Observational learning theory dan televi

Teori Observational Learning dan Televisi Kita.
Albert Bandura adalah seorang tokoh psikologi belajar yang sangat terkenal, ia percaya bahwa
perilaku manusia terbentuk melalui proses belajar. Suatu ketika Bandura ingin meneliti pengaruh
tayangan yang dilihat anak terhadap perilaku mereka, caranya ia memisahkan dua kelompok
anak; kelompok pertama diberi tayangan tanpa kekerasan, sedangkan satu kelompok anak lagi
diberi tayangan orang yang memukul boneka. Setelah tayangan usai anak-anak yang menonton
tayangan bermuatan kekerasan ternyata mencontoh perilaku tersebut dengan memukul boneka
yang diberikan kepada mereka, sedangkan kelompok yang pertama tidak, kesimpulannya adalah:
manusia belajar melalui apa yang mereka amati ( Deaux & Wrightmans, 1993). Kesimpulan
tersebut kemudian menjadi inti dari teori belajar melalui pengamatan (observational learning /
social learning theory)
Observational learning bukan perkara baru bagi orang indonesia, kita punya pepatah yang
menggambarkan bahwa anak akan cenderung mengikuti orang yang mereka jadikan suri teladan;
“bila guru kencing berdiri maka murid kencing berlari”. Meski terlihat sederhana namun teori
observational learning ini memiliki pengaruh yang dahsyat dalam memahami perilaku manusia,
dari yang pemahaman mengenai perlaku sederhana sampai dengan rancangan psikoterapi yang
rumit. Dengan memahami prinsip tersebut kita dapat memprediksi dan membentuk perilaku
individu. Bila kita berharap bahwa anak – anak kita akan menjadi anak yang jujur dan
menghargai orang lain maka kita harus menjadi model kejujuran dan menghargai orang lain
tersebut, kebalikannya bila anak kita selalu terpapar dengan contoh-contoh perilaku yang buruk,
maka coba anda bayangkan sendiri bagaimana jadinya anak-anak kita.

Teknologi Informasi yang canggih saat ini membuat anak sangat mudah terpapar dengan nilainilai yang tidak kita harapkan, dalam hal ini televisi adalah salahsatu media yang memiliki andil
besar untuk mentransmisikan berbagai nilai kepada anak, meski tidak semua acara ditelevisi di
Indonesia itu buruk, namun silahkan anda lihat tayangan sinetron-sinetron yang berisi berbagai
lakon jahat dan acara infotainment yang dibuat untuk membongkar aib orang, siapkan selembar
kertas lalu coba anda tabulasi berapa banyak adegan atau dialog buruk yang mungkin meracuni

otak anak, lalu anda dapat meramalkan pengaruhnya bila tidak ada langkah pencegahan serius
yang anda lakukan.
Meski ada beberapa acara anak masih bagus, namun kita semakin kekurangan program televisi
yang membangun karakter anak seperti keluarga Cemara si Unyil dan Film Litle House In the
prairie yang dibintangi oleh Michael Landon atau acara lain, kini anak-anak kita lebih banyak
diserbu dengan acara musik dengan guyonan yang merendahkan martabat manusia, berita yang
memaparkan kekerasan secara vulgar, acara gosip yang menggunjingkan aib orang atau adeganadegan yang semakin permisif terhadap seksualitas yang tidak layak ditonton anak. Berbagai
protes terhadap buruknya tayangan televisi kita tidak berpengaruh terlalu banyak bagi
keberlangsungan acara-acara yang memuat nilai-nilai buruk tersebut, mungkin keuntungan bisnis
dari acara yang memiliki rating tinggi tersebut membutakan mata para produser acara, mereka
tidak sadar bahwa jika terus ditolerir maka kerusakan selanjutnya akan menjamah anak-anak
mereka sendiri
Jane Brooks (2011), seorang ahli perkembangan anak mengemukakan data mengenai pengaruh
televisi pada anak yang diperoleh berbagai penelitian, ia menyatakan bahwa: Pertama,

