Alienasi dan Lenyapnya Batas Diri dalam

ALIENASI DAN LENYAPNYA BATAS DIRI DALAM PERSEPSI MANUSIA
(Membongkar Fenomena Alienasi pada Novel Rafilus)
Renda Yuriananta
rendayuriananta@gmail.com
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Brawijaya

Pengantar
Alienasi adalah sebuah konsep yang disampaikan Marx dalam menyatakan
keterasingan dari manusia terhadap apa pun di luar dirinya yang dipengaruhi oleh
kapitalisme. Ritzer (2012:87) menyatakan bahwa ada penyesatan dari kapitalisme terhadap
hubungan antara kerja dan hakikat manusia, penyesatan itulah yang dikatakan alienasi oleh
Marx. Manusia terasingkan oleh hakikat manusia dan kerja. Secara lebih luas, alienasi tidak
hanya terbatas pada permasalahan kapitalisme. Alienasi juga terjadi dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan, keagamaan, dan aspek-aspek
yang lainnya (Sujarwa, 2011:167). Pengertian secara luas tersebut ditambahkan oleh
Kaufmann yang menyatakan bahwa pemahaman utama kita terhadap ‘alienasi’ dan
antfremdung adalah suatu keadaan manusia—keadaan teralienasi atau dikucilkan atas sesuatu
atau seseorang (Kaufmann, 2005:xxvii). Jelas bahwa alienasi bukanlah konsep yang mapan
hanya dalam suatu bidang tertentu, seperti sosiologi, tetapi konsep alienasi juga terdapat
dalam berbagai bidang yang melibatkan hubungan antara manusia dan hal lain di luar dirinya

atau bahkan dirinya sendiri. Bidang-bidang lain itu di antaranya adalah bidang politik,
budaya, agama, dan yang lainnya.
Alienasi tidak semata-mata muncul tanpa adanya hubungan antara dua hal, dalam hal
ini adalah manusia dengan dirinya sendiri, orang lain, benda, masyarakat, kelas sosial, dan
lain-lain. Hal tersebut disampaikan oleh Kaufmann (2005) yang menyatakan bahwa alienasi’
adalah istilah yang belum lengkap yang perlu dilengkapi dalam dua arah. Dua arah yang
dimaksud oleh Kaufmann adalah hubungan antara subjek dengan subjek, subjek dengan
objek, objek dengan subjek, dan objek dengan objek. Alienasi tidak akan muncul apabila
tidak ada hubungan-hubungan tersebut. Seperti dalam novel Rafillus, terdapat alienasi yang
ditimbulkan oleh orang lain, seperti kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Kelas sosial atas
teralienasi oleh harta yang mereka miliki serta oleh kelas sosial bawah, sebaliknya, kelas
soaial bawah teralienasi oleh pekerjaannya serta kelas sosial atas.
1

Dalam karya sastra, alienasi muncul sebagai bentuk representasi keterasingan manusia
dalam kehidupannya. Pada masa modern seperti saat ini, banyak manusia yang merasa
terasingkan oleh kehidupannya. Hal tersebut terjadi karena perkembangan teknologi,
pendidikan, ekonomi, budaya, dan perkembangan yang lainnya. Semakin berkembang suatu
zaman, maka masyarakat juga akan berkembang sehingga individu-individu yang tidak dapat
mengikuti perkembangan tersebut akan teralienasi dari perkembangan tersebut.

Budi Darma (yang selanjutnya BD) adalah salah satu pengarang novel yang banyak
memunculkan keterasingan-keterasingan pada para tokoh yang diciptakannya. BD sering
menciptakan tokoh dengan sudut pandang orang pertama yang menggambarkan sosok orang
ketiga dengan tanpa mengesampingkan perasaan yang dirasakan oleh orang pertama tersebut.
Penggunaan sudut pandang tersebut dapat dilihat pada novelnya, Olenka (1980), Rafilus
(1988), dan Ny. Talis (1996). Ketiga novel tersebut menceritakan orang pertama yang
menggambarkan sosok Olenka (pada novel Olenka), sosok Rafilus (pada novel Rafilus), dan
sosok Ny. Talis (pada novel Ny. Talis) dengan menggunakan dunia batin orang pertama.
Ketiga novel tersebut juga menggambarkan mengenai keterasingan para tokoh dari dunia
yang mereka tinggali. Keterasingan tersebut tidak hanya terjadi pada orang pertama saja,
tetapi juga pada tokoh-tokoh lain yang diciptakan dalam novel.
Penciptaan tokoh-tokoh yang teralienasi bukanlah tanpa alasan yang jelas. Siswanto
(2013:15—16) menjabarkan bahwa BD menciptakan tokoh-tokoh tersebut adalah karena
obsesi yang mempengaruhinya1. Dari sini, jelas bahwa faktor psikologislah yang banyak
mempengaruhi BD dalam proses kreatifnya, tanpa menyisihkan faktor sosiologi 2 dan faktor
lainnya. Oleh karena faktor psikologi adalah faktor pemengaruh utama, maka alienasi akan
banyak muncul dalam karyanya. Selain itu, BD juga merupakan tokoh yang karya sastranya
beraliran eksistensialis, di samping Iwan Simatupang dan Putu Wijaya. Biasanya, sastrawan
yang beraliran eksistensialis mengangkat permasalahan seperti, kesendirian, keterasingan,
kegilaan, dan kematian ke dalam karyanya. Hal tersebut dikarenakan aliran tersebut


1 Obsesi Budi Darma yang sejak kecil selalu mempertanyakan berbagai hal, mulai dari
ilmu pengetahuan hingga hal yang bersifat hakiki. Oleh karena itu, pertanyaanpertanyaan tersebut dijawabnya dalam novel-novel yang ia tulis dengan memunculkan
tokoh-tokoh yang seakan mencari jawaban atas keterasingan mereka (Siswanto,
2013:16)
2 Dijabarkan dalam buku Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto. Budi Darma
juga terpengaruh oleh hubungan-hubungan manusia secara sosiologis dalam mencapai
tujuan mereka. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan
orang lain. Oleh karena itu, banyak peristiwa yang ditimbulkan dari interaksi-interaksi
tersebut dan muncul pada karya-karya BD, seperti modernisasi (terdapat dalam Rafilus)
dan kenikmatan hubungan sesama jenis (terdapat dalam Olenka).

