cultiaate local democracy in Indonesia

afier the collapse of the New Order. During Soeharto rule, democracy at the local lnel
was seen as 'deail', especially with the emetgence of local strongmnt and central political
elites (stationary bandits). During that time,local leaders were merely seen as tools to take
care lakarta's interest instead of that of the local people. Howeuer, afier the downfall of the
Soeharto regime, people's hopes for changes through Pilkada and the creation of nan district
failed to materialize. This is due to continuous strong role played by local strongmm who
used stationary bandits to block political transformations ftom taking place. This article,
therefore, discusses the role played local strongmen and stationary bandits in both during
the Soeharto and Reformasi period. The main focus of this article is to analyze how the

intuaction between local strongmen and the stationary bandits during the Naa Order and
the Reformasi era contributed to the creation of new districts, and to discuss the strategy of
those rooingbandits in dominating and exploiting the district politics. The main argument
of this article is that local strongmen and roaing bandits are still controlling local politics,
though lndonesia has undergone political for almost a decade. Local demouacy is still
dictated by the interest of local elites.

penunj
'Iakartr
(yang

Fenihil
uPaya
pelbag
annya
seperti

ika& h
dari b€
dikont:

pusat.
Negarc

diband
Masya
menjac

kenyar
karena
mereki

mudal
menjac

atau p
Masyarakat Indonesia pada umumnya menggunakan istilah'pemekeran (daerah).' Istilah ini kurang
tepat kerana secara harfiah kata tersebut berasal dari 'mekar'yang berarti tumbuh semakin besar. Ini
dapat diibaratkan dengan bunga yang sedang mekar, selalu diawali dari tunas, kuncup, dan kembang.
Perubahan daripada tunas ke kuncup dan kuncup menjadi kembang menunjukkan evolusi bentuk
dari kecil hingga besar. Kerana i@ jika istilah pemekaran digunakan untuk memahami penciptaan

provinsi, kabupateq atau kota baru, maka hal ini keliru. Ini karena kenyataannya pemekaran daerah
justru memperkecil daerah asaf bukan sebaliknya. Oleh karena itu, konsep yang tepat untuk penciptaan daerah otonom baru (provinsi, kabupaten, atau kota) adalah redistricting (meninjau ulang
besaran wilayah). Tetapi untuk kepentingan makalah ini, penulis menggunakan kedua istilah tersebut
secara bergantian dengan maksud dan tujuan yang sama.

di FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten. Kandidat doktor ilmu politik
dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia. E-mail: [email protected]

Dosen

1.4

futnal Pamong haja

meruP
yang r

sebaga

Masya

mesti
membr

'fakart
sedang

fakarta

Ur

Edisi

7r

PILKADA DAN REDISTRICTING: DINAMTKA pOLtTtK
LOKAL
DALAM poLtnK tuDonesn uene renoeioinesj

Pendahuluan
Pemilihan kepala daerah atau

disingkat sebagai pilkada dan peme_
karan daerah merupakan muklizat
(demokrasi) bagi rakyat Indonesia. Ini
karena keduanya menjadi instrumen
transformasi politik yang lebih nyata

bagi

rakyat, terutami

mendorong

- kokohnya
semakin
hak politik dai
kebebasan sipil (potiticat rights and ciail
Iiberties). Pada pada era Orde Baru,
pemilihan kepala daeratr, baik itu
gubernur, bupati, ataupun wali kota
selalu dilakukan melafui mekanisme

gelunjukan oleh pemerintah pusat di
jakarta'yang meniadakan pilihan rakyat

(yang

-direpresentasikan oleh DpRb).
Penihilan
rakyat ini disebabkan oleir
uP:ya pemerintah pusat untuk menjaga
pelbagai kepentingan dan kekuasi_
annya di daerah. Sumber ekonomi
seperti kayu (hutan), timah, batu bara,
ikan, hingga minyak merupakan sedikit
dari beraneka kepentingan yang paling
dikontrol dan digenggam oten penguasl
pusat. Slogan birokrat sebagai tAbdi
l9g"ru' pada masa itu lebih penting
ditandingkan dengan slogan AbdI
Masyarakat.' Realita ini disebabkan
menjadi Abdi Negara memberikan

kenyamanan bagi aparatur birokrat
karena memberikan keunfungan bagi
mereka. Kenaikan pangkit yan;
mudah lagi cepaf (kemungkinan)

menjadi anggota parlemen

daerah

atau pusat, hingga pemberian hadiatr,
merupakan sedikit dari banyak contoh
yang mendorong para birokrat berperan
setagai Abdi Negara daripada Abdi
Masyarakat. Sebagai bartemya, mereka

mesti mampu menyediakan

dan

memberikan kemudahan bagi elit-elit

'lakarta,' termasuk menjaga bisnis yang
!d*S dilaksanakan oleh-,orang-*".,[
fakarta' di daerah administratif ,ie.eka]
Untungny4 mekanisme (tidak

Edbi 76 - 2070

profesional)

ini

berhasil dipadamkan

manakala Soeharto jatuh. Beibagai aksi
negatif selama Orde Bam, dalam iklim

Reformasi, coba

termasuk

di

untuk

dihilangkan,

dalamnya sikap dan

perilaku tidak profesional para birokrat
seperti diurai (singkat) di atas. Maka
dari itu, diperkenalkanlah sebuah
mekanisme yang disebut pemilihan
kepala daerah secara langsung sebagai
wujud dari kemerdekaan wargi di level
lokal untuk memilih kepala Jaerahnya
sendiri. Asumsinya, dengan mekanisme
ini, maka akan terpufuslah intervensi
'tangan-tangan Jakarta, di daerah.
Dengan memilih seseorang yang
dianggap merepresentasikan tepertuai
dan.
-kepentingan rakyat seLmpat,

kebijakan Pilkada diiokong tanpa

penolakan oleh hampir seluruh rakyat
Indonesia. Bahkan sebelum itu, melalui

Undang-undang No.

22 tahun lggg

tentang Pemerintahan Daerah (otonomi
daerah), presiden Habibie menetapkan
lagi perundTgan mengenai redistricting

(pemekaran daerah).
Pemekaran daerah adalah safu dari

beberapa kebijakan yang diformulasi
oleh pemerintah unfuk merealisasikan
tuntutan reformasi atas perbaikan
sistem administrasi publik di Indonesia.
Melalui mekanisme pemekaran daeralr,
pelayanan yang awalnya hanya dirasa_
kan oleh segelintir orang, khususnya
mereka yang tinggal di dan dekat kota
saj4 kini terdistribusi dan lebih dirasakan
serta dimanfaatkan oleh masyarakat

yang lebih luas jangkauannya.
Persoalannya, benarkah demikian? Apa
betul bahwa Pilkada akan menihilkan

kekuasaan pusat? Atau, jangan-jangan
penguasa daerahlah yang mengganti_

kan hegemoni elit-elit 'Jakarta,? -5"hir,
itu, sejauh manakah pemekaran daerah
benar-benar dilandaskan pada keperluan
akan pelayanan yang le6ih dekat paaa

