2.1.1.2. Pengertian Hasil belajar - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Model Problem Based Learning Berbantuan Peta Harta Karun untuk Meningkatkan Daya Kreativitas dan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas IV SD R

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakikat Belajar dan Hasil Belajar 2.1.1.1. Pengertian Belajar

  R. Gagne dalam Ahmad Susanto (2013: 1) mengatakan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.

  W.S. Winkel dalam Ahmand Susanto (2013: 4) belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan-perubahan itu bersifat secara relative konstan dan berbekas.

  Burton dalam Ahmad Susanto (2013: 3) belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu lain dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.

  Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkain kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.

2.1.1.2. Pengertian Hasil belajar

  Secara sederhana hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk Menurut Ahmad Susanto (2013: 5) hasil belajar, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar.

  Nawawi dalam Ahmad Susanto (2013: 5) menyatakan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan melalui kegiatan belajar.

  Jadi hasil belajar adalah perubahan-perubahan, keberhasilan, kemampuan yang diperoleh melalui kegiatan belajar dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

2.1.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar

  Belajar adalah serangkain kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Djamarah (2011: 175-190) di dalam proses belajar mengajar berpengaruh sejumlah faktor, yaitu: 1.

  Faktor lingkungan

  a) Lingkungan alami

  Lingkungan hidup adalah lingkungan tempat tinggal anak didik, hidup dan berusaha didalamnya. Belajar pada keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap. Kesejukan udara dan ketenangan suasana kelas diakui sebagai kondisi lingkungan kelas yang kondusif untuk terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan.

  b) Sosial budaya

  Pembangunan gedung sekolah di tempat yang jauh dari lingkungan pabrik, pasar, arus lalu lintas, dan sebagainya.

  2. Faktor instrumental

  a) Kurikulum

  Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas sasarannya. Sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar yang telah dilaksanakan.

  b) Program

  Program pengajaran yang guru buat akan mempengaruhi kemana proses belajar itu berlangsung. Gaya belajar anak didik digiring ke suatu aktivitas belajar yang menunjang keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru.

  c) Sarana dan fasilitas

  Siswa tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar anak didik.

  d) Guru

  Seorang guru harus terus meningkatkan empat kompetensi yaitu kompetensi personal, professional, sosial dan pedagogik. Keempatnya mempunyai peranan masing-masing yang menyatu dalam diri pribadi guru.

  3. Faktor fisiologis

  a) Kondisi fisiologis

  Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi; mereka leks lelah, mudah ngantuk, dan sukar menerima pelajaran (Noehi Nasution,1993: 6).

  b) Kondisi pancaindra Bila salah satu pancaindra pada manusia mengalami masalah.

4. Faktor psikologis

  a) Minat

  Beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk membangkitkan minat pada suatu subjek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat siswa yang telah ada.

  b) Kecerdasan

  Penelitian Lete S. Hollingworth menyatakan bahwa anak-anak gifted yang taraf intelegensinya lebih dari 180 mempunyai kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Jadi kecerdasan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar.

  c) Bakat

  Belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu.

  d) Motivasi

  Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika motivasi untuk belajar bertambah. Hal ini dipadang masuk akal, karena seperti dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (1995:61) bahwa banyak bakat anak tidak berkembang karena tidak diperolehnya motivasi yang tepat.

  e) Kemampuan kognitif

  Karena kemampuan kognitif, orang dapat menghadirkan realitas dunia di dalam dirinya sendiri, dari hal-hal yang bersifat material dan berperaga. Kemampuan kognitif ini harus dikembangkan melalui belajar.

2.1.2 Hakikat Daya Kreativitas 2.1.2.1. Pengertian Kreativitas

  Kreativitas dapat dipandang sebagai sebuah bentuk intelejensi. Gardner memandang kreativitas sebagai salah satu dari “multiple intelejensi” yang meliputi berbagai macam fungsi otak. Kreativitas merupakan sebuah komponen penting dan memang perlu. Tanpa kreativitas pelajar hanya akan membantu menjelaskan dan menginterpretasikan konsep-konsep yang abstrak, sehingga memungkinkan anak untuk mencapai penguasaan yang lebih besar, khususnya dalam mata pelajaran seperti matematika dan sains yang seringkali sulit dipahami.

  Utami Munandar dalam Asrori (2009: 62) mendifinisikan: “kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan dan orisinalitas dalam berpikir serta kemampuan untuk mengelaborasi suatu gagasan.” Lebih lanjut Utami Munandar menekankan bahwa kreativitas sebagai keseluruhan kepribadian merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya. Kreativitas yang ada pada individu itu digunakan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang ada ketika berinteraksi dengan lingkungannya dan mencari berbagai alternative pemecahannya sehingga dapat tercapai penyesuaian diri secara adekuat.

  Drevdahl dalam Asrori (2009: 62) mendifinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk memproduksi komposisi dan gagasan-gagasan baru yang dapat berwujud aktivitas imajinatif atau sintesis yang mungkin melibatkan pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang (Hurlock, 1978).

