Hegemoni Negara Orde Baru dan

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-haru negara adalah sebuah realitas politik yang nyaris kita
terima sebagai suatu yang given. Kecenderungan ini terjadi karena negara yang diketahui dan
dialami setiap hari itu seakan berada di luar kesadaran manusia. Pada tingkat kesadaran
individual, negara baru dirasakan keberadaanya manakala ia berbenturan dengan kekuasaan.
Apabila memandang negara dari dan didalam masyarakat, akan terlihat bahwa negara
merupakan

hubungan

sosial

yang

bersifat

dominatif. 1

Negara


mendukung

dan

mengorganisasikan hubungan-hubungan dominasi ini melalui institusi-institusi yang biasanya
memonopoli sarana paksaan fisik (coercion) di dalam wilayah tertentu.2
Pada

umumnya,

negara

dipandang

memiliki

kewenangan

yang


sah

untuk

mempertahankan sistem dominasi sosial. Dalam masyarakat kapitalis yang lebih bertumpu
pada hubungan produksi atau struktur kelas, negara merupakan refleksi hubungan produksi
yang ada, khususnya kelas yang dominan, sehingga ia tidak lebih sebagai aspek politik dari
hubungan-hubungan sosial yang bersifat dominatif.3 Maka berdasarkan persfekti itu, negara
pertama-tama merupakan hubungan dominasi yang mewakili kepentingan komponen
masyarakat yang dominan. Hubungan masyarakat yang dominatif ini dijalankan dan
ditegakan melalui institusi-institusi seperti, polisi, militer, birokrasi dan hukum.
Negara merupakan aspek politik hubungan sosial yang bersifat dominatif dan dalam
wujud yang kongkret, negara merupakan seperangkat situasi dan norma-norma hukum yang
menjalankan dan menegakan dominasi itu. Dominasi negara dalam hal ini dapat dilihat
melalui peran institusi negara seperti militer dimana negara merupakan sebagai komunitas
1 Gaetano Mosca, The Ruling Class. (New York: McGraw Hill Book), 1939, hlm. 50, dalam Ramlan Surbakti,
Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia), 2010, hlm. 61.
2 Ibid. hlm, 62.
3 Ibid, hlm, 63.


1

manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan secara fisik yang sah dalam
wilayah tertentu.4
Militer mempunyai peranan penting dalam sistem perpolitikan Indonesia. Satu alasan
utamanya adalah karena militer selalu memiliki tempat dan kekuatan tersendiri dalam power
interplay di Indonesia sehingga bisa mempengaruhi arah jalannya pengambilan keputusan di
negeri ini. Bahkan dalam beberapa waktu militer menjadi pengambil keputusan utama di
Indonesia dalam jelmaan Presiden Soeharto, seorang jenderal aktif yang mampu merebut
kekuasaan setelah tumbangnya Orde Lama pimpinan Soekarno.
Bahkan untuk waktu yang lama keterlibatan militer dalam sistem politik Indonesia
menjadi suatu kewajaran dan sesuatu yang harus diterima oleh seluruh rakyat. Berbagai
sektor kehidupan politik, ekonomi, berbangsa, berbudaya dan sektor-sektor lainnya tidak
lepas dari keterlibatan militer. Namun, selain stabilitas yang jelas dibawanya sebagai alat
negara yang mempunyai hak melakukan kekerasan secara legal, keterlibatan militer dalam
politik memberikan dampak negatif terhadap politik Indonesia.
Pada era Orde Baru Soeharto yang menggunakan kekuatan TNI dan dikombinasikan
dengan birokrasi pemerintahan menciptakan suatu pemerintahan otoriter di Indonesia. 5 Hal
itu membuktikan kekuatan yang besar yang dijalankan oleh sebuah negara. Oleh karena itu

sangat menarik untuk membahas bagaimana sebenarnya mengenai hegemoni militer pada
Orde Baru. Pemahaman yang menyeluruh mengenai hegemoni militer di masa Orde Baru
akan menjadi pengingat bagi generasi penerus Indonesia agar tidak kembali mengulang
kesalahan yang sama.

