Pembentukan Hukum Islam dan (1)

Proses Pembentukan Hukum Islam
Makalah Ini diajukan Guna Memenuhi Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah: Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu: Drs.Nur’l Yakin Mch,SH.,MH

Oleh :
M. ASHIF SYAUQI

( 31401405577)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
1

2015

DAFTAR ISI

BAB I............................................................................................................3

PENDAHULUAN............................................................................................3
A.Latar Belakang......................................................................................3
B.Rumusan Masalah.................................................................................4
C.Tujuan Penulisan....................................................................................4
BAB II...........................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................5
A.Pada Masa Rasulullah SAW....................................................................5
B.Periode Sahabat Khulafaurrosyidin........................................................7
C.Periode Tabi’in.......................................................................................9
D.Keistimewaan Pada Masa Tabi’in.........................................................11
E.Periode Perkembangan........................................................................12
F.Periode Kemunduran............................................................................12
BAB III........................................................................................................14
KESIMPULAN..............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................15

2

BAB I


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses pembentukan hukum Islam, sanagtalah penting untuk kita
ketahui. Selain untuk memperdalam pengetahuan kita tentang Proses
pembentukan

hukum Islam, namun yang paling penting adalah

bagaimana kita bisa memahami betul sumber dan dasar hukum Islam itu
sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan betapa
dekat dan besar perjuangan para ulama dahulu terhadap perkembangan
hukum

Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung

dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Kita tidak bisa menutup mata terhadap
sejarah,

kalau


bukan

karena

ulama-ulama

kita

terdahulu

yang

mempelajari, mengajakan serta menulis buku-buku tentang Islam atau
sejarahnya, tidak mustahil kita tidak pernah merasakan manisnya hukum
Islam itu sendiri.
Khudri

Bek


dalam

Tarikh

Tasyrik

Islam

membagi

sejarah

pembentukan hukum islam kepada enam periode yaitu :
1. Pembentukan Hukum Islam pada masa hidupnya Rasulullah
SAW.
2. Pembentukan hukum islam pada masa sahabat.Masa ini
berakhir dengan berakhirnya Khulafaurrasyidin.
3

3. Pembentukan hukum islam pada masa sahabat dan tabiin

yang sejajar dengan mereka kebaikannya.
4. Pembentukan hukum pada masa fiqih sudah menjadi cabang
ilmu pengetahuan
5. Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah
dimasukkan

masalah-masalah

yang

berasal

dari

para

imam.Dan munculnya karangan-karangan besar.
6. Pembentukan hukum pada masa taklid.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pembentukan hukum Islam pada masa
Rasulullah
2. Bagaimana proses pembentukan hukum islam pada masa
sahabat Khulafaurrasyidin
3. Bagaimana proses pembentukan hukum islam pada masa
Tabi’in
4. Bagaimana proses pembentukan hukum islam pada masa
perkembangan dan kemunduran

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui proses pembentukan hukum islam pada
masa Rasulullah
2. Untuk mengetahui proses pembentukan hukum islam pada
masa sahabat Khulafaurrasyidin
3. Untuk mengetahui proses pembentukan hukum islam pada
masa Tabi’in
4. Untuk mengetahui proses pembentukan hukum islam pada
masa perkembangan dan kemunduran

4


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pada Masa Rasulullah SAW

Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul yang diutus
untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah
berhala, sistem masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah
sangat hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami banyak hambatan
dan halangan yang dilakukan oleh suku Quraisy pada saat itu. Menurut
Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang menyebabkan orang Quraisy
termotivasi untuk menentang seruan Islam tersebut :
a) Mereka tidak dapat membedakan kenabian dan kekuasaan.
b) Nabi Muhammad Saw. Mendakwahkan persamaan hak antara
bangsawan dan hamba sahaya.

5


c) Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang
kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
d) Taklid kepada nenek moyang yang sudah berakar pada bangsa
e)

Pemahat

dan

penjual

patung

memandang

Islam

sebagai

penghalang rezeki


Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan
Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila
ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia,
dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut
terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam
pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum
dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung
pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa AlQur'an dan sunnah Rasulullah SAW.