15

';;trfl}!,trf,'i,:;#::l:f;3!i!;##:'i:#i'^'
pada analisis makalah ini' Tanpa
makalah
warga? Mungkinkah, pemekaran
elit li"*p""yui f:::"'::l bahwa
digunakan s"oagu' instrrlmen
persoalan
semua
ini mampu meniawab
untuk mendapatkan lagi kekuasaarulya r"""r" tiu,ll seperti yang diajukan di
datam
di d.aerah, karena uitunt ut
utu" t"Udutttya elaborasi ini mencoba
daerah pemekaran il*- 1i""to"yu) *""gu"au"g diskusi lebih laniut
akan memerlukan kepala daerah

yang

*""E"""i -Jsumsi tentang demokrasi
baru, ahli parlimen iaru' kakitangan t^o-tui *"tutui
mekanisme Pilkada dan
b-aru
keraiaan baru dan r"ir,-r"i., yang.
daerah'
oula? Benarkah Pilkada dan

pemekaran

pemekaran

stationary _Bondits dan Locat
'-^"'- *
- ong*tnt,DalamPolitikordeBaru
sebaliknya? aneka persg{an
,- i,t
Irierujuk Pldu beberapa kaiian'
meniawab
Untuk
dalam urrturu.y. -l.iltt-:" (1986)' Kunio
di atas, makalah i.i Jiuait""'te
han Vedi Hadiz (tog:l t:**:
beberapa seksion, yulto' Pertama' ii;it
bisnis menvebutkan beberapa nama sarlana
menguraikan ,r,"rrg"'iui politik

m:l*l.f?fryfi:1"#Tllil
orde Baru' Bisnis yang dilakukan

oleh *ij"i*;iu"n*l

ekonomi-politik

khususnya pada

ekonomi

mereka d

(1993; 2l

qara C

Rusia di
erdapat
antara k

yurgdik
waldtt

I

p"litik

(

bercirikr

rcpreif

he*ayaa

'pusat',

I

reiin

rnesi p
Earah

dit-ba

elit-elit'|akarta'meffiritat'titttggu.kl l"'do""'iu'
gu*' berwajah oligarki kapitalis'
daerah di Indonesiu'-"%"tt saiirlntuk o'a"
vr""git"t,,,
meniaga roda bisnil di;ek"t';*Y:
15:'-.*qt?ll',#tX'f;
ini ialah Para
tupiiuti'. di..T.d'i::ia
Ii1ffi;,"":;"'h;;yi;itu"pauugui
Maksudnva'
kapitalis
k";;;;;;;ia tiiat ;;i"k"
-selnu'
perangkat
seperti
ini
iuga di
iapitalis.
"s",
diganggu oleh warga i"*iuon. 1rr,u:.1 l;ilp.k
elit u"l"tupu ""gira Asia Tenggara lainnya'
aktivitas yang dil"';kL oleh
kekuatan
pusat adalah *"rrii"i*t birokrasi uiak dilanlaskan kepada-

mrye

hnl;-"xi:Tl#;,"rut"";:nfiil:T-"ruI"'ru;:,,'"T.::i"'T::;
Pu:"tT
x"a"u,-menganalisis bu" *u*pu bersaing

Frsat

kepada kuasa to'ot

dtu{

masa

91T
dft;;""'"iii.
rm
bebas' Kebanyakan 'dari kelompok
;J##; rilkada yang terjErambab
kemudahan
pelbagai
ulu'u" ii'potttoti.'oieh
'!t'in"g*"i'
kewuiudan t"*
t"rp.r*t"yi'

qtb*lkan Pfmerintah kepadanya'
it" dalam bentuk modal' kebiiademokrasirotar $an'jilJ"aurtJiu'""t"t L"tutt
hinggl fasilitas'
;ill"i= pemiliiian" kepala daerah kan''n*Xittu"
perialanan

mengenai

densan
-y*g^;6;"lara oleh
oligarkikum--pulan
tiptah
a*tuh'
kekuasaan 'o'u"g-o'ittg'it';i
'
tersebut'
'"'tu
bersifut
(oligarki elit du"'uh;-'*enjadi awal ffi"rit yang
'"*tt
iiiili ot'::qet''-199:]

Eiadtul

dit

dae

bihan I

dtoflir
LEPcttt

frddr

lrdtGft

Ftur

1

li|.L

FqEp
{Lllk

re&fd

secara langsung)

dari bahasar,
nasionalisme

t"ugJ;uk"i'd""*r"vu ""i"p"t1v1
(1996) mengenal
etnik dlibut menguatnya dan'McGuire & olson

keputradaerurtu"utui'tl"t"it""]po[iik
";;l;"-^T:*"ll1
keputradaerahan
beruiung pada pemisah"an' dalam

bandits. dan roaing bandits
t"""".iduntuk diambil perhatian dan
aituitt""'t Kajian kedua sariana di atas

t*iiii"y

arti
sebab'
a*t"r'
*""i"Jl p""tittg karena beberapamereka
kata tain pemek"r; ;;";
kalian
p"iti*u, uruUor"asi dalam
indukyangb"rb"d" ";ikae"i"t; q1
bagaimana
menuju
secara eksplisit menjelaskan
Baru
stationary bandits orde
J"ii

roaing bandits 1yu'g b"rluku pada

Reformasi menjadi bahasan

era)

terakhir

dalam

negara
kelompok- 9tig."t5
pengurasan
dan
melakukan eksploitasi

lurnal Pamotg Praia
16

trm
i.r
?.r
&
hj
bC
tu
L-

tu
At

d
dl

PTLKADA DAN REDISTRICr-,NG: DtNAtilKA pOLtTtK LOKAL
DALAM POLIIIK
YANG TERDENOKRASI

'NDONESIA

ekonomi dalam wilayah negara yang
mereka diami. Walaupun kajian Olson
(1993; 2000) hanya difokuskan pada
negara China pada awal abad ke-20 dan
Rusia di awal tahun 1990-an, namun
terdapat beberapa persamaan karakter
antara Indonesia dengan lokus kajian
,vang dikajinya, antaranya: (i) Rusia pada
waktu sebelum terjadi transformasi
politik (di bawah kuasa Uni Soviet)
bercirikan pemerintahan yang diktatorrepresif dan 'Moskow' menyedot
kekayaan daerah demi kepentingan elit
'pusat', seperti yang berlaku pada masa
rejim Soeharto berkuasa; (ii) transformasi politik yang cepat dan tidak
terarah telah dimanJaatkan oleh oligarki
elit
-baik pusat maupun daerah - untuk
memperkaya diri mereka; (iii) setelah
terjadinya perubahan politik, oligarki
elit daerah melakukan eksploitasi berlebihan terhadap kekayaan alam yang
dimilikinya berteraskan slogan demi
kepentingan daerah/etnik peribumi; (iv)
lndonesia dan Rusia ketika melakukan
transformasi sama-sama mengikuti
jalur pasar bebas; dan (v) pemerintah
pusat di kedua negara pada masa ini
tidak mampu menghentikan aktivitas
pengurasan berlebihan yang dilakukan
oleh kelompok oligarki elit di level lokal,
sehingga memunculkan penderitaan
rakyat termasuk kemerosotan lingku-

ngan hidup yang diistilahkan oleh Olson
sebagai tragedy of the commons.

Kedua, reformasi politik yang
dilakukan oleh kedua negara (Indonesia
dan Rusia) temyata tidak berlabuh
pada kebaikan dan kesejahteraan yang
dicitakary tetapi terjerembab ke dalam
penguasaan para bandit baru (roaing
bandits). Mengikuti realitas ini, Olson
(2000:xxvii) menyatakan:
The lifiing of the iron curtain reaealed
something else that the deaeloped nations of
the West, whether they had been winners or
losers inWorldWar II, did not expect to see:
an extraordinary amount of offical corrupion
and Mafia-style crime?