Rumusan Masalah
4 Ibid, hlm. 63.
5 Mochtar Pabottinggi, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, (Jakarta: Gramedia), 1995, hlm. 99.

2

Melihat dari latar belakang tersebut mengenai hegemoni negara melalui militer pada
masa Orde Baru maka akan sangat menarik untuk meneliti lebih lanjut dan membahasnya
dalam makalah ini. Sehingga yang menjadi rumusan masalahnya yakni: Bagaimana
hegemoni negara oleh militer pada masa Orde Baru?

3

BAB II
LANDASAN TEORI


Konsep Negara
Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunakan paksaan fisik yang
sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi kekuasaan
atau persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian
kekuasaan antar negara mapun antar kelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara
merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang konkret dan dia membatasi
pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk memaksakan
ketaatan.
Berdasarkan pendapat Weber, maka dapat disimpulkan tiga aspek sebagai ciri negara,
yaitu :6
1. Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti jabatan, peranan
dan lembaga-lembaga yang semuanya memiliki tugas yang jelas batasnya, yang
bersifat kompleks, formal dan permanen;
2. Kekuasaan yang menggunakan paksaan yang dimonopoli oleh negara. Negara
memiliki kewenangan yang sah untuk membuat putusan yang final yang mengikat
seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai hak untuk menegakan putusan
itu seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan hak milik. Dalam hal ini,
untuk melaksakanan kewenangan, negara menggunakan aparatnya, seperti polisi,
militer, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan; dan

3. Kewenangan untuk mengguanakan paksaan fisik hanya berlaku dalam batas-batas
wilayah negara tersebut.

6 Ramlan Surbakti, Op.cit., hlm. 4.

4

Negara dilihat sebagai kumpulan individu yang menduduki posisi yang memiliki
kewenangan, membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat semua pihak
yang ada dalam wilayah tertentu. Dalam konteks ini, negara dilihat sebagai bagian dari
kumpulan individu yang menjadi pejabat pemerintahan, termasuk dalam kategori ini
Presiden,, para menteri dan individu-individu pemegang jabatan pemerintahan lainnya.
Negara merupakan seperangkat organisasi yang meliputi organisasi administratif,
kepolisian, militer, yang dipimpin dan dikordinasi oleh eksekutif, termasuk lembaga-lembaga
yang mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat dalam pembuatan keputusan oleh negara
(seperti parlemen, partai politik, dan organisasi korporatis yang dibentuk negara), beserta
lembaga-lembaga masyarakat lainnya yang dimobilisasi oleh negara untuk mengambil bagian
dalam pelaksanaan kebijakan, kepentingan dan kekuasaan negara.7
Disisilain negara selalu menjadi fokus pengorganisasian dan menjadi pengorganisasi
konsesus mengenai kepentingan umum dalam masyarakat karena hal ini menjadi basis

legitimasinya.8 Untuk mencapai konsesus itu lembaga-lembaga negara harus menampilkan
diri sebagai pengemban kepentingan umum (suatu bangsa yang bersifat mengatasi
kepentingan-kepentingan golongan dan pribadi di dalam masyarakat). Peranan negara sebagai
pengelola konsesus mengenai kepentingan umum akan diikuti oleh masyarakat manakala
negara mempunyai mediasi (sambungan komunikasi dengan masyarakat), yaitu bangsa, hakhak politik warga negara dan kelompok populis.
Negara akan mendapatkan legitimasi apabila mampu menampilkan diri sesuai dengan
rujukan eksternalnya yakni mediasi tersebut. Itu sebabnya negara adakalanya menampakan
diri sebagai pengorganisasi dan pemelihara dominasi sosial. Adanya ketegangan antara
realitas negara sebagai pengorganisasi dan pemelihara sistem dominasi sosial merupakan
karakteristik setiap bentuk negara. Bentuk negara yang muncul dari ketegangan itu dapat
7 Ibid, Ramlan Surbakti, hlm. 6.
8 Ibid, hlm. 63..