1

Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat
dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan
masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada
periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum
terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi,
dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan
demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah
SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa

periode

sesudahnya.

Sekalipun

demikian,

Rasulullah

SAW

telah

mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam,
baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunnahnya sendiri.Hukum
Islam

periode


Makkah

dan

Madinah

Telah kita ketahui bahwa Nabi SAW dilahirkan dan dibesarkan di Makkah,
selain itu Nabi SAW juga pertama kali mendapatkan wahyu yang pertama
kali di Makkah yaitu di gua Hirra. Wahyu pada periode ini menekankan
pada aspek akidah dan akhlak, dan tidak menyampaikan hokum-hukum
praksis kecuali sedikit dan biasanya secara umum (kulli). Hal ini karena
1 Rasyad Hasan Khalil. 2009. Sejarah Legalitas Hukum Islam. Jakarta :Amzah

6

akidah merupakan dasar pertama bagi setiap hokum tafshili (terperinci)
yang termuat dalam syariah. Dengan diturunkannya Alquran kepada
Muhammad mulailah yang dinamakan tarikh tasyri’ Islami. Sumber tasyri’
Islami adalah wahyu (kitabullah dan sunnatullah). Ayat-ayat mengenai
hokum kebanyakan ayat madaniyyyah setelah nabi SAW hijrah ke
Madinah. Ayat-ayat ahkam berkisar antara 200-300 ayat dibanding 6348
ayat Alquran.
Selain Alquran dan sunnah Rasul, nabi sendiri memberi contoh
berijtihad apabila tidak ada di nash Alquran sedangkan persoalan harus
segera diselesaikan, yaitu ketika menyelesaikan masalah tawanan perang
badar, walaupun ijtihad Rasul itu dibenarkan oleh ayat Alquran. Belum lagi
kisah seorang sahabat yang diperintahkan oleh Rasul untuk menjadi qadhi
di kotsa Kuffah, Rasul bertanya denga apa engkau akan berhukum?,
jawaba sahabat dengan al-Quran. Rasul bertanya kembali, jika tidak ada?,
maka dijawaba dengan sunnahmu, jika tidak ada?, aku berijtihad dengan
pendapatku.” Ini pula sebagai salah satu dalil mengenai perekembangan
hukum di msa Rasul SAW.
Pada zaman Rasululloh, beliaulah sebagai imam al-ummah, sebagai
hakim dan sebagai mufti akbarnya. Adat-adat jahiliyyah ada yang
dihapuskan, ada yang diakui dan ditetapkan dengan nash sebagai hukum
Islam. Adapun yang tidak disebut, dihapus dan diakui, merupakan
masalah

sunnah

taqririyyah,

karena

Rasul

tidak

melarangnya.

Pada masa Rosulullah, tasyri’ Islam merupakan peletakan dasar-dasar
pokok dan prinsip-prinsip umum (mabadi amah dan qowaid asasiyyah).
Istilah fiqh pada zaman Rosulullah, merupakan pemahaman ilimu agama
secara keseluruhan, termasuk tauhid, akhlak, dan hukum-hukum..2
B. Periode Sahabat Khulafaurrosyidin
Masa kekhalifahan nabi berakhir bersamaan dengan sempurnanya
penetapan syariat Ilahi dalam Alquran dan Assunnah. Keduanya adalah
pokok besar yang ditinggalkan masa nabi untuk masa sesudahnya dan
2 http://muhammadbagusjazuli.blogspot.co.id/2013/09/sejarah-fase-fase-perkembangan-hukum.html