Berkait dengan kedua hal tersebut
diatas, ketiga, impak anjakan ini para
Iocal strongmens lama, kelompok yang

(pemah) dipelihara oleh diktator

pusat, baik di Indonesia atau di Rusia,

maupun 'orang kuaf baru di daerah
kini memainkan peranan dominan di

aras lokal. Persoalannya, apa yarrg
dimaksud dengan stationary bandits dan
roaing bandits dalam kajian McGuire &
Olson (1996) dan Olson (2000)?
Secara sederhana, yang dimaksud
dengan stationary bandits, tulis McGuire
& Olson (1996:93) ialah: " ... are rulers
rnith a long-lasting base. ..., they also want
to maximize their own incomes." Sedangkan
roaing bandits:

3 Konsep bandit di sini serupa dengan konsep bandit sosial tipe kedua
yang dikonsepsikan oleh Hob-

sbawm. Menyitir Hobsbawm (1972:17), secara umum yang dimaksud dengan bandit sosial; "... as
peasant outlaws whom the lord and state regard as criminals, but who rernain in peasant society, and
are considered by their people as heroeg as champions, avengers, fighters for justice, perhaps even
leaders of liberation, and in any case as men to be admired helped and supported." Sedangkan pembagian mengenai bandit sosial menurut pandangan Hobsbawm (1972:76) adalah sebagai berikut "...
the crucial fact about the bandi/s social situation is its ambiguity. He is an outsider and rebef a poor
man who refuses to accept the normal rules of poverty.... This draws him close to the poor: he is one of
them. It sets him in opposition to the hierardry of power, wealth and influence: he is not one of them....
At the same time the bandit
inevitably, drawn into the web of wealth and power, because, unlike
other pea-sants, he acquires wealth and exerts power. He is'one of us'who is constantly in the process
of becoming associated with 'them'."

it

Eilisi 76 - 2070

17

PILKADA DAN REDISTRrcNNG: DINAMIKA POLITIK LoKAL
DALAN POLITIK'NDONESIA YANG TERDEHOKRAS'

.'.. are rulers without a realm of their
own who use their armies to maximize their
own incomes. ln doing so, roaing bandits
are perpetually mooing around, leaaing a

place afer it is plundered. ln this respect
they are aery similar to nomads. The form of
organization that results from this behaaior
is called anarchy.

(McGuire & Olson 1996:93)

Dalam tulisan Olson terdahulu
yang bertajuk Dictatorship, democracy,
and deaelopment (1993), rooing bandits
dimaknai: "rationally settles down and
takes his theft in the form of regular taxation
and at the same time maintains a monopoly

on theft in his domain, then those from
whom he exacts taxes will haae an incentiue
to produce" (Olson 1993:568).

Lantas, bagaimana menerangkan
aktivitas mereka dalam kehidupan
keseharian? Pada masa rejim diktatorrepresif berkuasa, terdapat seorang
bandit yang menguasai sebuah teritori
yang sangat luas, ia berperanan seperti
sebuah stasiun di mana banyak kelompok yang dikuasai dan dinaunginya
untuk berkumpul dalam satu destinasi,
yakni mengumpulkan kekayaan dan
menjaga kekuasaan (penguasa pusat
tersebut). Satu saja kelebihan stationary
bandit, menurut Olson (2000), ialah dia

tidak menguras habis sumber daya
di teritori kekuasaannya. Ia bahkan
akan menjaga wilayah tersebu!
memberikan keleluasaan pada local
strongmens, patronnya

untuk

terus
beraktivitas sebagaimana biasanya.
Dengan cara ini, sang stationary bandits

akan dapat menarik pungutan yang
merupakan sandaran hidupnya dengan
kekal. Setelah rejim diktator-represif

ini runtuh, bandit besar hilan& dan
muncullah apa yang disebut Olson
dengan roaing bandits, bandit-bandit
kecil yang pemah dipelihara oleh
bandit besar untuk mengumpulkan
dan meraup keuntungan bagS stationary

bandits. Roaing bandits adalah bandit
jenis berbeda yang saat ini mengambil
alih posisi dan peranan yang pemah
dimainkan oleh bandit besar (dalam
level dan skala teritori yang lebih kecil).
Menurut pandangan McGuire & Olson
(1996) dan Olson (2000), bandit jenis ini
bukan hanya menjarah habis kawasan
yang dikuasainya demi keuntungan dan
kekayaan yang selama ini mereka tidak
pernah peroleh. Tetapi juga berupaya
mencari tempat atau kawasan baru
untuk dijarah. Tentunya, dengan cara
berkolaborasi dengan bandit tempatan
di daerah yang akan dieksploitasinya.
Rejim Orde Baru Soeharto (beserta

keluarga dan kroninya)

berjaya

menguras kekayaan daerah Acetu
Riau, Kalimantan Timur, Papua, dan
beberapa daerah laru hanya untuk
menyebut beberapa tempat saja
sambil membangun dan memelihara
local strongmens guna menjaga serta
mempertahankan kekuasaannya di
tingkat daerah.a Kuasa dan legitimasi
Soeharto beserta keluarga dan kroninya

terbangun akibat dari kemampuannya
menggerakkan ekonomi Indonesia yang
sedang terpuruk akibat kesalahurusan
pada tempo kepemimpinan Soekamo.
Pembenahan ekonomi yang disokong
oleh oll boom pada era tahun 1970-an
memberikan keunfungan yang besar
baginya untuk menginstitusionalisasi
legitimasi kuasa. Oleh karena itu,
tanpa hendak menyianyiakan momen

fuber:

dan

dimc

pelua

Hctrasaanr

Srau

polit

hadapa
--gandal

tGsi

WaIaul

hgan

bes

b

I

sel

Bgnkt
sekal

teril
d
Soeh

yar

Dengar

Local strongmen inilah di kemudian hari yang menjadi cikal-bakal roving bandits dengan mengikut
teknik dan cara yang mereka intemalisasi semasa bernaung di bawah kuaia rejim orde baru.

18

Jurnal Pamong Prajo

lf-zn

PILKADA DAN REDISTRTflNG: D|NAMIKA pOLtftK LOKAL
DALAN POLIfIK INDONESIA YANC TERDE,/'OKRASI

Gambar 1. Stationary bandits dalam era Orde Baru

dan
tidak
baru
cara

lmrber: dimodifikasi oleh penulis dari teori Olson (1993;2000).

tatan

dan peluang, Soeharto
Acetu

.

dan
saja

kekuasaannya
(atau politics

menjalankan

lewat personal rule

personage) dengan
"f
mengandalkan kekuasaan
yang berada

di

hadapannya dengan cara tangan

besi.

Walaupun diperintah

serta

di
ya
ya

yang

besar

itu,

h€an

dengan

besi (diktator-represif), namun
Seturto berhasil mengawal ekonomi
Indonesia ke aras yang belum pemah
diepai sebelumnya. Bahkan untuk
pencapaian ih1 Indonesia dipuji oleh
World Bank menjadi salah satu'keajaiban
Asia' sekaligus 'macan Asia'. Oleh
karena teritori yang begitu luas untuk
dikontrol dan diatur (dalam perspektif

pengurasan sumber daya alam),
uuka Soeharto membagikan pelbagai

Lcrrudahan dan fasilitas kepada para
irdividu yang mau menjadi kroninya.
Dengan semakin berkumpulnya
hrasa pada diri Soeharto, tidak ada pihak
vang berani menghadang keinginannya.
Beberapa jenderal yang berani
berpendapat lairu tersingkir daripada

Flisi

76

- 2070

lingkaran dalam Soeharto. Tetapi
situlah kelebihan dan kepiawaian
Soeharto yang apabila mengutip
terminologi Olson disebut sebagai

di

stationary bandit, beliau tidak menguras

habis kekayaan Indonesia seorang diri,
tetapi beliau membagi-bagikan konsesi

sumber daya kepada kolega, klien
dan kroninya asperti diilustrasikan
dalam Gambar 1. Bahkan beliau
sengaja membentuk banyak kelompok
local strongmens yang juga mendapat

keuntungan dari loyalitas mereka. Pada
suatu titik dengan naluri terukumya,
Soeharto membiarkan Indonesia berada
pada kondisi tertentu yang menurutnya
cukup bagi penduduk untuk terus kekal
berusaha dan juga cukup baginya untuk
menguras kekayaan. Oleh sebab itu,
merujuk pada analisis ini, Indonesia

dapat dikatakan maju tetapi tidak
sampai kepada titik yang maksimal
karena berbagai'penguasaan' dikawal

dan distribusikan sesuai

perintah

stationary bandit.