5

berupa salah satu dari tiga bentuk berikut ini. Pertama, negara mempertahankan kekuasaanya
tidak semata-mata dengan dominasi dan paksaan fisik, tetapi juga dengan memanipulasi
“mediasi” (menjadi semacam ideologi dalam arti sistem pembenaran atas kepentingan pihak
yang dominan) sehingga warga negara percaya bahwa mereka diperlakukan secara tidak adil,
dan karena itu mereka menerima nasib mereka yang malang.

Dalam mempertahankan kekuasaan yang menonjol bukanlah hanya dominasi fisik oleh
polisi, militer dan birokrasi tetapi juga dominasi secara ideologis melalui media komunikasi
massa (dalam bentuk propaganda) dan media komunikasi pendidikan (dalam bentuk
indoktrinasi) dengan teknologi yang canggih.
Kedua, negara mempertahankan kekuasaan semata-mata dengan paksaan fisik dan
kepentingan yang diartikulasikan pun hanya kelompok yang dominan dalam masyarakat.
negara tanpa mediasi ini merupakan negara tanpa dasar konsesus sehingga ia bertumpu pada
sistem demokrasi yang vulgar, negara ini sering pula disebut negara pilisi. Karakteristik
negara yang pertama dan kedua jelas tidak dapat dikategorikan sebagai negara demokratis.
Selanjutnya yang ketiga, negara mempertahankan kekuasaan tidak hanya dengan
paksaan fisik, tetapi juga dengan persuasi dan perstujuan rakyat. Negara ini jelas dapat
digolongkan demokratis karena lembaga-lembaga pemerintah bertindak sesuai dengan
rujukan eksternalnya (bangsa, hak-hak politik warga negara dan kelompok populis).9
Teori Negara
Pada dasarnya, teori-teori negara yang ada dapt digolongkan menjadi dua kelompok
besar yaitu :10
1. Teori yang menekankan bahwa negara merupakan sebuah lembaga yang mandiri,
yang punya kepentingan dan kemauan sendiri. Teori ini dicetuskan oleh Hegel dan
kemudia diartikulasikan lagi menjadi teori Negara Organis sekarang ini.
9 Ibid, hlm. 65.

10 Arief Budiman, Teori Negara, Negara Kekuasaan dan Ideologi,( Jakarta: Gramedia), 1996, hlm. 99.

6

2. Teori yang mengatakan bahwa negara bukan sebuah lembaga yang mandiri.
Kebijakan yang dihasilkan oleh negara ditentukan oleh faktor eksternal atau faktor di
luar dirinya. Dia hanya sekedar arena dimana kekuatan-kekuatan sosial berusaha
saling bertanding untuk menguasai. Dia adalah semacam tabula rasa, sehelai kertas
putih yang siap ditulisi oleh orang lain. Orang inilah yang akan menulis di atas kertas
tersebut, bukan kertas itu sendiri.
Teori ini punya dua varian : Pertama, varian kaum Pluralis. Kaum pluralis beranggapan
bahwa negara hanya melaksanakan kepentingan yang beranekaragam yang ada didalam
masyarakat. Kebijakan negara adalah hasil sebuah kompromi dari kekuatan-kekuatan
tersebut. Tidak ada yang mendominasi, kalaupun ada suatu kelompok yang kuat dan berhasil
menguasai negara, ini merupakan hasil persaingan yang demokratis dan sifatnya sementara.
Karena pada dasarnya, kebijakan negara ditentukan oleh pertemuan kepentingan di dalam
masyarakat. Kedua, varian kaum Marxis. Kaum ini mengatakan bahwa negara dikendalikan
oleh kelompok yang paling dominan di masyarakat. Kelompok atau klas yang dominan ini
secara terus menerus akan menduduki posisi dominan tersebut.
Teori Hegemoni Negara

Negara diartikan sebagai lembaga-lembaga yang tidak hanya mencakup unsur
pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif) serta aparat pertahanan dan keamanannya (polisi
dan militer), tetapi bisa juga mencakup di dalamnya lembaga-lembaga non-pemerintah atau
organisasi sosial politik, ekonomi, dan kultural masyarakat yang menjadi sarana bagi
berlangsungnya hegemoni negara (memeperkukuh penyebaran kepentingan/kekuasaan
negara). 11
Gramsci menekankan bahwa hegemoni berhasil ketika kelas penguasa berhasil
menyingkirkan kekuatan oposisi, dan memenangkan persetujuan baik aktif maupun pasif dari
sekutunya. Menurut Gramsci subjek dari tindakan politik tidak dapat di identifikasikan
11 Ramlan Surbakti, Op.cit., hlm. 67.