2

menggambarkan dan mempersoalkan keberadaan manusia dalam hubungannya dengan
sesama manusia, alam, dan Tuhan (Siswanto, 2013:185).
Rafilus3 adalah novel yang banyak memunculkan keterasingan tokoh di dalamnya.
Secara sosiologis, novel tersebut berlatar sosial4 daerah Surabaya, yang merupakan tempat
tinggal BD. Pengaruh aspek sosial tersebut dipadukan dengan aspek psikologi (obsesi) dan
imajinasi BD sehingga terciptalah sebuah karya yang dapat dikatakan “nyeleneh” dan

terkesan membingungkan. Novel tersebut berlatar sosial Surabaya, tetapi penciptaan tokoh
hingga alur ceritanya menimbulkan keterasingan pembaca terhadap cerita dalam novel
tersebut. Hubungan antara pembaca dan karya sastra saja sudah menampakkan alienasi, jelas
dalam karya sastra tersebut juga terdapat alienasi antara tokoh yang satu dengan tokoh yang
lainnya dan tokoh dengan peristiwa yang dialaminya.
Representasi Alienasi Individu-Individu oleh Perkembangan Zaman5
Dalam beberapa bagian novel, BD menyampaikan beberapa gagasannya mengenai
alienasi yang terjadi pada individu dan masyarakat sebagai akibat dari perkembangan zaman
manusia. Ketidakmampuan seorang individu atau masyarakat dalam beradaptasi dengan
perkembangan zaman akan membuat individu atau masyarakat tersebut dalam keadaan yang
teralienasi (Muhammad, 2011:197).
Alienasi oleh teknologi
Dalam perkembangan zaman, satu hal yang secara langsung mengalami perubahan
adalah produk manusia. Salah satu produk manusia adalah teknologi. Teknologi berkembang
sangat pesat setelah terjadinya revolusi industri di Inggris. Rakyat dan para pakar di Inggris
melakukan tatanan baru. Para pakar mengembangkan ilmu pengetahuan dan menciptakan
produk-produk praktis. Pada akhirnya, muncuullah teknologi sebagai produk manusia yang
terus berkembang. Teknologi tidak semata-mata hadir dan dapat diterima dengan mudah oleh
manusia. Para masyarakat maju, hanya membutuhkan waktu singkat untuk menyesuaikan diri
dengan teknologi. Berbeda dengan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia. Di

Indonesia membutuhkan waktu lama agar masyarakat dapat menerima perkembangan
teknologi dengan baik. Selain itu, masyarakat Indonesia masih banyak melihat suatu hal dari
3 Novel kedua Budi Darma yang terbit pada tahun 1988
4 Siswanto (2013:2—6) menjabarkan asal sosial Budi Darma dalam hubungannya dengan
karya-karyanya
5 Penggunaan istilah zaman ipilih karena peribahan zaman merujuk pada waktu berubah
yang tidak terlalu lama seperti perkembangan peradaban.

3

segi spiritual dan bukan material sehingga sulit dalam mengadaptasikan dirinya dengan
teknologi yang merupakan produk berupa hal yang bersifat material.
Perkembangan teknologi yang cukup pesat, membuat masyarakat teralienasi oleh
teknologi. Mereka merasa terasingkan oleh teknologi, terlebih bagi masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia terasingkan oleh teknologi. Secara khusus, masyarakat kelas sosial
bawah teralienasi oleh perkembangan teknologi. Hal itu terjadi karena barang-barang yang
tercipta dari perkembangan teknologi bukanlah barang-barang yang murah, melainkan barang
yang mahal harganya. Bagi kelas sosial atas, harga tidak menjadi masalah sehingga mereka
dapat sedikit lebih cepat dalam menyesuaikan diri dengan teknologi. Berbeda dengan kelas
sosial bawah, mereka harus sangat berhemat untuk menghidupi keluarganya sehingga tidak

dapat membeli barang-barang hasil perkembangan teknologi. Pada akhirnya, mereka
teralienasi oleh teknologi. BD menggambarkan alienasi masyarakat oleh teknologi adalah
sebagai berikut.
“Di banyak tempat, katanya, kamera-kamera Jumarup mengintip
kebodohan para tamunya dan keserakahan mereka mencaplok makanan. Tamu
yang mempunyai sedikit harga-diri katanya, pasti merasa dimata-matai.” (Rafilus,
hal.11)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang teralienasi oleh perkembangan
teknologi. Dalam hal ini, korban adalah masyarakat dan teknologi sebagai pelaku alienasi.
BD juga menjelaskan pada catatan kaki novel Rafilus tersebut sebagai berikut.
“Pada tahun 1980, sebelum video merajalela, saya pernah diundang oleh
seseorang untuk menghadiri pesta di rumahnya. Banyak tamu yang merasa
tersinggung, karena tuan-rumah mengerahkan sekian banyak kamera untuk
merekam mereka. Hal tersebut dikarenakan perkembangan teknologi dan
masyarakat masih merasa asing pada teknologi.” (Rafilus, hal.232)
Penjelasan BD tersebut mencerminkan sikap dari masyarakat yang masih belum siap
dalam menerima perkembangan teknologi (kamera). Terlebih, terjadinya peristiwa tersebut
adalah pada tahun 1980, yang secara pasti perkembangan teknologi mulai dapat dirasakan
seluruh orang di dunia. Pada akhirnya, individu maupun kelompok yang tidak dapat
menyesuaikan diri akan teralienasi dari perkembangan tersebut. Khususnya, bagi masyarakat

kelas soaial bawah, mereka tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi sehingga
teralienasi oleh produk-produk hasil perkembangan teknologi.
Alienasi dalam bidang teknologi