7

masa-masa selanjutnya. Pada masa nabi, ketika terjadi permasalahan
yang

sulit

dipecahkan,

maka

dapat

langsung

ditanyakan

kepada

Rosullullah, jadi tidak ada kesulitan sama sekali dalam penetapan hukum.
Pada masa sahabat, mereka menggali hukum-hukum yang berkaitan
dengan masalah-masalah baru dan kejadian-kejadian baru ini dengan cara
berijtihad menggunakan nalar (ro’yu) mereka dengan mengikuti kaidahkaidah

syariat,

prinsip-prinsip

umumnya

dan pengetahuan

mereka

tentang tujuan-tujuannya. Ketika terjadi suatu perkara ,fuqaha’ dikalangan
sahabat mencari hukumnya di dalam kitab Allah. Jika mereka tidak
mendapatkan hukumnya di dalam Kitab Allah,maka mereka beralih
kepada as-sunah.jika mereka tidak mendapati hukumnya di dalamassunah,maka mereka beralih kepada pendapat dan memutuskn perkara
menurut ketentuan ijtihad mereka. Ijithad dimasa Abu bakar dan Umar bin
khatab adalah ijtihad jama’I (kolektif) ,dalam bentuk musyawarah. Apabila
khalifah menghadapi perkara, maka ia mengundang para ahli fiqih dan
pemikir, lalu menyampaikan masalah kepada mereka, kemudian mereka
mendiskusikannya. jika pendapat mereka mencapai mufakat, maka
keputusan ditetapkan bersasarkan mufakat tersebut. Apabila mereka
berselisih, maka khalifah mengambil pendapat yang dinilainya benar.
Disamping ijtihad kolektif , ada juga ijtihad individual, baik dilakukan oleh
khalifah sendiri atau orang lain. hanya saja, ijtihad kolektif lebih dominan
dimasa khalifah pertama dan kedua .kebanyakan berkenaan dengan
masalah umum, seperti masalah pembagian tanah pedusunan (ardhussawad) di irak para pejuang, dimana umar meminta saran dari para ahli
fiqih dan tokoh sahabat dalam masalah ini.
Dari

fuqaha’

di

masa

ini

3

diriwayatkan

banyak

atsar

yang

menunjukkan bahwa metode istinbath hukum mereka adalah seperti yang
telah kami sebutkan. Mereka mengambil pendapat sekiranya suatu
masalah tidak disebutkan secara jelas di dalam nash, dan ijma’ adalah
cara yang dikenal dikalangan mereka. Diantaranya :

3 Majid Abdul 2013. Ikhtiar Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amanzah

8

a. Apabila suatu sengketa atau perkara dihadapkan kepada Abu
bakar, maka ia merujuk kepada kitabullah, maka ia memutuskan
dengannya. Apabila tidak menjumpainya, maka ia merujuk
kepada sunnah Rasul-nya, apabila menjumpainya dalam sunnah
Rasul, maka ia memutuskan denagnnya. Jika ntidak, maka ia
bertanya kepada para sahabat mengenai keputusan rosululloh
dalam masalah yang sedang dihadapinya. Sehingga diharapkan
ada

orang

yang

mendatanginya

dan

menginformasikan

keputusan Rosulullah dalam masalah tersebut. Apabila tidak
mendapati sunnah Nabi, maka ia mengumpulkan para tokoh dan
bermusyawarah, apabila terjadi kesepakatan pendapat maka ia
memutuskan perkara tersebut. Umar juga melakukan hal yang
sama.
b. Abu bakar pernah berijtihad berdasarkan pendapatnya dan
berkata, “inilah pendapatku, apabila ini benar maka itu dari Allah
dan apabila itu salah maka itu dariku dan aku memohon
ampunan kepada Allah.
c. Umar bin Khattab pernah berijtihad dengan pendapatnya. Beliau
berkata kepada penulisnya, “katakanlah bahwa ini adalah
pendapat Umar bin khattab. Umar juga pernah menulis surat
kepada Syuraih. “jika anda menjumpai sesuatu dalam kitabullah,
maka

putuskan

dengannya

dan

jangan

berpaling

kepada

selainnya. Dan apabila suatu perkara datang kepadamu tetapi
tidak terdapat dalam kitabullah, maka putuskan dengan apa
yang telah disunnahkan Rosulullah. Jika datang kepadamu suatu
perkara

yang

tidak

terdapat

dalam

kitabullah

dan

tidak

disunnahkan Rosulullah, makaputuskan berdasarkan keputusan
Ulama. Dan apabila datang kepadamu suatu perkara yang tidak
terdapat dalam kitab Allah dan sunnah Rosulullah, juga tidak
dibicarakan oleh seorang pun sebelum kamu, jika anda suka
berijtihad maka majulah, dan jika engkau ingin mundur, maka
mundurlah, menurutku mundur itu lebih baik bagimu. ”Umar
9

pernah menulis kepada Abi Musa al-Asy’ari “kenalilah hal-hal
yang serupa (asybah) dan hal-hal yang sama (amtsal) dan
qiyaskan perkara-perkara”.
d. Abdullahbin