  Menurut Torrance dalam Asrori (2009: 64) kreativitas adalah proses kemampuan individu untuk memahami kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan dalam hidupnya, merumuskan hipotesis-hipotesis baru dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya, serta sedapat mungkin memodifikasi dan menguji hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan. Jadi kreativitas adalah ciri khas yang dimiliki oleh individu yang menandai adanya kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang sama sekali baru atau kombinasi dari karya-karya yang telah ada sebelumnya menjadi suatu karya baru yang dilakukan melalui interaksi dengan lingkungannya untuk menghadapi permasalahan dan mencari alternative pemecahannya melalui Untuk dapat melakukan semua itu memerlukan adanya dorongan-dorongan dari lingkungan yang didasari oleh potensi-potensi kreatif yang telah ada dalam dirinya. Dengan demikian terjadi saling menunjang antara faktor lingkungan dengan potensi kreatif yang telah dimiliki sehingga dapat mempercepat berkembang kreativitas pada individu yang bersangkutan.

  Berdasarkan berbagai definisi kreativitas di atas, maka definisi-definisi kreativitas menurut Asrori (2009: 62-63) dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu: 1.

  Product Product menekankan kreativitas dari hasil karya-karya kreatif, baik yang sama sekali baru maupun kombinasi karya-karya lama yang menghasilkan sesuatu yang baru.

  2. Person Person memandang kreativitas dari segi ciri-ciri individu yang menandai kepribadian orang kreatif atau yang berhubungan dengan kreativitas. Ini dapat diketahu melalui perilaku kreatif yang tampak.

  3. Process Process menekankan bagaimana proses kreatif itu berlangsung sejak dari mulai tumbuh sampai dengan berwujud perilaku kreatif.

  4. Press Press menekankan pada pentingnya faktor-faktor yang mendukung timbulnya kreativitas pada individu.

  Keterkaitan antara empat sudut pandang product, person, process dan press itu oleh Utami Munandar dalam Asrori (2009: 63) dijelaskan sebagai berikut: apabila kita dapat menerima bahwa setiap pribadi memiliki potensi kreatif yang unik dan dapat mengenal potensi tersebut kemudian memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan kreatif sesuai dengan bidang keahlian dan minatnya, maka produk kreativitas yang bermakna dapat muncul.

  Jadi kreativitas adalah ciri-ciri khas yang dimiliki oleh individu yang menandai adanya kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang sama sekali baru atau kombinasi dari karya-karya yang telah ada sebelumnya menjadi suatu karya baru yang dilakukan melalui interaksi dengan lingkungannya untuk menghadapi permasalahan dan mencari alternative pemecahannya melalui cara-cara berfikir divergen.

2.1.2.2. Aspek-Aspek Kreativitas

  Menurut Utami Munandar (1995: 45) sehubungan dengan pengembangan kreativitas siswa, guru perlu meninjau empat aspek dari kreativitas, yaitu: pribadi, pendorong (press), proses dan produk.

  1. Pribadi Kreativitas adalah ungkapan (ekspresi) dari keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Ungkapan kreatif ialah yang mencerminkan orisinilitas dari individu tersebut. Dari ungkapan pribadi yang unik inilah dapt diharapkan timbulnya ide-ide baru dan produk- produk yang inovatif. Oleh karena itu pendidik hendaknya dapat menghargai keunikan pribadi dan bakat-bakat siswanya (jangan mengharapkan semua melakukan atau menghasilkan hal-hal yang sama, atau mempunyai minat yang sama). Guru hendaknya membantu siswanya menemukan bakat-bakatnya dan menghargainya.

  2. Pendorong (press) Bakat kreatif siswa akan terwujud jika ada dorongan dan dukungan dari lingkungannya, ataupun jika ada dorongan kuat dalam dirinya sendiri

  (motivasi internal) untuk menghasilkan sesuatu. Bakat kreatif dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung tetapi dapat pula terhambat dalam lingkungan yang tidak menunjang. Di dalam keluarga, di sekolah, di dalam lingkungan pekerjaan maupun di dalam masyarakat harus ada penghargaan dan dukungan terhadap sikap dan perilaku kreatif individu atau kelompok individu.

  3. Proses Untuk mengembangkan kreatif, siswa perlu diberi kesempatan untuk bersibuk diri secara aktif. Pendidik hendaknya dapat merangsang untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif, dengan membantu mengusahakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini yang penting ialah memberi kebebasan kepada siswa untuk mengesprsikan dirinya secara aktif, tentu saja dengan persyaratan tidak merugikan orang lain atau lingkungan. Pertama-tama yang perlu ialah proses bersibuk diri secara kreatif tanpa perlu selalu atau terlalu cepat menuntut dihasilkannya produk-produk kreatif yang bermakna. Hal itu akan datang dengan sendirinya dalam iklim yang menunjang, menerima, dan menghargai.

  Perlu pula diingat bahwa kurikulum sekolah yang terlalu padat sehingga tidak ada peluang untuk kegiatan kreatif, dan jenis pekerjaan yang monoton, tidak menunjang siswa untuk mengungkapkan dirinya secara kreatif.

