Industri Strategis Faktor Utama Pendoron

INDUSTRI STRATEGIS FAKTOR UTAMA PENDORONG
PEMBANGUNAN EKONOMI
Oleh : Dr. Ir. Agus Puji Prasetyono, M. Eng.
Perjalanan panjang “pasang-surut” tata kelola industri strategis di Indonesia
saat ini teribaratkan bagai sebuah legenda yang akan selalu diceritakan kepada
anak cucu kita secara turun
temurun. To be continued,
begitulah
jejak
rekam
fondasi industri strategis
yang telah direncanakan, diimplementasikan
dan
“dihentikan
sepihak”
karena
berbagai
sebab
termasuk beban defisit
keuangan Negara periode
tahun 1998-1999.

Saat itu, penilaian terhadap
perkembangan
usaha
komersil sepuluh Badan
Usaha Milik Negara Industri
Strategis (BUMNIS) tersebut
dianggap ada sejumlah kekurangan diantaranya bahwa pola tata kelola yang
dilakukan tidak dapat berjalan dengan baik. Lemahnya dukungan regulasi
sebagai dasar perencanaan program pemerintah menjadi salah satu penyebab
“fatal” atas ambruknya sebahagian pilar utama penopang industri strategis
nasional yang sebelumnya telah berhasil dibangun dengan kekuatan penuh
pemerintah saat itu. Kelemahan ini kemudian memicu berbagai kepentingan
ekonomi dan politik untuk mengkritisi, mengevaluasi dan bahkan menghentikan
“sementara” mimpi besar bangsa Indonesia untuk keluar dari negara terbelakang
menjadi negara berdaulat berbasis industri yang maju dan mandiri.
Sekalipun mungkin industri strategis dinilai hanya menjadi proyek yang inefisien dari aspek ekonomis, dan merugi karena banyaknya ongkos pekerjaan
yang terbuang (sunk cost). Namun faktanya, tidak bisa tidak sunk cost selalu
menjadi pertimbangan ketika pengambil keputusan harus melihat rencana
pembangunan jauh kedepan dengan menganalisis faktor-faktor dominan yang
berpengaruh terutama investasi dalam sektor industri strategis, secara

komprehensif-integral bagi sebuah negara yang ingin maju, mandiri dan
sejahtera. Sebagai contoh, biaya yang akan dimunculkan untuk kegiatan riset-

pengembangan Iptek dan inovasi pasti menimbulkan biaya cukup besar, yang
biasanya tidak bisa dipulihkan dalam rentang waktu yang pendek. Setelah
dikeluarkan, biaya tersebut seolah hangus dan hal itu seharusnya tidak dijadikan
sebagai faktor penghambat yang mempengaruhi keputusan investasi masa
depan.
Pentingnya Industri Strategis Untuk Negara.
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat” Undang-undang Dasar 1945, pasal 33.
Jika Undang-Undang Dasar sudah mengamanatkan, maka “wajib” hukumnya bagi
pemerintah untuk menjalankan amanat tersebut tanpa kecuali. Mengembangkan
industri strategis adalah satu cara yang paling tepat dalam menciptakan cabang
cabang produksi penting untuk menopang sebuah Negara dalam mengolah bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Efektif sejak tahun 1970-1998 hanya satu putra terbaik bangsa saja yang cukup

berani menjalankan dengan sungguh sungguh implementasi dari amanat undang
undang dasar pasal 33 ini. Prof. DR. Ir. BJ. Habibie secara revolusioner
menciptakan empat tahapan transformasi industri. Sesuai dengan makalah
pidato beliau di Bonn, Jerman, tahun 1983 yang berjudul:
"Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri suatu Negara
sedang Berkembang",
teridentifikasi bahwa pemilihan jenis industri yang paling tepat untuk Indonesia
harus sesuai dengan kenyataan geografis Indonesia itu sendiri, untuk apa
membangun istana megah jika tanah hanya sepetak. Permasalahan
pembangunan bangsa harus dapat diatasi dengan membangun industri strategis
yang mampu mengatasi seluruh permasalahan tersebut. Jika Indonesia adalah
sebagai Negara kepulauan, maka industri transportasi darat, laut, dan udara
adalah strategis untuk mengatasi problem mobilitas penduduk dan barang,
karena itulah PT.DI, PT PAL, dan PT INKA termasuk dalam industri strategis.
Selain itu, luasnya geografis Indonesia membutuhkan jaringan teknologi
pemersatu bangsa, yang kemudian industri telekomunikasi dan elektronika
(sekarang IT) juga mutlak ada sebagai pemersatu dan sarana komunikasi bangsa,
oleh karena itu didirikanlah PT LEN dan PT. INTI. Jadi lengkapnya, bidang