Mas’ud

berkata

“barang

siapa

diantara

kamu

menghadapi suatu keputusan, maka hendaknya ia memutuskan
berdasarkan apa yang ada di dalam kitab Allah. Jika tidak ada
dalam kitab Allah, maka hendaknya ia memutuskan berdasarkan
kepada apa yang diputuskan Nabi-Nya. Jika datang suatu perkara
yang tidak terdapat dalam kitab Allah dan tidak diputuskan oleh
nabi-Nya, maka hendaknya ia memutuskan dengan apa yang
diputuskan oleh orang-orang sholeh. Jikadatng suatu perkara
yang tidak gterdapat dalam kitab Allah dan tidak pernah
diputuskan oleh nabi-Nya juga tidak pernah diputuskan oleh
orang-orang sholeh, maka hendaknya ia berijtihad dengan
nalarnya. Jika ia tidak bisa berbuat dengan baik, hendaknya ia
berdiri dan jangan merasa malu.”Adapun riwayat dari fuqoha,
sahabat, yang berisi celaan terhadap penggunaan nalar atau
ro’yu, hal itu dipahami sebagai celaan terhadap pendapat atau
nalar yang rusak, atau pendapat berkenaan dengan masalah
yang telah ditegaskan oleh nash, atau pendapat orang-orang
yang mampu melakukannya.
C. Periode Tabi’in

Pada masa tabi’in, tabi’-tabi’in dan para imam mujtahid, di
sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah
menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab
dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya.
Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang
memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam
10

di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan
semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad
mencari ketetapan hukumnya. Periode ini disebut juga periode
pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam
mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan
pembukuan hukum Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa
penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in,
tafsir

al-Qur’an,

kumpulan

pendapat

imam-imam

fiqih,

dan

penyususnan ushul fiqih.


Metode tabi’in
Dalamm mengenal hukum pada periode ini ialah “Menerima hukum
yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang
pendapat mereka seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid itu
menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum
syara’. Dalam periode taqlid ini, kegiatan para ulama’ Islam banyak
mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.
Sebelumnya

perlu

ditegaskan

bahwa

setiap

mazhab

fiqh

mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka
berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;


Metode mutakallimin

Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika
(mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah,
tanpa mengaitkannya dengan furu’
. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki

4

justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki
4 http://abumuslimalbugisy.blogspot.co.id/2009/06/sejarah-pemikiran-hukum-islam-masa.html

11

kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq
al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub,
karena memberikan istidlal aqly porsi yang sangat besar dalam
perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang
berseberangan

dengan

ulma

lain.

Dianut

antara

lain

oleh;

Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.


Metode Fuqaha

Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang
beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau;
mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah
satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai
pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan
kaidah

tersebut

dalam

bentuk

tertulis,

pengikut

beliau

mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang
memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya.
Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami sebagai
takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode
mutakallimin.
D. Keistimewaan Pada Masa Tabi’in

Berkembangnya beberapa pusat studi Islam, menurut Manna’ alQatthan telah melahirkan dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran
Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra’y dan tradisi pemikiran
Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl al-Ra’y dalam
menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan
mereka yang tergolong Ahl al-Hadits cenderung memarjinalkan peranan
akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan
keputusan

agama.2

Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini. Pada masa
12

ini muncul ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain. Madzhab
fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4
madzhab.
Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam
madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari
oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah,
kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid.
Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh
Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i
kitab al Um yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam
madzhab imam Ahmad kitab al Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu
Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari pere murid imam Ahmad.
Peristiwa pemberlakukan hukum di kawasan pemerintahan Islam tidak
hanya terjadi di daerah kekuasaan Daulah Utsmaniyyah saja. Di Mesir,
tarik menarik antara penerapan hukum Islam dengan penerapan hukum
positif (barat) juga terjadi. Dan hukum Islam pun akhirnya harus puas
berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan dalam aplikasinya,
pemerintah lebih memilih untuk menerapkan sistem hukum positif.
Bahkan,

hukum

positif

yang

diberlakukan

di

Mesir

tidak

hanya

menyangkut masalah pidana, namun dalam masalah perdata juga
diterapkan.
E. Periode Perkembangan

Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai
pertengahan abad ke-7 H. Dalam masa ini para ulama berusaha
untuk mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para
imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat
ijtihad di kalangan ulama fiqih. Ulama fiqih lebih banyak berpegang
pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam madzhab mereka
masing-masing, sehingga mujtahid (mujtahid mandiri) tidak ada
lagi. Sekalipun ada ulama fiqih yang berijtihad, maka ijtihadnya
tidak terlepas dari prinsip madzhab yang mereka anut.
13

Periode Perkembangan, tahap ini diawali dengan munculnya
Dinasti

Abbasiyah

yang

didirikan

oleh

Abul

Abbas

as-saffah

(memerintah tahun 750-754 M). Ciri-ciri fiqh pada periode ini
adalah: 1) dalam periode ini, fiqh memiliki bentuk yang jelas
sebagai ilmu pengetahuan keislaman yang independen. 2) banyak
mazhab bermunculan pada masa akhir periode Umayyah dan pusatpusat studi berkembang di sepanjang pemerintahan Abbasiyah
dengan adanya patronase (perlindungan) pemerintah. 3) untuk
pertama kalinya fiqh dari berbagai mazhab berhasil dikumpulkan
dalam skala besar dan sistematis. 4) fiqh menjadi terorganisir dan
dibagi dalam dua wilayah utama: yaitu usul (prinsip-prinsip dasar)
dan furu’ (prinsip-prinsip sekunder). Sumber-sumber utama hukum
Islam didefinisikan dan diurutkan secara sistematis dan jelas. 5)
sunnah secara keseluruhan juga dikumpulkan dan dicatat dalam
buku-buku

hadis

sebelum

periode

ini

berakhir.

6)

selama

pertengahan awal periode ini, mazhab-mazhab di bawah bimbingan
para pendirinya terus melakukan berbagai pertukaran gagasan yang
saling menguntungkan. Namun dibawah generasi terpelajar yang
kedua, ada kecenderungan ke arah rigiditas (kaku) dan hilangnya
fleksibilitas (lentur) yang menjadi ciri periode imam-imam besar dan
para ulama sebelumnya.5
F. Periode Kemunduran

Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H sampai
munculnya Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah (Hukum Perdata Kerajaan
Turki Utsmani) pada 26 Sya’ban 1293. Perkembangan fiqih pada
periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqih yang
semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam
sejarah perkembangan fiqih dikenal juga dengan periode taklid
secara membabi buta.

5 Ali,Mohammad Daud 1990.Hukum Islam.Jakarta:Rajawali Press.

14

Periode Konsolidasi pada tahap ini diawali sejak masa
kemunduran Dinasti Abasiyyah hingga keruntuhannya. Ciri-ciri fiqh
pada periode ini adalah:
1) sebagian besar mazhab yang muncul pada periode
awal menghilang, dan hanya tersisa empat mazhab.
2) keempat

mazhab

tersebut

mencapai

bentuk

sistematisasi dan kelembagaan yang final.
3) ijtihad

yang

melampaui

kerangka

mazhab

dikesampingkan dan diganti dengan ijtihad mazhabi.
4)

fiqh perbandingan muncul, namun hanya digunakan
untuk meningkatkan ide-ide sektarian.