  4. Produk Kondisi yang memungkinkan seseorang menciptakan produk kreatif yang bermakna ialah kondisi pribadi dan kondisi lingkungan, yaitu sejauh mana keduanya mendorong (press) seseorang untuk melibatkan dirinya dalam proses (kesibukan, kegiatan) kreatif. Dengan dimilikinya bakat dan ciri-ciri pribadi kreatif, dan dengan dorongan (internal maupun eksternal) untuk bersibuk diri secara kreatif, maka produk-produk kreatif yang bermakna dengan sendirinya akan timbul. Hendaknya pendidik menghargai produk kreativitas siswa dan mengkomunikasikannya kepada yang lain. Misalnya dengan mempertunjukkan atau memamerkan hasil karya siswa. Ini akan lebih menggugah minat anak untuk berkreasi.

  2.1.2.3. Karakteristik Kreativitas

  Piers dalam Asrori (2009: 72) mengemukakan bahwa karakteristik kreativitas adalah: memiliki dorongan (drive) yang tinggi, memiliki keterlibatan tinggi, memiliki rasa ingin tahu yang besar, memiliki ketekunan yang tinggi, cenderung tidak puas terhadap kemapanan, penuh percaya diri, memiliki kemandirian yang tinggi, bebas dalam mengambil keputusan, menerima diri sendiri, senang humor, memiliki intuisi yang tinggi, cenderung tertarik kepada hal-hal yang kompleks, toleran terhadap ambiguitas, bersifat sensitive.

  Adapun Clark dalam Asrori (2009: 73) mengemukakan karakteristik adalah sebagai berikut: memiliki disiplin diri yang tinggi, memiliki kemandirian yang tinggi, cenderung sering menentang otoritas, memiliki rasa humor, mampu menantang tekanan kelompok, lebih mampu menyesuaikan diri, senang berpetualang, toleran terhadap ambiguitas, kurang toleran terhadap hal-hal yang membosankan, menyukai hal-hal kompleks, memiliki kemampuan berpikir divergen yang tinggi, memiliki memori dan atensi yang baik, memiliki wawasan yang luas, mampu berpikir periodic, memerlukan situasi yang mendukung, sensitive terhadap lingkungan, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki nilai estetik yang tinggi.

  Sedangkan Torrance dalam Asrori (2009: 73) mengemukakan karakteristik kreativitas adalah: memiliki rasa ingin tahu yang besar, tekun dan tidak mudah bosan, percaya diri dan mandiri, merasa tertantang oleh kemajukan/kompleksitas, berani mengambil resiko, berpikir divergen.

  Karakteristik dari beberapa pendapat intinya sama, dalam penelitian ini menggunakan pendapat Torance dalam membuat rambu-rambu lembar observasi.

  2.1.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas

  Pada mulanya, kreativitas dipandang sebagai faktor bawaan yang hanya dimiliki oleh individu tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, ditemukan bahwa kreativitas tidak dapat berkembang secara otomatis tetapi membutuhkan rangsangan dari lingkungan.

  Carlk dalam Asrori (2009: 74-75) mengategorikan faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas ke dalam dua kelompok, yakni faktor yang mendukung dan yang menghambat. Faktor-faktor yag dapat mendukung perkembangan kreativitas adalah:

  1. Situasi yang menghadirkan ketidak lengkapan serta keterbukaan.

  2. Situasi yang memungkinkan dan mendorong timbulnya banyak pertanyaan.

  3. Situasi yang dapat mendorong dalam rangka menghasilkan sesuatu.

  4. Situasi yang mendorong tanggungjawab dan kemandirian.

  5. Situasi yang menekankan inisiatif diri untuk menggali, mengamati, bertanya,merasa, mengklasifikasikan, mencatat, menerjemahkan, memprakirakan, menguji hasil prakiraan dan mengkomunikasikan.

  6. Kedwibahasaan yang memungkinkan untuk mengembangkan potensi kreativitas secara lebih luas karena akan memberikan pandangan dunia secara lebih bervariasi, lebih fleksibel dalam menghadapi masalah, dan mampu mengekspresikan dirinya dalam cara yang berbeda dari umumnya orang lain yang dapat muncul dari pengalaman yang dimilikinya.

  7. Posisi kelahiran (berdasarkan tes kreativitas, anak sulung laki-laki lebih kreatif daripada anak laki-laki yang lahir kemudian).

  8. Perhatian dari orang tua terhadap minat anaknya, stimulasi dari lingkungan sekolah dan motivasi diri.

  Sedangkan faktor-faktor yang menghambat berkembangnya kreativitas adalah sebagai berikut:

  1. Adanya kebutuhan akan keberhasilan, ketidakberanian dalam menanggung risiko atau upaya mengejar sesuatu yang belum diketahui.