4

Selain

alienasi

dalam

perkembangan

teknologi,

BD

juga


mencoba

untuk

menggambarkan individu yang teralienasi dari perkembangan pendidikan. Perkembangan
pendidikan yang tergambar dalam novel Rafilus lebih kepada sisi negatif administrasi
pendidikan. Pendidikan bukan lagi suatu lembaga pentransfer ilmu pengetahuan yang dapat
mencerdaskan semua orang, tetapi sudah menjadi lembaga untuk berbisnis ilmu pengetahuan
sehingga tidak dapat diakses oleh semua orang, khususnya orang yang tidak mampu. Ilmu
pengetahuan menjadi sangat mahal harganya di dalam lembaga pendidikan sehingga orang
yang berpenghasilan menengah ke bawah akan sulit untuk memperoleh pendidikan yang
baik. Hal tersebut dapat dibaca pada kutipan berikut.
“Sementara itu semua sekolah yang baik jauh dari rumahnya, dan dia tidak
mempunyai sepeda, apalagi ongkos becak dan bemo. Dan semua sekolah yang
baik tidak disediakan bagi anak yang mirip pengemis. Ongkos masuk bukan main
tinggi, demikian juga sumbangan ini itu.” (Rafilus, hal.80)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan sudah beralih-fungsi. Digambarkan
juga bahwa sekolah yang bagus tidak disediakan bagi orang-orang yang tidak mampu. Hal
tersebut tercermin pada kalimat “dan semua sekolah yang baik tidak disediakan bagi anak
yang mirip pengemis”. Penggunaan istilah “anak yang mirip pengemis” merujuk pada kelas

sosial yang kurang mampu, yang mungkin masih di atas kategori pengemis. Kelas sosial di
atas pengemis saja tidak mampu mendapatkan pendidikan yang baik, apalagi dengan
pengemis dan golongan-golongan mereka yang lainnya. Dalam kutipan tersebut, Pawestri
adalah anak yang berada di kelas sosial bawah dan memiliki kecerdasan yang baik. Oleh
karena sekolah yang baik itu membutuhkan biaya yang banyak, dia pun harus bertengkar
dengan orang tuanya untuk dapat bersekolah di sekolah yang biasa saja (swasta). Pada
akhirnya, dia pun bersekolah di sekolah swasta.
Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa ada alienasi dalam bidang pendidikan.
Alienasi tersebut melibatkan dua hal, yaitu masyarakat kelas bawah sebagai korban dan
lembaga pendidikan sebagai pelaku alienasi. Masyarakat kelas sosial bawah telah teralienasi
dari lembaga pendidikan. Hal itu dikarenakan oleh ketidakmampuan masyarakat kelas bawah
mengeluarkan biaya besar untuk jasa pendidikan. Semakin besar biaya yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkan pendidikan yang baik, maka masyarakat kelas sosial bawah
akan semakin teralienasi dari perkembangan pendidikan.
Alienasi dalam bidang kebudayaan

5

Selain alienasi dalam bidang teknologi dan pendidikan, BD juga memunculkan alienasi
dalam bidang kebudayaan. Sama halnya dengan teknologi dan pendidikan, kebudayaan juga

akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, budaya sendiri
juga dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat dinamis. Kedinamisan tersebut mengakibatkan
alienasi terhadap individu-individu yang tidak dapat mengikuti perkembangan dari
kedinamisan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Waktu mereka makan, nampak mereka melakukannya bukan oleh
kebutuhan, melainkan oleh kewajiban.” (Rafilus, hal.11)
Terlihat bahwa modernisasi membuat manusia melupakan kodrat dan hakikatnya,
sehingga hanya mementingkan formalitas kewajiban atas hak yang dimiliki orang lain 6.
Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa manusia telah menjadi makhluk yang dikendalikan
oleh suatu nilai dalam masyarakat. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan dalam
menentukan langkah. Manusia seakan telah menjadi robot nilai-nilai yang berada dalam
kebudayaan. Kutipan tersebut menunjukkan masyarakat modern telah mengadaptasi budaya
kewajiban makan pada acara tertentu sehingga masyarakat modern tidak lagi menganggap
proses makan yang mereka lakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan
untuk menggugurkan kewajiban mereka atas hak dari penyelenggara acara.
Alienasi terhadap persepsi ruang yang terus berkembang juga muncul dalam novel
Rafilus. persepsi ruang adalah anggapan seseorang terhadap ruang yang dilihat olehnya, yang
akan terus berkembang seiring berkembangnya kebudayaan masyarakat tersebut. Salah satu
perihal mengenai ruang yang terus berkembang adalah bahan-bahan arsitektur hingga hasil
konkret arsitektur (dalam hal ini adalah rumah). Perkembangan tersebut mengakibatkan

perubahan terhadap persepsi ruang yang dimiliki oleh masyarakat. Pada awalnya, masyarakat
Indonesia tidak membuat rumah dengan tatanan ruang yang rumit dan terdiri atas banyak
sekali ruang. Tatana arsitektur yang seperti itu adalah adaptasi dari gaya Eropa. Da;pat di
lihat di sebagian besar rumah-rumah masyarakat Indonesia, biasanya ruang hanya terdiri atas
kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi. Persepsi atas ruang di
Indonesia sudah terbentuk seperti itu sehingga pada saat muncul gaya ruang yang baru,
masyarakat merasa teralienasi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Dan di dalam rumah terdapat sekian banyak ruang, lorong, dan lika-liku.
Saya tidak dapat membayangkan mengapa dia membuat rumah seolah-olah bukan
untuk tempat tinggal, melainkan untuk membingungkan semua orang yang
memasukinya.” (Rafilus, hal.11)
6 Salah satu materi mengenai hak dan kewajiban yang disampaikan dalam matakuliah
Etika Profesi