19

PILKADA DAN REDISTNCflNG: DINA&KA pOLtTtK LOKAL
DALAN POUNK NDONESIA YANG IERDENOKRASI

Gambar 2. Anjakan stationary bandits kepada roaingbanilifs pada era Reformasi

sel
asl

m€

KC

dip
m€

lol
hx

dil
da

tts

d

pd

ht

dae

fctl

F
3a
rd

Sumber: dimodifikasi oleh penulis dari teori Olson (1993;2000).

Ketika krisis ekonomi

terjadi

pada tahun 1997 dan berujung pada
kejafuhan Soeharto, warga Indonesia
bernafas lega karena percaya bahwa
perubahan ke arah yang lebih baik
telah terbuka. Harapan tergesemya
kekuasaan diktator-represif oleh rejim
Reformasi membersihkan Indonesia
dari aktivitas ekonomi-politik oligarki
elit seperti diurai di atas temyata tidak
terjadi. Local strongmens selaku kroni
Soeharto di daeralu kini telah menjelma
menjadi penguasa baru menggantikan
peranan rejim Orde Baru di aras lokal
dengan menggunakan cara-cara lama
ketika mereka mencengkram daerah.
Pada masa ini mereka telah menjelma
menjadi bandit baru yang menjarah
dengan cara lebih dahsyat daripada
sebelumnya (lihat Gambar 2 di atas).
Dan, perilaku banditisme ini menjadi
semakin terlegitimasi dan terformalkan

ketika Pilkada dan pemekaran daerah
dilembarkan dalam lembaran negara
pasca Orde Baru.

20

Pilkada: Proses Pendemokrasian
Lokal Yang Terampas

Asumsi umum

mengatakan

bahwa demokrasi di tingkat lokal akan
mendapatkan kekuatan apabila terjadi
penyerahan mandat (politik) langsung
dari warga kepada para kepala daerah.

Oleh sebab iht terdapat beberapa
keuntungan ketika Pilkada langsung
dilaksanakan. Pertama, berwujudnya
legitimasi politik pimpinan daerah.
Hal ini dimungkinkan karena kepala
daerah yang dipilih mendapat mandat

dan legitimasi yang sangat

kuat
karena didukung langsung oleh suara
pemilih yang nyata (real aoters) yang
merefleksikan kepentingan konstituen

pemilih. Legitimasi menjadi hal yang
sangat penting (modal politik) dan
diperlukan oleh suatu
yang akan atau sedang berkuasa.
beda dengan pemilihan kepala daerah
sebelumnya, pemilihan kepala daerah
tidak langsung yang telah memberikan
pelajaran (berharga) bahwa pemilihan

Jurnal Pamong Prajt

ft

PILKADA DAN REDISTRICTING: DINAMIKA POLITIK LOKAL
DALAM POLITIK INDONESIA YANG TERDEITOKRASI

f:fomd

ini

kerap kali

membiaskan

rumput.
fGdu4 Pilkada langsung mampu
serta mewujudkan local
Ketika seorang kandidat
neniadi kepala daerah, baik itu
gubernur, bupati, atau wali
reka mereka akan meningkatkan
akuntabilitasnya. Hal ini
oleh karena obligasi moral
'modal' politik menjadi
yang harus dilaksanakan
wuiud pembangunan legitimasi
ryerti mana tersebut di atas.
hanya bermanfaat bagi kepala
pada semasa itu saja, tetapi
untuk pengundian periode
datang. Ketig4 apabila local
[r ini berhasil diwujudkan,
i rakyat di akar

d

optimalisasi
balances

equilibrium

antara lembaga-

negara dapat

berujung

mberdayaan masyarakat dan
proses demokrasi

di

level

Keempat, Pilkada langsung
kesadaran politik
Erutama yang berkait rapat
halitas partisipasi publik. Ini

,r.larn pilkad+

ataupun (sekadar) sebagai shadow
state. Tidak sedikit local strongmens
yang kemudian menghadirkan konsesi
politik dengan calon atau elit partai di
tingkat lokal yang berujung pada praktik
ekonomi informal (informal economy).
Semua kemungkinan ini banyak
terjadi di Lrdonesia. Sebab, sebahagian
besar kandidat kepala daerah yang akan

turut serta dalam kontestasi Pilkada
kerap kali harus menyewa 'perahu'
atau 'kenderaan' agar mendapat
dukungan dari partai politik yang akan

masyarakat
menggunakan kearifannya,

mengusungnya dalam Pilkada. Sampai
dengan pertengahan tahun 2008, semua
calon kepala daerah mesti disokong oleh
parti politik yang mendapatkan kursi
L5% di parlemen. Tetapi sejak keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang
membenarkan calon bebas bertanding,

elit politik bahwa
kedaulatan politik yang
ialah rakyat dan bukan

maka sokongan dari partai tidak

dan kepeduliannya
xsrtukan (sendiri) siapa
-lggap pantas dan layak
pemimpin. Selain itu,
-tadii^ipun memberikan jalan
ffisl

aktivitas seperti apa yang dibuat oleh
para local strongmens dalam konteks
Pilkada seperti sekarang ini?
Boleh dikatakan bahwa Pilkada
tidak dengan serta merta menciptakan
keadaan yang demokratik di tingkat
lokal. Walau sampai saat ini telahbanyak
penyelenggaraan Pilkada di seluruh
tingkatan, tapi selalu saja muncul
ancaman pencederaan ke atas demokrasi itu sendiri. Salah satunya adalah
munculnya local strongmens sebagai
pemain politik yang menggantikan
peran oligarki elit Orde Baru, baik dalam
wujud institusi pemerintahan daerah

1lotr6klainnya.

persoalanny4 apakah benar
Pilkada, demokrasi lokal
dmgan serta merta? Apa

Erra ia tidak memunculkan

politik uang atau mobilisasi
yang berlaku pada era
Apa yang dilakukan dan

ryerti

Iagi krusial walaupun tetap penting.
Mereka yang mencalonkan diri melalui
jalur independen (calon bebas), wajib
memenuhi beberapa persyaratan yang
antaranya ialah warga negara Indonesia,

berdomisili sekurang-kurangnya lima
tahun di daerahnyo mengumpulkan
bukti dukungan dari pemilih dengan
menunjukkan fotokopi Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dengan jumlah yang