industri yang dianggap strategis saat itu adalah (a) Industri transportasi laut,

udara, dan darat, (b) Industri energi, (c) Industri enjinering/rekayasa dan desain,
(d) Industri mesin dan peralatan pertanian, (e) Industri pertahanan dan (f)
Industri pekerjaan umum/teknik sipil.
Namun, apa yang terjadi ??.
Sejak Indonesia diterjang “badai krisis ekonomi” yang kemudian meluas
menjadi krisis multi-dimensi pada tahun 1997, Negara membutuhkan pinjaman
untuk menutupi defisit, salah satu “clausul” yang disyaratkan pun cukup
menakutkan, yaitu Negara tidak diperbolehkan melanjutkan program-program
industri strategisnya, lalu yang terjadi kemudian kita tidak pernah melihat lagi
program pembangunan iptek nasional yang jelas dan terarah. Selanjutnya pelan
tapi pasti, infrastruktur Iptek yang sudah terbangun kuat saat itu, mulai
melemah. Bahkan tidak bisa dikendalikan lagi terjadinya hijrah Sumber Daya
Manusia (SDM) Iptek ke luar negeri, peneliti dan perekayasa profesional mencari
kehidupan baru yang lebih nyaman. Sementara itu, di dalam negeri tidak ada lagi
prioritas program beasiswa pelajar dan mahasiswa untuk meregenerasi SDM
Iptek yang mulai menua, fasilitas riset dan PUSPIPTEK tidak ter-upgrade,
industri-strategis di restrukturisasi oleh sang pemberi hutang sehingga tidak ada
lagi lompatan penguasaan Iptek secara terorganisasi, kemajuan Iptek dan inovasi
menjadi “mandul” tanpa daya. Di lain pihak, kawasan otorita Batam dihilangkan,
BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis) dan BUMNIS (Badan Usaha Milik

Negara Industri Strategis) dibubarkan, dan yang paling parah adalah menghapus
pasal pembangunan bidang Iptek dari GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
Inilah kisah menyedihkan yang menjadi salah satu sebab “penghentian secara
masif” Industri Strategis kita yang kemudian mengakibatkan pembangunan
Iptek di negeri punggawa inovasi ini “mati suri”.
Indonesia adalah negara yang kaya akan komoditas dan sumberdaya alam, baik
pangan, energi maupun bahan mineral dan pertambangan serta maritim. Jika
dapat dilakukan pengelolaan dengan baik melalui pemanfaatan Iptek dan inovasi
anak negeri, maka Indonesia akan menjadi negara yang makmur dan sejahtera,
karena berhasil memberikan nilai tambah pada setiap produk komoditasnya.
Kita mampu ekspor makanan olahan, bukan hanya sekedar produk mentah
pertanian dari hasil hutan dan pertanian. Kita juga mampu ekspor bermacammacam barang jadi dari mineral dan tambang, tidak hanya sekedar ekspor hasil
mengeruk bahan mentah seperti bijih besi, bijih aluminium, bijih tembaga, dan
lainnya. Kita bisa memberi nilai tambah terhadap setiap hasil eksplorasi sumber
daya alam yang kita miliki melalui lembaga penelitian dan pengembangan Iptek,
Perguruan Tinggi serta litbang Industri. Paling tidak, dibawah koordinasi
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, kita memiliki sedikitnya
tujuh lembaga litbang dan sejumlah Perguruan Tinggi merupakan kekayaan yang

tak ternilai harganya bagi pembangunan ekonomi yang berbasis Iptek. Lembaga

pendidikan dan litbang yang sudah tidak diragukan profesionalismenya itu
mampu mendongkrak industri strategis kita dalam mendorong kinerja
pembangunan ekonomi.
Babak Baru Investasi Industri strategis di Indonesia.
"Telah ada beberapa pernyataan mengenai kewajiban Indonesia kepada IMF.
Pada saat ini Indonesia tidak memiliki pinjaman dari IMF. Hutang yang
dilaporkan di Statistik Hutang External BI adalah terkait alokasi SDR Indonesia.”
Benedict Bingham, Antara News 29 April 2015
saatnya sekarang Indonesia menata kembali rencana dan strategi pengembangan
industri strategis untuk meningkatkan daya saing bangsa dan pertumbuhan
ekonomi, paling tidak menghindari kerugian yang lebih akut dari investasi yang
telah dilakukan di masa lalu. Yang perlu dilakukan di tahap awal adalah
pemetaan ulang (Re-Planning) terhadap tata kelola industri strategis secara
menyeluruh dan terintegrasi, disusun dengan cermat dan sangat baik oleh tim
nasional yang kompeten, dengan dukungan undang undang.
Eskalasi komitmen para pengambil keputusan menjadi penting, hal ini merujuk
pemikiran Brockner tentang kecenderungan para pengambil keputusan untuk
bertahan atau mengeskalasi komitmennya terhadap serangkaian tindakan yang
gagal (Brockner, 1992). Sementara menurut Bazerman, eskalasi tidak rasional
(non-rational escalation of commitment) adalah derajat di mana individu

mengeskalasikan komitmen untuk tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan
sebelumnya sampai satu titik yang melewati model pengambilan keputusan yang
rasional. Pemimpin pada umumnya memiliki kesulitan dalam memisahkan
keputusan yang diambil sebelumnya, dengan keputusan yang berhubungan
dengan masa depan. Sebagai konsekuensinya, individu akan cenderung
“membiaskan” keputusannya oleh karena tindakan di masa lalu, dan
mempunyai tendensi untuk mengeskalasi komitmen terutama bila menerima
umpan balik negatif (Bazerman, 1994).
Atas nama rakyat, maka rujukan utama bagi Pengambil Keputusan tentunya
adalah UUD 1945, dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Karena itu, menjalankan dengan sungguh-sungguh amanat
ini merupakan sebuah keniscayaan.
Usulan Strategi penyiapan Tata Kelola Industri strategis .....