6

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tokoh saya merasa asing di dalam rumah yang
mewah. Tokoh saya merasa seperti dipermainkan dan dibingungkan oleh ruangan dan loronglorong di dalam rumah tersebut. Dapat dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi pada
masa modern, orang-orang sering membuat rumah yang besar dan megah dengan banyak
ruang di dalamnya. Hal tersebut mungkin tidak lagi asing bagi orang-orang yang sudah
berada dalam lingkungan yang serba mewah, berbeda dengan orang yang berada pada kelas
bawah. Orang kelas bawah umumnya memiliki rumah yang sederhana dan dapat ditinggali
oleh keluarga kecil mereka. Ketika orang kelas bawah tersebut mengunjungi tempat yang
mewah, mereka pasti akan merasakan keterasingan. Dalam novel Rafilus, latar waktu yang
digunakan adalah awal munculnya modernisasi di Indonesia. Di sana, hanya orang-orang
yang berada di kelas ataslah yang dapat menikmati dan segera beradaptasi dengan zaman
modern tersebut. Oleh karena itu, masyarakat kelas bawah akan merasa teralienasi dari segala
hal yang modern, seperti gaya rumah mewah. Jadi, jelas bahwa terdapat individu-individu
yang teralienasi dari persepsi ruang yang terus berkembang seiring dengan perkembangan
suatu zaman.
Alienasi dalam interaksi antarindividu
Dalam perkembangan zaman, nilai-nilai yang dianut oleh individu-individu dalam
masyarakat juga ikut berkembang. Perkembangan tersebut tidak menutup kemungkinan
merupakan perkembangan yang negatif. Meskipun perkembangan tersebut bersifat negatif,
tetap saja hal tersebut dianggap sebagai perkembangan. Perkembangan nilai-nilai tersebut
mengubah persepsi individu-individu dalam hubungannya dengan orang lain. Pada akhirnya,
nilai-nilai tersebut mengalienasi individu-individu dari kodrat mereka sebagai makhluk
sosial7. Salah satu nilai yang dianut masyarakat dalam hal ini adalah nilai-nilai atau tata cara
dalam berinteraksi. Nilai tersebut adalah mengenai nilai dalam berinteraksi antarindividu. Hal
tersebut tercermin dalam kutipan berikut.
“Saya mendekat, tapi mereka tetap tidak memperhatikan saya. Dan saya
pura-pura tidak memperhatikan mereka.” (Rafilus, hal.12)
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana sikap individualis dari individu terhadap
individu-individu yang lainnya dalam hal berinteraksi. Tokoh saya merasa teralienasi dari
kelompok orang yang sedang berbincang-bincang. Oleh karena kelompok orang tersebut
7 Baca buku Ilmu Sosial Budaya Dasar halaman 76 karya Abdulkadir Muhammad (2011)

7

tidak memperhatikannya di saat dia mendekat, dia pura-pura untuk tidak memperhatikan
mereka. Nilai tersebut adalah nilai yang dimiliki oleh masyarakat modern. Masyarakat
modern cenderung untuk mementingkan urusan mereka sendiri dan mengacuhkan orang lain,
seperti di daerah Eropa. Kecenderungan mementingkan diri sendiri tersebut membuat
manusia tersebut teralienasi dari kodrat mereka sebagai makhluk sosial. Di satu sisi, tokoh
saya teralienasi oleh subjek “mereka” dan di sisi lain, subjek “mereka” teralienasi dari tokoh
saya. Pada tataran di atas lagi, sebenarnya tokoh saya dan subjek “mereka” teralienasi oleh
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat serta budaya tempat kedua subjek tersebut
tinggal.
Alienasi dalam bidang profesi kultural (dukun dan medis)
Satu hal lagi yang dapat dilihat sebagai permasalahan alienasi dalam novel Rafilus
adalah teralienasinya individu-individu oleh perkembangan dalam bidang medis atas profesi
kultural. Masyarakat (khususnya Indonesia) pada masa sebelum datangnya modernisasi
menganggap bahwa dukun adalah satu-satuhya orang yang ahli dalam bidang apa pun,
termasuk bidang medis sehingga dukun menjadi salah satu profesi kultural yang kuat bagi
masyarakat. Pada masyarakat modern, bidang medis yang sebelumnya dipercayakan kepada
seorang dukun, beralih kepada dokter. Seorang dokter manjadi orang yang ahli di bidang
medis. Hal inilah yang menjadikan masyarakat yang termasuk dalam masyarakat sebelum
modern, merasa teralienasi oleh perkembangan bidang medis (dokter). Kutipan novel Rafilus
berikut akan membuktikan bagaimana alienasi tersebut dimunculkan oleh BD.
“Ketika tiba gilirannya, dukun menjadi heran. Dukun iu mengundang dukun
lain, dan dukun lain ini pun memanggil dukun lain. Ketiga dukun menyatakan
bahwa daging Rafilus terlalu keras. Mereka menyatakan menyerah. Barulah
setelah dokter datang, dia dapat dikhitan dengan cepat dan baik. Tapi dia masih
ingat, ketika dagingnya dipotong, darahnya enggan ke luar.” (Rafilus, hal.18)
Dalam kutipan tersebut terlihat ada dukun dan dokter yang dimunculkan dalam alur
cerita. Posisi dukun sebagai pengkhitan digantikan oleh dokter karena dukun tidak mampu
melakukan khitan terhadap Rafilus pada masih kecil. Hal tersebut memunculkan kesan bahwa
dukun telah teralienasi oleh perkembangan medis yang dipelajari oleh dokter. Di sisi lain,
Rafilus teralienasi oleh hasil khitan yang dilakukan oleh dokter. Dimungkinkan,
ketidakkeluaran darah dari daging Rafilus saat dikhitan oleh dokter adalah karena
kecanggihan teknologi yang dimiliki oleh dokter dan diterapkan padanya. Hal ini
menunjukkan bahwa alienasi juga terjadi dalam bidang medis. Perkembangan bidang medis
8