21

PILKADA DAN RED,STRICTING: DINA$KA POLITIK LOKAL
DALAN POLIiIK INDONES'A UANG TERDEilOKRASI

disesuaikan dengan bilangan pemilih
di daerah masing-masing, dan beberapa
persyaratan lain. Namun malangnya,
persentase calon yang menang dari
jalur bebas ini tidaklah banyak, bahkan
dapat dihitung jari. Oleh karena itu,
calon lebih senang didukung oleh
partai politik, karena kemungkinan
menang sangat besar. Yang menjadi
masalah ialah tercefusnya mekanisme
'sewa perahu', membayar jasa sewa
partai yang mendukungnya terutama
calon dari luar kader partai yang kelak
digunakan sebagai kendaraan politik
seseorang kandidat. Sudah menjadi
rahasiaumum, nominal'sewa kendaraan'
kadang berjumlah fantastis (di atas Rp2
miliar) (Kompas 23 |uli 2010).
Kandidat tidak hanya dibebani
biaya'sewa,' tetapi juga mereka diminta
untuk mendanai pelbagai biaya aktivitas
seperti kampanye, menyewa pakar
political marketing, membangun sar€ma
fisik di kantung-kantung suara, image

building serta image bubbling (dalam
rangka menyukseskan calon) dan
banyak lagi. Tetapi untuk membiayai
itu semua, banyak calon yang tidak
memiliki cukup dana.s Oleh sebab itu,
para calon kepala daerah acap kali
mencari pengusaha-pengusaha untuk
bergabung sebagai'investor politik.'
Sebagai imbalan atas investasi politik
karena ikut serta dalam menjayakan
seseorang kandidat dalam Pilkada,
para pengusaha dijanjikan mendapat
banyak hak istimewa (perlindungan
ekonomi dan politik) di kemudian hari
kelak. Pada waktu menjadi kepala
daeratL dengan menggunakan otoritas

formal yang dimiliki oleh sang calorl

para investor politik

mendapatkan
pelbagai projek melalui tender (kadang
kala fiktif, yang selama Orde Baru pun
telah berlangsung dengan cara yang
mutakhir) (lihat Gambar 3 di bawah

ini).

kepala daerah di lndonesia diperlukan uang miliaran rupiah. Misalnya, untuk menjadi wali kota seorang calon bisa menghabiskan RpO3 -5 miliar, Bupati RpQ5-10 miliar, dan gubemur
Rp20-100 miliar (Kompas 23 fuli 2010), padahal pendapatan mereka dari gaji tidak dapat menutuPi
pengelaran sebanyak itu. Merujuk pada Litbang Kompas (23 Juli 2010), total gaji dan beberapa tunjangan seorang wali kota selama lima tahun ialah Rp300-420 juta, sedangkan bupati dan gubemur
(dalm komposisi yang sama dengan wali kota) masing-masing Rp300-420 juta dan Rp510-610 juta. Jika
merujuk selisih antara biaya Pilkada dan pendapatan, maka muncul pertanyaan: Dari mana asal uang
miliaran rupiah yang dimiliki oleh para kandidat selama Pilkada-dari para investor politik atau dirinya sendiri? Apabila dana itu datang dari para investor politik, maka persoalannya: Bagaimana sang
kepala daerah mengembalikan dana yang sangat besar yang telah dipinjamnya? Dari projek-projek
pembangunan daerah? Namun, jika dana tersebut datang dari diri sang kandidat sendiri-jika sang
kepala daerah terpilih adalah birokrat karir, maka tidak heran apabila mayoritas rakyat selalu muak
dengan perilaku koruptif pejabat publik di lndonesia. Analisis Profesor Dr. Mudrajad Kuncoro, dosen
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (FE UGM), menyatakan bahwa bukan hal yang mustahil
dalam Pilkada tahun 2010 yang menyelenggankan24 pemilihan langsung kepala daerah para calon
akan menghabiskan dana lebih kurang Rp4 triliun-jika merujuk pada angka yang diperlukan untuk
menjadi kepala daerah pada paragraf di atas (Kompas 23 Juli 2010). Kondisi ini menakutkan karena pesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah menghadirkan paradoksnya. Ini karena untuk
menjadi pimpinan eksekutif di daerah (entah itu gubemur, bupati, dan wali kota) seor.rng kandidat
memerlukan dana miliaran rupiah, dan sesudah terpilih mereka dihrntut menciptakan pemerintahan
yang bersih. Jika dihubungkan antara gaji dan pengeluaran dalam Pilkada-gaji gubemur Rp8,7 juta
sedangkan bupati Rp5,2 juta, maka butuh berapa lama seorang kepala daerah mampu mengembalikan
uang sebesar pengeluarannya (menjadi wali kota Rp0,3 -5 miliar; Bupati Rp0,5-10 miliar; dan gubemur
Rp2G100 miliar)?

5 Untuk menjadi

22

lurnal Pamong Praja

PILKADA DAN REDISTRICTING: DINAM,KA POLITIK LOKAL
DA,LAM POLITIK INDONESIA YANG TERDENOKRASI

Gambar 3. Pilkada dan mekanisme rooingbandits

(dalam
dan

Kendaraan Politik
6*;:;!6:.-"" -::.lr
;1!-il.r
F:l:{'
I aar.aaaaaarrrrrarrrrlrrrrrrrlaarrrrrrrrtrrrrrrrrtrartlarrt

l,',Ii[qry
I .rrrrrrr""r
L-ji--J
:

tidak
itu,
kali
untuk
itik.'
politik

:
:

t:

! Political uarreting i

hari
kepala

otoritas

Merujuk realitas di atas, dapatlah

calon,

tkan

drpetik pelajaran bahwa melalui
Hlkada hubungan penguasa dan

Pun
yang
bawah

pengusaha yang selama Orde Baru telah
berlangsung harmonis menjadi semakin
hbih mesra dan intim. Selain itu, pada
lahap pra-Pilkada calon penguasa telah

berani melakukan'transaksi ekonomipolitik' dengan investor politik demi
hepentingan mereka dikemudian
had. Kegilaan semakin meradang

tungubernur

ryabila calon kepala daerah yang
Elah melakukan 'transaksi ataupun
Lsrsesi ekonomi-politik' dengan
pengusaha dipilih menjadi kepala

Iika

tanggungjawab

men-

gr.bemur

utupi

sal uang
atau disanS

iika sang
muak
dosen

nustahil
calon

untuk
kar-

untuk
kandidat
Rp8,7 juta

gubemur

daerah. Maknanya

&s

semestinya

ditetapkan melalui mekanisme tender.
Inilah awal dari perampasan hak warga,
khususnya dalam bidang ekonomi.
Perampasan inilah kemudiannya dikenal

dengan istilah informal economy.
Mengikut Reno (1992:3), ekonomi
informal ialah:
...fficials' control oaer informal markets
defines their domestic exercise of political
pou)er as well as their society's relations with
foreigners. This situation supports analyses
that conclude that informal markets are
integrally linked to the exercise of political
power.

Oleh karena itu, dari sisi pengusaha,

komitmen transaksi yang telah

ekonomi informal boleh diartikan

harus

sebagai kompensasi atas peranannya
sebagai 'investor politik'. Ini wajar
(dalam perspektif pengusaha) karena di
manapun para invenstor menanamkan
modal, tujuannya hanya satu yaitu
melipatgandakan kapital. Karenanya,
apabila mereka menanamkan modal
pada salah seorang kandidat kepala
daerah, dan kemudian kandidat tersebut
menang, maka tujuan melipatgandakan
kapital tidak mungkin tidak berlaku.
Sedangkary dari sisi kepala daerah yang
dipilif; pemberian projek dan berbagai

dibuat pada awal Pilkada

dil.aksanakan. Merujuk pada kajian
Harris-White (1999) beberapa komitmen
dapat berupa: (i) manipulasi kebijakan
rrtuk kepentingan pengusaha (yang
dah menyokongnya pada masa praHlkada), (ii) pemaksanaan swastanisasi
set-aset pemerintah (daerah), dan (iii)
berlakunya transaksi 'bawah-tangan'
rrtara pengusaha dan penguasa dalam
Erder pemerintah.
fika dilihat lebih dalam, praktik
iri menyalahi aturan sebab projek
Elisi

pemerintahan daerah

76

- 2070

23

DALAN POUNK INDONESIA YANG TERDEMOKRASI

kemudahan kepada'investor politik'
merupakan mekanisme'politik balas
jasa'atas bantuan pengusaha yang telah
menyediakan begitu banyak dana dalam
persaingan Pilkadanya.