7

dengan kelas-kelas sosial, semenjak mereka mencapai bentuk “keinginan kolektif, yang
menciptakan ekspresi politik dari sistem hegemoni yang diciptakan melalui ideologi. Formasi
dari sebuah keinginan kolektif bukanlah konsekuensi dari penekanan dari ideologi kelas
dominan terhadap kelas-kelas lainya, melainkan produk dari reformasi moral dan intelektual
yang mengartikulasikan kembali elemen-elemen ideologi. Jadi secara umum bisa dikatakan
bahwa hegemoni dalam pemehaman Gramsci mengorganisir persetujuan-proses dimana
dilakukan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi dikonstruksi tanpa harus

melalui jalan kekerasan atau koersi, blok penguasa ini tidak hanya beroperasi ditataran ruang
politik (political society) tetapi juga diseluruh masyarakat (civil society). 12
Hegemoni merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dalam
terminologinya disebut momen dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam
keadaan seimbang: Dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui
masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Hegemoni selalu
berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai klas diktator.13 Hegemoni adalah
rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsesus ketimbang didapat melalui
penindasan terhadap klas sosial lainnya. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui
institusi yang ada di dalam masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung
struktur-struktur kognitif dari masyarakat. Karena itu hegemoni pada hakekatnya adalah
upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam
rangka yang di tentukan.
Ada dua hal yang mendasari dalam terjadinya hegemoni, yaitu pendidikan di satu
pihak dan mekanisme kelembagaan dipihak lain. Oleh karena itu pendidikan yang ada tidak
pernah menyediakan kemungkinan membangkitkan kemampuan untuk berpikir secara kritis
dan sistematis. Di lain pihak mekanisme kelembagaan (sekolah, partai-partai politik, media
12 Antoni Gramsci, Selection From Prison Notebooks dalam Nezar Patria&Andi Arief, Antoni Gramsci Negara
dan Hegemoni, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2003, hlm. 113.
13 Ibid, hlm. 82.

8

masa, militer, polisi dan sebagainya) menjadi tangan-tangan kelompok yang berkuasa untuk
menentukan ideologi yang mendominir. Konflik sosial yang ada dibatasi baik intensitas
maupun ruang lingkupnya, karena ideologi yang ada membentuk keinginan-keinginan, nilainilai dan harapan menurut sistem yang telah ditentukan.14
Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu Pertama, hegemoni
total (integral), hegemoni integral diandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas.
Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak
dalam hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial
maupun etis. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Dalam masyarakat
kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia menunjukan
adanya potensi disintegtrasi disana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa
disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi dibawah permukaan kenyataan
sosial. Hegemoni yang tidak cukup efektif dan tidak berhasil melumpuhkan kepatuhan
seluruh masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat sebenarnya melihat banyak ketimpangan dan
dalam diri mereka terdapat danyak ketidak setujuan dan ketidak sepakatan namun tidak
disertai dengan tindakan atau pemberontakan yang kongkret (passive resistance). Ketiga,
hegemoni yang minimum (minimal hegemony). Bentuk hegemoni ini merupakan bentuk yang
paling rendah dibandingkan dua bentuk diatas. Hegemoni ini bersandar pada kesatuan
ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan
keengganan terhadap setiap campurtangan massa dalam hidup bernegara.15

14 Robert Bocock, Pengantar komprehensif untuk memahami hegemoni, (Yogyakarta: Jalasutra), 2007, hlm. 35.
15 Nezar Patria&Andi Arief, Op.cit., hlm. 120