diakibatkan oleh perkembangan zaman. Perkembangan zaman inilah yang pada akhirnya
mengalienasi individu-individu yang tidak dapat menyesuaikan atau mengakomodasikan
dirinya dengan perkembangan zaman tersebut.
Perkembangan zaman telah memaksa individu-individu untuk segera menyesuaikan
dirinya dengan perkembangan tersebut. Apabila masih ada dari mereka yang tidak dapat
menyesuaikan diri, maka mereka akan teralienasi oleh perkembangan zaman dalam berbagai
bidang. BD menyampaikan banyak fenomena alienasi dalam novel Rafilus. Alienasi-alienasi
tersebut diantaranya adalah pada hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, manusia
dengan perkembangan teknologi, manusia dengan perkembangan pendidikan, manusia
dengan perkembangan sistem nilai, manusia dengan perkembangan objek benda (hasil
produk manusia), manusia dengan perkembangan medis, dan manusia dengan kodrat atau
hakikat manusia itu sendiri. Berbagai alienasi tersebut terdapat dalam novel BD. Hal ini
dikarenakan dalam proses kreatifnya, BD menitikberatkan proses kreatifnya pada aspek
psikologis dan menghubungkannya dengan aspek-aspek lain, seperti sosiologis dan lainnya 8.
Oleh karena itu, banyak alienasi-alienasi yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel Rafilus.
Representasi Alienasi yang Dialami oleh Kaum Buruh dan Kaum Kapitalis
Marx (dalam Scott, 2011:11) menyatakan bahwa tenaga kerja adalah suatu ekspresi,
barangkali merupakan ekspresi tertinggi, dari karakter dasar manusia. Konsep tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas bekerja manusia adalah sebuah kodrat yang telah dimiliki oleh
manusia di dunia ini. Manusia tidak dapat mengingkari hal tersebut. Apabila hal itu
dilakukan, maka manusia akan teralienasi dari hakikat manusia itu sendiri. Hal itu dijabarkan
oleh Scott (2011:11—12) sebagai berikut.
“Bagi buruh, untuk menghilangkan kontrol terhadap aktivitas manusia yang
mendasar ini sama halnya keluar menuju banyak ekspresi lain dari suatu tatanan
sosial yang teralienasi; ketidaksetaraan yang meningkat, kemiskinan yang cukup
banyak, antagonisme sosial dan perjuangan kelas, perubahan yang mendadak
dan/atau kemerosotan bahkan kaum kapitalis pun terjebak dan menderita
karenanya. Keretakan ini telah memisahkan kedua belah pihak dari
keberadaannya masing-masing.”
Secara sadar atau tidak, antara buruh dan pemilik modal telah terjadi alienasi. Alienasi
tersebut tidak hanya menjadikan buruh sebagai korban, tetapi juga kaum kapitalis atau
pemilik modal. Alienasi tersebut terjadi dari dua sisi. Kaum buruh teralienasi dari hakikat

8 Baca buku Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto (2013)

9

kerja yang mereka lakukan dan kaum kapitalis teralienasi dari buruh yang bekerja pada
mereka dan hasil kekayaan yang mereka miliki.
BD menggambarkan alienasi tersebut dalam novel Rafilus. Dia tidak hanya
menunjukkan satu sudut pandang alienasi saja, tetapi dari dua sudut pandang yang berbeda,
yaitu kaum buruh dan kaum kapitalis. Sudut pandang pertama adalah alienasi yang dialami
oleh kaum buruh dari hakikat kerja yang mereka jalani. Kutipan pendukung argumentasi
tersebut adalah sebagai berikut.
“Kadang-kadang orang lain merasa kasihan kepada dia, dan kerena itu
memberinya kesibukan lain dengan memberi sedikit upah. Mereka menyuruh dia
membeli rokok, menyemir sepatu, atau mengantar minuman. Tapi dia merasa
pekerjaan-pekerjaan tambahan itu bukan pekerjaannya, dan karena itu dia
cenderung menolak. Memang dikantor itu ada pesuruh, sementara dia bukan
pesuruh.” (Rafilus, hal.2—3)
Kutipan tersebut menunjukkan sosok pekerja yang teralienasi dari pekerjaan yang
dilakukannya. Dia merasa terasingkan oleh pekerjaan baru yang ditawarkan oleh orang lain.
Hal itu dikarenakan dia sudah terlanjur terasingkan dari hakikat kerja yang melekat padanya.
Dia hanya melakukan pekerjaan sebagai penjaga kantor, yang dilakukannya dengan penuh
rasa bosan. Dia tidak lagi dapat merasakan pekerjaan sebagai hakikat atas dirinya hidup di
dunia ini. Dia hanya merasa bahwa bekerja adalah sebuah kewajiban dan tanggung jawab
yang harus dilakukannya dengan baik. Di sini, manusia tidak lagi bebas dalam bertindak dan
bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.
Selain itu, penjaga kantor tersebut juga teralienasi dari orang-orang (orang lain) di
sekitar tempat kerjanya. Terlihat pada kalimat pertama kutipan tersebut, orang lain merasa
kasihan pada kegiatan rutin yang dilakukan oleh penjaga kantor tersebut. Penjaga kantor
tersebut seakan hanya pasrah menerima perintah dari pemilik kantor untuk menjagakan
kantor tersebut. Di sisi lain, orang lain juga teralienasi dari penjaga kantor tersebut. Orang
lain tidak memahami bagaimana perasaan dari penjaga kantor dalam menjalani rutinitas
membosankan yang dilakukan oleh penjaga kantor tersebut. Berikut adalah kutipan mengenai
alienasi orang lain tersebut oleh penjaga kantor.
“Semua orang yang melihat dia merasa betapa lambatnya waktu berlalu.
Bagi mereka tempo dalam kehidupan penjaga kantor itu benar-benar lambat.
Irama kehidupannya hanyalah itu-itu, dan sama sekali tidak pernah bergerak
cepat. Bagi orang lain dia dungu, bagi dia sendiri mungkin tidak. Bahkan
mungkin bagi dia, orang lain justru aneh.” (Rafilus, hal.3)
Tampak bahwa orang lain merasakan hal yang sangat asing dari penjaga kantor
tersebut. Dia melakukan hal yang sama setiap hari sehingga mereka yang melihat penjaga
10