Kehidupan warga jika demikian
akan menjadi sangat suram. Dalam lima
tahun menjabaf umpamany4 kepala
daerah mesti mengembalikan dana
pinjamannya beserta'bunga' (yang telah

ditetapkan sebelumnya). Tidak hanya
ih, keinginan kepala daerah untuk
memperkaya diri (sendiri) pun menjadi
motivasi lain yang dapat dipastikan
akan semakin menyengsarakan rakyat.
Langkah yang sering kali dilakukaru
antaranya adalah: (i) intensifikasi dan
ekstensifikasi pajak serta retribusi,
(ii) manipulasi anggaran projek, (iii)
penjualan aset (milik) daera[ sampai
dengan (iv) penjualansumber daya alam
milik daerah atau negara (Leo Agustino

mereka kini telah menjadi pemer€m
utama perampokan dan perampasan
kedaulatan dan kekayaan sipil. Mengapa
demikian? Secara otomatis, pengusaha
yang tidak melibatkan dirinya pada

konsesi politik Pilkada sudah dapat
ditebak tidak pernah akan mendapatkan
projek, walaupun perusahannya pantas
untuk mendapat atau membangun
suatu projek pekerjaan. Di sisi lairy
masyarakat tidak dapat mengkritik
mekanisme curang ini sebab kepala
daerah tidak akan mendengar pelbagai
kritik yang ditujukan padanya.6 Para
kepala daerah hanya memikirkan
bagaimana utang yang dipinjamnya

dapat dilunasi dengan

pelbagai

projek yang akan dijalankan

oleh
pemerintahnya. Kalaupun di kemudian
hari nanti setelah utangnya dapat dibayar dan masih tersisa banyak projek,
maka pekerj aantersebutakandiambilnya

200e).

sendiri untuk mempersiapkan biaya

Jika demikian, maka mekanisme
roving bandits telah berlaku pada era

pada Pilkada berikutnya.

Pilkada. Para bandit (baru ini) tidak lagi
menjadi kakitangan stationary bandits
seperti pada zaman Orde Baru, tetapi

Kegilaan ini tidak berhenti sampai
Pilkada pun tidak jarang

di sana.

melahirkan pemerintah bayangan
(shadow goaernment).7 Pemerintah

Bahkan apabila kepala daerah dipilih adalah local strongmens seperti terjadi di Banten misalnya, maka
kelompok yang bemaung di bawah orang kuat daerah ini berani'memasang badan'untuk menjaga
posisi/jawatan yang dinaungnya. Untuk perbincangan lebih lanjut lihat Masaki & Abdul Hamid
(2008) dan Syarif Hidayat (2009).
Secara singkat Reno (1992:1) berpandangan, bahwa keberadaan shadow state tidak dapat dipisahkan
dari adanya praktik ekonomi informal sebab sebagai berikut: "... legally proscribed production and
exchange that contributes no revenues to govemrnent." Lebih lanjut Reno (1992:3) mengatakan shadow
state hadir oleh karena terjadinya pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal. Penyebab utama

pelapukan tersebuf antaranya ialah, sebab aparatur penyelenggara pemerintah formal mengalami
ketidakmampuan ataupun ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuatan-kekuatan yang berada di
luar struktur pemerintahan, sehingga (pada akhimya) penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak
dikendalikan oleh otoritas informal. Senafas dengan hal itu, Harriss-White (1999:15) menulis: "Some
elements of the shadow state are played simultaneously by real state players, e.g. Corrupt lines of
tribute, patronage/clientelage. Other shadow state livelihoods are a form of self employmenf though
they depend on state employees, politicians and other interested social forces for their incomes e.g.
private armies enforcing black or corrupt contracts, intermediaries, technical fixers, gatekeepers,
adjudicators of disputes, confidants, consultants, and chore performers. Hence the real state with its
shadow is bigger than the formal state and has a vested interest in the perpetuation of a stricken and
porous state. The shadow state spills spatially into the lanes surrounding offices and into the private
(some argue the'female') domestic space of an official's residence. This must be the most vivid image
of the blurred boundaries between state and society."

24

Jurnal Pamong Praja

bay,

dale

ars

pad

Ftr

hP.

Aela

ditu
tedl

dcnl
ne'n
daer

rFn

iri

s

LrF

diti
Ho
iila

f"t/,
lGsa

da

DALAM POLITIK'NDONESIA UANG TERDEMOKRASI

pemeran

Fr.rmPasan
Mengapa
pengusaha
pada

dapat
apatkan
ya pantas

membangun
Di sisi lairu

mengkritik
kepala
pelbagai

6

Para

memikirkan
dipinjamnya
pelbagai

oleh
di kemudian
dapat diak projek,
a

biaya

Enu samPar
lidak jarang
bayangan
Pemerintah

urisalnya, maka
untuk meniaga

Abdul Hamid
dipisahkan

production and
shadow
utama
mengalarni
yang berada di

lebih banyak
menulis: "Some
C-ormpt lines of
though
rr rncomes e.8.
gatekeepers,
state with its
a stricken and
into the private
nost vivid image

i

Pamonghaja

bayangan di Indonesia, khususnya
rblam stelsel Pilkada, berbeda dengan
&Eumen Reno (1992). Merujuk

pada argumen Reno, munculnya
perrerintah bayangan disebabkan oleh
Quknya pemerintah formal. Tetapi
drlam konteks Pilkad+ seperti yang
ditunjukkan makalah ini justru hadir
tetika kekuasaan lahir, berkebalikan
dengan pelapukan Reno

sehingga
kesempatan bagi calon kepala
daerah -local strongmens- pengusaha
mrbangun kerjasama segitiga. Aliansi
iri semakin menguat jika calon menjadi
Lepala daerah. Akibatnya, projek bukan
dietapkan oleh dinas terkait, tetapi oleh

mrberi

Ldompok dalam aliansi ini. Aliansi
irilah kemudiannya menjadi pemerintah

bnyangan. Mereka menetapkan projek,

hesaran biaya, dan lain sebagainya
Sagai bentuk kerjasama yang telah
direntukan sebelumnya.
Beberapa kasus Pilkada yang dapat
mrunjukkan bagaimana berlakunya
Fktik rooing bandits dan shadow state
deh local strongmens, antaranya di
hovinsi |ambi dan Provinsi Bengkulu

*lah

Pilkada di masing-masing daerah

tdesai. Pilkada Jambi dilaksanakan pada
26 luni 2005 yang dimenangkan oleh
Fsangan Zulkifli Nurdin (kombinasi
rrtara: gubernur incumbent, partisan
PAN, pengusaha) dengan Antony Zeidra
Abidin (politisi senior Partai Golongan
*,arya, pengusaha) dengan memperoleh
n3"/" suara. Sebelum Pilkada dilakuta+ dua pasangan ini mendaulat'HR'
Md strongmen di |amb1 keluarga
&kat gubemur, pengusaha konstruksi,

p€ngurus Dewan Pimpinan Daerah
Partai Golkar fambi) untuk menjadi tim
nrkses bagi pasangan calon ini sekaligus

Sagai orang kepercayaan gubernur
irumbent. Melalui jalinan kekeluargaan dan balas jasa atas kepiawaiannya
rblam menyiapkan pelbagai macam

Eliti

76

-

2070

strategi untuk memenangkan pasangan
calon dalam Pilkada, maka dikemudian
hari (setelah pasangan ini ditetapkan
sebagai kepala dan wakil kepala daerah)

'HR' diberikan pelbagai per.rnan

penting.