9

BAB III
PEMBAHASAN
Hegemoni Negara Oleh Militer Masa Orde Baru
Keterlibatan ABRI dalam politik erat kaitanya dengan Dwi Fungsinya. Masalah ini
telah banyak mendapat sorotan oleh para ahli/pengamat ilmu politik, baik dari dalam negeri
maupun oleh sarjana-sarjana asing. 16 salah satu pendapat yang sangat menarik, dikemukakan
oleh Ulf Sundhaussen bahwa “kaum sipil memikul tanggung jawab besar terhadap
pengambilan-pengambilan keputusan politik oleh kaum militer”, atau dengan kata lain
“naiknya kaum militer dalam pangung kekuasaan adalah disebabkan oleh ketidak mampuan
lembaga sipil sendiri untuk mencegah dan mengatasi krisis”. 17 TB Simatupang dengan sudut
pandangan yang agak berbeda dengan mengajukan tiga alternatif dalam rangka menjaga
kesinambungan pembangunan, memilih alternatif ketiga, yaitu mencapai kemajuan dalam
pembangunan dengan mengawinkan stabilitas serta pembangunan ekonomi dan industri
dengan pengalaman semua sila dari Pancasila.
Disinilah letak TNI sebagai stabilisator dan dinamisator. Lebih dari itu menurut
Simatupang TNI dalam melaksanakan tugasnya itu bukan hanya menyangkut TNI saja,
“melainkan termasuk salah satu permasalahan nasional kita yang akan ikut menentukan sifat
dan arah perkembangan serta pertumbuhan kita sebagai bangsa dan negara diwaktu yang
akan datang”.18 Kiranya dapat dipahami jika hampir di semua eselon pemerintahan, di
lembaga legislatif dan juga di lembaga-lembaga sosial swasta kita temukan ABRI. Ini sejalan
dengan upaya mewujudkan stabilitas sebagai pra syarat bagi terlaksananya pembangunan.
Bahkan pada tahun 1992—hanya sebagai contoh kasus tanpa ada pretensi terhadap tahun ini
16 Lihat misalnya karya-karya : Ulf Sundhaussen, Harold Crouch, Yahya Muhaimin, Nugroho Notosusanto, M.
Rusli Karim.
17 M. Dawam Rahardjo, Angkatan Bersenjata sebagai Kekuatan Politik. Prisma 12, hal. 109-123, dalam Drs.
M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, (Jakarta: Rajawali), hal.
162
18 T.B. Simatupang, Menelaah Kembali Peranan TNI : Refleksi Kesejarahan dan Perspektif Masa Depan,
dalam Farchan Bulkin, op.cit., hal. 12-26.

10

diperkirakan setengah dari kabupaten dan kotamadya serta sepertiga dari 27 provinsi yang
ada saat itu dipimpin oleh militer aktif. Penunjukkan militer aktif sebagai kepala daerah
tersebut dimungkinkan dalam konteks Dwifungsi ABRI.19
Militer dapat menancapkan kuasanya secara nyata setelah Soekarno dapat disingkirkan
melalui tragedi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Militer mengambil alih kuasa
negara ini melalu tangan Soeharto, seorang perwira aktif ketika diangkat menjadi Presiden.
Militer mengedepankan kembali ideologi Pancasila yang selama Soekarno digeser oleh
ideologi Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom). Pada tahun 1968 Soeharto
menjadikan Pancasila sebagai ideologi dasar negara. ABRI pun menjadikannya sebagai
ideologi dasarnya. Ini berarti usaha mengganti Pancasila sebagai ideologi dasar negara adalah
suatu usaha pengkhianatan terhadap Negara dan juga militer sekaligus. Ini juga dapat terlihat
dalam Sapta Marga, janji dasar militer yang harus dilaksanakan oleh semua anggotanya. Pada
marga pertama berisi bahwa semua prajurit adalah Warga Negara Indonesia yang berdasar
Pancasila. Yang kedua semua prajurit adalah patriot Indonesia, penjaga kedaulatan negara dan
juga ideologinya. Dengan ini jelas militer mengidentikkan dirinya dengan Pancasila yang tak
tersentuh (untouchable).20
ABRI dan partai politik dipandang sama-sama sebagai unsur kekuatan nasional.
Keduanya merupakan kawan seperjuangan dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas
pembangunan nasional (termasuk pembangunan sektor politik), di samping tugas
membangun dan memelihara stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Serta guna
meningkatkan ketahanan nasional. Sebagai kekuatan sosial, ABRI melaksanakan tugasnya
dengan memprioritaskan, dan mengoptimalkan integrasi ABRI-masyarakat. Hubungan ABRI
dan masyarakat terjalin di atas keakraban (partnership). Demikian pula antara ABRI dan
kekuatan sosial lain.
19 Damien Kingsbury, Power Politics and the Indonesian Military, (London: Routledge Courzon), 2003, hal.
10-11
20 Ibid, hal. 52-54