kantor tersebut merasa seakan waktu berjalan begitu lambat. Penjaga kantor terasa asing bagi
bereka. Dia seakan bukan manusia pada umumnya yang cepat merasa bosan dengan aktivitas
yang dilakukan secara berulang-ulang. Dari sudut yang berbeda, mereka juga teralienasi dari
diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa merekalah yang mungkin aneh di pandangan si
penjaga kantor. Alienasi tersebut terjadi pada semua pihak yang melakukan hubungan dengan
pihak lain.
Kaum kapitalis yang menciptakan alienasi antara kaum buruh dan hakikat kerja juga
tidak terlepas dari dampak alienasi. Kaum kapitalis juga menjadi pihak yang teralienasi dari
hasil usaha mereka dan kaum buruh yang bekerja pada mereka. BD menggambarkan hal
tersebut dalam novel Rafilus sebagai berikut.
“Dan memang banyak tamu yang tidak saling mengenal. Bahkan siapa
Jumarup pun banyak di antara mereka yang tidak saling tahu dan tidak sanggup
menebak.” (Rafilus, hal.10)
“Dari pembicaraan mereka saya tahu, bahwa mereka pegawai pabrik kaos
oblong milik Jumarup di Jl. Pendegiling. Juga dari pembicaraan mereka saya tahu,
bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang pernah melihat, apalagi
bertemu dengan Jumarup. Mereka hanya berhubungan dengan atasan mereka,
yaitu orang-orang bawahan juragan mereka. Setiap pabrik atau perusahaan
memiliki pemimpin sendiri yang diangkat oleh Jumarup. Sementara itu, pegawaipegawai pabrik kaos ini ternyata juga tidak tahu siapa pemimpin pabrik tempat
mereka bekerja. Mereka hanya tahu bahwa pabrik itu kepunyaan Jumarup.”
(Rafilus, hal.12)
Kedua kutipan tersebut menunjukkan secara langsung alienasi yang dialami oleh
Jumarup (representasi dari kaum kapitalis). Jumarup teralienasi dari kaum buruh yang bekerja
padanya. Tidak ada satu buruh pun yang mengetahui bagaimana diri Jumarup secara fisik
maupun batin. Mereka hanya tahu bahwa pemilik pabrik yang mereka tempati untuk bekerja
adalah Jumarup. Selain pengetahuan itu, mereka tidak tahu apa pun mengenai Jumarup. Hal
itulah yang dirasakan sebagai alienasi yang dialami oleh pemilik modal dari para buruh yang
bekerja padanya. Jumarup juga merasakan alienasi dari hasil yang diperolehnya atau
kekayaannya. Hal itu dapat diketahui dari kutipan berikut.
“Memang Jumarup memilih tamu-tamunya secara acak, misalnya dari surat
pikiran pembaca, daftar sayembara pemenang teka-teki silang, atau sumbersumber lain yang Misbah sendiri tidak tahu. Pamannya ingin berkenalan dengan
mereka. Dan memang benar pamannya menulis sendiri beberapa kartu undangan
dengan dibantu beberapa orang. .... Kebetulan pada waktu itu pamannya bosan
terhadap pekerjaannya, dan ingin menulis beberapa undangan sendiri untuk
melupakan kebosanan dan penyakitnya.”

11

Kutipan tersebut menunjukkan alienasi yang dialami Jumarup dalam hubungannya
dengan kekayaan yang dimilikinya dan kebosanan terhadap pekerjaannya (pemilik modal).
Dia bermaksud untuk menghilangkan alienasi atas dirinya tersebut dengan cara mengadakan
acara pesta khitan anaknya dengan mengundang banyak orang, termasuk para buruh yang
bekerja padanya. Dengan cara tersebut, dia mengharapkan keterasingan yang dialaminya dari
kekayaan dan kaum buruh dapat mencair, tetapi hal itu tidak dapat terwujud dengan baik.
Jumarup tetap teralienasi dari dirinya sebagai kaum kapitalis, dari kekayaan yang
dimilikinya, dan dari buruh yang bekerja padanya.
Alienasi tidak hanya terjadi pada satu pihak yang berhubungan dengan pihak lain, tetapi
pihak lain pun juga akan merasakan alienasi. Kaum buruh teralienasi oleh hakikat kerja,
sesama buruh lainnya, dan pemilik modal. Kaum kapitalis teralienasi oleh dirinya sendiri,
kekayaan yang dimilikinya, dan kaum buruh. Alienasi tidak hanya mono-arah, melainkan
multi-arah.
Alienasi Manusia dan Lenyapnya Batas Diri dalam Persepsi
Dalam masyarakat modern, manusia sering terjebak dalam persepsi negatif yang
diciptakannya sendiri9. Manusia sering beranggapan yang tidak-tidak terhadap orang lain,
persepsi ruang, maupun situasi tertentu. Anggapan tersebut muncul karena manusia tersebut
semakin waspada dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan tidak dapat ditebak.
Ketika manusia larut dengan buaian perkembangan tersebut, maka manusia akan menjadi
makhluk yang tidak benar-benar hidup dalam hakikatnya sebagai manusia. Fenomena ini
banyak terdapat dalam novel Rafilus. BD sering memunculkan kelenyapan batas diri dalam
persepsi diri atas seorang tokoh terhadap tokoh-tokoh lainnya. Lenyapnya batas diri dalam
persepsi tersebut adalah akibat dari alienasi yang dirasakan oleh tokoh dari tokoh-tokoh
lainnya. Alianasi yang dialami oleh tokoh menimbulkan lenyapnya batas diri dalam persepsi
atas tokoh yang lainnya atau bahkan dirinya sendiri. Berikut adalah kutipan-kutipan yang
menunjukkan lenyapnya batas diri dalam persepsi tokoh dalam hubungannya dengan tokoh
lain dan dirinya sendiri.
1. Tokoh Saya yang menciptakan persepsi diri atas tokoh Rafilus. Persepsi tersebut
muncul karena alienasi yang dirasakan tokoh Saya terhadap Rafilus.
“Tentu saja kesan saya salah. Tidak mungkin dia akan mati. Meskipun
demikian hampir selamanya saya tidak dapat mengelak untuk berpendapat, bahwa
sosok tubuhnya tidak terbentuk dari daging, melainkan dari besi. Kulitnya hitam
9 Baca buku Teori Konflik Sosial karya Dean. G. Pruit dan Jeffrey, Z. Robin (2011)
12