  2. Konformitas terhadap teman-teman sekelompoknya dan tekanan sosial.

  3. Kurang berani dalam melakukan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan penyelidikan.

  4. Stereotip peran seks/jenis kelamin.

  5. Diferensiasi anatara bekerja dan bermain.

  6. Otoritariarisme.

  7. Tidak menghargai terhadap fantasi dan hayalan.

2.1.2.5. Kreativitas dalam Proses Pembelajaran

  Anak-anak kreatif sesungguhnya sama saja kedudukannya dengan anak- anak biasa lainnya di rumah, sekolah, maupun masyarakat. Namun karena potensi kreatifnya sangat memerlukan perhatian khusus dari pendidik untuk mengembangkan dirinya. Perhatian khusus di sini bukan berarti mereka harus mendapatkan perlakuan istimewa, melaikan harus mendapatkan bimbingan sesuai dengan potensi kreatifnya itu agar tidak sia-sia.

  Agar proses pendidikan dapat memberikan bantuan kepada anak-anak kreatif, para guru dan pembimbing di sekolah sudah seharusnya mengenali anak-anak kreatif yang menjadi siswa. Idealnya sekolah memiliki perangkat dan prosedur identifikasi anak-anak kreatif, baik berupa tes maupun non tes. Namun, demikian seandainya perangkat itu belum dimiliki dan pada umumnya sekolah-sekolah memang belum banyak yang memiliki, maka prosedur observasi partisipan yang dilakukan secara serius, sistematis dan cermat juga tidak kalah ampuhnya dengan penggunaan perangkat baku tersebut. Tinggal bagaimana kecermatan guru dan pebimbing dalam mengenali berbagai karakteristik anak kreatif yang muncul pada siswa dalam kehidupan di sekolah sehari-hari.

  Sifat relasi bantuan untuk membimbing anak-anak kraetif sebenarnya idealnya para guru dan pembimbing mengetahui mekanisme proses kreatif dan manifestasi perilaku kreatif. Pemahaman ini memberikan peluang yang besar kepada para guru dan pebimbing untuk berhasil dalam membantu perkembangan anak-anak kraetif. Dalam konteks relasi dengan anak-anak kraetif ini Torrance dalam Asrori (2009: 78-79) menamakan relasi bantuan itu dengan istilah “creative relantionship” yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1.

  Pembimbing berusaha memahami pikiran dan perasaan anak.

  2. Pembimbing mendorong anak untuk mengungkapkan gagasan- gagasannya tanpa mengalami hambatan.

  3. Pembimbing lebih menekankan pada proses daripada hasil sehingga pembimbing dituntut mampu memandang permasalahan anak sebagai bagian dari keseluruhan dinamika perkembangan dirinya.

  4. Pembimbing berusaha menciptakan lingkungan yang bersahabat, bebas dari ancaman dan suasana penuh saling menghargai.

  5. Pembimbing tidak memaksakan pendapat, pandangan atau nilai-nilai tertentu kepada siswa.

  6. Pembimbing berusaha mengeksplorasi segi-segi positif yang dimiliki anak dan bukan sebaliknya mencari-cari kelemahan siswa.

  7. Pembimbing berusaha menempatkan aspek berpikir dan perasaan secara seimbang dalam proses bimbingan.

  Masih dalam konteks proses pendidikan atau pembimbingan untuk membantu perkembangan anak-anak kreatif, berdasarkan penelitiaannya yang mendalam, Dedi Supriadi (1994) mengemukakan sejumlah bantuan yand dapat digunakan untuk membimbing perkembangan anak-anak kreatif, yaitu sebagai berikut: 1.

  Menciptakan rasa aman kepada anak untuk mengekspresikan kreativitasnya.

  3. Menjadi pendorong bagi anak untuk mengkomunikasikan dan mewujudkan gagasan-gagasannya.

  4. Membantu anak memahami divergensinya dalam berpikir dan bersikap dan bukan malah menghukumnya.

  5. Memberikan peluang untuk mengkomunnikasikan gagasan-gagasannya.

  6. Memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia.

2.1.3 Pembelajaran Matematika SD 2.1.3.1. Pengertian Matematika

  Permendiknas nomor 22 tahun 2006 mengemukakan: Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan aljabar, analisis, teori peluang, dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Matematika, menurut Ruseffendi dalam Heruman (2007: 1) adalah

  “bahasa symbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsure yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil”.

  Sedangkan menurut Soedjadi dalam Heruman (2007: 1), “hakikat matematika yaitu memiliki tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif”.

  Dari beberapa teori di atas disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu yang bersifat abstrak mendasari perkembangan teknologi modern untuk memajukan daya pikir manusia.

2.1.3.2. Karakteristik Matematika

  Secara umum matematika memiliki ciri-ciri sebagaimana telah disepakati bersama oleh para ahli yaitu : (Abdul Halim Fathani , 2009: 58)

  1. Memiliki Objek Kajian yang Nyata Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun tidak setiap yang abstrak adalah matematika. Sementara beberapa matematikawan menganggap objek matematika itu “konkret” dalam pemikiran mereka, maka kita dapat menyebut objek matematika secara lebih tepat sebagai objek mental atau pikiran. Ada empat objek kajian matematika, yaitu fakta, operasi atau relasi, konsep, dan prinsip.