11

Pada era Orde Baru, kepemimpinan ABRI mudah sekali ditenggarai lewat
kepemimpinan ABRI di berbagai bidang kehidupan bersama di negeri ini. ABRI bertindak
sebagai pelopor ideologi, pembaruan, dan dinamisasi kehidupan politik. Selain perannya
yang menonjol pada umumnya, maupun dalam bidang-bidang khusus, seperti pembangunan
pedesaan (lewat program AMD/ABRI Masuk Desa), perkotaan, industri, dan lain sebagainya.
Di era itu, tidak sedikit elite di kalangan ABRI, juga cendekiawan di tengah masyarakat
umum yang meyakini, selama terdapat ancaman terhadap UUD 1945 dan ideologi negara
Pancasila, yang tertuju langsung atau tidak langsung ke negara dan masyarakat Indonesia,
selama itu pula ABRI tidak akan berdiam diri. Dorongan itu, disebabkan ABRI memposisikan
diri, selain diposisikan oleh lingkungannya sebagai kekuatan bersenjata, sekaligus
dinamisator dan stabilisator.
Selama pemerintahan Presiden Soeharto, Dwifungsi ABRI dimanifestasikan lewat
organisasi politik Jenderal Soeharto, yaitu Golkar. Di dalam Golkar pada tingkat pusat
Presiden Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina, sedangkan pada tingkat daerah, Panglima,
Komandan Kodim, merupakan penentu organisatoris dalam kepengurusan Golkar. ABRI
adalah jalur terpenting di dalam Golkar, disamping Korpri.
Perkembangan Jumlah Kursi Militer di DPR Tahun 1967-2004
Tahun
1967-1971
1971-1977
1977-1982
1982-1987
1987-1998
1992-1997
1997-1999
1999 (TNI & POLRI)
Sumber: Jun Honna, 200321

21

Jumlah Kursi
43
75
75
75
100
100
75
38

Persentase
12,3
16,3
16,3
16,3
20
20
15
8

Jun Honna, Military Politics and Democratization in Indonesia, (London: Routledge), 2003

hal. 214

12

Doktrin yang ada di masyarakat pun pada saat itu menggambarkan ABRI sebagai
pejuang pembela kemerdekaan. Sosok ABRI sebagai penyokong bangsa menjadikan ABRI
sebagai lembaga maupun personal diposisikan sebagai penjaga keselamatan dan ketertiban
bangsa Indonesia. Setiap anggota ABRI digambarkan sebagai pejuang pembela kemerdekaan
negara. Dalam perkembangannya, baik lembaga maupun anggota ABRI diposisikan sebagai
subsistem daripada sistem pemerintahan Pancasila, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan
kekeluargaan di atas landasan keserasian, keseimbangan, serta keselarasan. Bahkan jika
ditilik berdasarkan periodenya, ada beberapa slogan yang disematkan kepada ABRI.22
Periode
1945-