mengkilat, seperti permukaan besi yang sering dipoles dan hampir tidak pernah
berhenti digosok.” (Rafilus, hal.7)
“Andaikata Rafilus sebuah kejanggalan, tidak pernah sebelumnya saya
menyaksikan kejanggalan seperti dia. Pernah saya mendengar orang berkepala
dua, orang yang tidak mempunyai kaki, dan orang yang mempunyai pantat tanpa
lubang. Banyak pula kejanggalan-kejanggalan lain, akan tetapi orang-orang
janggal itu tidak terbuat dari bahan yang keliru. Mereka tetap terbentuk dari
daging. Pada suatu saat mereka akan rebah, terguling ke tanah, dan kembali
menjadi tanah. Alur ke mana nyawa mereka akan melesat sudah jelas. Amal dan
perbuatan mereka akan menentukan apakah mereka akan terlempar ke sorga atau
tergelincir ke neraka. Sebaliknya, nampak benar Rafilus terbuat dari bahan yang
keliru” (Rafilus, hal.9)
“Saya sakin bahwa dia mempunyai paru, hati, ginjal, limpa, pankreas, dan
lain-lain. Meskipun demikian saya selalu memperoleh kesan, bahwa dia tidak
memerlukan apa-apa selain minyak pelumas.” (Rafilus, hal.12)
2. Tokoh Saya yang menciptakan persepsi diri atas Munandir. Persepsi tersebut muncul
karena alienasi yang dirasakan tokoh Saya terhadap Munandir.
“Meskipun sudah berkali-kali datang ke rumah saya, dan sudah berkali-kali
pula minta minum, Munandir merasa perlu memperkenalkan diri. Saya pura-pura
tidak ingat bahwa sebetulnya saya sudah mengenalnya.” (Rafilus, hal.33)
“Kadang-kadang saya menaruh curiga, jangan-jangan dia mengada-ada.
Mungkin juga dia tidak mengarang cerita, tapi otaknya sudah terlanjur uzur.
Peristiwa-peristiwa terpisah dirangkainya demikian saja. Kadang-kadang ada juga
serangkaian peristiwa yang menurut saya beruntun, oleh dia ditebar dengan cara
sembarang. Sering pula dia melantur, mengulang, berbelit, dan berkelit.
Sementara itu wajahnya selalu tampak jujur.” (Rafilus, hal.38)
3. Tokoh Saya yang menciptakan persepsi diri atas Pawestri. Persepsi tersebut muncul
karena alienasi yang dirasakan tokoh Saya terhadap Pawestri.
“Saya lupa. Sayang omong asal omong karena saya tidak tahu harus berbuat
apa. Rupanya dia mendengarkan saya juga sekedar mendengarkan. Dan rupanya
dia juga tidak tahu harus berbuat apa selain mendengarkan saya.” (Rafilus, hal.62)
“Dia memberi aba-aba agar saya kembali ke kursi saya. Kemudia dia
menyatakan, bahwa dia luar biasa sehat. Mungkin di seluruh Indonesia tidak ada
orang sesehat dia. Setahun sekali dia datang ke dokter, dan semua dokter yang
memeriksanya tidak pernah tidak terkagum-kagum. Darahnya benar-benar
istimewa, dan sulit dicari tandingannya. Dia akan tetap tegak berhadapan dengan
segala macam penyakit, sebab semua penyakit justru takut kepadanya.” (Rafilus,
hal.68)
4. Tokoh Saya yang menciptakan persepsi diri atas Jumarup. Persepsi tersebut muncul
karena alienasi yang dirasakan tokoh Saya terhadap Jumarup.
“Mungkin saya tidak akan bertemu dengan Rafilus seandainya Jumarup
mempunyai sopan-santun. Dia mengundang banyak tamu, tapi pada saat mereka
13