  2. Bertumpu pada kesepakatan Simbol-simboldan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang penting. Dengan simbol dan istilah yang disepakati dalam matematika, maka pembahasan selanjutnya aka menjadi mudah dilakukan dan dikomunikasikan.

  3. Berpola Pikir Deduktif Dalam matematika, hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus.

  4. Konsisten dalam sistemnya Dalam matematika, terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk dari beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem yang berkaitan, ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu dengan yang lainnya. Sistem

  • –sistem aljabar dengan sistem-sistem geometri dapat

  5. Memiliki simbol yang kosong arti Secara umum, model atau simbol matematika sesungguhnya kosong dari arti. Ia akan bermakna sesuatu bila kita mangaitkannya dengan konteks tertentu. Secara umum, hal ini pula yang membedakan simbol matematika dengan simbol bukan matematika. Kosong arti dari model-model matematika itu merupakan “kekuatan” matematika, yang dengan sifat tersebut, ia bisa masuk pada berbagai macam bidang kehidupan, dari masalah teknis, ekonomi, hingga kebidang psikologi.

  6. Memerhatikan semesta pembicaraan Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol-simbol matematika, bila kita menggunakannya kita seharusnya memmerhatikan pula lingkup pembicaraannya. Lingkup atau sering disebut semesta pembicaraan bisa sembit bisa pula luas. Bila kita bebicara tentang bilangan-bilangan, maka simbol-simbol tersebut menunjukkan bilangan-bilangan pula.

  7. Karakteristik Matematika Sekolah.

  Sehubungan dengan karakteristik umum matematika diatas, dalam pelaksanaan pembelajaran matematika disekolah harus memerhatikan ruang lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai “ilmu” dengan matematika sekolah, perbedaan itu dalam hal: 1) penyajian, 2) pola pikir, 3) keterbatasan semesta, dan 4) tingkat keabstrakan.

2.1.3.3. Ruang Lingkup Matematika

  Berdasarkan PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006, Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1.

  Bilangan 2. Geometri dan pengukuran

  2.1.3.4. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar (SD)

  Menurut Djamarah (2011: 125) sifat khas anak pada masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar adalah sebagai berikut: (a) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis. (b) Amat realistic, ingin tahu, dan ingin belajar. (c) Menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor. (d) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya. (e) Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Di dalam permainan ini biasanya anak tidak lagi terikat pada aturan permainan yang tradisional, mereka membuat peraturan sendiri.

  2.1.3.5. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

  Belajar Matematika tidak dapat di lakukan secara parsial tetapi memerlukan pemikiran yang holistic dari berbagai unit yang ada dalam matematika. Maka yang penting dalam belajar matematika adalah bagaimana kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah matematika. Dengan demikian dapat disimpulkan selama matematika diajarkan dengan menekankan yang sifatnya hafalan secara parsial maka kemungkinan siswa memiliki kemampuan matematis tingkat tinggi peluangnya kecil. Untuk itu usaha menemukan cara yang dianggap terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di sekolah perlu segera dilakukan yaitu guru diharapkan mampu menggunakan model pembelajaran yang lebih baik lagi.

  Tujuan akhir pembelajaran matematika di SD adalah agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari- hari. Akan tetapi, untuk menuju tahap keterampilan tersebut harus melalui langkah-langkah benar sesuai dengan kemampuan dan lingkungan siswa. Menurut Heruman (2013: 2)Berikut ini adalah pemaparan pembelajaran yang ditekankan pada konsep-konsep matematika:

  1. Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak.

2. Pemahaman Konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika.

  3. Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika.

2.1.4 Model Problem Based Learning 2.1.4.1. Pengertian Model Problem Based Learning

  Duch (1995) menyatakan bahwa Problem Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang menghadapkan peserta didik pada tantangan “belajar untuk belajar”. Lebih lanjut Duch menyatakan bahwa model ini dimaksudkan untuk mengembangkan siswa berpikir kritis, analitis, dan untuk menemukan serta menggunakan sumber daya yang sesuai untuk belajar.

  Belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan (Dewey dalam Trianto, 2011:67). Lingkungan memberi masukan pada siswa berupa bantuan dan masalah. Semakin dekat dengan lingkungan siswa, akan semakin baik pengaruhnya pada peningkatan kecakapan belajar.

  Arends dalam Trianto (2011: 68) mengatakan bahwa Problem Based Learning merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata) sehingga dengan adanya inovasi Problem serta menumbuhkembangkan keterampilan tingkat tinggi, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri.

  Mengacu pada berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Problem

  

Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang dirancang dan

  dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan siswa memecahkan masalah. Pemecahan masalah dilakukan dengan pola kolaborasi dan menggunakan kemampuan berpikir tingkat yakni kemampuan analisis-sintesii dan evaluasi atau menggunakan menemukan dalam rangka memecahkan suatu masalah.

  Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki kelebihan, diantaranya: (1) siswa dapat belajar, mengingat, menerapkan, dan melanjutkan proses belajar secara mandiri. Prinsip- prinsip “membelajarkan” seperti ini tidak bisa dilayani melalui pembelajaran nasional yang banyak menekankan pada kemampuan menghafal. (2) siswa diperlakukan sebagai pribadi yang dewasa. Perlakuan ini memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengimplementasikan pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki untuk memecahkan masalah.