Pendiri

1950
1948
1952
1957
1959
1962
1965
1970-an
1971-

Rakyat
Penyelamat Bangsa dari Komunisme
Penyeimbang Politik Partai/Sipil
Penjaga Integrasi
Penjaga UUD 1945
Ayah Kandung Kelompok Kekaryaan
Pembela Pancasila, Penyelamat Bangsa
Manunggal dengan Rakyat
Wasit dan Penyeimbang bagi Politisi Sipil

dan

Slogan
Penjaga Republik, Tentara

1998
Pada masa Orde Baru nyaris tidak terjadi friksi yang kentara dalam tubuh militer.
Terjadi kolaborasi yang sangat tertata antara negara sebagai klien dari tentara. Sehingga yang
terjadi bukanlah supremasi sipil terhadap militer, melainkan pemanfaatan kekuatan militer
oleh rezim yang bersikap layaknya sipil. Dalam konteks ini William Liddle menegaskan ada
empat kendala besar supremasi sipil sulit terwujud di Indonesia. 23 Kendala yang pertama
adalah sikap pemimpin partai yang enggan menegakkan sendi-sendi supremasi sipil secara
tegas. Mereka masih mengharapkan dukungan politik tentara untuk masing-masing partai.
Kedua, secara keuangan tentara mandiri dan sangat tidak transparan mengenai keuangannya,

22 Eep Saifullah dalam bahan Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia di Universitas Indonesia, 2007
23 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 2001.

13

serta negara hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari anggaran militer sehingga militer
lebih otonom terhadap negara. Ketiga, peran politik riil yang dimainkan oleh perwira TNI
saat ini dalam bentuk komando teritorial (kini komando kewilayahan) yang mencakup skup
terkecil administrasi birokrasi pemerintahan sipil dan mempunyai kekuatan intelejen yang
tinggi. Keempat, sikap arogan banyak anggota TNI yang membuatnya tak mudah untuk
menyatu dengan sipil.
Dengan kuatnya militer dalam masa Orde Baru, maka dengan serta-merta kekuatan itu
memberikan teror pada rakyat atau kalangan sipil oposisi. Dalam konteks itu Damien
Kingsbury mencoba meminjam sudut pandang Gramsci tentang hegemoni dalam
menjelaskan bagaimana kuatnya ABRI dalam kehidupan bernegara Indonesia pada masa
Orde Baru. Singkatnya Gramsci merumuskan hegemoni sebagai kondisi saat subjek atau
individu melakukan aktivitas atau tidak melakukan aktivitas dalam kerangka ketiadaan
pilihan. Dan kondisi ini bisa dihadirkan oleh ABRI saat itu dengan menanamkan pikiran pada
benak rakyat Indonesia bahwa mereka selalu ada dalam tekanan konstan todongan senjata.
Konsep Gramscian ini dipahami benar oleh para petinggi sipil dan militer untuk
berkolaborasi membangun ketertiban di Indonesia. Bahkan pengaruh itu sangat luas dari
mulai pendidikan, penggunaan Pancasila, membelokkan makna nasionalisme untuk
kepentingan rezim serta menekan media massa dengan melakukan sensor dan pembredelan.24
Oleh karena itu penekanan Gramsci pada hegemoni atau dominasi beberapa kelompok
sosial atau kelas dalam kekuasaan telah mendorong beberapa pengkritik untuk menyarankan
bahwa ia mendesakan interpretasi-interpretasi reformis atau tanpa menggunakan dialektika
memisahkan politik dari ekonomi.25 Kekuatan tersebut disokong lewat sistem komando
teritorial yang membuat ABRI menjadi organisasi yang sangat tertata secara hierarkis dan

24 Damien Kingsbury, op.cit., hal. 26-27
25 Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik Penelusuran Paradigma, ( Jakarta: Rajawali Pers), 2007,
hlm. 496.

14

juga memiliki sistem intelejen yang rapi. Berikut adalah gambaran komando teritorial
tersebut:
Tingkat
Pemerintah
Lokal
Provinsi
Karesidenan
Kabupaten/
Kotamadya
Kecamatan
Kelurahan/Desa

Pejabat Senior Unit Teritorial
Lokal
Angkatan Darat
Gubernur
Komando Daerah
Militer (Kodam)
Residen/Komando Resort
Militer (Korem)
Bupati/Walikota Komando Distrik
Militer (Kodim)
Camat
Komando Rayon
Militer (Koramil)
Lurah/Kades
Bintara Pembina
Desa (Babinsa)

Komandan Unit Teritorial
Angkatan Darat
Mayjen atau Brigjen
Kolonel
Letnan Kolonel
Letnan Satu
Sersan Kepala