datang, dia tidak ada. Di mana anak Jumarup dan seluruh keluarganya, tidak juga
ada yang tahu.
5. Tokoh Rafilus yang menciptakan persepsi diri atas dirinya. Persepsi tersebut muncul
karena alienasi yang dirasakan Rafilus terhadap dirinya sendiri.
“Dia selalu berusaha untuk menyadarkan dirinya bahwa dia hanyalah
sebatang kara. Untuk selamanya dia akan sendirian. Hubungannya dengan siapa
pun hanya bersifat sementara. Dia hanya mengharapkan apa yang mungki dia
capai, yaitu mempunyai anak.” (Rafilus, hal.9)
“Dan entah mengapa dia sering menginginkan kepalanya melesat, lepas dari
tubuhnya, kemudian tangannya mengelus-elus kepalanya sendiri.” (Rafilus,
hal.24)
6. Tokoh Rafilus yang menciptakan persepsi diri atas Munandir. Persepsi tersebut
muncul karena alienasi yang dirasakan Rafilus terhadap Munandir.
“Sebaliknya, Munandir kurang sadar mengenai apa yang diceritakannya.
Dia membaurkan kenyataan dengan khayalan, dan sebaliknya. Dan dia terpukau
oleh gerak otak dan perasaannya sendiri, sampai-sampai kata-katanya sendiri
membiusnya. Dia sendiri tidak menyadari sejauh mana dia sedang mengkaburkan
kenyataan dan bukan kenyataan.” (Rafilus, hal.144—145)
7. Tokoh Munandir yang menciptakan persepsi diri atas Rafilus. Persepsi tersebut
muncul karena alienasi yang dirasakan Munandir terhadap Rafilus.
“Katanya sekali lagi, Rafilus luar-biasa baik. Meskipun demikian dia
menaruh curiga, bahwa kebaikan Rafilus hanyalah usaha untuk mengubur
kedekilan jiwanya belaka. Gerak dan warna mata Rafilus, katanya, merupakan
pasang-surut pertempuran antara kebajikan dan kejahatan. Dalam sekian banyak
pertempuran, kebajikan hampir-hampir tidak pernah menang.” (Rafilus, hal.35)
“Andaikata setan dapat dilihat, pasti warna tubuh setan gelap bagaikan
tubuh Rafilus. Dan kegelapan tubuh Rafilus adalah kegelapan jiwanya.” (Rafilus,
hal.149)
8. Tokoh Pawestri yang menciptakan persepsi atas ayah dan ibunya. Persepsi tersebut
muncul karena alienasi yang dirasakan tokoh Pawestri terhadap ayah dan ibunya.
“Kalau saya telusuri kembali, saya merasa bahwa sebenarnya saya tidak
pernah mempunyai ayah. Dia hanyalah tubuh, bukannya sosok. Seorang ayah
yang sebenarnya adalah sebuah lembaga. Dan sebuah lembaga jauh lebih kekal
daripada sekedar tubuh melulu. Andaikata dia dapat menanamkan nilai-nilai
dalam diri saya, nilai-nilai itu masih saya junjung kendati dia sendiri sudah lama
hilang dari peredaran. Saya tidak pernah mendengar kata-katanya yang menarik,
sikapnya yang mengesankan, dan arahannya yang benar-benar memberi bobot
kepada saya dan saudara-saudara saya. Semua anak dibiarkannya liar, seolah
membikin anak hanyalah keterlanjuran mengumbar nafsu.” (Rafilus, hal.89—90)

14

“Andaikata dia mampus, mungkin ibunya baru sanggup mencuci
pakaiannya sendiri. Tapi karena dia sanggup bernafas, ibunya masih senang
memperlakukannya sebagai budak belian. Sering ibunya mengatakan, andaikata
tidak ada dia, tidak mungkin ada dia, yaitu Pawestri. Dan ibunya menuntut haknya
sebagai orang yang pernah mengadakannya, meskipun sama sekali dia tidak
pernah meminta diadakan. Dia justru sering menyesal mengapa dia sudah terlanjur
ada. Dan karena sudah terlanjur ada itulah, dia harus tegak.” (Rafilus, hal.104)
Poin-poin kutipan di atas menunjukkan alienasi yang dialami oleh para tokoh dalam
novel tersebut. Alienasi tersebut mengakibatkan terciptanya persepsi diri dari seorang tokoh
terhadap tokoh yang lainnya. Persepsi tersebut kebanyakan berupa persepsi negatif yang
mempengaruhi tingkat alienasi dari tokoh yang teralienasi. Semakin benyak persepsi negatif
yang diciptakan oleh seorang tokoh, maka akan semakin teralienasilah tokoh tersebut dari
tokoh yang dipersepsikannya. Semua tokoh yang diciptakan BD dalam novel Rafilus
mengalami alienasi dari tokoh lain dan bahkan dari diri tokoh itu sendiri. Mengenai bukti
alienasi tersebut, dapat dilihat pada kutipan-kutipan mengenai persepsi yang diciptakan oleh
tokoh terhadap tokoh lain di atas.
Simpulan
BD adalah seorang pengarang beraliran eksistensialis, yang sering memunculkan
tokoh-tokoh bermasalah atau “aneh” dalam karya-karyanya. Salah satu karya BD adalah
novel Rafilus. Novel Rafilus banyak memunculkan tokoh-tokoh yang teralienasi dari dunia.
Mereka teralienasi dari zaman yang terus berkembang, perbedaan kelas sosial, tokoh lain, diri
mereka sendiri, dan sampai mengakibatkan persepsi negatif terhadap tokoh lain, bahkan diri
mereka sendiri.
Alineasi tercipta atas hubungan tokoh dengan tokoh lain, tokoh dengan benda lain di
luar dirinya, tokoh dengan dirinya sendiri, dan tokoh dengan perkembangan zaman. Alienasi
yang dirasakan oleh setiap tokoh tersebut menciptakan persepsi diri dari tokoh yang
teralienasi tersebut. Semakin banyak persepsi negatif yang diciptakan oleh tokoh, maka tokoh
tersebut akan semakin teralienasi dari tokoh lain, bahkan dirinya sendiri. Terbukti, bahwa
banyak tokoh yang semakin teralienasi karena persepsi negatif yang mereka ciptakan.
Daftar Pustaka
Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Surabaya: JP BOOKS
Darma, Budi. 2008. Rafilus. Yogyakarta: Jalasutra
Muhammad, Abdulkadir. 2011. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
15

Piliang, Yasraf Amir. 2008. Multiplisitas dan Diferensi: Definisi Desain, Teknologi dan
Humanitas. Yogyakarta: Jalasutra
Pruit, Dean. G. dan Jeffrey, Z. Robin. 2011. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Glosarium: 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan Sosial
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Schacht, Richard. 2005. Alienasi Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Scott, John. 2011. Sosiologi The Key Concepts. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Siswanto, Wahyudi. 2013. Pengantar Teori Sastra. Malang: Aditya Media Publishing
Soetomo, Greg. 2001. “Seni, Kebudayaan, dan Marxisme Perasaan Putus Asa Para
Intelektual Kiri?” dalam Basis (nomor 9-10, September-Oktober 2001) hal.28
Sujarwa. 2011. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

16