Pertama, merevisi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi. Terdapat sejumlah ketentuan dalam undang-undang tersebut yang
perlu direvisi, diantaranya adalah penambahan tentang jenis dan ragam industri
strategis sesuai perkembangan lingkungan dan kemajuan, riset dan

pengembangan Iptek strategis yang selaras dengan kebutuhan serta manajemen
inovasi termasuk pengelolaan industri strategis yang terarah dan terstruktur.
Kedua, Integrasi sistem pendidikan tinggi dalam Industri strategis serta
mobilisasi peneliti, perekayasa dan akademisi ke dalam industri strategis. Seperti
diketahui, bahwa dengan sumber daya penduduk, lembaga pendidikan tinggi,
serta lembaga penelitian yang ada saat ini, ruang kreasi bagi periset, perekayasa
serta akademisi Indonesia untuk bisa menciptakan produk riset berskala pasar
akan semakin memungkinkan. Indonesia saat ini memiliki 4.300 universitas, 260
politeknik, serta sejumlah Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang).
Ketiga sumber daya ini sudah seharusnya mampu menciptakan top and middle
skill workforce, pengembang industri pemula berbasis Iptek dan income
generating yang dipercaya kelak bahwa perubahan paradigma pendidikan tinggi
ini akan menjadi katalisator dalam mewujudkan daya saing, kemandirian dan
kesejahteraan.
Ketiga, menentukan fokus bidang dan tahapan pengembangan Industri strategis
yang cermat sesuai dengan kebutuhan dan potensi sumberdaya yang dimiliki.
Anggaran riset saat ini Indonesia baru teralokasi sebesar 0,09% dari PDB,
sementara itu, negara lain yang lebih maju seperti Jepang dan Korea sudah
menginvestasikan dana lebih dari 2% dari PDB untuk pengembangan risetnya.
Diperlukan langkah dan upaya secara holistik dengan merumuskan perencanaan

investasi di bidang penelitian, pengembangan serta penerapan teknologi dan
inovasi secara lebih baik dan terstruktur. Mengakselerasi peningkatan tata kelola
industri strategis akan menjadi relevan dengan mempersiapkan kebutuhan
program dan anggaran riset setidaknya sebesar 1,5% dari PDB.
Keempat, menetapkan institusi-institusi Negara yang bertanggung jawab dalam
dalam tata kelola industri strategis sebagai “main gate” konsorsium dari dalam
dan luar negeri.
Negara sudah hadir sejak awal pembentukan industri strategis, maka sudah
sepantasnya Negara juga bertanggung jawab melanjutkan estafet dalam tata
kelola industri strategis yang lebih professional dan profitable dengan cara
menata kembali :
(a) Kajian mendalam terhadap Pola Lisensi & progressive manufacturing
dengan sasarannya adalah pengenalan dan penguasaan teknologi produksi

(manufacturing) yang maju untuk satu produk unggulan yang sudah ada di
pasaran, dilanjutkan dengan menetapkan perencanaan dan model implementasi
yang lebih sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini.
(b) Kajian mendalam terhadap model Technology integration, Dengan
penguasaan teknik produksi yang lebih maju, mencoba dan melanjutkan pola
peng-integrasian komponen-komponen teknologi yang sudah ada menjadi

produk baru.
(c) Desain dan rancang bangun produk baru unggulan adalah syarat mutlak
pasca penguasaan integrasi teknologi, yaitu membangun produk yang sama
sekali baru secara mandiri sebagai produksi asli Indonesia.
(d) Research and Development, ketika Negara telah mampu membuat satu
produk baru, maka melalui litbang di harapkan dapat menciptakan
penyempurnaan, inovasi dan modifikasi, produk yg lebih maju diperlukan untuk
meraih dan mempertahankan keunggulan produk di pasaran internasional.
(e) Menetapkan pasar (market oriented), Negara tidak hanya berinvestasi,
tetapi memutuskan untuk menjual seluruh hasil produksi dalam negeri untuk
kebutuhan sendiri terlebih dahulu, Indonesia yang luas secara geografis adalah
market yang sangat sudah sepantasnya dijadikan pasar untuk memasarkan
produk produk industri strategis, Pemerintah Daerah, Institusi Kementerian,
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik daerah dapat dijadikan sebagai
pembeli utama seluruh hasil produksi, sehingga riset dan pengembangan
industri strategis selalu terjaga.
Penulis adalah Staff Ahli Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi bidang
Relevansi dan Produktivitas.