  Arends (2008: 97) mengidentifikasi 6 keunggulan Problem Based

  

Learning , yakni: (1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab

  mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut, (2) menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi untuk memecahkan masalah, (3) pengetahuan tertanam berdasarkan schemata yang dimiliki siswa, sehingga pembelajaran lebih bermakna, (4) siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang dikaji merupakan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata, (5) menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa, termotivasi, mampu memberikan aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif di antara siswa, dan (6) pengkodisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinterasksi, baik dengan guru maupun teman akan

2.1.4.2. Karakteristik Model Problem Based Learning

  Menurut Arends dalam Trianto (2011: 93) mengidentifikasi 4 karakteristik , yaitu:

  Problem Based Learning 1.

  Pengajuan masalah Langkah awal dari pembelajaran Problem Based Learning adalah mengajukan masalah selanjutnya berdasarkan masalah ditemukan konsep, prinsip serta aturan-aturan. Masalah yang diajukan secara autentik ditujukan dengan mengacu pada kehidupan nyata.

  2. Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain (interdiciplinnary focus) Walaupun pembelajaran Problem Based Learning ditujukan pada suatu bidang ilmu tertentu, tetapi dalam pemecahan masalah-masalah aktual, siswa dapat menyelidiki dari berbagai ilmu.

  3. Menyelidiki masalah autentik Dalam pembelajaran Problem Based Learning, amat diperlukan untuk menyelidiki masalah autentik dan mencari solusi nyata atas masalah tersebut.

  4. Memamerkan hasil kerja Setelah siswa selesai mengerjakan lembar kerja, salah satu tim menyajikan kerjanya di depan kelas dan siswa dari tim lain memberikan tanggapan, kritik terhadap pemecahan masalah yang disajikan oleh temannya. Dalam hal ini, guru mengarahkan, membimbing, memberi petunjuk kepada siswa agar aktivitas siswa searah.

  5. Kolaborasi Model Problem Based Learning dicirikan dengan kerjasama antar siswa dalam satu tim,. Kerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dan meningkatkan temuan dan dialog pengembangan keterampilan berpikir dan keterampilan sosial.

  Berdasarkan uraian tentang pengertian Problem Based Learning, dapat diidentifikasi karakteristik pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut. Pertama, ide pokok di balik pembelajaran Problem Based Learning adalah suatu masalah adalah ssuatu pertanyaan atau sebuah teka-teki yang diselesaikan (Boud, 1985).pada pembelajaran biasa, diasumsikan bahwa siswa harus memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk mengenal suatu masalah sebelum siswa dapat memulai penyelesaian masalah, dalam problem

  based learning pengetahuan didapat dari kegiatan penyelesaian masalah.

  Kedua, adalah sifat model Problem Based Learning berpusat pada siswa dan menekankan pembelajaran mandiri (self directed learning, SDL). Indikasi kemandirian dalam Problem Based Learning dapat dilihat dari hal-hal berikut: (1) siswa dihadapkan pada masalah yang memuat sejumlah konsep dan isu. (2) siswa diberi kewenangan dan tanggung jawab yang cukup untuk menentukan pilihan tentang topic atau isu yang akan dipelajari. (3) analisi kebutuhan (need assesment) dilakukan secara individual. (4) dilakukan seleksi terhadap sumber belajar yang akan digunakan. (5) hasil sintesis atau investigasi yang dilakukan siswa disajikan kepada pihak lain. (6) partisipasi di dalam evaluasi diri merupakan perilaku SDL lain yang diharapkan dari siswa.

  Ketiga, walaupun pembelajaran Problem Based Learning telah disesuaikan untuk penggunaan dalam kelompok besar (Allen et al., 1996), pada awalnya pembelajaran tersebut ditujukan untuk kelompok kecil dan tetap menjadi model pilihan dalam kebanyakan program yang ada. Siswa biasanya berkumpul dalam kelompok yang terdiri dari 5-10 orang.

2.1.4.3. Implementasi Model Problem Based Learning

  Pembelajaran Problem Based Learning didasarkan atas teori psikologi kognitif, terutama belandaskan teori Piaget dan Vigotsky (kontruktivisme). Tahap pertama yang perlu dilakukan dalam pembelajaran adalah memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegaiatan penyelesaian masalah sehingga mereka akan bertindak aktif membangun pengetahuannya. Sintak model problem

  based learning adalah:

  1. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana atau alat pendukung yang dibutuhkan. Memotifasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang terpilih.

  2. Guru menjelaskan logistic yang dibutuhkan, prosedur yang harus dilakukan, dan memotifasi peserta didik supaya terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang terpilih.

  3. Guru membantu siswa untuk mendifinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topic, tugas, jadwal dan lain-lain).

  4. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.

  5. Guru membantu siswa dalam merencanakan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.

  6. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap eksperimen dan proses-proses yang dilakukan.