frekwensi menonton televisi yang tinggi pada anak usia dibawah tiga tahun akan mengurangi
jumlah waktu tidur mereka, padahal tidur sangat penting bagi perkembangan fisik dan mental
anak. Kedua, dari 2.500 orang sampel anak yang diteliti ditemukan bahwa semakin banyak
anak menonton televisi maka semakin rendah tingkat konsentrasi anak. Ketiga, kebiasaan
menonton televisi yang tinggi sebelum usia 3 tahun berhubungan dengan prestasi matematis dan
membaca yang rendah. Selain itu Brooks juga menyatakan pernyataan yang mengejutkan
sejalan dengan pernyataan Bandura diatas

bahwa tayangan kekerasan pada televisi akan

meningkatkan agresifitas pada anak maupun orang dewasa. Selain itu Broke juga menambahkan
bahwa para remaja yang sering menonton tayangan yang bermuatan seksual cenderung
melakukan hubungan seks pada usia muda, belum ada data resmi mengenai tingkat konten
seksualitas pada acara di televisi di Indonesia, namun di Amerika pesan seksual terdapat pada 83
persen acara televisi yang paling populer (beberapa tayangan populer tersebut juga di putar
distasiun TV kita), pesan seksual tersbut muncul 7 Kali per jam (Brooks, 2011), mungkin kita
juga perlu melakukan pengamatan serupa untuk mengetahui acara televisi kita.

Bagaimana mekanisme belajar melalui pengamatan bisa terjadi? Beberapa ahli yang mencoba
meneliti pengaruh dari tayangan


agresif terhadap anak menemukan bahwa tayangan yang

mengandung kekerasan mempengaruhi anak melalui tiga mekanisme, Pertama tayangan
tersebut mengajari orang mengenai pola perilaku yang belum dipernah ia ketahui sebelumnya,
anak yang menonton perilaku kekerasan di televisi akan menyimpan pola perilaku tersebut dalam
khasanah pikirannya yang sewaktu-waktu dapat diaktifkan, Kedua tayangan yang ia saksikan
akan mendorong dia untuk mengikuti apa yang dilihatnya tersebut sewaktu-waktu, anak yang
sering menyaksikan kekerasan akan lebih cenderung berperilaku agresif dibandingkan dengan
anak yang yang tidak familiar dengan hal-hal yang berbau kekerasan, Ketiga, tayangan yang
mengandung kekerasan akan mengurangi pengaruh nilai-nilai moral yang mengekang mereka
untuk berlaku negatif (desentisisasi), nilai-nilai baik tersebut semakin luntur bila mereka terus
menerus terpapar dengan hal negatif setiap hari (Anderson & Dill, 2000). Bahkan sebongkah
batu karang pun akan berlubang bila ditetesi air setiap hari bukan?
Kita terus berharap bahwa para pengambil kebijakan dapat melindungi anak kita dari kehancuran
karakter akibat pengaruh tontonan yang buruk dari televisi. Namun jika kebijakan tersebut tak
kunjung muncul maka sebagai orangtua kita bisa melindungi anak kita dari pengaruh buruk
televisi dengan cara memonitor tontonan mereka. Lebih baik lagi jika kita memilih secara
selektif program yang dapat ditonton anak dan mendampingi mereka saat menyaksikan acara
tersebut. lebih baik lagi kita menjauhkan televisi dari anak kita bila mereka sudah terlalu