Menyitir Syarif Hidayat (2006:116),

'HR' sangat menentukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah
Provinsi Jambi. Beliau memainkan
peranan penting dalam beberapa hal
seperti (i) menentukan siapa yang boleh
dipromosikan menjadi pejabat daerah
(kepala-kepala dinas di seluruh Satuan
Kerja Pemerintahan Daerah) atau tidak;
(ii) beliau j,rgu memerankan peran
sebagai perwakilan (delegasi) eksekutif

ketika 'bemegosiasi' dengan para
pengusaha, bahkan lebih jauh dari itu
'HR memiliki kuasa unfuk'menyaring'

pengusaha yang akan berkompetisi
dalam pelbagai tender di Provinsi
Iambi; (iii) beliau pun turut berperan
sebagai aktor mediasi antara Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dengan
gubernur; (iv) beliau juga intermediate
antara gubemur dengan partai politik,
walau sebenamya beliau berada di luar
struktur pemerintahan formal.
'Hf{ tidak hanya menjadi
penghubung antarabirokrat, pengusaha,
partai politik LSM (di Provinsi fambi)
dengan gubemur, tetapi juga sebagai
penghubung antara Ketua DPRD (yang
kebetulan kolega akrab gubemur)
dengan partai politik, pengusaha, dan
LSM di level lokal. Peranan ganda
ini tentu menggambarkan bagaimana
pengaruh 'HR yang sangat besar di
dalam lembaga eksekutif dan legislatif.
Sebagai ilustrasi, apabila ada seorang
pengusaha yang berusaha untuk
mendapatkan tender dari pemerintah
daerah (Provinsi |ambi), maka pengusaha tadi tidak perlu berhubungan
dengan banyak pihak ataupun

PILKADA DAN REDISTRT7NG: DiNAMiKA pOLtftK LOKAL
DALAT POUNK INDONESIA YANG TERDEMOKRASI

mengeluarkan dana besar unfuk
'menyiram' anggota parlemen daerah.
Pengusaha itu hanya mengontak'HR'
agar keinginannya dapat'diperhatikan'

oleh gubernur dan ketua DPRD.
Bahkan kajian Syarif Hidayat (2006:1.47182) menunjukkan bahwa pengaruh
'HR' bukan hanya sampai keinginan
itu'diperhatikan' oleh gubernur, tetapi
sudah sampai pada tingkat kepastian
pelaksanaan projek. Di balik itu semua,
tenfu saja'HR' mendapatkan semua apa
yang diinginkiilrnya ketika projek sudah
berada di tangan pengusaha.

Berbeda dengan Pilkada Jambi
yang berlangsung dalam satu putaran,
Pilkada Provinsi Bengkulu dilaksanakan melalui dua putaran. Pada putaran
terakhir, yang diselenggarakan pada 1
Oktober 2005, pasangan calon Agusrin
Maryono (mantan anggota PKS yang
beralih ke Partai Demokrat (Ketua
DPW), pengusaha muda Bengkulu
yang sukses, etnik Mentawai) dan H.M.
Syamlan (anggota PKS, tokoh agama,
eb:dk Jawa) memperoleh dukungan
suara sebesar 54,17o/o sekaligus sebagai
pemenang Pilkada Provinsi Bengkulu

pada putaran kedua tersebut. Secara

umum/ peta relasi kekuasaan di
Provinsi Bengkulu pasca-Pilkada tidak
jauh berbeda dengan di Provinsi Jambi.
Hanya saja, shadow state dan local
strongmens di Provinsi Jambi berada di
luar struktur pemerintahan formal dan
tunggal, maka di Provinsi Bengkulu ia
berada di dalam struktur pemerintah
formal dan bersifat kelembagaan.

di
Bengkulu berasal dari tim pakar (tim
sukses) Agusrin Maryono dan H.M.
Syamlan serta para staff dari tiap-tiap
partai yang menyokong pasangan ini.
Mereka kemudian dikenal dengan'Staf
Khusus Gubemur'. Kelebihan 'Staf
Shadow state dart local strongmens

Khusus Gubemur'dibandingkan dengan

26

lembaga-lembaga formal pemerintah
daerah lainnya adalalu bahwa institusi
ini: (i) banyak membahas berbagai
'kemungkinan' birokrat m€u:ra yang
'pantas' dipromosikan (dibandingkan
Baperjakat Badan Pertimbangan f abatan
dan Kepangkatan); (ii) pendistribusian
projek banyak 'dibincangkan' dan

Indone
gubern

Emyat
dikatal

pada r
sifat yi
*lepas

lagr. R
kuasamelalui

'dimatangkan' dalam 'Staf Khusus
Gubemur'; (iii) bahkan acap kali 'Staf
Khusus Gubernur' berperan sebagai
penghubung antara gubernur dengan

membe

bkal'd

organisasi-organisasi kemasyarakatan
(Ormas), partaipolitik, sertamedia-massa
(Syarif Hidayat 2006:128). Dipercayanya
'Staff Khusus Gubemur'oleh gubemur
untuk menjadi operator bisnis dan
politik di Bengkulu bukan tanpa alasan.
Keberhasilan mereka menyiapkan
kampanye dan strategi pemenangan
Agusrin Maryono dan H.M. Syamlan
adalah salah satu alasannya. Alasan

PP. No.
bahwa
ialah:

Khusus

tepada

lain, tidak sedikit dari 'Staf

Gubernur' berpredikat profesor (Syarif
Hidayat 2006:129). Dengan diturupnya
semesta interaksi antara warga (dalam
arti luas) dengan pimpinan eksekutif
di daerah (gubemur dan wakilnya)
oleh 'Staf Khusus Gubemur', maka
terbangunlah oligarki baru yang banyak
mengurusi dan mengambil pelbagai
keputusan penting ekonomi-politik di
Provinsi Bengkulu.
Dari gambaran di atas dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa
tidak selamanya cara-cara demokratik
akan mewujudkan sistem politik yang
demokratik pula. Pilkada misalnya,
mekanisme pemiihan kepala daerah
yang dilakukan secara langsung

tentu bertujuan menihilkan

bias

parlementeriasme yang selama ini
samping bertujuan pula
mematangkan sistem politik yang
demokratik pasca Orde Baru. Tetapi
malangnya, setelah banyak Pilkada di

terjadi. Di

furnal Pamong Praja

Rcdistt

litsM'

Me

No. 78
hmben
ftnggal

Frhrml
fir)
pemban

frv)

mer

daerah,

danb ke
hubungr

dan dar
eebagai

srtralis

merrerbe

t

Seddakr

pel,ayanr

warga d
daya tar

(DAK) d

t

S€pertit

p'ihak te

&ripad;
drerah

r

beberap:

lsrantital
b'ukanlal

Flisi

76

-

PILKADA DAN REDISTRiCTING: DNAuKA POUflK LOK L
DALAII POLI|IK INDONES'A YANG TERDE,'iOKRASI

institusi
berbagai
yang

tingkan
fabatan

dan
Khusus

kali 'Staf
sebagai

dengan
akatan
yanya

gubemur

is

dan

alasan.

iapkan
Syamlan

Alasan
Khusus

(Syarif

ditutupnya
(dalam
eksekutif
wakilnya)

,

maka

banyak
pelbagai

dapat
bahwa

hrdonesia dilaksanakan, baik di level
gubernur, bupati, ataupun wali kota
Enyata hasil akhimya belum dapat
dikatakan memuaskan. Bukan hanya
lnda saat pelaksanaan Pilkada saja
dfat yang tidak demokratik muncul,
depas Pilkada pun temyata lebih
legi. Perampokan oleh oligarki elit berhrasa-keluarg+ kolega, dan kronimlalui cara'konstitusional' banyak
mrberi wama terhadap 'demokrasi
lokal'di Indonesia.

ketika autonomi dilaksanakan, ternyata

perilaku pimpinan di daerah tidak jauh
berbeda dengan perbuatan elit-elit di
Jakarta semasa Orde Baru berkuasa.