  Prosedur model pembelajaran problem based learning (Yatim Riyanto, 2010: 292-293) yaitu:

  Pertama tahap definisi. Kegiatan pembelajaran yang perlu dilakukan tahap ini adalah kegiatan: (1) menugasi siswa untuk mendiskusikan atau mencetuskan ide-ide berdasarkan pertanyaan dan pernyataan yang disajikan oleh guru, (2) mendiskripsikan apa yang menjadi pemicu untuk mengerjakan atau melakukan tindak belajar secara kolaborasi dan kompetisi, (3) mengidentifikasi masalah apa yang dapat memicu sebagai bahan investigasi.

  Kedua, tahap analisi. Kegiatan pembelajaran yang perlu dilakukan tahap ini adalah: (1) mengadakan brainstorming permasalahan yang akan diteliti, (2) mengidentifikasi apa saja yang dapat dijelaskan atau ditafsirkan di dalam kerja tim atau individual tentang permasalahan, (3) mengidentifikasi yang mana

  Ketiga, tahap arahan penelitian. Kegiatan pembelajaran yang perlu dilakukan tahap ini adalah: (1) perumusan masalah riset atau hipotesis untuk penyelidikan, (2) mengidentifikasi pengetahuan apa yang perlu penyelidikan lebih lanjut dikerjakan kelompok dalam rangka untuk memecahkan masalah, (3) menggambarkan tugas riset spesifik untuk diselesaikan (bagi-bagi tugas di antar anggota tim dalam kolaborasi atau bagaimana secara individual tugas itu dapat diselesaikan dalam kurun waktu tertentu), (4) melakukan pemufakatan bagaiman kelompok atau individu-individu akan bekerja sama.

  Keempat, tahap penelitian (yang diprogramkan untuk pekerjaan mandiri dan tim kolaborasi). Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi pengetahuan apa yang diperoleh dalam hubungan dengan pertanyaan penyelidikan investigasi, (2) mengidentifikasi bagaimana kelompok atau penelitian individual, misalnya membatasi waktu (3) melengkapi tugas, misalnya dengan daftar pustaka, ditambah bahan bacaan yang berhungan dengan masalah.

  Kelima, tahap sintesis dengan tiga kegiatan utama, yaitu: (1) meninjau ulang pengetahuan baru yang diperoleh di dalam tim belajar atau belajar secara individual, (2) menyatukan temuan-lakukan sesuatu untuk membantu memahami masalah penyelidikan, (3) dilakukan refleksi proses belajar.

Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah

  

Tahap Tingkah Laku Guru

Tahap 1 Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistic yang dibutuhkan, mengajukan fenomena, demonstrasi, atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Tahap 2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendifinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Tahap 3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan

  

Mengembangkan dan menyajikan menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan,

hasil video dan model serta membantu mereka untuk

berbagi tugas dengan temannya.

Tahap 5 Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi

Menganalisis dan mengevaluasi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dalam

proses pemecahan masalah proses-proses yang mereka gunakan.

  (Sumber: Ibrahim, 2003:13)

2.2 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan

  Penelitian yang relevan dilaksanakan oleh Eni Wulandari, yang berjudul Penerapan Model PBL (Problem Based Learning) Pada Pembelajaran IPA Siswa Kelas V SD. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan proses dan hasil belajar mata pelajaran IPA siswa kelas V SD Negeri Mudal dengan menerapkan model PBL. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Setelah penelitian di laksanakan, keterampilan peneliti dalam setiap pembelajaran semakin baik. Hal ini dapat dilihat dari skor yang diperoleh yaitu dari 18 pada siklus I, 22 pada siklus II dan 27 pada siklus III. Selain itu prosentase penggunaan keterampilan proses IPA oleh siswa juga meningkat setiap siklusnya, siswaa yang sudah menguasi keterampilan prosesnya 46,71% pada siklus I, 76,19% pada siklus II dan 92,06% pada siklus III. Hasil belajar siswa juga mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Pada siklus I 38,09%, siklus II 47,62% dan siklus III 73,02. Berdasarkan penilitian yang sudah dilaksanakan, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan model PBL dapat meningkatkan proses dan hasil belajar IPA kelas V semester II SD Negeri Mudal, Purworejo tahun ajaran 2011/2012. Hal ini dapat terlihat pada perolehan skor pada penggunaan langkah PBL oleh peneliti, prosentase keterampilan proses IPA yang telah dikuasai oleh siswa, serta prosentase siswa yang telah mencapai ketuntasan. Skor perolehan dari hasil penggunaan langkah PBL oleh peneliti mengalami peningkatan.