kecanduan menonton, jika tidak mungkin sekaligus, maka lakukanlah secara perlahan, tantang
mereka untuk mengurangi jam menonton televisi mereka dan berikan reward, bila mereka
berhasil melakukannya. Buat mereka kehilangan waktu untuk berada di depan televisi dengan
cara merancang kegiatan keluarga / pendidikan yang menyenangkan selain TV, usahakan untuk
tidak menempatkan TV di ruang yang santai keluarga sehingga perlahan-lahan mereka
kehilangan asosiasi antara kondisi santai dengan menonton televisi, ganti media hiburan dari
televisi menjadi media lain, seperti membaca atau kegiatan hobi lain yang menyenangkan.
Untuk mereduksi pengaruh buruk televisi yang sudah melekat kuat dibenak mereka maka kita
bisa menggunakan prinsip utama dari observational learning, yakni manusia belajar dengan

mengamati, caranya adalah berikan suri tauladan kepada anak anda mengenai nilai yang ingin
anda ajarkan kepada mereka, jangan hanya bicara namun jalankan secara konsisten mengenai
nilai-nilai yang anda ajarkan. Para nabi melakukan prinsip ini, mereka melakukan tindakan jujur
ketika mereka mengajarkan kejujuran, mereka menunjukkan perilaku kasih sayang ketika
mengajarkan kasih sayang kepada orang lain. Lama kelamaan perilaku baik mereka akan
menjadi kebiasaan yang akan menjadi karakter yang menetap. Bandura juga menjelaskan bahwa
konsekwensi yang diterima oleh suri teladan (model) akan mempengaruhi anak, bila orang yang
dijadikan acuan mendapat ganjaran positif karena berperilaku jujur misalnya, maka anak akan
cenderung mengikuti perilaku yang dilakukan oleh model prinsip ini disebut dengan vicarious
learning, gunakan prinsip ini dengan menunjukkan konsekwensi positif yang diterima orangorang ketika mereka mengamalkan nilai-nilai yang baik, hal yang paling penting adalah kasih

sayang dan pengawasan dari orang tua, anak-anak terus menerus dimonitor keberadaannya oleh
orang tua lebih kecil kemungkinannya terjerumus dalam perilaku negatif dibanding mereka yang
tidak diawasi.
Pengaruh televisi bagi anak bukan satu-satunya yang harus kita waspadai, media teknologi lain
dan pengaruh lingkungan sekitar tidak kalah berbahayanya, meski pada akhirnya kita akan
meletakkan tanggung jawab pada diri mereka sendiri, namun sebelumnya kita perlu menciptakan
lingkungan yang aman bagi anak agar mereka bisa mendapatkan pembelajaran sehingga ketika
memutuskan mereka bisa memilih yang terbaik, sebab anak bukan cuma dibentuk oleh
bawaannya (nature) namun juga sangat dibentuk lingkungannya (nurture), ia bukan cuma
tanggung jawabnya sendiri, namun juga tanggung jawab lingkungannya kata penyair Mark
Twain.

Daftar Pustaka
Anderson, Craig. A & Dill, Karen E. (2000) Video Games and Aggressive Thoughts Feelings,
and Behaviour in the Laboratory and in life, journal of personality and social psychology.
The American psychological Association. Inc. Vol 78, No. 4 772-779.
Brooks, Jane (2011) The Process of Parenting (8th ed.), New York: Mc Graw Hill International
Edition
Deaux, kay. Dane, Francis. C & Wrightmans, Lawrence. S. (1993) Social Psychology in the 90’s
(6th ed.) Pacific Grove, California: Brooks / Cole Publishing Company.

Wortman, Camille B., Loftus Elizabth F.,& Weaver, Charles (2000) Psychology
International Edition: Mc Graw Hill Company

(5th Ed.)

Data Diri Penulis
Y. Ibrahim, Psikolog klinis Anak, lulus dari Program Magister Profesi Klinis Anak Universitas
Indonesia Pada Tahun 2014. Pernah aktif di Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI, Yayasan Pulih,
American Redcross dan Panti Asuhan untuk korban Konflik Aceh, bisa dihubungi melalui 0852
2683 9250
No. Rekening: 0231059961 BNI Cabang UI Depok, atas nama Yasir