Periode stagnasi dan kemunduran, berlangsung kurang lebih
selama enam abad. Sejak jatuhnya pemerintahan baghdad pada
tahun 1258 M dan eksekusi Khalifah Abbasiyyah terakhir, alMu’tashim dan berakhir sekitar pertengahan abad sembilan belas
masehi. Ciri-ciri fiqh pada periode ini adalah: 1) ijtihad dalam segala
bentuknya telah dikesampingkan, dan taklid kepada salah satu
mazhab empat diwajibkan bagi semua kaum muslim. 2) mazhab
empat tidak bisa lagi didamaikan dan ummat islam benar-benar
terpecah ke dalam empat sekte keagamaan. 3) aktivitas keulamaan
terbatas

pada

penulisan

komentar-komentar

atas

karya-karya

sebelumnya dan mempromosikan mazhab penulisnya sebagaimana
dalam periode konsolidasi. 4) terdapat sejumlah upaya yang patut
dipuji

yang

dilakukan

oleh

kaum

reformis

tertentu

untuk

mengembalikan sifat fiqh yang asli dan dinamis, akan tetapi upaya
mereka terbukti tidak memadai untuk menghapus fanatisme
mazhab yang telah mengakar sangat dalam. 5) upaya-upayak
kodifikasi hukum Islam telah dilakukan, akan tetapi hasilnya
mengenaskan karena pandangan-pandangan yang sektarian, dan
seiring dengan meningkatnya kolonialisme Eropa kompilasi tersebut
15

diganti dengan undang-undang Eropa. 6) dewasa ini fanatisme
mazhab mulai berkurang sebagai akibat dari adanya gerakan
reformis dan meluasnya pengajaran tentang fiqh perbandingan di
sejumlah lembaga-lembaga pendidikan modern. 7) kondisi stagnasi
dan kemunduran fiqh serta keberadaan faksionalisme (golongan)
mazhab masih berlanjut hingga saat ini.

16

BAB III

KESIMPULAN

Dari pemaparan materi diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Pembentukan hukum islam pada masa Rasulullah kekuasaan
pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW.
Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat
Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah,
maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum
sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah
SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama
fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan
fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang
sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa AlQur'an dan sunnah Rasulullah SAW.
2. Pada masa tabiin dari fuqaha’ di masa ini diriwayatkan banyak
atsar yang menunjukkan bahwa metode istinbath hukum
mereka adalah seperti yang telah kami sebutkan. Mereka
mengambil

pendapat

sekiranya

suatu

masalah

tidak

disebutkan secara jelas di dalam nash, dan ijma’ adalah cara
yang dikenal dikalangan mereka.
3. Pada masa tabi’in, tabi’-tabi’in dan para imam mujtahid, di
sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah
menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni
oleh orang-orang yang bukan bangsa

Arab atau tidak

berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya
serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang

17

bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit
penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
4. Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini. Pada
masa ini muncul ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu
yang lain. Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang
dan

yang

paling

masyhur

adalah

4

madzhab.

Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya,
dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang
diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf
dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab
al Kafi oleh al Hakim as Syahid.
5. Periode Perkembangan, tahap ini diawali dengan munculnya
Dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abul Abbas as-saffah
(memerintah tahun 750-754 M). Ciri-ciri fiqh pada periode ini
adalah: 1) dalam periode ini, fiqh memiliki bentuk yang jelas
sebagai ilmu pengetahuan keislaman yang independen. 2)
banyak mazhab bermunculan pada masa akhir periode
Umayyah dan pusat-pusat studi berkembang di sepanjang
pemerintahan

Abbasiyah

dengan

adanya

patronase

(perlindungan) pemerintah.
6. Periode stagnasi dan kemunduran, berlangsung kurang lebih
selama enam abad. Sejak jatuhnya pemerintahan baghdad
pada tahun 1258 M dan eksekusi Khalifah Abbasiyyah
terakhir, al-Mu’tashim dan berakhir sekitar pertengahan abad
sembilan belas masehi.

18

DAFTAR PUSTAKA

Ali,Mohammad Daud 1990.Hukum Islam.Jakarta:Rajawali Press.

Majid Abdul 2013. Ikhtiar Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amanzah

Rasyad Hasan Khalil. 2009. Sejarah Legalitas Hukum Islam. Jakarta
:Amzah

http://abumuslimalbugisy.blogspot.co.id/2009/06/sejarah-pemikiranhukum-islam-masa.html

http://abumuslimalbugisy.blogspot.co.id/2009/06/sejarah-pemikiranhukum-islam-masa.html

19