Pada setiap tingkatan administrasi sipil selalu ada komando ABRI yang setara yang bisa
mengawasi aktivitas rakyat. Dengan sistem komando teritorial tersebut membuat ABRI dan
juga rezim Orba selalu mendapatkan informasi andaikan terjadi riak-riak ketidakpuasan di
masyarakat. Atau lebih jauh lagi rencana pemberontakan bisa tercium sejak awal. Sistem ini
juga memudahkan ABRI dan rezim untuk mengerahkan pasukan jika diperlukan. Inilah yang
dilakukan pada masa Orde Baru yang sangat melembagakan ABRI sampai pada tataran
masyarakat bawah hal ini dimaksudkan untuk memperkukuh kekuasaan pada saat itu.

15

BAB IV
KESIMPULAN
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa hegemoni negara yang dilakukan
oleh militer dalam hal ini yang sangat mendominasi dan sangat berpengaruh menentukan arah
jalanya negara pada masa Orde Baru. Selain itu militer pada masa Orde Baru dapat
menempatkan diri di masyarakat sehingga pengaruh dan keberadaanya sangat dirasakan oleh
masyarakat. Hegemoni pada masa Orde Baru tidak hanya dalam militer akan tetapi di
pendidikan, agama dan ideologi negara sehingga pada masa Orde Baru sangat seragam dan
searah. Doktrin yang dilakukan oleh militer sangat terasa dan berhasil selama lebih kurang 32
tahun sehingga mengakar kuat di masyarakat hal itu masih terasa pada saat ini yang menjadi
warisan budaya Orde Baru.
Oleh karena itu pada masa Orde Baru merumuskan hegemoni sebagai kondisi saat
subjek atau individu melakukan aktivitas atau tidak melakukan aktivitas dalam kerangka
ketiadaan pilihan. Kondisi ini bisa dihadirkan oleh ABRI saat itu dengan menanamkan
pikiran pada benak rakyat Indonesia bahwa mereka selalu ada dalam tekanan konstan
todongan senjata. Konsep Gramscian ini dipahami benar oleh para petinggi sipil dan militer
untuk berkolaborasi membangun ketertiban di Indonesia. Bahkan pengaruh itu sangat luas
dari mulai pendidikan, penggunaan Pancasila, membelokkan makna nasionalisme untuk
kepentingan rezim serta menekan media massa dengan melakukan sensor dan pembredelan
terhadap kebebasan media masa, bukan hanya itu saja semua organisasi politik tidak bisa
berkembang karena terbelenggu oleh sistem kelembagaan Orde Baru yang tidak menumbuh
suburkan organisasi masyarakat.

16

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief, Teori Negara, Negara Kekuasaan dan Ideologi, (Jakarta : Gramedia), 1996.
Bocock, Robert, Pengantar komprehensif untuk memahami hegemoni, (Yogyakarta :
Jalasutra), 2007.
Bulkin, Farchan, (ed.) Analisa Kekuatan Politik Indonesia, (Jakarta : LP3ES), 1985.
Cesch, Michael D, Politisi vs Jenderal: Kontrol Sipil Atas Militer di Tengah Arus yang
Bergeser, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), 2002.
Crouch, Harold, Militer dan Politik Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan), 1999.
Feith, Herbert, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta : LP3ES), 1988.
H. Chilcote, Ronald, Teori Perbandingan Politik Penelusuran Paradigma, ( Jakarta :
Rajawali Pers), 2007.
Honna, Jun, Military Politics and Democratization in Indonesia, (London : Routledge), 2003.
Karim, M Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut,
(Jakarta : Rajawali), 1993.
Kingsbury, Damien, Power Politics and the Indonesian Military, (London : Routledge
Courzon), 2003.
Said, Salim, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan), 2001.
Saifullah, Eep, Bahan Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia, (Universitas
Indonesia), 2007.
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia), 2010.
Pabottinggi, Mochtar, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, (Jakarta : Gramedia),
1995.
Patria, Nezar & Andi Arief, Antoni Gramsci Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar), 2003.

17