  Penelitian lain dilakukan oleh Rizka Vitasari. Penelitian yang dilaksanakan berjudul Peningkatan Keaktifan Dan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Problem Based Learning Siswa Kelas V SD Negeri 5 Kutosari. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan langkah-langkap meningkatkan hasil belajar matematika. Hasil dari penelitian, rata-rata hasil observasi langkah-langkah model Problem Based Learning setiap siklus mengalami peningkatan. Kemampuan guru dalam menerapkan model Problem Based Learning rata-rata siklus I sebesar 71,8% dan siklus II sebesar 94,3%. Jadi dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 22,5%. Sedangkan kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menerapkan model Problem Based Learning rata-rata pada siklus I sebesar 62,5% dan siklus II sebesar 88,5%. Jadi dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 26,0%. Keaktifan setiap siklus mengalami peningkatan. Rata-rata siklus I sebesar 61,2% dan siklus II sebesar 90,5%. Jadi dari siklus I ke siklus

  II mengalami peningkatan sebesar 29,3%. Hasil belajar matematika siswa setiap siklus I dengan nilai rata-rata sebesar 62,8 atau 54,2% dan siklus II dengan nilai rata-rata sebesar 88,1 atau 85,4%. Jadi dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 25,3 atau 31,2%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah penerapan model Problem Based

  Learning terdiri dari tujuh langkah yaitu orientasi masalah, menjelaskan

  tujuan pembelajaran, klarifikasi istilah, pengorganisasian belajar siswa, penyeledikan dan diskusi, melaporkan hasil diskusi dan analisis proses pemecahan masalah. Kesimpulan kedua pembelajaran matematika dengan menerapkan model Problem Based Learning dapat meningkatkan keaktifan matematika siswa kelas V SD Negeri 5 Kutosari, Kebumen. Kesimpulan ketiga pembelajaran matematika dengan menerapkan model Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas V Sd Negeri 5 Kutosari Kebumen.

2.3 Kerangka Pikir

  Sebagaimana telah dikemukakan Drs. Slameto belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia. perubahan tingkah atau proses kematangan. Perubahan yang terjadi karena belajar dapat berupa perubahan-perubahan dalam kebiasaan, kecakapan-kecakapan atau dalam ketiga aspek yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan. Hal ini mengandung arti, bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik atau siswa.

  Salah satu faktor dalam proses belajar mengajar adalah faktor psikologis yang di dalamnya terdapat kecerdasan dan kemampuan kognitif. Kemampuan kognitif dapat menghadirkan realitas dunia di dalam dirinya sendiri, dari hal- hal yang bersifat material dan berperaga. Kemampuan kognitif ini harus dikembangkan melalui belajar.

  Agar siswa mampu mencapai hasil belajar yang maksimal diperlukan model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan kemampuan kognitif. Salah satu model pembelajaran yang dapat dipilih untuk mengembangkan kemampuan kognitif adalah model pembelajaran problem

  based learning.

  Problem Based Learning (PBL) merupakan pembelajaran yang

  penyampaiannya dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan, dan membuka dialog. Permasalahan yang dikaji hendaknya merupakan permasalahan kontekstual yang ditemukan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Model ini sangat berpotensi untuk mengembangkan kemandirian peserta didik melalui pemecahan masalah yang bermakna bagi kehidupan siswa. Pembelajaran berbasis masalah (PBL) akan dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan berfikir dan mengatasi masalah, mempelajari peran-peran orang dewasa, dan menjadi pembelajar mandiri (Arends, 2007).

Dokumen yang terkait

64 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum SD Negeri 1 Mrisi

0 1 28

PENGARUH PENDELEGASIAN WEWENANGOLEH KEPALA TERHADAP TANGGUNGJAWAB PEGAWAI DI KANTOR SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN PANGANDARAN Oleh : Lisna Trisnawati Lisna7697gmail.com Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh Jln. R.E.Martadinata No

0 0 10

PELAKSANAAN PENGGERAKAN OLEH KEPALA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN VISI DAN MISI ORGANISASI DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 1 RAJADESA KABUPATEN CIAMIS Oleh : Dede Mae Komalasari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh Jln. R.E.Martadinata No.

0 1 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan RME dengan Teori Bruner Kelas IV SD N 1 Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 16

PELAKSANAAN STRATEGI PENGEMBANGAN OBJEK WISATA ALAM CITUMANG OLEH PERUM PERHUTANI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN CIAMIS Oleh : Cica Muliani Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh Jln. R.E.Martadinata No.150 Ciamis ABSTRAK - PELAKSANAAN STRATEG

0 0 10

PELAKSANAAN TEKNIK-TEKNIK MOTIVASI OLEH KEPALA BIDANG PERTAMBANGAN, ENERGI DAN SUMBER DAYA AIR DI DINAS PEKERJAAN UMUM PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN PANGANDARAN Oleh : Asep Saepulah Asepgmail.com Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik U

0 0 7

OPTIMALISASI PENGELOLAAN BIDANG PARIWISATA OLEH UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF WILAYAH CIAMIS Oleh : Rizaldy Yuda Pratama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh Jln. R.E.Martadinata No.150 Ciamis ABSTRAK - OPTI

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan RME dengan Teori Bruner Kelas IV SD N 1 Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 2 88

A. PENDAHULUAN - PELAYANAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR KELILING OLEH DINAS PERHUBUNGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DI KABUPATEN CIAMIS

0 0 8

Pengawasan sebagai fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur Di Desa Oleh: Neti Sunarti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh Jln. R.E. Martadinata No.150 Ciamis Abstrak - Pengawasan sebagai fung

0 1 10