Mereka memanfaatkan

kekayaan

daerah tanpa berupaya membangun
daerah yang telah dieksplorasi dan
diekploitasinya. Oleh sebab itu, pilihan
untuk memisahkan diri dari daerah
induk yang juga telah mengeksploitasi

menjadi pilihan yang tidak dapat
ditawar.e

Melihat gelagat pemisahan yang
Reilistricting: D ai Stationary Banlirts Meni a di Roving B anilits
Merujuk Peraturan Pemerintah
No. 78 tahun 2007 tentang Tata Cara
krbentukan, Penghapusan dan

krggabungan Daerah sebelumnya
PP. No. 129 tahun 200Q menyatakan
bahwa tujuan pemekaran daerah

idah: (i) meningkatkan pelayanan
lepada masyarakat, (ii) mempercepat
pertumbuhan kehidupan demokrasi,

mempercepat

fn)

pelaksanaan

pcrrbangunan perekonomian daerah,

fiv) mempercepat pengelolaan

potensi

daerah, (v) meningkatkan keamanan
danb ketertibary dan (vi) meningkatan
hrbungan yang serasi antara pusat
dan daerah. Pemekaran diwujudkan
cebagai antitesis atas pemusatan atau
srtralisasi reiim Orde Baru yang
menerbelakangkan daerah.8 Tetapi

begitu masif setelah

diri

pengunduran

Soeharto, pemeirntah pusat
dengan sigap memformulasi aturan
pemekaran daerah. Tujuannya untuk
menyeleksi daerah-daerah yang pantas
memekarkan diri. Antara yang dinilai

untuk menentukan sebuah

daerah

boleh mekar atau tidak, ialah: (i) syarat

administratif (untuk provinsi, meliputi
adanya persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota
danbupati/wali kota yang akan menjadi
cakupan wilayah provinsi, persetujuan
DPRD provinsi induk serta rekomendasi
Menteri dalam Negeri (Mendagri), dan

rekomendasi masyarakat setempat;
syarat administratif untuk kabupaten
meliputi adanya persetujuan DPRD
kabupaten/bandar dan bupati/wali
kota yang bersangkutan, persetujuan
DPRD dan gubemur serta rekomendasi

demokratik

tik

yang

t

Setidaknya secara umumnya terdapat tiga alasan yakni: (i) ketimpangan pembangunan (ekonomi) dan
pelayanan pada daerah (calon) pemekaran oleh daerah induk-setidaknya demikian dalam perspektif
warga daerah pemekaran, (ii) eksploitasi oleh daerah induk kepada calon daerah pemekaran, dan (iii)
daya tarik bantuan pemerintah pusat, baik berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
@AK) dan bentuk bantuan lainnya.

9

Seperti telah dibahas pada catatan kaki no. 4, penggunaan istilah pemekaran membingungkan banyak
pihak termasuk Indonesianis dalam memahami makna sebenamya. Pemekaran yang berasal kata
daripada mekar sering diasosiasikan dengan bertambah besar sesebuah daerah, tetapi kenyataannya

misabry+
daerah

langsung
bias

:lama ini
iuan pula
yang
Tetapi

Pilkada di

haja

daerah yang dimekarkan justru mengalami pengecilan oleh karena daerah dibagikan ke dalam
beberapa bagian sesuai dengan keperluan. Walaupun begitu, ketika teritori menjadi lebih kecil, tetapi
h,rantitas struktur jabatan di daerah menjadi lebih banyak. Karena itu, makna pemekaran yang tepat
bukanlah 'pemekaran daerah' tetapi 'pemekaran jabatan.'

Elisi

75

- 2070

27

PILKADA DAN REDIS'RICTING : DINAMIKA POLInK LOKAL
DALAU POLITIK INDONESIA YANG TERDEMOKRASI

masyarakat setempat); (ii) syarat teknis
(faktor kemampuan ekonomi, potensi
daeratr, sosiobudaya, sosiopolitilg
demografi, luas daerah pertahanan

dan keselamatar; serta faktor lain
yang memungkinkan terselenggaranya
autonomi daerah); (iii) syarat fisik (paling
sedikit lima kabupaten/kota untuk
pembentukan provinsi, lima kecamatan
untuk pembentukan kabupaten dan tiga
kecamatan untuk pembentukan kota;
lama kotalkabupaten/provinsi tersebut
terbentuk; lokasi; calon ibu kota provinsi
atau kabupaten; sarana dan prasarana
pemerintahan).
Namun demikian, munculnya
gerakan pemekaran daerah

pasca

Orde Baru, tidak selalu terkait dengan
visinya. Ada alasan lain yang justru
menjadi pendorong utama pemekaran
daerah; makalah ini berargumen
alasan tersebut adalah nasionalisme
etnik. Proses pemisahan daerah yang
dilandaskan oleh primordialitas dan
etinisitas (nasionalisme etnik) muncul
sejalan dengan menguatnya politik
representasi @olitics of representation)
dalam formasi negara pasca jatuhnya
Soeharto (Bertrand 2004). Kondisi
ini muncul karena ada upaya untuk
mengontruksi ulang bangunan politik
yang memungkinkan sekelompok orang
mengidentifikasi diri secara simbolik
sebagai bagian dari suatu kolektifitas
tertentu di mana praktik dalam proses
identifikasi tersebut dimobilisasi untuk
tujuan politik (pemekaran daerah).
Proses menghadirkan ikatan sosial
seperti ini kemudian dikenal istilah
politik identitas, politics of idcntity (Gurr
1993; Comell & Hartmann 1998; Jackson
2005). Tentu saja, yang dimaksud
dengan politik identitas berbeda dengan

identitas politik (political

identity).

Identitas politik merupakan konstruksi
yang menentukan posisi kepentingan

28

subjek dalam ikatan suatu komunitas

yang
ekono

politik pengorganisasian identitas, baik
identitas politik maupun identitas sosial
sebagai sumber daya dan sarana politik
(Comell & Harmann 1998:54; fackson

srtrra

cosiaL

2005:66).

melalt

politik. Sedangkan politik identitas
lebih mengacu pada mekanisme

lelom

ini

al,

diskur

Menguatnya politik identitas,
di negara poskolonial seperti

M:4,

di Indonesia menurut beberapa sarjana

nasion

terutama

politik tidak lepas dari

kegagalan
pemerintah dalam membangun perilaku

demokratik yang konsolidatif. Proses
konsolidasi atas perilaku demokratik
ini diistilahkan dengan ciaic-nationalism
(nasionalisme kewargaan). Nasionalisme kewargaan menciptakan adanya
proses politik pada berbagai peringkat